Melirik Potensi Besar Industri “Gaming” di Indonesia

“Gamal! Kapan belajarnya?! Jangan main terus!,” ujar Mary, orang tua Gamal, pelajar kelas 12 SMA di Bekasi.

Bu Mary sudah berkali-kali mengungkapkan kekesalannya ke anaknya itu. Gamal terlalu sering lalai mengerjakan tugasnya dari sekolah dan cuma asyik bermain game di smartphone-nya semalaman. Kebiasaan buruk itu bukan sekali dua kali, tapi hampir setiap hari dilakukan Gamal, yang termasuk kids jaman now.

Maksud Mary, Gamal boleh saja rileks sejenak, namun jangan sampai kebablasan. Namun kenyataannya, lebih sering bablas bergadget ria, daripada belajar. Alhasil perolehan nilai sekolah Gamal ikut terjun bebas, padahal dia sekarang sudah ada di tingkat akhir.

Mary tidak tahu game apa yang membuat Gamal bisa keranjingan sampai sedemikian parahnya. Awalnya Gamal bukan anak yang gemar main game. Tapi, karena pengaruh teman-teman di sekolah, atau mungkin dari teman-temannya di dunia maya, akhirnya membuat dia jadi gamer gelap mata.

Tren MOBA

Gamal, seperti kebanyakan anak-anak generasi zaman sekarang, rupanya keranjingan main game Mobile Legends: Bang Bang. Mobile game ini sangat populer dan terus menempati posisi teratas dalam Top Charts di Play Store dan App Store. Di Play Store saja, terhitung sudah diunduh oleh lebih dari 50 juta kali di seluruh dunia.

Mobile Legends adalah multiplayer online battle games (MOBA), lima lawan lima dengan cara bermain yang simpel. Ada tutorial disediakan bagi gamer yang baru pertama kali mencoba. Pemain dapat bertanding dengan pemain yang dikenal atau orang yang tidak dikenal dari seluruh dunia. Mereka dapat bekerja sama memenangkan pertandingan, bahkan disediakan fitur in-game chat agar tetap bisa berkomunikasi selama game berlangsung.

Desain grafis dan visual ditata dengan cukup apik. Baik karakter, map, item, efek skill, dan lainnya cukup nyaman dipandang mata, hampir sempurna untuk dikategorikan sebagai sebuah mobile game.

Aktor yang ‘bermain’ pada game sengaja dibuat dari berbagai negara. Ada Bruno dari Brazil, Yin Shun Shin dari Korea, Kagura dari Jepang, Chou dari Tiongkok, bahkan ada karakter dari Indonesia, Gatot Kaca. Seluruh karakter tersebut memiliki berbagai skill yang berbeda-beda untuk dimainkan.

Game Mobile Legends Bang Bang

Pamor game ini cukup tinggi di Indonesia. Buktinya, kompetisi Mobile Legends South East Asia Cup (MSC) 2017 digelar di Indonesia pada pertengahan tahun ini. Menurut Mobile Legends, Indonesia dipilih lantaran memiliki 3,5 juta pemain aktif harian. Ini angka tertinggi dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Perusahaan game dibalik Mobile Legends adalah Shanghai Moonton Technology dari Tiongkok.

Pesaing (game) Mobile Legends di Indonesia adalah Arena of Valor yang masuk ke Indonesia lewat perusahaan publisher Singapura, Garena, pada Juli 2017. Perusahaan ini termasuk ke dalam salah satu anak usaha Tencent Games.

Tencent adalah salah satu perusahaan teknologi terbesar, bersaing dengan Alibaba dan Baidu. Lewat anak usahanya, Tencent Games dikenal lewat produk mobile game yang mereka keluarkan, seperti Mobile Area, Strike of Kings, dan King of Glory.

Tips Bermain Ranked Match di Arena of Valor

Meski keduanya saat ini sedang bersiteru di pengadilan Amerika Serikat terkait isu pelanggaran properti intelektual dan hak cipta yang diduga dilakukan Mobile Legends, ternyata pamornya di Indonesia cukup kuat. Mereka berlomba-lomba menarik anak-anak remaja seusia Gamal hingga kalangan pekerja untuk
keranjingan bermain game tersebut. Pengguna rela mengucurkan biaya tambahan untuk membeli item yang dijual dalam game. Demi meningkatkan peluang untuk memenangkan pertandingan dan prestise. Harganya pun bervariasi mulai dari Rp3 ribu sampai Rp1,5 juta.

Potensi bisnis di industri gaming Indonesia

Penjualan item menjadi salah satu kantong pendapatan Mobile Legends. Mengutip data statistik yang diungkap Prioridata.com, hingga Maret 2017 Mobile Legends telah diunduh oleh 31,6 juta kali di seluruh dunia. Total pendapatannya mencapai U$5,3 juta sejak pertama kali diluncurkan pada November 2016.

Populasi penduduk Indonesia yang hampir mencapai 260 juta, menjadi nilai surplus bagi siapapun yang berbisnis di sini. Menurut hasil riset lembaga firma game Newzoo, di tahun 2016 secara demografis jumlah pemain mobile game didominasi kalangan laki-laki berusia 21-35 tahun dengan persentase 27%. Posisi kedua ditempati oleh kalangan usia 10-20 tahun sebesar 24%, dan sisanya usia 36-50 tahun.

Untuk perempuan, porsi terbesar juga dipegang oleh kalangan berusia 21-35 dengan persentase 18%. Usia 10-20 tahun sebesar 14% dan 36-50 tahun sebesar 7%. Sehingga bisa disimpulkan, kalangan usia 21-35 tahun merupakan lahan utama bagi perusahaan game karena mereka merupakan orang-orang pekerja yang rela mengeluarkan uang ekstra demi game favoritnya.

EMARKETER (DATA DARI NEWZOO)

Secara industri, potensi bisnis game di Indonesia lebih ‘hijau’ dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara karena pertumbuhannya yang cepat. Masih mengacu dari sumber yang sama, total pendapatan industri game di Indonesia diprediksi mencapai US$879,7 juta di 2017. Angka ini lebih besar dari Malaysia US$586,6 juta dan Singapura US$317,6 juta.

Besarnya kue industri game menjadikan Indonesia sebagai negara ke-16 dengan potensi bisnis terbesar dari 100 negara yang diriset Newzoo. Negara terbesar yang menduduki posisi nomor 1 dan 2 adalah Tiongkok dan Amerika Serikat, dengan potensi pendapatan masing-masing sebesar US$27,55 miliar dan US$25 miliar.

Angka yang cukup menakjubkan tersebut, ternyata menurut Ketua Asosiasi Game Indonesia (AGI) Narenda Wicaksono porsi yang dinikmati lokal kurang dari 10%.

“Hmm.. kalau dirunut masalahnya jadi panjang dan enggak kelar-kelar [bahasnya],” terang Narenda sambil menghela napas dan tertawa kecil, (9/10).

Narenda menguraikan satu per satu masalah yang masih menghantui pemain game lokal.

