Permainan 2K Games Ditarik dari GeForce Now, Epic Games Umumkan Dukungan Penuh

Ketika banyak orang berharap agar platform cloud gaming lepas landas dengan mulus, keadaan malah kurang terlihat prospektif bagi dua layanan yang belum lama ini meluncur (atau melepas status beta): Google Stadia dan GeForce Now. Pelanggan Stadia mengeluhkan minimnya pilihan konten dan fitur, sedangkan GeForce Now terus menerus kehilangan dukungan publisher third-party ternama.

Setelah Activision Blizzard dan Bethesda, minggu lalu Nvidia mengumumkan ditariknya permainan-permainan 2K Games dari layanan gaming on demand mereka. Pihak 2K Games tidak menjelaskan alasan penarikan tersebut – saya menduga dasar argumennya hampir serupa Activision dan Bethesda – tapi tentu hal ini merupakan pukulan menyakitkan bagi Nvidia. Platform mereka kehilangan lagi 20 judul esensial, hampir semuanya adalah seri franchise terkenal.

Per hari Jumat tanggal 6 Maret minggu lalu, pelanggan GeForce Now tak lagi bisa menikmati seri BioShock, Borderlands, NBA, WWE, Sid Meier’s Civilization, termasuk pula game Mafia III, The Darkness II, The Golf Club 2019, Warriors Orochi 4 dan XCOM II. Daftar lengkapnya dapat Anda simak di page pengumuman GeForce Now. Di sana Nvidia juga menyampaikan, “Saat ini kami tengah bekerja sama dengan 2K Games buat menghadirkan lagi permainan-permainan mereka.”

Namun ada secercah harapan bagi GeForce Now (dan cloud gaming secara umum) di tengah awan mendung ini. Melalui Twitter, CEO Epic Games Tim Sweeney mengumumkan dukungan penuh perusahaannya terhadap layanan besutan Nvidia itu. Epic Games berencana untuk terus menghadirkan permainan-permainan ‘eksklusif’ mereka di sana dan akan menyempurnakan integrasi antara Epic Store dengan GeForce Now.

Menurut Sweeney, Nvidia GeForce Now ialah layanan streaming paling bersabahat bagi developer serta publisher, dan sama sekali tidak membebani penjualan game dengan potongan pajak. Perusahaan video game yang ingin memajukan industri ini dan membuatnya jadi lebih sehat disarankan untuk membantu menyuburkan pengembangan platform seperti GeForce Now.

Selain Epic Games, CD Projekt Red adalah nama lain yang vokal mendukung GeForce Now. Di tanggal peluncurannya nanti, permainan Cyberpunk 2077 yang Anda beli melalui Steam segera langsung dapat dinikmati via cloud. Dan saat artikel ini ditulis, saya juga melihat tingginya permintaan konsumen terhadap integrasi antara GOG dan GeForce Now. Dikelola sendiri oleh CD Projekt, GOG (dahulu dikenal sebagai Good Old Games) ialah satu dari sedikit platform distribusi digital bebas-DRM.

Lewat sesi pengujian, GeForce Now terbukti berjalan lebih baik dibanding Stadia di sambungan internet yang ‘pas-pasan’. Itu artinya – walaupun belum tersedia resmi di sini – ia lebih kompatibel dengan gamer di Indonesia dibandingkan penawaran dari Google.

Via The Verge & PC Gamer.

Microsoft xCloud Tiba di iOS, Dengan Sejumlah Keterbatasan

Sempat di-tease di E3 2018, Microsoft baru mengumumkan Project xCloud secara resmi di bulan Oktober 2018. Lima bulan setelahnya, perusahaan mendemonstrasikan kemampuan layanan cloud gaming mereka itu dengan menjalankan Forza Horizon 4 di smartphone Android sembari memanfaatkan controller Xbox One. Tahap uji coba publik dimulai tak lama sesudahnya – sebelum Stadia meluncur.

