Asus ROG Falchion Adalah Keyboard Wireless Mungil dengan Panel Sentuh Interaktif

Razer baru-baru ini mencuri perhatian kalangan pencinta keyboard berukuran ringkas lewat Huntsman Mini, keyboard 60% pertamanya yang dilengkapi seabrek fitur. Tentu saja produsen gaming peripheral lain tidak mau ketinggalan. Adalah Asus yang tengah bersiap untuk meluncurkan keyboard mininya.

Sejauh ini belum banyak yang bisa kita ketahui dari keyboard bernama ROG Falchion ini. Asus bahkan belum merincikan switch mekanik Cherry MX warna apa saja yang akan tersedia untuk Falchion – prediksi saya Blue atau Brown, sebab ada kata “tactile feedback” yang disebut dalam laman produknya. Satu hal yang pasti, layout tombolnya agak sedikit berbeda dari Razer Huntsman Mini.

Di sisi paling kanan Falchion, kita masih bisa menemukan deretan tombol Insert, Delete, Page Up beserta Page Down. Juga absen pada Huntsman Mini adalah tombol arah panah, dan keempatnya ikut tersedia di sini. Total tombol yang dimiliki Falchion berjumlah 68, dan secara teknis dimensinya memang sedikit lebih besar ketimbang Huntsman Mini, sebab ia masuk kategori keyboard 65% ketimbang 60%.

Asus ROG Falchion

65% ukuran keyboard standar tentu masih sangat kecil dan bisa menyisakan ruang yang melimpah di sebelah mouse, cocok untuk penggemar game FPS kompetitif yang terbiasa menggunakan setting DPI rendah pada mouse-nya demi meningkatkan akurasi bidikannya. Berhubung Falchion merupakan keyboard wireless, tentu saja ia bisa ditempatkan secara lebih bebas lagi di atas meja.

Asus bilang Falchion merupakan keyboard wireless pertamanya dengan pencahayaan RGB di tiap-tiap tombol. Ia juga menyimpan panel sentuh interaktif di ujung kirinya, persis di sebelah tombol Esc, Tab, Caps Lock, dan Shift. Fungsinya sudah pasti bisa dikustomisasi via software, dan panel seperti ini semestinya sangat cocok difungsikan sebagai slider untuk mengatur volume.

Dalam kondisi baterainya terisi penuh, ROG Falchion diklaim bisa tahan sampai 400 jam pemakaian, tapi ini dengan lampu RGB dalam posisi mati. Terakhir, paket penjualannya turut menyertakan sebuah cover case, menjadikannya semakin cocok untuk dibawa bepergian.

Sayangnya hingga kini Asus belum menyingkap banderol harga maupun jadwal pemasaran ROG Falchion. Meski demikian, saya cukup yakin harganya lebih mahal daripada Razer Huntsman Mini mengingat ia masuk kategori wireless dan mengusung label “ROG”.

Sumber: Tom’s Hardware.

Gaming Gear, Atlet Esports, dan Sebuah Jalan untuk Jadi yang Terbaik

Sebagai industri yang berkembang bersama dengan teknologi, tidak heran jika industri game dekat dengan berbagai aksesori pelengkapnya, yang kini lebih dikenal dengan istilah gaming gear. The NPD Group dalam laporan jumlah belanja gamers Amerika Serikat Q1 2020, menjelaskan bahwa penjualan aksesori game mencapai angka 390 juta dollar AS (sekitar 5,7 triliun Rupiah). Angka tersebut merupakan penurunan, namun tetap dianggap sebagai jumlah penjualan tertinggi ketiga sepanjang masa.

Mungkin banyak yang bertanya. Apa yang membuat gaming gear begitu menarik dan penting? Memangnya, Anda jadi lebih jago kalau punya gaming gear? Akankah MMR Anda meningkat dari Herald ke Ancient dalam satu minggu di Dota 2 hanya karena membeli gaming gear? Sejauh ini sih jawabannya “tidak” ya. Tapi kalau Anda punya teman yang bisa naik rank hanya karena punya gaming gear baru, mungkin bisa diperkenalkan ke saya agar dapat saya wawancara… Hehe.

Saya sempat menyatakan opini singkat soal ini saat menulis tips aim di FPS PC. Pada artikel tersebut saya sengaja meletakkan soal tips memilih gear yang tepat di bagian akhir. Karena ibaratnya sepak bola, kalau kemampuan main bola Anda masih sekelas antar-kampung alias tarkam, sepatu Nike Mercurial tidak akan serta merta membuat Anda sejago Lionel Messi. Namun jika Anda sudah bisa dribble bola seperti Lionel Messi, Anda pasti membutuhkan perlengkapan terbaik, agar gerakan Anda lebih leluasa dan menghindari cidera.

Kalau begitu, apakah mouse bolong-bolong, monitor 144Hz, keyboard mekanikal, dan mouse pad RGB memang tidak ada gunanya? Jawabannya belum tentu. Pertanyaan berikutnya mungkin adalah kenapa gaming gear dibutuhkan dan gaming gear seperti apa yang punya pengaruh terhadap kemampuan gaming Anda?

Sebuah Pencarian untuk Menjadi yang Terbaik

Dalam esports, hanya yang terbaik dari yang terbaik, yang bisa berjaya duduk di tahta juara dunia. Tim OG dari skena Dota 2, butuh berkompetisi selama berbulan-bulan, mengalahkan semua lawan, dan bersaing setidaknya dengan 85 orang dari 17 tim lainnya di gelaran utama The International 2019 untuk menjadi juara dunia. Tak heran, menjadi yang terbaik selalu menjadi pencarian utama dari sebuah tim esports.

Untuk menjadi yang terbaik, banyak faktor yang perlu dipikirkan. Skill individu adalah perangkat wajib seorang pemain. Setelah skill individu, strategi serta rencana permainan akan membuat sebuah tim menjadi semakin kuat. Setelah strategi, kerja sama serta chemistry permainan menjadi perekat yang membuat sebuah kemampuan main tim esports jadi semakin solid.

Setelah tiga aspek tersebut, pencarian untuk menjadi yang terbaik sebenarnya masih belum selesai. Masih ada aspek lain yang bisa diperbaiki, agar sebuah tim bisa menjadi lebih baik lagi. Ada tim yang mencoba memperbaiki dari sisi psikologi, yang contohnya bisa terlihat dari peran kinerja sosok psikolog olahraga, Mia Stellberg, di balik kemenangan Astralis di CS:GO dan OG di Dota 2.

Tetapi kompetisi akan terus-menerus menjadi semakin berat. Jika setelah tiga aspek di atas sudah terpenuhi, lalu apa berikutnya? Aksesoris pelengkap seperti gaming gear jadi salah satu jawaban. Hal ini mungkin jadi alasan kenapa angka Refresh-Rate monitor terus meningkat selama beberapa tahun belakangan, mouse menjadi semakin ringan sampai dibuat dengan rancangan bolong-bolong, masing-masing brand terus mengembangkan switch keyboard mekanik paling responsif, dan membuat headset dengan kemampuan Surround Sound terbaik.

Semua orang dalam jalannya untuk menjadi yang terbaik, dan respon serta kecepatan menjadi salah satu yang terus berusaha dikejar. Tapi apakah benar respon adalah segalanya? Lalu apa benar gaming gear memberi dampak pada performa.

