Hybrid Channel Jadi Kunci UMKM Bertahan Sekaligus Bertumbuh di Tengah Pandemi

Di tengah situasi ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19, digitalisasi ternyata memegang peranan penting bagi pebisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar dapat bertahan, bahkan sekaligus meraih pertumbuhan yang signifikan.

Hal itu dibuktikan melalui data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) yang menyatakan, hanya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang telah terhubung dengan platform digital mampu mengalami pertumbuhan. Lebih spesifik lagi, pertumbuhan tersebut mencapai 26%.

Merespon potensi di atas, indeks kepercayaan UMKM di semester awal tahun 2021 meningkat tajam dibanding dengan periode sebelumnya terhadap iklim bisnis di kala pandemi. Sejalan dengan itu, kini pelaku UMKM semakin “melek” dengan strategi kanalisasi ‘Hybrid’ (Hybrid Channel), yakni menjalankan bisnis di dua kanal yaitu offline dan online. Strategi ini diyakini sebagian besar pebisnis UMKM dapat membantu meraih pertumbuhan yang positif di tengah tantangan pandemi.

Pengaplikasian ‘Hybrid Channel’ diklaim mampu meningkatkan penjualan yang signifikan. Berdasarkan laporan Digital SME Confidence Index 2021 yang dirilis oleh KoinWorks, sebanyak 48% pelaku UMKM lebih memilih mengadopsi kanal hybrid untuk bertahan dan membuka peluang baru. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan penjualan sebesar 7% atau rata-rata 44% pada UMKM yang menjalankan bisnis secara hybrid.

Hybrid Channel juga mendorong pergerakan Offline to Online (O2O) yang di sisi lain mampu membuka peluang komprehensif bagi pelaku industri startup digital untuk menciptakan sebuah ekosistem baru guna mendukung pertumbuhan UMKM.

Ekosistem UMKM digital sendiri lahir karena adanya kolaborasi antara pemilik bisnis dan perusahaan. Kolaborasi dan sinergi ini diperlukan untuk menghadapi masa sulit saat ini dan juga perbekalan untuk menghadapi era pasca pandemi.

Solusi yang lahir dari ekosistem digital UMKM hadir dengan berbagai macam solusi di antaranya; solusi ecommerce, logistik, akses pendanaan berbasis teknologi, hingga pengelolaan keuangan dan sumber daya manusia.

Salah satu solusi yang bisa kita lihat saat ini yakni adanya dukungan akses pendanaan berbasis teknologi seperti yang diusung oleh KoinWorks. Dalam pemaparannya pada webinar “A new hope: What’s next for the SME’s in the digital era” beberapa waktu lalu, angka pencairan pendanaan produktif dari KoinWorks mencapai lebih dari Rp930 Miliar pada kuartal pertama tahun 2021.

Meski begitu, persaingan industri yang semakin ketat menuntut para pelaku UKM untuk mempelajari kiat dan strategi baru di ranah digital untuk terus menarik konsumen. Masih dengan laporan yang sama dari KoinWorks, terbukti sebanyak 89% pelaku UMKM mengikuti proses e-learning untuk mempelajari seluk-beluk menjalankan bisnis secara digital, mulai dari pemahaman pemasaran digital hingga media sosial.

Di sisi lain, dampak positif digitalisasi selain meningkatkan indeks kepercayaan dan kemampuan meningkatkan penjualan, transformasi digital juga berhasil membuat para pelaku UMKM tak lagi khawatir dengan gempuran produk impor.

Sebagian dari mereka bahkan menjadikan hal itu sebagai peluang baru untuk dapat menjual kembali produk impor tersebut agar mendapatkan nilai tambah pada bisnisnya. Di samping itu, transformasi digital juga bahkan membantu mereka membuka keran ekspor, yang artinya tentu juga berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan nilai ekspor secara nasional.

Transformasi digital diharapkan dapat terus diakselerasi tidak hanya semata-mata demi menghadapi pandemi, namun juga mempersiapkan situasi dan kondisi pasar pasca pandemi yang nantinya akan semakin dinamis dan kompetitif.

Sesuai data yang dilansir oleh Kominfo, baru ada 3,79 juta UMKM yang memanfaatkan platform online dalam memasarkan produknya. Jumlah ini hanya baru berkisar sekitar 8% dari total pelaku UMKM yang ada di Indonesia, yakni 59,2 juta. Potensi dan ceruk pasarnya artinya masih sangat luas dan perjalanannya masih cukup panjang dalam mewujudkan ekosistem UMKM digital yang menyeluruh. Untuk itu diperlukan sinergi apik ke depannya antara UMKM, startup digital, dan tak lupa pemerintah sebagai regulator.

Konsep “Earned Wage Access” Menormalisasi Pembayaran Gaji di Muka

Ada yang bilang uang bisa menyelesaikan semua masalah. Ironisnya hal tersebut benar. Mengutip dari studi Health Living Index oleh AIA, uang adalah sumber utama faktor stres di Indonesia. Keuangan rumah tangga menyebabkan orang Indonesia lebih stres daripada pekerjaan, hubungan, atau bahkan kesehatan fisik mereka.

Survei global lainnya yang diselenggarakan PwC pada 2019 menemukan bahwa sebanyak 67% pekerja melaporkan berjuang pada tekanan finansial, yang berarti lebih dari dua pertiga populasi pekerja rentan terhadap migrain, depresi, dan kecemasan. Banyak penelitian menyoroti efek stres keuangan karyawan terhadap kinerja bisnis.

Menurut PwC, pekerja menghabiskan tiga jam atau lebih per minggu untuk fokus pada masalah keuangan daripada pekerjaan mereka. Dari karyawan yang melaporkan stres keuangan, sebanyak 12% kehilangan pekerjaan karena masalah tersebut, dan 31% merasa produktivitas mereka terpengaruh. Satu dari tiga pekerja mengaku kurang produktif di tempat kerja karena stres finansial.

PwC memperkirakan bahwa untuk sebuah perusahaan dengan 10.000 pekerja, semua masalah yang berkaitan dengan tekanan keuangan ini dapat menelan biaya hingga $3,3 juta dalam satu tahun.

Di Indonesia sendiri, pekerja kelas menengah ke bawah masih mendominasi dari kelas pekerja. Bank Dunia mencatat dari total 85 juta penerima pendapatan yang meliputi, pegawai, pekerja kasual, dan wiraswasta, hanya 13 juta pekerja atau 15% yang memiliki pendapatan cukup untuk membiayai kehidupan kelas menengah dengan empat anggota keluarga.

Dari kelompok tersebut, hanya 3,5 juta atau 4% pekerja dengan pendapatan setara kelas menengah sekaligus menikmati manfaat sosial secara utuh dan memiliki status pegawai tetap.

Ini belum bicara mengenai pekerja lepas yang jumlahnya mencapai 33,34 juta, naik 26% YOY per Agustus 2020 menurut data BPS. Pekerja lepas di Indonesia berada di posisi terendah dari piramida perlindungan kerja, bahkan kalah dari pekerja kerah biru yang dilindungi UU No.13 Tahun 2003.

Pekerja lepas di sini hampir tidak memiliki jaminan terkait tenaga kerja, baik itu jaminan pekerjaan, pendapatan atau perlindungan sosial. Jaminan sosial mereka tidak diwajibkan untuk masuk sebagai bagian dari hak yang harus diberikan pemberi kerja, yang berarti mereka harus membayar produk untuk melindungi diri mereka sendiri.

Isu kesehatan finansial ini sebenarnya tidak terjadi di Indonesia saja, juga di berbagai belahan dunia lainnya. Tidak ada alat atau pendekatan tunggal yang dapat memenuhi semua kebutuhan keuangan karyawan. Pemberi kerja harus mempertimbangkan untuk menyediakan program dan alat yang lebih membekali karyawan untuk menangani keadaan darurat keuangan.

Sementara banyak pemberi kerja memberikan pinjaman karyawan (seperti kasbon), sebenarnya mereka hanya mengunci arus kas yang berharga dan belum dapat memberikan fleksibilitas dan solusi instan kepada karyawan. Misalnya, golongan pekerja kelas bawah yang harus berjuang dengan pendapatan atau pengeluaran yang tidak stabil karena berbagai alasan, termasuk tagihan yang tidak terduga atau meningkat dan jam kerja yang berfluktuasi.

Untuk para pemberi kerja, program earned wage access (EWA) memungkinkan karyawan mengakses sebagian dari gaji mereka lebih awal dapat membantu mereka menyelaraskan waktu pendapatan mereka dengan pengeluaran yang diharapkan atau tidak terduga untuk menghindari biaya keterlambatan atau penalti.

Amerika Serikat menjadi negara pertama yang mengambil pendekatan teknologi untuk menyelesaikan isu upah lewat teknologi. Perusahaan pionirnya adalah Payactiv, pionir produk earned wage access, yang sudah meluncur sejak 2012 silam.

Ada yang mengartikan kepanjangan EWA sebagai early wage access. Ada juga yang memakai istilah lainnya seperti, on-demand pay, instant pay, daily pay benefit, atau earned income access. Tapi seluruh nama tersebut merujuk pada solusi yang melakukan hal dasar yang sama: membantu karyawan mengakses upah yang telah mereka peroleh sebelum hari gajian tiba.