Dan di pertengahan minggu ini, raksasa teknologi asal Redmond itu akhirnya mengekspansi akses xCloud ke perangkat Apple. Versi beta xCloud dirilis melalui TestFlight, memperkenankan pengguna untuk menjajalnya dari iPhone ataupun iPad. Hal ini sangat menarik karena xCloud menjadi salah satu layanan cloud gaming pihak ketiga pertama yang tersedia di iOS, mendahului Stadia dan GeForce Now. Dahulu OnLive sempat dijadwalkan buat meluncur di iOS, tapi sayang Apple tak pernah menyetujuinya.

Pendaratan xCloud di iDevice merupakan kabar gembira bagi pengguna, namun peraturan Apple mengakibatkan adanya cukup banyak restriksi. Contohnya, program preview saat ini hanya bisa diikuti oleh user di kawasan Amerika Serikat, Inggris Raya dan Kanada saja. Lalu, cuma ada satu game yang dapat dijajal, yaitu Halo: The Master Chief Collection dan fitur Xbox Console Streaming belum bisa digunakan. Selanjutnya, Microsoft membatasi jumlah tester sebanyak maksimal 10.000 orang.

Director of programming Larry ‘Major Nelson’ Hryb menjelaskan bahwa karena Microsoft berusaha mematuhi kebijakan Apple, tampilan dan pengalaman penggunaan xCloud di iOS berbeda dari Android. Gerbang pendaftaran sudah dibuka, tapi pembagian tiket ke program ini sepenuhnya merupakan keputusan Microsoft, bergantung dari apakah masih ada slot tersedia. Jika developer menyetujuinya, pengguna iDevice akan diberi tahu lewat email.

Untuk berpartisipasi, ada sejumlah kebutuhan teknis yang mesti terpenuhi. Anda harus punya gamertag Xbox, unit controller wireless Xbox One, dukungan internet via Wi-Fi atau data seluler berkecepatan minimal 10Mbps. Jika menggunakan Wi-Fi, Anda disarankan untuk memakai frekuensi 5GHz. Dan terakhir, pastikan perangkat iOS Anda berjalan di iOS versi 13.0 atau yang lebih baru serta menunjang koneksi Bluetooth 4.0.

Walaupun cloud gaming merupakan hal yang cukup baru di iOS, Apple sebetulnya sudah memperkenankan sejumlah layanan game stream third-party  dirilis di platform-nya, misalnya aplikasi Steam Link, Remotr dan Rainway. Namun game stream tak sama seperti cloud gaming tulen, karena layanan ini tetap membutuhkan sistem gaming utama (seperti PC di rumah) buat menjalankan permainan.

Cara kerja Microsoft Project xCloud lebih menyerupai Shadow – yang juga telah tersaji di iOS. Tetapi seperti GeForce Now, Shadow mewajibkan kita buat mempunyai game-nya terlebih dulu, sedangkan xCloud menyuguhkan katalog permainan Xbox dan rencananya akan terintegrasi ke console next-gen Microsoft.

Via The Verge.

Activision Blizzard Tarik Semua Game-nya dari GeForce Now, Ada Apa?

Setelah masa uji coba yang begitu panjang, GeForce Now akhirnya meluncur resmi minggu lalu. Bukan lagi sebuah nama baru, ia merupakan layanan cloud gaming ciptaan Nvidia. Berbeda dari Stadia, platform milik sang raksasa teknologi grafis itu menawarkan kemudahan akses melalui integrasi ke Steam hingga Epic Games Store – sehingga pelanggan tak lagi perlu membeli game ketika ingin memainkannya via cloud.

Respons gamer terhadap GeForce Now memang lebih positif dibanding Stadia, yang ternyata tidak didukung sejumlah fitur esensial saat dirilis dan dianggap minim pilihan game. GeForce Now sendiri menyuguhkan kompatibilitas ke lebih dari 100 permainan dan sudah bisa dinikmati dari Windows, Mac, perangkat Android dan Shield TV. Tapi ketika kita berharap jumlahnya terus bertambah, layanan Nvidia itu malah kehilangan beberapa judul besar dari Blizzard dan Activision.

