Ketika Pendiri Memutuskan Menjual Startup-nya

Akuisisi dan merger perusahaan pada dasarnya adalah hal yang lumrah terjadi dalam dunia bisnis. Pun begitu, terkadang terlewat juga pertanyaan mengapa keputusan untuk menjual startup diambil pendiri bahkan ketika startup yang dibangun berada di jalur yang tepat. Meski ada beragam pendapat, namun kami mencoba untuk melihat dari sudut pandang pemain lokal yang pernah menjual startup-nya seperti Jason Lamuda (Co-Founder Disdus), Andry Suhaili (Founder PriceArea), dan Michael Saputra (Co-Founder Klik-Eat).

Skema akusisi dan merger memang terlihat mudah untuk dilakukan di atas permukaan, namun pada kenyataanya ada banyak hal perlu dipertimbangkan oleh pendiri ketika akan mengambil keputusan ini. Bukan hanya sekedar memiliki kesamaan visi, ingin perusahaan terselamatkan, ada kata sepakat, dan selesai begitu saja.

Apa yang harus ditanyakan kepada diri sendiri sebelum menjual startup?

Jason, yang sebelumnya membangun Disdus dan kini membangun Berrybenka, mengatakan, “Di saat ada offer untuk diakuisisi, harus ada pertimbangan seorang founder sebagai ‘management of the company’ dan sebagai ‘shareholder of the company’. Ini adalah dua hal yang berbeda dan belum tentu objektifnya sama.”

[Baca juga: Keputusan Mengambil Uang Tunai atau Saham Ketika Menjual Startup]

Lebih jauh, Jason juga menyampaikan lima hal yang harus dipikirkan oleh pendiri disaat akan mengambil keputusan untuk menjual startup-nya, yaitu:

  1. Apakah lebih baik bagi perusahaan untuk stay independent atau diakuisisi sekarang? Jika stay independent, financial gain-nya apa? ROI (Return of Investment) untuk shareholder berapa?
  2. Berapa likuiditas / cashout untuk akuisisi?
  3. Berapa lama lock-up­ period untuk continue menjadi manajemen setelah akuisisi?
  4. Apakah pendiri mau / bersedia untuk bekerja sama untuk acquirer?
  5. Apakah shareholders lainnya akan setuju? Berapa ROI mereka?

Pertimbangan peluang pribadi dan perusahaan

Setali tiga uang, Andry yang kini tetap membangun PriceArea setelah diakusisi Yello juga menyuarakan hal yang tidak jauh berbeda. Andry mengatakan bahwa pada dasarnya kesepakan akuisisi dan merger bisa terjadi karena memang ada benefit untuk pribadi dan perusahaan.

“Dari sisi pribadi, ini seperti peluang emas untuk loncat ke pencapaian karier yang lebih tinggi. Bisa lebih cepat belajar dan juga mengalami dan memperluas networking. Faktor lainnya juga dari segi keuangan yang saya terima, karena mencairkan saham,” ujar Andry.

Andry menambahkan, “Dari sisi perusahaan, saya melihat peluang untuk mendapatkan direct access ke resource yang mungkin sulit saya capai jika [hanya] berjalan bersama investor. Resources yang saya maksud adalah, Know-how, Teknologi, Keuangan, Manajemen, dan lainnya. Waktu itu saya juga berpikir kalau bergabung dengan tim yang jauh lebih kuat pasti bisa mengakselerasi growth yang saya inginkan, lebih cepat ketimbang bila saya lakukan sendiri.”

Andry juga menceritakan bahwa sebelum diakuisisi waktunya lebih banyak tersita untuk kegiatan fund raising ke VC demi mengangkat nilai perusahaan dan mencari modal kerja. Kini, setelah proses akuisisi, pihaknya bisa lebih fokus dalam membangun perusahaan (produk dan tim) bekerja sama secara langsung dengan tim internal dari parent company.

In the end, startup is a business that need return value

Pandangan yang tak jauh berbeda juga disampaikan oleh Michael yang sebelumnya membangun Klik-Eat dan kini membangun Black Garlic. Menurut Michael, sudah menjadi tugas seorang pendiri atau CEO untuk memberikan nilai balik terbaik kepada shareholder perusahaan, karena membangun startup adalah bisnis.

Michael mengatakan, “Startup itu bisnis, dan seperti bisnis lainnya, dia perlu menghasilkan pemasukan atau nilai balik investasi terbaik untuk para shareholder. Sebagai CEO [atau pendiri], sudah jadi tugas saya untuk memberikannya. Jadi ketika ini berkaitan dengan menjual startup, proses pengambilan keputusan utama harus diarahkan untuk menjawab pertanyaan itu. […] Jika penawaran tidak merefleksikan nilai perusahaan dan perusahaan bisa menghasilkan nilai yang lebih baik di masa depan, tidak perlu menjualnya.”