Jika kita melihat kepada olahraga tradisional seperti sepak bola, yang melibatkan lebih banyak pergerakan fisik, jawabannya mungkin iya. Sebuah artikel akademis berjudul “Current Soccer Footwear, Its Role in Injuries and Potential for Improvement” menjelaskan seluk beluk hal tersebut.

Jika saya menjelaskan secara terperinci apa yang dibahas dalam artikel ilmiah tersebut, pembahasan ini mungkin akan menjadi sangat panjang dan njelimet; apalgi jika saya menjelaskan sampai ke hitung-hitungan hukum fisika dari perancangan sebuah sepatu sepak bola. Namun yang pasti, dalam proses perancangan sebuah sepatu saja, ada banyak aspek yang perlu dipikirkan.

Mulai dari besaran momentum kaki menghantam bola harus dihitung, untuk menentukan tebal atau tipis bahan yang digunakan. Seberapa keras menghentak ke tanah saat berlari, untuk menentukan konstruksi sol sepatu. Seberapa besar beban pergelangan kaki saat berlari menggocek musuh, untuk menentukan apakah sebuah sepatu harus dirancang “High” atau “Low”. Semuanya dilakukan dengan memikirkan bagaimana agar sebuah sepatu bisa nyaman dan membantu sang pemain bola memberikan performa paling efisien.

Lalu bagaimana dengan esports? Riset mendalam terhadap performance gear sejauh ini mungkin baru dilakukan oleh “The Lab” milik Complexity Gaming dan We Are Nations, sebuah perusahaan esports merchandising asal Amerika Serikat. Dua perusahaan tersebut terinspirasi oleh Bill Bowerman, sosok co-founder Nike, yang begitu terobsesi memikirkan rancangan sepatu terbaik yang bisa membuat seorang pelari bisa berlari lebih cepat lagi.

Cam Kelly CMO Complexity Gaming. Sumber: Esports Insider
Cam Kelly CMO Complexity Gaming. Sumber: Esports Insider

Dalam sebuah wawancara dengan Esports Insider, Cam Kelly CMO Complexity Gaming mengatakan. “Selain dari kesehatan, nutrisi, dan kebugaran, apparel dan equipment adalah bagian penting dalam menciptakan performa yang lebih baik lagi entah itu dalam skala millisecond atau milimeter. Jika seseorang kepanasan sehingga dia tidak bisa melenturkan bagian tubuhnya ke arah yang biasanya ia lakukan, maka performa permainan orang tersebut akan berkurang.” Ucapnya

Pada kasus pemain kasual, perbedaan millisecond atau milimeter mungkin tidak berarti. Namun dalam hal esports dan kompetisi, beda respon sepersekian detik adalah penentu hidup atau mati. Tidak percaya? Sebagai intermezzo, Anda bisa tonton permainan terbaik dari pro player League of Legends, Lee-Sang Hyeok (Faker), yang menunjukkan betapa berartinya setiap millisecond serta milimeter pergerakan di dalam dunia esports; dan alasan kenapa dia jadi dijuluki Unkillable Demon King.

Lebih lanjut The Lab juga menjelaskan bagaimana proses mereka melakukan riset sebuah aksesori yang bisa membuat performa seorang atlet esports jadi lebih efisien. Awalnya kecepatan, reaksi, muscle memory, dan batasan-batasan atau inhibisi diuji dalam Cognitive Lab.

Setelahnya purwarupa aksesori akan masuk fasilitas bernama Herman Miller Innovation Lab untuk memberi feedback terhadap purwarupa dalam sesi pengujian privat. Terakhir produk masuk ke dalam Advanced Training Room. Di sana, pemain akan melalui stress test, bermain dalam lingkungan yang menyerupai pertandingan LAN, termasuk temperatur, suara, lighting, serta perlengkapannya.

Dari sini, kita melihat bagaimana The Lab bisa dibilang menjadi salah satu pionir yang sangat serius dalam meningkatkan performa seorang pemain di dalam esports. Bahkan mereka melihat gaming gear bukan hanya soal mouse dan keyboard, tapi juga aksesori pakaian dan lain sebagainya. Patrick Mahoney, CEO We Are Nation lalu menambahkan lebih lanjut tentang dampak aksesori khusus gaming terhadap performa.

“Untuk meningkatkan performa esports ke tingkat berikutnya, kita bisa belajar dari cara atlet olahraga jadi lebih baik berkat teknologi. Contohnya, selama 20 tahun terakhir kita melihat pergantian bahan pakaian dari awalnya menggunakan wol dan katun, menjadi kain sintetis. Pergantian bahan ini ternyata terbukti membuat atlet lari bisa berlari lebih cepat, dan membantu menjaga temperatur tubuh seorang pendaki gunung. Esports masih berada di fase yang sangat awal, jadi siapa yang tahu nantinya kami yang akan menjadi pionir akan hal ini. Namun kami mengerti pentingnya riset pada bidang ini, dan kami sangat bersemangat bisa menjadi bagian dari hal ini.” Ucapnya.

Sumber: We Are Nation
Sumber: We Are Nation

Jason Lake Founder Complexity malah mencetuskan gagasan yang ia sebut sebagai Esports 3.0. Menurut pandangannya, gagasan Esports 3.0 akan menjadi masa depan. Menurut Lake, arti filosofi ini adalah mengelola pemain secara menyeluruh, termasuk memenuhi kebutuhan pemain dari segi nutrisi, kebugaran, mindfulness, work-life balance, dan kesejahteraan pemain secara keseluruhan.

Esports 3.0 pun bukan hanya soal kesejahteraan pemain saja, tetapi juga memberikan segala aksesori yang terbaik agar seorang pemain bisa menjadi juara. Soal gaming gear, Cam Kelly malah memberikan ide yang lebih gila lagi seperti menghubungkan audio dengan haptic (teknologi yang mensimulasikan sentuhan) sehingga menurutnya, teknologi tersebut secara potensial bisa membuat pemain merespon pergerakan musuh secara lebih cepat. “Itu mungkin belum seberapa. Coba bayangkan jika kita bisa membuat gaming gear seperti lensa kontak atau Google Glass berisi informasi tambahan yang mungkin akan menjadi keuntungan yang tidak adil.” Kelly menjelaskan angan-angan konsep gaming gear yang ada di kepalanya.

Apa yang Dicari Dari Gaming Gear Agar Permainan Anda Jadi Lebih Baik?

Menjadi terbaik dari yang terbaik bisa dibilang alasan kenapa gaming gear masih memiliki pasarnya tersendiri di dalam ekosistem gaming. Tim esports bisa menggunakannya untuk membuat performa pemain jadi lebih efisien. Sementara itu pemain kelas menengah bisa menggunakannya untuk jadi lebih baik lagi, atau mungkin sekadar agar bisa merasakan rasanya menjadi seperti seorang pro player. Lalu pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dicari?

Soal mencari gear yang tepat, ada pembahasan menarik yang dilakukan oleh Keith Stuard dalam tulisannya di The Guardian. Ia mengupas topik tersebut secara satu per satu, mulai dari monitor, mouse, keyboard, sampai controller atau joystick.

