Platform Social Commerce “Super” Kantongi Pendanaan Seri B 405 Miliar Rupiah Dipimpin Softbank Ventures Asia

Platform social commerce Super mengumumkan perolehan pendanaan seri B senilai $28 juta (lebih dari 405 miliar Rupiah) yang dipimpin Softbank Ventures Asia. Beberapa investor kembali berpartisipasi dalam putaran ini, di antaranya Amasia, Insignia Ventures Partners, Y Combinator Continuity Fund, dan Stephen Pagliuca (Co-Chairman Bain Capital dan Pemilik Boston Celtics). Investor baru yang masuk dalam seri ini adalah Partners dari DST Global dan TNB Aura.

Hingga kini Super telah mengantongi pendanaan senilai lebih dari $36 juta (lebih dari Rp502 miliar), diklaim terbesar untuk perusahaan social commerce di Indonesia. Putaran seri A sebelumnya telah selesai digelar perusahaan pada awal tahun lalu berhasil mengantongi $7 juta (lebih dari Rp101 miliar) yang dipimpin Amasia. Diikuti oleh jajaran investor lainnya, yakni Y Combinator, B Capital, Insignia Ventures Partners, Alpha JWC Ventures, Indonesia FMCG Group UNIFAM, Mari Elka Pangestu, dan Arrive, bagian dari Roc Nation yang didirikan oleh Jay-Z.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk meningkatkan aktivitas bisnis perusahaan di Jawa Timur, yang merupakan markasnya, dan merambah ke provinsi lain di Indonesia bagian timur pada tahun ini. Tak hanya itu, bisnis Super yang fokus pada produk-produk FMCG akan memperluas cakupan produknya, serta mengembangkan brand white label, dinamai SuperEats.

Dalam keterangan resmi, Co-Founder & CEO Super Steven Wongsoredjo menyampaikan sebagai perusahaan teknologi konsumer, misi Super adalah menyediakan akses ekonomi yang setara bagi semua masyarakat. Saat ini, harga barang kebutuhan di daerah dan pelosok Indonesia bisa lebih tinggi sampai 200% dibandingkan harga barang yang sama di Jakarta. Akan tetapi, kemampuan membeli masyarakat di pelosok tidak sebesar dengan kemampuan di area ibu kota.

“Menurut saya ini tidak adil ketika seorang ibu di area pelosok hanya mampu membeli satu gelas susu, sedangkan dengan jumlah uang yang sama ia bisa membeli dua tau tiga gelas susu di Jakarta. Kami ingin memberikan harga yang adil untuk masyarakat di mana pun karena itu kami membangun Super,” terang Steven, Kamis (29/4).

Sejumlah perwakilan dari para investor juga turut memberikan pernyataannya. Partner Softbank Ventures Asia Cindy Jim mengatakan, tren social commerce sedang meningkat di ranah global, mereka pun bangga dengan komitmen tim Super pada daerah-daerah Indonesia yang kurang diperhatikan.

“Kami percaya bahwa hyperlocal team seperti mereka [Super] akan mampu menavigasi dan membangun platform di Indonesia. Super ada di garda terdepan untuk menangkap momentum social commerce di area pelosok di Indonesia,” kata Cindy.

Co-Founder & Managing Partner Amasia John Kim menambahkan, “Terdapat lebih dari keluarga yang tinggal di luar Jakarta dan mayoritas perdagangan masih dilakukan secara offline. Peluang besar ini akan menghadirkan kompetisi yang besar, akan tetapi Steven adalah seorang pemimpin dengan misi yang solid. Kami akan terus mendukung Super dalam perjalanan ke depan.”

Super saat ini beroperasi di 17 kota di Jawa Timur. Perusahaan memanfaatkan platform logistik hyperlocal untuk mendistribusikan barang kebutuhan konsumen ke agen-agen dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemesanan. Super bekerja sama dengan ribuan agen untuk mendistribusikan ribuan sampai jutaan barang kebutuhan setiap bulannya. Kebanyakan para agen tersebut adalah kaum perempuan.