Pertama adalah kanal distribusi yang sudah terlalu didominasi oleh Google Play Store dan App Store. Sedangkan untuk game berjenis PC dikuasai oleh platform Steam, distributor game digital yang dapat beli langsung di sana. Untuk konsol, pasti menggunakan prinsipal masing-masing yang beredar saat ini, di antaranya PlayStation, Nintendo, dan Xbox.

Dari seluruh kanal distribusi di atas, yang paling cocok untuk pasar Indonesia adalah mobile game. Kebanyakan orang Indonesia merupakan pemakai baru memakai smartphone (mobile-first). Meskipun demikian, karena didominasi oleh dua pemain besar (Google dan Apple), panggung untuk pemain kecil jadi kian tipis akibat dari tingkat persaingan yang ketat dengan aplikasi lainnya.

“Akhirnya untuk mendapatkan exposure harus pasang iklan. Lagi-lagi iklan itu tidak murah. Kalau mau pasang [iklan] di TV, sudah tahu kan biayanya seberapa banyak. Masih banyak perusahaan game yang revenue-nya masih di bawah Rp200 juta-an.”

Kedua, masalah belum meratanya kualitas pengembang game. Ada yang sangat bagus, ada yang kurang. Akibatnya kualitas game yang diciptakan secara rerata masih kalah dengan Vietnam.

Ketiga, tingkat kesudian orang Indonesia untuk membeli game premium beserta item-itemnya masih sangat minim. Padahal langkah ini adalah salah satu pundi-pundi perusahaan game melakukan monetisasi.

Terakhir, membuat game yang berkualitas rupanya bisa menjadi sumber pendapatan jangka panjang bagi perusahaan. Sayangnya, membuat game yang berkualitas tidak ada formula pastinya. Pengembang game harus terus memroduksi produk baru dan terus pelajari bagaimana hasilnya.

“Untuk mengasah kemampuan coding itu bisa belajar di manapun. Tapi untuk mengasah gimana membuat game yang bagus, perlu membuat produk terus menerus dan pelajari hasilnya sampai nanti sampai ke titik game-nya jadi jackpot. Ini akan jadi masalah kalau enggak ada pemodal. Karena ini yang akan membuat runaway jadi pendek, akhirnya beralih buat advergame.”

Dukungan berbagai pihak

Seluruh permasalahan di atas, menurut Narenda, membuat mentalitas kewirausahaan pengembang game jadi kurang tahan banting. Terutama bagi anak muda yang baru lulus kuliah dan memiliki minat jadi pengembang game. Mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti di tengah jalan, beralih ke profesi lain karena tidak mampu bertahan dengan proses awalnya.

Siklus reproduksi talenta dalam industri ini jadi kurang variatif karena ujung-ujungnya diisi oleh pemain veteran dan idealis yang mampu bertahan.

“Jadi kayak ayam dan telur. Karena enggak ada yang mau danai, nafasnya jadi tidak bisa panjang. Banyaklah cerita yang kami dapat akhirnya beralih profesi. Bukan hal yang salah juga karena enggak ada yang berani kasih funding sampai produk mereka jadi hit.”

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Dicoding, perusahaan tempat Narenda bernaung, untuk membuat mobile game yang layak setidaknya membutuhkan waktu antara 6 bulan maksimal setahun. Definisi layak itu setidaknya memenuhi semua kriteria minimum, termasuk gameplay, storyline, karakter, dan lainnya.

Berbeda dengan industri lainnya, di dalam game berlaku faktor X yang bisa menjadi titik loncatan terbesar bagi suatu produk game.

SUMBER: NEWZOO

Salah satu contoh game yang menjadi hit karena faktor X adalah Angry Birds oleh Rovio. Game tersebut muncul, salah satunya karena momentum epidemi flu babi yang merebak secara global di 2009. Wabah tersebut melahirkan ide untuk menjadikan babi sebagai karakter dan musuh bagi burung, karena virus tersebut menyebar lewat perantara babi.

Angry Birds sendiri bukan game pertama yang dibuat Rovio, melainkan game ke 52 yang diproduksi Rovio sejak berdiri di 2003. Faktor X tersebut membawa kejayaan Rovio hingga kini. Awalnya Angry Birds dibuat eksklusif untuk platform iOS sebagai game premium, biaya pembuatannya sekitar US$136 ribu dengan lama pengerjaan 8 bulan.

“Karena faktor X ini yang membuat game di mata para pemodal kurang menarik. Secara fluktuasi sangat tinggi dan kurang sustainable. Padahal industri ini rumusnya jelas: game bagus, promosi maksimal, uang pasti ada.”

Untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan di industri game, AGI rajin mengadakan program pelatihan bekerja sama dengan kampus-kampus demi menghasilkan bibit-bibit muda. Maksud dari kegiatan ini adalah AGI ingin memberi mereka pengalaman merintis sebuah game dari awal jauh hari sebelum mereka lulus kuliah.

Semangatnya adalah ketika mereka sudah lulus sudah ada kemampuan untuk membuat game dan mendirikan usaha sendiri. Dengan demikian, bisa memperbaiki siklus reproduksi pelaku game tidak lagi diisi oleh veteran saja.

SUMBER: BEKRAF

Head of Corporate Communications Google Indonesia Jason Tedjasukmana menuturkan pihaknya telah menyaksikan pertumbuhan industri game lokal yang berkualitas tinggi dan dapat diterima masyarakat. Contohnya adalah Tahu Bulat, Tebak Gambar, dan Warung Chain.

“Mereka tumbuh luar biasa dengan angka pertumbuhan yang kuat dalam hal pendapatan dan unduhan,” kata Jason tanpa menyebutkan detil angkanya.

Untuk terus mendukung ekosistem game lokal, Google Indonesia secara aktif terus melakukan inisiasi lokal dengan membuat kegiatan seperti Indonesia Games Contest, Made in Indonesia Collection, Ramadan Collection, Independence Day Collection, dan koleksi lainnya bermuatan lokal.

Melihat potensi yang cukup besar dari industri kreatif ini, aplikasi dan developer game (AGD) menjadi satu dari tiga subsektor prioritas yang diangkat oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Setelah itu ada sektor film, dan musik.

“Tiga subsektor prioritas ini yang paling menderita karena ekosistemnya belum terbentuk,” ucap Kepala Bekraf Triawan Munaf dalam kata sambutan acara yang digelar Samsung, (9/10).

Bekraf mengangkat tiga subsektor ini karena memiliki kesamaan yakni tidak ada formula standar yang membuat setiap produk yang dirilis selalu laris di pasar. Ini yang membuat fluktuasinya tinggi dan kurang terlihat nyata keberlangsungan bisnisnya di mata pemodal.

Ditambah pula, kontribusinya terhadap total produk domestik bruto (PDB) untuk ekonomi kreatif di bawah 1% pada tahun lalu. Padahal, pertumbuhan PDB dalam masing-masing sektor tumbuh sekitar 7% tiap tahunnya.