Dalam pembahasan monitor, Keith meminta pendapat Nicolas Reetz (dev1ce) pemain profesional CS:GO tim Astralis. Menurutnya 240Hz adalah suatu keharusan. “Juga sebuah monitor harus memiliki response time serendah mungkin, serta fitur color control. Saya cenderung bermain dengan saturasi warna yang tinggi, ini jadi alasan kenapa monitor saya harus punya fitur kustomisasi tersebut. Ukuran layar juga tak kalah penting. Karena kebanyakan turnamen menggunakan monitor 24-inci, jadi saya memilih ukuran tersebut.” Ungkap Nicolas Reetz.

Nicolas Reetz atau Dev1ce, pemain CS:GO dari tim Astralis. Sumber: HLTV
Nicolas Reetz atau Dev1ce, pemain CS:GO dari tim Astralis. Sumber: HLTV

Beralih bicara soal mouse, Keith kali ini tidak mengutip pendapat dari pemain profesional, namun opini dari Alex Walker Editor Kotaku Australia cukup menarik. “Hal mendasar dalam mencari mouse adalah Anda harus melihat lebih dulu seberapa besar tangan Anda, dan bagaimana kebiasaan Anda memegang mouse. Build quality memang penting, tetapi jika bentuk mouse-nya tidak nyaman di tangan, maka Anda bisa jadi akan menyesal menggunakannya.” Ucap Alex.

Dalam artikel lain yang ditulis Vice, Rasmus Madsen selaku SteelSeries Industrial Lead Designer menjelaskan secara lebih lanjut. “Kami merancang sesuatu untuk kondisi yang sangat ekstrim. Kami tidak merancang sebuah produk untuk sekadar browsing internet. Ini (mouse gaming) bukanlah sesuatu yang akan Anda gunakan selama 45 menit saja.” ucapnya. “Kenyamanan selalu menjadi sesuatu yang dicari oleh pengguna. Tentunya mereka mencari produk yang tidak akan membuat tangan mereka keram setelah bermain game selama 6 sampai 8 jam.” Perjelas Rasmus.

Mouse apa saja yang digunakan oleh para pemain esports? Riset online ini jadi jawabannya. Sumber: wccftech
Mouse apa saja yang digunakan oleh para pemain esports? Riset online ini jadi jawabannya. Sumber: wccftech

Menariknya, walau memiliki filosofi perancangan demikian, SteelSeries ternyata bukan mouse yang dicari oleh para pemain profesional. Wccftech melakukan riset pasar gaming gear dengan mengambil data dari situs pengumpul data konfigurasi gear pemain profesional dari berbagai games, prosettings.net, pada Februari 2020 lalu. Hasilnya, SteelSeries ternyata hanya mengambil 4,23% saja dari keseluruhan mouse gaming yang digunakan berbagai pro player. Proporsi terbesar dipegang oleh Logitech, dengan 42,80%, dan kedua dipegang oleh Zowie dengan proporsi sebesar 28,50%.

“Selama ini kebanyakan keyboard mekanik menggunakan ‘switch’ dari perusahaan bernama Cherry MX. Mereka menggunakan kode warna untuk membedakan respon yang dihasilkan tuts keyboard ketika ditekan.” Perjelas Mike. Bagi Anda yang mungkin masih awam, ada 3 jenis Switch mechanical keyboard yang umum ada di pasaran: merah, coklat, biru. Untuk gaming, menurut opini saya pribadi Switch warna merah adalah yang paling cocok. Ini karena switch warna merah punya respon yang paling cepat dibanding dua jenis switch lainnya. Jadi, sebenarnya Anda tidak harus selalu membeli keyboard dengan embel-embel “gaming”. Asalkan keyboard tersebut bersifat mechanical, dan menggunakan Red Switch, maka keyboard tersebut sudah tepat untuk main game kompetitif.

Sumber: GamingGem
Infografis singkat soal pilihan Switch yang tepat bagi Anda. Sumber: GamingGem

Lalu bagaimana dengan controller atau joystick. Jawabannya paling awal mungkin tergantung game apa yang Anda mainkan. Hybrid sempat membahas soal ini dari perspektif fighting game. Dalam fighting game, pilihan yang kerap diperdebatkan adalah antara Gamepad vs Arcade Stick. Namun antara dua jenis controller ini, bisa dibilang salah satu tidak lebih dari yang lain dalam hal performa permainan. Gamepad dan Arcade Stick sama-sama presisi. Dua kubu tersebut tercipta hanya karena media bermain fighting game mengalami pergeseran, dari yang awalnya populer lewat Arcade (atau yang kadang kita sebut dengan dingdong), sampai akhirnya jadi terkenal lewat konsol rumahan.

Pemain Arcade seperti Daigo Umehara tentu akan memilih Arcade Stick, karena dia sudah main Street Fighter dari zaman Arcade, dan jenis controller tersebut adalah yang ternyaman baginya. Sementara pemain generasi baru seperti Victor Woodley (Punk) tentu akan memilih gamepad, karena baru mengenal fighting game pada zaman konsol. Aspek apa yang perlu diperhatikan dalam Gamepad atau Arcade Stick? Anda lebih baik membaca artikel kami yang secara lebih komprehensif membahas hal tersebut.

Lalu bagaimana dengan headset? Dari opini saya pribadi, mungkin bisa dibilang kualitas output suara dari headphone dan input suara dari mic, serta kenyamanan build-quality jadi beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Anda bahkan sebenarnya tidak selalu harus membeli headset dengan embel-embel “gaming”. Karena jika bicara kualitas output suara, brand spesialis bidang audio seperti Sennheiser, atau Audio Technica tentu lebih terpercaya jika dibandingkan dengan brand gaming.

Beberapa tahun ke belakang, brand audio tersebut terbilang cukup jarang merilis produk headset. Namun, kini brand spesialis audio tersebut juga turut terjun ke ranah gaming, seperti Sennheiser yang punya brand Sennheiser Gaming yang bekerja sama dengan EPOS, atau Audio Technica yang punya seri PG dan PDG.

Aspek apa yang perlu dicari dalam sebuah headset? Sebenarnya ada banyak. Ada tipe Closed-Back atau Open-Back, yang menentukan apakah headset Anda kedap suara atau tidak. Ada tipe On-ear atau Over-ear, yang menentukan di mana busa earpad duduk di telinga Anda. Fitur tambahan selain dari itu mungkin bisa terbilang gimmick, yang terbilang tidak esensial, dan cenderung hanya untuk bahasa marketing saja. Untuk pembahasan soal tipe-tipe headset, Anda bisa membaca artikel Headphone.com yang secara lugas membahas soal hal tersebut.

Jadi apakah gaming gear benar-benar bisa membuat Anda lebih jago? Jawabannya paling valid baru bisa kita dapatkan setelah melakukan penelitian dengan pendekatan ilmiah seperti apa yang dilakukan oleh The Lab milik Compelxity Gaming. Tapi kalau menurut opini saya, gear yang tepat, nyaman, dan canggih, penting untuk digunakan, apalagi jika Anda adalah gamers kompetitif kelas berat, yang akan main game selama berjam-jam dalam satu hari, entah untuk menjadi atlet esports ataupun streamer. Jika Anda nyaman menggunakannya, Anda bisa lebih lama berlatih. Sedangkan jam terbang Anda berlatih akan berbanding lurus dengan kemampuan bermain Anda juga.