Diterangkan, dengan menghubungkan pemasok besar ke agen-agen kecil, Super mampu mengurangi kebutuhan gudang dan armada yang berlebih dalam rantai suplai yang kurang efektif. Alhasil, dengan cara ini, saat perusahaan memperluas jangkauan, Super membantu mengurangi emisi karbon di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Bertujuan Genjot Penetrasi Asuransi, PasarPolis Kembangkan Aplikasi Keagenan

Startup insurtech PasarPolis merilis aplikasi keagenan bernama PasarPolis Mitra sebagai salah satu langkah untuk perluas penetrasi asuransi yang masih minim di Indonesia. Misi lainnya adalah membantu mitra tersebut memperoleh tambahan pendapatan, mengingat aplikasi ini dirilis bertepatan di saat pandemi yang memukul penghasilan banyak orang.

Dalam mengoperasikan aplikasi tersebut, PasarPolis bekerja sama dengan perusahaan broker PT Futura Finansial Prosperindo. Inisiasi ini juga dirilis sebagai salah satu realisasi pasca mengumumkan pendanaan Seri B senilai $54 juta pada September 2020 dari LeapFrog Investments, SBI Investment, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, dan Xiaomi.

Dalam wawancara terbatas yang diadakan perusahaan pada hari ini (3/12), Founder & CEO PasarPolis Cleosent Randing menjelaskan PasarPolis Mitra bukan menjadi agen asuransi karena punya mekanisme yang berbeda, hanya memberi referensi produk asuransi kepada konsumen. Produk asuransi yang dijual tergolong simpel dengan premi yang ringan.

Terlebih itu, mitra yang tergabung ini harus melalui proses pelatihan demi memastikan tidak terjadi misselling. Perusahaan juga memastikan perlindungan konsumen, seperti audit ISO cyber security dan data protection, sebagai langkah proteksinya.

“Ada app khusus dan perlu training dulu. Setelah itu dapat kode akses, tujuannya agar konsumen mengerti produk asuransi yang mereka beli, jangan sampai ada misselling,” ujar Cleosent.

Sejak aplikasi ini dirilis pada enam bulan lalu, diklaim kini telah mampu menggaet 40 ribu mitra. Pendapatan bulanan para mitra disebutkan naik antara dua sampai tiga kali lipat. Cleosent menyebut seluruh angka tersebut, melampaui ekspektasi perusahaan.

“Mitranya ini ada dari driver GoCar, GoLife, dan agen profesional yang tadinya berjualan secara offline kini ke online.”

Konsep keagenan, sambungnya, bukan barang baru di dunia asuransi. Mencontoh dari negara lain, Tiongkok misalnya, terdapat Ping An yang memiliki 1 juta agen yang menjadi perantara perusahaan dan konsumen akhir. Namun, konsep yang dipakai Ping An tidak serta merta copy-paste saat dibawa ke Indonesia.

Menurut Cleosent, lokalisasi memegang peranan terpenting terlebih Indonesia adalah negara yang unik. “Justru kita ingin putar paradigma, dari Indonesia yang kita bawa ke negara lain, bukan sebaliknya.”

Pencapaian dan prospek pasar insurtech

Ia juga turut menyampaikan pencapaian perusahaan yang positif sepanjang pandemi. Hingga Agustus 2020 disebutkan pertumbuhan bisnis PasarPolis tumbuh lebih dari 80 kali. Diklaim tiap bulannya perusahaan menerbitkan 70 juta polis baru. Adapun sepanjang pada tahun lalu, perusahaan telah menerbitkan 650 juta polis di tiga negara di mana mereka beroperasi, yakni Indonesia, Thailand, dan Vietnam.

Kebanyakan produk yang dibeli berkaitan tentang logistik, travel, dan e-commerce. Ketiga produk ini mencerminkan lini bisnis utama dari tiga investor PasarPolis yang menanamkan investasi seri A pada 2018, yakni Tokopedia, Gojek, dan Traveloka. “Kenaikan juga terjadi signifikan berkaitan dengan kesehatan dan mobil.”

Selain itu juga diungkapkan sebanyak 90% pembeli asuransi di PasarPolis adalah first time buyer dan 40% dari mereka bekerja di sektor informal. Perusahaan, bersama dengan mitra perusahaan asuransi, telah meracik 80 produk asuransi yang aktif dijual melalui berbagai platform.

