Bawa Terobosan Baru di Bisnis Kopi Kekinian, Jago Coffee Terapkan Konsep “Mobile Cafe Chain”

Minum kopi bagi orang Indonesia kini sudah menjadi gaya hidup, bukan lagi sekadar minuman penghilang kantuk. Meski pemain di segmen ini sudah beragam, masih ada celah yang bisa dikembangkan, seperti yang kini diupayakan oleh Jago Coffee.

Startup ini didirikan oleh Yoshua Tanu (CEO) dan Christopher Laurence Oentojo (CTO). Yoshua sendiri merupakan barista dan pemilik usaha dari kafe kopi St. Ali dan Common Grounds Coffee Roastery, sementara Christopher sebelumnya bekerja di Gojek sebagai VP of Product.

Kepada DailySocial, Yoshua menceritakan bahwa alasan di balik konsep mobile coffee chain sebenarnya keinginan untuk mendekatkan kopi kepada konsumen tanpa harus datang ke gerai kopi atau menunggu dari pesanan kurir online. Kurir online menurutnya memang memudahkan orang untuk memesan kopi, tapi ada yang harus dikorbankan, yakni turunnya kualitas rasa kopi.

“Kami ingin menawarkan kopi berkualitas tinggi freshly made oleh barista pribadi yang datang langsung ke konsumen. Harga kopi kami meski lebih murah, tapi menggunakan bahan-bahan berkualitas tinggi, direct trading dari petani kopi lokal, kami pakai kopi arabika, susu segar, dan tidak ada produk dari kaleng,” terangnya, Kamis (13/8).

Pemesanan kopi Jago dilakukan sepenuhnya secara digital melalui aplikasinya dan sudah terhubung dengan uang elektronik Gopay untuk pembayarannya. Aplikasi akan menghubungkan langsung ke perangkat mitra Jago terdekat dari lokasi konsumen.

Mitra akan mendatangi lokasi dan menyiapkan pesanan di tempat dan mengantarkannya, sehingga konsumen tidak perlu pergi ke kafe. Menu kopi yang bisa dinikmati seharga Rp18 ribu, dengan pilihan mulai dari “So So Good” atau es kopi susu, “Tanah Airku” yang merupakan seduhan kopi dingin dengan sedikit kayu manis, “Something Fresh” atau kopi hitam panas, dan “Something Fruity” yang isinya adalah kopi hitam panas dengan rasa buah.

UI/UX Aplikasi Jago Coffee / Jago Coffee
UI/UX Aplikasi Jago Coffee / Jago Coffee

Berdayakan pengusaha mikro

Misi lainnya yang ingin Yoshua salurkan adalah memberdayakan pengusaha mikro untuk memiliki bisnis sendiri dengan menjadi mitra Jago. Mereka dilatih menjadi barista profesional sekaligus pemilik bisnis.

Sebelum terjun ke lapangan, mitra tersebut akan dilatih selama dua minggu untuk mempelajari kemampuan soft skill hingga hard skill untuk melayani konsumen, cara menyeduh kopi, hingga berlatih menaiki sepeda itu sendiri. Pasalnya, Jago memanfaatkan sepeda elektrik untuk kendaraan mitra menemui konsumennya.

Setiap satu unit sepeda, mitra dapat menjual hingga 125 cup dengan jarak tempuh hingga 35 km. Sepeda ini adalah hasil kemitraan perusahaan dengan pengembang sepeda elektrik.

“Program kemitraan ini kami buat karena ada aspirasi yang datang dari anggota asosiasi barista bahwa mereka ingin punya kedai sendiri. Tapi itu akan susah kalau belum ada ‘nama’ untuk marketing-nya. Jadi kami perkenalkan mereka sebagai micro business owner.”

Di tambah, ia ingin memajukan pengusaha mikro “gerobakan” dari persepsi datang dari kalangan ekonomi bawah. Menurutnya, mereka sekarang memiliki kepercayaan tinggi bahwa produk kopi yang dijual Jago punya kualitas tinggi dan sudah terhubung dengan teknologi.

Yoshua mengungkapkan mitra yang ingin bergabung tidak dikenakan biaya. Mereka akan mendapat starter kit untuk memulai usaha senilai Rp4 juta yang terdiri dari satu set alat manual brewing (electric kettle, V60 plastic dripper, range server, digital scale, dan paper filter); helm sepeda; sling bag; lap mikrofiber dan plas chamois; dan jaket.

Seluruh starter kit akan menjadi hak milik dengan skema cicilan selama 12 bulan. Sementara sepeda elektrik akan dipinjamkan selama menjadi mitra Jago. Jago akan menyediakan produk minuman kopi untuk dijual mitra dan perusahaan akan mendapat fee dari setiap penjualan yang berhasil.

“Saat ini kita ada 14 mitra Jago dengan radius 8 km dari Kuningan, Jakarta yang bisa jangkau ke Pondok Indah, daerah Utara, hingga Monas.”

Rencana dan tantangan Jago

Konsep yang ditawarkan Jago Coffee bisa dibilang segar dari apa yang ditawarkan pemain kedai kopi kebanyakan. Umumnya mereka mengandalkan aset fisik untuk mendekatkan mereka dengan konsumen dan membuka toko online atau aplikasi untuk pengiriman dengan kurir online. Sementara Jago memilih konsep gerai mobile agar dapat lebih mudah jemput bola.

“Kita bisa jual harga rendah karena kita enggak ada overhead cost, labor cost karena mitra itu owner sekaligus operator. Mereka sendiri yang meng-operate.”

Yoshua menuturkan karena ini masih baru maka tantangan perusahaan adalah mengedukasi kepada konsumen, meski produk diantarkan dengan “gerobak modern” tapi kualitas kopi yang disajikan fresh dan berkualitas tinggi. Juga dibantu aplikasi digital untuk backbone-nya.

Perusahaan berencana untuk terus menambah mitra dengan target tambahan lima orang per bulannya. Ia tidak ingin penambahan terlalu agresif untuk menjaga jumlah supply dan demand. Untuk pengembangan menu nantinya tidak akan terbatas di variasi kopi saja, tapi akan menyebar ke makanan, seperti snack.

