Mendorong Peranan Artificial Intelligence di Sektor Kesehatan

Teknologi Artificial Intelligence (AI) di bidang kesehatan diharapkan membantu mengurangi kompleksitas penanganan penyebaran virus Covid-19. AI dinilai mampu mengolah data, menganalisis data rontgen dengan lebih cepat, mendeteksi kondisi orang melalui temperatur tubuh, atau melihat penggunaan masker wajah di tempat umum.

“Mengintegrasikan teknologi AI ke dalam industri medis memungkinkan banyak kemudahan, termasuk otomatisasi tugas-tugas dan analisis data pasien dalam jumlah besar demi perawatan kesehatan yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih terjangkau. Contohnya medical imaging yang memanfaatkan teknologi computer vision dapat membantu mendeteksi penderita pneumonia dan kanker lebih cepat dan akurat,” kata CEO Kata.AI Irzan Raditya.

Menurut Chief Research & Product Innovation Nodeflux Dr. Adhiguna Mahendra, AI telah memainkan peran yang sangat penting dalam perawatan kesehatan dan dalam satu dekade akan secara fundamental membentuk kembali prospek perawatan kesehatan. Hal tersebut dilihat dari penerapan AI untuk diagnosis gambar medis otomatis, diagnosis prediktif, dan telemedicine.

“Pandemi Covid-19 ini memberi insentif kepada para ilmuwan untuk berlomba-lomba menemukan vaksin baru yang kemajuan di bidang ini juga akan memengaruhi penelitian pengobatan pembelajaran lebih mendalam pada umumnya,” kata Adhiguna.

Hal senada diungkapkan CEO DycodeX Andri Yadi. Menurutnya, siapa pun harus berkontribusi melawan Covid-19, termasuk startup teknologi seperti DycodeX.

Penerapan AI di sektor kesehatan Indonesia

Di Indonesia, fungsi AI masih terbatas ke deteksi dan monitoring. Belum terlalu advance, seperti di negara maju. Startup Qure.ai yang berbasis di Inggris, melalui qXR system yang dikembangkannya, mampu menyoroti kelainan paru-paru dalam pemindaian sinar-X dada dan menjelaskan logika di balik evaluasi risiko penyebaran virus Covid-19.

Ada pula startup yang berbasis di Seoul, Korea Selatan, bernama Lunit yang menghadirkan produk serupa. Produk screening paru-paru Qure.ai dan Lunit telah disertifikasi badan kesehatan dan keselamatan Uni Eropa sebelum krisis. Alat ini telah diadaptasi agar semakin bermanfaat ketika Covid-19.

Meskipun belum banyak menyentuh layanan kesehatan, penerapan teknologi AI di Indonesia paling tidak mampu mengatasi masalah mendasar terkait social distancing dan deteksi awal virus Covid-19.

Teknologi FaceMask detection Nodeflux
Teknologi FaceMask Detection Alert milik Nodeflux

Teknologi terkini yang dihadirkan Nodeflux adalah FaceMask Detection Alert. Melalui teknologi ini, aktivitas masyarakat di ruang publik mampu dikenali lebih detail. Nodeflux menggunakan AI untuk mengotomasi proses pemantauan dengan deteksi wajah tanpa atau menggunakan masker. Mekanisme ini dilengkapi alert system sebagai pemberitahuan cepat bagi petugas ketika subyek tanpa masker ditemukan berlalu-lalang.

Semua data tersebut dapat terkoneksi dan terpusat melalui layar Monitoring Dashboard & Alert System.

“Pada dasarnya AI dapat membantu kami tidak hanya dalam pengambilan keputusan, tetapi juga dalam melakukan semacam tindakan otomatis. Tentu saja ini akan mengubah lanskap penyelesaian masalah selama kondisi pandemi, di mana kita diharuskan untuk membuat keputusan cepat tentang kondisi kesehatan masyarakat, mobilitas publik, dan kepatuhan terhadap peraturan,” kata Adhiguna.

Pemanfaatan AI dan IoT di bidang kesehatan juga dikembangkan DycodeX. Perusahaan saat ini mengembangkan teknologi yang mampu melakukan proses screening suhu badan orang. Dalam waktu sekitar 2 detik, alat yang dikembangkan tersebut diklaim mampu melihat apakah orang tersebut memiliki demam atau tidak.

BodyThermal Screening System milik DycodeX
Body Thermal Screening System / DycodeX

Tim DycodeX melihat adanya potensi teknologi ini bisa diterapkan di kantor-kantor dan bandara. Untuk kisaran harga jual, DycodeX menyebutkan produk ini berharga di bawah Rp10 juta. Ada banyak fasilitas, industri, dan bangunan yang perlu tetap beroperasi selama krisis ini dan solusi yang dihadirkan diharapkan dapat berkontribusi menjaga semua orang tetap aman dan sehat.

Berbeda dengan alat deteksi yang banyak digunakan oleh kalangan umum, alat ini mampu melihat suhu badan tanpa menyentuh bagian tubuh dari orang yang diperiksa. Mereka yang tidak menggunakan masker wajah juga bisa dideteksi.

“Kami percaya bahwa solusi seperti kami akan terus bisa diadopsi ketika dunia menjadi lebih sadar akan pentingnya teknologi untuk pencegahan dan antisipasi terhadap masalah potensial terkait kesehatan. Demam adalah salah satu respon tubuh kita yang terlihat, terkait dengan masalah kesehatan. Mendeteksi potensi demam dapat mencegah banyak masalah terkait. Kami berharap teknologi semacam ini akan dapat mengantisipasi dan melindungi terhadap kemungkinan wabah di masa depan,” kata Andri.

Masa depan pemanfaatan AI

Meskipun sebelum pandemi penerapan teknologi AI sudah mulai banyak dilancarkan berbagai industri, bisa dipastikan usai pandemi penelitian dan pengaplikasian AI akan lebih banyak dilakukan.

Di bidang kesehatan, penerapan teknologi AI dapat membantu untuk diagnosis, prognosis dan pengobatan. Untuk tujuan diagnosis dan prognosis misalnya, x-ray dan CT (Computed Tomography) dari gambar paru-paru di berbagai kondisi dapat digunakan untuk meningkatkan model deep learning yang menjadi bahan diagnosis Covid-19.

“Jadi aplikasi terkait prognosis, seperti dapat memperkirakan siapa yang akan terkena dampak lebih parah dapat membantu dalam perencanaan alokasi dan pemanfaatan sumber daya medis. Ini tentunya bisa diterapkan kepada penyakit lain,” kata Adhiguna.

Irzan menambahkan, “Saat ini, pengadopsian teknologi AI dalam industri medis di Indonesia sebagai pendukung penyedia layanan medis dalam membuat keputusan akan lebih tepat dan bermanfaat. Dengan demikian, dokter tetap berperan sebagai pengambil keputusan yang final.”

Jauh sebelum pandemi, AI sudah diakui eksistensinya, karena berpotensi berkontribusi pada penemuan obat baru. Di kasus Covid-19, sejumlah pusat penelitian fokus mencari vaksin melawan Covid-19. AI dapat mempercepat proses penemuan obat dan vaksin baru dengan memprediksi dan memodelkan struktur informasi virus yang dapat berguna dalam mengembangkan obat baru.