Namun sejatinya, Payactiv menciptakan istilah earned wage access itu dengan hati-hati karena mereka sangat menyadari setiap kata-kata dalam istilah itu spesifik penuh makna. Founder dan CEO Payactive Safwan Shah menjelaskan, kata “earned wage” adalah upah yang diperoleh, jadi bukan “early” diperoleh di awal yang berkonotasi ketidaksabaran.

“Itu upah (wage), bukan penghasilan karena penghasilan bisa berupa komisi atau semacamnya; dan kata akses (access), bukan uang muka yang menyiratkan seolah-olah seseorang membantu Anda. Alasan untuk setiap kata sangat spesifik,” ujar Shah mengutip dari wawancara bersama Forbes.

Menurutnya, kunci utama yang ditawarkan dari EWA adalah kapan waktu pekerja di bayar sepenuhnya dikendalikan oleh pemberi kerja. Ini adalah keputusan teknologi. Ide awal inilah menjadi cikal bakal dari Payactiv sekitar 10 tahun lalu.

“Saya katakan jika teknologi mendorong waktu pembayaran, maka kita dapat menciptakan teknologi dan produk di mana orang dapat mengakses uang mereka saat mereka mendapatkannya. Saya memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa, agar layanan ini diberikan dengan benar, pemberi kerja harus menjadi bagian dari solusi.”

Payactiv Wagestream Even
Tahun beroperasi 2012 2018 2014
Negara Amerika Serikat Inggris Amerika Serikat
Total pendanaan $133,7 juta $79,3 juta $52 juta
Total pengguna 2 juta orang 1 juta orang 500 ribu orang
Investor Softbank Capital, Ziegler, Plug and Play QED, Northzone, Balderton Capital Khosla, Valar Ventures, PayPal Ventures, Founders Fund

Pemain EWA global yang sudah menjadi unicorn

(diolah dari berbagai sumber)

Pemain di Indonesia

Diterimanya konsep EWA di negara maju, menginsiprasi perusahaan fintech dari negara berkembang untuk turut hadir. Sebab, umumnya di negara berkembang, di mana pekerja berupah rendah sering beralih ke pinjaman cepat dengan bunga tinggi untuk menjaga pengeluaran mendadaknya sebelum hari gajian tiba.

Momentum pandemi membuka kesempatan kepada mereka untuk membawa konsep tersebut ke Indonesia. Sejak pandemi, setidaknya telah beroperasi empat layanan, yakni GajiGesa, wagely, Gigacover, dan GajiKoin yang diusung KoinWorks.

Country Head Gigacover Indonesia Cobysot Avego menjelaskan, momentum kehadiran platform EWA di Indonesia tak lain dipicu karena situasi pandemi yang telah banyak memengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, mulai dari bekerja hingga mengatur keuangan bulanan. Hal tersebut membuat mereka perlu lebih berhati-hati mengatur cashflow dan mempertimbangkan kemungkinan ada kebutuhan darurat yang bisa terjadi kapan saja.

“Situasi ini merupakan momentum bagi Gigacover untuk membantu pekerja independen dan komunitas pelaku gig economy yang belum terlayani di dalam negeri, agar mereka dapat memiliki akses manfaat yang sama seperti pekerja paruh waktu,” kata Cobysot saat dihubungi DailySocial.

Gigacover tidak hanya menyediakan solusi EWA, juga memenuhi produk dan jasa keuangan finansial untuk pekerja lepas berkat kerja sama dengan berbagai industri jasa keuangan konvensional, seperti perusahaan asuransi.

Co-Founder GajiGesa Vidit Agrawal kehadiran GajiGesa cukup tepat karena selama pandemi banyak pengusaha yang berjuang untuk memberikan tunjangan karyawan kepada karyawannya. “GajiGesa bermitra dengan pengusaha untuk membantu mereka memberikan manfaat finansial, kesehatan dan pendidikan sehingga membangun ketergantungan diri dan ketahanan finansial pada karyawan,” ucapnya.

Agrawal melanjutkan, “Kami telah melihat penerimaan tunjangan karyawan dan EWA di semua vertikal termasuk bisnis tradisional, pabrik, dan perusahaan teknologi.”

Saat ini solusi GajiGesa tidak hanya mencakup EWA saja, tapi juga produk finansial (top up pulsa, transfer e-wallet, dan pembayaran tagihan), asuransi kesehatan mikro, dan produk edukasi yang akan segera dirilis. Serta, aplikasi khusus untuk pemberi kerja GajiTim yang berisi berbagai fitur manajemen karyawan dan HRIS.

KoinGaji menjadi satu-satunya platform EWA yang berdiri sebagai salah satu layanan tambahan dari KoinWorks untuk perusahaan. KoinGaji juga dirilis pada tahun lalu.

Co-Founder dan CEO KoinWorks Benedicto Haryono mengatakan solusi EWA menjadi benefit yang menarik untuk memenuhi kebutuhan karyawan sewaktu-waktu, terlebih kebutuhan mendadak seperti kebutuhan medis, dan sebagainya. Oleh karenanya, kebutuhan tersebut membuat berbagai startup tertarik untuk mencoba memberikan layanannya.

“Walaupun ini akan menjadi market yang kompetitif, KoinWorks melihat solusi ini sebagai salah satu jasa dari suatu paket yang bisa diberikan kepada para entrepreneur UMKM. Strategi kami melalui Super App adalah untuk memberikan paket yang lebih lengkap dengan value proposition yang unique sehingga bisa memenuhi kebutuhan finansial para UMKM dengan lebih holistik,” terang Ben, panggilan akrab Benedicto.

Ketiganya mengambil cara monetisasi dengan mengambil biaya layanan untuk setiap karyawan dari mitra perusahaan yang memanfaatkan teknologi dan layanannya. Mereka “menalangi” gaji yang dicairkan lebih awal tersebut, baru kemudian menagihkannya ke mitra perusahaan di akhir bulan.

Di Gigacover misalnya, Cobysot menjelaskan untuk proses pengajuan, karyawan dapat mengunduh aplikasi Gigacover dan mengisi formulir pendaftaran termasuk menjelaskan informasi mengenai perusahaan, sehingga pihaknya dapat melakukan komunikasi lebih lanjut terkait kebutuhan mereka.

Setelah itu karyawan dapat melakukan pengajuan pencairan gaji yang akan diproses oleh Gigacover -dana yang akan diambil berasal dari Gigacover Indonesia- dan perusahaan akan mengembalikan dana tersebut kepada Gigacover pada saat tanggal gajian.

“Untuk setiap transaksi ini kami memberlakukan biaya administrasi terjangkau yang berkisar antara Rp20 ribu hingga Rp40 ribu. Model bisnis kami cukup unik B2B2W (Business to Business to Workers), di mana kemitraan yang kami jalin adalah dengan perusahaan untuk memberikan kesejahteraan bagi para karyawannya,” kata dia.

Sedangkan, KoinGaji mengambil sumber dananya dari KoinP2P, perusahaan fintech lending KoinWorks. Namun demikian, produk ini tidak mengambil bunga, melainkan biaya layanan sebesar 1%-2% dari jumlah upah yang diambil.

“Selain itu KoinGaji juga kami tawarkan sebagai fitur tambahan terhadap client dan partner kita yang sudah menggunakan fasilitas produk kami yang lain sebelumnya, sehingga kami bisa mendapatkan monetisasi dari beberapa produk kami sekaligus,” tambah Ben.

GajiGesa wagely Gigacover KoinGaji
Tahun beroperasi Oktober 2020 Maret 2020 2017 (Singapura), 2020 (Indonesia) Agustus 2020
Total pengguna ≥200 ribu pengguna Puluhan ribu karyawan ≥30 ribu pengguna ≥30 ribu pengguna dgn pencairan >Rp30 miliar
Layanan Employee app: finansial (EWA, top up pulsa, transfer e-wallet, bayar tagihan), asuransi kesehatan mikro,  edukasi (segera dirilis). Employer app (GajiTim): manajemen karyawan dan HRIS EWA Prepaid Credits, Earning Advance (EWA), Productive Loan, Health and Life Protection Super App: KoinP2P, KoinBisnis, KoinInvoice, KoinRobo, KoinGold
Total pendanaan $3 juta $5,6 juta Undisclosed $72,1 juta (melalui KoinWorks)
Investor Defy., Plug and Play, Next Billion Ventures, Alto Partners, OCBC NISP Venture, Quest Ventures, Kenangan Fund, dan angels Integra Partners, ADB Ventures, PT Triputra Trihill Capital, Global Founders Capital, 1982 Ventures, dan angels Vectr Fintech, Quest Venture Partners, Alto Partners, M Venture Partners, Farsight Capital EV Growth, Quona Capital, Mandiri Capital Indonesia,Convergence Ventures, Gunung Sewu, dan lainnya.

(diolah dari berbagai sumber)

Optimisme startup EWA

Meski para pemain ini baru seumur jagung, tapi semangat yang mereka tawarkan cukup ambisius, yakni ingin mengurangi ketergantungan para pekerja dengan pinjaman payday yang sering menggerogoti mereka. Edukasi bermain penting dalam mewujudkan misi tersebut.

Karena model bisnis yang demikian, ada yang menganggap platform EWA itu seperti perusahaan fintech lending. Anggapan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Shah. Dia bilang, sejak Payactiv menciptakan Earned Wage Access pada 2012, kompetitor Payactiv semakin banyak dan industrinya semakin kompetitif.