Apakah peralatan Anda harus selalu punya embel-embel gaming? Tentu saja tidak, karena tidak selamanya brand gaming peripherals tahu dan bisa membuat peralatan yang tepat dan nyaman untuk digunakan. Jika Anda membaca artikel ini sampai habis, saya ucapkan “terima kasih”. Semoga artikel pembahasan saya ini bisa menjadi semacam catatan singkat bagi Anda yang sedang galau dalam memilih gaming gear.

Razer Huntsman Mini Ramaikan Tren Keyboard 60%

Keyboard 60% merupakan salah satu topik terhangat di industri periferal belakangan ini. Baik di kalangan enthusiast maupun gamer, keyboardkeyboard dengan ukuran mini itu sedang ramai diburu oleh konsumen, dan produsen periferal kenamaan macam Razer tentunya tak mau kehilangan momentum.

Mereka baru saja memperkenalkan Razer Huntsman Mini, versi ringkas dari keyboard inovatif bernama sama yang mereka rilis dua tahun silam. Istilah “keyboard 60%” sendiri datang dari ukuran fisiknya yang cuma 60% dari keyboard normal, dan itu juga berlaku pada Huntsman Mini. Ia bahkan lebih mungil ketimbang Razer Huntsman Tournament Edition yang masuk kategori tenkeyless (TKL) alias tanpa numpad.

Seperti seabrek keyboard 60% lain yang ada di pasaran, tentunya banyak tombol yang dieliminasi pada Huntsman Mini. Tombol arah panah, tombol F1 – F12, tombol Home, Print Screen dan kawan-kawannya sudah diubah menjadi function key, yang artinya Anda butuh kombinasi tombol tertentu untuk mengaksesnya.

Contoh yang paling gampang adalah, kombinasi tombol “fn + 1” sama saja dengan mengklik tombol “F1”, demikian pula untuk tombol-tombol lain, menyesuaikan dengan label yang ada di bagian sisi masing-masing tombol. Akses ke tombol pengontrol media pun masih tersedia; kombinasi “fn + Tab” misalnya, sama saja dengan mengklik tombol “Mute”.

Razer Huntsman Mini

Sebagai bagian dari seri Huntsman, tentu saja keunggulan utama Huntsman Mini terletak pada jenis switch yang digunakan, yakni optical switch yang diyakini lebih responsif ketimbang mechanical switch, plus memiliki ketahanan hingga 100 juta klik. Konsumen bisa memilih antara varian switch yang bersifat clicky atau linear, dan Razer mengklaim varian linearnya ini lebih senyap ketimbang yang ada pada Huntsman Tournament Edition.

Setiap switch dibungkus oleh keycap berbahan doubleshot PBT, bahan yang lebih tangguh ketimbang ABS yang umum dipakai di banyak keyboard, dan yang tidak mudah menyisakan bekas minyak dari jari-jari pengguna. Rangka keyboard-nya sendiri terbuat dari material aluminium, dan Razer tak lupa menyertakan kabel USB-C berwujud braided untuk Huntsman Mini (bisa dilepas-pasang).

Razer Huntsman Mini

Pertanyaannya, untuk siapa keyboard kecil seperti Huntsman Mini ini? Untuk gamer yang punya space terbatas di atas mejanya, untuk mereka yang memerlukan area pergerakan mouse yang lebih luas dari biasanya. Keyboard 60% pada dasarnya merupakan tandem yang sangat pas bagi para pemain game FPS kompetitif yang terbiasa menggunakan setting DPI rendah pada mouse-nya, yang kerap terlihat lebay saat menyapukan mouse-nya.

Daripada harus memiringkan salah satu sisi keyboard supaya tidak terbentur mouse (‘teknik’ yang umum saya jumpai pada banyak gamer kompetitif), menggunakan keyboard 60% jelas merupakan solusi yang lebih ideal, bahkan lebih ideal lagi ketimbang keyboard TKL.

Di Amerika Serikat, Razer Huntsman Mini saat ini telah dipasarkan seharga $120 untuk versi clicky-nya. Versi linearnya akan menyusul di bulan Agustus dengan banderol $130, sama persis seperti harga Huntsman Tournament Edition. Pilihan warnanya sendiri ada hitam atau putih.

Sumber: Razer.

Review SteelSeries Apex 7: Sang Adik yang Cantik Meski Tak Seseksi Kakaknya

Artikel ini saya update di 25 Januari 2021 saat saya menemukan masalah dengan keyboard ini.

Saya masih ingat betul beberapa tahun silam ketika sejumlah produsen periferal gaming berlomba-lomba merilis keyboard gaming mechanical-nya masing-masing. Razer merilis Blackwidow di tahun 2010. SteelSeries sendiri juga sudah meluncurkan keyboard gaming mechanical generasi pertama mereka lewat 7G (2008) dan 6Gv2 (2011) — koreksi saya tahun rilisnya jika salah.

Karena kebetulan kala itu saya juga sudah bekerja di sebuah majalah PC gaming, saya juga sempat mereview hampir semua keyboard gaming mechanical generasi awal — setidaknya yang masuk ke Indonesia. Saat itu, keyboard gaming mechanical sedikit membosankan karena semuanya menggunakan switch dari Cherry MX — seperti Blackwidow yang menggunakan Cherry MX Blue ataupun 7G yang menggunakan Cherry MX Black.

Namun demikian, penggunaan switch mekanikal tadi memang sungguh revolusioner buat para gamer PC. Saya masih ingat betul betapa kagum saya dengan kecepatan respon yang ditawarkan oleh SteelSeries 7G. Berhubung dari 2008 saya juga sudah jadi penulis/jurnalis, mengetik dengan menggunakan Cherry MX Blue juga menjadi sebuah nikmat yang tak dapat didustai.

Beberapa tahun berselang, produsen periferal gaming pun merilis beberapa keyboard mereka dengan mechanical switch-nya masing-masing. Salah satunya adalah SteelSeries Apex 7 ini, yang baru saya beli beberapa hari yang lalu. Maksudnya bukan hanya pamer (wkakwkakaw) tapi review ini bukan barang kiriman/pinjaman.

Sebelum kita masuk ke beberapa aspek di review SteelSeries Apex 7 kali ini, saya harus memberikan penafian bahwa semua review gaming periferal tentu saja sangat subjektif — tergantung dari reviewer-nya. Pasalnya, komponen/hardware PC punya software atau benchmark yang bisa dijadikan acuan objektif. Namun tidak demikian dengan periferal PC. Belum lagi ukuran tangan, kecepatan mengetik, kecakapan bermain game, perangkat yang biasa digunakan, dan lain sebagainya tentunya akan berbeda-beda untuk setiap orang.

Oleh karena itu, semoga pengalaman saya mereview puluhan periferal gaming dan menggunakan belasan produk SteelSeries (baik itu beli sendiri ataupun kiriman barang review) sejak 2008 bisa menjadi justifikasi untuk memberikan penilaian yang cukup fair untuk SteelSeries Apex 7 ini.

Bodi dan Fisik

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Untuk bodi Apex 7 ini, ia terlihat cukup seksi dan menawan. Ia cukup ramping meski saya membeli yang versi full size (bukan TKL). Tidak ada frame yang terlalu lebar dan juga tak ada tombol khusus makro (yang biasanya di sebelah kiri tombol CAPS LOCK dan Tab) membuatnya ideal bagi Anda yang mungkin tak punya meja berukuran besar.

