Startup Fintech Lending KlikACC Lakukan “Rebrand”, Pertegas Komitmen ke Sektor Produktif

Startup fintech lending KlikACC mengumumkan rebranding menjadi KlikA2C (access to credit) untuk mempertegas komitmen perusahaan dalam memberikan akses kredit produktif UMKM. Perubahan nama ini sekaligus ditandai dengan berubahnya tampilan di laman situs dan aplikasi.

Dalam konferensi pers yang diselenggarakan perusahaan, CEO KlikA2C Djoemingin Budiono menjelaskan selama perusahaan beroperasi sejak lima tahun lalu, sektor produktif selalu menjadi sasaran karena sektor ini memiliki kebutuhan kredit yang paling besar dan belum masuk radar pemain konvensional.

Hal ini tercermin dari total portofolio penyaluran KlikA2C, sekitar 99% di antaranya menyasar sektor produktif. Dalam memperluas jangkauan pembiayaan ke UMKM, perusahaan merangkul mitra dari berbagai sektor bidang usaha untuk memajukan akses keuangan para pelaku UMKM. “Kami percaya bahwa inklusi keuangan dapat dibangun dengan semangat kemitraan,” ucapnya, Selasa (23/11).

KlikA2C berfokus pada pembiayaan produktif UMKM, termasuk untuk sektor otomotif, Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk petani, invoice financing, dan employee loan. Untuk pembiayaan KUR, perusahaan menjadi mitra channeling dengan BCA. Di produk ini, perusahaan berhasil meningkatkan pencairan pinjaman sebesar hingga lebih dari empat kali lipat sepanjang dua tahun terakhir.

Adapun untuk nominal penyaluran menyentuh angka Rp25 miliar per September 2021 dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp9 miliar. “Kelompok tani sangat membantu proses literasi baca dan digital para petani. Mereka mempermudah penyaluran KUR jadi lebih lancar.”

Sementara itu, untuk pembiayaan otomotif menyasar segmen mobil bekas. Penyaluran pembiayaan di produk ini melonjak hingga lebih dari 15 kali lipat. Menurut Djoe, sebelumnya pemilik mobil bekas kesulitan mendapatkan biaya dari bank karena kebutuhan kredit mereka jangka pendek, sekitar dua sampai tiga bulan. Hal inilah yang tidak masuk kriteria bank karena minimal tenor yang tersedia berdurasi minimal satu tahun.

“Kita coba masuk ke sini sejak 2019, ternyata tumbuh 15 kali lipat. Lalu saat pandemi, masyarakat cenderung enggan beli mobil baru, namun kebutuhan untuk beli mobil masih ada. Ini terbukti dari mitra kami, dan saya rasa produk kami menyesuaikan kebutuhan mereka. Waktunya pun pendek, hanya tiga bulan.”

Djoe menjelaskan, total penyaluran pinjaman secara akumulatif sebesar Rp529,87 miliar kepada total 3.014 peminjam dan outstanding pinjaman Rp86,65 miliar. Adapun untuk pemberi pinjaman, didominasi dari kalangan ritel dengan perbandingan 65-35 dibandingkan institusi. Secara keseluruhan, capaian ini menghantarkan perusahaan tumbuh sebesar 11% per kuartalnya selama 10 kuartal terakhir.

Untuk strategi berikutnya, perusahaan akan mengembangkan lebih jauh produk invoice financing. Ada beberapa sektor industri yang akan dibidik, di antaranya FMCG, transportasi, dan logistik. “Tahun depan kami sedang mempersiapkan produk pembiayaan motor listrik untuk konsumen yang tertarik membeli motor ini,” tutup Djoe.

Industri fintech lending tahun ini

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, turut hadir Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah. Dia mengestimasi pertumbuhan penyaluran pinjaman industri fintech lending sampai akhir tahun ini akan tumbuh lebih dari 75% dibandingkan tahun lalu. Dengan kata lain, diprediksi penyaluran akumulasi akan mencapai Rp140 triliun dari Rp74 triliun di 2020.

“Artinya, solusi yang ditawarkan fintech lending ini sudah on track karena menyalurkan pendanaan alternatif. Meski selama pandemi, pertumbuhan di lembaga konvensional ada yang nol bahkan negatif, tapi di fintech tetap bisa tumbuh karena pakai teknologi dan data alternatif,” ucap Kus.