Pertumbuhan yang positif ini dipengaruhi oleh pesatnya akselerasi digitalisasi di berbagai sektor selama pandemi, yang turut memengaruhi tingkat permintaan di sektor kesehatan. Alhasil, prospek perusahaan insurtech cukup cerah untuk tahun depan.

Dia menuturkan, pandemi Covid-19 pada tahun ini adalah kunci pendorong percepatan digitalisasi. Dengan fondasi digitalisasi yang sudah kuat, proses berikutnya akan semakin mudah. Terlebih lagi, pasar asuransi di Indonesia masih sangat luas karena penetrasi yang minim.

Insurtech dapat tumbuh positif meski ada pandemi, adopsi digital kita lihat menjadi peluang bagi insurtech. Kita optimis ke depannya orang-orang akan semakin sadar untuk membuat perlindungan. Pekerjaan rumah kami adalah bagaimana mendemokratisasi semua lapisan dengan produk asuransi yang terjangkau,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Super Berambisi Jadi “Social Commerce” untuk Pengguna di Pedesaan

Konsep social commerce yang menggabungkan aktivitas sosial dan niaga dalam suatu platform terbukti memiliki traksi yang kuat karena sangat berkorelasi dengan budaya di Indonesia, terlebih di masa pandemi seperti ini. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh berbagai pemain teknologi, Gojek sekalipun.

Pemain lainnya juga turut terjun, salah satunya adalah Super. Aplikasi ini berdiri di bawah holding Nusantara Technology, yang memiliki unit bisnis digital lainnya yakni media online Yukepo dan Keepo.

Kepada DailySocial, CEO Super Steven Wongsoredjo menerangkan, pasca mengikuti program Y Combinator Winter 2018 atau delapan bulan setelah perusahaan mengoperasikan kedua media online, Nusantara Technology menjadikan Super sebagai bisnis utamanya.

Dia bilang, pihaknya tertarik masuk ke bisnis teknologi konsumer karena ingin mendapatkan model bisnis dengan skalabilitas yang lebih baik. Social commerce ditaksir punya kue bisnis $200 miliar (total addressable market/TAM), jauh lebih besar daripada bisnis media online.

“Merintis Super adalah salah satu keputusan terbaik kami, sejak saat itu bisnis kami tumbuh sangat pesat. Kami sudah melakukan raise funding pada Desember 2019 untuk pendanaan seri A senilai jutaan dolar dari sejumlah investor Amerika Serikat. Semua waktu dan investasi para co-founder didedikasikan hanya untuk Super,” terangnya.

Baik Yukepo dan Keepo disebutkan telah tumbuh signifikan dan cetak untung sejak hari pertamanya. Salah satu parameternya adalah kanal YouTube diklaim terbesar daripada startup media milenial lainnya di Indonesia. Pencapaian tersebut, membuat bisnis media online di Nusantara Technology pada akhir tahun lalu memperoleh laba yang signifikan dan arus kas positif, sehingga tidak membebani konsentrasi para founder.

“Selain itu, kami memutuskan untuk merekrut pemimpin yang kuat. Oleh karena itu, [unit] bisnis memiliki otonomi yang layak untuk dijalankan dengan sendirinya.”

Dia membandingkan Super kurang lebih seperti Gojek yang juga terintegrasi dengan media online Kumparan. Super dengan komponen utama social commerce, akan segera punya fitur Super Kabar di dalam aplikasinya. “Ini akan segera berada dalam satu ekosistem. Semua investor kami mendukung ini karena bisnis kami, secara umum, tumbuh dengan cepat dan berkelanjutan.”

Sumber: Super
Sumber: Super

Fokus di pedesaan

Steven menuturkan, Super mendeklarasikan dirinya sebagai pemain social commerce terdepan untuk pedesaan di Indonesia. Super memiliki konsep hybrid seperti pemain asal Tiongkok yakni Pinduoduo dan Shihuituan. Oleh karenanya, Super berbeda dengan pemain kebanyakan.

Super membangun rantai pasokan social commerce untuk pedesaan yang memiliki ekonomi unit positif. Misalnya, bagian dari pengembangan rantai pasokan adalah membangun hub-hub kecil di desa-desa yang dekat dengan rumah Agen. Nantinya Agen Super akan mengambil produk dari hub untuk diteruskan ke komunitasnya.

