Crowdo Announces Bank Neo Commerce as Its Digital Bank Prime Partner

Fintech startup Crowdo announced a partnership with Bank Neo Commerce (BNC) to increase SME financing. This is Crowdo’s first-ever partnership since declaring itself a neobank service.

In an interview with DailySocial, Crowdo’s Group CEO, Reona Shimada explained, they offer comprehensive digital technology and infrastructure for digital banks in this partnership, and it will take a long time if it’s to be built independently.

BNC has access to technology such as an AI-powered credit scoring engine that Crowdo engine has built and trained for three years. It is said that Crowdo’s portfolio performed up to 70% better with this tool than traditional bank loans for SMEs during the pandemic.

In addition, access to the whole digital onboarding process and end-to-end underwriting, and supporting the digitization mission for digital banks. “By combining these two DNAs, it makes digital banks more efficient in their business processes. They can immediately experience the impact of the business as they get an acquisition channel,” Shimada said.

Technically, the onboarding process for SMEs in obtaining loans is done through the Crowdo platform. If the results of the assessment match the criteria targeted by BNC, then they will make the loan. Shimada explained that this approach is different from loan channeling, as is done by banks with p2p lending companies in general.

“Crowdo is more focused on digital solutions for SMEs, not just financing. SMEs can digitize their operations and get financial products. ”

Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo
Crowdo and BNC agreement signing / Crowdo

In terms of monetization, Shimada was reluctant to reveal further detail. However, he said an example, in general cooperation between companies as this one usually uses commission share (share fee).

The company is expected to announced two other digital banks sooner this year. Previously disclosed, Crowdo targets to help SMEs digitize supply chain transactions worth more than Rp14 trillion and access loans and other financial products.

Through the Digitalization Platform service, it allows SMEs to open bank accounts in a simple and fast way, manage all invoices and purchase orders digitally, and request/receive payments.

Meanwhile, for financial products, there are three products, paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) and working capital loans. Early Payment or in the industry better known as invoice financing, this loan is intended for prepayments based on bills issued and purchase orders. Meanwhile, Micro Pay Later for small bills and unexpected payments.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Crowdo Umumkan Bank Neo Commerce sebagai Mitra Perdana Bank Digital

Startup fintech Crowdo mengumumkan kemitraan dengan Bank Neo Commerce (BNC) untuk peningkatan pembiayaan UKM. Ini adalah kemitraan perdana bagi Crowdo sejak mendeklarasikan diri sebagai layanan neobank.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Group CEO Crowdo Reona Shimada menjelaskan, dalam kemitraan ini mereka menawarkan teknologi dan infrastruktur digital secara menyeluruh buat bank digital, yang mana bila dibangun sendiri akan memakan waktu yang lama.

BNC mendapat akses teknologi seperti mesin skoring kredit bertenaga AI yang sudah dibangun dan dilatih engine Crowdo selama tiga tahun. Diklaim dengan alat ini, kinerja portofolio Crowdo lebih baik hingga 70% daripada pinjaman tradisional bank untuk UKM selama pandemi.

Selain itu, akses proses onboarding digital secara keseluruhan dan underwriting dari ujung ke ujung, sehingga mendukung misi digitalitasi buat bank digital. “Dengan mengawinkan dua DNA ini membuat bank digital jadi lebih efisien proses bisnisnya, merekapun dapat segera merasakan dampak bisnis karena mendapat channel akuisisi,” kata Shimada.

Secara teknis, proses onboarding UKM dalam mendapatkan pinjaman dilakukan melalui platform Crowdo. Apabila hasil penilaiannya sesuai dengan kriteria yang diincar BNC, maka merekalah yang akan melakukan pinjaman. Shimada menjelaskan, pendekatan ini berbeda dengan loan channeling, seperti yang dilakukan perbankan dengan perusahaan p2p lending pada umumnya.

“Crowdo lebih fokus pada solusi digital untuk UKM, tidak hanya sekadar pembiayaan saja. UKM bisa melakukan digitalisasi operasional dan mendapat produk keuangan.”

Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo
Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo

Untuk monetisasinya, Shimada enggan menjelaskan lebih detail. Namun ia memberi contoh, pada umumnya kerja sama antar perusahaan seperti ini menggunakan pembagian komisi (share fee).

Dua bank digital lainnya diharapkan dapat segera diumumkan perusahaan sepanjang tahun ini. Sebelumnya diungkapkan, Crowdo menargetkan dapat membantu UKM mendigitalisasi transaksi supply chain yang bernilai lebih dari Rp14 triliun dan mengakses pinjaman dan produk keuangan lainnya.

Melalui layanan Platform Digitalisasi memungkinkan UKM membuka rekening bank dengan cara sederhana dan cepat, mengelola semua invoice dan pesanan pembelian secara digital, dan meminta/menerima pembayaran.

