Jakarta Named on the List of Cities with Most Competitive Startup Ecosystem

Indonesia’s Communication and Creative Industry People (MIKTI) with Indonesia’s Creative Economy Agency (Bekraf) stated a total of 1,019 startups made in Indonesia by 2018. Both institutions said Jakarta named into the list of cities with the competitive startup ecosystem in global.

Based on Genome’s Global Startup Ecosystem Report 2019, Jakarta-based startups labeled as “Late-Globalization Phase”, along with 8 other top-tier cities, such as Sydney, Paris, San Diego, and Sao Paulo. This category is only a row under the top startup ecosystem mostly placed in cities as Silicon Valley, New York, Beijing, Singapore, and London.

There are reasons why Genome put Jakarta on the list. One is for the government’s regulation of creating specific acceleration board for stock exchange for startup by Indonesia’s Stock Exchange (IDX) and the rise of incubator and accelerator program in Jakarta.

Head of MIKTI, Joddy Hernady said that this is Indonesia’s first time to include in improving global startup ecosystem. It should brief them of Indonesia’s position on the global map of the digital startup.

“That is why MIKTI provides our data to Genome and meet the current position,” he said.

MIKTI data shows the 529 startups based in Jabodetabek. It makes 52% of the whole country.

Several factors would create a better startup ecosystem in Jakarta. As Joddy speaks one of it is to enter the global market. His observation eyes very lack Indonesian-based startups to make it into the global market besides Gojek.

“We aim for more. The overseas exit is good, IPO cross-country is fine. That is the thing, for our startups to spread,” he added.

Talents are centralized in Jakarta

Bekraf’s Deputy of Infrastructure, Hari Santosa Sungkari explained the rich ecosystem of digital startups in Jakarta can’t be separated from universities in Jabodetabek.

The high concentration of universities around Jakarta has taken the wheel of the startup ecosystem.

“There are 389 universities and some incubators in Jabodetabek. Specifically placed from Jakarta to the west through BSD, there are some in Depok, but mostly in West Jakarta,” he said.

From the current situation, plans have made to build-up the digital startup ecosystem in Bandung, Yogyakarta, and Makassar. Joddy said those cities are as potential as Jakarta for many high-quality universities to drive the ecosystem.

MIKTI’s data says Yogyakarta and Bandung are two cities with most startup population after Jakarta. Such finest technology universities are everywhere as each benchmark.

In order for the ecosystem to not only grow in those three areas, MIKTI is to open online training for an easy way to monitor startup development throughout Indonesia.

“We are making the curriculum, there will be special courses for talent development and the business startup. The incubation will be online and we’re on development,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Jakarta Masuk Daftar Kota dengan Ekosistem Startup Paling Potensial

Masyarakat Industri Kreatif dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) dan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf) mengemukakan jumlah startup di Indonesia mencapai 1.019 buah pada 2018. Kedua instansi itu mengumumkan bahwa Jakarta masuk ke dalam jajaran kota dengan ekosistem startup yang bersaing secara global.

Berdasarkan Global Startup Ecosystem Report 2019 dari Startup Genome, ekosistem startup di Jakarta dilabeli ‘Late-Globalization Phase’, bersanding dengan 8 kota besar lain seperti Sydney, Paris, San Diego, Sao Paulo. Kategori yang disematkan kepada Jakarta itu hanya satu strip di bawah kategori ekosistem terbaik yang dihuni kota-kota seperti Silicon Valley, New York, Beijing, Singapura, dan London.

Ada beberapa alasan Genome memasukkan nama Jakarta ke dalam daftar tersebut. Contohnya adalah relaksasi peraturan dari pemerintah seperti pembentukan papan akselerasi tempat jual beli saham khusus startup oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dan keberadaan inkubator serta akselerator yang sudah cukup mapan di Jakarta.

Ketua Umum MIKTI Joddy Hernady mengatakan ini pertama kalinya Indonesia ikut serta dalam pemeringkatan ekosistem startup global. Pemeringkatan ini membantu mereka memahami posisi Indonesia dalam peta startup digital global.

“Makanya MIKTI memberikan data-data kita ke Genome dan ketemulah posisi ini yang sekarang,” ujar Joddy.

Data MIKTI menunjukkan 529 startup bermukim di Jabodetabek. Ini berarti hampir 52 persen dari totak startup seantero negeri.

Ada sejumlah faktor agar ekosistem startup di Jakarta bisa lebih baik. Joddy menyebut salah satunya adalah akses ke pasar global. Menurutnya masih sangat sedikit startup digital asal Indonesia yang sanggup menembus pasar luar negeri selain Gojek.