Secara tiba-tiba, Activision Blizzard memutuskan untuk menarik semua permainan mereka dari GeForce Now. Kabar ini diungkap oleh Nvidia melalui forumnya. Itu berarti, seluruh seri Call of Duty dan StarCraft, Overwatch, Diablo III, Crash Bandicoot N. Sane Trilogy sampai Spyro Reignited Trilogy tak lagi dapat diakses dari layanan ini. Dan karena Sekiro: Shadows Die Twice dipublikasikan oleh Activision, permainan juga menghilang dari GeForce Now.

Saat artikel ini ditulis, baik Nvidia maupun Activision Blizzard belum menjelaskan alasan penghapusan game-game tersebut. Juru bicara Nvidia hanya menyampaikan bahwa semuanya merupakan permintaan sang publisher. Ia juga bilang, “Walaupun hal ini sangat disayangkan, kami berharap untuk bisa bekerja sama lagi dengan Activision Blizzard dan kembali menyajikan permainan mereka [di GeForce Now] beserta judul-judul yang akan hadir di masa depan.”

Sebagai kompensasinya, Nvidia menjanjikan kehadiran lebih dari 1.500 permainan di GeForce Now. Para developer kabarnya ‘sudah mengantre’ buat memasukkan game mereka di platform on demand Nvidia itu. Judul-judul baru rencananya akan disingkap setiap minggu melalui update.

Hilangnya dukungan game-game Battle.net boleh dikatakan sebagai pukulan cukup telak bagi Nvidia. Dan keadaan ini sangat aneh, karena begitu GeForce Now melepas status beta, nama-nama seperti Capcom, EA, Konami, Remedy, Rockstar serta Square Enix juga menarik permainan mereka. Banyak pelanggan tampak menyalahkan Nvidia atas kejadian ini, namun perlu diingat bahwa keputusan tersebut datang dari pihak publisher.

Metode penyajian GeForce Now tidak sama seperti Google Stadia: Kita harus memiliki game-nya terlebih dulu agar dapat menikmati layanan cloud dengan membelinya dari distributor digital yang ada. Itu berarti, tersedianya permainan-permainan tersebut di GeForce Now pada dasarnya tidak merugikan publisher maupun developer – bahkan berpeluang menguntungkan karena memberikan kesempatan bagi orang-orang yang tak punya PC ber-hardware canggih untuk tetap bisa bermain.

Via The Verge & PC Gamer.

Layanan PlayStation Now Next-Gen Bisa Dinikmati Tanpa Perlu Memiliki Console

Pengungkapan detail hardware console next-gen Sony yang dilakukan oleh lead system architect Mark Cerny bulan April lalu membuat perhatian khalayak tertuju pada perusaan Jepang itu. Di minggu ini, tersingkap lagi sejumlah informasi terkait PlayStation ‘5’. Yang pertama ialah dari jurnalis Wall Street Journal Takashi Mochizuki terkait aspek performa dan kedua datang dari pertemuan Sony bersama para investor.

Melalui Twitter-nya, Takashi Mochizuki mengunggah satu video yang memperlihatkan perbandingan waktu load antara PlayStation 4 Pro dengan hardware next generation. Di sana, ‘PS5’ mampu membuka game Marvel’s Spider-Man dalam waktu 0,83 detik berkat pemanfaatan SSD, sedangkan PS4 Pro membutuhkan 8,1 detik. Video tersebut mengonfirmasi laporan Wired sebelumnya.

Selanjutnya, dokumen Sony IR Day menyingkap ke arah mana perusahaan akan mengembangkan layanan PlayStation Now mereka. Kita tahu, minggu lalu Sony mengonfirmasi kemitraan strategis dengan Microsoft untuk bersiap-siap menghadapi kompetisi dari Google dan Amazon lewat layanan cloud gaming  mereka. Ke depan, sang console maker berencana buat meng-upgrade kapabilitas PlayStation Now.

