Pintek Menaruh Harapan pada Pertumbuhan Pasar Pinjaman Pendidikan Online di Indonesia: Startup Stories

Segmen pinjaman pendidikan online di Indonesia mungkin tidak sebesar dan produktif seperti pinjaman konsumen, dengan hanya beberapa pemain fintech yang menargetkan segmen ini. Namun, dengan jutaan siswa yang membutuhkan bantuan untuk membiayai pendidikan mereka, perusahaan mulai merambah segmen ini.

Presiden Indonesia Joko Widodo di tahun 2018 juga mendesak bank-bank lokal untuk memberikan lebih banyak pinjaman terkait pendidikan, dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di negara ini. Di antara beberapa bank yang mengikuti instruksi presiden adalah Bank Tabungan Negara (BTN) milik negara, yang menyalurkan IDR 33,83 miliar (USD 2,4 juta) kepada 470 siswa per Juli 2019, dan Bank Mandiri, yang menyalurkan pinjaman mahasiswa sebesar Rp 773 juta (USD) 56.512) per Agustus 2019.

Ada beberapa startup fintek yang juga ikut merambah segmen ini, sebut saja Dana Cita, Dana Didik, dan KoinWorks, namun seperti terpapar di media lokal The Jakarta Post, pinjaman dana pendidikan belum banyak mengambil hati publik.

Inilah yang mendorong eksekutif investasi dari Prancis Ioann Fainsilber bersama pengusaha Indonesia Tommy Yuwono untuk mendirikan perusahaan pinjaman Fintek Pintek pada tahun 2018, dengan tujuan untuk memberikan akses mudah ke pendidikan di Indonesia melalui kredit yang terjangkau dan fleksibel.

“Sektor pendidikan adalah sesuatu yang sangat kami perhatikan. Indonesia memiliki pasar yang sangat besar untuk segmen ini dan kami percaya bahwa pendidikan sangat penting untuk mendorong peningkatan kualitas kelas menengah. Namun, pinjaman pendidikan relatif tidak tersentuh oleh layanan keuangan dan teknologi, dan oleh karena itu kami pikir ini adalah waktu yang tepat bagi kami untuk terjun ke segmen [pendidikan] ini,” kata Ioann Fainsilber kepada KrASIA dalam sebuah wawancara belum lama ini.

Perusahaan ini melancarkan putaran pendanaan pra-Seri A pada November 2019, dipimpin oleh Global Founders Capital dengan partisipasi dari investor sebelumnya, Finch Capital dan Amand Ventures. Fainsilber mengatakan bahwa Pintek akan menggunakan dana segar ini dengan dua fokus: meningkatkan awareness tentang produk Pintek serta terhubung dengan sebanyak mungkin institusi, sementara juga meningkatkan kapasitas teknologi perusahaan untuk memberikan produk yang mudah digunakan tanpa hambatan.

Co-founder Pintek: Tommy Yuwono (kiri) dan Ioann Fainsilber. Dokumentasi foto oleh Pintek

Pintek memberikan pinjaman kepada siswa mulai dari taman kanak-kanak hingga pendidikan pascasarjana, serta bagi mereka yang berada dalam program pendidikan informal khususnya kursus kejuruan yang bertujuan mempersiapkan mereka untuk dunia kerja. Peminjam dapat mengajukan pinjaman mulai dari Rp3 juta (USD 218) hingga Rp500 juta (USD 36,439) dengan jangka waktu hingga dua tahun. Hingga saat ini, perusahaan telah menyalurkan lebih dari Rp27 miliar (USD 1,9 juta) dalam bentuk pinjaman kepada 1.700 siswa di 25 provinsi di Indonesia.

Pinjaman yang diajukan ke Pintek harus dilakukan oleh orang tua, meskipun siswa yang sudah memiliki pendapatan tetap juga berhak untuk mendaftar. Perusahaan mengenakan biaya bunga antara 0 dan 1,5% per bulan, ujar Ioann.

Menurutnya, kerjasama dengan institusi pendidikan merupakan strategi yang penting dalam bisnis. Startup ini telah berkolaborasi dengan setidaknya 100 institusi pendidikan, dimana 40% adalah universitas atau sekolah tinggi, seperti London School of Public Relation (LSPR), LaSalle College, dan Institut Teknologi Telkom Surabaya.

“Kolaborasi menjadi esensial bagi kami. Partner kami akan secara efektif memperkenalkan produk ini kepada pelanggan mereka. Misalkan, jika Anda seorang siswa di LSPR, Anda dapat memilih untuk membayar secara langsung, atau dalam bentuk tunai, dan Anda juga dapat membayar uang kuliah Anda dengan mencicil melalui Pintek,” tambahnya.

Edukasi pasar mengenai keuntungan pinjaman dana pendidikan merupakan tantangan terbesar Pintek dalam segmen ini, kata Ioann. “Orang Indonesia pada umumnya senang meminjam apa pun untuk konsumsi. Namun, meskipun pendidikan jelas merupakan investasi yang hebat, ada keraguan dari pelanggan apakah mereka benar-benar membutuhkannya atau tidak, jadi ada banyak upaya yang kami lakukan untuk edukasi pasar,” ujarnya.

Memperkenalkan education outcomes loan

Indonesia memiliki rasio pendaftara bruto untuk pendidikan tinggi yang rendah di angka 31%, jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia (38%), Thailand (54%), atau Singapura (78%), menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh Global Business Guide Indonesia. Masalah keuangan menjadi alasan utama.

“Rasio pendaftaran yang rendah menjadi salah satu masalah yang kami coba selesaikan. Namun, kami tidak hanya memberikan dukungan keuangan, tetapi juga ingin mempersiapkan siswa dengan lebih baik untuk pasar kerja dengan bekerja sama dengan berbagai institusi dan perusahaan,” kata Ioann.

Ke depannya, Pintek akan memperluas cakupan produk dan kemitraannya. Perusahaan akan meluncurkan produk baru yang disebut education outcomes loan bulan ini, bekerja sama dengan beberapa yayasan. Idenya adalah bahwa siswa akan mendapat keuntungan lebih dengan suku bunga yang lebih rendah jika mendapatkan nilai baik.

“Untuk proyek ini, kami menetapkan beberapa target untuk peminjam tertentu. Semakin tinggi nilai yang mereka dapatkan, semakin rendah tingkat suku bunga yang harus mereka bayar, dan itu bahkan bisa menjadi bunga negatif,” jelas Ioann.

Proyek pilot akan diluncurkan bulan ini bekerja sama dengan beberapa mitra sekolah, dan cakupannya akan berkembang secara bertahap dari waktu ke waktu. Pintek menargetkan untuk mencapai setidaknya seribu siswa di tahap uji coba.

“Saya pribadi ingin memasukkan semua peminjam saya ke dalam skema ini, tetapi itu akan tergantung pada seberapa banyak komitment modal yang bisa kami dapat. Kami sedang berdiskusi dengan beberapa organisasi internasional besar yang sangat tertarik dengan program ini, jadi kami sangat optimis dengan produk ini,” ujar Ioann, dilanjutkan dengan harapannnya agar pelajar lebih termotivasi dan bisa menghasilkan komunitas yang lebih berpendidikan.

Mekanisme pendanaan baru juga dapat menguntungkan mitra industri Pintek yang mengarahkan pendanaan tanggung jawab sosial perusahaan mereka melalui education outcomes loan. Mitra-mitra ini dapat mengukur dampak program CSR mereka dengan lebih baik karena dana mereka hanya dihargai untuk hasil pendidikan yang terbukti, Ioann menambahkan.

Selain itu, Pintek juga akan mengeksplorasi lebih banyak kolaborasi dengan sekolah kejuruan untuk mendukung siswa dengan keterampilan yang berlaku untuk mencocokkan kebutuhan industri. Dari segi bisnis, Fainsilber mengatakan bahwa Pintek ingin mengembangkan bisnisnya dengan meningkatkan jumlah peminjam dan pinjaman yang dicairkan setidaknya sepuluh kali pada akhir tahun ini.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Vanessa Hendriadi dari GoWork Mengikuti Passion untuk Menjembatani Masyarakat

Vanessa Hendriadi memiliki kerinduan untuk melakukan hal yang lebih berdampak dalam bisnis real estate keluarganya, maka ia mulai menginisiasi salah satu coworking space ternama di Indonesia, GoWork.

Indonesia adalah tempat bernaung lebih dari 88 juta populasi millennial. Negara ini diprediksi untuk menjadi ekonomi terbesar ke-delapan di dunia pada tahun 2020, berdasarkan penelitian perusahaan konsultan Deloitte. Kota-kota besar di sini adalah pasar yang sangat ideal untuk bisnis co-working space.

Setelah lulus dari University of Southern California pada tahun 2002, Vanessa mengawali portfolio profesionalnya di tahun 2004 dengan bekerja sebagai Direktur Marketing di PT Atlantic Biruaya, sebuah perusahaan air mineral dibawah Mikatasa Group milik keluarganya, yang juga melayani bisnis jual-beli, minuman, bahan-bahan kimia, dan lainnya. Pada akhirnya, ia dipromosikan menjadi Direktur Operasional di holding grup pada tahun 2009. serta menerapkan perubahan dalam rangka perampingan bisnis.