Di sisi lain, potensi masyarakat unbanked di Indonesia masih sangat besar, sehingga memberi ruang tumbuh bagi industri fintech lending. Dalam berbagai riset disampaikan bahwa kebutuhan pendanaan segmen UMKM sebesar Rp2.650 triliun pada 2019. Dari kebutuhan tersebut, baru sekitar Rp1.000 triliun yang dilayani lembaga keuangan konvensional. Dengan demikian, ada gap sebesar Rp1.650 triliun yang bisa menjadi potensi untuk industri fintech lending.

Adapun, berdasarkan data OJK, akumulasi pinjaman yang telah disalurkan industri sejak berdiri mencapai lebih dari Rp260 triliun. Sekitar 58% di antaranya disalurkan kepada sektor produktif.

Memitigasi Risiko, Menuai Investasi: Platform Urun Dana Budidaya dalam Sorotan

Belum reda pemberitaan negatif tentang maraknya pinjaman online, industri fintech Indonesia kembali lagi tercoreng kasus dugaan “salah pengelolaan” uang investor senilai miliaran Rupiah oleh platform urun dana berbasis digital Tanijoy. Kasus ini menambah deretan startup fintech yang tersandung kasus yang sama di sektor budidaya.

Sebelum Tanijoy, dalam dua tahun terakhir, kasus serupa menerpa Angon dan Vestifarm. Keduanya sama-sama dituntut para investor untuk mengembalikan dana. Angon dan Vestifarm menggunakan model crowdfunding atau urun dana untuk menyalurkan pembiayaan ke para petani atau peternak.

Tentu polemik ini tak dapat dibiarkan saja karena bisa berpotensi terulang kembali di masa depan. Investor dapat kehilangan kepercayaan untuk berinvestasi di sektor budidaya. Padahal, peternak dan petani di Indonesia masih sangat membutuhkan akses permodalan.

DailySocial mencoba mendalami apa yang sebetulnya terjadi dan upaya mitigasi apa yang dapat dilakukan ke depan. Ada tiga sisi yang ingin kami bahas, yaitu pelaku usaha budidaya, industrinya, dan upaya pemerintah dan sektor terkait menangani kasus ini.

Risiko investasi budidaya

Dari berbagai sumber informasi yang kami himpun, kasus ketiganya sama-sama diakibatkan faktor internal dan eksternal. Misalnya saja Angon. Startup yang berdiri pada 2016 ini dianggap lalai mengelola dana publik. Angon disinyalir banyak menggunakan dana tersebut untuk belanja operasional dan kebutuhan founder yang sifatnya tidak terlalu mendesak.

Sementara Tanijoy mengaku proyeknya sudah selesai, tetapi terhambat  penarikan dana. Menurut klarifikasinya, dana hasil proyek masih ada di tangan petani dan belum dikembalikan sepenuhnya kepada Tanijoy. PSBB dianggap menyulitkan komunikasi dengan petani dan membuat perusahaan sulit mendapatkan pemasukan karena tidak ada proyek.

Di kasus Vestifarm, kami sulit menemukan pemberitaan detail soal dugaan keterlambatan pengembalian dana. Dari unggahan sejumlah investor Vestifarm, pelaku usaha yang didanai Vestifarm mengalami gagal bayar. Pihak Vestifarm tidak merinci proyek yang gagal, tetapi mereka mengaku sudah berupaya maksimal untuk menagih pembayaran lewat pihak ketiga.

Terlepas dari situasi pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu, budidaya termasuk dalam sektor usaha yang memiliki risiko cukup tinggi. Risiko gagal panen dapat terjadi akibat kombinasi berbagai faktor, mulai dari cuaca, bencana alam, kurangnya perawatan, hingga kemampuan bercocok tanam.

Laporan DSResearch dan Crowde bertajuk “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia” menyebutkan, pengembangan usaha di sektor budidaya terhalang sejumlah tantangan, seperti akses permodalan, literasi keuangan, serta kemampuan dan pengetahuan budidaya dari para petani.