Sementara itu, untuk produk keuangan, terdiri dari tiga produk, ialah paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) dan pinjaman modal kerja. Early Payment atau di industri lebih dikenal dengan istilah invoice financing, pinjaman ini diperuntukkan buat pembayaran di muka berdasarkan tagihan yang diterbitkan dan pesanan pembelian. Sementara, Micro Pay Later untuk tagihan kecil dan pembayaran terduga.

Crowdo Kini Menjadi Neobank, Perluas Solusi Digital untuk UKM

Di balik besarnya potensi digitalisasi UKM Indonesia, masih menyimpan banyak isu yang ternyata tak cukup dengan kehadiran solusi p2p lending saja. Alasan tersebut yang menginisiasi Crowdo untuk perluas layanannya dan menobatkan diri menjadi neobank dari awalnya penyedia pinjaman p2p.

Menjadi neobank, bukan berarti Crowdo memegang lisensi bank digital. Perusahaan telah mengantongi izin penuh dari OJK sejak akhir tahun lalu sebagai p2p lending. Dalam menyediakan solusi yang ada, perusahaan bermitra dengan lembaga keuangan lainnya.

Neobank dan bank digital punya perbedaan konsep. Neobank adalah lembaga keuangan digital yang produk-produknya adalah hasil kemitraan dengan lembaga keuangan lainnya, salah satunya perbankan. Sementara, bank digital secara teorinya adalah bank-bank yang sudah ada mendigitalkan layanannya. Mereka biasanya memiliki lisensi untuk melakukan kegiatan pengambilan simpanan.

Group CEO Crowdo Reona Shimada menjelaskan, perusahaan selalu berambisi menjadi institusi finansial, lending adalah salah satu produknya. Dari sisi konsumen UKM, masih banyak solusi yang mereka butuhkan. “Jika melihat dari tren fintech di global, neobank itu sangat consumer-centric. Produknya simpel dan seamless consumer journey-nya,” terangnya dalam wawancara terbatas bersama sejumlah media, kemarin (24/2).

Ditegaskan kembali oleh COO Crowdo Indonesia Nur Vitriani, dengan menjadi neobank artinya Crowdo menjadi katalis buat industri keuangan digital karena membawa inovasi baru dengan proses yang lebih simpel. Perusahaan tengah berdiskusi dengan tiga bank digital hadir di platform Crowdo.

Hanya saja, identitas dari ketiga bank ini masih dirahasiakan. “Kita sedang proses dengan tiga bank digital untuk onboarding di Crowdo. Bagi mereka, karena kami sudah punya teknologi AI tentu akan sangat membantu mereka daripada harus bangun sendiri,” terangnya saat dihubungi DailySocial, Kamis (24/2).

Sebagai neobank, Crowdo menyediakan solusi keuangan digital UKM dengan mengintegrasikan digitalisasi operasional dengan solusi pinjaman dan perbankan yang dibantu mesin penilaian kredit bertenaga AI. Serta, produk dan layanan yang didorong prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang positif.

Produk Crowdo saat ini

Ada dua solusi utama yang ditawarkan, yakni digitalisasi operasional dan produk keuangan, baik itu pinjaman dan fitur perbankan. Keduanya adalah masalah yang paling mendesak yang dihadapi UKM.

Saat ini, sebagian besar UKM di Indonesia mengelola data dan transaksinya secara offline dan manual. Hal ini mengakibatkan produktivitas yang buruk karena pemilik bisnis haru menghabiskan banyak waktu untuk masalah nonkomersial. Crowdo menawarkan solusi digital sederhana yang memungkinkan UKMK dengan mudah mengelola transaksi supply chain secara online dan mengakses produk keuangan lebih mudah.

Perusahaan menargetkan dapat membantu UKM mendigitalisasi transaksi supply chain yang bernilai lebih dari Rp14 triliun dan mengakses pinjaman dan produk keuangan lainnya.

Melalui layanan Platform Digitalisasi memungkinkan perusahaan untuk membuka rekening bank dengan cara sederhana dan cepat, mengelola semua invoice dan pesanan pembelian secara digital, dan meminta/menerima pembayaran.

Sementara itu, untuk produk keuangan, terdiri dari tiga produk, ialah paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) dan pinjaman modal kerja. Early Payment atau di industri lebih dikenal dengan istilah invoice financing, pinjaman ini diperuntukkan buat pembayaran di muka berdasarkan tagihan yang diterbitkan dan pesanan pembelian. Sementara, Micro Pay Later untuk tagihan kecil dan pembayaran terduga.

“Pinjaman Modal Kerja untuk mendukung proyek yang lebih besar dan persyaratan modal kerja bisa bantu UKM mengembangkan bisnisnya,” tambah Vitri.

Ke depannya, perusahaan akan menambah layanan digital lebih jauh untuk UKM. Misalnya manajemen biaya operasional, pengaturan tagihan, dan penggajian karyawan.