Sebagai gambaran, kontribusi aplikasi dan developer game sebesar 1,77%, musik 0,47%, dan film 0,16%.

Alasan lainnya, Bekraf mengangkat aplikasi dan developer game karena industri ini dianggap jadi motor untuk mengangkat subsektor ekonomi kreatif lainnya. Misalnya game bisa diperuntukkan dalam dunia hiburan, media iklan, edukasi, dan lain sebagainya.

Dari segi pertumbuhan pendapatan pun, industri game terus menunjukkan peningkatan yang cukup drastis [lihat grafik Newzoo]. Namun porsi yang dinikmati lokal sangat minim.

“Karena alasan alasan tersebut, Bekraf memutuskan untuk mengangkat aplikasi dan game developer, serta musik, dan film masuk ke dalam subsektor prioritas sejak tahun lalu. Kami gerak aktif berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang melibatkan ketiga subsektor tersebut,” ucap Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari, (17/10).

Beberapa program yang diinisiasi Bekraf untuk memajukan industri game, mulai dari mencetak sumber daya alam, membangun infrastruktur, hingga bantuan pendanaan. Untuk mencetak talenta berkualitas, Bekraf mengadakan Bekraf Developer Day (BDD) bekerja sama dengan perusahaan skala global. Tujuannya tak lain ingin mempertemukan pelaku usaha dengan perusahaan agar terjadi kolaborasi bisnis.

Dalam kurun waktu dua tahun, BDD telah hadir di 14 kota, dihadiri lebih dari 10 ribu pengembang dan menghasilkan lebih dari 1.300 aplikasi. Dari total tersebut, sekitar 338 aplikasi adalah game. Program lainnya Bekraf turut berpartisipasi lewat kegiatan Samsung Developer Academy Indonesia. Di sana telah mendidik 5 ribu orang dan menghasilkan 900 aplikasi lokal.

Dalam rangka mendukung pembangunan ekosistem ekonomi kreatif, Bekraf mendorong seluruh kota di Indonesia mengikuti program Penilaian Mandiri Kabupaten/Kota Kreatif Indonesia (PMK3I). Program ini ditujukan untuk mendorong peningkatan kontribusi PDB ekonomi kreatif yang dilakukan langsung oleh pemerintah daerah.

Setiap kota diwajibkan untuk memilih satu dari 16 subsektor yang diandalkan. Nanti Bekraf akan lakukan penilaian dan verifikasi tersendiri dan memberikan sejumlah insentif untuk menunjang kegiatan subsektor tersebut. Misalnya bantuan pengadaan kantor dan pusat kegiatan.

Kota yang sudah memutuskan diri untuk fokus ke subsektor AGD adalah Malang. Penilaian Bekraf untuk memilih AGD untuk Malang karena subsektor ini telah tumbuh dan terus berkembang sejak 2011.

Di sana, jumlah pelaku AGD mencapai lebih dari 2.200 pelaku, 6 komunitas, 96 pengusaha, 4.800 lulusan akademik, dengan kegiatan tahunan skala nasional dan operasi bisnis skala internasional. Diperkirakan jumlah tenaga yang terserap saat ini sekitar 2.200 orang dengan pertumbuhan sebesar 20% per tahun.

Secara ekonomi, sektor AGD memiliki indikasi forward linkage pada kegiatan bisnis di subsektor unggulan lainnya, yaitu kuliner dan animasi, film & video. Serta, backward linkage pada penyerapan tenaga kerja terampil dan terdidik dari universitas maupun sekolah kejuruan.

“Kami juga tantang mereka, setelah fokus ke subsektor AGD berapa kontribusi PDB yang bisa mereka berikan ke Malang, berapa tenaga kerja yang bisa diciptakan. Sebagai gantinya, kami beri insentif berupa bantuan dana untuk pembangunan infrastruktur untuk dukung sektor AGD.”

Kota lainnya yang sudah menetapkan fokus ekonomi kreatif adalah Semarang, yang memilih fesyen, Banda Aceh dan Pekalongan memilih kriya. Sleman, menurut Hari, meski belum memutuskan, kemungkinan besar akan jadi kota kedua setelah Malang yang fokus ke AGD.

Dengan adanya berbagai upaya positif dari Bekraf, AGI, maupun Google untuk memajukan pemain game lokal, artinya masih ada secercah harapan untuk Tahu Bulat dan kawan-kawannya untuk terus eksis di Tanah Air, menghadapi terjangan dari Mobile Legends dan sebangsanya.

Empat Hal yang Wajib Dicermati Pengembang Lokal

Sebagai sebuah developer hub, kehadiran Dicoding selama ini konsisten untuk menjadi wadah yang menjembatani kemampuan para pengembang lokal dengan berbagai kesempatan dan akses belajar yang lebih luas. Makin maraknya kehadiran startup di Indonesia saat ini ternyata tidak dibarengi dengan jumlah pengembang lokal yang cukup dan berkualitas baik.

Menurut CEO Dicoding Indonesia Narenda Wicaksono, ada beberapa alasan mengapa para pengembang lokal saat ini masih terbilang memiliki self learning yang rendah. Menurut Narenda, untuk menjadi pengembang yang berkualitas, kemampuan untuk menambah wawasan dan terus memperkaya pengetahuan wajib dimiliki oleh seorang pengembang.

Menurut Narenda, hal-hal penting yang wajib dicermati pengembang:

Self learning

Dari hasil wawancara dengan beberapa HR perusahaan teknologi, salah satu kelemahan pengembang tanah air adalah kemampuan self learning yang rendah. Padahal skill ini sangat penting untuk bisa bertahan di era digital berkembang dengan cepat. Mengikuti kelas akademi bisa menjadi salah satu cara untuk mengasah self learning agar memiliki pencapaian yang terencana.

Mencari Tantangan

Teknologi berkembang secepat kilat dan musuh pengembang adalah zona nyaman. Sesungguhnya sangat beruntung bila seorang pengembang memiliki manager yang selalu memberikan tantangan. Bila tidak, bisa dengan mengikuti kontes online atau hackathon yang sekarang cukup menjamur. Bekerja di startup baru juga akan memberikan adrenalin yang kurang lebih sama.

Membangun Portofolio

Puncak karir seorang pengembang adalah menjadi C level atau pemilik perusahaan teknologi. Berdasarkan hasil riset, dibutuhkan waktu minimal satu tahun untuk membangun sebuah MVP (Minimum Viable Product) yang layak. Waktu tiga tahun adalah waktu minimal yang dibutuhkan untuk membangun sebuah produk digital. Memang tidak semua pengembang memiliki bakat untuk menjadi seorang entrepreneur, tapi memiliki produk dalam bentuk “library” adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dicapai.