Prosesnya, Agen Super mengumpulkan pesanan di sekitar lingkungan mereka; bisa melalui WhatsApp dengan membagikan tautan Super dari aplikasi Super (termasuk produk yang ingin mereka jual) atau bertemu langsung dengan calon pelanggan.

Jika pesanan minimal $70, Super akan mengirimkan pesanan ke rumah Agen Super, tetapi jika pesanannya $20- $70, Agen harus mengambil pesanan dari Super Center terdekat di desa. Pembayaran dapat dilakukan melalui transfer bank atau COD. Setelah itu, Agen Super akan mengatur pengiriman mil terakhir ke pelanggan mereka.

Kemudian, Super juga menetapkan konsep group buying dengan minimal pesanan untuk memastikan mereka memiliki nilai pemesanan rata-rata. Dengan cara ini, Super dapat cetak untung dalam setiap transaksi yang terjadi.

Dalam proses distribusinya, Super memiliki gudang sendiri dan bekerja sama dengan penyedia logistik untuk pengirimannya. Super membangun sistem manajemen gudang untuk membantu perusahaan memutuskan rute terbaik dalam membangun efisiensi terbaik.

Sumber: Super
Sumber: Super

Yang cukup menarik adalah saat proses pengiriman ke pembeli, Steven menuturkan jika mereka bersedia membayar lebih, mereka akan mendapatkan produk lebih cepat dari platform mana pun. Namun, Super mencoba mengoptimalkan rantai pasokan, sehingga biayanya murah.

Strategi ini dianggap tepat karena mengingat wilayah operasional Super di kota tingkat dua dan tiga, pembeli lebih mementingkan harga daripada waktu pengiriman. Jika pengguna memesan sebelum jam 3 sore, mereka akan mendapatkan produknya besok, tetapi jika memesan setelah jam 3 sore, barang akan dikirimkan lusa.

“Dengan kebijakan logistik pendekatan tunggal, kami dapat memprediksi dengan lebih baik dan memiliki ekonomi unit yang lebih baik dalam mengirimkan barang ke agen kami agar menguntungkan.”

Ambisi besar Super

CEO Super Steven Wongsoredjo / Super
CEO Super Steven Wongsoredjo / Super

Dengan model bisnis ini, Super sudah memiliki cara monetisasi yang jelas. Untuk jangka pendek, perusahaan mengambil margin dengan harga terbaik dari para manufaktur rekanan dan mengambil untung saat menjual produk tersebut ke Agen. Lalu, mengambil margin keuntungan dari produk FMCG label pribadi yang dijual ke Agen.

“Untuk jangka panjang, kami ingin menjadi platform untuk bisnis apa pun di Indonesia yang ingin memasuki daerah pedesaan. Kami akan menerima komisi per transaksi dengan bekerja sama dengan produsen di luar FMCG atau perusahaan yang membutuhkan jaringan agen kami untuk mendistribusikan produk mereka.”

Saat ini Super telah memiliki lebih dari 650 SKU bekerja sama dengan lebih dari 50 merek nasional. Cakupan areanya baru di lebih dari 20 kota lapis dua dan tiga di Pulau Jawa. Steven mengatakan medan perang di kota non-Jakarta itu unik dan kompleks, makanya menjadi penghalang bagi semua orang karena memecahkan masalah ini tidak semudah yang terlihat.

Menurutnya, social commerce adalah tahap awal dari ambisi besar Super yang ingin membangun solusi rantai pasokan menyeluruh. Ia ingin menjadi Indofood, namun sarat dengan sentuhan teknologi dan strategi bisnis yang relevan untuk pedesaan Indonesia.

Bila Indofood dari hulu ke hilir ada Indogrosir (hub) dan Indomaret (ritel). Maka, rencananya Super dapat memiliki white label (Supercare dan Supereats), hubs (Superwarehouse dan Supercenter), dan ritel (Superagent).

“Dengan memiliki seluruh infrastruktur ini, kami akan menjadi perusahaan yang kuat yang dapat bertahan lebih dari seratus tahun.”