Adapun saat ini perusahaan telah memiliki 76 ribu pengguna per Desember tahun lalu dengan total penyaluran di kisaran Rp600 miliar. Pada tahun ini, perusahaan memiliki target ingin mendigitalkan $1 miliar dalam transaksi supply chain yang difasilitasi melalui komunitas UKM dan melipatgandakan penyaluran pinjaman hingga dua kali lipat menjadi Rp1,2 triliun.

Untuk lender Crowdo, saat ini sepenuhnya adalah lender institusi, yang datang dari perbankan atau multifinance. “Mereka melihat teknologi AI yang kami tawarkan untuk credit scoring engine yang mana ini sangat berguna terutama saat pandemi untuk mengurangi risiko NPL. Kami berhasil menahan laju NPL di bawah rata-rata perbankan,” kata Shimada.

Group CEO Crowdo Reona Shimada / Crowdo
Group CEO Crowdo Reona Shimada / Crowdo

Tahan ekspansi

Secara grup, Crowdo telah beroperasi di tiga negara, yakni Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Shimada menerangkan, ketiga negara ini saling berkontribusi satu sama lain dalam menginspirasi setiap inovasi perusahaan. Menurutnya, Indonesia dan Malaysia punya kemiripan dari sisi regulatornya yang progresif untuk mendorong inovasi di industri fintech.

Sementara Singapura, lebih terbatas dalam ukuran pasar, tapi memiliki sumber daya yang langkap seperti data scientis. “Berada di tiga pasar ini, Crowdo sangat diuntungkan, Crowdo Indonesia melayani pasar terbesar di ASEAN sambil mengakses kemampuan yang kuat dari pasar kami yang lain.”

Terkait rencana ekspansi ke negara baru, belum menjadi suatu agenda yang diharuskan oleh perusahaan mengingat pandemi yang masih berlangsung. Namun, ia melihat permintaan yang kuat untuk solusi neobanking di pasar seperti Filipina, Vietnam, dan Thailand dan ia secara proaktif melihat peluang masuk ke sana. “Indonesia akan tetap menjadi fokus utama kami.”

Dalam mendorong target perusahaan, diungkapkan bahwa saat ini Crowdo sedang memroses penggalangan Seri B. “Yang penting bagi kami adalah kami memiliki sekelompok investor yang bersemangat dengan misi kami untuk bergabung dalam putaran penggalangan dana,” tutup dia.

Survei AFPI: P2P Lending Catat Penurunan Bisnis 5% Akibat Pandemi

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) melaporkan industri p2p lending mengalami penurunan penyaluran pinjaman sebesar 5% dari Maret 2020 dibandingkan bulan sebelumnya akibat pandemi Covid-19. Disebutkan juga penurunan bisnis belum memberi dampak terhadap tingkat kredit bermasalah.

Dalam survei singkat yang diselenggara asosiasi pada 6 April 2020, responden menyatakan TKB90 (Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari) tercatat stabil. Asosiasi belum mendapat data teranyar untuk melihat kondisi terkini. Bila melihat dari data OJK, TKB90 industri berada di angka 96,08% atau NPL 3,92% per Februari 2020. Angka tersebut tergolong sehat untuk industri.

Survei ini diikuti oleh 130 anggota AFPI sebagai responden. Dijelaskan, sebanyak 52% di antaranya atau 68 pemain mengaku sudah mendapat permohonan restrukturisasi dari peminjam.

“Survei ini baru secara industri. Kita akan lakukan survei ketika melihat pandemi ini sudah berlangsung panjang, bagaimana penurunan dari masing-masing platform baik dari nominal maupun debiturnya,” terang Ketua Harian AFPI Kuseryansyah dalam video conference bersama media, Senin (20/4).

Pria yang kerap disapa Kus ini menambahkan, gelombang dampak pandemi diprediksi akan ada di posisi puncak antara bulan depan sampai Juni 2020. Pada saat itu, diprediksi tingkat TKB90 dan NPL akan mengalami koreksi. Perusahaan dianjurkan untuk terus aktif melakukan pemantauan secara harian dan stress test untuk mengurangi dampak.

“Covid-19 sedikit banyak berpengaruh terhadap rencana bisnis perusahaan, termasuk target seluruh anggota penyelenggara. Pandemi juga dikhawatirkan membuat risiko kegagalan pembayaran berpotensi meningkat, sehingga akan semakin memperketat mitigasi risiko atas pengajuan pinjaman-pinjaman baru.”

Bila di dalami lebih jauh, dari semua segmen p2p lending ada yang justru mengalami berkah. Salah satunya Tokomodal yang bergerak pada pinjaman produktif untuk pemilik warung. CEO & Co-Founder Tokomodal Chris Antonius menerangkan, bisnisnya justru menunjukkan tanda peningkatan drastis karena transaksi warung yang meningkat.

“Ketika mal dan pusat belanja ditutup, masyarakat kembali belanja di warung buat beli kebutuhan pokok. Makanya pinjaman di Tokomodal justru naik. Terlebih itu, tenor kami hanya tujuh hari jadi turn over-nya cepat,” ujarnya.

