Skalabilitas Jadi Kunci Pertumbuhan Startup D2C

Ada sejumlah alasan venture capital (VC) banyak berinvestasi di bisnis direct-to-consumer (D2C) Indonesia. Dua faktor di antaranya adalah dukungan ekosistem digital dan efisiensi biaya untuk memaksimalkan keuntungan dengan memangkas sekian lapis rantai pasok.

D2C memungkinkan penjualan produk tanpa perantara dibandingkan rantai proses tradisional yang memakai jaringan reseller, minimarket, dan supermarket. Model bisnis D2C menjangkau konsumen dan memasarkan produknya lewat kanal digital, seperti media sosial, marketplace, dan website.

Beberapa merek lokal besar yang telah mengantongi investasi dari VC adalah Kopi Kenangan dengan perolehan $109 juta pada 2020, dan Hypefast yang mendapat kucuran $14 juta di 2021.

Tercatat ada lebih dari 40 merek D2C Indonesia dengan mayoritas dari segmen F&B, fashion, dan beauty. Beberapa di antaranya sudah memiliki basis komunitas pembeli yang kuat dan bahkan sudah masuk ke ranah mass retail.

Tesis VC

Menurut VP of Investment East Ventures Stacy Oentoro, startup D2C lebih adaptif dalam mempercepat masuk ke pasar dan membangun hubungan dengan konsumen dibandingkan merek besar yang harus melalui rantai proses berlapis. Untuk mendorong keberlanjutan, startup D2C juga perlu mengenal konsumen dan perjalanan pembeliannya sehingga memahami apa yang mereka cari.

“Semakin melekatnya penggunaan digital akan berdampak signifikan pada nilai brand dari barang tersebut. Populasi Indonesia cenderung muda sehingga segmen digital native juga lebih mudah menerima layanan online, inovasi, dan potensi-potensi D2C,” tuturnya.

Rata-rata pemain D2C memanfaatkan online presence untuk memperkenalkan dan mempromosikan produknya ke khalayak. Selain dapat berinteraksi langsung dengan komunitas pembeli, startup D2C dapat memotong komponen biaya dengan memasarkan produk di kanal digital, seperti di Tokopedia dan Shopee yang merupakan marketplace dengan ekosistem pembayaran dan logistik lengkap.

Meski bermain di sektor retail, pelaku D2C tetap dapat memanfaatkan teknologi yang memungkinkan mereka memahami perilaku konsumen dan mengembangkan produk berdasarkan preferensi konsumen yang lebih terpersonalisasi.

Startup D2C Indonesia / Sumber: Startup Report 2021 & Q1’22 oleh DSInnovate

Kejayaan D2C di Indonesia tak lepas dari tren perilaku konsumen Gen Z dan milenial. Riset Capgemini menyebut, Gen Z (68%) dan milenial (58%) suka memesan produk langsung dari si pemilik merek dalam enam bulan terakhir. Sementara, hampir dua pertiganya (60%) lebih memilih membeli langsung daripada beli di gerai ritel tradisional.

Diperkuat lagi, banyak orang Indonesia senang berbelanja online. Di sepanjang 2022, sebanyak 178,9 juta orang Indonesia tercatat bertransaksi online. Mengacu riset We Are Social, total nilai belanja online Indonesia di 2022 diestimasi menembus Rp851 triliun.

Skalabilitas, kunci sekaligus tantangan

Sementara, Creative Gorilla Capital (CGC) yang berfokus pada consumer juga menilai sektor e-commerce Indonesia sudah memasuki fase matang sehingga rantai pasok menjadi lebih efisien. Kendati begitu, sektor D2C tetap membutuhkan pendekatan berbasis omnichannel agar tidak terlalu mengandalkan pemasaran lewat e-commerce dan mengombinasikannya dengan kanal tradisional/modern.

Tampaknya, hal ini sudah dilakukan oleh sejumlah startup D2C di sejumlah wilayah operasionalnya. Saturdays, misalnya, bahkan sejak awal memperkuat konsep omnichannel untuk memberikan seamless experience dengan membangun gerai berkonsep lifestyle. Lainnya sudah merambah ke jaringan ritel besar. Kopi Kenangan memasarkan produk kopi botolan di gerai Alfamart dan Indomaret, sedangkan Somethinc masuk lewat in-store di sejumlah pusat perbelanjaan.