Pada Juni 2013, ia memberanikan diri lalu membangun sistem perangkat lunak untuk manajemen properti yang disebut Gaea. Vanessa, bagaimanapun, belum merasa puas dengan karir profesionalnya, karena ia memiliki keinginan untuk membangun bisnis yang berkaitan dengan hobi dan passion. “Saya menyukai makanan dan aktivitas yoga, dan saya pun menyadari bahwa semua industri tersebut akan berujung pada satu tujuan — yaitu membangun komunitas. Jadi, saya akhirnya memilih untuk membangun ruang kerja bersama, yang menggabungkan pengalaman profesional saya dalam manajemen properti dan hasrat saya untuk menghubungkan orang-orang,” jelasnya kepada KrASIA dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Pada tahun 2016, dengan modal dari keluarga, teman, dan grup Ismaya, perusahaan yang membawahi rantai F&B dan perhotelan populer di Indonesia, Vanessa mendirikan perusahaan co-working space pertamanya, Rework, yang mengintegrasikan beberapa coworking space dengan toko kopi yang dijalankan oleh Ismaya grup di beberapa lokasi strategis di Jakarta.

Sebagai pendiri solo, ia membangun Rework dari awal, dengan beban kerja yang berat. Padahal, pada waktu itu putra keduanya baru berusia sembilan bulan, jadi ia juga memiliki tanggung jawab sebagai seorang ibu. “Rasanya kepala seperti mau pecah, tidak peduli sebanyak apa yang sudah saya lakukan, masih akan ada banyak hal yang menanti di depan. Hal ini sangat gila. Saya tidak ingin terlalu khawatir, tetapi saya harus. Kerap kali saya bertanya-tanya, pantaskah saya menjalankan startup, tetapi juga sebagai wanita dan seorang ibu, saya harus membangun akar keluarga yang kuat. Untungnya, pasangan dan keluarga saya sangat mendukung dan tidak pernah menghakimi saya,” ungkap Vanessa.

Pada tahun 2017, ia menghadiri grand opening co-working startup GoWork, di mana ia bertemu dengan co-founder perusahaan, Richard Lim dan Donny Tandianus. Hendriadi kembali terhubung dengan Lim, yang merupakan teman lama. Mereka bertiga, tanpa basa basi menyadari bahwa mereka memiliki tujuan yang sama: untuk membangun coworking space terbesar di Indonesia. Hal ini terjadi tidak lama sebelum keduanya mengeksplorasi peluang kemitraan.

“Ketika saya memulai Rework, saya tidak melihat seberapa besar hal itu sampai saya terjun ke bisnis. Saya akhirnya memutuskan bahwa saya harus menemukan pasangan, karena saya tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Setelah kami berbagi beberapa diskusi dan visi kami untuk memberdayakan banyak perusahaan dan menjadi pemain yang dominan, kami bergabung pada awal 2018,” ujar Vanessa.

Hendriadi’s Rework bersama dengan Lim dan Tandianus ‘GoWork bergabung menjadi sebuah perusahaan baru bernama Go-Rework, yang awalnya memiliki lima lokasi dengan total 3.500 meter persegi di Jakarta. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi GoWork pada pertengahan 2018 karena alasan pemasaran.

Pada Oktober 2018, Go-Rework menutup putaran Seri A dan mengumpulkan USD 9,9 juta dari Mitra Gobi dan The Paradise Group, dengan partisipasi dari Mahanusa Capital dan dana “Durian” kedua dari 500 Startups. GoWork melipatgandakan jejaknya pada tahun 2019, menurut Richard Lim selaku CFO.

Hari ini, GoWork berhasil mengoperasikan 18 cabang yang mencakup lebih dari 35.000 meter persegi, dengan sebagian besar berlokasi di ibukota dengan satu cabang di Bali. Perusahaan juga mengumumkan rencana untuk meluncurkan lokasi baru di Surabaya dan beberapa kota di Indonesia pada pertengahan 2020, memperluas jejaknya menjadi 65.000 meter persegi. GoWork hanya beroperasi di Indonesia dan tidak memiliki rencana untuk ekspansi internasional.

Menurut Hendriadi, lokasi GoWork tetap mempertimbangan tingkat hunian yang tinggi, biasanya di kisaran 90-100%.

GoWork di Senayan City. Dokumentasi oleh GoWork
GoWork di Senayan City. Dokumentasi oleh GoWork

Untuk menjadi pemain dominan di Indonesia, Hendriadi, Lim, dan Tandianus menetapkan strategi yang berfokus pada pelanggan premium yang bersedia membayar tarif berlangganan GoWork yang lebih tinggi. Karenanya, mereka mengoperasikan GoWork di tempat-tempat seperti pusat perbelanjaan atau gedung perkantoran, yang mudah dijangkau dengan menggunakan transportasi umum. “Hampir 70% anggota mengunjungi lebih dari satu lokasi,” kata Hendriadi. Ia juga mengklaim bahwa pelanggan “dapat memperoleh lebih banyak kredibilitas dengan bekerja di coworking space premium milik GoWork.”

“Ada banyak lokasi coworking space di Indonesia, seperti CoHive atau Outpost, tetapi ada beberapa pemain yang menargetkan kelas premium, yang kami pikir merupakan pasar yang berpotensi besar. Melalui segmen ini, kami dapat memperoleh lebih banyak klien, tidak hanya dari startup, tetapi juga dari perusahaan konvensional serta multinasional,” tambahnya.

Persaingan semakin ketat. Pada 2017, WeWork mengakuisisi Spacemob, sebuah coworking space yang berbasis di Singapura, lalu memulai bisnis di Indonesia dengan mendirikan cabang di Jakarta pada kuartal ketiga 2018. Tidak berapa lama, WeWork membuka enam lokasi di ibukota Indonesia.

Pelajaran yang di ambil dari kasus WeWork: Monetisasi jadi kunci sukses jangka panjang

Meskipun GoWork dan WeWork memposisikan diri sebagai ruang kerja bersama premium, Vanessa mengklaim bahwa GoWork telah mencapai profit pada pertengahan 2019. Namun, dia menolak untuk mengungkapkan lebih detail. Terdapat sekitar 5.000 pelanggan, termasuk karyawan perusahaan dan pekerja lepas. Biaya bulanan berkisar USD 150-200, tergantung pada layanan yang diperlukan.

Semua pendiri GoWork memiliki hubungan yang kuat dan dekat dengan pengembang properti, kata Hendriadi. Ini membantu perusahaan mencari ruang yang melayani tujuan mereka.

“Kami membahas bagaimana GoWork dapat meningkatkan trafik pengunjung ke pusat perbelanjaan atau properti lain yang dijalankan oleh pengembang ini. Ketika pengembang melihat konsep lalu trafik yang datang melalui masing-masing lokasi kami, mereka sebagian besar ingin mengamankan kemitraan, bahkan berinvestasi di GoWork, ”katanya. Sejauh ini, perusahaan memiliki investornya di antaranya Sinar Mas Land, Indonesia Paradise Property, Agung Podomoro Land, Lippo Group, dan MNC Land.

Saat ini, GoWork memiliki tiga fokus utama: menyediakan ruang kerja bersama yang fleksibel dengan interior yang menarik untuk memfasilitasi interaksi klien; mengorganisir acara atau lokakarya, di mana anggota dapat terlibat satu sama lain; dan membangun keterlibatan pengguna melalui aplikasi seluler.

Saat ini, klien GoWork terdiri dari perusahaan besar dan startup yang sudah matang, seperti perusahaan milik pemerintah PT Pegadaian, Gojek, dan Oyo.

“Kami menjadikan ‘sustainabilitas’ sebagai prioritas. Jika kita melihat lanskap startup saat ini, sebagian besar perusahaan kebanyajan fokus pada pertumbuhan dilanjutkan dengan membakar uang. Kami tidak percaya bahwa itu perlu, “kata Hendriadi.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Vanessa Hendriadi of GoWork is chasing her passion for connecting people: Women in Tech

Vanessa Hendriadi wanted to do more than work in her family’s real estate business, so she started one of Indonesia’s major co-working spaces, GoWork.

Indonesia is home to more than 88 million millennials. The country is predicted to be the eighth largest economy in the world in 2020, according to consultancy firm Deloitte. Its major cities are ideal markets for co-working platforms.

After graduating from the University of Southern California in 2002, Hendriadi started to work in 2004 as a marketing director at PT Atlantic Biruaya, a mineral water company that is a subsidiary of her family’s Mikatasa Group, which does business in trading, beverages, chemicals, and more. She was eventually promoted to director of operations at the holding group in 2009. and implemented changes to streamline the business.