Secara entitas, Jago Coffee telah menerima investasi dengan nilai dirahasiakan dari Common Grounds, perusahaan yang Yoshua pimpin sendiri. Ia membuka kemungkinan untuk melakukan pendanaan eksternal pada tahun depan.

“Bentuknya sebagai investasi saja, Common Grounds sebagai investornya, masing-masing entitas berdiri sendiri,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Cerita Burgreens, Pionir Restoran Makanan Vegan di Indonesia

Dulu, untuk menemukan restoran khusus makanan vegan di Indonesia masih sulit, bahkan Jakarta sekalipun. Alternatif yang ada pada saat itu adalah mengunjungi restoran Cina. Kesulitan tersebut akhirnya menginspirasi Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias untuk mendirikan Burgreens. Kebetulan keduanya adalah konsumen makanan vegan.

Burgreens merupakan restoran makanan vegan yang dirancang khusus untuk lidah orang Asia. Meski menunya terfragmentasi, menariknya basis pelanggannya terbesar bukan vegetarian, melainkan orang-orang yang sadar terhadap kesehatan dan memilih untuk mengurangi konsumsi daging untuk alasan kesehatan dan lingkungan.

Tidak hanya menjadi restoran, visi dan misi dari Burgreens itu sebenarnya adalah gerakan sadar sosial bahwa makanan yang dipilih itu berasal dari alam dan petani lokal organik. “Sebagian besar bahan makan kami diambil dari petani lokal, salah satunya Yayasan Usaha Mulia dan BSP,” terang Marketing Manager Burgreens Irene Tjhai kepada DailySocial.

Bentuk bisnis Burgreens adalah ritel offline dengan 10 gerai yang tersebar di Jakarta, Bandung, dan Tangerang. Menu yang dikembangkan mulai dari makanan berat, paket katering harian, makanan beku, snack, minuman hingga makanan untuk anak.

Dalam perjalanannya, Burgreens telah menerima investasi dari ANGIN sebanyak dua kali, pada 2016 dan 2017 dengan nominal yang dirahasiakan. Perkembangan perusahaan yang pesat, akhirnya membuat Angin tertarik untuk top up masuk ke putaran terbaru.

Menurut pemberitaan di DealStreetAsia, dikabarkan Burgreens telah mengantongi pendanaan pra Seri A dari ANGIN dan Teja Ventures. Ketika dikonfirmasi ulang oleh DailySocial, Irene hanya mengatakan bahwa sebenarnya putaran tersebut masih berlangsung dan perusahaan akan mengumumkannya secara resmi.

Mulai manfaatkan teknologi digital

Irene menjelaskan sejauh ini perusahaan baru memanfaatkan kehadiran teknologi digital yang disediakan oleh mitra logistik untuk pengiriman pesanan ke konsumen. Situsnya sendiri baru menyajikan informasi mengenai menu dan direktori gerai.

Perusahaan berencana untuk merilis secara resmi aplikasinya sendiri pada dua bulan mendatang. Persiapannya sudah dilakukan sejak tahun lalu. Di dalamnya akan tersedia pilihan menu makanan sesuai preferensi lidah masing-masing, biasanya ada yang anti gluten, hanya mau vegan saja, dan sebagainya.

“Tadinya pilihan seperti itu tidak bisa jika dipesan melalui aplikasi kurir online. Tapi nanti kita bisa rincikan semua permintaan konsumen melalui aplikasi kita dan dikirim oleh kurir internal kita. Selain itu kita juga mau sediakan informasi lengkap terkait makanan organik dalam berbahasa Indonesia.”

Meski belum diresmikan, namun aplikasi ini sudah bisa diakses di Play Store.

Terpukul karena pandemi

Karena perusahaan termasuk pemain kuliner offline, secara langsung ikut terguncang karena pandemi yang saat ini masih berlangsung. Mayoritas gerainya harus ditutup pada awal PSBB diberlakukan. Meski demikian, Irene mengaku perusahaan bertekad untuk tidak mengurangi karyawan dan gaji.

“Saat PSBB, masih ada gerai kami yang tetap dibuka. Menariknya karyawan kami punya solidaritas tinggi jadi mereka memberlakukan share shift, karyawan yang kerja di gerai yang ditutup bisa kerja di gerai yang buka secara bergantian.”

Perusahaan juga terbantu dengan diberlakukannya diskon sewa dari pengelola mal. “Jujur kalau itu enggak ada, kita bakal struggling banget.”

Dalam unggahan di akun media sosial Helga pada lima bulan lalu, dia menyebutkan pandemi berdampak pada menurunnya penjualan hingga 30%. Tak hanya itu harga bahan baku yang naik tajam, penurunan jumlah kunjungan ke gerai, masalah cashflow, dan keterlambatan pembiayaan yang tidak terduga.

“Hari-hari kami dipenuhi oleh pengambilan keputusan yang mendadak. [..] Kami akan mengambil beberapa keputusan yang sangat sulit dan menghancurkan hati: melepaskan anggota baru kami yang seharusnya bekerja di gerai baru kami dan menutup beberapa toko kami,” tulisnya.

Akhirnya, seiring pelonggaran PSBB oleh pemerintah setempat pada awal Juni kemarin, Burgreens kembali membuka gerai yang berdiri sendiri (stand alone) dan menerima makan di tempat (dine-in) dan takeway.

Untuk memesan makanan, konsumen tidak perlu mengunjungi kasir, cukup memindai kode QR untuk memesan menu. Saat pembayaran pun sudah non tunai, konsumen memindai kode QRIS dari nota yang bisa digunakan oleh beragam aplikasi uang elektronik, seperti Gopay, Ovo, dan Dana.

Application Information Will Show Up Here

Usaha Rumahan Menjamur Saat Pandemi, Tips Optimalkan Media Sosial Mendongkrak Bisnis Pemula

Menurut laporan BPS bertajuk “Statistik E-commerce 2019”, tahun lalu sebanyak 15,08% dari bisnis di Indonesia dijalankan secara online, sisanya 84,92% masih offline. Namun berdasarkan hasil penelitian terbaru yang diungkap Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sepanjang masa pandemi Covid-19 tercatat ada peningkatan hingga lebih dari 300 ribu pengusaha baru yang masuk ke ranah online.