PlayStation Now ialah layanan cloud gaming berlangganan, yang memungkinkan kita menikmati game-game PS2, PS3 dan PS4 dari unit console PlayStation 4 ataupun PC. Tentu saja buat menggunakannya, ada syarat yang mesti terpenuhi. Pertama, Anda harus memiliki console current-gen Sony, lalu pengguna juga perlu menyiapkan controller berbasis Xinput untuk mengakses permainan dari perangkat non-PlayStation.

Nantinya, syarat-syarat ini akan berubah. Sony menjelaskan bahwa pengalaman penggunaannya akan diperkaya, kemudian kontennya dapat diakses secara seamless kapan pun dan dari mana pun, dengan atau tanpa console PlayStation. Di sini, ‘tanpa console‘ perlu ditekankan karena selama ini jalan masuk ke PS Now cukup terbatas dan mungkin itulah alasan mengapa tak banyak orang memakainya (ada sekitar 700 ribu pelanggan di seluruh dunia). Namun kemudahan akses berpeluang mengubah kondisi tersebut.

Menyediakan kemudahan akses ke konten PlayStation merupakan taktik jitu untuk menangkal desakan dari Google Stadia. Jika nanti sudah tersedia, aspek berikutnya yang perlu Sony perhatikan adalah jangkauan layanan. Karena berbicara soal infrastruktur, Google jauh lebih siap dari mereka. Sony sendiri punya keunggulan di faktor konten, terutama permainan-permainan eksklusif.

Sejauh ini baru Doom Enternal dan Assassin’s Creed Odyssey yang dikonfirmasi akan tersedia di Stadia, tapi Google sendiri telah mendirikan studio first-party Stadia Games and Entertainment yang dipimpin oleh mantan studio head Ubisoft dan EA, Jade Raymond.

Via DigitalTrends.

Sony Gandeng Microsoft Demi Menyongsong Era Cloud Gaming

Masa-masa transisi ke console next-gen akan sangat menarik karena para pemain lama di ranah ini, terutama Sony dan Microsoft, mendapatkan kompetisi yang tak terduga. Google resmi menyingkap layanan on demand Stadia di GDC 2019, dan sejak awal tahun ini, ada laporan yang menyatakan bahwa e-commerce raksasa Amazon juga tengah mengembangkan platform cloud gaming-nya sendiri.

Sistem cloud sudah lama menjadi bagian dari layanan PlayStation maupun Xbox, namun Sony dan Microsoft mengambil arahan berbeda dalam menyajikannya. Kita tahu, rivalitas antar kedua perusahaan telah berlangsung selama hampir dua dekade, tapi ada sesuatu yang berubah di era naik daunnya gagasan cloud gaming. Minggu lalu, secara mendadak Sony dan Microsoft mengumumkan kerja sama demi mengembangkan dan menyajikan layanan game streaming.

Melalui kemitraan strategis ini, Sony Interactive Entertainment mendapatkan akses ke teknologi cloud Microsoft Azure. Langkah tersebut boleh jadi diambil setelah Sony bersusah payah menggarap sistem game stream-nya selama tujuh tahun. Meski sudah tersedia, minat gamer untuk menggunakan PlayStation Now tidak begitu besar, lalu jangkauannya juga cukup terbatas – hanya tersedia di Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa.

Yang mengejutkan lagi ialah, berdasarkan laporan sejumlah informan, negosiasi antar kedua perusahaan telah dilakukan sejak tahun lalu dan ditangani langsung oleh petinggi Sony di Tokyo tanpa sepengetahuan divisi PlayStation (Sony Interactive Entertainment). Akibatnya, unit gaming mereka juga kaget mendengar berita ini. Kabarnya, para manager harus turun tangan buat menenangkan stafnya dan meyakinkan mereka bahwa rencana pengembangan console next-gen tidak terpengaruh.