In June 2013, she ventured out on her own and built a software system for property management called Gaea. Hendriadi, however, was not satisfied with her professional career, as she always wanted to build a business that related to her hobbies and passions. “I love food and yoga exercises, and I realized that all those industries have one purpose—building a community. So, I finally chose to build a co-working space, which combines my professional experience in property management and my passion for connecting people,” she told KrASIA in a recent interview.

In 2016, with capital from her family, friends, and the Ismaya group, a popular F&B and hospitality chain in Indonesia, Hendriadi established her first co-working space company, Rework, integrating co-working spaces with coffee stores run by Ismaya group in strategic locations in Jakarta.

As a solo founder, she was building Rework from scratch, and the workload was heavy. On top of that, her second son was only nine months old at the time, so she had duties as a mother too. “It felt like burning out, because no matter how much I would do, there would be more things left undone. It was pretty crazy. I felt like I didn’t want to worry too much, but I did. I wondered whether I was supposed to run the startup, but like a woman and a mother, I had to build strong family roots. Luckily, my spouse and family were really supportive and never judged me,” Hendriadi said.

In 2017, she attended the grand opening of co-working startup GoWork, where she met the company’s co-founders, Richard Lim and Donny Tandianus. Hendriadi reconnected with Lim, who was an old friend. The three of them quickly realized that they shared the same goals: to build Indonesia’s largest co-working space. It wasn’t long before the two were exploring opportunities for a partnership.

”When I started Rework, I did not see how big it could become until I dove into the business. I finally decided that I had to find a partner, because I couldn’t do it all by myself. After we shared some discussions and our visions to empower a lot of companies and to become a dominant player, we joined forces in early 2018,” Hendriadi said.

Hendriadi’s Rework along with Lim and Tandianus’ GoWork merged into a new company called Go-Rework, which initially had five locations with a total footprint of 3,500 square meters in Jakarta. The company was later rebranded as GoWork in mid-2018 for marketing reasons.

In October 2018, Go-Rework closed its Series A round and raised USD 9.9 million from Gobi Partners and The Paradise Group, with participation from Mahanusa Capital and 500 Startups’ second Durians fund. GoWork trippled its footprint by 2019, according to CFO Richard Lim.

Today, GoWork operates 18 branches covering over 35,000 square meters, with most of them in the capital and one branch in Bali. The company also announced plans to launch new locations in Surabaya and several cities in Indonesia by mid-2020, expanding its footprint to 65,000 square meters. GoWork only operates in Indonesia and has no plans for international expansion.

According to Hendriadi, GoWork’s locations maintain a high occupancy rate, typically in the range of 90–100%.

GoWork co-working space in Senayan City. Courtesy of GoWork.

To become a dominant player in Indonesia, Hendriadi, Lim, and Tandianus set out a strategy focusing on premium customers who are willing to pay GoWork’s higher subscription rates. Hence, they operate GoWork in places like shopping malls or office buildings, which are easily reachable using public transportation. “Almost 70% of members use more than one location” Hendriadi said. She also claims that customers “can gain more credibility by working in the premium co-working spaces of GoWork.”

“There are a lot of co-working spaces in Indonesia, such as CoHive or Outpost, but there are few players targeting the premium class, which we think is a potentially huge market. By targeting this segment, we are able to get more clients, not only from startup companies, but also from traditional and multinational companies,” Hendriadi said.

Competition mounted quickly. In 2017, WeWork acquired Spacemob, a Singapore-based co-working space, and entered Indonesia by setting up a branch in Jakarta in the third quarter of 2018. Soon after, WeWork opened six locations in the Indonesian capital.

A lesson learned from WeWork: Monetization is key to long-term success
Although GoWork and WeWork have both positioned themselves as premium co-working spaces, Hendriadi claims that GoWork has become profitable in mid-2019. However, she declined to disclose more details. It has 5,000 customers, including employees from companies and freelancers. Monthly fees run at USD 150–200, depending on the services required.

All of GoWork’s co-founders have strong and close relationships with property developers, Hendriadi said. This helps the company seek out spaces that serve their purposes.

“We discuss how GoWork can increase visitor traffic to shopping malls or other properties run by these developers. When developers see our concept and the traffic that comes with each of our locations, they mostly want to secure a partnership and sometimes even invest in GoWork,” she said. So far, the firm counts among its investors the likes of Sinar Mas Land, Indonesia Paradise Property, Agung Podomoro Land, Lippo Group, and MNC Land.

Currently, GoWork has three main focuses: providing flexible co-working spaces with attractive interiors to engage clients; organizing events or workshops, where members can engage with each other; and building user engagement through mobile apps.

GoWork’s clients include big companies and mature startups, such as state-owned pawnbroker PT Pegadaian, Gojek, and Oyo.

“We are making ‘sustainability’ our priority. If we look at the startup landscape, most companies focus a lot on growth and sometimes they burn money. We don’t believe that it’s necessary,” Hendriadi said.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

Wahyoo takes Indonesian street food eateries to the next level: Startup Stories

Entrepreneur Peter Shearer started his career when he co-founded AR Group, a company that focused on augmented reality technology, in 2009. Then in 2016, when on-demand platforms like Gojek and Indonesia really took off in Indonesia, they inspired him to bring digital disruption to one particular sector: street-side eateries or wartegs.

Warteg is a casual and down-to-earth street food joint. You may find wartegs spread around near offices, campuses, construction sites, or residential areas in Jakarta, and other cities in Indonesia. A conventional warteg is usually simply furnished with one or two wooden benches. It offers an array of all-time favorite home cooked food at cheap prices in big portions to feed hungry workers, usually blue collars, during their break time.

Similar to grocery kiosks, the biggest problem of wartegs is that they don’t have proper operational and administration systems so they cannot track finances and make proper plans, hence their businesses become stagnant.

“Wartegs have been around since forever, but they are not well-developed. I tried to validate the idea of digitizing wartegs by discussing with the owners on how they run their business daily and their hopes for the business,” Shearer told KrASIA in a recent interview.

He officially established Wahyoo in 2017. The name Wahyoo comes from the Indonesian word “wahyu” which means “inspiration”. Shearer hopes his startup can become a source of inspiration and a channel of blessings for others.

Beginning with only 50 warteg partners, Wahyoo has since empowered more than 13,000 wartegs across Greater Jakarta.

“I believe that warteg is a part of Indonesian culture and it has great business potential with a huge market and high daily transactions. On average, one outlet can serve around 100 customers per day,” he continued.

Not just a place to eat, Shearer said that warteg could be an ideal advertising space for brands targeting the low-middle income market.

“There is a lot that we can do with warteg. Food has a long supply chain that we can support. For example, we’re working with startups like Sayur Box and Tani Hub to supply groceries, so we can ensure the good quality of food while supporting SMEs like farmers, vegetable vendors, and of course, warteg owners,” said Shearer.

Wahyoo supports warteg partners by providing them with a mobile app where they can purchase goods at competitive prices and have them delivered to their doorstep. They can also take part in various online and offline community events and register through the app. The app is also equipped with a help center feature so partners can ask for assistance when they encounter problems using the platform.

The startup also gives partners offline and online training and mentoring sessions through its Wahyoo Academy program, which aims to help partners manage business operations more professionally.

Peter Shearer, founder of Wahyoo, Photo courtesy of Wahyoo
Peter Shearer, founder of Wahyoo, Photo courtesy of Wahyoo

The training consists of three modules, namely how to deliver the best customer service, how to prepare high-quality food, including creating a clean, neat kitchen and outlet so that diners can dine in comfortably, as well as how to manage their cash flow and bookkeeping so they can better manage their finances.

With these improvements, warteg partners are expected to attract more customers and increase their revenue.

In addition, they will also get further sources of income through advertisement placements. Wahyoo’s partners can also serve as sales and distribution channels for SMEs who want to market their products on warteg outlets, Shearer said.

According to Shearer, there is a unique method that is used by many warteg owners in running their business. “An owner takes turns in managing his outlet with his relatives or colleagues. For example, if I manage the outlet now, you will take it over after four months, and so on. It means that we need to train different owners repeatedly. This is a unique challenge that does not seem to exist in other sectors,” he said.

In addition, many outlets are owned by families who want to hand over the business to their children, but not every young person is willing to take the job as operating a warteg is complicated and is not seen as a cool profession by many. “By becoming our partner, they can manage the warteg operations more conveniently and young people are getting more enthusiastic as now they are part of the digital economy transformation.”

Wahyoo’s warteg outlet. Photo courtesy of Wahyoo
Wahyoo’s warteg outlet. Photo courtesy of Wahyoo

Wahyoo doesn’t charge any commission or fee to partners who want to join the platform. Shearer said that the company applies th  e profit-sharing system for advertising and brands placements, as well as through partnership with companies and institutions who use Wahyoo’s outlet partners for customer acquisition, activation, and so forth.

The startup secured an undisclosed amount of seed funding in July 2019 from Agaeti Ventures, Kinesys Group, and East Ventures. Shearer said the Wahyoo is currently fundraising for its Series A round that is expected to close by year-end.