SteelSeries juga menggunakan metal frame yang disebut aircraft grade aluminum alloy untuk fondasi dari keyboard yang satu ini — sama seperti yang digunakan di versi yang lebih mahal, Apex Pro. Saat saya pegang sendiri, bahannya memang terasa sangat solid dan durable. Kecuali Anda memang atlet pencak silat yang suka mematahkan batu bata, saya rasa frame dari Apex 7 ini tidak akan mudah dipatahkan. Untuk harganya yang mungkin cukup premium untuk sebagian orang (Rp2,6 jutaan), build quality Apex 7 ini saya rasa cukup sepadan.

Ia juga dilengkapi dengan wrist rest yang cukup nyaman. Sebelum menggunakan keyboard ini persis, saya menggunakan Razer Ornata yang juga memiliki bantalan pergelangan tangan. Namun bantalan Ornata tadi terbuat dari busa yang dilapisi karet kulit, yang kempes busanya dan terkelupas kulitnya sebagian saat saya gunakan lebih dari satu tahun. Wrist rest dari Apex 7 ini harusnya akan lebih awet karena memang tidak menggunakan busa dan kulit. Meski begitu, ia tetap menggunakan lapisan yang halus dan sangat nyaman digunakan untuk berlama-lama. Saya bisa mengetik dan bermain game selama 8 jam terus menerus dengan Apex 7 ini tanpa merasa pegal ataupun sakit dengan dudukannya.

Kenyamanan dan Kecepatan Tombol

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Seperti yang saya tuliskan di bagian awal artikel ini, meski pilihan switch-nya adalah Red dan Blue (saya tidak menemukan opsi Brown di beberapa toko saat ingin membeli), Apex 7 tidak menggunakan Cherry MX. Keyboard ini menggunakan switch-nya sendiri (SteelSeries QX2 Mechanical RGB Switch). Hal ini mungkin bisa jadi membingungkan buat sebagian orang. Jujur saja, saya lebih suka penamaan switch mekanikal dari Razer (Green, Orange, Yellow) karena jadi tidak membingungkan dengan sistem penamaan yang sudah digunakan Cherry MX.

Saya pun membeli yang Blue Switch, yang tactile (yang berbunyi klik saat dipencet). Saat digunakan untuk bermain game, tombol-tombolnya sangat nyaman digunakan dan responnya pun cepat. Kenyamanan dan kecepatan tombolnya sungguh sempurna untuk bermain game — setidaknya saya tidak menemukan masalah apapun. Responnya jelas lebih cepat dari keyboard yang masih menggunakan membran dan sesuai ekspektasi saya atas produk SteelSeries.

Namun demikian, jika digunakan untuk mengetik, jujur saya lebih suka dengan Blue Switch dari Cherry MX karena feel-nya terasa lebih mantap. Tentunya hal ini bisa jadi pertimbangan sendiri untuk Anda. Saya tahu Apex 7 memang dibuat untuk bermain game namun saya kira kebanyakan orang tidak akan memiliki 2 keyboard, satu khusus untuk bermain dan satu lagi khusus untuk mengetik.

Mengingat ini juga bukan switch dari Cherry MX, saya pun belum bisa berbicara banyak soal durabilitasnya. Untuk keyboard yang menggunakan Blue Switch dari Cherry MX yang pernah saya miliki, saya bisa menggunakan keyboard tersebut lebih dari 3 tahun tanpa masalah — sampai saya bosan sendiri dan ingin ganti. Mungkin, jika saya tidak lupa, saya akan meng-update artikel ini satu tahun setelah saya menggunakannya atau setelah saya menemukan masalah dengan tombol-tombolnya.


View this post on Instagram

A post shared by Yabes Elia (@elia.yabes)

Update 25 Januari 2021: Switch untuk tombol Enter yang ada di keyboard ini sudah tidak berfungsi normal meski belum satu tahun saya gunakan — tanggal pembelian saya 27 Mei 2020. Memang keyboard ini diklaim menawarkan garansi 1 tahun dari tanggal pembelian, saya tidak tahu apakah masalah yang saya alami ini mencakup aturan main garansi dari SteelSeries.

Misalnya pun masih masuk garansi, jujur saja, saya sebenarnya malas mengurus hal-hal semacam ini karena membuang waktu saya. Saya lebih berharap dengan membeli keyboard premium, saya tak perlu dipusingkan dengan masalah peripheral yang rusak.

SteelSeries memberikan klaim bahwa switch Apex 7 ini bisa bertahan sampai dengan 50 juta kali pencetan. Dibandingkan dengan produsen lainnya, switch dari Razer diklaim mampu bertahan sampai dengan 80 juta kali. Sedangkan Logitech malah tidak menyebutkan berapa kali switch-nya bisa bertahan.

Ukuran SteelSeries Apex 7 relatif dengan objek-objek di sekitar. Dokumentasi: Hybrid
Ukuran SteelSeries Apex 7 relatif dengan objek-objek di sekitar. Dokumentasi: Hybrid

Jika boleh jujur, saya sebenarnya sedikit menyesal membeli Apex 7 ini. Bukan karena keyboard ini mengecewakan juga tapi karena Apex Pro dibanderol dengan harga yang tidak jauh berbeda. Saat artikel ini ditulis, Apex Pro dibanderol di kisaran harga Rp3 juta. Jadi, selisih harganya hanyalah Rp400 ribuan antara Apex 7 dan Apex Pro. Selisih harga ini mungkin saja tidak berarti buat orang-orang yang mampu membeli keyboard seharga Rp2,5 juta ke atas.

Memang salah saya juga sih yang kelewatan cek harga SteelSeries Apex Pro. Waktu saya ingin membeli Apex 7 ini, saya justru lebih membandingkan harganya dengan Razer Huntsman Elite (Rp4,5 juta) dan Corsair K95 RGB Platinum XT (Rp3,5 juta). Kedua produk tadi adalah flagship dari Razer dan Corsair. Makanya, awalnya saya kira Apex Pro yang merupakan flagship dari SteelSeries akan berada di kisaran harga yang setara dengan dua produk tadi. Saya baru menyadari setelah membelinya, ternyata saingan terberat produk ini justru datang dari saudaranya sendiri.

Dengan harga Rp400 ribu lebih mahal, Anda bisa mendapatkan Apex Pro yang super canggih karena kecepatan dan kedalaman switch tombolnya bisa disesuaikan dengan selera Anda. OmniPoint Switch yang digunakan di SteelSeries Apex Pro juga diklaim mampu bertahan sampai dengan 100 juta pencetan. Jadi, ada yang mau bayarin Apex 7 saya? Sebelum saya ganti ke Apex Pro? Wkwkwkwkkw… 

Fitur Tambahan SteelSeries Apex 7

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Ini aspek terakhir yang akan saya bahas di review kali ini. Apex 7 memiliki beberapa fitur tambahan yang cukup menarik sebenarnya. Ada USB passthrough port, ada cable routing di bagian bawah keyboard, dan ada juga beberapa tombol untuk fungsi multimedia di bagian kanan atas.