Sedikit penjelasan bagi Anda yang masih awam terhadap konsep cloud gaming (disebut juga layanan game streaming atau on demand): cloud gaming memungkinkan kita menikmati permainan video dari perangkat apapun (misalnya smartphone atau PC low-end) yang memiliki akses internet memadai. Seluruh proses pengolahan data dilakukan di sisi server, maka dari itu platform ini tidak menuntut spesifikasi hardware tinggi.

Satu hal yang menjadi rintangan terbesar bagi platform game streaming ialah aspek dukungan infrastruktur internet. Idealnya, permainan harus berjalan lancar di setting grafis ‘memuaskan’ (resolusi 1080p dan 60fps adalah standar paling rendah) serta mampu merespons input layaknya dimainkan dari console atau PC. Rangkuman lengkap dari status cloud gaming saat ini bisa Anda simak di sini.

Memang perlu waktu cukup lama bagi layanan game stream untuk benar-benar matang, namun melihat kondisi sekarang, ke sanalah tren gaming bergerak. Dari perspektif kesiapan dalam menyongsongnya, Sony sejujurnya terlihat tertinggal. Microsoft sendiri berada di posisi yang cukup aman mengingat mereka ialah penyedia layanan cloud terbesar kedua di dunia.

Sumber Bloomberg.

Segala yang Perlu Anda Ketahui Mengenai Layanan Cloud Gaming Google Stadia

Game Developers Conference tahun ini berpotensi menjadi ajang yang lebih istimewa dari sebelumnya. Di momen pembukan, Nvidia mengumumkan agenda buat menghadirkan ray tracing di kartu grafis GeForce GTX. Lalu di sesi presentasi Unity, desainer game veteran Warren Spector mengabarkan keikutsertaannya dalam pengembangan System Shock 3. Dan sejak berminggu-minggu lalu, kita tahu Google berencana untuk melakukan penyingkapan besar di sana.

Dan akhirnya resmi sudah. GDC 2019 jadi saksi pengungkapan Google Stadia, sebuah platform hiburan baru berbasis Project Stream yang dapat diakses secara lebih luas – tak cuma dari browser Chrome. Mendeskripsikan Stadia sebetulnya tidaklah sulit, bayangkan saja platform on demand seperti Netflix tetapi menyajikan konten berupa game. Stadia adalah layanan streaming yang mempersilakan Anda menikmati permainan video di perangkat apapun selama internet tersedia.

Dengan Stadia, Google mencoba memberi solusi atas keterbatasan penyajian video game lewat metode konvensional (home console atau PC misalnya). Ia tidak membutuhkan hardware spesialis gaming, tak memerlukan proses instalasi, serta tak ada update maupun patch. Teorinya, setelah jadi pelanggan, Anda bisa langsung bermain.

 

Kualitas konten

Di era console generasi kedelapan, resolusi 1080p dan 60-frame per detik dianggap gamer sebagai standar minimal penyajian game. Banyak judul sudah bermain-main di tingkat 4K (meski ada kompensasi pada frame rate) dan gamer di PC sudah cukup lama memperoleh akses ke ratusan frame rate per detik berkat dukungan GPU high-end dan monitor dengan refresh rate tinggi. Menggunakan kriteria ini sebagai patokannya, tingkatan kualitas yang ditawarkan Stadia terlihat mengesankan.

Ketika layanan cloud gaming Google itu meluncur nanti, pemainan bisa dijalankan di resolusi 4K dengan 60-frame rate per detik. Setup ini bahkan dapat di-upscale ke 8K dan 120fps jika Anda punya perangkat yang mampu menopangnya. Selain memberikan pengalaman gaming single-player biasa, Stadia kabarnya juga siap menyuguhkan mode multiplayer cross-platform, serta terdapat pula dukungan mode kooperatif split-screen.