Chief Investment Officer BRI Ventures Markus Liman menambahkan, investasi di D2C tak sekadar hanya mengacu pada aspek pertumbuhan pendapatan. Seiring berjalannya waktu, investor perlu memahami aspek lain, seperti perubahan perilaku pasar dan skalabilitas.

Sumber: Diolah oleh DailySocial

Ketika sudah mengantongi product-market fit, di titik mana startup D2C harus meningkatkan skalanya? Apakah ekspansi vertikal atau masuk ke supply chain? Ia menilai ada risiko operasional yang lebih tinggi yang perlu dipahami startup D2C dibandingkan startup yang operasionalnya dikelola penuh oleh pihak ketiga.

“Tantangan D2C ini hari ini adalah scalability karena scaling D2C and scaling platform are two different things. Di D2C, misalnya scaling di kebutuhan inventori, artinya harus memikirkan biaya logistik. Nah, jika sudah masuk supply chain, seperti supermarket dan general trade, apa yang perlu disiapkan?Ini sesuatu yang mungkin tidak dipikirkan tech startup.  Kunci scalability D2C adalah bagaimana bisa masuk ke mass retail. Kalau tidak, bagaimana bisa coba potensi spend yang lebih besar?” jelasnya.

Ia menambahkan, investor juga perlu memahami bahwa mematok valuasi startup teknologi dan D2C akan berbeda. Metrik startup D2C dilihat dari EBITDA atau net profit margin, bukan dengan GMV. Startup D2C atau retail yang dapat menghasilkan real revenue bisa mendapatkan investasi yang lebih baik di masa sekarang.

Mengukur Kinerja CVC yang Didanai Korporasi

Pertumbuhan corporate venture capital (CVC) menggambarkan adanya fenomena inovasi terbuka (open innovation) yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. CVC menjadi salah satu opsi strategis korporasi dalam menghadapi era digitalisasi dan disrupsi, dengan harapan startup yang didanai dapat me-leverage teknologinya ke dalam bisnis perusahaan.

CVC punya peran spesifik di luar bisnis utama perusahaan. Ia menjalankan fungsi investasi ke startup sehingga entitasnya harus terpisah. Selain itu, CVC juga memiliki tim untuk melakukan analisis terhadap calon startup yang dapat memenuhi visi strategis perusahaan.

Saat ini, lebih dari tujuh perusahaan di Indonesia dari berbagai vertikal bisnis telah membentuk CVC. Mereka adalah perusahaan telekomunikasi, perbankan, media, hingga grup konglomerasi. Bahkan ada beberapa portofolio startup perusahaan yang sudah exit.

Sebetulnya, dengan pesatnya perkembangan teknologi, siapapun dapat mengembangkan inovasi. Namun, dalam konteks korporasi, pengembangan inovasi baru tidak bisa langsung direalisasikan begitu saja.

Ada beberapa kemungkinan, yaitu korporasi tidak memiliki kapabilitas di bidang teknologi dan digital, SDM terbatas, atau terhalang regulasi sehingga tidak bisa begitu saja mengembangkan inovasi. Di sinilah CVC berperan untuk menjadi kendaraan eksplorasi ide bisnis perusahaan yang bersifat disruptif.

Pada kasus Bank BRI, kehadiran BRI Ventures menjadi kendaraan inovasi eksternal perusahaan. Selama ini, bank lambat dalam men-deliver produk ke pasar karena pergerakannya sangat diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

Menurut VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman, sektor perbankan harus mengajukan laporan satu tahun sebelumnya untuk mengembangkan produk atau ide bisnis baru. Untuk mengatasi isu tersebut, BRI Ventures hadir untuk membantu mengakselerasi pengembangan inovasi tanpa keluar dari jalur corporate strategy perusahaan.

At some point, pengembangan di internal pasti terbatas karena ada inovasi yang tidak bisa dilakukan oleh bank. Mentoknya pada proses compliance karena harus lapor ke OJK dan BI, risk management, dan mengikuti SoP. Kalau produk gagal, kami akan kehilangan trust, dan ini yang kita ingin hindari,” papar Markus kepada DailySocial beberapa waktu lalu.

Profitabilitas bukanlah satu-satunya metrik

Lalu, bagaimana CVC dapat menjadi opsi strategis terhadap pengembangan inovasi dan bisnis perusahaan?

