“Micro Payment” Jadi Alternatif Industri Media untuk Mendorong Monetisasi Konten Berbayar

Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dalam hal konsumsi digital. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Seluruh Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet pada kuartal kedua 2020 telah mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari total populasi.

Pasar Indonesia juga cukup tinggi dalam hal konsumsi konten digital, terutama yang berkaitan dengan segmen hiburan, seperti musik, film, dan video. Sebagian besar platform digital sudah mulai menerapkan sistem berlangganan (subscription) untuk memonetisasi bisnisnya.

Namun, bagaimana dengan monetisasi di industri media? Apakah pasar Indonesia sudah siap untuk mengonsumsi konten berbayar?

Simak paparan dan temuan menarik yang akan dibagikan oleh Founder & CEO DailySocial Rama Mamuaya, Co-founder & CCO Fewcents Dushyant Khare, dan Founder & Editor in Chief DealStreetAsia Joji Thomas Philip pada sesi bertajuk “Micro Payment: Is it possible to convert free readers to start paying for content?” yang diadakan Indonesia Digital Association.

Arti pandemi terhadap industri media

Sejumlah media (mungkin) baru terdorong untuk mulai memonetisasi kontennya di situasi pandemi. Hal ini juga yang salah satunya mulai diterapkan oleh DailySocial efektif sejak akhir November 2020.

Rama mengatakan, DailySocial sedang mencoba model berlangganan dengan tiga skema, yakni pay per view, monthly, dan annually subscription. Menurutnya, ketiga skema ini dipilih karena konsep berlangganan berita terbilang yang lebih preferable bagi pembaca Indonesia.

“Sudah ada konten berlangganan semacam Netflix dan Spotify, but when it comes to news, konsep ini terbilang weird bagi pasar Indonesia. Setelah kami coba, hasilnya monthly revenue dan annual membership kami mulai naik. Ini tidak terduga karena 80% konten kami berbahasa Indonesia. Apalagi di awal kami sempat khawatir trafik akan turun,” ujar Rama.

Dari sisi bisnis, Rama menilai sistem berlangganan dapat membantu team bisnis dan editorial dalam membuat keputusan. Hal ini karena biasanya kedua tim ini dinilai sering berbenturan jika bicara soal memproduksi konten berkualitas, tetapi bisa dimonetisasi. “Dengan sistem berlangganan, kami jadi tahu kategori konten seperti apa yang banyak dibaca pengguna,” tambahnya.

Sementara menurut Joji, pandemi membawa dampak positif terhadap bisnisnya. Dengan situasi Work From Home (WFH), masyarakat memiliki waktu untuk mengeksplorasi konten. Dan hal ini berdampak terhadap peningkatkan jumlah pelanggan sebesar 60% dibandingkan 2019.

Sejak awal berdiri, ungkapnya, DealStreetAsia memang berkomitmen untuk membangun world class jorunalism product yang tidak bertumpu pada trafik, tetapi dari subscription. Mereka berupaya memproduksi konten yang membawa impact dan value kepada pembaca sehingga mendorong kemauan pembaca untuk membayar.

“Yang kami pelajari selama pandemi ini adalah, kami meluncurkan banyak produk komplimentari bagi pelanggan, seperti research report dan database. Overall, sebagai sebuah perusahaan, [bisnis] kami tumbuh 30%, memang tidak sesuai target, tetapi tidak ada yang pernah tahu pandemi bakal terjadi,” ujarnya.

Tantangan industri media menerapkan sistem berlangganan

Bagi Rama, tantangan terbesar industri media dalam memperkenalkan sistem berlangganan adalah mengedukasi pengguna Indonesia. Terlebih bagi industri media dengan cakupan pemberitaan umum yang fokus terhadap page views.

Selain itu, ia menilai bahwa pasar Indonesia masih sangat enggan untuk mengeluarkan budget untuk berlangganan konten media. Contohnya saja, artikel mengenai riset dan analisis seharga Rp50.000 dinilai masih mahal bagi pengguna.

Kendati demikian, bagi media niche seperti DailySocial, menurutnya upaya yang dilakukan selama bertahun-tahun untuk memproduksi konten berkualitas dan tidak bermain di page views membuahkan hasil.