Peningkatan tersebut cukup masuk akal, pasalnya adanya pembatasan sosial dan berkurangnya aktivitas di luar rumah mendorong masyarakat lebih konsumtif melakukan transaksi melalui platform digital. Mudah ditemui juga usaha-usaha baru berbasis social commerce di sekitar kita. Mereka memanfaatkan media sosial untuk memulai wirausaha. Ada yang berjualan makanan, pakaian, hingga jasa.

Beberapa melakukan pekerjaan tersebut penuh waktu menggantikan pekerjaan sebelumnya, sebagian lagi mengisi waktu luang di sela-sela pekerjaan utamanya. Kesempatannya memang cukup menjanjikan, karena pilihan platform promosinya juga sangat beragam. Nah, barangkali Anda juga mau ikut mencoba meramaikan tren yang kami sebut dengan “new economy” tersebut?

Tulisan ini akan membahas beberapa kiat yang dirangkum dari berbagai sumber dan narasumber terkait mengoptimalkan media sosial untuk bisnis tahap awal.

Manfaatkan fitur jualan di media sosial

Bila dipakai secara tepat, media sosial dapat membantu usaha rintisan Anda berkembang. Untuk memaksimalkan publikasi barang dagangan salah satunya bisa dengan manfaatkan fitur-fitur yang memang disediakan platform untuk menunjang bisnis. Misalnya di Facebook, saat ini sudah ada fitur Marketplace, memungkinkan pengguna untuk membuat konten jualan yang lebih terstruktur di sana.

Untuk memulai berjualan dengan fitur tersebut, bisa membuka menu yang tertera di aplikasi, atau melalui tautan berikut ini: https://www.facebook.com/marketplace.

Tampilan laman Facebook Marketplace
Tampilan laman Facebook Marketplace

Calon pembeli juga turut dimudahkan. Selain karena informasi yang dibutuhkan sudah terpampang secara jelas, hal ini memudahkan mereka terhubung dengan Anda sebagai pembeli secara mudah, walaupun tidak saling berteman. Adanya fitur geolokasi juga memungkinkan penjual bertemu pelanggan potensial yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Instagram juga memiliki fitur yang mengakomodasi pebisnis mikro untuk mudah berjualan. Bernama “Instagram Shopping”, pengguna bisa menampilkan katalog dan daftar harga pada foto-foto yang dipublikasikan. Selain itu, pengalaman pengguna yang ditawarkan memungkinkan mendorong calon pembeli untuk terhubung dengan kanal penjualan Anda – baik untuk berkomunikasi langsung, lewat online marketplace, atau lainnya.

Fitur katalog di Instagram
Fitur katalog di Instagram

Akun pribadi atau bisnis?

Dimulai dari skala kecil, biasanya media sosial yang dimanfaatkan adalah akun personal pemilik bisnis. Tidak salah, tapi ada baiknya mulai memikirkan pembuatan akun media sosial khusus untuk brand produk yang dijajakan. Di Facebook bisa membuat Fans Page, di Instagram dan WhatsApp bisa membuat akun bisnis. Masing-masing punya keunggulan, misalnya memudahkan kita untuk memanfaatkan fitur iklan atau mendapatkan fitur-fitur khusus bisnis.

Dari sisi brand awareness, hal ini memungkinkan calon pengguna menilai lebih obyektif tentang kualitas produk. Penggunaan akun personal untuk bisnis lebih rentan dengan penilaian subyektif – ambil contoh ada beberapa orang yang tidak mau mencoba beli karena tidak sepemikiran dengan pemilik bisnis, misalnya faktor politik, klub sepak bola favorit, hingga faktor lain. Beberapa brand yang sehari-hari kita gunakan kebanyakan juga berprinsip seperti itu: membawa konsumen menilai obyektif kualitas produknya tanpa perlu mempertimbangkan siapa di balik produk tersebut.

Di titik atau kondisi tertentu, “siapa founder bisnisnya” juga berpengaruh. Dengan asumsi kita ini adalah orang yang biasa-biasa saja, fokus ke brand dapat dijadikan pilihan. Sama seperti orang, produk juga memiliki persona yang bisa didesain empunya.

Apakah perlu beriklan?

Jawabannya tentu akan berbeda-beda, namun beberapa hal ini mungkin bisa jadi pertimbangan. Pada dasarnya manfaat beriklan di media sosial untuk membuat postingan dilihat lebih banyak orang. Karena berbayar, pengguna bisa menentukan sendiri demografi pengguna seperti apa yang dituju, misalnya berdasarkan lokasi, usia, pekerjaan, dan lain-lain.

Namun jika Anda benar-benar sedang memulai, ada baiknya untuk menerapkan prinsip Product-Market Fit, yakni berupaya memastikan bahwa produk yang akan dijual benar-benar sesuai dan ada pembelinya. Jika produk tersebut berupa makanan, pastikan rasanya disukai banyak orang dengan harga yang sesuai. Untuk menemukan kesimpulan tersebut, proses Product Market Fit dilakukan dengan menguji penerimaan sebuah produk di skala pasar yang lebih kecil.

Anda bisa memulai mempromosikan produk tersebut di lingkaran pertemanan terdekat, seperti melalui story di WhatsApp, postingan di Facebook, Instagram, Tiktok, dan lain-lain. Lihat bagaimana respons mereka. Jika sudah baik maka bisa dilanjutkan, termasuk memperluas cakupan pasar dengan beriklan.

Namun jika ternyata responsnya masih belum sesuai harapan, ada baiknya untuk melakukan evaluasi dengan memikirkan kembali: (1) apakah produknya kurang sesuai ekspektasi pasar? (2) apakah harganya terlalu tinggi? (3) apakah ternyata produk tersebut harus disuguhkan kepada segmentasi konsumen tertentu?

Alih-alih mendapatkan return of investment (ROI), alias hasil investasi yang sesuai, beriklan tanpa strategi hanya akan membuang-buang dana, tenaga, dan waktu.