Bergabung dengan Komunitas

Seorang pengembang yang berbagi ilmu akan membuat ilmunya tersebut semakin berkembang. Bila semua pengembang dalam komunitas tersebut memiliki visi berbagi yang sama, maka komunitas akan berkembang secara positif memberikan implikasi kepada anggotanya. Piramida ekosistem akan terbentuk memberikan dampak yang masif sehingga menjadi magnet untuk employer, investor, akademi, dan pemerintah untuk ikut berkontribusi.

Buka Kelas “Menjadi Android Developer Expert” Angkatan Kedua, Dicoding Ingin Cukupi Kebutuhan Pengembang Mobile Indonesia

Pertumbuhan ekosistem startup teknologi Indonesia sangat pesat. Sayangnya pertumbuhannya tidak diikuti dengan ketersediaan pengembang yang mumpuni. Sudah banyak kita dengar cerita tentang startup-startup mapan yang mulai “mengekspor” pekerjaan ke India karena jumlah ketersediaan pengembang yang terbatas.

Dicoding, platform digital yang menjembatani pengembang aplikasi dengan peluang dan kebutuhan pasar, mencoba membantu mengatasi masalah ini dengan membuka kelas-kelas yang membantu menyediakan pengembang dengan skillset yang dibutuhkan dunia industri yang terus berkembang pesat.

Android dipilih menjadi platform unggulan karena tingginya adopsi masyarakat yang mendorong kebanyakan startup melengkapi diri dengan ketersediaan aplikasi di platform buatan Google yang harus diperbarui secara berkala.

Kelas “Menjadi Android Developer Expert (MADE)” angkatan kedua adalah salah satu wujud usaha tersebut. Tersedia secara online, MADE bisa diikuti oleh siapapun di Indonesia yang memiliki akses internet. Sebagai Google Authorized Training Partner di Indonesia, Dicoding berharap akan lahir ratusan, bahkan ribuan, pengembang Android baru melalui program MADE ini.

Dicoding, yang didirikan sejak awal Januari 2015, saat ini memiliki lebih dari 71 ribu anggota dari 336 kota di Indonesia. Disebutkan 632 orang di antaranya adalah penggiat startup. Selain Android, disebutkan saat ini Dicoding juga memberikan pelatihan untuk 6 platform teknologi lainnya, termasuk bermitra dengan IBM, Microsoft, dan LINE.

MADE angkatan pertama disebutkan memiliki 2100 peserta, dari pelajar SMA/SMK, penggiat startup, freelance developer, ataupun para pegawai di sektor teknologi informasi.

Disebutkan kelas MADE, yang tersedia secara online, memiliki 125 modul berbahasa Indonesia, 35 video tutorial, 24 kuis, dengan target penyelesaian 90 hari. Modul tersebut, jika dicetak menjadi buku (yang memang dibagikan untuk setiap peserta), terdiri dari total 670 halaman.

Modul berbahasa Indonesia diklaim menjadi keunggulan program ini, karena selama ini modul-modul Google atau pihak ketiga selalu tersedia dalam bahasa Inggris.

Co-Founder dan CEO Dicoding Narenda Wicaksono mengatakan:

“Selain pesatnya perkembangan teknologi pemrograman di bidang software engineering, ketersediaan akses terhadap pembelajaran teknologi yang ‘cutting-edge’ dalam Bahasa Indonesia dan mudah dipahami juga masih sangat terbatas. Persoalan inilah yang berusaha kami atasi melalui Dicoding Academy sehingga siapapun dapat mempunyai kesempatan belajar teknologi termutakhir, kapanpun dan di manapun ia berada.”

Dalam MADE, setiap sesi pembelajaran akan di-review secara manual dan timbal balik dari penilai diharapkan memberikan motivasi bagi para pengembang untuk terus memperbaiki hasil coding-nya.

“Merealisasikan materi dalam Bahasa Indonesia untuk kelas MADE merupakan sebuah langkah dan kontribusi nyata Dicoding dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pada subsektor aplikasi dan game. Harapan saya kesempatan baik ini dapat dimanfaatkan oleh developer Indonesia dan para pelaku industri kreatif digital untuk meningkatkan skill dan kualifikasi mereka sehingga mampu berdaya saing secara global dan menggerakkan roda ekonomi kreatif nasional,” sambut Kepala Bekraf Triawan Munaf terhadap peluncuran batch baru MADE ini.

Dua Tahun Dicoding dan Catatan tentang Pengembang di Indonesia

Dicoding lahir sebagai sebuah developer hub di Indonesia yang coba menjembatani kemampuan para pengembang lokal dengan berbagai kesempatan dan akses belajar yang lebih luas. Bisa dikatakan Dicoding kini menjadi developer hub terbesar di Indonesia. Di awal tahun 2017, startup yang digagas oleh Narenda Wicaksono, Kevin Kurniawan, dan beberapa rekan lainnya ini baru saja menginjak di umurnya yang kedua.

Banyak pencapaian yang sudah diraih, seperti yang dituliskan oleh Kevin dalam blog resmi Dicoding. Sejauh ini terdapat 42 ribu pengembang terdaftar, dengan lebih dari 3.800 aplikasi yang dimasukkan dan jumlah unduhan mencapai 330 juta lebih.

Pencapaian tersebut menjadi sebuah indikasi adanya daya gedor yang kuat dalam internal tim, untuk itu kami mencoba untuk menggali, selama dua tahun ini apa yang menarik dari perjalanan Dicoding. CEO dan Co-Founder Dicoding Narenda Wicaksono dalam sebuah kesempatan wawancara mengatakan kesamaan Dicoding di waktu awal berdiri dan sekarang adalah visi-misi sama yang dimiliki oleh para penggeraknya, yakni mempercayai bahwa pengembang lokal memiliki potensi yang besar.

“Dicoding lahir sebagai satu upaya untuk membangkitkan semangat, mengasah kemampuan terbaik, dan meningkatkan daya saing developer Indonesia sehingga mereka mampu unggul di pasar lokal maupun global […] Sejak awal pendiriannya, kami tidak terlalu menjadikan three-ass rules sebagai patokan, atau yang sering diincar investor sebagai a smart-ass team building a kick-ass product in a big-ass market.”

Narenda melanjutkan, dari segi pasar menurutnya Dicoding merangkul segmentasi yang sangat niche, tidak terlalu besar dan masif seperti yang diharapkan oleh para investor. Pun demikian dari segi produk, Dicoding tidak pernah menargetkan untuk menjadi produk yang disruptive, sebuah kata yang sepertinya menjadi syarat kekinian dalam dunia startup digital.

“Dari segi tim, bagi kami yang terpenting bukan kecerdasan, walau kecerdasan tentu juga menjadi pertimbangan, melainkan integritas dan kemauan seseorang untuk terus belajar meningkatkan kemampuan dirinya,” lanjut Narenda.