Namun demikian, persoalan lain yang perlu dipertimbangkan adalah regulasi. Teknologi AI akan sulit dikembangkan lebih lanjut tanpa persetujuan regulator terkait.

“Kesehatan adalah area di mana peraturannya sangat ketat dan tidak fleksibel. Ini dibenarkan karena mereka berurusan dengan kehidupan manusia, tetapi pada saat yang sama, sejumlah besar pengujian, sertifikasi dan panel akan menyebabkan inovasi dalam AI untuk perawatan kesehatan lebih lama, lebih rumit dan sulit untuk dimasukkan ke dalam aplikasi dunia nyata,” kata Adhiguna.

Tantangan lain, menurut Irzan, adalah ketidakseimbangan antara jumlah riset AI dengan kebutuhan bisnis. Banyak riset AI yang sulit dikomersialisasikan, karena riset tersebut belum tepat guna.

“Menurut saya, kolaborasi yang lebih selaras antara lembaga riset atau perguruan tinggi dengan pelaku bisnis berperan penting agar riset-riset AI dapat dimanfaatkan demi kebutuhan bisnis,” kata Irzan.

Ia menambahkan, dalam jangka waktu 10-15 tahun ke depan teknologi AI akan berkembang pesat dan dapat membantu industri medis dengan lebih signifikan, terutama jika data-data rekam medis digital dan medical imaging dapat terintegrasi. Teknologi AI tidak hanya hadir sebagai fasilitas pelengkap untuk meningkatkan produktivitas tenaga medis, tetapi juga berperan sebagai fasilitas pencegahan penyakit.

“AI akan tetap hadir dengan inovasi dan kemajuan logis dari komputasi dan teknologi secara umum. Hal tersebut nantinya tidak akan terlepas dari kehidupan kita sehari-hari dan akan terus diperbaiki, terlepas dari adanya pandemi ini atau tidak,” kata Andri.

Pengalaman Mengembangkan Diri Para Founder Startup

Sebagai sebuah bisnis, startup diwajibkan untuk tetap bergerak maju. Menggenjot pertumbuhan adalah hal yang dipikirkan sehari-hari. Banyak kejadian baru yang memaksa orang-orang di dalamnya turut hanyut dalam laju perkembangan. Ketika bisnis meroket, orang-orang di dalamnya kenyang dengan pengalaman dan keterampilan.

Bagi seorang founder, CEO, atau orang-orang yang bertanggung jawab memikirkan arah pergerakan bisnis, gerak cepat bisnis harus dibarengi dengan laju pengembangan diri. Itulah mengapa founder startup membutuhkan mentor atau sumber belajar lainnya. Di era serba mudah, di mana mencari tahu informasi hanya dibatas mau atau tidak mau, media belajar kini banyak bentuknya. Buku, audio, video, dan semacamnya sudah gampang ditemui. Tinggal bagaimana preferensi kita terhadap hal itu.

DailySocial mewawancarai sejumlah founder startup tentang bagaimana kebiasaan mereka dalam mengembangkan diri. Hasilnya beragam. Judul buku yang mereka baca, orang-orang yang mereka temui, dan mentor-mentor dalam jaringan mereka berperan dalam setiap perkembangan diri mereka.

Ada yang suka mengambil inspirasi dari buku yang mereka baca. Misalnya Irzan Raditya, CEO Kata.ai. Ia menyebutkan kalau dia akan membaca buku untuk topik-topik yang ingin dia kuasai, misalnya soal human resource atau penjualan. Ia juga tak segan untuk lari mencari online course yang sekiranya bisa membuka wawasannya tentang sebuah topik yang berguna saat menjalankan bisnisnya.

“Jadi pada dasarnya ketika kita mendirikan startup atau menjadi pegawai startup paling penting adalah growth mindset,” cerita Irzan.

Sementara bagi Founder Wahyoo Peter Shearer, proses pengembangan diri juga bisa didapatkan dari co-founder yang lain. Selain bisa menjadi partner dalam mengembangkan bisnis, co-founder bisa jadi salah satu cara untuk membuka wawasan, terutama untuk bidang-bidang krusial. Sedangkan untuk buku, Peter merekomendasikan sebuah buku karya Tony Hsieh.

“Saya suka buku Delivering Happiness yang ditulis oleh Tony Hsieh. Bagaimana dia meneritakan proses dia membangun Zappos sehingga bisa sukses dibeli oleh Microsoft sebesar 265 juta dollar,” ujarnya.

Membaca buku juga menjadi cara pengembangan diri favorit Co-Founder WarungPintar Agung Bezharie Hadinegoro dan Co-Founder TaniHub Michael Jovan.

Bagi Agung, salah satu hal utama dalam pengembangan diri adalah dengan stay curious. Perasaan ingin tahu akan mendorong individu tetap berkembang. Di samping itu, mendengarkan pengguna juga menjadi salah satu cara terbaik bagi Agung mendapatkan masukan tentang bisnis yang dijalaninya.

Agung juga termasuk dalam salah satu founder yang menjadikan buku sumber untuk upgrade diri. Salah satu buku yang dibaca Agung adalah The Art of Happiness dari Dalai Lama. Buku itu disebut Agung selalu menjadi pegangan dan selalu direkomendasikan kepada rekan-rekannya yang membutuhkan wawasan dalam pengembangan diri. Menurutnya, di dalam buku itu kita bisa memahami soal mengutamakan kebaikan, kasih sayang dan toleransi. Lengkap dengan implementasi dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja.

“Bagian dari buku ​The Art of Happiness yang tidak kalah menarik adalah bagian di mana kita diarahkan untuk memandang pekerjaan kita sebagai suatu panggilan, sehingga kita tetap berpegang teguh pada alasan awal mengapa kita terjun ke pekerjaan tersebut dan tidak mudah menyerah. It would give you a greater sense of purpose and resolve,” kisah Agung.

Sementara bagi Jovan, insipirasi dan ide bisa datang dari mana saja dan dalam bentu apa saja, baik langsung maupun tidak lagnsung. Itulah mengapa Jovan mempelajari banyak hal dari berbagai macam hal, seperti membaca, menonton film, hingga mengamati sebuah pertandingan sepakbola.

Hal-hal tersebut bisa memicunya untuk mencari tahu sesuatu lebih jauh lagi dengan mengetikkan kata kunci di mesin pencari atau membaca buku.

Jovan mengaku baru menyukai buku dalam tiga tahun terakhir ini. Buku-buku bertema peperangan, seperti Sun Tzu’s The Art of War dan Swordless Samurai termasuk daftar yang sudah ia tamatkan. Menurut pengakuannya, yang paling berkesan adalah Outliers yang ditulis oleh Malcolm Gladwell.

“Namun inti dari semuanya adalah saya selalu melebarkan wawasan saya dengan cara yang fun dan random. Dari cara ini seringkali menemuan berbagai benang merah dari berbagai informasi sebelumnya. Setelah mendapatkan insight ini, baru kemudian saya mencari buku yang relevan untuk memperdalam ilmunya,” papar Jovan.

Selain buku, semuanya sepakat bahwa “mendengarkan” adalah cara terbaik dalam proses mengembangkan diri. Mendengarkan ini bisa berarti mencari atau berbincang dengan para mentor, berdiskusi dengan sesama pelaku wirausaha, atau mendengar pengalaman mereka yang lebih dulu sukses.