“Kita berharap yang seperti itu lebih banyak. Exit-nya bisa di luar, IPO bisa di luar. Itu yang disebut paling top, startup kita bisa ke mana saja,” sambung Joddy.

Talenta Masih Terpusat di Jakarta

Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Santosa Sungkari menjelaskan suburnya ekosistem startup digital di Jakarta salah satunya tak lepas dari banyaknya perguruan tinggi di Jabodetabek.

Konsentrasi perguruan tinggi yang padat di sekitar Jakarta dinilai menggerakkan roda ekosistem startup.

“Ada 389 universitas di Jabodetabek dan beberapa inkubator ada di sana. Kalau mau spesifik Jakarta ke barat lalu BSD itu yang paling banyak walaupun ada juga di Depok, tapi yang paling banyak di Jakarta Barat,” tutur Hari.

Berkaca dari keadaan tersebut, ada rencana memperkuat ekosistem startup digital di Bandung, Yogyakarta, dan Makassar. Joddy menyebut ketiga kota itu punya potensi seperti Jakarta karena memiliki perguruan tinggi berkualitas yang dapat memotori ekosistem.

Dari data MIKTI, Yogyakarta dan Bandung merupakan dua kota yang memiliki jumlah startup terbesar setelah Jakarta. Keberadaan kampus-kampus teknik ternama bisa jadi tolok ukur potensi kedua kota itu.

Agar ekosistem tak berkembang hanya di tiga kota besar tadi, MIKTI berniat membuka pelatihan online untuk memudahkan geliat startup di seluruh kota di Indonesia.

“Kita lagi bikin kurikulumnya, akan ada course untuk pengembangan bakat dan startup itu sendiri. Jadi inkubasinya lewat online dan kita lagi bikin platform itu,” pungkas Joddy.

Telkom Rilis Brand “Oolean”, Seriusi Pengembangan Ekosistem Game Lokal

Telkom merilis brand Oolean dalam rangka mengembangkan industri game lokal agar dapat bersaing di negeri sendiri, sekaligus bentuk manuver perseroan agar terus melaju di industri digital. Inisiasi ini diumumkan saat ajang konferensi tahunan Telkom Digisummit 2019 yang digelar kemarin, (11/4).

EVP Digital & Next Business Telkom Joddy Hernady mengatakan, keputusan ini diambil dengan melihat kondisi rendahnya penetrasi pangsa industri game lokal di Indonesia. Menurut data yang dikutip, pangsa pasar perusahaan game lokal hanya 19%, sementara pengembang game lokal 0,4% saja. Sisanya dikuasai pemain asing.

Padahal, berbicara potensi, Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan pasar game tertinggi di Asia Tenggara, yang mencapai 37,3%. Angka ini mengalahkan Thailand 30,9%, Vietnam 29,2%, dan Malaysia 27%. Ditambah pula, lifetime revenue-nya lebih tinggi dari film dan musik.

Sebagai contoh, grup bank Peterpan (kini Noah) disebut memiliki revenue US$10 juta, sedangkan film Warkop Reborn US$17 juta. Sementara game Mobile Legend menembus angka US$120 juta.

“Pengembang game kita tidak akan bisa bersaing dan pangsa pasarnya lambat laun pasti terus turun. Kami memutuskan untuk berinvestasi di sini, dibantu Agate dan Melon,” terang Joddy.

Oolean diambil dari kata “ulin” yang berasal dari Bahasa Sunda yang artinya main.

Jumlah investasi untuk industri game lokal sangat minim yang berdampak pada kurang tumbuhnya perusahaan lokal. Kekurangan talenta pun turut memperparah kondisi. Berangkat dari isu tersebut membuat perseroan berinvestasi cukup besar untuk menghidupi ekosistem game lokal.

Mengawali kemitraan dengan perusahaan pengembang game asal Bandung, Agate, dan anak usahanya di bidang konten Melon, Telkom memulai debutnya. Meski tidak menyebut nominal pasti, Joddy menuturkan perseroan telah mengalokasikan biaya investasi untuk tiga sampai lima tahun ke depan untuk tahap awal ini.

Selain mengusung konsentrasi di industri game, Telkom juga mengumumkan inovasi teranyar untuk aplikasi video streaming Oona TV. Kini Oona TV tersedia ke dalam platform Max Stream dan Oona Indihome untuk menyasar pengguna Android TV.