Konten bersponsor di TikTok
Konten bersponsor di TikTok

Saat beriklan juga pastikan memilih platform yang tepat. Seperti diketahui, saat ini ada beberapa aplikasi media sosial populer di Indonesia. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri – terutama didasarkan pada jenis konten yang diakomodasi dan basis pengguna. Berikut ini contoh pertimbangan yang bisa dipilih:

  • Jika Anda menjual roti yang memiliki visual apik, maka Instagram dapat menjadi galeri produk yang menawan. Beriklan lewat layanan tersebut berpeluang untuk mendapatkan peningkatan traksi bisnis.
  • Jika Anda menjual buku dari penerbit, maka pemasaran model bercerita akan lebih diminati. Platform seperti Facebook dapat dipilih untuk beriklan dan meningkatkan brand awareness.
  • Jika Anda berbisnis pakaian lalu ingin menyuguhkan iklan dengan konten yang unik, beriklan di TikTok mungkin bisa relevan untuk sukseskan kampanye produk.

Tidak ada rumus yang pasti. Semua formula harus diuji dan mendapatkan pembaruan. Tren di media sosial bersifat sangat dinamis.

Perlukah jasa influencer?

Istilah “endorse produk” juga populer di tengah perkembangan media sosial. Pengguna dengan followers besar – biasanya datang dari kalangan figur publik, memberikan rekomendasi kepada netizen terkait penggunaan produk tertentu. Mereka disebut dengan influencer. Brand harus mengeluarkan sejumlah uang atau dapat melakukan kerja sama dengan mekanisme tertentu (masing-masing influencer memiliki model kesepakatan berbeda).

Apakah efektif memakai jasa influencer untuk meningkatkan penjualan produk? Konsep dasar kerja influencer adalah mempengaruhi orang supaya menggunakan apa yang ia gunakan. Tarifnya akan bergantung popularitas influencer tersebut. Beberapa influencer dengan kredibilitas tinggi hanya mau mengulas produk yang berkualitas juga (yang benar-benar mereka gunakan atau makan). Beberapa lainnya sekadar mem-posting.

Bersifat lebih personal, latar belakang si influencer kadang juga berpengaruh pada image brand produk. Jika Anda benar-benar merasa perlu melakukan pemasaran ini, pastikan kalangan follower si influencer sesuai dengan target pasar. Ini bisa dilihat dari brand yang terlebih dulu memanfaatkan jasanya, melihat postingan di akunnya, atau interaksi mereka dengan penggunanya. Karena berbayar, biasanya kita berhak memberikan arahan konten yang akan dipublikasikan – misalnya dengan menekankan keunggulan dari produk yang dijual.

Alternatif lain adalah dengan membuat testimoni dari pelanggan sebelumnya, kemudian diiklankan ke media sosial.

Tetap relevan di media sosial

Menyikapi kondisi tren di media sosial yang dinamis, pendekatan bisnis di dalamnya juga perlu selalu beradaptasi. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:

  • Amati trending topic atau topik bahasan di media sosial. Ini bisa dilakukan secara manual di masing-masing aplikasi ataupun menggunakan alat bantu.
  • Gunakan fitur analitik di masing-masing media sosial untuk melihat kebiasaan dan tren pengguna. Misalnya Facebook Analytics, Instagram Insight, Twitter Analytics, TikTok Analytics – dan fitur analitik lain yang mengikat di media sosial tertentu.
  • Ikuti akun-akun yang memiliki pengaruh besar mendorong terbentuknya tren atau topik perbincangan di media sosial.

Manfaat lain yang bisa didapat dengan mengikuti tren di media sosial adalah memungkinkan bisnis menemukan momentum untuk meningkatkan promosi.

Storie App Aims to Become “Social Commerce”, Providing Honest Review of Beauty Products

The use of social media for sales has been very common in this industry. There is a term used to refer to this concept, it’s social commerce. In the past year, platforms with this concept are emerging, such as Woobiz and Chilibeli.

This is an issue that inspired several Alibaba Group UCWeb alumni consisting of Liu Feida, Rizky Maulana, and HE Yaoming to contribute to the challenges of the Indonesian beauty industry through the social commerce platform, Storie.

Regarding the potential of social commerce Rizky said, “We see that social media is driving the trend including the beauty industry. Therefore, Storie was founded by combining social media with e-commerce.”

He said that Storie’s basic idea was to invite Indonesian women to be more confident in embracing their true selves. Furthermore, a beauty app launched, offering honest reviews of makeup, skincare, and contemporary lifestyle.

In this application, users are offered honest reviews from beauty vloggers and/or the general public about makeup and skincare trends without having to fear getting “bullied” or being ridiculed by the audience. Storie wants to provide a safe place for users to express themselves and their passion in the beauty industry.

Beautytech in Indonesia

With a population of more than 130 million women, the Indonesian beauty industry is a market with many opportunities while at the same time requiring specific ways of entrance and to survive in this business. Previously, one of Indonesia’s beautytech platforms had secured new funding. This practically shows hope of technology penetration in the beauty industry.

“Indonesia is a blue ocean market for the beauty industry, we see more accessible information through digital media and channels. It’s easier for local and international products to enter the Indonesian market and form a very dynamic market where quality becomes crucial but not the only success factor for a product,” Rizky explained.

In terms of strategy, Storie intend to capture the demand and pain points in today’s society. One of them is inaccurate information and the lack of a community with a positive vibe. The company, entering one year old in May, has also launched an application for Android users with total downloads exceeding 500 thousand and around 100 thousand active users per day.

In terms of content curation, the company has dedicated two special teams, the QC (Quality Control) team and the content standardization team to set benchmarks and filter the contents on the platform. During the pandemic, there are many changes occurred in the business plan and monetization strategy, but the company tried to see this as a momentum to be able to innovate better.

Business strategy

In terms of monetization, Rizky revealed that the revenue is mostly comes from brand deals launching campaigns and products. “In the future, we will work with all brands to make their products available at Storie,” Rizky added.

In the near future, Storie will also launch a new initiative on its platform to facilitate transactions in the application and perfect its social commerce concept.

In late 2019, the company was selected as one of three Indonesian startups to participate in the second batch of Sequoia Capital’s accelerator program, Surge. Alpha JWC Ventures also participated in a seed round through this Surge program.

Entering the new normal, the company sees hope “As a dynamic company, as well as a society that is increasingly moving towards digital, the team believes there is always an opportunity to develop more.