Setidaknya hal itu yang dilakukan Rama Raditya selama menjalankan Qlue. Bukan buku atau kelas online, ia mengaku terinspirasi dari beberapa rekan sesama pendiri startup, salah satunya adalah Nadiem Makarim, pendiri Gojek. Ia juga cukup aktif mendengarkan arahan dari Martin Hartono dan Arya Setiadharma sebagai mentornya.

“Belajar itu kunci utama kalau kita menjalankan startup sih. Jadi kalau kita terlalu sibuk hanya untuk menjalankan bisnis as usual tanpa mengasah diri kita sendiri itu juga hasilnya tidak efektif, tidak efisien. Prinsip saya sih, dibanding kita harus menebang kayu dengan kapak yang sama selama 6 jam, lebih baik kita spend waktu untuk mengasah kapak sehingga bisa memotong kayu lebih cepat. Yang paling bahaya adalah ketika perusahaan kita lebih besar dari kita sendiri,” sambung Irzan.

Bagi mereka yang ingin mengembangkan diri melalui online course, DailySocial merangkum beberapa kelas yang bisa bermanfaat jika diikuti. Tak hanya soal teknologi, kelas-kelas dalam daftar juga berisi berbagai macam tema yang bisa dimanfaatkan seorang pendiri startup. Berikut ini daftarnya:

Kiat Kata.ai dan eFishery Mengoptimalkan Produktivitas Saat “Work From Home”

Kebijakan “Work From Home” tengah mencuat di saat penyebaran COVID-19 semakin meluas di Indonesia. Bagi startup, kebijakan ini sebetulnya sudah tidak asing lagi. Mereka sudah lebih dulu menerapkan bekerja dari rumah sebagai salah satu upaya efisiensi.

Misalnya, startup di bidang Natural Language Processing (NLP), Kata.ai, mengungkap bahwa konsep WFH ini sebetulnya sudah dilakukan sejak perusahaan pivot dari bisnis terhadulunya Yesboss di 2015.

Jumlah karyawan Kata.ai berkisar antara 50-200 orang, 20 orang dari engineering dan product kerja remote dari Malang. Ditambah lagi, Kata.ai juga punya kebijakan bagi karyawan di Jakarta untuk bekerja dua kali seminggu dari rumah.

Kemudian, startup pemberi pakan ikan otomatis eFishery tidak memberlakukan kebijakan WFH secara sepenuhnya. Sebagian karyawannya di kantor pusat memang sudah mulai bekerja dari rumah. Namun, untuk beberapa tim yang tidak berbasis di kantor pusat diberlakukan WFH dengan sistem shift atau assigment tertentu.

Untuk mengoptimalkan WFH atau remote working, baik Kata.ai dan eFishery memberikan pro-tips yang bermanfaat bagi startup yang baru merintis.

Mengukur produktivitas dan output

Bagi Kata.ai, efektivitas bekerja dapat diukur dari produktivitas dan output-nya. Dengan situasi bekerja remote, kedua hal ini terkadang sulit untuk dioptimalkan.

Untuk mengakomodasi kedua hal tersebut, pihaknya memanfaatkan sejumlah aplikasi sebagai “workspace” mereka. Misalnya, Slack untuk instant messaging, Zoom untuk video conferencing dan online meeting, dan Asana untuk mendukung work management karyawan.

“[Divisi] engineering dan product sudah terbiasa dengan culture ini. Terutama setiap pagi ada daily stand-up [meeting], ada bot yang mengingatkan di Slack. Jadi walaupun jauh, kita tetap kasih trust dan accountability ke mereka,” ungkap Co-founder & CEO Kata.ai Irzan Raditya kepada DailySocial.

Melakukan “silent meeting”

Tak banyak yang tahu bahwa konsep “silent meeting” sudah banyak diterapkan oleh sejumlah perusahaan teknologi dunia. Sebagai contoh, Amazon.

Bagi Irzan, silent meeting menjadi opsi alternatif untuk mengakomodasi karyawannya yang situasinya tidak siap untuk melakukan meeting. Umumnya, salah satu kendala yang sering ditemui adalah koneksi internet yang tidak stabil.

“Apalagi kalau sedang meeting via video call. Kalau internet tidak stabil, mereka cenderung masuk-keluar aplikasi. Ini akan menghambat proses meeting karena kelamaan,” papar Irzan.

Dalam hal ini, silent meeting yang dimaksud Irzan adalah memanfaatkan working sheet untuk melakukan update pekerjaan, yang dapat dipakai secara real-time oleh seluruh karyawan. Tim dapat menentukan dulu apa meeting goals dan catatan pengingatnya. “Kita spend 1/4 waktu meeting untuk update dan sisanya tinggal sesi Q&A,” tambahnya.

Embrace budaya apresiasi

Selain menjaga produktivitas, lanjut Irzan, ia juga menekankan pentingnya budaya apresiasi kepada setiap karyawan. Hal ini dapat dimulai dengan melontarkan pertanyaan sederhana, seperti “Are you OK?”,What did you do during weekend?”, atau “Whom do you wanna thank for?”.

“Salah satu tantangan WFH adalah kita tidak bertatap muka sehingga terkadang kita tidak dapat membaca tone mereka, baik lisan maupun tulisan. Kita perlu juga untuk mengecek mood meter karyawan. Makanya kita coba embrace culture untuk lebih humanize,” tutur Irzan.

Sinkronisasi dari atas hingga ke bawah

Irzan menambahkan catatan penting lain bagi startup yang baru merintis saat menerapkan kebijakan WFH adalah menyamakan mindset dari top-down dan sebaliknya bottom-up. Hal ini untuk menghindari gap informasi terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan.

“Kalau WFH is actually harus lebih produktif. Makanya, [organisasi] harus ada common belief dulu supaya lebih tersinkronisasi terhadap apa yang ingin dikerjakan. Bahkan kalau perlu over-communicate ya, daripada kurang jelas, ” jelasnya.

Atur waktu fokus dan buat to-do list

Pro-tips menarik dari eFishery adalah mengatur focus time atau waktu yang tepat untuk mulai mengerjakan task A, B atau C. Buat slot waktunya agar Anda tidak bablas seharian hanya menjawab atau merespons update pekerjaan dari Slack.

Setelah itu, buat to-do list kecil. Cacah apa saja pekerjaan yang ingin dielesaikan dalam rentang waktu tertentu. Tips ini akan bermanfaat bagi kita yang suka bingung mau mulai mengerjakan dari mana dulu.

Monitoring dengan collaboration tools

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh siapapun yang berada di head level adalah memantau kerja setiap anggota timnya. Untuk memudahkan memantau pekerjaan, eFishery menggunakan sejumlah aplikasi yang saling terintegrasi.

Sebagai contoh Slack dan Trello. Slack memang dirancang untuk memisahkan kehidupan pekerjaan dan pribadi. Aplikasi ini akan memudahkan komunikasi antar-karyawan dan antar-divisi.

Sementara, Trello digunakan untuk monitoring pekerjaan. Trello memiliki fitur untuk memberikan real-time update dari kita membuat task board, mengerjakannya, dan menyelesaikannya. Aplikasi ini juga dapat diintegrasikan ke Slack sehingga atasan dapat otomatis tahu progress pekerjaan kita.

eFishery juga memberikan opsi aplikasi alternatif untuk memantau pekerjaan, yaitu Google Sheet. Sama-sama real-time, kita dapat membuat tabel progress yang dapat diperbarui dan diakses sendiri oleh masing-masing tim.