Platform Oolean

Blueprint rencana Telkom lewat Oolean / DailySocial
Blueprint rencana Telkom lewat Oolean / DailySocial

Oolean menjadi platform one-stop-gaming-ecosystem, mulai dari menciptakan, mempublikasi judul-judul game, manajemen, hingga payment.

Joddy menjelaskan, Oolean sebagai user platform management, memiliki fitur user management system (user ID, password, single-sign on, social), gaming hub (news, cross promotion), analytics, dan game back end services (leaderboard, quest system, dan event management).

“Tentunya kehadiran platform ini untuk meningkatkan UX agar industri game bisa tumbuh. Ada banyak fitur di platform, dan siap ditambah. Ada open API dalam platform yang bisa langsung dipakai developer agar semakin mudah dalam menciptakan game.”

Sementara ini Oolean belum memiliki situs sendiri. Joddy mengatakan situs Oolean akan tersedia pada akhir tahun ini, setelah banyak judul game yang sudah diproduksi.

“Oolean ini inisiatif game yang membuat beberapa proyek. Lagipula, Oolean juga dijadikan brand untuk publishing karena ini bisnisnya B2B, jadi tidak langsung ke end user.”

Game yang berhasil dibuat para pengembang akan dipublikasi di GameQoo. Pada tahap awal ada 15 judul game lokal yang dapat dimainkan oleh konsumen dan 35 judul lainnya dari luar negeri.

GameQoo (dibaca: game-ku) adalah on-demand gaming platform yang merupakan rebranding dari nama sebelumnya, Emago. Emago lahir dari program inkubator Digital Amoeba yang digagas Telkom.

Dengan konsep cloud gaming, GameQoo membawa pengalaman bermain game tanpa konsol, bisa bermain di laptop atau layar televisi dengan kualitas full HD 60fps. Sepintas GameQoo mirip dengan konsep yang ditawarkan Google lewat Stadia.

Joddy tidak menampik fakta tersebut. GameQoo disebut memiliki kelebihan, karena bisa dimainkan konsol manapun. Tidak seperti Stadia yang butuh spesifikasi khusus.

“Untuk saat ini, tujuannya GameQoo buat main di rumah karena terhubung dari fixed broadband modem Indihome, sehingga ada kebutuhan orang ingin main game dengan nyaman. Ada kebutuhan latensinya harus rendah dan sebagainya, itu bisa kami sediakan.”

Untuk sementara, GameQoo dirilis secara terbatas untuk kalangan internal Telkom. Joddy memastikan pada akhir bulan ini sudah tersedia untuk publik.

Skema berlangganan bulanan yang diterapkan sebesar Rp50 ribu bagi pengguna Indihome. Jumlah game yang tersedia bakal terus ditambah, setidaknya tiga judul setiap bulannya.

Proyek game dengan Agate

Telkom juga tidak ingin luput dari pangsa pasar game yang belum terjamah dengan maksimal ini. Perseroan membuat sejumlah proyek untuk menggarap proyek judul game dari berbagai kategori, mulai dari hyper casual, casual, mid core, sampai hard core.

Game kasual yang sudah dirilis rata-rata mengandung unsur kearifan lokal, di antaranya Onet Asli, Botol Ngegas, dan Teka Teki Santai. Ketiganya sudah bisa diunduh lewat Google Play.

Kategori mid core game dijalani lewat proyek khusus bernama ATMA. Proyek ini masih sedang dikembangkan, mengambil tema pahlawan, mitos, legenda indonesia yang digabungkan dengan budaya kontemporer.

Hard core game pun juga sedang dalam proses pembuatan lewat proyek bernama Brightlands. Proyek ini dikerjakan oleh talenta lokal yang pernah bekerja di perusahaan pengembang game kelas dunia, seperti Bandai Namco, Ubisoft, Supercell, dan lainnya.

Game tersebut akan berbentuk konsol dan menjadi produk flagship karena bakal dipasarkan untuk pasar Amerika Serikat dan Eropa. Proses pengembangannya pun akan memakan waktu lama sampai tiga tahun, sekarang ini baru masuk bulan keenam.

“Kita cukup percaya diri untuk game konsol ini, prototipe-nya sudah di-showcase saat Game Developers Conference di Amerika sebulan lalu. Responsnya cukup bagus dan ada partner yang tertarik untuk kerja sama. Sekalian juga validasi pasar. Kami menawarkan visual yang sangat menarik dari alam-alam Indonesia dengan kualitas game internasional.”