Stadia 2

 

Game yang sudah dikonfirmasi

Kolaborasi antara Google dan Ubisoft bukan lagi rahasia. Setelah jadi ‘kelinci percobaan’ di Project Stream, Assassin’s Creed Odyssey dipilih jadi salah satu judul pertama yang menemani peluncuran Stadia. Permainan action-RPG tersebut ditemani oleh game shooter id Software baru, Doom Eternal. Via Stadia, permainan ini siap menghidangkan resolusi maksimal di 3840x2160p dan mampu berjalan di 60-frame per detik.

 

 

Dukungan developer dan studio game baru Google

Selain Ubisoft, Google diketahui telah menggandeng sejumlah perusahaan bereputasi tinggi lainnya di industri, misalnya CryTek (developer CryEngine), Tequila Works, dan Epic Games (pencipta Unreal Engine) dalam membangun ekosistem Stadia. Dengan kemunculan nama-nama tersebut, kita bisa menduga akan ada sederet permainan segera memenuhi daftar library-nya.

Bagi saya, langkah paling menarik dari kehadiran Stadia ialah pembentukan studio first-party Stadia Games and Entertainment. Tugasnya mereka adalah mengembangkan permainan-permainan eksklusif di platform game on demand itu. Belum ada proyek baru yang diumumkan, tetapi keseriusan Google dalam bermanuver di gaming terlihat dari sosok yang mereka pilih untuk menahkodainya: Jade Raymond, developer berpengalaman asal Kanada mantan studio head Ubisoft dan Electronic Arts.

Jade Raymond I Variety
Jade Raymond, Variety

 

Hardware?

Google Stadia bisa bekerja tanpa memerlukan hardware dedicated, dapat diakses dari segala perangkat berlayar – smartphone, tablet, PC desktop ataupun laptop – melalui perpaduan antara dukungan Chrome, Chromecast, dan Google Play. Meski begitu, perusahaan internet raksasa ini sudah penyiapkan periferal khusus seperti yang sempat terungkap dari bocoran informasi minggu lalu.

Stadia 1

Garis besar wujud controller Google Stadia menyerupai ilustrasi yang muncul di paten, tetapi desain versi retail-nya lebih baik dan ergonomis. Lewat sesi hands-on, The Verge melaporkan bahwa gamepad mempunyai tubuh ala controller Xbox One S yang ‘mengisi’ genggaman, dikombinasikan dengan layout tombol serta thumb stick khas DualShock 4. Ia turut dibekali port audio 3,5mm di area bawah dan port USB type-C di atas.

Sesuai perkiraan sebelumnya, tombol di tengah berfungsi untuk mengaktifkan fitur Google Assistant dan mempersilakan kita untuk memberi perintah via suara. Dengannya, Anda bisa menyalakan fungsi perekaman atau yang lebih uniknya lagi: membuka video tutorial di YouTube ketika ada bagian puzzle atau sesi pertarungan melawan bos di game yang menyulitkan Anda.

Canggihnya lagi, controller Stadia tersambung langsung ke data center Google, bukan ke perangkat yang Anda gunakan buat menikmati layanan ini. Itu artinya, tidak ada proses sinkronisasi ulang ketika misalnya kita mencoba beralih bermain dari laptop kerja ke layar televisi. Gamepad dirancang agar terhubung ke jaringan Wi-Fi lokal dengan setup via aplikasi, dan selanjutnya dikoneksikan langsung ke layanan Google Stadia.

 

Metode penyajian dan kapan Stadia tersedia

Sejauh ini, Google belum memberi tahu bagaimana mereka akan menjajakan Stadia dan berapa biayanya, tetapi saya cukup yakin ia disajikan sebagai layanan berlangganan. Pembayaran bisa saja ditagih bulanan, per tiga bulan, atau tahunan. Selain itu, saya juga belum menemukan informasi tentang seberapa cepat koneksi internet yang dibutuhkan agar layanan terhidang optimal.