Ia pun berusaha menemui Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) hingga puluhan kali untuk berdiskusi. Sampai akhirnya pada awal 2021 ini, produk EWA Payactiv menjadi produk produk pertama yang disetujui oleh CFPB. “Mereka mengakui EWA bukan “kredit” dan dibebaskan dari undang-undang pinjaman federal,” kata Shah.

Meski demikian, dirinya tidak pernah menentang produk yang membantu orang memenuhi kebutuhannya sebelum hari gajian. Pinjaman payday hanyalah fase awal dari proses edukasi finansial karena perusahaan payday loan tersebut tidak repot-repot melibatkan pemberi kerja, cukup menghampiri para pekerjanya.

“Jadi saya tidak menyalahkan mereka sama sekali. Saya tidak mengkritik mereka. Saya bukan hakim dari sejaraph payday loan. Saya memasang produk di luar sana, dan saya berkata “Jika Anda masih ingin menggunakan payday loan, saya tidak dapat menghentikan Anda.” Itu seperti Anda ingin mengendarai mobil yang menempuh jarak 9 mil, terserah Anda, tetapi ada mobil yang akan menempuh jarak 50 mil ke galon.”

Dia melanjutkan, ada orang yang menggunakan payday loan, tapi tidak pernah ada orang yang bertanya mengapa alasannya. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena ada ketidakselarasan antara penerimaan upah dua mingguan, dan beberapa hari di antaranya di mana tagihan dan pengeluaran lainnya harus dipenuhi.

Tagihan dan pengeluaran tidak menunggu hari gajian. Ketidaksejajaran ini menciptakan kekurangan arus kas, yang secara historis telah diisi oleh pekerja per jam melalui bentuk kredit jangka pendek yang mahal seperti pinjaman gaji, pinjaman angsuran, pinjaman kepemilikan mobil, pinjaman gadai, biaya cerukan, dan biaya keterlambatan.

Earned wage access memperbaiki ketidakselarasan tersebut, sekaligus meningkatkan likuiditas pekerja, mengurangi permintaan kredit berbiaya tinggi.”

Di Indonesia sendiri, Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menjelaskan, sebenarnya regulasi yang mengakomodasi para pemain EWA ini masuk ke dalam inovasi keuangan digital dan layanan pendukung inovasi keuangan digital yang merujuk pada POJK 13 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital.

“Platform tersebut harus mencatatkan diri di OJK sebagai IKD. Kalau tidak, ya bisa dilaporkan sebagai layanan fintech ilegal karena tidak tercatat, terdaftar, dan berizin di OJK,” kata dia.

Dari seluruh pemain EWA di Indonesia saat ini, hanya produk KoinGaji yang telah tercatat sebagai IKD dalam klaster agregator di bawah PT Sejahtera Lunaria Annua. Lainnya mengaku sedang menyiapkan diri untuk mengajukan diri ke OJK.

Di tengah peluang besar yang menanti, Ben melanjutkan bahwa ia berpendapat pertumbuhan pemain EWA di Indonesia akan lebih pelan daripada pemain di luar negeri. Lantaran, stigma pinjaman ilegal yang masih menempel di Indonesia. Oleh karena itu, pemain EWA perlu melakukan edukasi yang lebih masif. KoinWorks perlu memperkenal terlebih dahulu visi dan misi dari KoinGaji tersebut.

“Dengan itu diharapkan akan memberikan kesadaran bahwa produk ini memang sangatlah dibutuhkan dan membantu, bahkan bisa menghindari para karyawan untuk terjerat bunga pinjol ilegal yang pada akhirnya bisa memengaruhi kinerja karyawan tersebut.”

Kendati begitu, baik Agrawal dan Cobysot, bersiap dengan populasi yang besar di Indonesia untuk memperdalam adopsi EWA.

“Kami sangat gembira dengan pertumbuhan EWA di Indonesia. Pengusaha mulai menyadari manfaat memberikan gaji yang diperoleh karyawan sebelum tanggal gaji dan secara aktif bermitra dengan kami untuk menggunakan teknologi kami untuk hal yang sama. GajiGesa telah melihat pertumbuhan eksponensial tahun ini dan mengharapkan hal yang sama untuk sisa tahun ini juga,” kata Agrawal.

Cobysot menambahkan, “Jika kita melihat pandemi COVID-19 yang mendorong kerja jarak jauh serta tren industri gig economy Indonesia yang masih sangat hijau dan belum teregulasi dengan baik, kami yakin layanan yang diberikan startup EWA akan semakin berkembang ke depannya, sebagaimana kebutuhan yang terus berjalan. Sebagai gambaran, pada saat ini penggunaan produk Gigacover telah meningkat hingga 10 kali lipat sepanjang tahun 2020 di kalangan komunitas pekerja independen Indonesia.”


*Foto header: Depositphotos.com

Menjawab Tantangan Bisnis Bagi Pelaku UMKM di Era Pandemi Lewat Digitalisasi

Tantangan mengakselerasi pertumbuhan industri usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia kian dinamis. Terlebih di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ekonomi akibat pandemi, strategi yang dipasang perlu dicermati dengan seksama agar tidak salah langkah. Kontribusinya yang krusial di kancah perekonomian Indonesia, membuat industri UMKM patut memperoleh perhatian khusus, baik itu dari regulator, maupun institusi swasta yang berasal dari berbagai macam industri. Transformasi digital dinilai punya peranan penting untuk mendorong pertumbuhan tersebut, di samping adanya berbagai tantangan yang akan dihadapi selama masa pandemi ini hingga sesudahnya. Lalu apa saja yang sekiranya bakal menjadi babak selanjutnya bagi pelaku industri UMKM?

Digitalisasi masih menjadi kunci. Transformasi digital bagi pelaku UMKM yang sejatinya telah digaungkan bertahun-tahun ke belakang, dinilai perlu didorong lebih kuat lagi. Manfaatnya diyakini tak hanya bisa mempertahankan bisnis, namun juga bisa membuka peluang lebar yang menguntungkan di tengah masa penuh tantangan saat ini. Dalam diskusi panel virtual bertajuk “A new hope: What’s next for the SME’s in the digital era” yang diprakarsai oleh KoinWorks, pemanfaatan kanal digital diklaim tak hanya berhasil meningkatkan performa bisnis, namun juga berhasil membuka kemungkinan ekspor bagi para pelaku UMKM.

Dalam pemaparannya, Benedicto Haryono selaku CEO KoinWorks mengungkapkan, sebanyak 5% pelaku UMKM mampu melakukan ekspor yang dimungkinkan melalui dukungan teknologi eCommerce.

“Walaupun kita melihat UMKM masih memberikan peran yang sangat kecil untuk ekspor [dari target pemerintah], tapi kita melihat sudah ada potensinya. Dengan mereka onboarding ke digital, mereka bisa mengakses customer based di pasar internasional yang mungkin sebelumnya secara offline sulit untuk digapai. Tentunya dengan adanya kanal eCommerce sudah ada beberapa pelaku UMKM yang berhasil mencakup pasar Asia Tenggara,” ungkapnya.

Temuan terkait nilai ekspor tadi juga didukung oleh situasi dan tren pebisnis UMKM yang saat ini mulai banyak menghadirkan bisnisnya secara ‘hybrid’, yakni berada di kanal offline dan juga online. “Berdasarkan riset yang kami lakukan dan juga dari data-data publik, kita melihat ada sebanyak 48% pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya di ranah offline sekaligus online, menariknya lagi kita juga melihat dengan lebih banyaknya kanal digital yang dimanfaatkan, pebisnis juga mampu meningkatkan penjualan mereka secara signifikan,” tambah Benedicto.

Seiring dengan tren peningkatan digitalisasi di industri UMKM, inklusi keuangan juga disorot selaras dengan pertumbuhan tersebut. Seperti yang disampaikan oleh Rose Dian Sundari, Deputi Direktur Pengembangan Inklusi Keuangan OJK yang mengatakan, digitalisasi menjadi salah satu hal yang masuk sebagai strategi atau agenda dalam strategi percepatan inklusi keuangan nasional. Dalam pemaparannya disebutkan, dalam program strategi nasional keuangan inklusif OJK, digitalisasi mengambil bagian penting, khususnya dalam hal edukasi keuangan, dan juga fasilitas intermediasi dan saluran distribusi keuangan.

“Dalam hal ini OJK terlibat langsung dalam strategi edukasi, fasilitas intermediasi dan saluran distribusi, dan juga terkait perlindungan konsumen,” tuturnya.

Senada dengan pihak OJK, pihak institusi jasa perbankan yang diwakili oleh BRI Agro juga tak melewatkan menyambut positif perihal digitalisasi yang mendorong kemajuan industri UMKM. Pembiayaan bank berbasis digital menjadi salah satu poin penting dalam rancangan strategi BRI Agro dalam memperluas akses pendanaan bagi UMKM. Menurutnya, strategi tersebut direalisasikan BRI Agro dalam bentuk pengembangan produk pinjaman dan tabungan yang seluruhnya terintegrasi penuh secara digital.

Kolaborasi dengan pelaku financial technology (fintech) turut pula dilakukan oleh BRI Agro. Dalam salah satu upaya pemulihan industri UMKM akibat pandemi, pihaknya telah menjalin kerja sama dengan KoinWorks untuk jangkauan pendanaan yang lebih luas dari sebelumnya.