Menurut Senior Partner & Managing Director The Boston Consulting Group Middle East Markus Massi, motivasi pembentukan CVC dapat bervariasi. Tetapi, sebagian besar perusahaan memang berfokus pada inovasi yang memberikan Return on Investment (ROI). Jadi, ketimbang membangun perusahaan R&D dari nol, mendanai startup atau mengakuisisinya jauh lebih masuk akal.

Beberapa alasan tersebut juga diamini beberapa CVC yang telah kami wawancarai. Dari informasi yang dihimpun, semua sepakat bahwa aksi korporasi ini memiliki dua objektif utama, yakni me-leverage teknologi yang dimiliki startup untuk memperkuat lini bisnis atau operasional bisnis serta meraup keuntungan modal dari investasi (capital gain).

Untuk mencapai hasil yang diinginkan perusahaan, ada beberapa metrik yang dapat digunakan. Principal and Head of Investor Relations MDI Ventures Kenneth Li menyebutkan bahwa metrik ini berbeda-beda, tergantung dari tahap pendanaan, model bisnis, hingga vertikal bisnis.

Misalnya, pengukuran berdasarkan tahap pendanaan. Metrik kinerja portofolio startup di tahapan early stage dan seri A ke atas, tentu akan berbeda. Startup di tahap awal mungkin masih berkisar tentang bagaimana mencari traction, sedangkan seri A harus bicara tentang bagaimana cara untuk scale up bisnisnya.

Kemudian, metrik profitabilitas. Mengingat bisnis MDI Ventures sudah tumbuh signifikan dan tak lagi bermain di early stage, Kenneth menyebut bahwa objektif utamanya saat ini adalah bottom line atau keuntungan. Ia mengungkap portofolio yang sudah exit kini sudah untung. Portofolio yang tersisa juga sudah mengarah ke profitabilitas.

“Contoh lainnya Wavecell. Dengan me-leverage ekosistem Telkom, mereka sekarang sudah mengantongi pertumbuhan signifikan. Wavecell sekaligus membawa bisnis baru ke Telkom,” kata Kenneth kepada DailySocial.

Namun, keuntungan dinilai bukan menjadi satu-satunya metrik yang mutlak. CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro mengatakan bahwa kinerja startup juga dapat terlihat dari bagaimana teknologinya dapat me-leverage perusahaan, baik dari sisi bisnis maupun operasional.

Contoh lainnya adalah PrivyID. Startup yang mengembangkan platform tanda tangan digital ini sama-sama mengantongi pendanaan dari Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dan Mandiri Capital Indonesia.

Menurut Eddi, solusi yang dikembangkan PrivyID sangat efektif dalam mempercepat proses bisnis layanan di Bank Mandiri. Solusi PrivyID diterapkan pada proses pembukaan rekening kartu kredit baru. Karena sudah bisa dilakukan secara online, perusahaan tak lagi memerlukan tanda tangan basah.

“Nah, metrik ini dapat diukur dari berapa nasabah yang mendapatkan approval Bank Mandiri pada proses pengajuan kartu kredit,” ujar Eddi dalam wawancaranya dengan DailySocial.

Eddi menilai bahwa kinerja startup jangan langsung dilihat dari profitabilitasnya saja. Untuk mencapai profitabilitas, startup tidak harus langsung mengejar keuntungan. Sebaliknya, profitabilitasnya ini dapat terlihat dari sejauh mana startup melakukan strategi “bakar uang” secara terus-menerus.

Pada kasus Amartha, metrik yang digunakan tentu berbeda dengan PrivyID mengingat keduanya memiliki model bisnis yang berbeda juga. Sebagai penyalur pinjaman untuk segmen mikro, kinerja Amartha dapat dinilai dari jumlah dana yang telah disalurkan (loan disbursement).

“Di 2019, penyaluran dana mereka telah mencapai Rp1,5 triliun dengan jumlah peminjam mencapai 250.000. Kami mengukur kinerja Amartha berdasarkan penyaluran pinjaman di sejumlah titik per kuartal dan per tahun dan dampaknya terhadap penambahan jumlah peminjam kami,” tutur Eddi.

Menyelaraskan mindset startup dan korporasi

Berbeda dengan VC, CVC dituntut untuk dapat mencapai target perusahaan, baik secara bisnis maupun keuangan. Dalam perjalanannya tentu tidak mudah mengingat startup dan korporasi memiliki kultur kerja dan perspektif yang bertolak belakang terhadap pengembangan sebuah produk.