Buat inkubator Indigo Game

Tidak berhenti di situ, Telkom berupaya meningkatkan kapabilitas talenta digital khusus game dengan meluncurkan program inkubator Indigo khusus game. Sebelumnya Indigo pernah membuat program untuk startup pengembang game, namun belum bisa berkembang dengan baik karena ketiadaan ekosistem.

Kali ini Telkom mempersiapkan Indigo Game dengan mentor, kurikulum khusus, dan pendanaan dengan nominal yang sama dengan program Indigo seperti biasa. Program juga akan berlangsung selama enam sampai sembilan bulan tiap batch-nya. Program ini akan dibuka pada Juni 2019, menyasar sekitar 10-15 startup untuk dilatih di Bandung Digital Valley.

“Diharapkan lulusan dari Indigo ini bisa ikut menyumbangkan game hyper/kasual yang bisa dipublikasi di GameQoo untuk perbanyak konten. Jadi strateginya ada game unggulan dan game kasual yang bertugas untuk menarik orang datang. Nah dari Indigo itu akan buat game untuk tarik orang.”

Joddy menjelaskan hubungan antara Telkom dan Agate yang kuat pada awal kemitraan ini, membuka kemungkinan untuk perseroan berinvestasi ke perusahaan asal Bandung tersebut. Namun untuk saat ini keduanya berusaha untuk memosisikan diri dengan kapabilitas masing-masing dan menggabungkannya.

Kemitraan dengan Agate ini tidak bersifat eksklusif. Artinya perseroan terbuka untuk bermitra dengan perusahaan pengembang game lainnya. Joddy menyebut perseroan masih fokus pada pengembangan ekosistem game yang perlu dibantu banyak pihak.

“Kebetulan ini baru mulai. Jadinya kita pilih dengan mitra yang skala bisnisnya sudah besar makanya kita mulai bersama Agate terlebih dahulu,” pungkasnya.

Produksi Talenta Startup Berkualitas Lebih Cepat Dimulai dari Sekolah

Menarik benang merah peluncuran Database Startup Indonesia, kehadirannya diharapkan tak hanya berperan bagi penentu kebijakan di masa depan, tetapi juga dalam merancang program dan kaitannya menciptakan talenta sesuai dengan kebutuhan industri startup.

Minimnya jumlah talenta telah menjadi isu bagi industri startup di Indonesia beberapa tahun belakangan. Geliat industri startup yang semakin berkembang rupanya tak diimbangi dengan jumlah dan kualitas talenta yang ada.

Menurut Founder dan CEO HAHO Anthonius Andy Permana, ada potensi monopoli talenta dari startup-startup berstatus unicorn. Ia menilai talenta yang bekerja di sini adalah talenta yang memiliki kualitas dan sesuai kebutuhan startup.

“Mau bajak atau hire [talenta], apa harus dari Tokopedia atau Go-Jek?” tanyanya saat sesi tanya-jawab di peluncuran Database Startup Indonesia di Nusa Dua, Bali.

Menjawab hal ini, Ketua Umum Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) Joddy Hernady mengakui Indonesia saat ini masih sangat kekurangan talenta. Kalaupun ada, talenta ini dirasa belum mampu memenuhi startup yang kebutuhannya semakin kompleks.

“Riset yang kami lakukan di 2013 mengungkap seperti apa kebutuhan startup. Bukan pendanaan yang ada di urutan pertama, tetapi talenta, terutama di bidang software developer, untuk backend, frontend,” ungkap Jorry ditemui usai peluncuran Database Startup Indonesia di Nusa Dua, Bali.

Menurutnya ada kasus di mana talenta di Indonesia belum dapat menyelesaikan masalah ketika startup melakukan scale up.

“Buat software untuk 100 ribu pengguna dengan jutaan pengguna itu berbeda. Ketika scale up, mereka belum mampu mengatasi masalah itu,” tambahnya.

Sekjen MIKTI Andy Zaki juga menilai bahwa penciptaan talenta berkualitas akan lebih cepat apabila dimulai dari kebutuhan akademis di sekolah maupun perguruan tinggi.

“Suplai dan demand tidak sebanding. Harus banyak. Kualitas talenta juga harus ditingkatkan. Maka itu caranya adalah menambah talenta startup adalah lewat program belajar di sekolah, universitas, ada juga inisiasi dari pemerintah dan stakeholder terkait,” kata Andy.

MIKTI sejak beberapa tahun lalu mulai berkolaborasi dengan perguruan tinggi dalam menciptakan talenta, misalnya program D3 yang output-nya dinilai akan lebih unggul dibandingkan S1 untuk keahlian teknis.