“Covid-19 is quite inevitable and has changed how the world works also business and technology, and everything will lead to a digital platform, digitizing all lines of life. We build a company that is ready to transform to answer that challenge,” Rizky concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Aplikasi Storie Suguhkan Ulasan Jujur tentang Produk Kecantikan, Berambisi Jadi “Social Commerce”

Pemanfaatan media sosial untuk kepentingan penjualan sebenarnya sudah menjadi hal yang lazim. Ada istilah yang lebih sering digunakan untuk menyebut konsep ini, yakni social commerce. Dalam setahun terakhir, platform yang mengusung konsep tersebut mulai banyak bermunculan, sebut saja Woobiz dan Chilibeli.

Hal tersebut dilihat oleh beberapa alumni UCWeb Alibaba Group yang terdiri dari Liu Feida, Rizky Maulana, dan HE Yaoming sebagai sebuah kesempatan, untuk bisa berkontribusi dalam menjawab tantangan dunia kecantikan Indonesia melalui platform social commerce Storie.

Mengenai potensi social commerce Rizky menyampaikan, “Kami melihat media sosial telah menjadi alat penggerak tren termasuk dunia kecantikan. Oleh karena itu Storie kami dirikan, dengan mengombinasikan antara media sosial dengan e-commerce.”

Pihaknya mengungkapkan bahwa ide dasar Storie adalah untuk mengajak perempuan Indonesia lebih percaya diri dalam menilai diri mereka masing-masing. Dari situ, lalu diluncurkan sebuah aplikasi kecantikan yang menjunjung tinggi kejujuran membahas makeup, skincare, dan lifestyle kekinian.

Dalam aplikasi ini, pengguna ditawarkan review jujur dari para beauty vlogger dan atau masyarakat pada umumnya tentang tren makeup dan skincare tanpa harus takut mendapatkan “bully” atau cemooh oleh audiens. Storie ingin menyediakan tempat yang aman untuk pengguna mengekspresikan diri dan passionnya di dunia kecantikan.

Beautytech di Indonesia

Dengan jumlah populasi perempuan lebih dari 130 juta, industri kecantikan di Indonesia adalah sebuah market yang menjanjikan banyak kesempatan sekaligus membutuhkan cara yang tepat sasaran untuk bisa masuk serta bertahan dalam bisnis ini. Sebelumnya, salah satu platform beautytech Indonesia juga baru saja mendapatkan pendanaan. Hal ini menunjukkan adanya harapan pada penetrasi teknologi di dunia kecantikan.

“Indonesia is a blue ocean market for beauty industry, kami melihat dengan semakin mudahnya akses informasi melalui media dan kanal digital. Semakin mudahnya produk lokal dan juga internasional memasuki pasar Indonesia membentuk suatu pasar yang sangat dinamis dimana kualitas dan mutu dari sebuah produk akan sangat menentukan tapi tidak menjadi satu satunya faktor keberhasilan sebuah produk,” jelas Rizky.

Dari sisi strategi, Storie mencoba menangkap keinginan dan pain point yang di hadapi masyarakat saat ini. Salah satunya adalah informasi yang kurang akurat serta kurangnya komunitas yang membawa vibe positif. Perusahaan yang genap berusia satu tahun pada bulan Mei kemarin ini juga telah meluncurkan aplikasi untuk pengguna Android dengan total unduhan melebihi 500 ribu serta pengguna aktif sekitar 100 ribu per hari.

Dari sisi kurasi konten, pihaknya menyebutkan telah mendedikasikan dua tim khusus, yaitu tim QC (Quality Control) serta tim standardisasi konten untuk menetapkan benchmark dan menyaring konten-konten yang ada dalam platform. Selama pandemi ini, diakui ada banyak perubahan yang terjadi dalam rencana bisnis dan strategi monetisasi, namun perusahaan mencoba melihat hal ini sebagai sebuah momentum untuk bisa berinovasi lebih baik.

Rencana bisnis

Dalam monetisasi bisnis, Rizky menyimpulkan bahwa selama ini revenue datang dari brand deals yang ingin meluncurkan campaign maupun launching produk. “Ke depannya kami akan berkerja sama dengan semua brand agar produknya dapat di jual di Storie,” Rizky menambahkan.

Dalam waktu dekat, Storie juga akan meluncurkan inisiatif terbaru dalam platformnya untuk mempermudah transaksi dalam aplikasi serta menyempurnakan konsep social commerce miliknya.

Di akhir tahun 2019 lalu, perusahaan ini terpilih menjadi salah satu dari tiga startup Indonesia untuk mengikuti program akselerator Sequoia Capital, Surge batch kedua. Alpha JWC Ventures juga turut berpartisipasi dalam seed round bersama melalui program Surge ini.

Memasuki tatanan new normal perusahaan melihat adanya harapan” Sebagai perusahaan yang dinamis, serta masyarakat yang semakin bergerak ke arah digital, pihaknya meyakini adanya kesempatan untuk bisa semakin berkembang.

“Tidak dapat dimungkiri Covid-19 telah mengubah tatanan dunia dan bisnis serta teknologi, dan semua akan mengarah ke platform digital, digitalisasi semua lini kehidupan. Dan kami adalah perusahaan yang siap bertransformasi menjawab tantangan itu,” tutup Rizky.

Application Information Will Show Up Here

Kick Avenue Berambisi Menjadi Juara untuk Marketplace Sneaker

Semakin matangnya adopsi teknologi di Indonesia ditandai dengan orang yang sudah semakin biasa berbelanja secara online. Ini berbanding lurus dengan pertumbuhan bisnis e-commerce. Salah satu yang mencoba peruntungan adalah Kick Avenue. Hadir sebagai platform marketplace sneaker di Indonesia, mereka cukup percaya diri dengan capaian lebih dari 50 ribu transaksi dalam kurun waktu tiga tahun beroperasi.

Kick Avenue tepatnya dimulai pada Mei 2017 oleh Christopher Eko (CEO), Alwin Sasmita (CFO), dan Reinaldo Gunawan (CTO). Christopher menceritakan mereka sudah berhasil mendapatkan suntikan dana dari angle investor tepat ketika bisnis Kick Avenue baru berjalan enam bulan.

“Memasuki tahun ke 3, Kick Avenue sudah berhasil menjangkau lebih dari ratusan ribu pengguna (baik pembeli maupun penjual) dan berupaya untuk mengembangkan jaringan bisnis ke kategori luxury handbags dan collectibles lainnya,” ujar Christoper.