No distraction!

Siapa di antara kita yang sering terdistraksi oleh media sosial? Terkadang kita butuh distraksi untuk menghilangkan sedikit kecemasan. Tapi, distraksi bisa menjadi musuh terbesar kala kita sedang fokus-fokusnya mengerjakan sesuatu.

Biasanya, kalau pikiran sudah penat, kita sering sekali membuka media sosial sebagai selingan atau hiburan. Bagi eFishery, ini bukanlah tips yang tepat karena bisa menghilangkan fokus kita dalam bekerja.

Rehat boleh saja, tapi ingat tetap fokus tanpa terdistraksi.

Penetrasi Teknologi di Proses Rekrutmen Indonesia

Sekitar satu dekade yang lalu, ketika akses terhadap internet masih terbatas dan media sosial belum begitu menjamur seperti sekarang, perusahaan masih menempuh cara manual untuk bisa menjangkau talenta-talenta bersinar. Saat ini, teknologi telah berhasil merevolusi sistem perekrutan dengan mengubah cara perusahaan dalam menemukan kandidat yang sesuai dan profesional. Mulai dari lembaran surat lamaran menjadi aplikasi lamaran online, hingga proses wawancara yang bisa dilakukan jarak jauh.

Menurut data BPS per Agustus 2019, terdapat total 7,05 juta jiwa yang tidak memiliki pekerjaan di Indonesia. Hal ini berarti, sejumlah 7,05 juta jiwa sedang berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai.

Berbagai tools diciptakan untuk bisa membantu mempermudah proses perekrutan karyawan, mulai dari platform job aggregator hingga memanfaatkan media sosial untuk bisa mengakuisisi talenta. Tidak hanya untuk penyedia lapangan kerja, hal ini juga berdampak pada para talenta. Di sini, proses kreativitas bekerja tatkala mereka menggunakan berbagai platform untuk “menjajakan” kemampuan.

“Dulu saya hanya melihat resume dan dilanjutkan dengan wawancara. Ternyata [hal itu] tidak berhasil. Resume dapat mengelabui. Wawancara bersifat subyektif. Tanpa pengalaman yang cukup untuk membaca orang, dan tidak memiliki pewawancara berbakat dari sisi SDM, maka rentan untuk melewatkan detail penting,” ujar Head of Product eFishery Ivan Nashara dalam salah satu tulisan lepasnya.

Berbagai platform penunjang

Ada banyak platform yang menawarkan solusi dalam  mempermudah proses perekrutan karyawan, baik untuk korporasi besar maupun perusahaan teknologi dalam berbagai skala. Mencari talenta mulai dari profesi yang paling umun hingga kebutuhan akan talenta spesifik atau niche.

Dalam wawancara lanjutan DailySocial dengan Ivan Nashara, ia menyampaikan, “Dalam konteks menemukan talenta (outbound), LinkedIn sangat powerful. Dalam hal memasang iklan dan membangun awareness (inbound), portal seperti jobstreet, Glints, Kalibrr, juga berperan penting. Sementara, untuk manajemen rekrutmen atau funnelling, kita cukup pakai Trello.”

LinkedIn adalah salah satu platform yang menjadi primadona dalam industri rekrutmen. Sebagai jejaring sosial profesional terpopuler, ragam talenta dan perusahaan dapat ditemukan dalam platform ini. Contoh lainnya adalah Kalibrr, sebuah platform yang juga menyediakan uji kemampuan online untuk membantu seleksi talenta.

Implementasi AI

Meningkatnya penggunaan platform teknologi dalam proses rekrutment menjadi potensi tersendiri dalam ranah kecerdasan buatan. Sebuah robot bahkan pernah dikembangkan dengan objektif menyamarkan bias serta sugarcoating dalam proses interview.

Menanggapi potensi pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan dalam proses rekrutmen, CEO Kata.ai Irzan Raditya menilai, proses rekrutmen yang masih manual terlalu banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal administratif, sementara peran tim HR harusnya bisa lebih fokus dalam mengembangkan potensi talenta.

Teknologi AI diklaim bisa membantu mengoptimalkan pekerjaan tim HR mulai dari proses seleksi CV, wawancara, sehingga terbentuk candidate scoring. Hal ini bisa memangkas beberapa fase yang selama ini dilakukan secara manual sehingga mempersingkat proses perekrutan karyawan.

“Jadi, peran teknologi AI di sini bukan untuk mengambil keputusan, melainkan lebih kepada augmentasi. Sementara penilaian tetap menjadi core dari tim HR,” ujar Irzan.

Salah satu perusahaan yang juga menawarkan solusi teknologi AI dalam industri rekrutmen adalah Glints. Platform ini menawarkan full-stack recruitment dengan kombinasi teknologi dan konsultasi. Menurut wawancara DailySocial dengan seorang senior konsultan Glints, perusahaan yang sudah memanfaatkan teknologi mereka sebagai solusi proses rekrutmen pun beragam, mulai dari startup hingga korporasi.

Dari sisi perusahaan, kebutuhan akan pemanfaatan teknologi dalam proses rekrutmen masih beragam. “Semua tergantung stage perusahaan, hal ini juga bisa dihitung dari ROI perusahaan. Pada dasarnya, tujuan dari pemanfaatan teknologi adalah untuk memperkecil kemungkinan kehilangan kandidat yang punya potensi dan menghindari bias.”

Five Pivot Strategies from Akseleran, Moselo, and Kata.ai

Building a startup is not just a matter of creating traction and gaining as many users as possible. A true startup is well-known with a culture that survives through the concept of “fail fast, learn fast”.

Therefore, what happens if the startup business that you develop does not get the expected traction? One of the answers is a pivot.

Changing business models, transitioning to different services, or being called pivots is no longer a new way in the startup industry. Some startups in Indonesia have done this, starting from 100 percent pivot by changing company brands and platforms to changing the type of service.

When you decide to pivot, many questions will arise. Starting from what kind of things to prepare, things to be avoided, and how to begin.

In order to answer the question above, DailySocial summarizes various tips and strategies for pivots based on the results of our interviews with Kata.ai (pivot 2016), Akseleran (pivot 2017), and Moselo (pivot 2018).

For the record, these tips are not sorted by the sequence of steps.

Communication with stakeholders

All agreed that startups must communicate with stakeholders if they want to do a pivot. Indeed, the most important ones are the investors and the company team.

Kata.ai’s Co-founder and CEO, Irzan Raditya said communication is important to provide understanding and awareness for investors and teams. There should even be a break between making plans and starting pivoting employees.

“Do the right communication, especially investors to make sure you get the support from the shareholders to support and give a clear understanding of why you pivot,” Irzan said.

As for Moselo’s CEO Richard Fang, startups should avoid one-way communication about the reasons and goals of the pivot. That is, every employee has the right to express their perspectives and concerns about this pivot.

A clear and sustainable business model

Making a business transition is a major step that requires full commitment from both the organization and other stakeholders.

Also, for Irzan, before meeting investors, startups should ideally have a clear and sustainable business plan to ensure this new business model can survive in the future.