Dari 3 fitur tadi, yang berguna buat saya hanyalah tombol volume multimedianya. Saya sudah menggunakan casing dengan 4 port USB di depan dan saya sudah punya banyak cable ties dan velcro untuk merapihkan kabel. Namun demikian, mungkin saja, fitur-fitur tambahan tadi bisa berguna buat Anda.

Selain itu, Apex 7 juga menawarkan layar OLED meski sayangnya tidak secanggih yang saya bayangkan. Jika Anda bermain CS:GO ataupun Dota 2, layar OLED nya bisa digunakan untuk menampilkan beberapa informasi menarik seperti KDA. Anda bisa membaca sendiri hal-hal apa saja yang bisa dilakukan dengan layar OLED tadi di blog resmi dari SteelSeries.

Buat saya pribadi, sayangnya, saya adalah tipe gamer yang lebih suka menyelesaikan singleplayer campaign — saat ini saya sedang bermain XCOM: Chimera Squad, setelah baru saja menyelesaikan Assassin’s Creed Odyssey sampai 100%. Atau, saya juga lebih berharap layar OLED nya bisa menampilkan informasi suhu CPU, GPU atau monitoring jeroan lainnya. Jadinya, saya hanya bisa memanfaatkan layar OLED tadi untuk GIF saja.

Screenshot dari SteelSeries Engine 3.
Screenshot dari SteelSeries Engine 3.

Selain itu, di sini saya juga ingin membahas soal SteelSeries Engine. Buat sebagian besar orang, software dari gaming peripheral mungkin memang tidak diperhatikan. Namun saya suka saja iseng bermain-main dengan fungsi makro. Sayangnya, jika saya membandingkan fungsi makro antara SteelSeries Engine (versi 3.17.8) dan Razer Synapse (versi 3.5.531) — sama-sama update terbaru saat artikel ini ditulis — Razer lebih unggul.

Karena Razer Synapse bisa merekam pergerakan mouse — bukan hanya tombol-tombol yang dipencet. Karena itu, dengan Razer Synapse, saya bisa menetralisir recoil di game FPS. Di luar itu, SteelSeries Engine sebenarnya juga tidak jelek dan sangat lengkap fungsi makronya. Anda bisa merekam tombol mouse di keyboard, mengganti delay antar tombol, dan mengedit sendiri makro yang sudah di-record. Saya berani bertaruh untuk berkata bahwa SteelSeries Engine adalah salah satu yang terbaik soal fungsi makro — meski sayangnya tadi ada satu fitur dari Razer Synapse yang tak ada di sini.

Terakhir, untuk urusan RGB, Apex 7 dan SteelSeries Engine juga cukup komprehensif. Saya saja sungguh kewalahan dengan konfigurasi lampu-lampu yang ada untuk Apex 7 — mengingat juga saya sebenarnya lebih tertarik dengan memainkan fitur makro ketimbang lampu-lampu RGB.

Kesimpulan

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Jadi, apakah Apex 7 ini layak dibeli? Jika saya tidak mengalami masalah dengan keyboard ini, Apex 7 sangat menyenangkan untuk digunakan. Sayangnya, saya salah satu orang yang tidak beruntung. Saingan ketatnya justru datang dari saudaranya sendiri, Apex Pro. Jika selisih harga Rp400 ribu tidak jadi masalah untuk Anda, Apex Pro lebih menggiurkan untuk dibawa pulang. Sedangkan untuk saingannya yang punya banderol harga sedikit lebih murah, mungkin datang dari Corsair K70 RGB MK.2 yang menggunakan switch Cherry MX.

Namun demikian, sentimen di dunia maya untuk Apex 7 lebih positif ketimbang Corsair K70 RGB MK.2. Jika tidak percaya silakan googling SteelSeries Apex 7 problems” dan “Corsair K70 RGB MK.2 problems“. Meski begitu, sentimen ini mungkin juga tidak bisa dijadikan satu-satunya tolak ukur soal durabilitas.

Satu hal yang pasti, saya sangat puas menggunakan Apex 7 ini — meski memang punya beberapa kekurangan dan sedikit menyesal melewatkan Apex Pro…

Spesifikasi SteelSeries Apex 7

Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries

Tipis dan Ringkas, Logitech G915 TKL Juga Siap Manjakan Gamer dengan Konektivitas Wireless

Logitech G915 yang dirilis tahun lalu merupakan sebuah keyboard mekanis yang cukup unik. Unik karena semua tutsnya jauh lebih tipis dari biasanya, dan tebal perangkat secara keseluruhan hanya berkisar 22 mm saja.

Dipadukan dengan konektivitas wireless, G915 merupakan solusi portable yang sangat menarik bagi penggemar keyboard mekanis. Sayang sekali keberadaan deretan numpad di sebelah kanan mungkin membuat sejumlah konsumen jadi enggan membelinya, dan ini secara langsung juga berpengaruh pada portabilitasnya.

Buat mereka yang enggan, Logitech sudah punya jawabannya. Mereka baru saja menyingkap G915 TKL. TKL, bagi yang tidak tahu, merupakan singkatan dari istilah “tenkeyless“, dan semua keyboard yang mengusung embel-embel TKL di belakangnya sudah pasti tidak memiliki numpad.

Tebal dan lebar sasis aluminiumnya sama persis seperti G915 versi standar, akan tetapi panjangnya menyusut drastis menjadi 36,8 cm sehingga jauh lebih mudah dimasukkan ke dalam tas. Satu hal yang perlu dicatat, selain kehilangan numpad, G915 TKL juga tidak memiliki 5 tombol makro di bagian kiri seperti versi standarnya.

Logitech G915 TKL

Selebihnya, kedua keyboard cukup identik. G915 TKL tetap mengemas sederet tombol multimedia sekaligus kenop volume. Keunggulannya pun tetap dipertahankan, yakni switch mekanis jenis low profile yang menawarkan aktuasi 25% lebih cepat. Logitech lagi-lagi menghadirkan tiga pilihan switch dengan karakteristik yang berbeda: Clicky, Tactile, dan Linear.

Menariknya, daya tahan baterai G915 TKL justru lebih awet, sampai 40 jam pemakaian meski backlight RGB-nya menyala dengan tingkat kecerahan maksimum. G915 standar di sisi lain cuma bisa bertahan sampai 30 jam dengan skenario yang sama.

Di Amerika Serikat, Logitech G915 TKL saat ini telah dipasarkan seharga $230, alias $20 lebih murah daripada versi standarnya, dan $30 lebih mahal ketimbang G815, yang pada dasarnya merupakan G915 standar versi non-wireless.

Sumber: Logitech.

Lenovo Luncurkan Lebih dari Selusin Gaming PC Plus Periferal Baru

Terlepas dari penundaan serta pembatalan beragam perhelatan bertema teknologi, banyak perusahaan berupaya agar agenda mereka tidak terlalu terpengaruh pandemi virus corona. Mendekati pertengahan tahun, sejumlah produsen PC tetap mengenalkan dan meluncurkan produk baru, meski daya beli konsumen boleh dikatakan sedang menurun. Langkah ini tentu saja didorong oleh ketersediaan komponen-komponen anyar.