“Database Startup Indonesia” Diresmikan, Siap Jadi Acuan Pengembangan Industri Digital

Indonesia saat ini tengah menikmati pertumbuhan industri digital yang ditandai dari menggeliatnya industri startup. Kini Indonesia tercatat telah memiliki empat startup berstatus unicorn, terbanyak kedua setelah Singapura di kawasan Asia Tenggara.

Sesuai visi Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai The Digital Energy of Asia, tak cukup hanya mengandalkan sejumlah inisiatif dari para pemangku kepentingan (stakeholder). Ada hal lain yang dapat mendukung hal tersebut, yakni melalui kehadiran database startup yang komprehensif.

Untuk itu, Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) didukung Badan Ekonomi Kreatif RI (BEKRAF) meluncurkan Database Startup Indonesia 2018 yang akan menjadi acuan pengembangan industri digital Tanah Air. Peluncuran ini sekaligus dalam rangka perhelatan World Conference on Creative Economy di Nusa Dua, Bali.

Deputi BEKRAF Hari S Sungkari menyebutkan, Database Startup Indonesia 2018 akan memetakan ragam informasi berkaitan dengan kondisi startup. Dalam hal ini, Database Startup Indonesia dapat membantu berbagai pihak, termasuk pemerintah, dalam menentukan kebijakan dan program agar lebih optimal.

Sementara Ketua Umum MIKTI Joddy Hernady menyebutkan, pengumpulan informasi dan proses verifikasi dilakukan seluruhnya oleh tim MIKTI. Verifikasi ini dilakukan untuk memastikan data tersebut valid. Setidaknya hingga saat ini, menurut Joddy, sudah ada 960 startup yang datanya telah dikumpulkan dan diverifikasi.

“Saat ini belum ada acuan [data startup] yang kredibel. Kalaupun ada, itu tidak valid. Nah yang kami lakukan adalah verifikasi seperti mengecek website dan menelepon [pemiliknya], apa masih ada atau tidak. Dengan begini, data menjadi lebih akurat,” tutur Joddy ditemui DailySocial di Nusa Dua, Bali.

Menurut Joddy, Database Startup Indonesia nantinya dapat diakses oleh publik. Saat ini, pihaknya tengah mempersiapkan platform sebagai akses yang diperkirakan meluncur pada 10 Desember mendatang.

Perumusan kebijakan dan program lebih optimal

Database Startup Indonesia akan menampilkan ragam informasi kredibel dan valid mengenai startup, mulai dari profil perusahaan, hingga pendanaan yang diterima. Joddy menyebut data tersebut akan sangat berguna bagi para stakeholder dalam merumuskan kebijakan dan program.

“Misalnya, saat ini startup paling banyak di sektor e-commerce. Nah, kami justru bisa dorong ke sektor lain yang lebih prospek, berapa pendanaan yang diperlukan. Kan e-commerce sudah banyak,” tuturnya.

Dari data terverifikasi MIKTI yang diterima DailySocial, hingga saat ini sektor e-commerce mendominasi jumlah startup di Indonesia sebanyak 353 (36,84%), diikuti 53 startup fintech (5,52%), 21 startup game (2,19%), dan 535 startup di bidang lain (55,67%).

Data lainnya mencatat sudah ada 530 startup (55,15%) yang menjadi PT, namun ada 66 startup (6,87%) masih berbadan usaha CV, 92 startup (9,57%) belum berbadan usaha, dan sisanya 272 startup (28,41%) belum diketahui badan usahanya.

Selain itu, lanjut Joddy, data ini dapat menarik lebih banyak investor untuk menyuntik modalnya di sini. Pihaknya juga berencana untuk menampilkan data penjualan startup yang selama ini masih bersifat tertutup untuk publik.

“Data penjualan kan penting sekali ya, tapi startup memang belum mau publikasi itu. Kami akan coba encourage mereka secara bertahap agar mau [menampilkan data penjualannya].”

Lebih Dekat dengan Hoobex, Marketplace Produk “Digital Entertaiment” Telkom

Telkom Indonesia merupakan perusahaan teknologi yang memiliki banyak lini bisnis. Salah satu yang sedang dikembangkan adalah Hoobex, sebuah platform yang disiapkan menjadi marketplace atau hub produk-produk hiburan, mulai dari musik hingga film. Rencananya Hoobex akan menyediakan layanan game dan travel untuk bisa menjangkau pelanggan yang lebih luas.