Application Information Will Show Up Here

Bizzy Adapts to Consumer’s Behavior, Introducing Tokosmart Agent

With Large-Scale Social Restrictions (PSBB) appeal, several startups have begun to adapt to changes in consumer behavior. Some have to close the service and some are forced to develop new features to adjust to consumer needs.

Bizzy Group, engaged in the logistics (Bizzy Logistics) and distribution (Bizzy Distribution), is also affected by this pandemic situation. This particularly affects the distribution business which is the main pillar of Bizzy’s overall business.

Bizzy Group’s CEO Andrew Mawikere said, stores outside the area currently don’t accept stock orders from salesmen. It is a good opportunity for Tokosmart because the shop owner has switched into application to order inventories. Andrew revealed that Tokosmart’s basket size increased from Rp2 million to Rp3 million from this situation.

Since January 2019, Tokosmart has launched to support the digitalization of micro, small and medium enterprises (MSMEs). This application makes it easy and increases the efficiency of store owners to place orders, receive inventory, and payment process. Recently, Andrew said Tokosmart has acquired 54,600 stores and more than 27,000 distribution companies in Indonesia.

“The current situation makes it impossible for us to meet with principals, this disrupts the effectiveness of our business development activities. However, this encourages new opportunities because consumers still need to buy necessities,” he told DailySocial.

In order to facilitate Tokosmart service effectiveness, his team has developed a new beta version that was launched last week, namely Tokosmart Agent. The service is similar to Tokosmart, it’s just that users and selling prices are different.

Meanwhile, Tokosmart Agent directly targets end-user and community leader segments, such as RT or RW leaders in the local area. They can order large quantities of supplies to be distributed to residents in their homes.

“In terms of impact, our [business] platform is quite minimal with this change in behavior, even though the distribution business is negative. It means the offline distribution business shifts to online. The overall distribution is down by 20 percent, but overall GMV is increasing. The decline revenue was blocked by the shifting [distribution companies] that use our platform,” he explained.

Bizzy’s commitment to enter the logistics and distribution sphere, as well as targeting MSMEs, has begun to be seen with efforts to strengthen the digital supply chain ecosystem. After Tokosmart, Bizzy who is now a holding company also launched the Truckway, Bizzy Field Force, and Smart Warehouse applications.

All of these services are built to optimize the operational performance of users in a supply chain, such as distributors, grocery stores, owners and truck drivers.

No longer engaged in the e-procurement sector

Furthermore, Andrew gave a signal that the company will not resume B2B marketplace business. In fact, previously the business that provided e-procurement was targeted to reopen in the fourth quarter of 2020.

In fact, Bizzy decided to close the B2B marketplace service since January. At that time, the company said the closure was only for the time being.

“We are no longer e-procurement service. We don’t plan to open e-procurement anymore, and we don’t know when,” Andrew said.

B2B Marketplace is Bizzy’s first business that was also a pioneer since 2015. Then since January 2019, Bizzy expanded its business scope to SMEs through the launch of Tokosmart. Both the B2B marketplace and Tokosmart have the same procurement activity. It’s just that the market segment and nature of the procurement are different.

B2B Marketplace is for large-scale corporate segments where the products will be consumed by themselves. Meanwhile, Tokosmart serves the purchase of stock inventory which will be distributed back to the grocery stores in the market.

Andrew said, there are several things that create the decision to quit the B2B marketplace. First, procurement activities basically consist of a long series of processes. In other words, he sees that large-scale corporate consumers have a long sell cycle process as well.

“There are many stakeholders involved in decision making. For example, the administration side, it is necessary to submit POs to finance. Because there are many stakeholders, it took a long sell cycle process,” he said.

In addition, he also assessed that the corporate segment in Indonesia is yet to fully adapted to digital because its infrastructure is not ready. The simplest example is the administrative activity that wants to be digitally finally not achieved because there are still many companies that use paper.

It answers that B2B marketplace business people are faced with the same challenges. Market awareness of B2B marketplace services is still low given that companies are not yet aware of the importance of digitizing business processes. This can also mean that there is no full commitment from C-Levels.

On the other hand, the B2B marketplace is considered promising because its business model will be able to guarantee measurable revenue and profit growth in the next 1-2 years.