Pemberian modal di agrikultur, kehutanan, dan perikanan / DSResearch dan Crowde

Perbankan yang memiliki akses permodalan yang kuat justru bukan menjadi pilihan utama para petani. Persyaratannya sangat sulit dipenuhi karena petani rata-rata tak punya sertifikat tanah sebagai jaminan. Belum lagi siklus produksi panen yang terkadang terhambat cuaca dan hama, membuat pemasukan mereka tak stabil. Rumitnya prosedur pengajuan mendorong petani untuk meminjam dari institusi tak resmi dengan persyaratan lebih mudah.

Status Total Petani Indonesia Petani Laki-Laki Petani Perempuan
Tidak Lulus SD 8.247.112 5.679.847 (68,9%) 2.567.265 (31,1%)
Lulus SD 13.994.725 10.638.485 (76%) 3.356.240 (24%)
Lulus SMP 5.400.834 4.255.020 (78,8%) 1.145.814 (21,2%)
Lulus SMA 4.799.070 3.992.383 (83,2%) 806.687 (16,8%)
Lulus S1 754.814 633.414% (83,9%) 121.400 (16,1%)

Tingkat pendidikan petani Indonesia / DSResearch & Crowde

Laporan ini juga menyebutkan, latar belakang pendidikan dan literasi keuangan para petani yang masih rendah menjadi salah satu faktor penghambat usaha budidaya. Demikian juga dengan penetrasi internet. Berdasarkan data BPS di 2018, hanya 4,5 juta orang yang terhubung dengan internet dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur.

Kembali ke persoalan di atas, paparan barusan sebetulnya menjelaskan mengapa faktor-faktor ini berkontribusi besar terhadap potensi gagal panen dan gagal bayar di sektor budidaya. Memang belum ada data yang dapat menunjukkan tingkat potensi kegagalan di platform yang memberikan pembiayaan ke sektor budidaya, tetapi potensi tersebut seharusnya dapat ditekan dengan manajemen risiko yang lebih baik.

DSResearch & Crowde

Apa yang dapat dilakukan oleh platform selaku pemberi fasilitas? Jika misinya ingin mendorong industri budidaya, seharusnya bantuan tak hanya berhenti pada akses permodalan. Platform dapat meningkatkan perannya dengan memberikan pendampingan kepada petani agar dapat memaksimalkan modal usaha mereka dengan keterbatasan yang mereka miliki.

Selain pendampingan, penting untuk menempatkan orang yang ahli atau mampu mengelola keuangan di perusahaan. Bagaimanapun juga ini adalah dana publik yang perlu dipertanggungjawabkan.

Founder sepatutnya menyiapkan skema/model cadangan apabila ada potensi proyek gagal. Jika petani gagal panen, sudah pasti gagal bayar. Apabila ini terjadi, pengembalian dana akan sulit dilakukan.

Ambil contoh TaniFund. CEO TaniHub Pamitra Eka mengungkap upaya penagihan tetap mengacu pada skema yang telah dibuat perusahaan. Skema ini juga dirancang sesuai dengan ketetapan yang diatur oleh OJK. Pada langkah pertama, TaniFund akan melakukan upaya penyelamatan kredit, seperti restrukturisasi dan negosiasi, apabila terdapat keterlambatan 60 hari pertama.

“Namun, jika sampai 90 hari tidak juga ada penyelesaian sisa keterlambatan pembayaran dari borrower, kami persiapkan proses klaim ke perusahaan asuransi yang telah menjadi partner TaniFund. Upaya ini kami lakukan agar lender mendapat pengembalian pokok hingga 80%,” ujar pria yang karib disapa Eka ini kepada DailySocial.

Adapun, lanjutnya, TaniFund telah menerapkan advanced credit scoring dengan model 100 data points untuk mengukur profil borrower, menelusuri rekam jejak penanaman komoditas, dan akses ke pasar. Dengan demikian, sistem ini dapat menghasilkan profil borrower dan proyek berkualitas serta mengurangi potensi gagal panen/gagal bayar.

“Kami juga monitoring secara berkala oleh field team atau agronomist untuk memastikan setiap proyek berjalan dengan baik dan timeline bisa sesuai dengan pengajuan RAB di awal. Pendampingan juga dijalankan terus-menerus sehingga borrower memperoleh akses informasi dan teknologi terbarukan dalam mengelola usaha dan mencapai target yang sesuai.”