“Melalui sinergi dan kemitraan dengan pelaku fintech, penyaluran pendanaan kami bisa dikatakan sangat menggembirakan, hingga saat ini sudah ada sekitar 828 ribu pelaku UMKM potensial yang terjangkau, dan juga sudah ada sekitar 92 miliar lebih dana yang disalurkan melalui kemitraan kami dengan KoinWorks. Kami harap kedepannya dari kerja sama ini bisa sustain, dan juga tentu dapat menjangkau pelaku UMKM yang lebih banyak lagi agar kita bisa memberikan impact yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tutur Bhimo Wikan Hantoro selaku Direktur Digital Bisnis BRI Agro.

Digitalisasi rupanya masih disepakati menjadi kunci utama dalam pertumbuhan industri UMKM yang semakin masif lagi di masa mendatang. Dari panel diskusi virtual yang diselenggarakan oleh KoinWorks, bisa dilihat bahwa kolaborasi apik antara regulator, institusi keuangan, dan penyedia teknologi finansial mampu mempercepat upaya transformasi digital UMKM untuk menghadapi tantangan pasar di era pandemi dan sesudahnya. Sangat menarik untuk disimak kolaborasi seperti apa yang nantinya akan terjadi di masa mendatang untuk kemajuan UMKM dan perekonomian digital Indonesia.

Sebagai super financial-app terkemuka di Indonesia, KoinWorks juga telah merilis laporan yang bertajuk “Digital SME Confidence Index 1st Half of 2021”. Dalam laporan tersebut, transformasi digital berhasil mendorong indeks confidence dan optimisme dari pelaku UMKM dalam menghadapi pandemi lewat bisnis digital. Untuk insight selengkapnya, laporan tersebut dapat Anda unduh di halaman ini.

Benedicto Haryono: “Super Financial Apps” adalah Upaya KoinWorks Perluas Segmen Pasar

Didirikan sejak tahun 2015 sebagai platform p2p lending, KoinWorks kini telah menjelma menjadi apa yang mereka sebut sebagai “super financial apps”. Di dalamnya juga mengakomodasi berbagai kebutuhan, mulai dari investasi emas, reksa dana, obligasi, pembiayaan gaji, sampai payroll financing. Untuk mendalami tentang visi jangka panjang mereka, DailySocial berkesempatan mewawancara Founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono.

Mengawali perbincangan Benedicto menceritakan, pengembangan super financial apps merupakan upaya KoinWorks untuk menjalankan visi. Ia ingin agar layanan finansial yang dibawa bisa menjangkau ke kalangan masyarakat yang lebih luas, di berbagai segmen industri. Seperti diketahui, saat ini salah satu pangsa pasar terbesar yang dijaring melalui fitur lending-nya adalah UMKM.

“Kita ingin melebarkan reach kita, dulu waktu kita mulai niche kita ke e-commerce saja. Tapi kan industri e-commerce ya hanya satu industri saja, secara persentase GDP juga masih belum sampai 10%. Yang menjadi pegangan adalah visi kami, ingin bisa merangkul semua orang,” ujarnya.

Benedicto menambahkan, di sisi lain mereka ingin memberikan opsi yang lebih luas kepada pendana agar mencapai tujuan finansial mereka — dalam hal ini terkait diversifikasi instrumen investasi. Tingkat persetujuan pendanaan di KoinWorks masih berkisar 10% dari total trafik yang masuk, artinya memang ada minat yang sangat tinggi dari masyarakat dan belum sepenuhnya terakomodasi.

Sejauh ini porsi untuk pendana ritel (dari masyarakat) persentasenya masih mendominasi, yakni berkisar 80%. Sementara sisanya datang dari lender institusi, baik dari lembaga keuangan lokal seperti BTN, CIMB Niaga, dan BRI Agro; atau lembaga keuangan luar seperti Lendable dan Triodos Bank.

Kompetisi pasar

KoinWorks - UKM- New

Sampai 22 Januari 2021, OJK telah menaungi 148 pemain fintech lending, baik yang statusnya masih terdaftar dan/atau sudah berizin. Menanggapi kondisi pasar yang ada, Benedicto meyakini bahwa para pemain masih memiliki ruang gerak yang cukup lebar. “Kalau kita komparasi dengan perbankan buku 1 sampai 4, jumlah pemain lebih besar lebih dari p2p lending, belum termasuk  BPR. Tapi ratusan bank yang ada juga belum sepenuhnya meng-address semua kebutuhan UMKM ataupun masyarakat umum. Secara opportunity, saya rasa belum overcrowded,” ujarnya.

Ia juga menyinggung soal model bisnis p2p lending. Kebanyakan pemain adalah VC-backed business, kendati beberapa ada yang didukung penuh kalangan korporasi, sepeti platform besutan Mayapada atau Sinarmas. Banyaknya bisnis yang didukung oleh pemodal ventura akan bermuara pada kemungkinan adanya konsolidasi, terlebih jika sudah masuk ke tahap akhir (secara pendanaan). Hal tersebut disebabkan karena masih terbatasnya jumlah investor yang bisa berpartisipasi di putaran tersebut.

“Dulu perbankan berjalan tanpa ada backing-an venture capital, cara mereka menumbuhkan bisnis dan asetnya berbeda. Tapi kalau melihat bisnis yang dibantu venture capital, lama-lama ada konsolidasi. Kemungkinan di industri p2p lending juga akan ada konsolidasi, karena likuiditas venture community di Indonesia belum sebanyak atau sevariatif di US atau China, jadi number of investor-nya itu-itu saja apalagi kalau sudah masuk ke later stage (seri C ke atas),” imbuhnya.

Ia melanjutkan, “Pemain yang didukung konglomerasi juga tidak akan berkompetisi dengan kita, mereka tidak akan compete for funding, karena punya stable source of funding. Dan mereka punya niche market yang pemain lain belum lakukan, baik secara geografis ataupun industri yang berbeda.”

Regulasi juga dilihat sudah mengarahkan ekosistem untuk bisa membangun bisnis secara solid. Misalnya pengetatan yang dilakukan OJK dengan meningkatkan capital requirement-nya agar menghasilkan bisnis yang lebih bagus dan sehat. “Aturan baru tersebut (yang sedang disiapkan dan disosialisasikan) saya melihatnya sebagai upaya OJK untuk membuat bisnis yang lebih aman, lebih terproteksi. Namun tentunya sebagai startup founder, kita tidak terlalu suka kalau regulasi terlalu cepat. Menurut saya langkah ini diambil lebih untuk mengamankan industri.”

Dampak pandemi

Seperti kebanyakan bisnis lain di Indonesia, Covid-19 juga menggoncangkan bisnis KoinWorks. Satu yang paling signifikan, perusahaan harus menyusun ulang rencana-rencana mereka. Hal ini disebabkan karena kebiasaan konsumen yang berubah, yang mau tak mau memaksa bisnis untuk menyesuaikan model bisnis. Karena UMKM yang mereka layani juga secara langsung banyak yang terdampak – beberapa dari mereka harus gulung tikar, tapi tidak sedikit juga yang bisa memanfaatkan momentum dan bangkit.

“KoinWorks cukup tertekan di awal pandemi untuk mengelola risiko dan melakukan restrukturisasi terhadap customer yang membutuhkan. Pada Q2 2020 kami disibukkan dengan itu. Tapi sekitar Q3-Q4 bisnis mulai tumbuh lagi, sampai akhirnya Desember sudah balik lagi ke level yang sama sebelum Covid. Secara profitability malah lebih sehat, operational cashflow lebih positif,” kata Benedicto.

Rencana tahun 2021

Menjadi super financial apps tentu membutuhkan upaya yang besar untuk bisa menghadirkan berbagai lini produk dan layanan. Melihat tren yang ada, perusahaan digital yang arahnya sama  strateginya dengan melakukan konsolidasi – alih-alih mengembangkan tiap untuk layanan dari nol. Tapi KoinWorks punya pandangan berbeda, sampai saat ini belum ada rencana untuk melakukan akuisisi pemain lain. Menurut Benedicto karena saat ini pasar masih sangat terbuka lebar dan game plan perusahaan pun masih cukup jelas.

KoinWorks juga masih akan terus fokus ke pasar Indonesia. Tahun ini bakal banyak layanan baru yang akan diluncurkan untuk merangkul segmen pasar yang lebih luas. KoinGaji juga akan menjadi salah satu fitur yang bakal digenjot tahun ini, pasalnya setelah 4 bulan melakukan pilot project di akhir tahun lalu, perusahaan mendapati traksi yang cukup mengesankan.

“Kami cukup percaya diri dengan layanan KoinGaji, tahun ini pemasarannya akan cukup agresif agar dapat melayani pangsa pasar yang lebih luas. Kita percaya layanan ini cukup unik, karena bukan hanya payroll financing tapi juga memberikan servis tambahan ke human resources perusahaan,” jelas Benedicto.

Optimasi KoinGaji akan difokuskan pada paruh pertama tahun ini, sembari perusahaan akan menguatkan strategi profit mereka. Targetnya di kuartal kedua 2021, perusahaan sudah membukukan profit dengan pertumbuhan organik. Selanjutnya di paruh kedua, mereka akan fokus pada produk-produk baru yang akan diluncurkan. “Tahun ini akan banyak melakukan cashflow improvement untuk membangun landasan seri C yang sehat dengan profitability plan yang jelas, growth yang lebih baik, risiko yang terkontrol, dan game plan post-series C yang lebih terukur,” imbuhnya.