In the near future, Shearer plans to add more initiatives to help warteg owners become responsible entrepreneurs. He was inspired by the United Nations’ sustainable development goals and wants to apply those principles to Wahyoo’s partners. “We are collaborating with a number of organizations to help minimize food waste by recycling cooking oil waste into biodiesel. We’re also discussing with a company that wants to provide wartegs with cassava plastic bags that are environment-friendly.”

Going forward, Wahyoo wants to have at least 50,000 partners by the end of 2020. Shearer said that they will be focusing on Greater Jakarta first before expanding into other cities in Java island.

“Demand is high in this sector, we even got a request to expand into other provinces outside Java island. However, we will focus on grooming our partners for now and encourage them to actively utilize platforms. And hopefully, one day, we can reach more cities and empower wartegs all over Indonesia,” Shearer said.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

CEO Ovo, Jason Thompson Membahas Strategi Bisnis, Investasi, dan Rumor

Pemain digital di sektor pembayaran, Ovo, tengah menjadi perbincangan dalam ekosistem digital negara ini. Selama beberapa tahun terakhir, perusahaan telah berkembang sangat pesat serta menciptakan berbagai terobosan: seperti mengakuisisi platform pinjaman Taralite dan investasi online Bareksa, berinvestasi di dua startup teknologi, dan meluncurkan fitur PayLater.

Belum lama ini, Ovo mencuri perhatian ketika mantan menkominfo Indonesia, Rudiantara, mengumumkan bahwa perusahaan berhasil memasuki jajaran “unicorn” dengan valuasi senilai US$ 1 miliar. Berdasarkan Fintech Report Indonesia 2019 yang dikeluarkan oleh DailySocial, Ovo menjadi e-wallet yang paling populer di Indonesia dan menempati posisi kedua sebagai dompet digital yang paling sering digunakan di negara ini.

Pohon yang tinggi tentunya akan diterpa angin yang kencang, seperti Ovo yang tengah menjadi sorotan media dalam beberapa bulan terakhir mengenai isu merger dengan kompetitor mereka, Dana, yang juga didukung Ant Financial. Belum lama ini, perusahaan induknya, Lippo Group, dilaporkan menjual 70% sahamnya di Ovo terkait pengeluaran besar beberapa waktu terakhir.

Menanggapi rumor tersebut, CEO Ovo Jason Thompson mencoba tetap netral dan menyampaikan bahwa ia tidak terlalu memikirkan spekulasi pasar dan ingin fokus pada pengembangan bisnis ke depan. Dengan persaingan yang dinamis di lanskap fintech Indonesia saat ini, besar kemungkinan Ovo akan muncul lebih banyak di portal berita lokal dan internasional nantinya.

KrASIA belum lama ini mendapat kesempatan berdiskusi dengan Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019 di Jakarta, membahas strategi perusahaan ke depannya.

Jason Thompson. Dokumentasi oleh Ovo
Jason Thompson. Dokumentasi oleh Ovo

KrASIA (Kr): Menilik kembali semua pencapaian Ovo di tahun ini, menurut Anda posisi perusahaan sekarang ada di stage seperti apa?

Jason Thompson (JT): Pertama, kami merasa tersanjung diakui sebagai unicorn kelima. Seluruh tim sangat antusias, dan penghargaan ini berdampak baik pada bisnis. Hal ini membuktikan investasi eksternal, seberapa cepat pertumbuhan fintech di Indonesia dan kami sebagai satu-satunya unicorn yang mengusung fintech seutuhnya, tetapi jujur saja, kami merasa bahwa masih di tahap awal.

Namun, hal itu juga membawa kami berada dalam banyak tekanan atas harapan yang menjulang dari pencapaian sebelumnya — dari Bank Indonesia, pemerintah, dan yang lebih penting, dari para pelanggan kami. Melihat ke belakang di tahun ini, kami berada di tahun yang sangat sulit tetapi juga sukses. Organisasi ini begitu berkembang, kami menguatkan posisi sebagai platform pembayaran nomor satu di negara ini, begitu pula dengan kehadiran layanan baru, dan kami memiliki tahun yang luar biasa bisa bekerja sama dengan Grab dan Tokopedia.

Kami juga punya beberapa metrik pada umumnya. Pada tahun 2019, ada lebih banyak orang yang bertransaksi dengan platform ini berkat beragam kemitraan dalam ekosistem. Transaksi tahunan kami mencapai 27,7 kali lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Kami berhasil meningkatkan total nilai pembayaran sebesar 18,5 kali dan fasilitas di dalam toko sebesar 6,8 kali. Pengguna aktif bulanan Ovo tumbuh sebanyak 400% per tahun tahun ini.

Saya percaya bahwa inklusi serta “melek” finansial memiliki lima tantangan. Yang pertama adalah untuk membuat orang mendaftar di platform, yang kedua bagi mereka untuk top up, dan yang ketiga adalah mendorong mereka untuk membayar melalui platform ini. Yang keempat dan kelima adalah untuk membuat mereka kembali top up dan akhirnya, kembali membayar melalui aplikasi. Ketika orang mulai menyimpan uang dalam platform Ovo, kami percaya hal ini turut mendorong literasi keuangan untuk tabungan, investasi, dan lainnya.

Kr: Apa yang menjadi fokus Ovo di tahun 2020?

JT: Tiga area fokus pada tahun 2020 menurut saya akan terkait dengan percepatan pertumbuhan untuk pinjaman, sebagian besar akan berfokus pada pedagang serta lainnya untuk pinjaman konsumen. Prioritas kedua adalah bersama Bareksa untuk mengeksekusi e-investasi.

Saya pikir kita bisa belajar dari kisah sukses China dengan pemain investasi digital seperti Yu’e Bao dan melihat bagaimana kita bisa mengeksekusi hal serupa di Indonesia. Selanjutnya, fokus pada asuransi melalui kemitraan dengan Prudential. Kami masih mengembangkan produk asuransi dan berharap untuk bisa segera dirilis tahun depan. Jadi, kami mulai beralih dari pembayaran ke layanan keuangan ini di tahun ini dan tahun depan.

Seperti halnya pembayaran, kami akan menerapkan ekosistem terbuka untuk layanan keuangan. Misalnya, untuk peminjaman, kami memiliki pinjaman konsumen dengan Tokopedia melalui fitur PayLater. Terdapat juga Ovo Dana Tara, pinjaman modal khusus untuk pedagang kami, lalu Ovo Talangan Siaga, pinjaman jangka pendek khusus untuk mitra dan agen Grab. Hal tersebuth adalah gabungan dari pedagang dan agen pinjaman konsumen, dan kami akan mulai mengembangkan ini tahun depan.

Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019. Dokumentasi oleh Wild Digital.
Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019. Dokumentasi oleh Wild Digital.

Kr: Bagaimana Anda memposisikan Ovo di antara para kompetitor dompet digital di Indonesia?

JT: Persaingan terbesar kami masih dengan uang tunai karena pembayaran e-money saat ini hanya mencapai 2,3% [dari total pembayaran] di Indonesia, jadi saya tidak berpikir bahwa pasar [dompet digital] sangat padat. Meskipun banyak orang ingin memasuki pasar ini dengan meluncurkan platform e-wallet, sulit untuk mempertahankannya di Indonesia kecuali Anda memiliki model kemitraan dan bisnis yang tepat.

Fokus kami adalah untuk mencapai sustainability, dan itulah sebabnya kami berinvestasi lebih banyak dalam layanan keuangan karena kami percaya ini adalah jalan yang tepat menuju kedewasaan dan sustainability dalam jangka panjang. Kami percaya bahwa selama kami melayani mitra, pedagang, dan pelanggan kami dengan baik, kami bisa berhasil di pasar ini.

Kr: Memasuki tahun ketiga, apakah menurut Anda strategi bakar uang seperti cashback atau promosi masih relevant?

JT: Menurut saya cashback itu penting sebagai stimulus pada suatu titik, tetapi tidak untuk berkelanjutan. Hal ini seperti masalah fisika; jika Anda akan memindahkan objek besar, Anda harus memiliki energi dalam jumlah besar di awal, tetapi begitu Anda mendapatkan momentum, maka energi tersebut bisa dikurangi. Dalam hal pembayaran, energi berasal dari subsidi.

Kami memiliki peta yang jelas menuju sustainabilty dan profitability, dan kami akan mengurangi [operasi bakar uang] ini secara signifikan di tahun depan. Bukan hanya kita, saya percaya bahwa rekan-rekan sejawat juga berinvestasi dengan cara yang sama untuk membangun bisnis mereka. Jadi, cashback atau promosi masih menjadi hal penting, tetapi pelaksanaannya harus rasional dan harus ada jalur koreksi subsidi.

Kr: Apa yang menjadi dasar kerjasama Ovo dengan Grab saat ini, mengingat Ovo bukan lagi satu-satunya opsi pembayaran dalam ekosistem Grab?