Dari analisis perusahaan sejak dua bulan lalu hingga sekarang, Tokomodal tidak memiliki pengajuan restrukturisasi kredit. Untuk dukung operasional warung, kini perusahaan membuat program dukungan dengan membebaskan biaya admin setiap pengajuan pinjaman.

Kondisi sedikit berbeda dihadapi oleh Investree. Mereka mencatat dari total outstanding kredit sekitar 15% pinjaman yang berpotensi terkena dampak pandemi. Rata-rata industri tersebut bergerak di bidang ritel, seperti restoran dan kedai kopi.

Kurang dari 1% di antaranya adalah realisasi dari pinjaman yang pembayarannya terlambat. Sisanya, sekitar 2%-3% bersikap proaktif dengan meminta pengajuan restrukturisasi. Namun persetujuan ini tergantung dari keputusan pemberi pinjaman. Bentuk keringanan yang diberikan Investree yakni perpanjangan tenor dan payment holiday atau libur pembayaran.

“Kita enggak bisa langsung restrukturisasi karena p2p itu bukan on balance sheet, tapi off balance sheet. Jadi harus ada persetujuan dari lender, apakah setuju untuk restrukturisasi atau ada payment holiday,” tambah Chief Risk Officer Investree Amalia Safitri.

Hal yang sama juga dilakukan Crowdo. Perusahaan menganalisis bisnis peminjam yang terdampak pandemi sejak Maret lalu. Di antaranya consumer goods yang mengalami pengajuan keringanan tertinggi, ada juga sektor lainnya.

“Kami analisis peminjam mana yang kira-kira akan terdampak Covid-19. Pada April, sudah ada yang minta. Saat ini baru 3% peminjam yang mengajukan restrukturisasi. Kami berkomunikasi intensif dengan para peminjam yang meminta keringanan kredit untuk kontrol hariannya,” ujar COO Crowdo Indonesia Nur Fitriani.

Chris melanjutkan, dampak yang terasa setiap pemain p2p akan sangat tergantung pada segmen industri yang dilayani. Ambil contoh, bila ada warung makan yang mengajukan pinjaman produktif, tapi lokasi usahanya di lokasi wisata, otomatis bisnisnya akan ikut terdampak.

“Saya melihat pinjaman yang sifatnya justru lebih mendekati kebutuhan dasar akan meningkat bisnisnya. Logistik, alat kesehatan, e-commerce juga menunjukkan tren naik jumlah pinjamannya,” sambung Chris.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede menerangkan p2p lending berbeda dengan bank. Mereka hanya bertindak sebagai platform penyelenggara yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman. Jadi, platform tidak berwenang untuk memberikan persetujuan restrukturisasi tanpa persetujuan dari pemberi pinjaman.

“Namun penyelenggara dapat memfasilitasi permintaan pengajuan restrukturisasi bagi peminjam UMKM yang terdampak Covid-19 kepada pihak pemberi pinjaman,” tambahnya.

Hingga akhir Februari 2020, OJK mencatat penyaluran pinjaman p2p lending senilai Rp95,39 triliun naik 225,58% secara year on year. Dari sisi pemberi pinjaman ada 630 ribu entitas dan peminjam 22,32 juta entitas. Total penyelenggara p2p lending yang terdaftar di OJK ada 161 perusahaan, dengan 25 di antaranya sudah berizin.

Terus merekrut karyawan

Dampak Covid-19, bagi sebagian startup justru menjadi kesempatan untuk merekrut lebih banyak talenta baru. Tumbur yang juga CEO Tunaikita menerangkan, perusahaan merekrut lebih banyak tenaga customer service karena ada kebutuhan yang tinggi dalam hal komunikasi dengan para peminjam.

Selain itu, tenaga di bidang penilaian kini semakin dibutuhkan untuk melihat potensi di daerah baru yang tidak terdampak Covid-19 atau mencari peminjam baru. “Pengurangan karyawan belum berdampak, di industri justru makin dicari karyawan yang memang spesifik melakukan tugas-tugas dan fungsinya meningkat.”

Bisnis p2p lending, sambungnya, memperoleh pendapatan dari fee atas transaksi pinjam meminjam. Sementara, pendapatan bunga dan denda atas pinjaman adalah milik pihak pemberi pinjaman. Oleh karenanya, pendapatan mereka bergantung pada jumlah nilai penyaluran, sedangkan penyaluran ini tergantung pada kepercayaan pihak pemberi pinjaman terhadap kinerja platform.

“Momen ini sekaligus memperlihatkan fondasi bisnis yang kuat. Menurut efisien saya, momen-momen ini justru bisa menjadi pembuktian bahwa kita sudah melakukan yang benar [punya fondasi bisnis yang kuat],” tutup Chris.