Perlindungan regulator

DailySocial mencoba menghubungi perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait hal ini. Namun, belum ada respons hingga berita ini diturunkan. Terlepas dari status platform ilegal ini, OJK sebetulnya dapat memperkuat kebijakan untuk melindungi konsumen, dalam hal ini investor. Misalnya, memberikan aturan ketat kepada platform dalam hal manajemen risiko.

Faktanya, tiga startup yang “bermasalah” ini tidak memiliki status terdaftar atau berlisensi dari OJK. Meskipun demikian, mereka tetap bisa beroperasi dan mengelola dana publik tanpa pengawatan atau audit lebih lanjut.

Startup Status OJK
Angon Tidak terdaftar
Tanijoy Tidak terdaftar
Vestifarm Tidak terdaftar

Tentu tidak semua platform investasi budidaya bersifat “nakal”. Berikut ini adalah nama-nama platform investasi budidaya yang terdaftar di OJK dan informasi tentang Tingkat Keberhasilan Bayar di tiap platform (yang cenderung masih sehat).

Startup Status OJK Investor TKB90
Crowde Terdaftar Mandiri Capital Indonesia, STRIVE, Crevisse 97,12%
iGrow Terdaftar Google Launchpad Accelerator, 500 Startups, East Ventures 96,54%
iTernak Terdaftar Unknown 98,57%
TaniFund (Bagian dari TaniHub) Terdaftar MDI Ventures, Openspace Ventures, Intudo Ventures, BRI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, dll. 100%

Dihubungi secara terpisah, Executive Director Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah berkomentar, isunya sangat sederhana, tetapi perkaranya perlu verifikasi secara akurat. Jika Tanijoy tetap beroperasi tanpa memperoleh tanda terdaftar, alasannya tetap tidak dapat dibenarkan.

Ia menegaskan pihaknya terus mengimbau masyarakat agar teliti memilih fintech yang sudah terdaftar dan diawasi OJK.

“Kita akui potensi platform di sektor budidaya memang sangat besar, tetapi tantangannya juga besar. Misalnya, upaya membangun rantai pasok petani, peternak, dan nelayan agar terintegrasi di ekosistem. Harapannya, informasi terkait proses produksi, panen dan pemasaran dapat terpantau. Kami yakin perlahan tapi pasti, ekosistem ini akan semakin matang dengan dukungan teknologi,” ujarnya.

Survei AFPI: 88 P2P Lending Beri Keringanan Kredit Senilai 237 Miliar Rupiah Selama Pandemi

Survei internal AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) teranyar terkait restrukturisasi kredit akibat pandemi kembali dipaparkan. Kali ini mengungkapkan sebanyak 88 platform mendapat permohonan restrukturisasi dari borrower. Jumlah pinjaman yang berhasil difasilitasi dan disetujui lender mencapai Rp237 miliar dari 674.068 akun/transaksi.

Survei tersebut diselenggarakan pada 9-14 Mei 2020 dan diikuti oleh 143 platform penyelenggara p2p lending sebagai responden. Lebih lanjut dijabarkan, sebanyak 61,5% atau 88 platform mendapat permohonan restrukturisasi dari borrower. Sementara, sisanya 38,5% atau 55 platform tidak mendapat permohonan.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede menjelaskan, dari 88 platform yang melaporkan, hanya 60 di antaranya menyampaikan informasi jumlah akun dan nilai total transaksi. Enam platform lainnya menyampaikan nilai total transaksi, dan 14 platform sisanya hanya menyampaikan jumlah akun.

“Total permohonan restrukturisasi mencapai 1,96 juta akun/transaksi, nilainya mencapai Rp1,08 triliun, tapi yang disetujui lender nilainya hanya Rp237 miliar,” katanya dalam konferensi pers secara online, Selasa (2/6).

Dia menekankan, penyelenggara platform p2p lending berbeda dengan industri perbankan. Platform hanya mempertemukan peminjam dengan pemberi pinjaman, sementara bank bertindak langsung sebagai pemberi pinjaman.

Oleh karenanya, platform tidak berwenang untuk memberi restrukturisasi pinjaman tanpa persetujuan dari lender. “Kewenangan ada di pemberi pinjaman, namun penyelenggara dapat memfasilitasi permintaan pengajuan restrukturisasi bagi peminjam.”

Ditambahkan, dalam survei itu juga memperlihatkan terkait Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB90). Sebanyak 90 platform menyatakan TKB90 stabil, 34 platform penurunan TKB90, dan 6 platform mengaku TKB90 naik.