JT: Kami adalah organisasi independen, jadi hubungan kami dengan Grab, begitu pula Tokopedia, sebagian besar terfokus pada eksekusi. Tim kami telah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan merencanakan hal yang bisa kita lakukan dengan Grab atau Tokopedia. Kita harus melayani mereka dengan cara terbaik walaupun tidak berada dalam kontrak eksklusif.

Saat ini, Grab memiliki LinkAja dalam ekosistem dan Tokopedia memiliki banyak opsi pembayaran. Kami tidak dalam posisi istimewa dengan mitra kami, kami harus bekerja keras, jika tidak, kami akan kehilangan posisi kami karena kemitraan didasarkan pada pertukaran nilai. Kami tidak percaya pada eksklusivitas karena hal itu juga tidak baik untuk pasar dan konsumen.

Kr: Tahun ini Ovo telah berinvestasi di dua startup, satu dari industri new retail Warung Pintar dan satu lagi platform ad-tech StickEarn. Apakah investasi kini menjadi bagian dari strategi Anda ke depan?

JT: Hal ini tentu menjadi langkah yang sangat strategis, meskipun nilainya relatif rendah. Untuk StickEarn, kami percaya bahwa melibatkan konsumen melalui pemasaran interaktif sangat penting, sehingga menjadikan pertukaran nilai antar perusahaan ini sangat erat. StickEarn melakukan hal-hal besar dan semua menuju keberhasilan di Indonesia.

Adapun Warung Pintar, keberadaan mereka sangat penting karena sebelumnya tidak ada yang memperhatikan segmen warung atau kios sebelumnya. Ketika pertama kali datang ke Indonesia, saya segera menyadari bahwa warung adalah pusat budaya Indonesia, tetapi tidak ada yang benar-benar peduli akan hal ini.

Warung Pintar mempelajari masalah mereka dan berpikir tentang bagaimana bisa membawa model yang berbeda untuk warung sehingga mereka dapat melayani lebih banyak di masyarakat. Mereka menempatkan pada setiap warung dukungan digital dan infrastruktur termasuk pembayaran, saya pun sangat senang dengan kerjasama ini.

Investasi di kedua perusahaan ini melibatkan tujuan spesifik. Melibatkan cara kerja yang sangat strategis untuk mendorong inklusi keuangan, tetapi bukan berarti kami akan berinvestasi di lebih dari lima atau bahkan sepuluh perusahaan nantinya, karena kami bukan platform wirausaha. Misi kami adalah melayani pasar, dan salah satu caranya adalah dengan membangun kemitraan strategis dengan organisasi lain dan melihat bagaimana kami dapat bertukar dan memaksimalkan nilai-nilai yang ada.

Kr: Ovo sedang menghadapi banyak rumor di tahun ini, salah satu yang mencuri perhatian adalah isu merger dengan platform Dana. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?

JT: Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya tidak terlalu memikirkan spekulasi yang beredar di luar. Lanskap fintech sangat dinamis, saya rasa banyak yang suka berspekulasi tentang pemain fintech sama seperti yang terjadi dalam dunia sepakbola, Anda tahu, setiap musim penggemar sepakbola akan memprediksi klub mana yang akan membeli pemain mana, dan seterusnya [tertawa].

Apa yang akan terjadi pada tahun 2020 adalah pasar akan mulai goyang. Kehilangan beberapa pemain bisa terjadi akibat lingkungan investasi global berubah dengan cepat, dan jika belum memiliki strategi bisnis yang jelas, akan menjadi tahun yang sulit bagi mereka. Jadi, kami fokus pada eksekusi serta pengawasan pasar, yang bisa memakan waktu 18 jam sehari dalam hidup saya sehingga tidak memiliki kapasitas untuk hal lain.

Kr: Apakah ada rencana untuk penggalangan dana dalam waktu dekat?

JT: Ada kemungkinan kami akan menggalang dana di semester pertama tahun depan. Saat ini masih dalam proses penjajakan, namun belum ada pernyataan resmi dari investor potensial atau timeline pastinya.

Kr: Bagaimana Anda melihat lanskap bisnis pembayaran mobile di Indonesia sekarang?

JT: Secara global, Indonesia tengah menjadi pusat bisnis fintech saat ini. Tiongkok, pada skala besar, sulit untuk disentuh karena sudah ada terlalu banyak pemain dominan seiring Ant Financial yang saat ini memimpin [pasar].

Saya melihat adanya revolusi fintech yang sedang terjadi di sini dan semakin banyak organisasi mencoba datang ke Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Kita harus memastikan bahwa kita melindungi ekosistem, ekonomi, dan pendapatan domestik. Regulasi menjadi kunci untuk memastikan bisnis dan ekosistem yang sehat, dan saya pikir Bank Indonesia telah melaksanakannya dengan baik dan sejauh ini mendukung setiap prosesnya. Saya percaya fintech di Indonesia sudah matang dan akan mencapai inflection point dalam tiga hingga lima tahun.

Application Information Will Show Up Here


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Ovo CEO Jason Thompson talks company strategy, investments, and rumors

Indonesian digital payments player Ovo is undoubtedly a newsmaker in the country’s digital ecosystem. The company has grown rapidly in the past year and it has achieved many important milestones: it acquired lending platform Taralite and online investment platform Bareksa, invested in two tech startups, and rolled out the PayLater feature.

Ovo recently made headlines when Indonesia’s then-IT minister Rudiantara announced that the company has entered the “unicorn club” as its valuation is USD 1 billion. According to the 2019 Indonesian Fintech Report by Daily Social, Ovo is the most popular e-wallet platform among Indonesians and it secured the second spot as the most used digital wallet in the country.

The tallest trees catch the most wind, as Ovo has been in the media spotlight in the past few months because of merger issues with a competitor, Ant Financial-backed Dana. Most recently, its parent company, Indonesian conglomerate Lippo Group, reportedly sold 70% of its stake in Ovo due to the latter’s large expenditure.

Responding to the rumors, Ovo CEO Jason Thompson, remained neutral and said that he doesn’t really think of market speculation and wants to focus on further growing the business instead. With such dynamic competition in the Indonesian fintech landscape today, it is likely that we’ll see more of Ovo in many local and international news outlets in the future.

KrASIA recently met with Jason Thompson at the 2019 Wild Digital Conference in Jakarta, and he discussed the company’s strategies going forward.

Jason Thompson. Courtesy of Ovo
Jason Thompson. Courtesy of Ovo

KrASIA (Kr): Looking back at what Ovo has achieved this year, what stage is the company at now?

Jason Thompson (JT): Firstly, we are genuinely humbled to be recognized as the fifth unicorn. The whole team was really excited, and this accolade is great for business. It shows external investment, how rapid the growth of fintech in Indonesia has been and we are the only true fintech unicorn, but honestly, we feel that we just started.

However, it also forces a lot of pressure on us because the expectations are higher than ever—from Bank Indonesia, the government, and more importantly, from our customers. Looking back at this year, we’ve had a really tough but successful year. Our organization is growing, we really cemented ourselves as the number one payment platform in the country, we developed new services, and we’ve had a great year working with Grab and Tokopedia.

We’ve got some great metrics, as well. In 2019, we had more people transact with us thanks to the many partnerships we created in the ecosystem. Our annual transactions were 27.7 times higher than the previous year. We have increased total payment value by 18.5 times and in-store value facilities by 6.8 times. Ovo’s monthly active users grew 400% per annum this year.

I believe that financial literacy and inclusion have five challenges. The first is to get people to register on the platform, the second for them to top up, and the third is to encourage them to pay with our platform. The fourth and the fifth are to make them re-top up and finally, pay again with the same app. Now that people store their money with Ovo, we believe that we can drive financial literacy for savings, investments, and others.

Kr: What is Ovo’s focus in 2020?

JT: The three focus areas for me in 2020 include accelerating growth for lending, most of that will focus on merchants and some on consumer lending. The number two priority is to execute with Bareksa for e-investment.

I think we can learn from China’s success story with digital investment players like Yu’e Bao and see how we can execute it here in Indonesia. Number three is a focus on insurance via a partnership with Prudential. We’re still developing insurance products and expect to release them next year. So we are moving from payments into financial services this and next year.

As with payments, we’ll apply the open ecosystem for financial services. For example, for lending, we have consumer lending with Tokopedia through our PayLater feature. We also have Ovo Dana Tara, a capital loan specifically for our merchants, and Ovo Talangan Siaga, a special short-term loan for Grab partners and agents. It’s a hybrid of merchants and consumer lending agents, and we’ll scale this next year.

Jason Thompson at the Wild Digital Conference 2019. Photo Courtesy of Wild Digital.
Jason Thompson at the Wild Digital Conference 2019. Photo Courtesy of Wild Digital.

Kr: How have you positioned Ovo among its Indonesian digital wallet competitors?

JT: Our biggest competition is still cash because e-money payments currently only make up of 2.3% [of payments] in Indonesia, so I don’t think that the [mobile wallet] market is congested. Although many people want to enter the market by launching an e-wallet platform, it is difficult to sustain in Indonesia unless you have the right partnerships and usage model.