Catatan tentang pengembang di Indonesia dari perjalanan 2 tahun Dicoding

Berbagai pendekatan dilakukan Dicoding untuk menjamah pengembang aplikasi lokal di seluruh penjuru Indonesia, melalui akademi online, workshop dan seminar, kompetisi dan berbagai hal lain. Pengalamannya bersinergi dengan ribuan pengembang lokal memberikan pandangan tersendiri bagi Dicoding. Disampaikan oleh Narenda jika melihat dari sisi kemampuan, menurutnya pengembang Indonesia tidak kalah jika dibandingkan dengan pengembang di negara lain. Namun demikian ada beberapa hal yang masih menjadi penghalang untuk maju.

Tepatnya ada tiga hal, yakni akses ke pasar, akses pendidikan teknologi pemrograman terkini, dan akses terhadap jejaring bisnis yang terhubung. Kendala-kendala tersebut yang kini menjadi target sekaligus tantangan Dicoding untuk memfasilitasinya. Dicoding juga mencoba untuk menjangkau berbagai kalangan pengembang di seluruh Indonesia, tidak hanya di Jawa. Mereka meyakini bahwa pengembang di Indonesia dapat menghadirkan potensi terbaiknya, dengan terus dibimbing dan diasah kemampuannya.

Salah satu acara untuk pengembang yang diinisiasi Bekraf dan Dicoding / DailySocial
Salah satu acara untuk pengembang yang diinisiasi Bekraf dan Dicoding / DailySocial

“Tetaplah melangkah, ciptakan karya terbaik. Ketika masalah datang menghadang, jangan cepat berputus asa dan meninggalkan karya, tetapi terus berusahalah secara persisten untuk cari solusinya. Jangan takut gagal karena kegagalan itu bagian dari keberhasilan. Tetaplah melangkah hingga suatu hari karya terbaikmu menjadi produk unggul yang bermanfaat bagi Indonesia dan dunia.”

Sebagai target inovasi di tahun 2017, Dicoding tengah menyiapkan peluncuran versi terbaru dari Dicoding Academy. Laman belajar online tersebut akan diisi dengan materi dan kurikulum yang lebih komprehensif yang dibangun bersama beberapa mitra perusahaan teknologi dunia.

Promosi Digital Jadi Prioritas Tantangan Utama Pengembang Lokal

Dari gelaran Bekraf Developer Conference (BDC) 2016, 180 top pengembang lokal merumuskan ada tiga prioritas tantangan utama harus diselesaikan bersama. Yakni, mengenai promosi digital, pendirian asosiasi developer aplikasi, dan preload.

Sekadar informasi, BDC 2016 adalah acara puncak dari pelaksanaan roadshow Bekraf Developer yang telah diselenggarakan di Malang, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Acara ini mempertemukan 180 top pengembang lokal dengan pemerintah (diwakili kementerian terkait) untuk merumuskan tantangan yang perlu diselesaikan demi membangun ekosistem yang dapat mendukung pengembang perangkat lunak bisa berkembang pesat di Indonesia.

“Acara BDC ini jadi wadah terbentuknya talenta di bidang digital yang akan melahirkan startup yang menyediakan solusi, sehingga Indonesia dapat menjadi tuan rumah di Ekonomi Digital Indonesia,” ucap Hari Sungkari selaku Deputi Infrastruktur Bekraf, Senin (28/11).

Awalnya, ada 64 prioritas tantangan yang muncul. Lalu, ada proses voting untuk menentukan tingkat urgensi permasalahan, akhirnya mengerucut jadi sepuluh prioritas tantangan. Terakhir, terpilihlah tiga prioritas tantangan yang tingkat urgensinya paling tinggi.

“Proses perumusan masalah awalnya ada 64 isu, kemudian dilakukan voting hingga akhirnya tersaring jadi tiga isu. Ketiga isu ini dipilih karena urgensinya yang sangat tinggi dan dibutuhkan oleh pelaku pengembang lokal,” terang Andi Taru Nugroho selaku CEO dan Founder Educa Studio.

Dijabarkan lebih jauh, promosi digital adalah jalur kegiatan pemasaran yang masih asing untuk dilakukan oleh pelaku usaha yang kebanyakan masih menganut dengan cara konvensional. Maka dari itu, lanjut Andi, solusi yang ditawarkan pengembang kepada pemerintah ada tiga hal.

Yaitu, pemerintah melakukan kampanye nasional untuk mengedukasi pentingnya menghargai dan memakai karya lokal. Membuat etalase bersama (marketplace) aplikasi atau games yang bisa dipromosikan pemerintah. Terakhir, memberikan edukasi kepada pengembang mengenai cara promosi digital yang efektif.

Isu kedua, mengenai pendirian asosiasi developer aplikasi Indonesia. Urgensi untuk isu kedua ini cukup tinggi. Pasalnya, selama ini komunikasi antara pemerintah dengan pelaku pengembang belum maksimal karena ketidakhadiran asosiasi sebagai wakil yang tatap muka langsung dengan pemerintah.

“Sekarang ini baru ada Asosiasi Game Indonesia (AGI), untuk aplikasinya belum ada. Sementara, untuk bertemu dengan pemerintah perlu diwakili oleh asosiasi untuk membicarakan lebih jauh. Lagipula, kehadiran asosiasi memang diperlukan sejak awal sebagai wadah penampung aspirasi pengembang,” ujar Andi.

Isu terakhir, adalah mengenai preload. Solusi yang ditawarkan terkait masalah preload ini adalah membuat aplikasi khusus sebagai etalase bersama untuk perload dalam perangkat smartphone yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi aplikasi lokal yang baru dan berkualitas untuk di-preload.

Pengembang juga meminta kepada pemerintah agar mempermudah syarat preload agar semua developer memiliki kesempatan dan exposure yang sama. Andi mengatakan, usulan mengenai preload ini erat kaitannya dengan rencana pemerintah mulai 1 Januari 2017 untuk menetapkan 30% Tingkat Kandungan dalam Negeri (TKDN) untuk telekomunikasi berbasis standar Long-Term Evolution (LTE).

“Aturan TKDN itu sebenarnya sangat baik karena tujuannya ingin memajukan produksi buatan dalam negeri. Hanya saja, aturan TKDN terlalu tinggi karena untuk bisa masuk ke preload itu hanya aplikasi yang sudah diunduh satu juta kali. Sementara untuk bisa menyentuh angka itu, butuh waktu yang tidak sebentar.”

Maka dari itu, sambung Andi, pihaknya mengusulkan untuk membuat aplikasi preload khusus yang sudah ditanamkan ke perangkat smartphone yang berisi aplikasi lokal berkualitas dan sudah terkurasi.

“Tujuan akhirnya, kami ingin masyarakat mengenai aplikasi lokal karena selama ini sangat minim yang tahu. Dengan adanya aplikasi khusus yang sudah di-preload, masyarakat jadi gampang mengetahuinya.”

Hari menambahkan, usulan yang diajukan pengembang lokal untuk bisa masuk ke TKDN diharapkan syaratnya bisa diturunkan, tidak lagi harus satu juta unduhan. Angka yang dinilai ideal menurut pelaku usaha adalah 100 ribu unduhan.