TKB90 adalah level kualitas kredit dalam suatu platform. Semakin tinggi dan mendekati level 100, maka semakin baik. Berdasarkan data OJK per Maret 2020, TKB90 industri p2p lending tercatat di level 95,78%.

Persyaratan baru untuk pengajuan izin

Sumber: AFPI
Sumber: AFPI

Pada saat yang sama, AFPI mengumumkan delapan platform yang baru mengantongi izin usaha dari OJK. Mereka adalah Pinjam Modal, Taralite, Danarupiah, Pinjamwinwin, Julo, Indodana, Awantunai, dan Alami. Adapun total platform yang sudah berizin di OJK mencapai 33 platform dari 161 anggota AFPI, yang sisanya masih berstatus terdaftar.

Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menambahkan, ada tambahan persyaratan yang harus dipenuhi oleh platform saat mengajukan izin. Yakni, memiliki keamanan sistem informasi berupa ISO 27001 dan telah terintegrasi dengan sistem Fintech Data Center (FDC). “Ini adalah requirement yang baru untuk pengajuan pada tahun lalu, pada batch sebelumnya belum ada,” ujarnya.

Integrasi dengan FDC menjadi fokus utama asosiasi saat ini agar bisa memberikan dampak yang optimal untuk mengurangi potensi penipuan di industri. Oleh karenanya, seluruh anggota didorong untuk terintegrasi, termasuk untuk platform yang sedang mengajukan izin.

Berkaitan dengan itu pula, asosiasi menutup sementara proses pendaftaran untuk anggota baru pada beberapa waktu lalu. Kus menyebut, ada 35 pemain baru yang masih dalam daftar tunggu dan belum diproses asosiasi.

“Sebentar lagi kami mau rapat untuk menentukan kapan akan buka lagi. Kami pun sedang ada studi bersama dengan OJK untuk melihat seberapa banyak idealnya p2p lending di Indonesia, hasilnya akan segera keluar.”

Dari data teranyar OJK pada April 2020, akumulasi penyaluran pinjaman di industri p2p lending sebanyak Rp106,06 triliun, naik 186,54% secara yoy. Pulau Jawa mendominasi total pinjaman hingga Rp90,88 triliun, sisanya sebanyak Rp15,18 triliun datang dari luar Pulau Jawa. Jumlah lender yang tercatat ada 647.993 dan borrower mencapai 24,77 juta.

Kus juga mencatat angka pinjaman per bulan sepanjang empat bulan ini mengalami tren kenaikan. Sektor-sektor yang naik drastis adalah pembiayaan untuk industri kesehatan, seperti UKM farmasi, obat-obatan, dan alat pendukung kesehatan. Begitu pula sektor yang terkait distribusi pangan, produk agrikultur, dan makanan kemasan.

Sektor lainnya adalah telekomunikasi dan ekosistem online yang semakin banyak digunakan untuk mendukung kehidupan sehari-hari dan berpotensi untuk berkembang seiring pergeseran perilaku konsumsi masyarakat.

Survei AFPI: P2P Lending Catat Penurunan Bisnis 5% Akibat Pandemi

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) melaporkan industri p2p lending mengalami penurunan penyaluran pinjaman sebesar 5% dari Maret 2020 dibandingkan bulan sebelumnya akibat pandemi Covid-19. Disebutkan juga penurunan bisnis belum memberi dampak terhadap tingkat kredit bermasalah.

Dalam survei singkat yang diselenggara asosiasi pada 6 April 2020, responden menyatakan TKB90 (Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari) tercatat stabil. Asosiasi belum mendapat data teranyar untuk melihat kondisi terkini. Bila melihat dari data OJK, TKB90 industri berada di angka 96,08% atau NPL 3,92% per Februari 2020. Angka tersebut tergolong sehat untuk industri.

Survei ini diikuti oleh 130 anggota AFPI sebagai responden. Dijelaskan, sebanyak 52% di antaranya atau 68 pemain mengaku sudah mendapat permohonan restrukturisasi dari peminjam.

“Survei ini baru secara industri. Kita akan lakukan survei ketika melihat pandemi ini sudah berlangsung panjang, bagaimana penurunan dari masing-masing platform baik dari nominal maupun debiturnya,” terang Ketua Harian AFPI Kuseryansyah dalam video conference bersama media, Senin (20/4).