[Baca juga: 5 Kesalahan yang Kerap Dilakukan Entrepreneur Saat Menjual Startup]

“Tentu pada kenyataannya tidak akan sesederhana itu karena yang namanya buyout offer itu ada banyak macamnya, dari jenis buyout-nya (all cash, all stock, combination of them, etc) sampai terms lainnya seperti payout tranches, future performance based payment, etc. That’s where the water becomes muddy and experience is needed,” ujar Michael lebih jauh.

Ketika keputusan untuk menjual startup harus diambil, alasan ataupun latar belakangnya akan kembali kepada masing-masing individu pendiri. Ada yang menjual startup karena dia sudah merasa cukup dan ingin beristirahat, ada juga yang ingin mengakselerasi pertumbuhannya seperti Andry, dan tak jarang juga yang memulai sebuah lembaran baru seperti yang dilakukan oleh Jason dan Michael. Toh pada akhirnya startup adalah bisnis dengan merger dan akusisi yang menjadi bagian jalan ceritanya.

V-MODA Merger dengan Dedengkot Drum Machine Asal Jepang, Roland

Apa jadinya ketika salah satu pabrikan headphone terpopuler merger dengan produsen instrumen musik elektronik legendaris? Keduanya punya peluang merevolusi industri musik, dan inilah yang tengah dikejar oleh V-MODA dan Roland.

Ya, tepat tanggal 8 Agustus kemarin, produsen headphone premium tersebut secara resmi mengumumkan bahwa mereka akan merger dengan Roland. Roland yang dikenal akan produk-produk seperti drum machine, keyboard dan synthesizer tersebut membeli 70 persen total saham V-MODA.

Kedua perusahaan masih akan beroperasi secara mandiri, dan Val Kolton selaku pendiri V-MODA juga masih akan menjabat sebagai CEO. Kendati demikian, keduanya punya visi besar dalam memadukan spesialisasi masing-masing untuk merevolusi industri musik.

Ketertarikan Roland pada V-MODA sendiri berawal ketika timnya menjajal headphone Crossfade M100, yang ternyata dinilai paling pas untuk mereproduksi suara drum machine bikinan mereka. Setelahnya, kedua pihak saling bertemu dan berdiskusi mengenai perkembangan industri musik dan inovasi apa yang bisa mereka suguhkan dengan berkolaborasi.

Menurut laporan Billboard, V-MODA dan Roland sudah mulai mengerjakan sejumlah produk bersama, mulai dari speaker Bluetooth, headphone sampai perangkat pemutar musik lainnya. Pun demikian, kedua pihak juga berjanji untuk mengungkap inovasinya di bidang produksi musik pada tanggal 9 September mendatang.

Bagi kita para konsumen, merger ini terdengar menarik mengingat kedua perusahaan benar-benar punya pengalaman panjang di bidangnya masing-masing. Kolaborasi mereka sudah bisa dipastikan bakal melahirkan produk-produk yang punya daya tarik tersendiri.

Sumber: Billboard dan V-MODA.

Masa Depan “Exit Startup” di Asia Tenggara adalah Merger dan Akuisisi, Bukan IPO

Golden Gate Ventures (GGV) yang berbasis di Singapura merilis laporan kedua tentang pertumbuhan merger dan akuisisi (M&A) di kawasan Asia Tenggara. Mereka menyimpulkan bahwa masa depan “exit startup” di Asia Tenggara adalah M&A, bukan IPO (penawaran saham perdana) di bursa saham. GGV memprediksikan bakal terjadi pertumbuhan 500% untuk M&A di kawasan ini, sehingga diperkirakan sejak tahun 2020 bakal ada 250 proses M&A setiap tahunnya.

Pemetaan GGV menunjukkan hanya ada 11 IPO perusahaan teknologi di Asia Tenggara sejak tahun 2005, sementara di periode yang sama ada 127 akuisisi. 43% di antara proses M&A ini dilakukan oleh perusahaan non-Asia Tenggara.
Kebanyakan IPO yang dilakukan startup kawasan ini dilakukan di bursa saham Australia yang menawarkan posisi unik bagi perusahaan yang lebih kecil untuk berada di papan utama. Singapura mulai memasuki segmen ini dengan menawarkan papan saham The Catalist.