“Ketika kami switch ke premium, mereka sudah paham bahwa kami menyediakan konten berkualitas dan percaya konten ini hanya ada di DailySocial,” paparnya.

Micro payment menjadi alternatif untuk monetisasi

Dalam presentasinya, Dushyant memaparkan sejumlah temuan menarik terkait pasar Indonesia terkait monetisasi di industri media. Paparan ini juga berdasarkan dari pengalamannya bekerja sama dengan banyak publisher di Asia Tenggara dan India. Menurutnya, ia sangat familiar terhadap tantangan yang dihadapi publisher saat ini.

Umumnya, ada dua model monetisasi yang dipakai industri media, yakni iklan dan berlangganan. Kelebihan iklan adalah dapat memonetisasi semua pengguna, sayangnya revenue per user sangat rendah. Memang ada banyak media yang mulai memberlakukan sistem berlangganan, tapi hanya sedikit yang mau berlangganan. Ketika pandemi menghantam, publisher memikirkan cara untuk memonetisasi mengingat ads yield turun akibat Covid-19.

“Selama beberapa tahun terakhir, iklan berkontribusi besar terhadap pendapatan media sehingga mereka banyak fokus memproduksi artikel yang punya page views tinggi. Sekarang, mereka sepertinya mulai pivoting untuk mengoptimalkan kualitas konten,” katanya.

Dalam temuannya, ia menemukan ada big gap dalam hal monetisasi revenue per user di iklan dan langganan. Sekitar 60%-70% pasar Indonesia disebut tidak pernah mau membayar konten digital. Hal ini bukan karena mereka tidak bisa membayar, hanya saja pasar Indonesia cenderung menyukai konten gratis. Kendati demikian, sebanyak 30%-50% pengguna punya kemauan untuk membayar.

“Mereka mulai paham, untuk menikmati konten bagus ya harus bayar. Makanya, kami pikir micro payment bisa address dan take advantage di sini. Di sini modelnya bukan berbasis subscription, tetapi value for money,” ujar Khare.

Ia juga menemukan sejumlah tantangan dalam aspek user readiness terhadap sistem berlangganan. Pertama, ada kecenderungan terhadap subscription fatigue. Contohnya, apabila pengguna sudah berlangganan di New York Times, kecil kemungkinan mereka akan berlangganan di media lain.

Kedua, loyalitas pengguna masih rendah di mana sebanyak 72% mengonsumsi konten dari media sosial. Dan ketiga, terkait digital spending. Menurut data Statista di 2019, pengguna Indonesia hanya mengeluarkan sekitar $30 untuk layanan digital per bulannya, dan kebanyakan untuk belanja di e-commerce. “Itu saja e-commerce, apalagi digital content. Makanya model subscription may not be best di Indonesia,” ucapnya.

Kendati demikian, ia menilai pandemi membawa momentum yang tepat untuk mengaplikasikan model micro payment, seperti yang dilakukan Fewcents dengan sistem pay per view. Terlebih, sistem pembayaran saat ini sudah semakin variatif dan memudahkan pengguna.

Two years ago, the payment infrastructure that we see today or take for granted, actually not really there. And now all coming together in terms of timing, mereka mau mengonsumsi konten berkualitas dan ini menjadi suatu hal yang baik bagi micropayment.”

 

SHAREit Indonesia: Menyeimbangkan Pengalaman Pengguna Jadi Strategi Krusial saat Monetisasi Konten Digital

Di tengah pandemi, tren peningkatan konsumsi konten digital terbentuk akibat kebiasaan-kebiasaan baru yang dilakukan masyarakat. Menurut beberapa riset, salah satunya e-Conomy SEA 2020, sektor online media masih disorot memberikan sumbangsih besar untuk GMV ekonomi digital nasional. Di tahun 2020 nilainya diperkirakan $4,4 miliar atau setara 61,7 triliun Rupiah.

Untuk membahas hal ini lebih jauh, DailySocial berkesempatan secara mewawancara Country Sales Director SHAREit Indonesia Aat Pangestu Hadi. SHAREit adalah salah satu platform penyedia konten digital global yang juga sudah menjangkau 200 negara.