Ada yang menyebut bahwa sangat penting bagi perusahaan untuk tidak menghalangi kelincahan kerja startup agar tidak menghancurkan semangat kreatifnya. Poin ini dinilai patut dipahami perusahaan sejak awal ketika memutuskan untuk mendanai startup.

Secara umum, Kenneth menilai bahwa perbedaan mindset menjadi tantangan terbesar perusahaan dan startupuntuk mencapai target yang diinginkan. Korporasi memiliki kultur kerja dan pola kerja yang berbanding terbalik dengan startup.

“Di awal MDI Ventures berdiri, masih banyak organisasi di Telkom yang belum memahami startup atau venturing. Di sini, kami bisa berkontribusi untuk me-leverage mindset startup supaya korporasi besar bisa beradaptasi,” paparnya.

Menurutnya, baik korporasi dan startup perlu saling menyeimbangkan antara pengembangan inovasi dan pengelolaan bisnis existing. Hal ini untuk menyelaraskan cara kerja mereka agar tidak terjadi benturan.

Ia mengungkap bahwa saat ini adaptasi mindset dan kultur kerja antara Telkom dan portofolio sudah mulai terlihat perubahannya. Malahan, ungkap Kenneth, Telkom telah berkolaborasi dengan banyak startup di mana nilai sinergi keduanya sudah jauh dari nilai yang kita investasikan di awal.

Penyebaran COVID-19 Belum Pengaruhi Iklim Investasi VC di Indonesia

Di tengah aktifnya rencana pembentukan dana kelolaan baru dan penggalangan dana dari Limited Partner (LP) dalam dan luar, sejumlah venture capital (VC) di Indonesia mengaku kemunculan kasus pertama virus Corona (COVID-19) belum terlalu mempengaruhi agenda investasinya saat ini.

Menurut Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li, dampaknya belum akan terasa untuk iklim investasi dalam negeri. MDI Ventures tahun ini sedang menyiapkan dua dana kelolaan baru dan menggalang dana senilai Rp7 triliun.

Hanya saja, ungkap Kenneth, sejumlah aktivitas MDI Ventures di Singapura mulai diredam dan dikerjakan dari rumah (work from home).

“Tapi, fundraising dari global mungkin agak melambat karena akses untuk air travel mulai sulit. Untungnya, kami sudah mau close semua, jadi tidak terlalu berimbas untuk MDI Ventures,” ungkap Kenneth kepada DailySocial.

VP of Investor Relation & Strategy BRI Ventures Markus Liman Rahardja memiliki pandangan yang sama. Ia juga menilai bahwa penyebaran COVID-19 belum terlalu berimbas besar terhadap industri VC di Indonesia, melainkan bisnis yang berkaitan langsung dengan konsumen.

“Sebetulnya, yang hit hard bukan kami, tapi mereka yang bermain di B2C, seperti OTA dan hospitality. Nah, pengaruhnya jadi sedikit-banyak. Sedikit di kami karena meeting yang dijadwalkan terpaksa ditunda. Tapi, banyak di mereka [bisnis B2C],” tuturnya

Markus juga menyebut bahwa hingga saat ini belum ada proses yang terganggu dari pengajuan izin pembentukan entitas di Singapura untuk dana kelolaan baru BRI Ventures.

Sementara itu, Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto lebih mengkhawatirkan apabila masyarakat bereaksi berlebihan terhadap kasus COVID-19 di Indonesia. Pasalnya, hal tersebut dapat memperlambat berbagai aktivitas dan iklim investasi.

“Sebetulnya appetite dan dana [berinvestasi] itu ada. Itu yang paling penting. Tapi jadi tertunda saja karena closing bisa jadi lebih lambat dari target awal,” tuturnya.

Ancaman COVID-19 terhadap industri startup dunia

Sejumlah perusahaan global telah mengambil langkah signifikan untuk menghindari risiko penyebaran virus Corona yang lebih luas. Sebagaimana diwartakan CNN, JPMorgan Chase & Co meminta 1.000 karyawannya untuk bekerja dari rumah untuk mengetes bagaimana penyebarannya.