“First, we have to research before meeting investors. [After that], we were assisted by one of our investors to work on the direction. We must emphasized that when meeting investors, the plan should be clear and have the option of going where to pivot,”  he added.

As an example, Kata.ai, which was previously named Yesboss in 2015, offers a personal virtual assistant service with the concept of conversational commerce. In its journey, this business model is considered less scalable and has a wide impact.

Thus, the company pivot and the following year by becoming an Artificial Intelligence (AI) enabler focused on Natural Language Processing (NLP) technology.

Product-market fit is fundamental

The most common reason we’ll ancounter while interviewing pivoted startups is: products and services are not developing, or the traction grow slowly.

Above are some valuable lessons for Akseleran that product-market-fit is a very fundamental point for the survival of startup businesses.

Akseleran started its business as a solution to channeling loans to SMEs in the form of equity participation. After six months of release, Akseleran decided to pivot into P2P lending because of the slow distribution. After the pivot, Akseleran focus on the same target market, SMEs.

Akseleran’s co-founder and CEO Ivan Nikolas Tambunan revealed that the Indonesian market is quite receptive to equity-based funding. With the slow distribution, it makes Akseleran products less scalable and considered not market-fit.

Ivan also added, when the developed product has not been validated in the market when running the pivot process, startups should refrain from adding new human resources.

“At first, we have to give full information about the product roadmap and the business model. Therefore, they understand the changes. Well, to facilitate motivation and stay in one direction, it’s good for [the team] to start small,” he said.

Focus on the target market, not feature

Another point that should be noted for anyone who is building a startup is how important it is to focus on what the market needs, not what the company wants.

No matter how cool or sophisticated a product or service is, it will be useless if consumers are reluctant to use it.

This was experienced by Moselo who was originally a startup commerce chat provider for creative products. Richard Fang believes that this is often the case with startups who are just starting out.

He admitted that initially, his team was too focused on developing features, then forget the target market. When making a pivot into a marketplace that offers creative products, the company finally begins to focus on recognizing the right target market.

In addition, he said, the pivot that took time from August-December 2018 will actually make the company more relevant to consumers and businesses can be profitable.

“So what we did [during the pivot] was to sharpen Moselo’s target audience. We look for solutions that are appropriate from our data collection. Also, recognize the pain-points of the target because this can be a source of income for the business,” Richard added.

Measuring the limit of pivot success

Don’t ask how many startups failed to pivot. Lots.

Now, as startups, it is very important to know the extent of our limits to ensure that the pivots are run successfully or vice versa.

As we interviewed the three startups, each has its own parameter to measure the pivot success. Generally, it is the number of users or Gross Merchandise Value / Volume (GMV).

In terms of Kata.ai, Irzan mentioned after the pivot in 2016, the company has experienced business growth of three to five times, even already obtained profits in 2019. In addition, Kata.ai also has corporate customers from large-scale companies.

“Speaking of startups, talk of surviving. We have data and see which parameters can be improved. As an AI conversational startup, we look up to user engagement. Previously, we only have tens of thousands, now millions of users. Revenues also increased,” he said.

While Moselo pivots to get significant traction. Therefore, the number of transactions, the number of customers, and GMV will be the main parameters.

“Since the pivot, we have raised 320 percent GMV growth with users reaching up to 50 thousand. We continue to track the parameters in order to know whether this initiative succeeded or failed,” Richard said.

Similar to Moselo, Akseleran validates the action of this pivot with traction. Based on the company data, Akseleran can only distribute Rp2 billion funding while it was still an equity-based loan platform.

“In order to have a product-market fit, we validate it with traction. After turning into P2P lending, we have distributed more than Rp1 billion in the first month. Then it increased to Rp30 billion in six months. This validates whether the pivot is working or not.” Ivan added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian 

5 Strategi Memulai Pivot Startup Ala Akseleran, Moselo, dan Kata.ai

Membangun startup bukan sekadar perkara menciptakan traction dan mendulang pengguna sebanyak-banyaknya. Startup sejatinya kental dengan kultur bertahan lewat konsep “fail fast, learn fast”.

Lalu, apa jadinya kalau bisnis startup yang Anda kembangkan tidak kunjung mendapatkan traction yang diharapkan? Salah satu jawabannya adalah pivot.

Mengubah model bisnis, bertransisi ke layanan berbeda, atau disebut pivot bukan lagi cara baru dalam industri startup. Beberapa startup di Indonesia sudah melakukan ini, mulai dari pivot 100 persen dengan mengganti brand perusahaan dan platform sampai mengubah jenis layanannya.

Saat Anda memutuskan untuk pivot, banyak pertanyaan yang akan muncul. Dimulai dari apa saja yang perlu dipersiapkan, hal-hal yang perlu dihindari, hingga bagaimana mengawalinya.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, DailySocial merangkum berbagai tips dan strategi untuk pivot berdasarkan hasil wawancara kami dengan Kata.ai (pivot 2016), Akseleran (pivot 2017), dan Moselo (pivot 2018).

Sebagai catatan, tips ini tidak disusun berdasarkan urutan langkah yang harus dilakukan pertama kali.

Berkomunikasi dengan stakeholder

Semua sepakat bahwa startup wajib berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan apabila ingin melakukan pivot. Tentu yang utama adalah para investor dan tim di perusahaan.

Menurut Co-founder dan CEO Kata.ai Irzan Raditya, komunikasi menjadi penting untuk memberikan pemahaman dan kesiapan terhadap investor dan tim. Bahkan sebaiknya ada waktu jeda antara membuat rencana dan memulai pivot kepada karyawan.

“Do the right communication, terutama investor to make sure you get the support from the shareholder to support and give clear understanding why you pivot,” papar Irzan.

Sementara bagi CEO Moselo Richard Fang, sebaiknya startup menghindari komunikasi satu arah tentang alasan dan tujuan pivot. Artinya, setiap karyawan berhak untuk menyampaikan perspektif dan concern mereka terhadap pivot ini.

Rencana bisnis yang jelas dan berkelanjutan

Melakukan transisi bisnis merupakan langkah besar yang sangat membutuhkan komitmen penuh, baik dari organisasi maupun pemangku kepentingan lainnya.

Kembali lagi, bagi Irzan, sebelum bertemu investor, startup idealnya merencanakan bisnis secara jelas dan berkelanjutan untuk memastikan model bisnis baru ini dapat bertahan di masa depan.

“Kami riset dulu sebelum bertemu investor. [Setelah itu], kami justru dibantu oleh salah satu investor kami untuk menggarap arah strateginya. Perlu ditekankan bahwa ketika bertemu investor, rencana yang kami miliki harus clear dan punya opsi mau pivot ke mana,” ungkap Irzan.

Sebagai gambaran, Kata.ai yang sebelumnya bernama Yesboss di 2015, menawarkan layanan asisten virtual pribadi dengan konsep conversational commerce. Dalam perjalanannya, model bisnis ini dinilai kurang scalable dan memberikan impact luas.

Maka itu, perusahaan kemudian memanuver bisnisnya di tahun berikutnya dengan menjadi enabler Artificial Intelligence (AI) yang fokus pada teknologi Natural Language Processing (NLP).

Product-market fit menjadi fundamental

Alasan yang paling sering kami temui kala mewawancarai startup yang pivot: produk dan layanan tidak berkembang, atau pertumbuhan traction-nya lambat.