Indonesia sendiri sudah mempertimbangkan inisiatif kategori khusus di Bursa Efek Indonesia untuk UKM dan startup. Tercatat setidaknya 8 akuisisi terhadap startup terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2015 dan belum ada IPO yang terjadi. Bhinneka, dalam acara perayaan ulang tahunnya baru-baru ini, memberikan pernyataan berminat melakukan IPO dalam waktu dua tahun ke depan pasca perolehan pendanaan 300 miliar Rupiah dari Ideosource.

[Baca juga: BEI dan Kadin Akan Bangun Inkubator untuk Mempersiapkan IPO Startup]

Meskipun demikian, startup masih kesulitan mendapatkan return dengan melakukan IPO karena kebanyakan investor umum kesulitan memahami model bisnis dan bagaimana startup bertumbuh. Ujung-ujungnya lebih mudah bagi startup untuk melakukan exit dengan nilai tinggi melalui proses M&A. Dengan pemodelan statistik, GGV memprediksikan bakal terjadi pertumbuhan 500% untuk M&A startup Asia Tenggara dari tahun 2015 hingga tahun 2020, dengan setidaknya 250 M&A setahun mulai tahun 2020.

ggv_m&a_prediction

Managing Partner GGV Vincent Lauria menyatakan, “Di Amerika Serikat, ‘exit’ yang sukses melibatkan ‘go public’. [..] Di Asia Tenggara, [kondisinya] berkebalikan. Penjualan [startup] biasanya memberikan imbal balik finansial yang lebih besar ketimbang ‘go public’, terutama jika pengakuisisi memiliki ketertarikan strategis yang besar di kawasan [Asia Tenggara].”

Secara umum, GGV menyimpulkan startup yang didanai dengan modal besar, memiliki peluang diakuisisi lebih besar pula. Perolehan pendanaan biasanya digunakan startup untuk secara cepat membangun kemampuan pengembangan produk yang lebih cepat, merekrut talenta, dan meningkatkan operasi di seluruh kawasan. Startup yang sudah matang menarik perhatian berbagai calon pembeli prospektif yang ingin mengembangkan sayapnya di Asia Tenggara.

Dengan mengakuisisi perusahaan, pemain global dapat mengurangi sejumlah kesulitan untuk mengembangkan bisnis di pasar asing. Tahun 2015 saja GGV mencatat pendanaan yang dikeluarkan di kawasan Asia Tenggara mencapai nilai total hingga $2 miliar (26 triliun Rupiah).

“Dengan mengakuisisi perusahaan dengan tim yang kuat, basis konsumen yang sudah ada, dan fondasi operasional yang kuat, perusahaan global dapat berekspansi di Asia Tenggara dengan lebih efisien ketimbang melakukan semuanya sendiri [dari awal],” ujar Alexis Horowitz­ Burdick, pendiri startup kosmetik Luxola yang tahun lalu diakuisisi konglomerat fashion LVMH.

Moxy dan Bilna Merger Membentuk MoxyBilna

Mengawali tahun 2016, dua layanan e-commerce yang fokus pada perempuan dan keluarga mengumumkan penggabungan operasinya. Moxy, yang didukung Ardent Capital, dan Bilna mengumumkan merger kedua perusahaan menjadi MoxyBilna. Group CEO Moxy Jérémy Fichet menjadi Group CEO MoxyBilna, Co-Founder dan CFO Bilna Eka Himawan menjadi Group CFO, Co-Founder dan CEO Bilna Ferry Tenka menjadi Executive Chairman perusahaan baru dan memimpin operasional di Indonesia, sedangkan pemimpin operasional Moxy di Indonesia Andrew Senduk bakal menjadi Chief Revenue Officer.

Kuatnya cengkeraman layanan e-commerce besutan Rocket Internet berdana besar di Asia Tenggara, seperti Lazada dan Zalora, membuat sejumlah layanan e-commerce lainnya berkonsolidasi untuk menjadi pesaing tangguh. MoxyBilna adalah salah satunya.

MoxyBilna dibentuk didasari kesamaan pangsa pasar. Bilna yang awalnya menyasar pasar ibu dan anak kini melebar ke pasar barang kebutuhan keluarga. Moxy sendiri adalah layanan e-commerce yang fokus ke produk perempuan, termasuk di dalamnya produk untuk anak dan bayi. Moxy, sebelumnya bernama WhatsNew, diluncurkan di Indonesia sekitar 7 bulan lalu.

Secara statistik, perempuan di kawasan ini adalah pendorong utama kegiatan belanja online, dengan 63% melakukan browsing produk dan layanan setidaknya sekali sehari, sedangkan 49% kini memilih berbelanja online ketimbang offline. Setiap laporan dan survei soal e-commerce di Indonesia selalu menempatkan produk perempuan di urutan teratas untuk segmen produk paling dicari.