Kick Avenue berusaha memosisikan dirinya sebagai marketplace sneaker yang kredibel, untuk itu mereka membuat sistem autentikasi yang bertujuan untuk memastikan keaslian produk yang diperjual-belikan di sistem mereka. Selain itu Kick Avenue juga menglaim telah mengadopsi sistem bursa, yang nantinya harga produk yang terendah akan ditampilkan terlebih dahulu. Tujuannya agar konsumen mendapatkan sneaker dengan harga yang sesuai dengan harga pasaran dan dijadikan harga jual bagi pengguna yang ingin menjual koleksi sneaker mereka.

“Di dalam paket pembelian kami terdapat kartu garansi dengan nomor seri, tanggal verifikasi yang telah ditandatangani oleh verifikator sehingga dijamin aman dan original. Kami juga memberlakukan transparansi harga untuk ribuan database penjual yang ada di platform kami, karena barang-barang hypebeast seperti ini sangat rawan untuk dilakukan pemalsuan dan permainan harga,” lanjut Christoper.

Pandemi sejatinya telah menurunkan omzet banyak pedagang. Beberapa nama di sektor e-commerce pun terpaksa gulung tikar. Kendati demikian Kick Avenue cukup optimis dengan apa yang mereka lakukan.

Mengusung visi dan misi untuk bisa menjadi marketplace otentik yang terbesar di Indonesia dan juga Asia Tenggara mereka tak hanya fokus pada bisnis, tetapi juga teknologi. Kini mereka bisa diakses melalui website maupun teknologi dan tengah berusaha mengembangkan ke banyak hal lainnya.

“[…] teknologi menjadi fokus utama sejak awal pendirian perusahaan. Setelah menguasai pengembangan platform situs web dan aplikasi, kami berupaya juga untuk membuat system internal untuk warehousing dan authentication,” imbuh Christoper.

Kini selain sneaker brand kenamaan Kick Avenue juga mempunyai beberapa proyek pengembangan sneaker atau footwear lokal. Harapannya mereka bisa menciptakan sneaker lokal yang kekinian yang bisa bersaing di pasar global.

“Untuk proyek whitelabling footwear ini, diupayakan untuk melakukan strategic partnership baik dengan sisi manufaktur juga dengan sisi marketing. 2 sektor yang membutuhkan expertise khusus dari para penggelut usaha di bidang tersebut,” tutup Christoper.

Application Information Will Show Up Here

Cerita Bartega Lakukan Transformasi Digital, Selamatkan Bisnis Saat Pandemi

Pada Juni lalu, Gojek melalui program akseleratornya Xcelerate mengumumkan 11 startup di batch keempat. Adalah Bartega yang menjadi salah satu startup terpilih untuk menerima pelatihan dari berbagai mentor terkait penyesuaian bisnis selama masa pandemi.

Bagi penikmat karya seni, nama Bartega mungkin tidak asing lagi. Bartega yang berdiri sejak 2017 awalnya dikenal sebagai penyelenggara berbagai kegiatan komunitas, seperti wine tasting dan workshop melukis di tiga kota utama, yakni Jakarta, Surabaya, dan Bali.

Bartega kini tak cuma mengadakan kelas atau workshop melukis saja, tetapi juga kelas lain, yaitu visual journaling dan merangkai bunga. Perusahaan yang digawangi oleh tiga founder ini juga memproduksi paint kit sendiri.

Selain itu, untuk menjangkau pasar yang lebih luas, Bartega menyediakan beragam konten online tutorial melalui YouTube dan Instagram. Saat ini, Bartega memiliki delapan orang tim dan 20 instruktur seni.

Selama masa pandemi Covid-19, Co-founder Bartega Nadia Daniella mengungkap bahwa situasi tersebut memaksa perusahaan untuk mengalihkan seluruh kegiatan yang tadinya offline menjadi online. Dari penyelenggaraan kegiatan workshop hingga penjualan paint kit kepada konsumennya.

Beberapa penyesuaian yang dilakukan adalah memasarkan paint kit melalui website resmi dan platform Tokopedia. Kemudian, penyelenggaraan kelas dilakukan melalui secara virtual dengan Zoom.

“Kami bersyukur [bisnis] kami tetap tumbuh di masa sulit ini. Dengan pivot seluruhnya ke online, kami dapat menjangkau lebih banyak orang di luar pulau Jawa dan Bali,” ungkap Nadia.

Sebetulnya, Bartega telah menyadari tren disrupsi digital, terutama bagi kalangan milenial. Untuk itu, perusahaan berupaya untuk mengandalkan teknologi digital pada setiap fase bisnisnya, mulai dari memproduksi karya seni via aplikasi, menghadirkan user journey yang seamless di website-nya, hingga mendistribusikan tiket acara melalui platform digital.

“Sebagai perusahaan, kami selalu digital-minded. Meskipun kami mengadakan event 100% offline, kami betul-betul berinvestasi di platform digital untuk memberikan pengalaman yang mudah bagi customer,” paparnya.

Sebagaimana diketahui, Gojek Xcelerate batch keempat sejak awal mengincar startup di bidang direct-to-consumer untuk menyesuaikan tantangan bisnis di masa pandemi. Peserta diberikan pelatihan, salah satunya untuk meminimalisasi kegagalan startup dalam mengembangkan produk/layanan dengan menerapkan teknik minimum viable product (MVP).

“Gojek Xcelerate sangat luar biasa karena setiap mentor memberikan materi dan gaya yang berbeda, mulai dari Digitaraya, Google, Gojek, dan UBS. Kami belajar banyak soal general leadership, cara membangun metrik yang tepat, dan cara menavigasi bisnis di ekosistem startup,” jelasnya.

Menjadi destinasi kreatif di Indonesia

Lebih lanjut, Nadia berujar bahwa pihaknya membawa misi untuk menjadi destinasi kreatif di Indonesia. Apalagi, kini Bartega telah memiliki basis komunitas yang kuat.

“Kami ingin membuktikan bahwa seni itu bernilai, demikian juga bagi orang-orang yang berkarir di dunia seni. Ada banyak seniman berbakat di Indonesia. Maka itu, misi kami adalah memperkenalkan seni ke berbagai kota dan menanamkan kebiasaan kreatif untuk mendorong industri kreatif,” paparnya.