Platform baru yang akan diluncurkan tahun ini ditujukan untuk UMKM. Alat tersebut dinilai bisa membuat bisnis lebih mudah dilakukan, tidak hanya produk pinjaman tapi fitur untuk mengelola keuangan dan manajemen risiko.

“Dengan semua unicorn mulai masuk ke fintech, maka kita harus bisa membangun niche dan spesialisasi kita, apakah bisa melengkapi yang mereka bangun […] Karena mereka kalau bangun fintech pasti ke captive market dulu. Dari landasan tersebut KoinWorks akan membangun fitur-fitur yang unik yang tidak mudah direplikasi,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Perkuat Ekosistem Produk Finansial, Koinworks Segera Rilis “Super App” Untuk Pedagang Online

Koinworks sedang mempersiapkan super app khusus menaungi para pedagang online untuk perluas produk finansial yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing bisnis. Rencananya aplikasi tersebut akan dirilis pada kuartal kedua tahun ini.

Sebelumnya, perusahaan merilis aplikasi super app untuk para pemberi pinjaman berisi beragam fitur untuk menunjang mereka dalam mengembangkan aset dengan berinvestasi, tak hanya p2p lending (KoinP2P), ada KoinGold, juga KoinGaji, dan KoinBisnis untuk mengajukan pinjaman.

“Tahun 2020 kemarin kita banyak fokus ke super financial app untuk cari user personal, tapi secara operation kita banyak bantu UKM supaya tetap dapat akses pendanaan. Tahun ini mau menambahkan fokus ke UKM supaya mereka enggak hanya dapat lending saja, bisa menikmati fitur lainnya lewat ekosistem yang mereka butuhkan,” ucap CMO KoinWorks Jonathan Bryan dalam acara diskusi online, Rabu (20/1).

Ia mengaku optimis dengan kehadiran super app khusus UKM dapat memperkuat posisi perusahaan sebagai fintech lending pionir yang menyasar sektor pedagang online. Berbekal kekayaan historis yang dikumpulkan perusahaan, menjadi bekal penting dalam pengembangan aplikasi tersebut.

Semenjak pandemi, pergeseran transaksi dari offline ke online, membuat sektor ini menjadi primadona yang akhirnya mengubah lanskap bisnis pemain startup lending. Sebagian dari mereka awalnya hanya bermain di sektor produktif saja, atau usaha offline, kini mulai melirik para pedagang online.

Digital SME itu menjadi market yang seksi tahun ini karena bisnis online ini mengubah semuanya. Kita menjadi fintech pionir yang khusus bermain di sektor ini, banyak data yang telah kita kumpulkan menjadi bekal bagus untuk memperkuat kehadiran.”

Sepanjang tahun lalu, KoinWorks mencatatkan peningkatan peminjam dan pemberi pinjaman hingga 61% secara tahunan atau sebesar 549 ribu. Sedangkan pinjaman yang disalurkan mencapai lebih dari Rp2,5 triliun. Rata-rata kredit yang diajukan peminjam berkisar Rp200 miliar sampai Rp300 miliar per bulannya.

Rilis indeks keyakinan UKM digital

Pada saat yang bersamaan, perusahaan melakukan penelitian bertajuk “Digital SMEs Confidence Index Q4 2020” untuk memperoleh pandangan pemilik UKM tentang bagaimana mereka menghadapi lingkungan bisnis selama 2020, faktor-faktor yang memengaruhi tindakan mereka, dan pandangan terhadap bisnis setelah pandemi.

Penelitian ini dilakukan kepada 1.188 pelaku UKM digital sebagai responden dengan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, berlangsung selama Oktober-November 2020. Kebanyakan mereka bergerak di bisnis F&B (42,7%), fesyen dan aksesoris (28,9%), jasa profesional (11,5%), dan perlengkapan rumah tangga (5,6%).

Hasil yang ditemukan, pandemi mengubah perilaku dari pelanggan dan bisnis UKM ikut menerima pengaruhnya. Sebanyak 89,2% responden sepakat bahwa pandemi sangat memberikan dampak kepada bisnis mereka, baik secara positif maupun negatif. Selain itu, 33,2% responden sempat mengalami penurunan penjualan mulai dari 31%-75%.

Lebih lanjut, pandemi memaksa pelaku bisnis UKM digital untuk dapat bertahan, salah satunya melalui digitalisasi. Responden yang memanfaatkan channel penjualan di berbagai sales channel (lima channel penjualan) memilki indeks keyakinan bisnis yang jauh lebih tinggi, sekitar 2,7 dari skala 5 menerima penurunan penjualan yang lebih rendah 34,95%. Sementara, yang hanya memanfaatkan satu channel menerima penjualan yang lebih tinggi 38,96%.

“Indeks Keyakinan Bisnis sendiri mengukur ekspektasi pengusaha mengenai pendapatan bisnis saat ini, kapasitas produksi, jam kerja rata-rata, dll. Dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa digitalisasi dapat membuka banyak gerbang untuk pelaku UKM agar dapat mempertahankan bisnisnya. Selain itu, salah satu temuan menarik adalah terkait pembiayaan yang dinilai sebagai faktor yang paling dibutuhkan untuk mengembangkan usaha saat pandemi atau setelah pandemi berakhir.”

Faspay Perluas Cakupan Bisnis, Luncurkan Sejumlah Layanan di Luar “Payment Gateway”

Tahun ini menjadi momentum penting bagi Faspay yang kini tidak lagi sekadar platform payment gateway saja. Tepat menjelang tutup tahun kemarin, perusahaan meresmikan tiga inovasi terbaru, yakni Faspay Dana Usaha, API Faspay Billing, dan fasilitas tarik tunai di Alfa Group.

Dihubungi oleh DailySocial, CEO Faspay Eddy Tju menuturkan, inovasi di atas ini melengkapi misi perusahaan yang ingin memberdayakan bisnis untuk pembayaran digital dengan menciptakan cara yang lebih baik dan ampuh untuk bisnis dalam mengelola uang baik untuk menerima pembayaran atau melakukan pembayaran kapan saja dan di mana saja.

“Kami memiliki visi untuk membangun platform transaksi keuangan agar membantu bisnis tumbuh dengan mempercepat tingkat adopsi pembayaran digital dan transaksi keuangan lainnya,” ucapnya, Jumat (6/1).

Dengan demikian, Faspay punya empat produk utama, yaitu collection system atau penerimaan dana (Faspay Business & Faspay Billing), disbursement system atau pengiriman dana (Faspay SendMe), dan pinjaman modal bisnis (Faspay Dana Usaha). Faspay sendiri beroperasi dengan dua izin, yaitu izin payment gateway dan transfer dana dari Bank Indonesia.

Dijelaskan lebih jauh, Faspay Dana Usaha adalah buah hasil kerja sama dengan KoinWorks untuk menyediakan dana pinjaman tambahan hingga Rp2 miliar untuk merchant Faspay. Tentunya, ke depan akan ditambah mitra fintech lending agar dapat mendukung lebih banyak bisnis merchant. “Produk ini akan melengkapi layanan Faspay sehingga dapat menjadi solusi digital yang sifatnya hulu ke hilir.”

Berikutnya, layanan tarik tunai di Alfa Group adalah pengembangan fitur tambahan dari Faspay SendMe. Layanan ini digunakan oleh merchant yang hendak mendistribusikan dananya secara massal dan real-time, penerima dana dapat melakukan tarik tunai di seluruh gerai Alfa Grup. Alhasil, penerima dana yang belum memiliki akses perbankan dapat terlayani.

Terakhir, API Faspay Billing yang merupakan pengembangan dari produk sebelumnya, dulu tanpa API. Kehadiran API dapat mempermudah integrasi dengan situs atau aplikasi milik merchant Faspay. Merchant dapat mengirim tagihan online (invoice), menerima pembayaran dari beragam pilihan channel pembayaran, dan dapat disesuaikan sistem tagihannya sehingga tidak perlu pengecekan secara manual.

“Selama tahun 2020, Faspay menyadari adanya potensi dan tantangan pasar yang harus dipenuhi oleh perusahaan seperti Faspay untuk para pelaku bisnis agar semakin mudah dalam mengakselerasi dan mengadopsi solusi pembayaran digital.”

Eddy melanjutkan, selain tiga inovasi baru di atas, sebenarnya perusahaan juga meluncurkan dua layanan lainnya, yakni Faspay Billing Lite dan ECWID plug-in. Di samping itu, perusahaan juga mengumumkan berbagai kerja sama baru dengan kanal pembayaran, dari GPN, QRIS, ShopeePay, DANA, BCA Virtual Acccount Aggregator, hingga CIMB Niaga Virtual Account.

CEO Faspay Eddy Tju / Faspay
CEO Faspay Eddy Tju / Faspay

Perkembangan merchant dan rencana berikutnya

Diklaim saat ini Faspay berhasil mengumpulkan lebih dari 2 ribu merchant. Mereka mayoritas bergerak di fintech, layanan keuangan, pariwisata, dan ticketing & travel. Namun, menurut catatan perusahaan, ada tiga kategori bisnis yang tumbuh paling melesat transaksi bisnisnya pada tahun lalu. Mereka adalah industri F&B tumbuh hingga 340% dari tahun sebelumnya, diikuti fesyen meningkat 103%, dan layanan IT 94%.