Skema “Supply Chain Financing” Jadi Fokus Bisnis Crowdo, Danai Pembelian Pasokan Barang untuk UKM

Startup fintech lending Crowdo baru-baru ini memperkenalkan skema pembiayaan baru untuk membantu UKM di bidang perdagangan. Melalui produk Supply Chain Financing (SFC), platform fokus membiayai kebutuhan pasokan barang dagangan dari pemasok (supplier).

Melalui pendekatan baru tersebut, perusahaan miliki misi untuk menyederhanakan rantai transaksi antara UKM dengan pemasok, dinilai akan memberikan efisiensi dari sisi bisnis dan nilai transaksi.

Dalam rilisnya COO Crowdo Ikram Jeihan menjelaskan, pada dasarnya SCF memungkinkan UKM yang bertindak sebagai pembeli untuk memperpanjang jangka waktu pembayaran kepada pemasok. Di beberapa skenario bisnis dengan keterbatasan, barang diterima lebih dulu untuk dijual, lalu hasil penjualan digunakan untuk membayar harga pokok barang.

Permasalahannya kadang pemasok menjadi sulit untuk mengelola arus kas (cashflow) jika terlalu banyak yang membeli barang secara kredit. Crowdo hadir di sini, menjembatani dengan solusi pembiayaan/pinjaman bisnis kepada UKM.

“Pemasok tidak perlu takut dengan arus kas mereka, karena akan mendapatkan pembayaran lebih awal. Pemasok juga dapat menggunakan fitur faktur atau tagihan yang ada di Crowdo, sehingga memperoleh akses ke yang mereka lebih cepat. Diharapkan menjadi win-win solution,” terang Jeihan.

Menurut pihak Crowdo, skema tersebut juga sudah sesuai dengan Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) yang diluncurkan oleh asosiasi beberapa waktu lalu.

Jeihan mengatakan, potensi SCF sangat besar di Indonesia, sehingga dapat dioptimalkan untuk meningkatkan distribusi dana investasi. Dari data yang disampaikan, setiap tahun ada kesenjangan pembiayaan untuk UKM hingga 1.000 triliun Rupiah.

“SCF memiliki keunggulan dibandingkan dengan produk (permodalan) lain karena proses analisis telah disederhanakan dengan tidak mengurangi prinsip prudent (kehati-hatian), verifikasi, dan pengujian bisnis. (Bagi investor) juga menyediakan perlindungan, karena dana mendapat jaminan dari pemasok.”

Hingga tahun 2020 nanti, perusahaan akan fokus pada skema SCF ini. Diharapkan dapat menyerap hingga 60% pembiayaan yang ada di Crwodo. Kontribusi tersebut diharapkan dapat mewujudkan inklusi keuangan yang sehat di Indonesia.

Crowdo resmi hadir di Indonesia sejak tahun 2016. Bernaung di bawah PT Mediator Komunitas Indonesia, saat ini mereka telah terdaftar dan diawasi OJK. Fokus biayai bisnis, platform juga memberikan wadah bagi bisnis yang ingin melakukan penggalangan dana dengan ekuitas. Skema ini memang baru, namun secara legal OJK juga sudah menyusun aturannya, termasuk mendaftar dan mengawasi startup yang memberikan pelayanan tersebut.

Menurut data per September 2019, ada 127 pemain fintech lending yang terdaftar dan diawasi di OJK. Sebanyak 13 di antaranya sudah mendapatkan status berizin usaha. Banyaknya pemain memaksa setiap platform memiliki nilai unik, seperti Crwodo yang akhirnya memilih untuk memaksimalkan potensi melalui SFC.

Application Information Will Show Up Here

Platform P2P Lending Crowdo Bermitra dengan BFI Finance, Layani Pinjaman Berbasis Agunan

Platform peer to peer lending asal Singapura Crowdo resmikan kemitraan dengan perusahaan pembiayaan PT BFI Finance guna meningkatkan akses terhadap pembiayaan UKM.

Dengan menganut konsep referensi, calon debitur dapat mengajukan pinjaman di platform Crowdo dengan menjaminkan BPKB kendaraannya, baik itu motor atau mobil, serta aset tetap seperti rumah. Pinjaman terbuka untuk keperluan bisnis juga pribadi. Selanjutnya, pihak Crowdo akan menyerahkan ke BFI untuk tinjauan lebih lanjut.

“Ini adalah kesemptan yang luar biasa bagi kami untuk memperluas jangkauan Crowdo ke seluruh Indonesia. [..] kemitraan dengan BFI, akan mempercepat pemberian solusi bagi pelanggan. [..] Kami berkomitmen untuk mengatasi hambatan dalam mengakses layanan keuangan dan mendorong bisnis [..],” kata General Manager Crowdo Indonesia Cally Alexandra dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial, Jumat (26/5).