Minggu ini, Lenovo memperkenalkan deretan produk gaming baru lewat rilis pers super-panjang. Jumlahnya sangat banyak – ada lebih dari selusin – terdiri dari varian desktop, laptop serta aksesori-aksesori menarik. Beberapa dari mereka adalah versi refresh, tapi ada pula yang merupakan produk baru. Satu perangkat yang mencuri perhatian saya ialah external GPU dock/enclosure buat mendongkrak performa grafis notebook ultra-thin.

Lenovo membekali PC-PC tersebut dengan prosesor mobile Intel anyar (Comet Lake-H) dan AMD Ryzen 4000, namun sepertinya Intel jadi prioritas. Beberapa unit disediakan secara global, tetapi ada pula yang dihadirkan di kawasan tertentu saja. Mayoritas dari produk ini akan mulai dipasarkan di bulan Mei 2020 dan sisanya akan menyusul nanti.

Berikut adalah daftar model PC dan harganya (huruf ‘i menandai pemakaian prosesor Intel):

  • Legion Y740Si – mulai US$ 2.000, Mei 2020
  • Legion 7i 15-inci – mulai US$ 1.600, Mei 2020
  • Legion 5Pi 15-inci – tidak dijual di AS
  • Legion 5Pi 17-inci – tidak dijual di AS
  • Legion 5i 15-inci – mulai US$ 830, Mei 2020
  • Legion 5i 17-inci – mulai US$ 1.130, Mei 2020
  • Legion 5 (AMD) 15-inci – mulai US$ 850, Mei 2020
  • Legion Tower 5i – mulai US$ 800, Mei 2020
  • Legion Tower 5 (AMD) – tiba tahun ini
  • IdeaPad Gaming 3i 15-inci – mulai US$ 730, Mei 2020
  • IdeaPad Gaming 3 (AMD) 15-inci – tiba tahun ini
  • IdeaCentre Gaming 5i – tidak dijual di AS
  • IdeaCentre Gaming 5 (AMD) – tidak dijual di AS

Sempat disinggung sebelumnya, Lenovo juga merilis rentetan periferal pendukung gaming:

  • Legion Y25-25 Gaming Monitor – mulai US$ 320, Juni 2020
  • Legion M600 Gaming Mouse (wireless) – mulai US$ 80, April 2020
  • Legion M300 Gaming Mouse (RGB) – mulai US$ 30, April 2020
  • Legion K300 Gaming Keyboard (RGB) – mulai US$ 50, Mei 2020
  • Lenovo Legion BoostStation eGPU – untuk Legion Y740Si, mulai US$ 250, tersedia opsi GeForce RTX 2060 6GB atau Radeon RX 5700 XT 8GB

Lewat perangkat-perangkat ini, Lenovo menghadirkan sejumlah teknologi mutakhir semisal keyboard Legion TrueStrike, sistem termal Coldfront 2.0, Hybrid Mode, Nvidia Advanced Optimus dan Rapid Charge Pro buat memperpanjang daya tahan baterai, serta pernak-pernik seperti Dolby Vision, OverDrive dan opsi panel 240Hz serta waktu respons 1-milidetik. Untuk kartu grafis, Lenovo menyediakan pilihan GPU GeForce GTX 1650 Ti hingga RTX 2080 Super dengan desain Max-Q.

SteelSeries Luncurkan 3 Gaming Gear Terjangkau Untuk Gamer Pemula

Dalam memilih gaming gear, tiap orang memang punya preferensi brand sendiri. Tapi kini makin banyak konsumen memahami bahwa masing-masing merek punya kekuatan: ada yang memberikan pilihan paling banyak, mutu terbaik di harga terjangkau, hingga nama-nama apa saja yang menguasai lini high-end. Di kelas inilah kita bisa menemukan perangkat berdesain unik dengan fitur-fitur canggih.

Meski begitu, segmen entry-level tentu tetap jadi tulang punggung bisinis terlepas dari begitu ketatnya kompetisi di sana. Demi membuat penawarannya lebih menarik, produsen menurunkan sejumlah fitur premium ke produk-produk terjangkau. Inilah strategi SteelSeries dalam mengenalkan tiga periferal anyarnya. Perangkat-perangkat ini disiapkan sebagai gaming gear pertama bagi mereka yang baru mulai menyeriusi gaming.

Tiga produk SteelSeries baru itu meliputi mouse bernama Rival 3 dan dua buah keyboard, yaitu Apex 3 dan Apex 5.

 

Rival 3

Rival 3 ialah mouse spesialis gaming dengan rancangan simetris khas SteelSeries. Meski demikian, ia dirancang untuk digunakan di tangan kanan karena thumb button-nya diposisikan di sisi kiri. Struktur tubuhnya terbuat dari ‘material premium’, dan demi mempercantik penampilannya, SteelSeries tidak lupa membubuhkan sistem pencahayaan RGB LED tiga zona pada logo serta striping di bagian bawah.

SS 1

Mouse menyajikan total enam buah tombol yang menyimpan switch mekanis berdaya tahan hingga 60 juta kali tekan. Di rentang harga ini, switch biasanya hanya tahan sampai 10 atau 20 juta kali tekan. Selanjutnya, Rival 3 memanfaatkan sensor optik TrueMove Core dengan sensitivitas DPI dari 100 sampai 8.500, dan kabarnya dibekali kemampuan melacak 1:1 dalam menerjemahkan gerakan tangan ke layar.

 

Apex 3

Apex 3 merupakan keyboard berdaya tahan paling tinggi terjangkau yang SteelSeries miliki. Alasannya adalah penggunaan struktur kedap air bersertifikasi IP32 sehingga ia tidak langsung rusak ketika Anda tak sengaja menumpahkan minuman saat sedang seru bermain. Apex 3 menghidangkan layout full-size dengan numerical pad, dilengkapi wrist rest magnetik, serta siap memeriahkan kegiatan gaming Anda dengan tarian warna LED RGB 10-zona.

SS 2

Apex 3 masih menggunakan jenis switch karet. Tapi SteelSeries tak mau ia disamai dengan switch membran biasa: papan ketik tetap bisa bekerja normal hingga 20 juta kali tekan. Selain itu, keyboard mempunyai fitur antighosting, rangkaian tombol multimedia dedicated, serta ditunjang kabel routing tiga arah.

 

Apex 5

Apex 5 diramu untuk memperkuat lini tengah keyboard SteelSeries dan menyuguhkan upgrade signifikan dari Apex 3. Tubuhnya terbuat dari aluminium kelas pesawat terbang, kemudian terdapat layar OLED di area kanan atas untuk menampilkan profil, info permainan hingga notifikasi Discord. Sistem backlight-nya pun lebih canggih, Apex 5 memanfaatkan RGB LED per-key yang memperkenankan kita buat mengustomisasi pencahayaan tiap tuts. Dan tentu saja, SteelSeries turut membekalinya dengan wrist rest magnetik.

SS 5

Jantung dari Apex 5 adalah switch hybrid racikan SteelSeries sendiri. Switch ini tetap menggunakan membran karet sebagai basisnya, dipadu struktur mekanis sehingga tiap tekanan pada tombol memberikan sensasi clicky ala Cherry MX Blue. Switch hybrid juga dijanjikan lebih awet dari varian membran dengan daya tahan hingga 20 juta kali tekan.