“Fakta ini menunjukkan pelaku bisnis semakin menyadari tren dan pergeseran perilaku belanja menuju online semakin meningkat. Oleh karenanya, mereka mencari cara untuk berinovasi menghadirkan cara efektif dalam meningkatkan penjualan, salah satunya mengadopsi layanan pembayaran online atau payment gateway seperti Faspay.”

Ia mengutip laporan dari Kantar, bahwa rata-rata jumlah transaksi tunai menurun dari 48% pada sebelum Covid-19, menjadi 37% pasca Covid-19. Pada saat yang sama, frekuensi transaksi e-wallet meningkat menjadi 25% dari 18%. “Data-data ini menunjukkan seiring dengan bergesernya perilaku belanja pelanggan menuju online, bisnis pembayaran online seperti salah satunya Faspay juga turut berkembang.”

Kendati belum bersedia untuk merinci lebih dalam, Eddy mengungkapkan perusahaan akan terus berinovasi pada tahun ini. Ia hanya menuturkan layanan-layanan baru ini akan tetap ditujukan untuk membantu bisnis konvensional untuk mulai menggunakan solusi pembayaran digital. “Layanan yang dihadirkan juga akan semakin memudahkan pebisnis untuk menerima dana, mengirim dana, maupun meminjam modal bisnis.”

Pemain sejenis Faspay, yakni Moka juga telah berkembang lebih dari sekadar payment gateway. Bersama dengan induknya, Gojek, merilis GoStore untuk menyasar segmen social commerce, memungkinkan pengguna membuat dan mengelola toko online-nya. GoStore telah terhubung otomatis dengan GoPay dan sistem pembayaran kartu debit/kredit dan GoSend untuk kebutuhan logistik.

Mengulik Wacana Revisi Aturan P2P Lending

Empat tahun setelah OJK menerbitkan POJK 77 Tahun 2016, dinamika industri lending tumbuh begitu pesat. Tercatat per 7 Desember 2020, ada 152 perusahaan yang beroperasi, dengan 36 di antaranya sudah memperoleh izin dan sisanya masih berstatus terdaftar.

Angka ini sebenarnya menyusut dibandingkan tahun lalu yang mencapai 164 penyelenggara terdaftar dan berizin. Bergugurannya itu diketahui karena tanda daftarnya dicabut karena tidak memenuhi ketentuan atau secara sukarela mengembalikan ke OJK.

Total outstanding pinjaman per September 2020 tercatat mencapai Rp12,72 triliun. Merekahnya potensi industri ini didukung kucuran investasi yang masuk dari jajaran investor global maupun lokal. Dalam catatan Startup Report 2019 yang disusun DailySocial, fintech menjadi industri tiga besar yang paling sering mendapat investasi dalam kurun tiga tahun belakangan.

Akan tetapi, suburnya angka pemain ini selaras dengan pertumbuhan jumlah perusahaan fintech ilegal. Menurut catatan, Satgas Waspada Investasi sejak bertugas tahun 2018 sampai Oktober 2020 telah menghentikan 2.923 perusahaan, lebih besar dari jumlah perusahaan yang resmi beroperasi.

Pekerjaan rumah regulator tak hanya di situ. Dari total outstanding, persebarannya masih terpaku ke dalam Pulau Jawa dan masih didominasi oleh pinjaman konsumtif. Bahkan, dari seluruh penyelenggara, OJK mencatat hanya 10 pemain teratas dengan kontribusi hingga 61,68% dari pangsa outstanding industri.

Beberapa alasan di atas akhirnya melandaskan regulator untuk merevisi POJK 77 Tahun 2016 dan rencananya akan disahkan menjelang akhir tahun ini. Dalam draft tersebut, ada tujuh poin yang ditekankan:

  1. Penghapusan status pendaftaran, hanya perizinan.
  2. Peningkatan syarat modal disetor minimum, menjadi Rp15 miliar saat perizinan dari sebelumnya Rp2,5 miliar.
  3. Ketentuan persyaratan ekuitas sebesar 0,5% dari total outstanding atau sekurang-kurangnya Rp10 miliar.
  4. Adanya fit & proper test pengurus dan PSP.
  5. Kewajiban pinjaman ke sektor produktif dan luar Pulau Jawa.
  6. Penguatan ketentuan agar pemegang saham existing lebih berkomitmen dalam mendukung penyelenggaraan p2p lending.
  7. Menambahkan ketentuan prinsip syariah yang sebelumnya belum diatur.

Mayoritas dari poin di atas disinyalir sebagai cara OJK mengefisienkan pemain lending agar dapat memberikan kontribusi ekonomi kepada negara secara lebih signifikan.

Tanda-tanda OJK untuk mengambil langkah ini sudah terlihat sejak Februari 2020, saat disahkannya moratorium pendaftaran untuk penyelenggara baru paling lama sampai paruh kedua tahun ini.

Alasannya, jumlah pemain saat ini sudah terlampau banyak dan kualitas industri perlu ditingkatkan lebih dulu. Di saat yang sama, regulator perlu waktu untuk memperbaiki sistem pengawasan.

Perlakuan sama

Mengefisienkan jumlah pelaku industri sebenarnya juga diberlakukan regulator untuk semua industri yang dinaunginya. Di industri keuangan saja, OJK mendorong seluruh industri di bawahnya untuk melakukan konsolidasi baik itu merger atau akuisisi agar memiliki daya saing sekaligus bentuk adaptasi dengan situasi ekonomi terkini.

Perintah OJK merata, yakni memberlakukan batas modal minimum yang harus dipenuhi sebelum tenggat waktu ditentukan. Di perbankan, misalnya, Indonesia memiliki sekitar 1.800 BPR berskala kecil dan 113 bank BUKU I-IV per tahun lalu.

Lewat POJK Nomor 12 tentang konsolidasi bank umum yang baru disahkan pada Maret 2020 disebutkan menjelang akhir tahun bank-bank kecil atau bank BUKU I harus memiliki modal inti minimal Rp1 triliun. Kemudian secara bertahap modal inti tersebut harus mencapai minimal Rp3 triliun pada 2022.

Bila tidak berhasil memenuhi ketentuan tersebut, bank harus membuat kesepakatan dengan OJK tentang exit policy-nya sampai ada komitmen bersama. Adapun opsi lainnya, bank bisa turun kelas atau konversi menjadi BPR, atau self liquidation.

Pemberitaan merger dan akuisisi akhirnya mewarnai dinamika industri perbankan. Sebagai contohnya, BCA telah mengambil alih dua bank, yakni Bank Royal dan Rabobank untuk menginduk padanya (masing-masing menjadi Bank Digital BCA dan dimerger dengan BCA Syariah).

Lalu, POJK Nomor 5 Tahun 2015 tentang kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR, yang mewajibkan BPR memiliki modal inti minimum sebesar Rp3 miliar sampai 31 Desember 2019 dan sebesar Rp6 miliar sampai 31 Desember 2024.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK Heru Kristiyana menyebutkan, petugas pengawas bank OJK banyak terkuras untuk mengawasi bank-bank kecil yang jumlahnya banyak ini. Pengawasan menjadi tidak efisien dan OJK berharap bank-bank kecil ini bisa berkonsolidasi agar makin kuat.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan, memang sepertinya langkah OJK untuk mengefisiensikan industrinya dengan menekankan perlunya merger dan akuisisi pada industri keuangan.

“Dengan adanya kenaikan modal inti, tentu saja semakin memberatkan fintech p2p lending yang sekarang maupun pemain yang akan masuk industri karena syarat yang menurut saya pribadi cukup berat untuk sebuah bisnis rintisan,” ucapnya kepada DailySocial.

Ia berpandangan rencana revisi, khususnya mengenai poin batas modal minimum, lebih cocok untuk perusahaan p2p lending yang sudah stabil dan mendapat pendanaan dari investor, sehingga kenaikan syarat modal inti tidak memberatkan mungkin tidak memberatkan mereka.

Kurang tepat

Dalih OJK yang beralasan bahwa semakin sedikit jumlah pemain, maka akan semakin tingginya kualitas pemain fintech. Ia justru memandang dari sisi lain, bahwa kualitas dari pemain fintech bukan hanya dilihat dari pembatasan modal inti, melainkan dari hal penggunaan teknologi, persyaratan hingga batasan platform pinjaman yang diberikan.

Nailul lebih menyoroti dari sisi teknologi, sebab bisa jadi ke depannya teknologi yang digunakan perusahaan akan semakin bagus dan semakin murah. Hal tersebut akan bertolak belakang dengan batasan modal inti, apabila terlalu tinggi justru menghambat persaingan usaha. “Saya yakin teknologi akan mengarah kepada semakin canggih dan semakin murah.”

Oleh karenanya, Nailul berpendapat langkah yang diambil OJK untuk efisiensi jumlah p2p lending dirasa kurang tepat karena ia berkeyakinan makin ke sini, biaya teknologi akan semakin murah dan bagus. Kondisi tersebut membuat biaya pendirian perusahaan fiintech jadi semakin murah.