In addition, the B2B marketplace business is more efficient because businesses do not need to “burn money” to acquire a customer. Unlike the retail segment, B2B’s business nature does not depend on strong competitive discounts or price promos, but on the rationality of needs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bizzy Beradaptasi pada Perubahan Perilaku Konsumen, Luncurkan Tokosmart Agent

Dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Bersakal Besar (PSBB), sejumlah startup mulai beradaptasi terhadap perubahan perilaku konsumen. Ada yang harus menutup layanan dan ada yang terpaksa mengembangkan fitur baru untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan konsumen.

Bizzy Group yang kini menaungi bisnis pengadaan, logistik (Bizzy Logistics), dan distribusi (Bizzy Distribution) turut terdampak dari situasi pandemi ini. Hal ini terutama pada bisnis distribusi yang dipatok menjadi penopang utama keseluruhan bisnis Bizzy.

CEO Bizzy Group Andrew Mawikere menyebutkan, kini toko-toko di luar daerah tak mau menerima pesanan stok dari salesman. Kondisi ini menjadi peluang baik bagi Tokosmart karena pemilik toko beralih ke aplikasi untuk memesan stok persediaan. Andrew mengungkap basket size Tokosmart mengalami kenaikan rerata dari Rp2 juta menjadi Rp3 juta dari situasi ini.

Sejak Januari 2019, Tokosmart meluncur untuk mendukung digitalisasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Aplikasi ini memudahkan dan meningkatkan efisiensi pemilik toko untuk melakukan pemesanan, penerimaan inventori, dan pembayaran. Terkini, Andrew menyebut Tokosmart telah menjaring 54.600 toko dan lebih dari 27.000 perusahaan distribusi di Indonesia.

“Situasi sekarang tidak memungkinkan bagi kami untuk bertemu prinsipal, ini mengganggu efektivitas diskusi business development kami. Tetapi, ini mendorong opportunity baru karena konsumen tetap perlu membeli kebutuhan,” paparnya saat dihubungi DailySocial.

Untuk memudahkan efektivitas layanan Tokosmart, ujar Andrew, pihaknya mengembangkan aplikasi baru versi beta yang meluncur pekan lalu, yakni Tokosmart Agent. Layanannya mirip dengan Tokosmart, hanya saja pengguna dan harga jualnya berbeda.

Adapun, Tokosmart Agent membidik langsung segmen end-user dan community leader, seperti ketua RT atau RW di daerah setempat. Mereka dapat memesan persediaan dalam jumlah besar yang akan didistribusikan ke penghuni di tempat tinggalnya.

“Secara impact, [bisnis] platform kami minimal dengan perubahan behaviour ini, meskipun bisnis distribusi negatif. Artinya, bisnis distribusi yang terdampak offline, bergerak ke online. Omzet keseluruhan distribusi turun 20 persen, tapi overall GMV naik. Penurunan omset tertutupi peralihan ke [perusahaan distribusi] yang menggunakan platform kami,” paparnya.

Komitmen Bizzy untuk masuk ke ranah logistik dan distribusi, serta menyasar UMKM, mulai terlihat dengan upaya penguatan ekosistem digital supply chain. Setelah Tokosmart, Bizzy yang kini menjadi holding juga meluncurkan aplikasi Truckway, Bizzy Field Force, dan Smart Warehouse.

Seluruh layanan ini dibangun untuk mengoptimalkan kinerja operasional pengguna dalam sebuah rantai pasokan, seperti distributor, toko grosir, pemilik, dan sopir truk.

Tak lagi bermain di e-procurement

Lebih lanjut, Andrew memberikan sinyal bahwa perusahaan tidak akan melanjutkan kembali bisnis marketplace B2B. Padahal, sebelumnya bisnis yang menyediakan e-procurement tersebut ditarget buka kembali di kuartal IV 2020.

Sebagaimana diketahui, Bizzy memutuskan menutup layanan marketplace B2B ini sejak Januari lalu. Saat itu, perusahaan menyebut penutupan tersebut hanya untuk sementara waktu.

“Sekarang kita sudah tidak di e-procurement lagi. Kami belum berencana lagi buka e-procurement, dan belum tahu kapan,” ungkap Andrew.