Hoobex sendiri sudah beroperasi sejak awal tahun 2018. Hingga sekarang status Hobeex masih dalam tahap beta release dan terus dikembangkan, baik dari segi fitur, kualitas layanan, hingga produk yang ada. Selain melalui situs resminya, Hoobex juga bisa digunakan melalui aplikasi mobile.

Dari segi bisnis, Hoobex merupakan kolaborasi antara Telkom Indonesia dengan Melon Indonesia. Ketika proses pengembangan selesai dan diluncurkan secara resmi, operasional akan dipegang Melon Indonesia.

Menyoal persaingan dengan layanan penyedia konten hiburan lainnya, pihak Hoobex menjelaskan bahwa mereka tidak khawatir. Model bisnis yang berbeda dengan penyedia konten hiburan lainnya justru membuka peluang Hoobex bekerja sama dan memperkaya konten yang ada di marketplace-nya.

Saat ini model bisnis Hoobex “menawarkan” produk digital  penyedia layanan lain. Contohnya, menawarkan film-film yang dijual di iflix, HOOQ, Catchplay dan beberapa penyedia konten hiburan lainnya. Alih-alih bersaing, justru mereka bisa merangkul penyedia konten hiburan lainnya.

“Ambisi kami di era digital ini adalah mengubah Telkom dari perusahan telco menjadi digital telco dengan cara memaksimalkan seluruh potensi kapabilitas infrastruktur, data, dan jangkauan milik Telkom untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dengan customer experience yang baik. Kami yakin bahwa kebutuhan lifestyle layanan musik dan video akan terus tumbuh dan Telkom mampu memenuhinya dengan menggandeng banyak partner penyedia OTT dan memaksimalkan kualitas customer experience,” terang SVP Media and DIgital Business Telkom Indonesia Joddy Hernady.

Sebagai salah satu layanan ISP terbesar di Indonesia, Telkom memiliki basis pengguna yang bisa menjadi pelanggan potensial Hoobex. Dalam rangka mengakuisisi lebih banyak pengguna, pihak Hoobex menawarkan paket-paket menarik untuk pelanggan Wifi ID. Tidak menutup kemungkinan pelanggan layanan Telkom lainnya akan mendapat penawaran serupa.

“Namun yang paling utama, kami ingin masyarakat mendapatkan customer experience yang mumpuni dan nyaman di dalam layanan Hoobex serta dapat menemukan value added yang kami tawarkan dengan mudah. Setelah mendapatkan pemahaman kebutuhan dan entry point market lebih jelas, kami yakin Hoobex mampu memiliki banyak pengguna yang setia,” imbuh Joddy.

Application Information Will Show Up Here

Tanamkan Modal di Cellum Hungaria, Telkom Ingin Perkuat Lini Bisnis Fintech

Mengawali tahun 2018, Telkom mengumumkan rencana strategis berupa akuisisi saham perusahaan fintech asal Hungaria bernama Cellum. Dalam siaran persnya, melalui anak usahanya, Mitranet, Telkom telah melakukan penandatanganan kerja sama strategis dan komitmen pembelian saham sebanyak 30,4%. Prosesnya pembayarannya akan dilakukan dalam dua langkah, sementara Cellum masih akan tetapkan dijalankan oleh manajamen yang sama.

Cellum sendiri merupakan perusahaan digital yang mengembangkan layanan mobile wallet. Didirikan sejak tahun 2000, produknya memungkinkan perbankan dan operator seluler untuk menghadirkan kapabilitas mobile commerce dan sistem pembayaran berbasis NFC. Beberapa studi kasus yang telah diterapkan misalnya untuk layanan pembayaran tagihan dan loyalitas pengguna.

Disampaikan Senior Vice President of Media & Digital Business Telkom Indonesia Joddy Hernady, langkah ini dilakukan untuk membantu transformasi digital  Telkom, khususnya untuk mengoptimalkan momentum fintech di Indonesia. Ditargetkan beberapa waktu mendatang Telkom akan meluncurkan sejumlah layanan fintech memanfaatkan platform yang dimiliki Cellum, khususnya untuk pelanggan korporasi.

Dalam sambutannya, CEO Cellum Global János Kóka menyampaikan bahwa masuknya Telkom ke jajaran pemegang saham menjadi langkah strategis. Investasi yang digulirkan akan turut memperkuat posisi Cellum di pasar Asia Tenggara dan memulai penetrasi di Indonesia. Di Asia, Cellum sudah memiliki kantor operasi berpusat di Singapura.