Hal di atas menjadi pelajaran berharga bagi Akseleran bahwa product-market-fit merupakan poin yang sangat fundamental terhadap kelangsungan bisnis startup.

Akseleran memulai bisnisnya sebagai solusi penyalur pinjaman ke UKM dalam bentuk penyertaan ekuitas. Setelah enam bulan dirilis, Akseleran memutuskan pivot menjadi P2P lending karena lambatnya pertumbuhan penyaluran pinjaman. Setelah pivot, Akseleran tetap bertahan pada target pasar yang sama, yaitu UKM.

Co-founder dan CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengungkap bahwa ternyata pasar Indonesia reseptif terhadap pendanaan berbasis ekuitas. Dengan lambatnya penyaluran pinjaman di awal, ini membuat produk Akseleran menjadi kurang scalable dan tidak market-fit.

Ivan juga menambahkan, apabila produk yang dikembangkan belum tervalidasi di pasar saat menjalankan proses pivot, sebaiknya startup menahan diri untuk tidak menambah SDM baru.

“Sejak awal, kita harus kasih informasi penuh tentang roadmap produk dan model bisnisnya. Jadi mereka paham akan perubahan yang dilakukan. Nah, untuk memudahkan motivasi dan supaya tetap satu arah, baiknya [timnya] start small saja,” tuturnya.

Fokus pada target pasar, bukan fitur

Poin lain yang patut menjadi catatan bagi siapapun yang sedang membangun startup adalah betapa pentingnya fokus terhadap apa yang dibutuhkan pasar, bukan apa yang diinginkan perusahaan.

Tak peduli seberapa keren atau canggihnya sebuah produk atau layanan, hal tersebut akan percuma jika konsumen enggan menggunakannya.

Pengalaman ini dialami oleh Moselo yang awalnya merupakan startup penyedia chat commerce untuk produk kreatif. Richard Fang menilai hal ini umumnya acapkali terjadi pada startup-startup yang baru merintis.

Ia mengaku bahwa awalnya pihaknya terlalu fokus pada pengembangan fitur sehingga melupakan target yang ingin dituju. Ketika ingin pivot menjadi marketplace yang menawarkan produk kreatif, perusahaan akhirnya mulai fokus untuk mengenali target pasar lebih dalam.

Di samping itu, ujarnya, pivot yang dilakukan sejak Agustus-Desember 2018 ini justru akan membuat perusahaan menjadi lebih relevan terhadap konsumen dan bisnis dapat profitable.

“Maka yang kami lakukan [saat pivot] adalah mempertajam target audience Moselo. Dari data yang kami himpun, kami mencari solusi yang sesuai buat mereka. Kenali juga pain-point dari target karena ini dapat menjadi sumber pendapatan bagi bisnis,” ungkap Richard.

Mengukur batasan keberhasilan pivot

Jangan tanya berapa banyak startup yang gagal melakukan pivot. Banyak.

Nah, sebagai pelaku startup, penting sekali mengetahui sampai mana batasan kita untuk memastikan bahwa pivot yang dijalankan berhasil atau sebaliknya.

Dari wawancara kami dengan ketiga startup di atas, masing-masing mengandalkan parameter untuk mengukur keberhasilan pivot ini. Umumnya yang menjadi parameter adalah jumlah pengguna atau Gross Merchandise Value/Volume (GMV).

Untuk Kata.ai, Irzan mengungkap bahwa pasca pivot di 2016 lalu, perusahaan telah mengalami pertumbuhan bisnis tiga hingga lima kali lipat, bahkan sudah mengantongi untung di 2019. Selain itu, Kata.ai juga telah memiliki pelanggan korporasi dari perusahaan berskala besar.

”Bicara startup, bicara surviving. Kami punya data dan lihat parameter apa yang bisa ditingkatkan. Sebagai startup conversational AI, kami lihat engagement user-nya. Dulu cuma puluhan ribu pengguna, sekarang jutaan. Pendapatan juga naik,” ungkapnya.

Sementara Moselo sejak awal melakukan pivot untuk mendapatkan traction yang signifikan. Maka itu, jumlah transaksi, jumlah pelanggan, dan GMV akan menjadi paratemer utama.

“Sejak pivot, kami telah mengantongi pertumbuhan GMV sebesar 320 persen dengan jumlah pengguna mencapai 50 ribu. Kami terus track parameternya agar tahu apakah inisiatif ini berhasil atau gagal,” ujar Richard.

Senada dengan Moselo, Akseleran memvalidasi aksi pivot ini dengan traction. Berdasarkan data perusahaan, Akseleran hanya mampu menyalurkan Rp2 miliar pendanaan saat masih menjadi platform pinjaman berbasis ekuitas.

“Agar punya product-market fit, kami memvalidasinya dengan traction. Setelah berubah menjadi P2P lending, kami menyalurkan lebih dari Rp1 miliar di bulan pertama. Kemudian meningkat menjadi Rp30 miliar dalam enam bulan. Ini memvalidasi apakah pivot berjalan baik atau tidak.” Kata Ivan.

Cerita Chatbot di Indonesia

Lima tahun terakhir teknologi chatbot mencuri banyak perhatian. Tak heran jika akhirnya banyak perusahaan beramai-ramai mengimplementasi chatbot mereka sendiri lengkap dengan nama yang keren dan terkesan ramah. Namun banyak chatbot yang masih terkesan kaku, dan butuh banyak “latihan”. Terlebih chatbot yang ditempatkan pada posisi customer service.

Chatbot bekerja dengan cara menganalisis kata yang dikirimkan pengguna melalui kanal pesan. Kemudian kata-kata yang dikirimkan dan dicocokkan dengan sistem yang ada untuk kemudian memberikan respon yang sudah ditentukan.

Dalam beberapa kasus banyak chatbot yang tidak bisa mengenali kalimat yang dimaksud, hal ini terjadi karena kalimat tidak menggunakan bahasa/kata yang terdaftar dari sistem atau perbendaharaan kata di sistem tidak lengkap.

Chatbot bisa jadi solusi alternatif pengganti UI/UX. Alih-alih melakukan tap atau menghafal langkah untuk mencari sebuah info di aplikasi ataupun website, pengguna tinggal menuliskan apa yang mereka cari di platform percakapan. Chatbot dengan “ramah” akan mencarikan informasi yang dimaksud. Dalam kasus ini chatbot bisa menuntun pengguna jika tidak mendapati maksud dari kalimat yang diberikan.

Namun, untuk kasus customer service, chatbot harus bekerja “lebih keras dan ramah”. Pasalnya tidak semua pengguna puas dengan jawab template atau informasi umum. Bisa jadi pengguna yang menghubungi adalah mereka yang menunggu mengapa ada gangguan di akun mereka atau transaksi yang tak kunjung rampung.

Seringkali komplain tidak dituliskan dengan kalimat yang lengkap dan runtut. Bahkan lebih sering ditulis dengan menggebu dan emosi sehingga kadang kalimat bisa jadi tidak runtut. Selain harus memahami, chatbot harus juga dilatih untuk bisa lebih sopan. Jadi, kendala terbesarnya ada pada pemahaman bahasa dan database solusi yang disediakan.