Our focus is to achieve sustainability, and that’s why we are investing more in financial services as we believe this is the right path to maturity and sustainability in the long run. We believe that as long as we serve our partners, merchants, and customers well, we will be successful in this market.

Kr: Entering Ovo’s third year, do you think that money-burning strategies like cashback and promotions are still relevant?

JT: I think cashback is important as a stimulus at a point in time, but it is not sustainable. It’s like a physics problem; if you’re going to move a large object, you need to have a huge amount of energy at the beginning of the movement, but once you get the momentum, then you can reduce that energy. With payments, the energy comes from subsidies.

We have a clear roadmap to sustainability and profitability, and we’ll reduce this [money-burning marketing] significantly next year. It’s not just us, I believe that our peers have also invested in a similar way to establish their business. So cashback or other promotions are still important but we have to rationalize them and there must be a path of subsidies’ corrections.

Kr: What’s the nature of Ovo’s partnership with Grab now, considering that Ovo is no longer the sole payment partner in Grab’s ecosystem?

JT: We’re an independent organization, so our relationships with Grab, also with Tokopedia, are mostly focused on execution. My teams spend a lot of time to think and plan about what can we do with Grab or Tokopedia. We have to serve them in the best way but we are not in an exclusive contract.

Now Grab has LinkAja in its ecosystem and Tokopedia has many payment offerings. We’re not in a privileged position with our partners, we have to work hard, otherwise, we’ll lose our position because the partnership is based on value exchange. We don’t believe in exclusivity as it is not good for the market and consumers.

Kr: Ovo has invested in two startups this year, new retail startup Warung Pintar and ad tech platform StickEarn. Are investments also part of your strategy going forward?

JT: These were very strategic moves, although relatively low in value. For StickEarn, we believe that engaging consumers through interactive marketing is critical, so we felt that the value exchange between the companies was very close. StickEarn is doing great things and they will be successful in Indonesia.

As for Warung Pintar, their existence is critical because nobody was defending the warung or street stalls before. When I first came to Indonesia, I quickly realized that warungs are central to Indonesian culture, but nobody really takes care of them.

Warung Pintar learned their problems and thought about how they could bring a different model for warungs so they can serve more in the community. They provide the warungs with digital support and infrastructure including payments, and I’m really excited about the work we’re doing here.

Investments in these two companies involve specific purposes. It is really about working strategically to drive financial inclusion but I wouldn’t expect to invest in more five or ten companies in the future because we’re not a platform for entrepreneurs. Our mission is to serve the market, and one way is by establishing a strategic partnership with other organizations and see how we can exchange and maximize our values.

Kr: Ovo has been dealing with many rumors this year, one of the biggest is the merger with Dana. How are you addressing this issue?

JT: What I can tell you is I don’t really think about noisy speculations out there. The fintech landscape is dynamic, I feel that people like to speculate about fintech players like what they do in football, you know, every season football fans will predict which clubs will buy which players, and so on [laughs].

What will happen in 2020 is that the market will start to fracture. It may lose people because the global investment environment is changing rapidly, and if businesses don’t have a clear strategy, it will be a tough year for them. So we’re focusing on execution and closely watching the market, which already takes 18 hours a day of my life so I have no capacity for anything else.

Kr: Are you planning to raise capital soon?

JT: We probably will raise the capital sometime during the first half of next year. We’re exploring that opportunity but we have no announcement yet about the potential investors or clear timeline for now.

Kr: How do you view the mobile payments landscape in Indonesia today?

JT: Globally, Indonesia is the centre of fintech right now. China, to a large degree, is hard to touch because there are already too many dominant players with Ant Financial currently leading [the market].

What I see is that the fintech revolution is happening here and that more organizations are trying to come to Indonesia, both legally or illegally. We have to ensure that we protect our ecosystem, economy, and domestic income. The development of regulations is the key to ensuring a healthy business and ecosystem, and I genuinely think that Bank Indonesia has been doing well and been supportive so far. I believe fintech in Indonesia is maturing and will reach its inflection point in three to five years.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

Bagaimana Ritase Mendisrupsi Pasar Logistik dan Pengangkutan di Indonesia: Startup Stories

Sektor logistik dan pengangkutan Indonesia tahun ini telah mencuri perhatian, dengan banyaknya startup yang menggalang dana dengan jumlah signifikan, menunjukkan bahwa industri ini digadang-gadang akan menjadi hal besar ke depannya dalam ekonomi digital negara ini.

Salah satu perusahaan pemula yang mendapatkan investasi dalam jumlah besar pada tahun 2019 adalah Ritase, sebuah platform yang menyediakan sistem transportasi digital B2B yang mempertemukan pengirim dengan pengangkut, yang bertujuan untuk menyederhanakan rantai pasok logistik serta menciptakan proses pengiriman darat yang lebih efisien.

Didirikan pada tahun 2018 oleh seorang pengusaha Iman Kusnadi beserta arsitek perangkat lunak David Samuel, perusahaan berhasil mengumpulkan US$3 juta dalam putaran pendanaan awal pada September 2018 dari Insignia Ventures Partners. Dalam waktu kurang dari satu tahun, perusahaan tersebut kembali mengantongi US$1,6 juta dalam putaran selanjutnya pada Februari 2019, dan US$8,5 juta dalam putaran Seri A yang dipimpin oleh Golden Gate Ventures pada bulan Mei.

“Dari segi traksi sudah bagus dan bisnis tumbuh dengan cepat, jadi investor percaya pada potensi perusahaan,” ungkap salah satu pendiri dan CEO, Kusnadi, kepada KrASIA dalam sebuah wa wancara.

Kusnadi memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun bekerja di industri logistik, termasuk dalam posisi manajemen untuk raksasa logistik global seperti DHL dan APL Logistics. Ritase adalah versi rebranding dari perusahaan yang ia dirikan sebelumnya bernama Trucktobee, jelasnya.

Selain menghubungkan perusahaan dengan vendor truk, Ritase juga menjalankan sistem software-as-a-service (SaaS) untuk manajemen transportasi real-time, pemrosesan pesanan digital, optimalisasi rute, dan perencanaan beban, yang digunakan oleh vendor dan pelanggan.

Iman Kusnadi, co-founder dan CEO Ritase. Dokumentasi Ritase
Iman Kusnadi, co-founder dan CEO Ritase. Dokumentasi Ritase

“Misi utama kami adalah untuk mengatasi hambatan terbesar pengangkutan dan logistik: data yang tidak akurat. Truk seringkali beroperasi tanpa referensi data yang jelas, seperti jenis muatan yang dibawa dalam truk, atau lisensi pengemudi yang sesuai atau tidak. Oleh karena itu, kami mencoba mengembangkan infrastruktur digital untuk mengatasi masalah ini, sehingga semua pemangku kepentingan dalam ekosistem logistik dapat mengambil manfaat dari solusi teknologi kami,” ujar Kusnadi.

Ia percaya bahwa disrupsi dalam sektor logistik akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia. “Misalnya, karena solusi kami dapat menurunkan biaya logistik untuk pengirim, hal itu dapat menyebabkan penurunan harga barang dalam jangka panjang. Sementara itu, harga yang lebih rendah pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat,” tambahnya.

Menurut Kusnadi, bisnis di bidang teknologi logistik sangat menjanjikan. Ritase telah beroperasi selama kurang lebih satu tahun, dan sampai saat ini telah menunjukkan perkembangan positif.

Saat ini, perusahaan memfasilitasi lebih dari 40.000 pengiriman per bulan, dan telah bekerja dengan merek-merek terkenal internasional seperti Nestlé, Unilever, Japfa, Lotte, dan lainnya.

“Kami hanya memiliki dua klien pengirim pada kuartal pertama 2018, namun sekarang kami telah bekerja sama dengan 74 perusahaan besar, termasuk FMCG global dan merek ritel. Kami juga telah mendaftar 600 perusahaan transportasi kecil dan menengah, dengan lebih dari 11.000 truk individu,” ujarnya.

“Keuntungan dari model B2B ini [bisnis] sangat mudah. Kami bisa mendapatkan margin yang baik dan adil karena kami berurusan langsung dengan pemilik truk tanpa perantara, ”kata Kusnadi, menambahkan bahwa Ritase sudah menguntungkan.

Perusahaan juga telah menandatangani perjanjian dengan Kementerian Perhubungan Indonesia untuk mendigitalkan timbangan berat di seluruh negeri untuk meringankan muatan truk yang terlalu banyak dan dimensi yang berlebih. Mereka juga meluncurkan layanan “smart shelter” di Surabaya awal tahun ini, yang berfungsi sebagai tempat istirahat bagi pengemudi truk. Di persinggahan, pengemudi juga diberikan pelatihan digital singkat, terutama tentang cara memanfaatkan platform Ritase.

Garasi singgah truk di Surabaya. Dokumentasi oleh Ritase.
Garasi singgah truk di Surabaya. Dokumentasi oleh Ritase.