“Masukan angka unduhan minimal 100 ribu kali diunduh menurut kami cukup masuk akal dan bisa diukur kualitasnya. Kalau menunggu satu juta unduhan butuh waktu lama, bisa jadi tahunan.”

Isu kekurangan talenta masuk dalam prioritas tantangan

Selain itu, dalam konferensi ini juga membahas tujuh isu lainnya dan solusi yang coba ditawarkan kepada pemerintah. Pada dasarnya, ada lima bidang permasalahan yakni pasar, talenta, regulasi, infrastruktur, dan permodalan.

Mengenai permasalahan pasar, isu yang disinggung setelah promosi digital adalah meningkatan pangsa pasar lokal. Untuk masalah talenta, mengenai dukungan industri teknologi, ruang untuk inovasi, dan institusi pendidikan.

Untuk masalah regulasi, selain isu preload adalah perizinan dan legal. Masalah infrastruktur, mengenai kebutuhan riset pasar dan inkubator. Terakhir, masalah permodalan adalah isu mengenai investor.

Narenda Wicaksono, CEO Dicoding Indonesia, menerangkan salah satu masalah utama yang jadi tantangan adalah kurangnya talenta. Institusi pendidikan yang menyediakan ilmu jurusan komputer atau ilmu informatika memang jumlahnya banyak, tapi mayoritas tidak semua lulusan dari sana yang bisa langsung terserap di industri. Pasalnya, kurikulumnya tidak relevan dengan industri.

Menurutnya, perlu ada kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dengan institusi pendidikan berupa komunikasi yang intensif agar ada restrukturisasi kurikulum yang dibangun sesuai dengan kebutuhan industri.

Salah satu kurikulum yang dibangun oleh pelaku usaha adalah International Business Machines (IBM) Indonesia. Vina Kasim, Country Manager IBM Indonesia menerangkan untuk mendukung talenta IT yang berkualitas pihaknya meluncurkan materi yang bisa diakses secara online dan berbahasa Indonesia yang diakses melalui situs Dicoding.

Di sana, para pengembang bisa mempelajari dengan gratis dalam tenggat waktu yang sudah ditentukan. Tak hanya itu, IBM juga menyediakan akses infrastruktur dan teknologi bentuk kredit untuk penggunaan platform Softlayer dan IBM Bluemix.

“Kami percaya para pengembang Indonesia merupakan yang terbaik dalam mengarahkan perekonomian kreatif di negeri ini dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Kami berharap bisa jadi mitra dalam membantu mereka melalui perangkat dan platform teknologi yang kami miliki,” pungkas Vina.

Menerka Jalan Teknologi Virtual Reality di Indonesia

Dewasa ini teknologi Virtual Reality (VR) tengah menjadi perbincangan hangat karena mulai bisa digunakan oleh masyarakat luas melalui perangkat ponsel pintar. Indonesia, sebagai negara berkembang dan mobile first, mau tidak mau harus bisa dan siap untuk menerima kehadiran teknologi baru ini. Kami mendapat kesempatan berbincang dengan CEO Dicoding Narenda Wicaksono dan Country Manager Lenovo Smartphones Indonesia Adrie R. Suhadi untuk mengetahui jalan seperti apa yang akan dilalui teknologi VR di Indonesia.

Teknologi Virtual Reality (VR) sebenarnya sudah mulai dikembangkan sejak tahun 1990-an. Tapi, saat itu perangkat yang dibutuhkan masih berukuran besar dan mahal. Teknologi ini pun seolah menjadi eksklusif untuk digunakan oleh kalangan tertentu saja.

Seiring dengan waktu dan perkembangan teknologi yang pesat, VR menjadi lebih mudah diakses saat ini. Apalagi ketika Oculus mengumumkan kehadirannya, manfaat VR untuk digunakan dalam sektor kesehatan, edukasi, dan lainnya pun mulai menjadi pembicaraan hangat untuk dikembangkan sebagai sebuah bisnis.

Sekarang, dengan akses ke VR melalui perangkat ponsel pintar yang jauh lebih mudah, teknologi ini pun menjadi salah satu primadona dengan potensinya yang luas dan belum terjamah. Sebagai negara mobile first, Indonesia juga tidak ingin tertinggal dalam mengadopsi teknologi VR ini.

Tentang membangun sebuah ekosistem

Bicara mengenai sebuah teknologi, tidak akan lepas dari membicarakan sebuah ekosistem yang diperlukan untuk saling menopang dan mendorong pertumbuhannya. Begitu juga dengan VR. Berbagai elemen dalam ekosistemnya seperti teknologi dan juga developer harus mulai mendapat perhatian, terutama bila Indonesia tidak ingin tertinggal lagi dalam mengadopsi sebuah teknologi baru.

Country Manager Lenovo Smartphones Indonesia Adrie R. Suhadi mengatakan, “Kami melihat [untuk Indonesia] yang pertama itu dari sisi teknologinya dulu harus siap. […] Kami juga lihat dari sisi aktivasi, […] maka dari itu kami ada kerja sama dengan beberapa developer […] untuk mengembangkan konten-konten yang mendukung VR. Kami juga lihat vendor lain akan mulai bergabung mengembangkan VR, […] jadi kami tidak akan bekerja sendirian dalam mengedukasi pasar tentang VR.”

Dalam kesempatan berbeda, CEO Dicoding Narenda Wicaksono menyampaikan, “Semua [elemen dalam ekosistem] harusnya jalan bareng. Kalau bicara teknologi, semua sudah ada, tinggal mau coba atau tidak. Tapi, […] ada isu dari capability developer yang harus dibangun juga.”

“Hanya saja, itu juga akan mengikuti teknologi yang diadopsi. Dalam kasus ini [untuk pasar Indonesia] adalah teknologi yang affordable dan mudah diakses. VR ini sekarang sudah masif, buka lagi teknologi eksklusif [dan] itu harusnya jadi kesempatan bagi developer karena teknologi yang ada sekarang sudah bisa dilempar ke market yang lebih luas,” lanjutnya.

Isu lain dari pengembangan VR di Indonesia adalah kepekaan terhadap komersialisasi. Narenda menyebutkan bahwa di luar negeri sudah banyak pihak dari berbagai sektor yang memiliki visi komersial untuk memecahkan berbagai solusi melalui VR. Contohnya dari kedokteran dan juga arsitektur.

Narenda mengatakan, “Mostly [di Indonesia] thinking about game. Bukan berarti game tidak menarik, tetapi teknologi ini sebenarnya bisa digunakan untuk yang lain. […] Untuk develop ekosistem ini, harus ada capability developer yang dibangun. Satu, secara teknis. Kedua, secara bisnis, sehingga bisa lihat kesempatannya seperti apa. Ketiga, secara produk. Make sure produknya bisa mature enough to meet commercial aspect.”

“Kemudian, dari sisi perangkatnya juga. Teknologinya itu ada, bisa dipakai, tapi harus ada tujuannya. Lalu dari sisi vehicle-nya. Maksudnya, teknologinya ini running on top apa? […] Device-nya ini sudah ada, tinggal capability developer-nya. Harus ada program yang komprehensif yang dibikin mulai dari ide, capability, aspek bisnisnya seperti apa, commercial aspect-nya seperti apa, go to market-nya bagimana,” lanjut Narenda.