Business Strategy Department BFI Mahendra Kesumah menambahkan kemitraan antara kedua perusahaan merupakan strategi BFI dalam rangka memperluas kegiatan usaha perusahaan pembiayaan. Seperti yang tercantum dalam POJK Nomor 29, perusahaan pembiayaan tidak hanya dapat memberikan pembiayaan kendaraan saja, tapi sudah diperluas ke investasi, modal kerja, dan multiguna.

“BFI melihat Crowdo sebagai salah satu p2p lending dengan visi yang sama seperti kami. Kami juga pertimbangkan pengalaman Crowdo, mereka tidak hanya mengerti pasar di Indonesia, tapi juga di Malaysia dan Singapura,” ucap Mahendra.

Ke depannya, Crowdo berkomitmen untuk terus memperluas kemitraan dengan perusahaan lainnya demi kemudahan akses pinjaman untuk UKM di Indonesia.

Sebelumnya, Crowdo juga meresmikan kemitraan dengan MatahariMall untuk program “Super Loan”. Dari program tersebut, penjual di MatahariMall berkesempatan untuk mengambil pinjaman antara Rp50 juta sampai Rp200 juta dengan bunga 1%-3% per bulannya.

Sediakan Pinjaman Khusus Penjual, Crowdo Gaet MatahariMall Untuk Program “Super Loan”

Crowdo, platform penyedia p2p lending asal Singapura, mengumumkan kemitraan dengan pemain e-commerce MatahariMall untuk program “Super Loan”. Diharapkan kemitraan ini dapat memperluas akses pembiayaan modal kerja skala besar untuk para merchant yang telah tergabung dalam jaringan Lippo Group tersebut.

Diklaim saat ini MatahariMall telah memiliki 8 ribu merchant UKM dengan akses yang sangat terbatas untuk melakukan pinjaman ke bank. Lewat program “Super Loan”, merchant MatahariMall dapat mengajukan pinjaman untuk keperluan modal kerja dengan besaran antara Rp50 juta sampai Rp200 juta, dengan bunga 1%-3% per bulan dan tenor di mulai dari 1 sampai 12 bulan.

Untuk mengajukan aplikasi, merchant diharuskan sudah menjadi penjual aktif di MatahariMall minimum enam bulan dan sudah berbentuk badan usaha. Dokumen yang dibutuhkan, mulai dari data dan foto pribadi, serta data legalitas usaha.

“Kemitraan ini sejalan dengan misi kami untuk membantu UKM terbaik di Indonesia agar mereka bisa mengakses pembiayaan dari investor lokal tetapi juga global. [..] Sekaligus, memperkuat kehadiran Crowdo dengan menyediakan pinjaman bisnis di pelosok negeri mulai hari ini. [..],” ucap General Manager Crowdo Indonesia Cally Alexandra dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial.

Head of Partnership & Communication Alvin Aulia Akbar menambahkan, “[..] Kami percaya dengan memaksimalkan penggunaan teknologi, UKM dapat mempercepat peningkatan kontribusi positif mereka termasuk penggunaan fintech untuk kemudahan akses kredit. [..] Lewat kerja sama ini, kami berharap dapat berkontribusi pada pertumbuhan UKM [..].”

Saat ini Crowdo telah membiayai lebih dari 2.500 proyek usaha dan diharapkan dapat tumbuh lebih pesat ke depannya. Cally menuturkan, pihaknya menargetkan Crowdo dapat menjadi platform bisnis terbaik dan terbesar di Indonesia untuk membantu UKM lokal dalam meningkatkan pembiayaan dari komunitas investor global. Pihaknya juga akan melakukan kemitraan lainnya demi terealisasinya target tersebut.

Application Information Will Show Up Here

Platform P2P Lending Crowdo Luncurkan Aplikasi Khusus Investor “Crowdo Connect”

Platform P2P Lending asal Singapura Crowdo meresmikan aplikasi khusus investor (pemberi pinjaman) dinamai Crowdo Connect. Aplikasi ini diharapkan dapat memudahkan investor dalam mengatur portofolio investasi dan informasi penting lainnya mengenai UKM yang akan mereka investasi mulai dari rating, bunga, tenor, hingga profil UKM itu sendiri.

Tak hanya itu, aplikasi ini juga menjadi visi Crowdo yang ingin menghubungkan UMK Indonesia dengan investor dari berbagai belahan negara. Dari segi jumlah investor, saat ini Crowdo sudah menghimpun lebih dari 30 ribu anggota yang tersebar di 70 negara. Untuk sementara, Crowdo Connect baru tersedia untuk pengguna Android.

“Alasan kami meluncurkan aplikasi ini karena permintaan tinggi dari para investor. Maka dari itu, kami men-desain aplikasi ini sesuai kebutuhan mereka, investor dapat langsung melakukan investasi dalam aplikasi dan mengatur portofolionya,” terang General Manager Crowdo Indonesia Cally Alexandra, Selasa (28/2).