“Namun karena ada pembatasan modal yang terlalu tinggi bisa menyebabkan perusahaan rintisan bidang fintech kesulitan mendapatkan modal inti tersebut. Ini bisa jadi merugikan dalam hal persaingan dan konsumen akan semakin tercekik dengan bunga fintech yang saat ini relatif tinggi.”

Ia menambahkan argumennya tersebut dengan ilustrasi sederhana. Dengan perkembangan teknologi, biaya produksi untuk sebuah fintech akan semakin murah. Masyarakat bisa mendapatkan bunga dengan tarif relatif rendah. Namun karena ada peraturan OJK tentang modal inti yang tinggi, maka beban tersebut akan dibebankan ke masyarakat yang hendak meminjam. “Jadi bunganya semakin tinggi.”

Oleh karenanya, bila tetap diberlakukan, ia berharap OJK dapat memberlakukannya secara bertahap atau dibagi menjadi beberapa kelas (BUKU) seperti perbankan. Hal ini untuk mengakomodir perusahaan rintisan dan tidak menghalangi perkembangan dan inovasi teknologi.

Pandangan pemain fintech

Sumber: Modalku
Sumber: Modalku

DailySocial pun turut meminta pandangan dari dua pemain penyelenggara lending terkait kesiapan modal minimal yang tertuang dalam draft revisi POJK 77 Tahun 2016.

Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya berpandangan persyaratan modal dan ekuitas merupakan hal yang penting dan wajar bagi lembaga jasa keuangan. Kecukupan modal merupakan salah satu cara untuk menentukan tingkat kesehatan suatu perusahaan dan merupakan strategi agar dapat bertahan dalam kondisi sulit.

“Untuk menjalankan kegiatan usaha dalam bidang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi, tentunya penyelenggara diharapkan memiliki keuangan yang sehat dan oleh karenanya, persyaratan permodalan dan ekuitas menjadi salah satu tolak ukur yang direncanakan akan diatur ke depannya.”

Mengenai wacana kewajiban pendanaan ke luar Pulau Jawa, sepenuhnya Reynold sepakat bahwa ini adalah salah satu langkah efektif untuk mempercepat literasi keuangan yang merata. “Saat ini Modalku pun telah menjangkau UMKM di luar Pulau Jawa melalui fasilitas pinjaman untuk online seller dan akan terus memperluas jangkauan kami.”

Ia pun berharap, apabila wacana beleid tersebut disahkan, dapat diberikan waktu yang memadai agar para penyelenggara dapat memastikan penerapan ini bisa dilakukan dengan maksimal dan secara bertahap.

Modalku secara grup diklaim telah berhasil menyalurkan pembiayaan sebesar Rp18,8 triliun secara akumulasi. Perusahaan juga masuk ke segmen penjual online tanpa agunan hingga Rp250 juta dengan rata-rata nominal pinjaman skeitar Rp25 juta. Produk ini telah menyalurkan lebih dari Rp760 miliar kepada lebih dari 26 ribu pengusaha online.

COO KoinWorks Bernard Arifin juga sepakat bahwa meningkatkan modal inti bukanlah menjadi isu karena secara prinsipal sangat penting untuk dilakukan. Terlebih itu, ketertarikan investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan lending di Indonesia dinilai masih cukup besar, terutama karerna besarnya potensi pasar penyaluran pembiayaan untuk UKM di Indonesia itu sendiri.

“Ini jadi hal positif karena sekarang lending sudah masuk sebagai industri yang mature sehingga perlu memberlakukan prinsip kehati-hatian, transparansi, sebab awareness konsumen meningkat.”

Sejalan dengan itu, upaya perusahaan untuk memperluas kehadiran di luar Pulau Jawa bakal terus digalakkan mulai tahun depan. Pada tahun ini, KoinWorks membuka kantor perwakilan di Sumatera. Penyaluran outstanding peminjaman di KoinWorks saat ini 50% masih berpusat di Pulau Jawa dan didominasi di Jabodetabek, lalu ada Medan 15%, Bali 10%, dan Sulawesi 10%.

Saat ini outstanding penyaluran KoinWorks lebih dari Rp2,5 triliun dengan rata-rata penyaluran per bulan antara Rp200 miliar-Rp300 miliar, hampir kembali mencapai angka penyaluran sebelum pandemi berkisar Rp350 miliar. Pertumbuhan pemberi pinjaman tumbuh hingga 61% year-on-year atau sebesar 549 ribu penggguna pada akhir tahun ini.

Berkiblat ke negeri Tirai Bambu

OJK mungkin membaca betul bagaimana kondisi ekosistem p2p lending di Tiongkok yang sudah hancur lebur. Kehancurannya dimulai pada tahun lalu. Regulator Tiongkok membuat aturan ketat untuk meminimalisir praktik shadow banking yang merugikan konsumen.

Mereka menetapkan hanya perusahaan dengan modal tidak kurang dari 50 juta Yuan yang dapat beroperasi dan diwajibkan untuk transisi bisnis menjadi perusahaan pinjaman regional, dan tidak kurang dari 1 miliar Yuan untuk bertransisi menjadi pemberi pinjaman kecil yang memenuhi syarat untuk beroperasi secara nasional.

Aturan keras ini  efektif mengurangi jumlah perusahaan dari sekitar 6 ribu perusahaan di 2015, menjadi 427 pada akhir Oktober 2019. Bahkan kini jumlahnya makin menyusut menjadi enam perusahaan pada September 2020. Industri tersebut telah merugikan para investor senilai lebih dari 800 miliar Yuan ($ 115 miliar) dari platform yang gagal.

Tidak berhenti di situ, pemerintah Tiongkok akhirnya bersatu padu agar tidak mengulangi kesalahan yang berdampak sistemik. Mereka mulai menyoroti bank data dan perlindungannya yang dikumpulkan perusahaan raksasa teknologi seperti Alibaba, Tencent, Baidu, Meituan, dan lainnya dalam memberikan layanan fintech kepada para pengguna lewat platform di bawahnya.

Guo Shuqing, Chairman China Banking and Insurance Regulatory Commission (CBIRC), menuturkan industri fintech menyebabkan banyak fenomena dan masalah baru. Oleh karena itu, perlu memperhatikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan seperti ini:

“Apakah [perusahaan] teknologi besar memblokir pendatang baru? Apakah mereka mengumpulkan data dengan tidak benar? Apakah mereka menolak untuk mengungkapkan informasi yang seharusnya dipublikasikan? Apakah mereka terlibat dalam perilaku yang menyesatkan pengguna dan konsumen?”

Guo bilang, perusahaan besar seperti Alibaba dan Tencent memiliki banyak anak usaha yang bergerak di bidang fintech, meski dikenal dengan produknya di bidang pembayaran elektronik. Tapi di bawah payung yang sama mereka bisa menyediakan layanan lebih dari sekadar itu.

“Beberapa teknologi besar menjalankan bisnis lintas sektor dengan aktivitas keuangan dan teknologi di bawah satu atap. Perlu untuk terus mengikuti limpahan ini… dan mengambil tindakan tepat waktu dan tepat sasaran untuk mencegah risiko sistemik baru,” katanya.

KoinWorks Terus Tambah Layanan Keuangan di Aplikasi, Mantapkan Visi Menjadi “Super Financial App”

Kondisi perekonomian Indonesia yang semakin melemah telah mendorong pemerintah untuk bergerak cepat demi menghindari terjadinya skenario terburuk. Dalam hal ini, masyarakat punya peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa. Saling sokong antara pemerintah dan masyarakat akan menjadi kunci untuk mendorong pemulihan ekonomi bangsa ini.

Salah satu upaya pemerintah dalam sektor investasi adalah melalui penerbitan surat berharga negara (SBN). Dengan penerbitan SBN, pemerintah “meminjam” dana dari para investor yang akan digunakan untuk kebutuhan APBN. Sebaliknya, investor akan mendapatkan keuntungan yang disebut sebagai kupon (bunga) dari penempatan dana di SBN tersebut.

KoinWorks, yang belum lama ini memperluas cakupan bisnis mereka ke ranah investasi reksa dana, memperkuat komitmennya untuk menjadi Super Financial App dengan menambah pilihan diversifikasi aset bagi pengguna lewat produk investasi KoinBond. Dalam inisiatif ini, Koinworks bersinergi bersama Kementerian Keuangan dan bergabung menjadi mitra distribusi fintech untuk penjualan surat utang dan obligasi.

KoinBond sendiri dapat ditemukan dalam aplikasi KoinWorks pada KoinRobo. Melalui fitur ini, pengguna dapat melakukan pembelian berbagai produk investasi yang dijamin oleh negara seperti Saving Bond Retail (SBR), Obligasi Negara Ritel Indonesia (ORI), serta produk obligasi syariah seperti Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan. Beberapa pemain juga sudah menawarkan produk serupa seperti Bareksa, Investree, dan lainnya.

Benedicto Haryono selaku Co-Founder & CEO KoinWorks dalam keterangan resminya mengatakan, “Kehadiran KoinBond menjadi salah satu langkah KoinWorks untuk ikut serta dalam upaya pemulihan ekonomi negeri dan menjawab kebutuhan masyarakat terkait produk keuangan minim risiko terutama dalam menghadapi pandemi dan ancaman resesi ekonomi. Melalui KoinBond, KoinWorks juga kembali mengukuhkan diri sebagai platform Super Financial App yang menyediakan ragam produk keuangan dan akan ikut meramaikan dalam seri penjualan Surat Berharga Syariah Negara Ritel (SBSN Ritel) seri SR013 yang rencananya akan mulai ditawarkan di akhir bulan Agustus ini.”