Pria yang kerap disapa Kus ini menambahkan, gelombang dampak pandemi diprediksi akan ada di posisi puncak antara bulan depan sampai Juni 2020. Pada saat itu, diprediksi tingkat TKB90 dan NPL akan mengalami koreksi. Perusahaan dianjurkan untuk terus aktif melakukan pemantauan secara harian dan stress test untuk mengurangi dampak.

“Covid-19 sedikit banyak berpengaruh terhadap rencana bisnis perusahaan, termasuk target seluruh anggota penyelenggara. Pandemi juga dikhawatirkan membuat risiko kegagalan pembayaran berpotensi meningkat, sehingga akan semakin memperketat mitigasi risiko atas pengajuan pinjaman-pinjaman baru.”

Bila di dalami lebih jauh, dari semua segmen p2p lending ada yang justru mengalami berkah. Salah satunya Tokomodal yang bergerak pada pinjaman produktif untuk pemilik warung. CEO & Co-Founder Tokomodal Chris Antonius menerangkan, bisnisnya justru menunjukkan tanda peningkatan drastis karena transaksi warung yang meningkat.

“Ketika mal dan pusat belanja ditutup, masyarakat kembali belanja di warung buat beli kebutuhan pokok. Makanya pinjaman di Tokomodal justru naik. Terlebih itu, tenor kami hanya tujuh hari jadi turn over-nya cepat,” ujarnya.

Dari analisis perusahaan sejak dua bulan lalu hingga sekarang, Tokomodal tidak memiliki pengajuan restrukturisasi kredit. Untuk dukung operasional warung, kini perusahaan membuat program dukungan dengan membebaskan biaya admin setiap pengajuan pinjaman.

Kondisi sedikit berbeda dihadapi oleh Investree. Mereka mencatat dari total outstanding kredit sekitar 15% pinjaman yang berpotensi terkena dampak pandemi. Rata-rata industri tersebut bergerak di bidang ritel, seperti restoran dan kedai kopi.

Kurang dari 1% di antaranya adalah realisasi dari pinjaman yang pembayarannya terlambat. Sisanya, sekitar 2%-3% bersikap proaktif dengan meminta pengajuan restrukturisasi. Namun persetujuan ini tergantung dari keputusan pemberi pinjaman. Bentuk keringanan yang diberikan Investree yakni perpanjangan tenor dan payment holiday atau libur pembayaran.

“Kita enggak bisa langsung restrukturisasi karena p2p itu bukan on balance sheet, tapi off balance sheet. Jadi harus ada persetujuan dari lender, apakah setuju untuk restrukturisasi atau ada payment holiday,” tambah Chief Risk Officer Investree Amalia Safitri.

Hal yang sama juga dilakukan Crowdo. Perusahaan menganalisis bisnis peminjam yang terdampak pandemi sejak Maret lalu. Di antaranya consumer goods yang mengalami pengajuan keringanan tertinggi, ada juga sektor lainnya.

“Kami analisis peminjam mana yang kira-kira akan terdampak Covid-19. Pada April, sudah ada yang minta. Saat ini baru 3% peminjam yang mengajukan restrukturisasi. Kami berkomunikasi intensif dengan para peminjam yang meminta keringanan kredit untuk kontrol hariannya,” ujar COO Crowdo Indonesia Nur Fitriani.

Chris melanjutkan, dampak yang terasa setiap pemain p2p akan sangat tergantung pada segmen industri yang dilayani. Ambil contoh, bila ada warung makan yang mengajukan pinjaman produktif, tapi lokasi usahanya di lokasi wisata, otomatis bisnisnya akan ikut terdampak.

“Saya melihat pinjaman yang sifatnya justru lebih mendekati kebutuhan dasar akan meningkat bisnisnya. Logistik, alat kesehatan, e-commerce juga menunjukkan tren naik jumlah pinjamannya,” sambung Chris.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede menerangkan p2p lending berbeda dengan bank. Mereka hanya bertindak sebagai platform penyelenggara yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman. Jadi, platform tidak berwenang untuk memberikan persetujuan restrukturisasi tanpa persetujuan dari pemberi pinjaman.

“Namun penyelenggara dapat memfasilitasi permintaan pengajuan restrukturisasi bagi peminjam UMKM yang terdampak Covid-19 kepada pihak pemberi pinjaman,” tambahnya.