Perusahaan ini mengoperasikan platform pasar online yang disebut Ritase Shop (atau Ritshop), yang diluncurkan pada Mei 2019. Mereka menawarkan akses bagi mitra pengangkutan truk Ritase terhadap onderdil dan truk yang terjangkau. Kusnadi menyatakan bahwa Ritshop telah menunjukkan komitmen perusahaan untuk mendukung para pengangkut, kebanyakan dari mereka adalah usaha kecil dan menengah (UKM).

“Karena kami bermitra dengan banyak perusahaan angkutan truk, kami tahu bahwa kesulitan mereka untuk membeli armada baru dengan harga kompetitif. Karena itu, kami bekerja sama dengan perusahaan multi-finansial yang memungkinkan pengangkut membayar dengan mencicil. Selain itu, setelah membeli truk, mereka akan secara otomatis berintegrasi dengan sistem manajemen transportasi Ritase, yang diterjemahkan menjadi nilai tambah bagi mereka, “kata Kusnadi.

Pada bulan Oktober, Ritshop meluncurkan dealer truk bekas terbesar di Jabodetabek yang memungkinkan calon pembeli memeriksa kondisi truk secara langsung sebelum mengambil keputusan.

Meskipun sektor ini disebut-sebut menjanjikan, perusahaan yang mengembangkan teknologi logistik baru juga menghadapi banyak tantangan, terutama dalam hal perizinan dan peraturan, menurut Kusnadi.

“Pada awalnya, banyak yang berpikir bahwa kami adalah perusahaan logistik, oleh karena itu kami harus mematuhi peraturan normal untuk transportasi barang, salah satunya adalah bahwa kami harus memiliki armada sendiri. Jadi saya perlu terus menjelaskan bahwa kami adalah perusahaan teknologi yang menawarkan solusi untuk logistik truk,” katanya.

Kusnadi berharap bahwa pemerintah akan mendorong regulasi baru terkait hal ini untuk mempercepat pertumbuhan sektor teknologi logistik.

Melihat masa depan logistik di Indonesia, Kusnadi percaya bahwa akan ada lebih banyak pemain digital mendisrupsi ruang ini yang akan membuat kompetisi lebih menarik. “Semakin banyak, semakin meriah. Ini menunjukkan bahwa pasar sedang tumbuh, dan saya percaya bahwa kompetisi akan meningkatkan inovasi, yang sekiranya baik untuk seluruh ekosistem,” ungkap Kusnadi.

“Saya berharap bahwa Indonesia akan menerapkan seluruh proses logistik pintar dalam waktu dekat, dan kita dapat menyelesaikan tantangan logistik lintas wilayah untuk memfasilitasi perdagangan antar negara dengan lebih nyaman,” lanjutnya.

Ke depannya, Ritase ingin memperkuat kemampuan teknologinya dan menambahkan lebih banyak layanan bagi pelanggannya, untuk menjadi pemimpin pasar di industri truk Indonesia. Perusahaan juga memperluas penawarannya dengan memasukkan pengelolaan limbah berbahaya. Pada tahun depan, Ritase juga berencana untuk menawarkan layanan logistik kontainer antar pulau, serta layanan pembiayaan kepada para mitranya.

Apalagi, Ritase saat ini sedang dalam proses mengumpulkan modal baru. Ini akan selesai “segera,” kata Kusnadi.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial.

Mengedepankan Pasar Lokal: Presiden Tokopedia Patrick Cao Berbicara tentang Rencana IPO dan Strategi Bisnis

Platform e-commerce terbesar di Indonesia, Tokopedia, memasuki dekade keduanya. Di ulang tahun ke-10, perusahaan menyatakan ambisinya untuk menjadi “super ecosystem” untuk konsumer dan bisnis lokal. Berdasarkan riset terbaru oleh LPEM FEB UI, Tokopedia diproyeksi akan berkontribusi sebanyak $12 miliar pada ekonomi Indonesia tahun ini, dari sisi nilai transaksi, lapangan kerja, serta meningkatnya pemasukan penjual di seluruh pelosok.

Perusahaan membuat gempar dengan pernyataan CEO dan Co-foundernya, William Tanuwijaya, tentang rencana mereka untuk IPO dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini diterima dengan baik oleh publik serta para analis, melihat rekam jejak positif perusahaan dalam dunia ekonomi digital Indonesia. Hal ini diharapkan bisa mengajak perusahaan lain untuk mengikuti jejaknya.

KrASIA belum lama ini berbincang dengan Presiden Tokopedia, Patrick Cao untuk berdiskusi mengenai strategi bisnis perusahaan dan detail persiapan IPO.

KrASIA (Kr): William mengungkapkan di depan publik bahwa Tokopedia akan lebih fokus “go local” daripada berlomba-lomba dengan pemain lain untuk ke pasar internasional. Bisakah Anda menjelaskan sedikit tentang hal ini?

Patrick Cao (PC): Usaha Kecil Menengah (UKM) adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Sekarang, terdapat lebih dari 60 juta UKM di negara ini, dan kami berkontribusi untuk memberdayakan sekitar 6,6 juta bulan lalu. Selain membantu UKM yang sudah ada, kami juga menyalurkan gelombang baru UKM melalui platform ini. Menurut riset terbaru LPEM FEB UI, Tokopedia telah menciptakan 857.000 lapangan pekerjaan baru, mulai dari penjual aktif dari Aceh hingga Papua, sama dengan 10,3% dari total lapangan pekerjaan baru di Indonesia pada tahun 2018.

Saat ini kami memiliki 350.000 partner toko yang juga disebut Mitra. Kami mengembangkan teknologi dan platform untuk menyediakan layanan tambahan untuk mereka. Misalnya, kami membantu pengadaan lebih cepat melalui fitur grosir, dan menyediakan modal kerja untuk mempermudah mereka menambah inventaris. Kami membuat desain Mitra Tokopedia sederhana agar lebih mudah dicerna. Setelah satu tahun, aplikasi ini telah diunduh lebih dari dua juta pengguna Android.

Aplikasi Mitra Tokopedia / Tokopedia
Aplikasi Mitra Tokopedia / Tokopedia

Kr: Apakah perusahaan bekerja sama dengan pemerintah setempat terkait hal itu?

PC: Ya, kami sadar bahwa konsumer di desa kecil punya kebutuhan dan preferensi yang berbeda dengan konsumer yang berada di Jakarta, jadi kami melakukan personalisasi layanan untuk mereka. Bagi UKM, kami menyiapkan Tokopedia Center di setiap berbagai area dan desa terpencil. Sebuah pusat belajar dan pengalaman digital dimana UKM bisa belajar bagaimana berperan sebagai merchant, bagaimana mengelola aplikasi, membuat transaksi online-to-offline (O2O), menggunakan pembayaran serta layanan finansial digital, dan lainnya. Baru-baru ini, kami telah bekerja sama dengan pemerintah Jawa Barat untuk memperluas akses pemberdayaan ke area terpencil melalui beragam inisiatif, salah satunya adalah membuka Tokopedia Center di sebuah desa bernama Sukanagara. Kami sudah merencanakan untuk membangun dalam jumlah besar selama dua tahun ke depan.

Kr: Benarkah ada rencana ekspor produk dari merchant Tokopedia?

PC: Yang pertama dan utama, intensi kami adalah untuk membangun teknologi terbaik demi memberdayakan industri logistik dan pengadaan di Indonesia, serta memperbanyak partner. Karena itu kami memiliki data, trafik dan teknologi. Ketika sudah berhasil menjangkau seluruh Indonesia serta menghadirkan pengalaman setara di setiap sudut area, tidak menutup kemungkinan kami akan memperluas sisi logistik dan pengadaan untuk membantu mereka melakukan ekspor. Selain itu, kami juga akan lebih fokus untuk membangun pengalaman terbaik di Indonesia terlebih dahulu, itu saja sudah sebuah hal yang besar. Saat kami bisa mencapai tahap itu, ekspor bisa jadi pertimbangan.

Kr: Dengan lebih dari 90 juta pengguna aktif serta vertikal yang bervariasi, Tokopedia saat ini berada di tahap mana?

PC: Jujur, saya melihat: kami baru saja memulai. Jika Anda berpikir tentang metrik penetrasi, baik itu e-commerce, pembayaran digital, atau logistik dan pengadaan yang didukung teknologi di Indonesia, saya pikir kami, juga para pemain lain telah membangun bisnis yang luar biasa. Namun, jika Anda melihat posisi kami diantara pemain lain di Cina atau AS, jalan kami masih panjang. Kami masih jauh di belakang mereka. Jumlah transaksi kami terlihat besar menurut riset terkini, juga diproyeksikan dapat berkontribusi 1,5% dari total PDB negara. Namun, dibandingkan dengan total kontribusi perdagangan, jumlah ini masih rendah. Jadi, masih ada begitu banyak peluang dalam vertikal inti dan ruang besar untuk tumbuh.

Kr: Berita tentang rencana Tokopedia untuk IPO telah menyebar di media beberapa bulan terakhir. Bisakah anda bercerita sedikit mengenai persiapan sejauh ini?