Sempat Gagal, Amazara Kembali Matangkan Bisnis dengan Strategi Barunya

Didirikan pada tahun 2015 lalu di Yogyakarta, Amazara menjual sepatu dan berbagai produk lainnya secara online. Karena alasan pribadi dan persoalan manajemen, startup tersebut sempat mengalami kegagalan sekitar tahun 2019 dan memilih menutup bisnis mereka.

Namun, belajar dari pengalaman yang didapat, Founder & CEO Uma Hapsari memutuskan untuk memulai kembali bisnisnya. Dengan tim yang solid dan riset pasar yang lebih matang, Amazara kini memilih fokus untuk memproduksi dan menjual produk sepatu.

Kerja keras dan strategi yang diterapkan Uma ternyata membuahkan hasil, dalam waktu 5-6 bulan, perusahaan kembali mendapatkan pemesanan dan penambahan jumlah pelanggan.

“Karena berbagai alasan saya memutuskan untuk menutup perusahaan. namun dengan semangat baru dan memanfaatkan media sosial, Amazara bisa kembali beroperasi pada bulan Februari 2020 lalu,” kata Uma.

Bermitra dengan pengrajin sepatu dan pabrik

Untuk bisa menghasilkan berbagai produk sepatu berkualitas dan tetap relevan, Amazara menjalin kemitraan dengan beberapa pengrajin dan pabrik sepatu; jumlahnya saat ini sekitar 10 mitra. Dan guna memastikan semua proses sesuai dengan standar perusahaan, tim Amazara melakukan pemantauan dan kontrol saat proses produksi.

“Kami tidak fokus kepada growth at all cost. Model bisnis kami adalah merchandising. Artinya kami adalah pedagang dan melakukan penjualan sepatu. Kita percaya kepada kualitas dan layanan menjadi prioritas perusahaan,” kata Uma.

Saat ini perusahaan mengklaim telah memiliki sekitar 100 ribu pelanggan. Selain website, Amazara juga memanfaatkan official store di berbagai platform marketplace. Sementara untuk kanal promosi dan komunikasi, Amazara memanfaatkan akun media sosial Instagram dan WhatsApp.

“Kita belum memiliki rencana untuk meluncurkan aplikasi untuk saat ini dan ke depannya. Fokus kita adalah memproduksi sepatu yang kebanyakan diminati oleh kalangan millennial usia sekitar 17-34 tahun,” kata Uma.

Pandemi dan pendanaan

Saat pandemi Covid-19 mulai menyebar di Indonesia, penjualan sepatu produksi Amazara sempat mengalami penurunan yang drastis. Untuk mengakali kondisi tersebut, mereka kemudian menghadirkan mentoring online untuk para UKM yang ingin belajar lebih mendalam dari Uma Hapsari. Responsnya pun ternyata cukup positif, selama kegiatan tersebut berlangsung terdapat 1500 pendaftar yang tertarik untuk mengikuti sesi tersebut.

Impact dari kegiatan tersebut adalah engagement dari audiens dan tentunya awareness terhadap brand kami. Meskipun pendapatan menurun tapi kami terekspos lebih luas melalui kegiatan ini yang kami hadirkan secara gratis,” kata Uma.

Kendala lain yang dihadapi oleh Amazara saat pandemi adalah, berkurangnya produksi sepatu karena aturan PSBB yang diterapkan oleh pemerintah. Bukan hanya tidak adanya penyediaan bahan baku, namun para pengrajin juga banyak yang kembali ke kampung halaman.

“Namun bulan ini kondisi berangsur kembali normal dan produksi bisa kembali dilakukan. Kami pun mulai menerima pemesanan dari pelanggan. Untungnya kegiatan belanja online tidak pernah surut saat pandemi berlangsung hingga saat ini,” kata Uma.

Setelah melakukan diskusi dengan Salt Ventures tahun 2019 lalu, perusahaan akhirnya mengantongi pendanaan tahap awal dari mereka. Dengan pendanaan ini Amazara bukan hanya ingin menjadi platform penjualan sepatu secara online, namun juga ingin menjadi mentoring platform untuk membantu pelaku UKM lainnya menjalankan bisnis.

“Hal tersebut telah menjadi visi dan misi kami saat melakukan diskusi dengan pihak Salt Ventures. Harapannya kami bisa memberikan kontribusi kepada bisnis lainnya agar bisa maju bersama,” kata Uma.

SYCA Official Secures Seed Funding from Salt Ventures, Working on the Direct to Consumer Strategy

Utilizing social media and beauty products that are currently increasingly popular with young women in Indonesia, SYCA Official is here to offer lip tint beauty products. SYCA Official’s Co-founder, Pamela Wirjadinata said, judging from the current trends and developments in the industry, it was the right time for her with the other co-founder, Monica Tan to present a special platform for beauty products online.

“Starting with Japan in 2019, I saw many local brands with their own independent shops, especially in the beauty section. Next, Monica and I saw many opportunities to take the business in Indonesia. We feel everyone started to gain trust in beauty brands in Indonesia,” Pamela said.

Using social media accounts and marketplace services, SYCA Official wants to give options to its target users to enjoy local beauty products with quality at affordable prices. SYCA also tries to present natural products that refer to beauty trends from South Korea.

Direct to consumer business model

With the direct-to-consumer (DTC) concept, SYCA Official claims to have around 10 thousand customers who transact using marketplace services such as Shopee, Tokopedia, Sociolla, Female Daily, and Love and Flair.

Currently, the company is preparing a website that can later be accessed by customers. In terms of approach, Pamela said the strategic step became more ideal and in accordance with their concept of selling directly to the target market (DTC). The company is also trying to focus on retail and how to get the best profit margins while at the same time gaining wider brand awareness.

“This year, we target to launch a website. In accordance with the plan, within the next 1-2 months, we will release it. In terms of application, we’ll see in the future,” Pamela said.

Although they did not experience any significant changes or impacts during the Covid-19 deployment, because what they did from the beginning was online; but in terms of production of goods, Pamela mentioned having experienced problems in the matter of production because the factory could not operate normally. The delivery of goods also briefly interrupted.