Perusahaan raksasa teknologi yang “bermukim” di Seattle, seperti Amazon, Facebook, Google, dan Microsoft juga melakukan hal yang sama kepada seluruh pekerjanya. Hal ini menyusul salah satu karyawan Facebook yang dinyatakan positif terfinfeksi virus Corona.

Keputusan-keputusan tersebut mendorong Google menggratiskan layanan Hangouts Meet premium. Kebijakan ini berlaku sejak pekan lalu hingga 1 Juli 2020. Google berharap hal ini dapat memudahkan setiap orang bekerja dari rumah.

Tak dapat dihindari, penyebaran COVID-19 di lebih dari 90 negara mulai memberikan efek domino terhadap aspek perekonomian dan bisnis di dunia. Salah satu sektor yang diprediksi terdampak adalah industri startup.

Dalam tulisannya yang dimuat di Mediumperusahaan VC raksasa Sequoia Capital memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut COVID-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

“Karena ada di sejumlah negara, kami menyadari lebih awal tentang efek corona terhadap bisnis global. Memang ada bisnis yang akan terdampak positif dengan hal ini, tapi sejumlah perusahaan mengalami kesulitan seiring dengan adanya penurunan aktivitas, penundaan meeting karena travel ban, dan imbas supply chain karena adanya lockdown di sejumlah pabrik di Tiongkok,” paparnya.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. Beberapa aspek penting ini adalah pengelolaan dan pengeluaran modal, penggalangan dana, prediksi penjualan, penambahan karyawan, peningkatan produktivitas, hingga strategi marketing.

“Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequioa.

BRI Ventures Sets a New Managed Funds to Non-Fintech Startup in Jakarta and Singapore

BRI Ventures, a corporate venture capital under BRI, is preparing new managed funds as an investment vehicle for non-fintech startups in 2020.

BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo ensured the license to invest in non-fintech (Special Purpose Vehicle / SPV) is on progress by the Financial Services Authority (OJK).

“It is under BRI Ventures authority, yet named a venture fund because it is to be used to any [investment] including non-fintech. [For funding] We have our Limited Partner overseas,” Utoyo said to DailySocial.

In a recent interview, BRI’s VP of Investor Relation and Strategy, Markus Liman has mentioned the managed funds is to be finalized by February.

There are seven non-fintech ecosystems to be targeted for investment, including agro-maritime, health, education, tourism and travel, transportation, as well as retail and creative industries.

“We are opportunistic in number, therefore, we are not targeting quantity. Instead, we already have 6-8 deals in a pipeline for a year seeing the existing bandwidth and opportunities, “he said.

Based on the latest information Markus told DailySocial, the team is currently preparing an SPV license not only in Indonesia but also in Singapore.

“There will be an entity in Singapore to acquire a license to the Monetary Authority of Singapore. However, the fund remains as an investment vehicle, “Markus said.

Meanwhile, as noted in BRI’s financial statements in 2019, BRI Ventures is said to aim at the retail and creative industries as its main focus of investment in 2020.

Markus said the retail and creative industries either in Indonesia or overseas have a more mature market. He thought other business verticals require longer effort to run.

“This sector is more mature, both from [business] actors and their supporting ecosystems,” he added.

BRI Ventures, which was founded in 2019, has received fund injection up to Rp1.5 trillion from its parent company. The financial report noted these funds have been distributed in three phases, Rp 200 billion (March), Rp 800 billion (July), and Rp 500 billion (December).

In 2019, BRI Ventures has just invested a total Rp278.11 billion through 17 percent investment in the LinkAja e-money platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures Siapkan Dana Kelolaan untuk Startup Non-Fintech di Jakarta dan Singapura

BRI Ventures, corporate venture capital milik BRI, tengah menyiapkan dana kelolaan baru sebagai kendaraan investasi untuk startup non-fintech di 2020.

Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI Indra Utoyo memastikan izin untuk berinvestasi di non-fintech (Special Purpose Vehicle/SPV) tengah diurus di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Ini masih dalam kendali BRI Ventures, tapi disebut venture fund karena bisa untuk [investasi] apa saja termasuk non-fintech. [Untuk funding] ada Limited Partner kami dari luar,” ujar Indra kepada DailySocial.

Dalam wawancara beberapa waktu lalu, VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman sempat menyebut bahwa persiapan dana kelolaan ini ditargetkan rampung pada Februari ini.