Jika semua elemen dari ekosistem virtual reality di Indonesia itu sudah mulai bisa berjalan atau tumbuh, baik Narenda maupun Adrie percaya bahwa di tahap awal sektor yang akan merasakan dampak virtual reality adalah game dan hiburan. Setelah itu, sektor pendidikan akan mengikuti karena perangkat yang beredar akan semakin terjangkau dan bisa menekan cost teknologi itu sendiri.

XL Gandeng Pengembang Lokal untuk Kembangkan Aplikasi IoT

Penetrasi inovasi Internet of Thing (IoT) di Indonesia mulai tumbuh. Setelah banyak inisiatif IoT bermunculan di tanah air, salah satu operator telekomunikasi PT XL Axiata Tbk (XL)  juga mencoba mengembangkan produk IoT untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri. Untuk menghadirkan produk yang inovatif dan sesuai dengan permintaan pasar XL pun merangkul para pengembang lokal melalui kompetisi yang digelar berkat kerja sama XL dengan Dicoding.

Chied Digital Service Officer XL Joseph Lumban Gaol dalam rilisnya mengungkapkan bahwa ia melihat dengan menggandeng para pengembang lokal adalah pilihan terbaik untuk terus mengembangkan layanan IoT. Menurutnya Indonesia memiliki banyak bakat yang bisa menciptakan solusi-solusi digital. Karena itulah XL hadir untuk berkolaborasi untuk meningkatkan produktivitas mereka.

Saat ini menurut Joseph, XL telah memiliki platform IoT yang diberi nama Agnosthing. Sebuah platform pengembangan layanan telekomunikasi yang mencakup layanan pengelolaan perangkat, pengelolaan aplikasi baik itu aplikasi mobile maupun aplikasi web, pengelolaan konektifitas Data Package atau SMS. Selain itu platform ini juga bisa dikembangkan sebagai solusi Solution as a Service (SaaS).

Untuk mengembangkan inisiatif IoT XL bekerja sama dengan Dicoding menggelar kompetisi “Agnosthings IoT Developer Challenge” dengan target untuk menghasilkan lebih dari 100 aplikasi untuk Agnisthings dalam berbagai variasi solusi, terutama yang bisa diterapkan pada layanan Smart City, Smart Home dan Creative City.

Co-Founder Dicoding Narenda Wicaksono  menggungkapkan, “Kami mengapresiasi kerja sama yang terjalin dengan XL Axiata untuk mendorong para developers dan makers di tanah air mengembangkan solusi-solusi IoT yang dapat dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.”

Tahun ini kompetisi akan dilaksanakan dua kali. Acara pertama sudah berlangsung di Bandung, Yogyakarta dan Surabaya beberapa waktu lalu. Pada gelaran pertama kompetisi diikuti tak kurang dari 250 pengembang. Selain kompetisi dalam kesempatan tersebut juga berlangsung coaching clinic tentang platform Agnosthings.

Berbagai solusi yang tercipta dalam kompetisi tersebut, untuk tema Smart Home antara lain berupa remote control untuk lampu, perangkat elektronik, kompor gas, tendon air, dan alat-alat rumah yang membutuhkan kecermatan dalam pemakaiannya. Lalu ada juga solusi inovatif berupa perangkat otomatis untuk lampu dan AC, yang ketika pemilik rumah sudah dekat lampu dan AC bisa menyala sendiri. Solusi menarik lainnya berupa aplikasi untuk menjaga bayi. Aplikasi ini memiliki fitur yang bisa memonitor kondisi bayi, termasuk juga mengatur suhu ruangan yang nyaman untuk si bayi, dan juga bisa mendeteksi suara bayi yang menangis.

Selanjutnya bersama dengan BEKRAF dan Dicoding, XL akan menyelenggarakan event ke dua di akhir tahun 2016 ini.  Pada kompetisi tersebut, XL memberikan tantangan kepada peserta untuk membuat solusi aplikasi digital berbasis mobile atau web dengan dua tema, yaitu Smart Home dan Smart Power. Mereka pun harus membuat konstruksi solusi yang diciptakan, mulai dari problem statement yang mendasari penciptaan solusi, desain inovasi, model solusi yang akan dibangun pada Agnosthings, hingga rencana fase pengembangan.

 

Dicoding Umumkan Pemenang “Indonesia Ramadhan Challenge”

Menyambut bulan suci Ramadan, Dicoding menyelenggarakan challenge bertajuk “Indonesia Ramadhan Challenge” yang gelar pada periode 16 Mei – 5 Juni 2016. Dalam tantangan tersebut para pengembang berlomba untuk membuat aplikasi yang dapat menunjang kegiatan beribadah maupun bersilaturahmi di bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Dari jumlah 48 pengembang aplikasi yang berpartisipasi, terpilih tiga aplikasi sebagai pemenang, yakni Belajar Menghafal Hijaiyah, MyQuran Al Qur’an Anak, dan Doa Anak Sholeh. Masing-masing pemenang berhak mendapatkan penghargaan sebesar 5000 XP Dicoding Points yang disponsori oleh Intel Indonesia.

Ada sebuah tradisi yang coba dilestarikan pihak Dicoding melalui tantangan ini. Kegiatan-kegiatan islami seperti sholat berjamaah di masjid, tadarus Al Quran, dan menyalurkan infaq. Termasuk juga tradisi lebaran seperti mudik. Untuk itu Dicoding mensyaratkan aplikasi yang mengikuti tantangan haruslah yang bisa membantu umat Islam melestarikan tradisi-tradisi tersebut.

“Menyadari pentingnya peranan developer lokal dalam mengawal konten aplikasi yang tepat guna, Dicoding berkomitmen untuk terus mendukung upaya-upaya yang mampu mengakselerasi para developer dalam membuat aplikasi terbaik yang positif, inovatif, dan sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa,” tutur CEO Dicoding Narenda Wicaksono.

Masing-masing pemenang mengusung konsep yang berbeda-beda. Belajar Menghafal Hijaiyah yang dikembangkan Ali Usman misalnya, didesain untuk membantu anak-anak untuk belajar menghafal huruf-huruf Hijaiyah dengan metode gaming. Seperti puzzle dan mencocokkan.

Berbeda dengan MyQuran Al Qur’an Anak yang dikembangkan The Wali Studio. Lebih mengedepankan konsep anak-anak, MyQuran Al Qur’an Anak di desain dengan tampilan ceria khas anak-anak, dengan demikian anak-anak diharapkan betah membaca Al Quran. Sedang pemenang lainnya yakni Doa Anak Sholeh dari Edukasimu Interaktif mengusung konsep kumpulan doa sehari-hari dan tentu dengan desain khas anak-anak.