Super Financial App

Ketika disinggung mengenai layanannya yang semakin berkembang, tidak terbatas pada p2p lending saja, pihaknya turut menyampaikan bahwa skema p2p lending hanya salah satu dari banyak instrumen pengembangan aset. Sementara itu, seluruh pengembangan layanan finansial di KoinWorks berlandaskan kebutuhan dasar finansial yang ditujukan untuk personal dan bisnis.

“Ada banyak instrumen pengembangan aset dan masyarakat selalu disarankan untuk melakukan diversifikasi aset guna antisipasi resiko. Untuk itu lah hadir beberapa produk layanan keuangan baru di KoinWorks diluar p2p lending. Agar pengguna dapat dengan mudah melakukan diversifikasi aset dalam satu platform yang sama,” tambahnya.

Mengenai ambisi menjadi Super Financial App, pihaknya mengakui bahwa sejak awal visi mereka adalah untuk memungkinkan setiap orang di Indonesia bisa mewujudkan aspirasi dan mimpi melalui akses yang sama ke layanan keuangan demi terciptanya inklusi keuangan di Indonesia. Skema Super Finansial App ini dirasa akan membawa KoinWorks semakin dekat dengan visi mereka sejak awal.

“Transformasi KoinWorks menjadi Super Financial App didasari dari bagaimana kami merespons kebutuhan pasar akan ragam layanan finansial untuk personal dan bisnis, dan misi untuk inklusi finansial di Indonesia,” jelasnya.

Saat ini, KoinWorks telah memiliki beragam produk finansial yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan finansial dan profil risiko setiap individu dan bisnis. Seperti pendanaan p2p lending melalui KoinP2P dan KoinRobo, investasi emas melalui KoinGold, investasi surat utang negara lewat KoinBond ataupun pinjaman produktif melalui KoinBisnis, serta fitur salary advance yang baru saja diluncurkan KoinGaji.

Application Information Will Show Up Here

KoinWorks Introduces KoinGaji, Offering Salary Advance for Employees

KoinWorks officially introduces its latest service, KoinGaji. It allows employees of business partners to withdraw their salaries early or better known as salary advance. KoinWorks alone intends to become a “Super Financial App” in Indonesia through all its innovations and services in the financial sector.

“Employee performance is very important for the success of the company. The presence of KoinGaji is expected to be able to help business actors solve one of the obstacles to their employees, especially during the pandemic and new normal, without disrupting the cash flow of the company so that employee productivity and loyalty to the company will be better maintained, especially in facing a new normal period like today,” Co-founder & CEO of KoinWorks Benedicto Haryono said.

Transaction mechanism

KoinGaji allows employees to submit early salary disbursements up to 70% whether the company is a partner of KoinGaji. When the documents and requirements have completed, the disbursement process is claimed to take only 1×24 hours.

As for the refund process, the disbursed funds will be deducted from the monthly salary and there is no interest charged to employees. All processes take place digitally, therefore, KoinGaji is claimed to not interfere with cash flow and take time in the process.

Companies that have partnered with KoinGaji only need to prepare some information such as full names, telephone numbers, e-mails, KTP numbers, monthly salary figures, and employee account numbers to be entered into the KoinWorks system later.

“In fact, KoinWorks will keep this data confidential and will only be used for the purposes of this KoinGaji program. Furthermore, the entire application and withdrawal process can be done by employees directly in the KoinWorks application. Every month, KoinWorks will send reports about employees who use KoinGaji and their total amount of disbursement made,” Benedicto explained.

For companies intend to register as a partner, KoinWorks provides a form via the link http://bit.ly/koingajiform. Meanwhile, employees of partner companies only need to access the KoinWorks application. Those whose data has been integrated with the KoinWorks system only needs to verify the data during the registration process in the application in order to submit disbursement.

“Currently, KoinWorks has collaborated with Gadjian, GreatDay, and Talenta. Apart from KoinGaji, KoinWorks also offers employee loans in the form of installments to partners who have collaborated with KoinWorks. In addition, KoinWorks also collaborates with various platforms to improve employee financial literacy and financial or business development solutions for business players,” he added.

He also emphasized on KoinGaji’s role as a form of commitment to presenting a series of financial products, both personal and business. It is expected to be able to present solutions for businesses and businesses in Indonesia who want to further encourage their employees welfare. This includes helping businesses in this pandemic and new normal situation.

“Earlier, there were less than 10 companies joined the platform, but the response from the business owner/HRD to KoinGaji was very good. More than 80% of the companies we were talking to explore further about the KoinGaji process,” Benedicto said.

Last April, KoinWorks managed to secure new funding of IDR316 billion. Quona Capital, EV Growth, and Saison Capital are involved in equity financing. In terms of debt funding, comes from two European financial institutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

 

KoinWorks Rilis KoinGaji, Mungkinkan Karyawan Cairkan Gaji Lebih Awal

KoinWorks resmi memperkenalkan layanan terbaru mereka KoinGaji. Layanan ini memungkinkan karyawan mitra pelaku usaha untuk mencairkan gajinya lebih awal atau lebih dikenal sebagai salary advance. KoinWorks sendiri tengah berupaya untuk menjadiSuper Financial App di Indonesia dengan segenap inovasi dan layanannya di bidang keuangan.

“Kinerja karyawan sangat penting bagi suksesnya perusahaan. Kehadiran KoinGaji diharap mampu membantu pelaku usaha dalam menyelesaikan salah satu kendala pada karyawannya terutama di masa pandemi dan new normal ini, tanpa mengganggu cash flow dari perusahaan sehingga produktivitas dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan akan lebih terjaga terutama dalam menghadapi masa new normal seperti saat ini,” ujar Co-founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono.

Mekanisme transaksi

KoinGaji sendiri memungkinkan karyawan mengajukan pencairan gaji lebih awal hingga 70% jika perusahaan tempat mereka bekerja sudah menjadi mitra KoinGaji. Jika dokumen dan persyaratan sudah dipenuhi proses pencairan dana diklaim hanya membutuhkan waktu 1×24 jam.

Sedangkan untuk proses pengembalian dana, dana yang sudah dicairkan terebut akan dipotong dari gaji bulanan dan tidak ada kewajiban bunga yang dibebankan kepada karyawan. Semua proses berlangsung secara digital sehingga KoinGaji diklaim tidak akan mengganggu cash flow dan memakan waktu dalam prosesnya.

Bagi perusahaan yang sudah bermitra dengan KoinGaji hanya perlu menyiapkan beberapa informasi seperti nama lengkap, nomor telepon, email, nomor KTP, angka gaji bulanan, dan nomor rekening para karyawannya untuk nantinya dimasukkan ke dalam sistem KoinWorks.

“Data ini tentunya akan KoinWorks jaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan program KoinGaji ini saja. Selanjutnya, seluruh proses pengajuan dan pencairan dapat dilakukan sendiri oleh karyawan secara langsung di aplikasi KoinWorks. Setiap bulannya KoinWorks juga akan mengirimkan laporan mengenai karyawan yang memanfaatkan KoinGaji serta total pencairan gaji yang dilakukan,” terang Benedicto.

Bagi perusahaan yang ingin bermitra KoinWorks menyediakan formulir melalui link http://bit.ly/koingajiform. Sementara bagi karyawan perusahaan yang sudah bermitra hanya perlu mengakses aplikasi KoinWorks. Mereka yang datanya sudah terintergrasi dengan sistem KoinWorks hanya perlu melakukan verifikasi data saat proses registrasi di aplikasi, untuk selanjutnya bisa melakukan pengajuan.

“Saat ini KoinWorks sudah bekerja sama dengan Gadjian, GreatDay, dan Talenta. Bentuk kerja sama yang KoinWorks lakukan selain untuk menawarkan KoinGaji adalah pinjaman karyawan berupa installment kepada mitra yang sudah bekerja sama dengan KoinWorks. Selain itu, KoinWorks juga kolaborasi dengan berbagai platform guna meningkatkan literasi keuangan para karyawan dan solusi pengembangan finansial ataupun bisnis untuk para pelaku bisnis,” imbuh Benedicto.

Ia juga menekankan, mereka mengembangkan KoinGaji sebagai bentuk komitmen untuk menghadirkan rangkaian produk keuangan, baik personal maupun bisnis. Harapannya untuk bisa menghadirkan solusi bagi pelaku bisnis dan usaha di Indonesia yang ingin lebih mendorong kesejahteraan karyawannya. Termasuk juga membantu bisnis dalam kondisi pandemi dan new normal ini.

“Di awal peluncuran ini, perusahaan yang sudah bergabung masih kurang dari 10 namun responses pemilik usaha/HRD kepada KoinGaji sangat baik. Lebih dari 80% perusahaan yang sedang berbicara dengan kami sedang meng-explore lebih dalam terkait proses KoinGaji ini,” cerita Benedicto.

April silam KoinWorks berhasil mengamankan pendanaan baru sebesar Rp316 miliar. Quona Capital, EV Growth, dan Saison Capital terlibat pendanaan dari ekuitas. Sementara untuk pinjaman mereka mendapatkan dari dua institusi finansial asal Eropa.

Application Information Will Show Up Here