Ada tujuh ekosistem non-fintech yang menjadi target investasi, antara lain agro-maritim, kesehatan, pendidikan, pariwisata dan perjalanan, transportasi, serta retail dan industri kreatif.

“Kami oportunis secara jumlah, jadi kami tidak mengincar harus berapa deal. Tapi di pipeline, kami sudah ada 6-8 deal dalam setahun jika melihat bandwith dan opportunity yang ada,” tuturnya.

Berdasarkan informasi terbaru kepada DailySocial, Markus juga mengungkap bahwa pihaknya saat ini sedang menyiapkan izin SPV tak hanya Indonesia, tetapi juga di Singapura.

Entity akan dibentuk di Singapura untuk acquire license ke Monetary Authority of Singapore. Namun, kendaraan investasi tetap fund,” ungkap Markus.

Sementara, sebagaimana tercatat dalam laporan keuangan BRI di 2019, BRI Ventures disebutkan akan membidik industri retail dan kreatif sebagai fokus utama investasi di 2020.

Menurut Markus, industri retail dan kreatif di Indonesia maupun di luar memiliki pasar yang lebih siap. Ia menilai vertikal bisnis lainnya membutuhkan effort yang lebih panjang untuk bisa jalan.

“Sektor ini lebih siap, baik dari para pelaku [bisnis] maupun ekosistem pendukungnya,” tambahnya.

BRI Ventures yang baru berdiri di 2019, telah mendapatkan suntikan dana sebesar Rp1,5 triliun dari induk usahanya. Laporan keuangan mencatat dana ini telah disalurkan dalam tiga tahap, yakni Rp200 miliar (Maret), Rp800 miliar (Juli), dan Rp500 miliar (Desember).

Total investasi yang disalurkan BRI Ventures di 2019 baru sebesar Rp278,11 miliar dalam bentuk penyertaan saham 17 persen ke platform e-money LinkAja.

Corporate Venture Capital Indonesia Mulai Aktif Incar Investor Eksternal

Kehadiran investor asing menstimulus pembangunan suatu negara. Sektor yang butuh tambahan modal, perlu digenjot agar memberikan dampak ekonomi yang maksimal buat negara, termasuk sektor digital.

Menurut estimasi BKPM, persentase Penanaman Modal Asing (PMA / Foreign Direct Investment) ke sektor digital berkisar $1,3-2,4 miliar atau sekitar 15%-20% dari total PMA yang masuk, yakni $9-12 miliar per tahunnya.

“Belum ada indikasi kuat investor kehilangan antusiasmenya kepada sektor ini. Trennya masih sangat kuat,” ucap Kepala BKPM saat itu, Thomas Lembong, April 2019.

Angka di atas kalah jauh dengan lima sektor yang masih menjadi primadona para investor asing. Pada tahun 2018, posisi teratas ditempati sektor listrik, gas, dan air sebesar $4,4 miliar; pertambangan $3 miliar; transportasi, gudang & telekomunikasi $3 miliar; logam dasar & barang logam bukan mesin $2,2 miliar.

Tiga negara investor terbesar adalah Singapura $9,2 miliar, Jepang $5 miliar, dan Tiongkok $2,4 miliar. Dari total investasi, porsi PMA masih mendominasi, mencapai 56%, sementara sisanya adalah investasi dalam negeri.

Laporan e-Conomy SEA 2019 mengestimasi pada tahun lalu Indonesia berkontribusi terhadap 40% atau senilai $40 miliar nilai ekonomi digital dari total $100 miliar di ASEAN. APJII juga menyebutkan jumlah pengguna internet di Indonesia tumbuh 10,12% pada 2018 menjadi 171,17 juta jiwa dari total populasi 264 juta.

Ruang tumbuh yang masih begitu luas, melatarbelakangi dibutuhkannya tambahan sokongan modal agar lebih kencang menangkap potensi unicorn berikutnya. Langkah ini ditangkap para modal ventura korporasi (CVC).

Mereka mulai berupaya menarik pemodal asing untuk menaruh dananya untuk dikelola dan diinvestasikan ke startup digital lokal. Sejauh ini, ada tiga CVC, yakni MDI Ventures, Mandiri Capital Indonesia (MCI), dan BRI Ventures yang mulai membuka diri.