Jika chatbot dilengkapi dengan mesin pembelajar yang memungkinkan chatbot bisa dilatih maka banyak chatbot di Indonesia masih butuh banyak dilatih untuk bisa memahami lebih banyak pilihan kata, susunan kalimat, dan yang paling penting database solusi.  Itu mengapa banyak chatbot di posisi customer service masih sering didampingi agen pelayanan pengguna demi tetap memberikan sentuhan manusia.

Berbagai macam inovasi chatbot di Indonesia

Di Indonesia perusahaan teknologi yang bergerak di bidang chatbot dan AI tidak banyak. Dua nama yang konsisten dalam pengembangan bisnis dan inovasi adalah Kata.ai dan Botika. Keduanya saling susul dalam hal inovasi.

Kata.ai yang digawangi Irzan Raditya mulai memperkenalkan Kata Platform Conversational. Sebuah platform yang didesain untuk memberikan solusi lengkap bagi pengguna Kata.ai. Di dalamnya ada berabgai macam fitur, di antaranya Kata Omnichat, Kata Assist, Kata Voice, dan beberapa fitur lainnya.

Kata.ai mulai merajut asa untuk menjadi “super app” dalam hal chatbot dan AI dengan mulai menawarkan beragam solusi. Di tahun 2020 sinergi dan kemitraan diharapkan bisa memperkuat Kata.ai dan solusi yang dibangunnya.

“Kami percaya kolaborasi dengan penyedia jasa dan platform lain adalah kunci strategi pertumbuhan kami, seperti halnya yang sudah kami lakukan di dua tahun terakhir dengan tech startup lainnya, seperti Qiscus dan Halosis, ataupun juga mitra system integrator seperti Accenture, Medlinx, Sprint, Telkom Infomedia, dan lain-lainnya. Kami sangat terbuka dalam menyambut lebih banyak lagi sinergi dan kemitraan yang bisa dihasilkan di tahun 2020,” terang Irzan beberapa waktu lalu.

Botika juga melakukan hal yang sama, inovasi. Ada dua layanan baru dari Botika, yakni Voicebot dan Omnibotika. Voicebot merupakan asisten virtual yang bisa diperintah melalui pesan suara, sedangkan Ominbotika merupakan dashboard yang mampu mengontrol berbagai macam saluran komunikasi mulai dari WhatsApp, Line, Telegram, WeChat, email, hingga telepon.

Di tahun 2019 kemarin, kurang lebih ada 20 juta lalu lintas pesan yang melalui sistem Botika. Lebih dari 1500 download untuk aplikasi Chatbotika untuk online shop dan menangani lebih dari 2000 perusahaan sebagi klien. CEO Ditto Anindita Botika menyebutkan di tahun 2020 ini pihaknya akan mengembangkan kemampuan Voicebot dan menambah jumlah saluran komunikasi untuk dintegrasikan dengan sistem Botika.

“Botika melakukan konsorsium dengan beberapa perusahaan dan membuat Smart Speaker yaitu Widyawicara direncanakan akan diluncurkan tahun 2020 ini. Melalui anak perusahaan kami, ARSA technology, kami melakukan inovasi AI Chip, yang memungkinkan komputasi machine learning bisa dilakukan pada sisi hardware IOT secara mandiri [edge computing]. Ini akan menaikan kecepatan proses komputasi dan menurunkan beban server,” terang Ditto.

Tugas berat chatbot memuaskan pelanggan Indonesia

Meski sudah banyak diimplementasi di Indonesia, nyatanya chatbot masih punya banyak pekerjaan rumah, terutama terkait pemahaman pesan yang terkendala bahasa di Indonesia yang beragam dan kemampuan AI di dalamnya menyediakan solusi yang sesuai–tidak hanya memberikan tautan artikel FAQ.

Kendati merupakan salah satu teknologi canggih, chatbot menyimpan peluang untuk gagal. Terlebih jika data-data yang digunakan sebagai “latihan” kurang atau tidak akurat, tidak bisa memahami percakapan dengan baik, dan yang tak kalah pentingnya, melindungi data pribadi.

Meski bukan sesuatu yang baru, chatbot masih menyimpan pontensi untuk berkembang. Tugas utama chatbot adalah memuaskan pelanggan dengan membuat dirinya seolah-olah manusia sebenarnya.

Kata.ai Kenalkan “Suites” Berisi Platform AI dan NLP Terintegrasi untuk Berbagai Kebutuhan

Dengan layanan yang terus bertambah, platform AI dan NLP untuk pengembangan chatbot Kata.ai kenalkan Kata Platform Conversational Suites. Yakni satu bundel layanan terpadu di dalamnya terdapat beberapa produk yang terbagi dalam tiga segmen berjuluk Core Platform, Customer Service Platform, dan Marketing Platform.

Co-founder & CEO Kata.ai Irzan Raditya menjelaskan bahwa suites ini merupakan wujud “super app” dari Kata.ai untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan layanan pesan otomatis untuk pelanggan.

“Semua berawal ketika kami memperkenalkan Kata Platform di penghujung tahun 2017 dalam bentuk IDE (Integrated Development Environment) dengan tujuan memudahkan developer mengembangkan asisten virtual dengan kapabilitas NLU (Natural Language Understanding) Bahasa Indonesia dan juga terhubung dengan aplikasi seperti LINE, WhatsApp, Facebook Messenger, dan Telegram,” cerita Irzan.

Ia melanjutkan, seiring berjalannya waktu pelanggan bisnis semakin bertambah dan Kata.ai semakin banyak mendapat masukan, seperti kebutuhan untuk divisi pemasaran yang akhirnya melahirkan Kata CMS dan Kata Boost.

Kata.ai Layanan WhatsApp 2

Kata Platform Conversational Suites

Kata.ai kini menyediakan beberapa jenis solusi yang lahir dari masukan rekan penggunanya. Di segmen pertama ada Core Platform, sebuah platform as services yang berbentuk IDE (Integrated Development Environment) berserta Natural Language API dan BOT API.

Di dalamnya ada Kata Flow, asisten virtual yang dikembangkan khusus untuk korporasi. Ada juga Kata NL, platform untuk mengembangkan model natural language dan mengolah insight dari data percakapan. Fitur baru yang ditambahkan di dalam Kata NL adalah Kata Generator, memungkinkan pengguna membuat, memberi label, dan melakukan training untuk dataset natural language.

Di kategori selanjutnya ada Customer Service Platform. Di segmen ini ada Kata Omnichat, sebuah dasbor yang menggabungkan pengelolaan proses customer service oleh agen manusia dan asisten virtual ke dalam satu workflow. Dukungan integrasinya meliputi WhatsApp, Line, Facebook Messenger, Telegram, Web, dan App Chat.

Ada juga Kata Assist, sebuah aplikasi mini yang membantu agen customer service melayani pelanggan dengan bantuan AI yang mampu memberikan rekomendasi jawaban dari pelanggan dan belajar dari respons yang diberikan para agen.

“Saat ini Kata Assis baru terhubung dengan Zendesk, ke depannya akan terhubung juga dengan CRM populer lainnya, seperti Salesforce, Freshdesk, dan Microsoft Dynamics,” jelas Irzan.

Kemudian, yang terakhir untuk segmen customer service platform ada Kata Voice, platform untuk mengembangkan asisten virtual interaktif berbasis suara dengan teknologi Automated Speech Recognition, Text to Speech, dan Call Center Analytics.