Marketplace B2B merupakan bisnis pertama Bizzy yang dirintis sejak 2015. Kemudian sejak Januari 2019, Bizzy memperluas cakupan bisnisnya ke UMKM melalui peluncuran Tokosmart. Baik marketplace B2B dan Tokosmart memiliki procurement activity yang sama. Hanya saja segmen pasar dan nature dari procurement-nya berbeda.

Marketplace B2B diperuntukkan bagi segmen korporasi berskala besar yang mana produknya akan dikonsumsi sendiri. Sementara, Tokosmart melayani pembelian persediaan stok yang akan didistribusikan kembali ke toko-toko kelontong di pasar.

Menurut Andrew, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan perusahaan untuk berhenti dari marketplace B2B. Pertama, kegiatan procurement pada dasarnya terdiri dari rangkaian proses yang panjang. Dengan kata lain, ia melihat bahwa konsumen korporat berskala besar memiliki proses sell cycle yang panjang juga.

“Ada banyak stakeholder yang terlibat dalam decision making. Misalnya, sisi administrasi, perlu mengajukan PO sampai ke finance. Karena stakeholder banyak, proses sell cycle juga lama,” tuturnya.

Selain itu, ia juga menilai segmen korporat di Indonesia belum sepenuhnya beradaptasi ke digital karena infrastrukturnya tidak siap. Contoh paling sederhana adalah kegiatan administrasi yang ingin didigitalkan akhirnya tak tercapai karena masih banyak perusahaan yang menggunakan kertas.

Ini menjawab bahwa pelaku bisnis marketplace B2B dihadapkan pada tantangan yang sama. Awareness pasar terhadap layanan marketplace B2B masih rendah mengingat perusahaan yang belum menyadari pentingnya digitalisasi proses bisnis. Ini juga dapat berarti bahwa belum ada komitmen penuh dari para C-Level.

Di sisi lain, marketplace B2B dinilai menjanjikan karena model bisnisnya dinilai dapat menjamin pertumbuhan pendapatan dan keuntungan secara terukur dalam 1-2 tahun ke depan.

Tak hanya itu, bisnis marketplace B2B juga lebih efisien karena pelaku bisnis tidak perlu melakukan “bakar uang” untuk mengakuisisi satu pelanggan. Berbeda dengan segmen ritel, nature bisnis B2B tidak bergantung pada adu kuat diskon atau promo harga, tetapi pada rasionalitas kebutuhan.

Application Information Will Show Up Here

Tahun 2020 GrabKios Hadirkan Sejumlah Produk Baru, Termasuk Asuransi dan Pinjaman Dana

Di tahun 2020 ini banyak rencana yang akan dilancarkan GrabKios (sebelumnya Kudo). Bukan hanya menambah jumlah mitra kios menjadi 3,8 juta hingga tahun 2021, tapi juga ingin menghadirkan berbagai layanan finansial dan asuransi untuk mitra agen, pengemudi hingga konsumen.

Head of GrabKios Agung Nugroho mengungkapkan, sudah ada lini bisnis yang mengalami pertumbuhan positif. Dan ke depannya GrabKios akan menambah kemitraan dengan institusi finansial, perbankan hingga startup yang relevan untuk menambah pilihan layanan.

“Kami percaya dengan mitra kios yang besar jumlahnya hingga ekosistem yang ada di Grab, bisa menjadikan GrabKios platform unggulan yang bisa dimanfaatkan oleh jaringan agen untuk membeli produk hingga memanfaatkan fitur tambahan lainnya.”

Asuransi, P2P lending hingga pembelian FMCG dan produk segar

Didirikan sejak 2014, hingga saat ini GrabKios telah memberdayakan lebih dari 2,8 juta mitra dengan jaringan yang tersebar di 505 kota dan kabupaten di Indonesia. Masih fokus kepada warung kelontong, tahun 2020 ini GrabKios juga akan memberikan layanan kepada merchant GrabFood.

Salah satunya dengan menawarkan pinjaman tunai disalurkan melalui kerja sama dengan perusahaan fintech terpercaya yang telah mendapatkan lisensi dari OJK. GrabKios juga akan menyediakan asuransi mikro, ditujukan bagi mitra dan para pelanggan melalui kerja sama dengan perusahaan asuransi.