Lewat peluncuran ini, Crowdo Indonesia menargetkan pertumbuhan bisnis yang lebih ambisius untuk tahun ini. Crowdo menargetkan total pinjaman tersalurkan bisa tembus di kisaran Rp200 miliar hingga Rp300 miliar. Target rerata pinjaman pun juga naik menjadi Rp1 miliar hingga Rp2 miliar.

Angka ini tumbuh lebih pesat dibandingkan pencapaian Crowdo Indonesia di tahun sebelumnya. Total pinjaman tersalurkan masih di bawah Rp200 miliar, dengan rincian total UKM yang berhasil didanai sekitar 1.200 UKM dan besaran rerata pinjaman per UKM sebesar Rp200 juta.

“Kami targetkan pada tahun ini bisa menyalurkan pinjaman sekitar Rp200 miliar hingga Rp300 miliar.”

Secara resmi, Crowdo pertama kali diluncurkan di Singapura sejak 2012. Mereka lalu berekspansi ke Malaysia tiga tahun kemudian dan akhirnya meresmikan bisnis di Indonesia tahun lalu.

Fokus model bisnis Crowdo di Indonesia berbeda dengan dua negara lainnya. Di Indonesia, Crowdo hanya fokus menjalankan bisnis P2P lending. Sementara di Malaysia dan Singapura, Crowdo memiliki dua fokus bisnis yakni P2P lending dan equity crowdfunding.

Saat ditanya mengenai kemungkinan Crowdo untuk mengembangkan bisnis equity crowdfunding di Indonesia, Cally hanya mengatakan bahwa saat ini pihaknya masih fokus untuk mengembangkan bisnis P2P lending, mengingat potensi UKM yang belum terjamah layanan bank masih sangat besar.

Model bisnis Crowdo di Indonesia

Untuk mengajukan pinjaman dana (atau berinvestasi) di platform, pengguna hanya membutuhkan tiga langkah proses. Untuk memastikan keamanan proses, Crowdo menerapkan pendekatan berdasarkan empat pilar sebagai credit scoring. Mulai dari traditional parameter, big data, social media data, dan psychometric test.

Teknologi ini membuat proses pembiayaan dan investasi secara end-to-end jadi lebih efisien, transparan, dan cerdas. Jenis agunan yang dibutuhkan untuk setiap proses pengajuan adalah emas, mobil, invoice, dan kontrak.

Maksimal pinjaman yang bisa diajukan peminjam adalah Rp2 miliar, adapun kisaran bunga yang ditawarkan mulai dari 10% hingga 40% per tahun. Sedangkan, besaran dana minimal yang bisa diinvestasikan oleh investor adalah Rp1 juta.

Crowdo hanya mengambil admin fee untuk setiap pengajuan pinjaman yang berhasil dipenuhi investor, besarnya adalah 3% dari total pinjaman.

“Kami hanya akan ambil admin fee dari setiap pinjaman yang berhasil dipenuhi investor, bila tidak kami tidak akan charge mereka,” pungkas Cally.

Application Information Will Show Up Here

Layanan P2P Lending Crowdo Luncurkan Fasilitas Pembelian Mobil untuk Perorangan dan Perusahaan

Startup asal Singapura penyedia layanan pinjaman peer-to-peer (P2P), Crowdo sejak akhir November 2016 lalu telah meluncurkan layanan terbaru untuk masyarakat Indonesia, yaitu pembelian mobil dengan pinjaman P2P. Layanan terbaru yang secara khusus menargetkan kalangan millennial ini, merupakan pilihan baru yang ditawarkan oleh Crowdo sebagai layanan finansial ‘one stop service‘ di tanah air.

“Targetnya adalah masyarakat Indonesia usia produktif itulah yang kemudian kami incar untuk menjadi debitur Crowdo yang ingin memiliki aset dalam hal ini adalah mobil,” kata Senior Business Development Lead Crowdo Cally Alexandra kepada DailySocial.

“Kami membuka kesempatan untuk kalangan perorangan atau perusahaan yang ingin memiliki aset dalam hal ini mobil operasional perusahaan,” lanjutnya.

Lancarkan akuisisi kreditur dan debitur

Jelang akhir tahun 2016 Crowdo mengklaim telah memiliki 1200 debitur di seluruh indonesia dan 20 ribu kreditur secara global. Untuk kreditur lokal, Crowdo mencatat telah memiliki sekitar 5 ribuan kreditur di Crowdo.

“Hingga kini kami masih aktif melakukan pertemuan dengan calon debitur dan calon kreditur agar bisa mengakuisisi lebih banyak lagi investor dan peminjam yang potensial di Crowdo,” kata Cally.

Di Indonesia, Crowdo terdaftar dengan nama PT Mediator Komunitas Indonesia. Terkait rencana pemerintah yang segera merilis Rancangan POJK tentang Fintech Lending, Crowdo dalam hal ini menyambut baik regulasi tersebut. Alasan utama adalah untuk meyakinkan kepada kreditur bahwa Crowdo adalah perusahaan finansial yang valid dan terpercaya menuruti peraturan yang ditetapkan oleh regulator, dalam hal ini OJK.