“To date, we’ve sold around 17 thousand products with an average of 2000 units per month since the launch of SYCA Official. For partners, we’ve collaborated with two partners which products we bought,” Pamela said.

Backed by Salt Ventures

As a startup that offers a “new economy” approach, SYCA Official is one of the portfolios owned by Salt Ventures, which so far has invested quite a lot in new startups that offer similar business models. After securing the seed funding, with undisclosed value, SYCA Official has several business plans.

“We raised our pre-seed funding in February 2020. Next, we want to expand our line product, which is certainly in line with this marketing and brand awareness strategy with this first funding. We really hope it will help us to grow bigger and better with Salt Ventures as our partner,” Pamela said.

There are several reasons why Salt Ventures is interested in investing in startups that target beauty products and fully utilize online channels. Salt Ventures Indonesia’s Managing Partner, Danny Sutradewa mentioned three basic things that are the focus of their investment.

“Among these are the founder’s character and ability to turn ideas into reality and to navigate businesses in a variety of circumstances. We also see the SYCA business model that uses online infrastructure to make its business scalable and focus on the right target market. SYCA currently has an online presence that “In addition, the cosmetics industry is a fast-growing industry in Indonesia,” Danny said.

In addition to SYCA Official, another portfolio owned by Salt Ventures that has run a business with a similar concept but with a different product is Sneakershoot.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kantongi Pendanaan Awal dari Salt Ventures, SYCA Official Makin Mantap Perdalam Strategi “Direct-to-Consumer”

Memanfaatkan media sosial dan produk kecantikan yang saat ini makin populer di kalangan perempuan muda di Indonesia, SYCA Official hadir menawarkan produk kecantikan yaitu lip tint. Kepada DailySocial Co-founder SYCA Official Pamela Wirjadinata mengungkapkan, dilihat dari tren dan perkembangan industri keantikan saat ini, menjadi waktu yang tepat baginya bersama dengan co-founder lainnya yaitu Monica Tan untuk menghadirkan platform khusus untuk produk kecantikan secara online.

“Berawal dari inspirasi ke Jepang tahun 2019, saya melihat di sana banyak local brand yang punya independent shop sendiri, terutama di beauty section. Selanjutnya saya bersama Monica melihat banyak kesempatan yang bisa diambil untuk mengembangkan bisnis tersebut di Indonesia. We feel everyone mulai gain trust kepada beauty brand di Indonesia,” kata Pamela.

Memanfaatkan akun media sosial dan layanan marketplace, SYCA Official ingin memberikan pilihan lebih kepada target penggunanya untuk menikmati produk kecantikan lokal dengan kualitas dan harga yang terjangkau. SYCA juga mencoba untuk menghadirkan produk yang natural mengacu kepada tren kecantikan dari Korea Selatan.

Model bisnis direct-to-consumer

Mengusung konsep direct-to-consumer (DTC) saat ini SYCA Official mengklaim telah memiliki sekitar 10 ribu pelanggan yang melakukan transaksi memanfaatkan layanan marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Sociolla, Female Daily, dan Love and Flair.

Untuk saat ini perusahaan tengah mempersiapkan website yang nantinya bisa diakses oleh pelanggan. Disinggung mengapa pendekatan tersebut yang diambil oleh mereka, menurut Pamela langkah strategis tersebut menjadi lebih ideal dan sesuai dengan konsep mereka yaitu menjual langsung ke target pasar (DTC). Perusahaan juga mencoba untuk fokus kepada ritel dan bagaimana nantinya bisa mendapatkan profit margin yang terbaik sekaligus mendapatkan brand awareness yang lebih luas lagi.

“Tahun ini kita memiliki target untuk bisa meluncurkan website. Jika sesuai dengan rencana dalam waktu 1-2 bulan ke depan akan kita rilis. Untuk aplikasi masih melihat kondisi ke depannya,” kata Pamela.

Meskipun tidak mengalami perubahan atau dampak yang signifikan selama penyebaran Covid-19, karena yang mereka lakukan sejak awal adalah secara online; namun dari sisi produksi barang, Pamela menyebutkan sempat mengalami kendala dalam soal produksi karena pabrik tidak bisa beroperasi secara normal. Pengiriman barang juga sempat terganggu.

“Sejauh ini kita telah menjual sekitar 17 ribu produk dengan rata-rata 2000 unit per bulannya sejak diluncurkannya SYCA Official. Untuk mitra kami menjalin dengan dua mitra yang semua produknya kami beli putus dari mereka,” kata Pamela.

Didukung oleh Salt Ventures

Sebagai startup yang menawarkan pendekatan “new economy”, SYCA Official merupakan salah satu portofolio milik Salt Ventures, yang selama ini cukup banyak berinvestasi kepada startup baru yang menawarkan model bisnis serupa. Setelah mengantongi pendanaan awal nominal yang tidak disebutkan, SYCA Official memiliki beberapa rencana bisnis.

We raised our pre-seed funding bulan Februari 2020 lalu. Selanjutnya kami ingin melakukan ekspansi produk line, yang tentunya in line with marketing and brand awareness strategy dengan pendanaan pertama ini. We really hope it will help us to grow bigger and better with Salt Ventures as our partner,” kata Pamela.

Ada beberapa alasan mengapa Salt Ventures tertarik untuk berinvestasi kepada startup yang menyasar kepada produk kecantikan dan sepenuhnya memanfaatkan channel online. Menurut Managing Partner Salt Ventures Indonesia Danny Sutradewa, terdapat 3 hal mendasar yang menjadi fokus investasi mereka.

“Di antaranya adalah karakter dan kemampuan pendiri untuk menjalankan ide menjadi kenyataan dan untuk menavigasi bisnis dalam berbagai keadaan. Kami juga melihat model bisnis SYCA yang menggunakan infrastruktur online untuk membuat bisnisnya scalable dan fokus pada target pasar yang tepat. SYCA saat ini memiliki kehadiran online yang kuat. Selain itu industri kosmetik adalah industri yang berkembang pesat di Indonesia,” kata Danny.

Selain SYCA Official, portofolio milik Salt Ventures lainnya yang telah menjalankan bisnis dengan konsep serupa namun dengan produk yang berbeda adalah Sneakershoot.