Di kategori terakhir ada Marketing Platform. Meliputi Kata Boost, platform untuk mengelola kampanye pemasaran dalam aplikasi pesan; Kata CMS, dasbor yang memudahkan pengguna non-teknis mengelola dan mengorganisasi konten dalam asisten virtual yang dikembangkan melalui Kata Flow dan Kata NL; Kata Business Dashboard, sebuah dasbor untuk mengelola dan mengautomasi percakapan di dalam saluran WhatsApp, mulai dari registrasi WhatsApp Business API hingga memproses Template Message.

Co-Founders Kata.ai Meluncurkan Kata Bot Platform

Kata.ai selanjutnya

Inovasi dari Kata.ai tampaknya tidak akan berhenti di sini. Irzan menceritakan, di tahun 2019 mereka menghadapi tantangan dengan kebutuhan-kebutuhan pasar yang akhirnya dijawab dengan sederet inovasi. Dalam menatap tahun 2020, Kata.ai tengah fokus untuk memperkuat produk-produk yang ada di Suites dan terus mendorong pertumbuhan pelanggan.

“Kami percaya kolaborasi dengan penyedia jasa dan platform lain adalah kunci strategi pertumbuhan kami, seperti halnya yang sudah kami lakukan di dua tahun terakhir dengan tech startup lainnya, seperti Qiscus dan Halosis, ataupun juga mitra system integrator seperti Accenture, Medlinx, Sprint, Telkom Infomedia, dan lain-lainnya. Kami sangat terbuka dalam menyambut lebih banyak lagi sinergi dan kemitraan yang bisa dihasilkan di tahun 2020,” tutup Irzan.

Kata.ai Introduces New Features, to Facilitate Developers Creating AI Based Services

Kata.ai secures its position as an integrated artificial intelligence (AI) platform in the INTERACT 2019. It’s followed by the launching of some new features.

They have ten AI based features and NLP (Natural Language Processing) to launch. There are Kata Flow (a platform to create corporate-rate virtual assistant), Kata NL (a platform to create Natural Language model and )manage insights from conversations), Kata CMS (a platform to create a dashboard to manage and organize chatbot content).

In addition, there are Kata Generator (a platform to create and train Natural Language dataset), Kata Boost (a platform to create and manage marketing campaign in chatbot), Kata Voice (a voice-based virtual assistant), Kata Omnichat (a dashboard to manage customer service), Kata Assist (a feature to support fast-response from customer service), Kata WhatsApp Dashboard (dashboard to manage and automate WhatsApp chats), and Katalog (a feature to find and utilize the developer’s result on Kata Platform).

“Some feature is done [deploy]. Those are Kata Flow, Kata NL, next week we have Omnichat, and Kata Voice for next year,” Kata.ai’s Co-Founder & CEO, Irzan Raditya said.

Some features were made to facilitate engineers and developers to build their own products. In his speech on INTERACT, Raditya said the company is to contribute more as an enabler to accelerate new AI-based solutions in Indonesia.

“As our future vision, we want to be an integrated all-in-one AI platform to answer all problems in Indonesia and Southeast Asia. In fact, our focus is still to develop the best AI conversation in Indonesia,” he added.

One of the features he shows off to the media is Kata Voice. To put it simply, Kata Voice is an AI Bot that capable to answer customer’s questions through the phone. This feature is projected to reduce the load of call center service in a company.

Kata.ai mentioned four sectors that will benefit from their features. Those are social commerce, financial services, health services, and education.

Some of Kata.ai new features are free to access in a limited section. Some are using the subscription system.

In addition to the new features, Kata.ai also announced its first hackathon result named KataHack. They also plan to make this event annual to help developers create AI-based solutions.

“Furthermore, the app is to be available in the Katalog. It’s like App Store or Play Store for the app to be used or for trial by all Indonesians. Whether there will be collaborations or other plans are not scheduled, but we want to develop an ecosystem for Indonesian developers,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kata.ai Luncurkan Sejumlah Fitur Baru, Mudahkan Pengembang Kreasikan Layanan Berbasis AI

Kata.ai mempertegas posisinya sebagai platform kecerdasan buatan terintegrasi dalam ajang INTERACT 2019. Penegasan itu diiringi dengan peluncuran sejumlah fitur baru.

Total ada sepuluh fitur berbasis Artificial Intelligence (AI) dan Natural Language Processing (NLP) yang diperkenalkan. Di antaranya ada Kata Flow (platform pengembangan asisten virtual dengan kualitas korporasi), Kata NL (platform pengembangan model Natural Language dan mengolah insight dari data percakapan), Kata CMS (platform pengembangan dasbor untuk mengelola dan mengorganisasi konten chatbot).

Selain itu ada juga Kata Generator (platform untuk membuat dan melatih dataset Natural Language), Kata Boost (platform mengelola kampanye pemasaran dalam chatbot), Kata Voice (platform asisten virtual berbasis suara), Kata Omnichat (dasbor untuk mengelola proses layanan pelanggan), Kata Assist (fitur untuk membantu agen layanan pelanggan menjawab lebih cepat), Kata WhatsApp Dashboard (dasbor untuk mengelola dan mengotomatisasi percakapan dalam WhatsApp), dan Katalog (fitur untuk mencari dan memanfaatkan hasil pengembangan developer dalam Kata Platform).

“Sebagian sudah [deploy]. Yang sudah itu Kata Flow, Kata NL, minggu depan ada Omnichat, Kata Voice di tahun depan,” ujar Co-Founder & CEO Kata.ai Irzan Raditya.

Sejumlah fitur tersebut dibuat untuk memudahkan para engineer dan developer membangun produknya sendiri. Dalam sambutannya di INTERACT, Irzan mengatakan pihaknya ingin berperan lebih sebagai enabler untuk mendorong solusi baru berbasis AI di Indonesia.

“Kalau visi ke depannya kita ingin menjadi integrated all in one AI platform yang menjawab permasalahan di Indonesia dan Asia Tenggara. Tapi fokus kami di sini masih mengembangkan conversation AI yang paling kuat di Indonesia,” ucap Irzan.

Salah satu fitur yang dipamerkan Irzan kepada pewarta adalah Kata Voice. Sederhananya, Kata Voice ini adalah AI Bot yang dapat menjawab pertanyaan pengguna via telepon. Fitur ini diproyeksikan dapat mengurangi beban layanan call center suatu perusahaan.

Ada empat sektor industri yang menurut Kata.ai akan semakin terbantu dengan fitur-fitur mereka. Keempatnya adalah social commerce, layanan finansial, layanan kesehatan, dan edukasi.

Beberapa fitur baru Kata.ai itu dapat diakses secara gratis secara terbatas. Beberapa lainnya memakai sistem berlangganan.

Di samping pengenalan fitur baru, Kata.ai juga mengumumkan hasil perlombaan hackathon pertama bernama KataHack mereka. Kata.ai berencana menjadikan KataHack ini sebagai agenda rutin setiap tahun untuk membantu developer menciptakan solusi berbasis AI.

“Ke depan aplikasi mereka ini bisa diakses di dalam Katalog. Itu seperti App Store atau Play Store agar aplikasi itu bisa dipakai atau dicoba oleh seluruh masyarakat Indonesia. Apakah nanti akan ada kolaborasi atau hal lain kita belum tentukan tapi kita ingin mengembangkan ekosistem developer di Indonesia,” pungkas Irzan.