Cloud gaming berbekal judul-judul blockbuster plus infrastruktur Google punya sendiri memang menjanjikan, tapi dengan belum adanya permainan-permainan eksklusif Stadia, developer harus menawarkan layanan ini di harga yang atraktif.

Stadia rencananya akan meluncur di wilayah Amerika Serikat, Kanada dan ‘mayoritas’ kawasan Eropa di tahun ini, tetapi Google masih enggan menyebutkan tanggal rilisnya secara spesifik. Dan selanjutnya, developer berniat untuk memperluas wilayah dukungannya di tahun 2020.

Tambahan informasi dari PC Gamer, GamesRadar, GameSpot, Polygon.

Google Akan Ungkap Informasi Penting Terkait Gaming di GDC 2019?

Saat event-event seperti E3 dan TGS mencuri perhatian jutaan pasang mata gamer, Game Developers Conference bisa dikatakan sebagai ‘panggilan haji’ bagi pihak pengembang. Acara tahunan khusus developer ini adalah tempat ide-ide brilian muncul, berperan jadi ruang edukasi, pencarian inspirasi dan memperluas koneksi. GDC dimeriahkan oleh sesi berbeda, misalnya pameran, festival game indie hingga pagelaran Game Developers Choice Awards.

Tentu saja GDC bukan hanya esensial bagi para developer, tapi juga sudah lama diikuti oleh perusahaan-perusahaan pemilik platform gaming, termasuk Google. Di bulan Januari lalu, raksasa internet itu sempat mengabarkan agenda partisipasi mereka di sana. Kemudian di minggu ini, Google mulai mengirimkan undangan via email pada sejumlah media. Isinya cukup misterius, karena mereka hanya mengajak pers untuk ‘berkumpul’ dan semuanya akan disingkap pada tanggal 19 Maret.

Sebelumnya, Google mengabarkan bahwa acara mereka akan berlangsung seharian. Pertama-tama ada presentasi terkait segala hal baru yang disiapkan buat developer, diikuti oleh tiga sesi dialog yang difokuskan pada platform baru dan inovasi, persiapan di masa prelaunch, hingga strategi untuk meningkatkan mutu konten pasca perilisan. Masing-masing sesi diisi oleh diskusi bersama tim Google berbeda serta para mitra.

Selain itu, Anda juga bisa mengunjungi booth Google selama GDC 2019 berlangsung, berlokasi di Moscone South, akan dibuka dari tanggal 21 sampai 23 Maret. Dalam tiga hari itu, Google mempersilakan Anda untuk menyimak pemaparan tambahan dari tim serta diberikan kesempatan buat bertanya langsung pada pakarnya. Perlu diingat bahwa agenda ini merupakan bagian dari Game Developers Conference dan Anda harus membawa izin masuk agar dapat mengikutinya.

Kehadiran Google di GDC bukanlah hal aneh. Biasanya, mereka selalu ada di sana untuk memberikan update bagi para developer Android. Tapi keynote tahun ini disiapkan agar berbeda dan Google ingin semua orang mengetahuinya.

Ada dugaan kuat, Google berniat untuk menyingkap segala informasi terkait Project Stream di GDC 2019. Project Stream adalah layanan on demand yang memungkinkan konsumen menikmati permainan video tanpa console atau hardware berspesifikasi tinggi. Konsepnya bisa diibaratkan seperti Netflix-nya gaming. Project Stream disuguhkan lewat browser Chrome, dan sejak berbulan-bulan silam Google sudah mulai melakukan pengujian.

Dalam proses pengembagannya, Google bahkan telah menggaet satu nama raksasa di gaming: Ubisoft. Dua bulan selepas mendemonstrasikan kualitas layanan streaming mereka, Google membagi-bagikan Assassin’s Creed Odyssey secara gratis. Akankah kita mendengar nama-nama publisher/developer lain bergabung di sana?

Via The Verge.