SS 6

Ketiga produk sudah mulai dipasarkan, namun saat ini mereka masih belum tersedia di Indonesia. Berikut daftar harganya:

Sumber: SteelSeries.

Logitech G915 dan G815 Usung Switch Mekanis Berukuran 2x Lebih Tipis dari Biasanya

Logitech punya sepasang keyboard mekanis baru untuk para gamer: Logitech G915 dan G815. Keduanya merupakan keyboard pertama Logitech yang mengusung switch baru bertipe low profile, dengan dimensi jauh lebih tipis daripada switch mekanis pada umumnya.

Logitech bilang bahwa tebal switch low profile ini hanya separuh switch mekanis standar. Karena tipis, masing-masing tuts-nya juga bisa ikut dibuat tipis, dan tebal keseluruhan perangkatnya pun tercatat hanya 22 mm. Bukan sebatas memberikan kenyamanan ekstra, kombinasi ini juga berdampak pada performa; dengan klaim 25 persen aktuasi yang lebih cepat, mengingat kita tak perlu menekan tombol sedalam biasanya.

Switch dengan kode GL ini tersedia dalam tiga varian: GL Clicky, GL Tactile, dan GL Linear. Masing-masing memiliki karakteristik yang serupa dengan trio switch Cherry MX yang paling umum: GL Clicky mirip Cherry MX Blue, GL Tactile mirip Cherry MX Brown, dan GL Linear mirip Cherry MX Red.

Logitech G915

Baik G915 maupun G815 sama-sama mengadopsi layout full-size, dengan tambahan sederet tombol makro di kiri dan tombol preset profil di atas, serta tombol multimedia dan kenop volume di ujung kanan atas. Semuanya tentu sudah dibekali RGB backlight, dan nyala warna-warninya ini dapat disinkronisasikan dengan jalannya game atau film yang sedang diputar.

Kedua keyboard ini sama-sama mengemas sasis aluminium. Yang membedakan di antara keduanya hanyalah soal konektivitas: G915 itu wireless, sedangkan G815 bukan. Wireless dalam kamus Logitech dikenal dengan istilah Lightspeed, yang pada dasarnya mengandalkan dongle yang menyambung ke komputer demi menyajikan koneksi wireless yang amat stabil dan rendah latency.

Logitech G815 / Logitech
Logitech G815 / Logitech

Soal baterai, G915 juga amat efisien. Dalam satu kali pengisian, baterainya bisa tahan sampai 12 hari, atau bahkan sampai 135 hari apabila semua backlight-nya dimatikan. Proses charging-nya juga tergolong singkat, cuma 3 jam dari kosong hingga penuh, dan tentu saja perangkat tetap bisa digunakan selagi tersambung ke PC via kabel.

Logitech G915 saat ini telah dipasarkan seharga $250. Kalau konektivitas wireless bukan prioritas dan Anda ingin berhemat, Logitech G815 yang dihargai $200 bisa menjadi alternatif.

Sumber: Logitech.

HyperX Luncurkan Keyboard Mekanis dengan Switch Bikinan Mereka Sendiri, Alloy Origins

Bicara soal keyboard mekanis, sebagian besar pasti mengandalkan switch Cherry MX. Namun belakangan mulai banyak pabrikan yang memberanikan diri merancang switch bikinannya sendiri, contohnya Logitech dan Razer. Sekarang, giliran Kingston yang menyusul lewat divisi gaming-nya, HyperX.

Di ajang Computex 2019, mereka mengumumkan HyperX Alloy Origins, keyboard mekanis pertama yang mengemas switch rancangan mereka sendiri. Switch berwarna merah ini memiliki karakter yang mirip seperti Cherry MX Red yang sangat populer: linear dan non-taktil, dengan aktuasi yang lebih ringan ketimbang Cherry MX Black.

Yang membuat switch bikinan HyperX ini berbeda adalah jarak travel dan titik aktuasi yang lebih rendah, spesifiknya 3,8 mm dan 1,8 mm. Secara teori ini, ini berarti pengguna Alloy Origins bisa lebih lincah dalam memberdayakan jari-jemarinya selama sesi gaming berlangsung. Lebih lanjut, HyperX juga mengklaim daya tahan switch bikinannya mencapai angka 80 juta klik.

Layout-nya sendiri mengadopsi jenis full-size, yang berarti masih ada deretan tombol numpad di sisi kanan. Pencahayaan RGB sudah pasti ada demi mendapat pengakuan di ranah gaming, dan secara keseluruhan Alloy Origins tampak kokoh berkat sasis aluminiumnya.

Rencananya, HyperX Alloy Origins bakal dipasarkan mulai kuartal ketiga tahun ini seharga $110. HyperX juga berniat menambah variasi switch-nya dalam waktu dekat, sehingga konsumen bisa mempunyai lebih banyak pilihan untuk disesuaikan dengan selera dan kebutuhan masing-masing.

Sumber: The Verge dan TechCritter.

Razer Luncurkan Koleksi Periferal Bertema Stormtrooper

Ketika mendengar nama Razer, saya yakin yang terbayangkan di benak Anda adalah kumpulan periferal gaming dengan warna serba hitam dan hijau. Di satu sisi, hal ini terkesan konsisten, tapi di sisi lain juga cukup membosankan. Itulah mengapa Razer dari waktu ke waktu juga menyuguhkan koleksi periferal bertema khusus, macam Destiny 2 dan Overwatch.

Yang terbaru, suguhan periferal bertema khusus mereka ditujukan bagi para penggemar Star Wars. Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, yang diangkat secara spesifik adalah Stormtrooper dengan warna khas putih beraksen hitamnya. Dalam koleksi ini, total ada tiga perangkat yang ditawarkan: keyboard BlackWidow Lite, mouse wireless Atheris dan mousepad Goliathus Extended.

Razer BlackWidow Lite - Stormtrooper Edition

BlackWidow Lite, seperti yang kita tahu, dirancang untuk memenuhi kebutuhan produktif sekaligus gaming. Arahan itu tersirat dari penggunaan switch mekanis Razer Orange yang bersifat taktil sekaligus senyap ketika diklik. Supaya tidak kelewat norak di atas meja kerja, sekaligus agar senada dengan tema Stormtrooper, backlight LED di balik masing-masing tombolnya menyala putih ketimbang RGB.

Untuk edisi khusus ini, Razer rupanya cukup perhatian terhadap detail-detail kecil yang mungkin tak kelihatan secara kasat mata. Contohnya adalah kabel braided dengan corak hitam-putih, serta lambang kubu Imperial pada tombol Esc.

Razer Atheris - Stormtrooper Edition

Beralih ke mouse-nya, Atheris sebelumnya juga Razer siapkan untuk dipakai bekerja sekaligus bermain. Wajah Stormtrooper terpampang jelas di tubuh ambidextrous-nya, dan performanya masih sama seperti Atheris standar berkat sensor optik 7.200 DPI yang diusungnya.

Terkait konektivitas wireless-nya, pengguna dibebaskan menggunakan sambungan Bluetooth atau dengan bantuan dongle 2,4 GHz-nya. Berbekal sepasang baterai AA saja, Atheris dapat digunakan selama lebih dari 300 jam.

Razer Stormtrooper Edition

Tiga periferal edisi Stormtrooper ini sekarang sudah dipasarkan dengan harga sebagai berikut:

Sumber: Razer.