Dalam pernyataannya, Fichet mengatakan, “Kemitraan ini akan membuat MoxyBilna pemain e-commerce terdepan di kawasan [Asia Tenggara]. Posisi dan jejak Bilna yang kuat di Indonesia, dipadukan dengan kekuatan Moxy di ekosistem e-commerce produk perempuan di Thailand dan Indonesia bakal membentuk entitas serius yang menjadi ‘tujuan belanja perempuan #1 di Asia Tenggara’.”

Tenka menambahkan, “Dengan langkah ini, kami telah menggandakan daya beli dan volume transaksi, secara bersama membentuk skala ekonomi yang jauh lebih berarti dan memudahkan kami menawarkan hal yang lebih baik untuk konsumen kami. Dengan menjadi entitas bersama, kami sekarang memiliki posisi yang baik di Thailand dan Indonesia untuk mengakselerasi pertumbuhan dan ekspansi [ke negara lain] dalam waktu 18 bulan.”

Setelah merger, operasional Moxy di Indonesia akan dipegang oleh Bilna, sementara platform dan operasional Bilna bakal menjadi benchmark bagi ekspansi grup ke negara lain. Kantor Bilna di Jakarta akan menjadi pusat operasional MoxyBilna dan kami mendapatkan konfirmasi tidak bakal terjadi layoff akibat merger ini karena mereka sedang ekspansi besar-besaran.

Bilna telah dua kali mengumumkan perolehan pendanaan, yang terakhir sekitar dua tahun yang lalu, dan disebutkan Co-Founder Facebook Eduardo Saverin juga berinvestasi ke layanan ini. Ferry Tenka sendiri merupakan Co-Founder Disdus yang diakuisisi Groupon dan menjadi Groupon Indonesia.

Di tahun 2016 ini, tren konsolidasi bakal menjadi bumbu menarik perkembangan ekosistem startup yang lebih solid, baik untuk pasar Indonesia maupun pasar Asia Tenggara secara umum.

Lenovo Satukan Divisi Mobile-nya dengan Motorola

Saat Lenovo mengakuisisi Motorola tahun lalu, banyak yang bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya. Mengapa? Karena keduanya sama-sama menjajakan smartphone, sehingga sudah semestinya ada satu pihak yang ‘mengalah’ supaya tidak terjadi persaingan tidak sehat di bawah satu kepemilikan. Continue reading Lenovo Satukan Divisi Mobile-nya dengan Motorola

Gabungan OLX dan Berniaga akan Menggunakan Entitas OLX

shutterstock_167331812

Seperti diprediksikan, gabungan dua layanan raksasa iklan baris di Indonesia, OLX dan Berniaga, akan menggunakan entitas OLX Indonesia. Nama Berniaga nantinya sekarang secara penuh digantikan OLX, termasuk untuk urusan situs, aplikasi, dan platform yang selama ini digunakan. Data-data Berniaga nantinya dipindahkan ke basisdata OLX.

Continue reading Gabungan OLX dan Berniaga akan Menggunakan Entitas OLX

Merger JobsDB dan JobStreet Disetujui Otoritas Singapura

ilustrasi bergabung

Rencana merger JobsDB, yang dimiliki oleh grup Seek, dan JobStreet telah disetujui oleh otoritas Singapura, dalam hal ini The Competition Commission of Singapore (CCS). Hal ini memuluskan langkah keduanya untuk menjadi platform layanan pencari kerja terbesar di Asia Tenggara. Proposal pembelian ini sudah diajukan sejak bulan Februari lalu.

Continue reading Merger JobsDB dan JobStreet Disetujui Otoritas Singapura

OLX Indonesia dan Berniaga akan Segera Bergabung

Schibsted, Naspers, Telenor, dan Singapore Press Holdings (SPH) dikabarkan telah setuju untuk mendirikan sebuah usaha bersama yang berfokus pada pengembangan platform iklan baris online di Brazil, Indonesia, Thailand, dan Bangladesh. Salah satu poin utama yang menjadi fokus kerja sama ini adalah kemungkinan penggabungan dua penyedia layanan iklan baris online terbesar di Indonesia, OLX Indonesia dan Berniaga. Continue reading OLX Indonesia dan Berniaga akan Segera Bergabung

OLX Indonesia and Berniaga Agree to Merge

ilustrasi merger

Schibsted, Naspers, Telenor, and Singapore Press Holdings (SPH) is reportedly agreed to establish joint ventures for the development of online classifieds platforms in Brazil, Indonesia, Thailand, and Bangladesh. One vital point of this agreement is supposedly the merger between two biggest classified ad services in Indonesia, OLX Indonesia and Berniaga.

Continue reading OLX Indonesia and Berniaga Agree to Merge