Dikonfirmasi DailySocial, masing-masing perwakilan ketiga CVC ini kompak menjawab tahun ini dimulainya perusahaan menarik investor luar untuk berpartisipasi dalam fund khusus.

Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li menyebut proses penggalangan dana investasi ketiga sudah hampir rampung. Dia memperkirakan pengumuman resmi terkait fund ini bakal dilakukan menjelang akhir Januari 2020 atau awal bulan depan.

“Kita tunggu announce first investment saja. Harusnya akhir bulan ini atau awal bulan Februari,” ujarnya, Selasa (14/1).

Detail terkait rencana ini masih ditutup rapat-rapat oleh Kenneth. Tapi dari wawancara sebelumnya, MDI menargetkan dana investasi yang siap dikelola sebesar $100 juta dan telah roadshow ke Timur Tengah, sejumlah negara ASEAN seperti Thailand, dan Singapura untuk menarik LP.

Nominal yang sama juga diincar Mandiri Capital. CEO MCI Eddi Danusaputro mengaku saat ini masih dalam proses penggalangan. Ditargetkan sekitar kuartal ketiga tahun ini dapat segera ditutup atau mulai berinvestasi dengan dana segar tersebut ke startup baru.

“Sekarang masih on going, belum ada angka yang bisa di-share,” ujar Eddi, Selasa (14/1).

Sementara itu, BRI Ventures memberi sinyal bahwa mereka juga melakukan fundraising dengan investor lain, di luar BRI, supaya tetap sejalan dengan strategi tesis investasi yang sudah di buat.

“Kami fundraising juga dengan investor lain dan strategi supaya align dengan strategi BRI, dan juga strategi investment thesis yang akan kita buat. Tahun depan [fund akan diumumkan],” kata VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman saat DailySocial temui menjelang akhir tahun lalu.

Supply belum menyamai demand

Beberapa alasan yang melatarbelakangi ketiga para CVC ini untuk menggalang dana dari luar Indonesia adalah ketersediaan dana domestik yang terbatas. Kurang sepadan dengan tingginya permintaan investasi dari para startup. Mereka pun pede bisa memberikan return yang menarik kepada para LP berbekal pengalaman mengelola dana sebelumnya.

Khusus untuk menggambarkan potensi fintech lending saja, data acuan yang sangat sering dipakai adalah: credit gap sebesar Rp1.000 triliun tiap tahunnya yang belum terpenuhi bank untuk disalurkan ke pemilik usaha mikro dan kecil. Padahal UMKM adalah penggerak ekonomi terbesar Indonesia.

Angka ini cukup bombastis dan menggiurkan para pemilik modal untuk terjun ke sini. Tak heran, banyak investor berbondong-bodor mengucurkan dananya untuk startup fintech lending.

Tapi, kesulitan buat mereka adalah bagaimana untuk terjun langsung menangkap potensi tersebut? Apakah kapabilitas mereka cukup paham dengan tantangan pasar Indonesia untuk memantau langsung pergerakan dana yang diinvestasikan atau cukup memercayakan pengelola investasi yang handal?

Menurut catatan sementara pendanaan startup sepanjang 2019, sektor finansial masih menarik banyak perhatian investor. Per 18 Desember 2019, tim DSResearch mencatat ada 110 transaksi pendanaan yang diumumkan startup dan/atau investor Indonesia.

Dari jumlah tersebut, sektor finansial dapatkan porsi terbanyak dengan 23 transaksi, SaaS (9), e-commerce (8) dan logistik (6).

Alhasil, kondisi ini mendorong para CVC untuk tidak selalu bergantung dana suntikan dari induknya agar bisa bersaing. Dunia persaingan antar investor itu sendiri sebenarnya juga tidak kalah sengit. CVC harus bergerak cepat dalam mencari dana, meski preferensi startup yang dibidik ada sedikit perbedaan.

Eddi menjelaskan, rencana yang diusung MCI sepenuhnya mendapat dukungan Bank Mandiri. Bahkan perseroan akan ikut terus berpartisipasi tiap kali MCI merilis Mandiri Venture Fund baru.

Driver utama sebenarnya adalah kita lihat opportunity untuk bawa investor asing ke Indonesia kerena kita confident ada return [bagi investor] yang menarik dan juga demi market startup di Indonesia.”