Hingga akhir Februari 2020, OJK mencatat penyaluran pinjaman p2p lending senilai Rp95,39 triliun naik 225,58% secara year on year. Dari sisi pemberi pinjaman ada 630 ribu entitas dan peminjam 22,32 juta entitas. Total penyelenggara p2p lending yang terdaftar di OJK ada 161 perusahaan, dengan 25 di antaranya sudah berizin.

Terus merekrut karyawan

Dampak Covid-19, bagi sebagian startup justru menjadi kesempatan untuk merekrut lebih banyak talenta baru. Tumbur yang juga CEO Tunaikita menerangkan, perusahaan merekrut lebih banyak tenaga customer service karena ada kebutuhan yang tinggi dalam hal komunikasi dengan para peminjam.

Selain itu, tenaga di bidang penilaian kini semakin dibutuhkan untuk melihat potensi di daerah baru yang tidak terdampak Covid-19 atau mencari peminjam baru. “Pengurangan karyawan belum berdampak, di industri justru makin dicari karyawan yang memang spesifik melakukan tugas-tugas dan fungsinya meningkat.”

Bisnis p2p lending, sambungnya, memperoleh pendapatan dari fee atas transaksi pinjam meminjam. Sementara, pendapatan bunga dan denda atas pinjaman adalah milik pihak pemberi pinjaman. Oleh karenanya, pendapatan mereka bergantung pada jumlah nilai penyaluran, sedangkan penyaluran ini tergantung pada kepercayaan pihak pemberi pinjaman terhadap kinerja platform.

“Momen ini sekaligus memperlihatkan fondasi bisnis yang kuat. Menurut efisien saya, momen-momen ini justru bisa menjadi pembuktian bahwa kita sudah melakukan yang benar [punya fondasi bisnis yang kuat],” tutup Chris.

AFPI Ditunjuk OJK sebagai Asosiasi Resmi Penyelenggara Layanan P2P Lending

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan surat penunjukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai badan resmi yang mewadahi penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi (p2p lending) di Indonesia.

Dengan keluarnya surat dari OJK dan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 Bab XIII Pasal 48, maka seluruh p2p lending di Indonesia wajib mendaftarkan diri sebagai anggota AFPI. Sejauh ini, per tanggal 18 Januari 2019 tercatat ada 88 penyedia layanan telah terdaftar.

“Kami sangat mengapresiasi pihak OJK yang telah mendengarkan aspirasi para penyelenggara mengenai pentingnya kehadiran asosiasi untuk menjalankan fungsi pengawasan dan pengaturan kepada anggota. Hal ini sangat penting untuk menjaga industri agar dapat bertumbuh dengan sehat dan berkesinambungan, serta membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia yang selama ini belum memiliki akses jasa keuangan konvensional,” kata Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi.

Setelah penunjukan ini, AFPI akan menjadi mitra strategis OJK dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan para penyelenggara yang menjadi anggotanya dan berperan dalam mendukung berbagai kegiatan edukasi dan perlindungan konsumen perusahaan fintech di Indonesia.

AFPI sendiri saat ini sudah memiliki beberapa agenda dan program kerja yang telah ditetapkan para pengurusnya, di antaranya program sertifikasi internal terhadap proses bisnis yang terkait dengan pelayanan kepada nasabah. Selain itu asosiasi juga akan melakukan pembentukan pusat data p2p lending sebagai inovasi yang mendukung kebutuhan manajemen dan penilaian risiko kredit.

Pusat data tersebut nantinya akan memiliki sistem kerja yang serupa dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan yang sebelumnya ada di OJK.

“Beberapa program kerja telah kami siapkan, namun prioritas kami saat ini adalah menyelenggarakan sertifikasi internal untuk menjaga standar minimum pelayanan kepada nasabah dan juga pembangunan pusat data tekfin pinjam meminjam uang.”

“Ini menjadi bentuk solusi nyata yang inovatif dari para penyelenggara atas banyaknya keluhan masyarakat yang merasa terjebak oleh pinjaman dari beberapa perusahaan tekfin sekaligus mencegah terjadinya praktik gali lubang tutup lubang oleh masyarakat,” terang Ketua Harian AFPI Kuseryansyah.