PC: Saya melihat hal ini sebagai pertumbuhan yang positif, karena itu berarti kami telah melampaui skala tertentu. Dari sisi persiapan, jujur, persiapan kami sangat lama. Sejak pertama kali saya bergabung sebagai CFO tiga tahun lalu, kami secara konsisten memastikan bahwa tata kelola perusahaan kami berada pada standar tertinggi di Indonesia, dan sesuai dengan standar praktik internasional. Saya pikir sangat penting bagi kami untuk listing di pasar Indonesia mengingat fokus yang terpusat pada lokal. Namun, dual listing menjadi sama penting untuk mengamankan akses ke likuiditas yang lebih besar. Di luar tata kerja infrastruktur, William dan saya berbicara tentang kondisi pasar saat ini, apakah ini saat yang tepat dengan mempertimbangkan volatilitas pasar, kondisi makro, dan sentimen, karena semua hal itu penting.

Di tahap akhir, dan mungkin yang paling penting adalah memahami kesehatan bisnis kita. Saya pikir kami telah melakukan banyak upaya untuk meningkatkan layanan yang memiliki nilai tambah bagi pedagang dan pelanggan kami, hal itu tercermin dalam tingkat klik yang mendorong pendapatan. Pada waktu bersamaan, kami sudah melakukan optimasi biaya untuk waktu yang cukup lama.

Saya yakin Anda mulai melihat pendekatan pasar yang lebih rasional dari pihak kami. Anda tidak akan melihat kami melakukan festival belanja besar seperti promo 11.11 atau 12.12 seperti pemain lain, karena menurut saya menjalankan promosi dua hari sebenarnya bukanlah hal yang sehat. Fokus inti kami adalah semua tentang inovasi produk untuk meningkatkan pengalaman pelanggan karena itulah cara Anda membangun bisnis yang berkelanjutan. Pada tahap ini, masuk akal bagi kami untuk mulai memikirkan IPO sebagai bukti validasi dari segala yang kami bangun dalam sepuluh tahun terakhir.

Kr: Apakah pernah terfikir untuk listing di pasar New York seperti Alibaba, yang juga adalah cerita sukses sebuah debut IPO?

PC: Perbedaan terbesar antara kami dan mereka adalah bahwa kami lebih mengutamakan listing lokal terlebih dahulu. Apakah kita memilih AS untuk target internasional, itu tergantung pada waktu listing dan kondisi pasar saat itu. Debut IPO sangat rumit tetapi saya beserta anggota tim telah mengantar sejumlah perusahaan go public di ventura sebelumnya. Jadi kita bisa belajar dari pengalaman, dan tentu saja, pengalaman pemegang saham — seperti Alibaba, Softbank, dan Sequoia, yang memiliki portofolio perusahaan yang telah sukses go public — juga akan membantu kita mengetahui waktu dan tempat yang tepat. Kami sangat menanti sampai di titik itu.

Patrick Cao, presiden Tokopedia / Tokopedia
Patrick Cao, presiden Tokopedia / Tokopedia

Kr: Apa yang menjadi fokus bisnis Tokopedia di tahun depan dan seterusnya?

PC: Mari kita mulai dengan misi untuk mendemokratisasi teknologi perdagangan di Indonesia. Definisi perdagangan pada dasarnya sama, tetapi itu semua berevolusi. Pertama, untuk perdagangan barang fisik, kami jadi yang terbesar di negara ini. Kedua, kami membantu bisnis dan merek di dalam platform untuk bertumbuh dengan pesat. Yang ketiga adalah mengenai barang digital. Kami baru-baru ini mengumumkan kemitraan dengan pemerintah dalam meluncurkan fitur pembayaran untuk lebih dari 900 jenis layanan administrasi negara, termasuk pajak. Penting bagi kami untuk menjawab setiap kebutuhan orang Indonesia dan kami akan terus meningkatkan kualitas produk serta menjadikannya lebih seamless.

Terakhir, adalah untuk terus meningkatkan layanan lokal, itulah sebabnya saya merasa akuisisi Bridestory menjadi sangat penting di tahun ini. Pada dasarnya, kami membawa tim terbaik untuk membantu memperkuat layanan yang berfokus pada wanita seperti pernikahan, serta untuk ibu dan bayi. Saya merasa kami semakin meluas ke ranah rumah dan furnitur serta kebutuhan utama lainnya di masa depan.

Terlepas dari area perdagangan, hal lain yang akan terus kami lakukan adalah meningkatkan IaaS (layanan infrastruktur) yang menciptakan pengalaman yang lebih baik dalam menggunakan layanan commerce dimana logistik dan pengadaan membantu pedagang lebih cepat scale-up. Kami juga akan terus fokus pada pengembangan layanan keuangan dan pembayaran. Populasi yang terjangkau produk perbankan masih rendah, jadi kami ingin membuka potensi itu untuk mendukung ekosistem yang lebih besar, baik pedagang, pelanggan, atau mitra toko. Hal-hal tersebut akan terus menjadi fokus kami di tahun 2020 dan seterusnya.

Kr: Berbicara mengenai akuisisi, sudah menjadi hal yang lumrah ketika perusahaan teknologi besar mengakuisisi startup yang lebih kecil, kami merasa Bridestory bukan akan jadi akuisisi yang terakhir, apakah ada rencana ke depan yang bisa dibagikan?

PC: Bridestory adalah akuisisi penuh pertama kami. Hal ini tidak sering terjadi, karena biasanya, kami melakukan kemitraan dan mendukung pengusaha dengan memanfaatkan modal, data, dan teknologi. Bridestory, bagaimanapun, adalah pengecualian karena menurut kami integrasi penuh akan lebih baik untuk kedua perusahaan. Kami selalu mencari celah untuk memanfaatkan sumber daya demi mendukung perusahaan teknologi lainnya, tetapi mengenai akuisisi selanjutnya, itu semua tergantung dari keinginan keluarga besar [pemangku kepentingan], dan bagaimana hal itu akan menguntungkan kedua belah pihak, terutama dari perspektif strategis. Namun untuk saat ini, beluma ada yang bisa kami ungkapkan.

Kr: Selain fokus pada pengembangan inti bisnis, apa faktor lain yang berkontribusi dalam kesukesesan Tokopedia?

PC: Saya pikir fokus pada pasar Indonesia adalah suatu keuntungan. Kami tidak terganggu bahkan ketika pemain lain ekspansi secara regional atau global, karena kami menyadari bahwa ini bukanlah keahlian kami. Selama sepuluh tahun terakhir, kami telah berkompetisi dengan pemain lokal dan internasional, tetapi penetrasi dan pemahaman mendalam kami tentang pasar lokal sudah sangat menguntungkan sehingga belum ada rencana untuk ekspansi ke luar negeri.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

DailySocial.id Announces Strategic Partnership with KrASIA

Today, as a part of our commitment to enabling access towards technology and innovation throughout Indonesia and worldwide, we proudly announce a strategic partnership between DailySocial.id and KrAsia, a Singapore based innovation and tech media company.

Finding partners with a same vision is quite challenging, and we are very excited about the strategic plans with KrAsia. The company provides coverage on Asia Pacific’s tech updates and supported by 36Kr Global, an Asian leading business and technology media company.

The strategic partnership includes editorial synergy, innovation platform (Orchestra.co.id), research, and data. However, this is only the beginning of our long-term partnership.

DailySocial’s commitment and long-term vision will be solid and steady, therefore, we will stand still with our focus to bring transformation towards the Indonesians through technology and innovation.

We want to thank you all the readers and innovation communities for the supports, DailySocial.id‘s team for all the hard works in order to achieve the goals, and all our partners for the collaborations.

DailySocial.id Umumkan Kemitraan Strategis dengan KrASIA

Sebagai bagian dari komitmen kami untuk memberikan akses teknologi dan inovasi untuk seluruh bagian masyarakat Indonesia dan dunia, hari ini dengan bangga kami mengumumkan kerja sama strategis antara DailySocial.id dan KrAsia, sebuah perusahaan media teknologi dan inovasi berbasis di Singapura.

Mencari rekanan dengan visi yang sama memang tidaklah mudah. Kami sangat bersemangat dengan rencana-rencana strategis yang segera kami laksanakan bersama dengan KrAsia. KrAsia beroperasi dengan lingkup Asia Pasifik dan didukung oleh 36Kr Global, perusahaan pengelola portal bisnis dan teknologi terkemuka di Asia.

Kerja sama strategis ini akan meliputi sinergi editorial, platform inovasi (Orchestra.co.id), riset, dan data. Tentu saja ini hanya permulaan dari kerja sama jangka panjang yang akan kami jalin.

Komitmen dan visi jangka panjang DailySocial.id tetap teguh dan tidak bergeming. Kami akan terus fokus untuk membawa perubahan bagi rakyat Indonesia melalui teknologi dan inovasi.

Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pembaca dan komunitas inovasi yang terus mendukung kami, tim DailySocial.id yang terus bekerja tanpa lelah mewujudkan mimpi, dan para rekanan lain yang terus bersama berkolaborasi.