Optimisme yang sama juga diungkapkan Kenneth. Rekam jejak MDI tidak hanya berinvestasi untuk startup lokal. Sejauh ini mereka mengelola 35 portofolio yang tersebar di 10 negara, dengan total lima exit sejak pertama kali beroperasi di 2015. Performanya tentu tidak perlu diragukan lagi.

“Dari track record MDI, kami tahu cara exit yang tepat karena investor itu tetap mencari return. Tapi kami tidak mau di situ saja. Bagaimana bisa kolaborasi lebih jauh dengan investor, MDI ini jadi fase awal dan partner untuk bantu mereka masuk ke Indonesia.”

Benchmark dari luar negeri

Pemain CVC di luar negeri sebenarnya juga melakukan hal yang serupa ada juga yang tidak. Semua tergantung masing-masing strategi yang diputuskan grup tersebut.

Tidak bisa melulu harus mengandalkan dana dari induk saja dalam berinvestasi, perlu diversifikasi dana dari investor luar untuk memberikan nilai tambah buat investee, grup dari CVC itu sendiri, dan para LP yang berpartisipasi dalam fund yang digalang.

CVC sebenarnya ada tanggung jawab yang harus mereka emban dalam berinvestasi, bagaimana memastikan startup yang mereka investasi bisa memberikan nilai tambah buat grup mereka agar bisa berkompetisi di pasar.

Pada akhirnya, banyak potensi kolaborasi yang bisa dilakukan dari mengelola dana investasi dari investor luar, digabungkan dengan kekuatan grup. Jaminan pasti seperti ini belum tentu bisa diberikan VC independen.

Bayangkan saja, bila suatu startup didanai BRI Ventures, kemungkinan besar mereka bisa menggarap nasabah BRI yang jumlahnya diklaim lebih dari 80 juta orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Akses ini begitu mahal buat didapatkan sebuah startup yang baru dirintis.

Meskipun demikian, CVC yang masih menutup kesempatan buat investor luar  tidaklah salah. Dengan kondisi ini, CVC punya kendali yang lebih leluasa dalam mengelola dana dan memilah startup sesuai preferensi tanpa banyak dituntut para LP.

Pun pada akhirnya, saat berinvestasi ke startup, sangat jarang investor masuk sendiri karena harus berbagi risiko dengan investor yang lain.

Salah satu CVC tersohor di Singapura, yakni Vertex Ventures. adalah salah satu arm investment Temasek, perusahaan investasi pelat merah Singapura. Vertex khusus bergerak di pendanaan tahap awal sejak 2008.

Perjalanan Vertex untuk fund pertama dan kedua, pada 2010 dan 2014, disokong sepenuhnya oleh Temasek Holdings melalui Vertex Venture Holdings. Memasuki fund putaran ketiga, mereka memulai debut menjaring investor eksternal pada 2017.

Saat itu, perusahaan berhasil mengantongi komitmen investasi sebesar $210 juta, oversubscribed dari target awal $150-180 juta. Temasek masih berpartisipasi sekitar 50% dalam putaran ini. Sisanya diikuti LP baru yang berasal dari institusi keuangan di Asia, korporasi, dan perusahaan keluarga.

Tahun lalu, Vertex menutup fund putaran keempat dengan total dana $305 juta. Beberapa portofolio Vertex untuk startup Indonesia di antaranya adalah RoomMe, Grab, Warung Pintar, PayFazz, Pintek, dan Cicil.

Contoh yang sedikit berbeda adalah Rakuten Ventures, yang merupakan bagian raksasa e-commerce Jepang Rakuten. Dalam perjalanannya, sejak diresmikan pada 2013, hingga kini mereka belum membuka investor eksternal dalam setiap putaran pendanaannya.

Rakuten masih menjadi investor tunggal untuk dua fund yang dibuat Rakuten Ventures. Fund ini bernama Global Investment Fund dan Rakuten Ventures Japan Fund yang masing-masing dibentuk pada 2014 dan 2016. Startup yang masuk dalam portofolio Rakuten dan beroperasi di Indonesia adalah Shopback.

Dinamika CVC Indonesia bisa dipastikan akan semakin menarik. Kabar dimulainya pencarian pendanaan dari investor eksternal bisa menjadi indikator bahwa ke depannya visibilitas mendapatkan startup incaran dapat lebih mudah ditemukan. Ini baik buat startup yang sedang mengincar akselerasi pertumbuhan dengan cara paling efektif.