“Diharapkan tahun depan OJK sudah bisa mengeluarkan peraturan tersebut. Dalam hal ini Crowdo butuh peraturan dari OJK untuk mendukung bisnis kami sekaligus meyakinkan calon kreditur dan debitur,” kata Cally.

Saat ini Crowdo hanya bisa diakses melalui web, namun rencananya awal tahun 2017 aplikasi mobile di platform Android dan iOS akan segera dirilis untuk memudahkan kreditur memilih portofolio calon debitur yang tepat dan memudahkan debitur mengajukan pinjaman.

“Tentunya di tahun 2017 Crowdo berharap bisa menambah jumlah kreditur sekaligus debitur yang berkualitas agar bisa membantu kalangan pengusaha yang baru merintis usaha dan juga pelaku usaha yang berencana untuk mengembangkan usahanya melalui pinjaman peer-to-peer Crowdo,” tutup Cally.

Platform P2P Lending Crowdo Resmi Melenggang di Indonesia

Startup asal Singapura penyedia layanan pinjaman peer-to-peer (P2P), Crowdo, Sabtu kemarin (9/3) mengumumkan telah tersedia untuk di akses secara publik di Indonesia. Ini adalah tindak lanjut Crowdo setelah Juli 2015 silam masuk ke pasar Indonesia dan melakukan uji coba untuk kalangan tertentu saja (private beta). Di Indonesia, Crowdo terdaftar dengan nama PT Mediator Komunitas Indonesia.

Juli tahun lalu layanan peminjaman dana P2P Crowdo resmi melakukan perluasan wilayah operasional ke Indonesia, menindak lanjuti langkah perluasan sebelumnya ke Malaysia. Targetnya adalah untuk memberikan pinjaman modal kerja ke bisnis di Indonesia yang belum terlayani oleh sistem keungan tradisional (pinjaman bank).

Sebagai catatan, menurut International Finance Corporation yang merupakan bagian dari grup bank dunia, di Indonesia terdapat lebih dari 20 juta UKM dengan akses terbatas terhadap pendanaan dengan perkiraan celah kredit sebesar $27 miliar. Potensi inilah yang coba dimaksimalkan oleh Crowdo di Indonesia yang merupakan negara berkembang.

“Salah satu tantangan bagi usaha kecil menengah di Indonesia adalah dari segi pemodalan. Sejauh ini sumber dana UKM masih dari perbankan, tetapi perbankan sendiri terbiliang sulit masuk ke UKM karena bank cenderung menghindari resiko,” ujar Senior Advisor Crowdo Indonesia Ari Wibowo.

Co-Founder dan CEO Crowdo Leo Shimada mengatakan, “Misi kami adalah untuk menghubungkan perusahaan rintisan ‘kelas atas’ dan bisnis kecil menengah dengan penanam modal global. […] Indonesia adalah pasar penting bagi P2P kami. […] Kami hadir di sini untuk jangka panjang.”

CROWDO P2P Lending Page / Crowdo

Leo juga optimis bahwa pilihan layanan peminjaman P2P dapat menjadi alternatif yang menjanjikan dalam membantu usaha-usaha tahap awal berkembang. Pemilik usaha akan dibantu untuk mendapatkan dana dan pemodal dapat mengakses secara transparan aliran dana yang dikucurkan juga kesempatan baru untuk berinvestasi.

Para investor yang mengunakan layanna Crowdo ini, baik itu angel ataupun ventura capital, dapat mengucurkan investasi minimum sebesar Rp 500 ribu. Sedangkan pemilik usaha dapat memperoleh pinjaman hingga mencapai satu miliar rupiah. Pihak Crowdo akan melakukan uji kelayakan dari aplikasi pinjaman dahulu sebelum diteruskan kepada pemodal.

Bila peminjam tidak membayar dua kali cicilan berturut maka pinjaman akan dikatakan gagal bayar. Bila terdapat agunan, maka agunana akan dilikuidasi untuk membayar kembali investor. Namun, jika pinjaman tersebut tidak memiliki agunan maka Crowdo akan berkomunikasi dengan peminjam untuk mencari opsi lain.

Sebagai informasi, hingga saat ini OJK masih belum memiliki regulasi yang dapat menata layanan P2P lending. Pun begitu, Leo meyakinkan pihaknya telah berkonsultasi dengan pihak regulator dan memastikan telah memenuhi segala persyaratan yang sudah berlaku.

Dengan dibukanya akses publik, Crowdo saat ini akan fokus untuk melihat perilaku pengguna di Indonesia terlebih dahulu untuk setidaknya selama enam bulan ke depan. Dari sana, tak menutup kemungkinan akan diluncurkan sebuah aplikasi mobile demi memudahkan pengguna. Selain itu, fokus untuk segera menumbuhkan tim operasional di Indonesia juga menjadi perhatian Leo saat ini.