Sebagai langkah awal, di kuartal pertama 2020 GrabKios akan mulai menawarkan produk pinjaman tunai ini ke mitra pilihan. Untuk mendukung “Gerakan Non Tunai Bank Indonesia”, mereka juga akan menyediakan alternatif metode pembayaran untuk pelanggan mitra berupa Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Dengan kode QR tersebut, pelanggan warung dapat berbelanja dan membayarnya dengan aplikasi dompet digital yang mereka miliki.

Dengan bergabung menjadi jaringan agen GrabKios, semua mitra diberikan akses dashboard yang bisa digunakan untuk membeli kebutuhan tambahan hingga melakukan pembayaran dari konsumen untuk pembayaran listrik hingga membeli voucher pulsa. Dengan demikian akan terlihat secara langsung rekam transaksi mereka yang mempengaruhi penilaian mereka jika berencana untuk mengajukan pinjaman.

“Karena bentuknya adalah capital loan rata-rata pinjaman yang akan diberikan adalah dibawah Rp10 juta. Untuk pembayaran akan dilakukan setiap bulannya. Sementara untuk cash loan tergantung dari persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing asssetmen loan penyedia pinjaman,” terang Agung.

Tidak disebutkan lebih lanjut siapa perusahaan asuransi, platform p2p lending hingga perbankan yang akan digandeng. Untuk produk asuransi tersebut, GrabKios menjamin memiliki harga yang terjangkau dan bisa dimanfaatkan oleh pemilik warung kelontong agar terhindar dari persoalan keuangan jika terjadinya bencana dan risiko lainnya.

“Intinya GrabKios akan melakukan kolaborasi dengan pihak terkait mulai dari layanan p2p lending, perbankan hingga startup agritech untuk menghadirkan pilihan tersebut. Hal itu yang membedakan kami dengan platform seperti p2p lending yang langsung menawarkan produk mereka kepada konsumen, GrabKios justru membuka kesempatan platform terkait untuk bermitra bersama kami,” kata Agung.

“Untuk penyediaan barang-barang yang dibutuhkan oleh warung kelontong dan warung makan kita sudah bekerja sama dengan perusahaan FMCG hingga supplier lainnya, dan saat ini sudah kita lakukan dalam lini bisnis wholesale GrabKios. Untuk penyediaan produk bahan segara, GrabKios bermitra dengan TaniHub.”

 

Menyambut baik persaingan

Selama 5 tahun terakhir GrabKios telah menghadirkan beberapa layanan yang secara signifikan menambah penghasilan para mitranya. Mulai dari berbagai produk digital: pulsa dan paket data, token listrik, pembayaran tagihan (air, listrik, telepon, multi-finance) hingga pendaftaran mitra pengemudi Grab. Ke depannya perusahaan akan terus menambah variasi produk digital lain untuk meningkatkan pendapatan mitra.

Berdasarkan hasil Laporan Dampak Sosial Grab, pendapatan mitra GrabKios meningkat sebesar 51% dengan rata-rata penghasilan mencapai Rp10 juta per bulan. Melalui peningkatan pendapatan mitra yang cukup signifikan, GrabKios telah berkontribusi sebesar Rp2,7 triliun terhadap perekonomian Indonesia dalam 12 bulan terakhir (hingga Maret 2019).

Saat ini makin banyaknya layanan e-commerce, marketplace hingga startup berbasis teknologi yang sengaja menyasar warung atau toko kelontong. Menurut Agung hal tersebut sah-sah saja dilakukan dan menyambut baik makin bertambahnya jumlah kompetitor yang ada.

Menurut Agung selama ini masih banyak pemain lain yang fokus untuk mengakuisisi end consumer, sementara GrabKios memanfaatkan peranan jaringan agen untuk melakukan proses tersebut yang mereka sebut sebagai “cascaded approcach“.

“Yang membedakan, GrabKios memiliki teknologi buatan sendiri yang cara kerja serupa dengan aplikasi Salesforce. Melalui teknologi tersebut, yang saat ini sudah dimanfaatkan oleh ekosistem di Grab (GrabFood) untuk mengakuisisi merchant, kami percaya bisa memberikan layanan lebih baik memanfaatkan jaringan mengakuisisi lebih banyak lagi end consumer,” tutup Agung.

Application Information Will Show Up Here