Hadiah berupa XP poin yang didapat masing-masing pemenang nantinya dapat diakumulasikan dengan poin masing-masing sebelumnya dan dapat ditukarkan dengan beragam hadiah menarik seperti smartphone, laptop, review aplikasi, dan hadiah-hadiah lainnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Mejakita Hadirkan Konsep Peer Tutoring untuk Pelajar Indonesia (UPDATED)

Lahir dari ajang challenge Dicoding, Mejakita menghadirkan konsep platform interaktif yang dirancang khusus sebagai ruang bagi siswa-siswi di Indonesia untuk berbagi ilmu dan saling belajar bersama. Konsepnya menawarkan kemudahan mempelajari sebuah mata pelajaran langsung bersama siswa yang cukup ahli di bidangnya. Mejakita sendiri didirikan oleh 10 orang anak muda.

“Kami percaya setiap anak bangsa bisa membuat perubahan untuk kemajuan Indonesia. Tekad ini diawali dengan berbagi apa yang kita miliki dan dengan melayani sesama, MejaKita adalah langkah pertama kami dalam berbagi, melayani, dan mewujudkan cita-cita membangun bangsa yang cerdas, berwawasan, dan mandiri,” kata CEO & Co-Founder MejaKita Aktsa Efendy.

Para siswa dibebaskan untuk memilih ragam topik yang diinginkan / Mejakita

Saat ini MejaKita sudah menyajikan materi dari empat mata pelajaran untuk tingkat menengah pertama (SMP), yaitu Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Penyajian materi dilakukan secara tematis dan dilengkapi dengan forum diskusi yang dapat dimanfaatkan untuk tanya-jawab. MejaKita juga menyediakan fitur “Tanya PR” untuk memudahkan pengguna dalam bertanya soal pekerjaan rumah (PR) langsung dengan para kontributor MejaKita.

Ke depannya akan ditambahkan dan dikembangkan pula mata pelajaran lainnya di Mejakita, khususnya untuk tingkat dasar (SD) dan menengah atas (SMA).

Difasilitasi secara menyeluruh oleh Dicoding

Demi mewujudkan visi dan misi Mejakita, Dicoding memberikan dukungan berupa pengembangan secara menyeluruh. Dicoding adalah platform online yang menghubungkan kebutuhan publik akan teknologi dengan keahlian para developer di Indonesia.

“Kami bangga dapat bekerja sama dan mendukung tim MejaKita dalam mewujudkan ide membuat platform belajar-mengajar interaktif bagi kemajuan pendidikan di Indonesia,” kata CEO Dicoding Narenda Wicaksono.

Saat ini Mejakita bisa diakses di desktop dan versi mobile web. Anda yang ingin berbagi pengetahuan dan membantu lebih banyak anak-anak Indonesia, bisa langsung melakukan pendaftaran dengan menggunakan email atau mengkoneksikan akun Facebook dan Google. Seluruh materi pelajaran di MejaKita tidak berbayar dan disajikan dengan gaya bahasa yang ringan dan mudah dicerna.

Waktunya Menentukan Strategi Yang Tepat Untuk Perkembangan Startup

Hari pertama Echelon Indonesia 2016 Scale Stage diramaikan dengan kehadiran speaker yang memiliki prestasi serta bisnis yang terbilang sukses. Tahun ini Echelon Indonesia memberikan sesi Master Class kepada peserta Echelon untuk bisa mempelajari lebih lanjut, teknologi apa yang sesuai, CTO seperti apa yang ideal hingga UI/UX apa yang pas untuk website usaha.

Salah satu pembicara yang dihadirkan adalah Founder Dicoding Narenda Wicaksono. Narenda turut membagikan beberapa rahasia serta informasi penting kepada para programmer, coder dan developer yang menghadiri acara Echelon 2016. Salah satu fakta yang dipaparkan oleh Narenda adalah 87% startup di Indonesia dijalankan secara bootstrap, 77% startup lebih fokus kepada lokal market dan 100% pendiri startup adalah seorang coder.

Narenda juga menegaskan penting untuk seorang pendiri startup untuk menemukan CTO yang sesuai dengan visi dan misi startup, karena nantinya CTO tersebut yang bertanggung jawab membuat sebuah produk yang baik dan layak untuk dijual dan melakukan proses scale-up dengan menerapkan sistem yang up-to-date dan easy-to-use.

Di antaranya adalah small size APK untuk menjangkau lebih banyak pasar. Tentunya sebagai negara yang dikenal sebagai “mobile first” tim developer dan programmer nantinya juga harus mampu untuk menciptakan network dan desain yang baik.

Di akhir presentasinya, Narenda turut memberikan beberapa masukan kepada investor dan venture capitalist yang tertarik untuk berinvestasi kepada startup di Indonesia.

“Saya juga ingin memberikan rekomendasi kepada pendiri startup hingga investor untuk mulai mencari tenaga coder, programmer dan developer di luar Jakarta, kemudian untuk investor investasi di early stage menjadi hal yang krusial,”kata Narenda.

Educa Studio berani bermain di produk “niche

Di kesempatan yang berbeda, Founder dan CEO Educa studio Andi Taru turut berbagi rahasia sukses startup yang dimilikinya. Sebagai salah satu pembuat permainan edukasi lokal yang menjalankan bisnisnya di awal secara bootstrapping, saat ini Educa Studio telah mengalami peningkatan dari jumlah pengguna hingga permainan yang dihasilkan, dengan strategi membuat permainan yang “niche” dan enggan untuk dibuat oleh pemain lainnya.

“Selama ini saya melihat masih jarang startup atau perusahaan teknologi dan pembuat aplikasi yang mengembangkan permainan edukasi, justru kami dari Educa Studio melihat pilihan tersebut berpotensi besar untuk dikembangkan,” kata Andi

Dalam sesi Master Class tersebut, Andi juga berbagi rahasia sukses bagaimana caranya untuk mendapatkan pengguna yang banyak, dengan memanfaatkan kesempatan menjadi speaker atau pembicara di berbagai acara konferensi teknologi.

“Dari situ nantinya media akan melihat bisnis Anda, dan mulai tertarik untuk mengembangkan, untuk itu selain media sosial manfaatkan acara-acara yang bisa digunakan untuk branding dan promosi,” kata Andi

Panggung scale di Echelon 2016 diwarnai dengan kehadiran pembicara yang cukup banyak membantu peserta untuk meningkatkan bisnis yang dimiliki dengan menerapkan teknik, sistem dan teknologi yang tepat.

Panggung scale di hari pertama juga dihadiri oleh, ANNA REHERMANN Founder, Growth Hacking Asia, Head of Elastic Computing Services, Aliyun XIANGLONG HUANG, Director Of Growth, MOX Ryan Shuken, Head of International Business (Technology Services), CodeStore – N’osairis Akshay Arora, Founder & CEO, Dycode Andri Yadi, Founder & CEO Kennedy, Voice & Berliner Dian Noeh Abubakar, UX Consultant, Netizen Experience Mike Wong.