Country Sales Director SHAREit Indonesia Aat Pangestu Hadi / SHAREit
Country Sales Director SHAREit Indonesia Aat Pangestu Hadi / SHAREit

Mengawali perbincangan, Aat memaparkan, perubahan perilaku yang terjadi di tengah pembatasan sosial akibat Covid-19 cukup berpengaruh pada peningkatan konsumsi aplikasi. Di SHAREit sendiri, ia melihat peningkatan yang cukup signifikan dari layanan transfer data dan konsumsi video. Bahkan kondisi tersebut juga berhasil membentuk audiens baru dari kalangan yang mungkin sebelumnya tidak terlalu intensif dalam mengonsumsi konten digital.

Lockdown membuat masyarakat harus memenuhi kebutuhan konsumsi dan hiburannya secara online, [hampir] semua kegiatan ekonomi offline dilarang atau dibatasi. Orang yang tinggal di rumah harus mengambil bentuk hiburan lain dan melawan kebosanan yang dibawa oleh virus, yang dalam arti merangsang sejumlah besar hiburan online dan lonjakan permintaan konsumen,” ujarnya.

Tahun 2021, ia cukup optimis bahwa permintaan konten digital masih akan terus meningkat. Untuk itu, bagi perusahaan penyedia konten harus bisa memaksimalkan momentum, salah satunya dengan tetap menjaga kualitas, membawa nuansa yang lebih lokal, dan memberikan pengalaman yang apik di aplikasi.

“Kami melihat peningkatan waktu dan permintaan konsumsi konten yang terus meningkat, tapi kami yakin tidak ada yang mau menonton video yang membosankan dan berulang-ulang. Artinya, persyaratan dan standar produk konten juga akan meningkat bersamaan dengan itu,” jelas Aat.

Strategi monetisasi yang relevan

Jumlah pengguna internet yang terus bertambah dan konsumsi digital yang tinggi nyatanya tidak menjamin para pelaku pasar meraup untung. Ada beberapa perusahaan atau startup yang justru mengalami turbulensi di tengah pandemi – terlebih bagi model bisnis yang lamban dalam bertransformasi.

Aat pun turut melihat hal tersebut. Di tengah peningkatan konsumsi, tidak hanya melahirkan peluang, namun juga tantangan yang cukup besar pagi pelaku industri. Lantas, ketika disinggung tentang strategi monetisasi yang paling relevan saat ini, menurutnya ada beberapa variabel yang harus dilihat.

“Untuk monetisasi konten, pasar Indonesia memiliki banyak variabel yang terlibat dan sangat dinamis. Di SHAREit, pengalaman pengguna selalu menjadi perhatian pertama kami, pendekatan yang paling sesuai dan relevan akan didasarkan pada minat konten. Karena hanya ketika pengguna memiliki loyalitas dan rasa kepercayaan kepada produk, brand yang direkomendasikan dapat memenangkan hati pengguna dan membawa klien mencapai dampak yang mereka inginkan,” jelas Aat.

Ia melanjutkan, “Kami menghabiskan banyak waktu dan investasi untuk mempelajari kebutuhan konten dan konsumsi pengguna lokal di Indonesia, termasuk kultur dan kebiasaan pengguna di pasar tersebut, untuk menjawab ‘bagaimana cara membuat SHAREit dan layanan monetisasi bisnis kami lebih cocok untuk pasar lokal?’. Karena, hanya dengan memenuhi poin ini kami dapat mencapai komersialisasi yang sukses. itulah sebabnya kami memperkerjakan banyak tim lokal.”

Selain itu, ia juga menggarisbawahi pentingnya menyeimbangkan pengalaman pengguna dan monetisasi konten. Dalam strategi yang disusun bersama perusahaan, ia tidak menganjurkan metode “langsung dan kasar” untuk menghasilkan uang — misalnya melakukan kampanye iklan yang terlalu mencolok dan berlebihan. Pelaku bisnis perlu mengeksplorasi proposisi yang pas sembari menghadirkan cara yang memuaskan untuk mengakomodasi kebutuhan mitra bisnis.

“Bagi pengguna, penggambaran cerita brand yang dapat dipercaya dan cara rekomendasi yang tepat, tidak akan merusak pengalaman mereka. Dan untuk mitra bisnis, basis pengguna yang kuat dan kepercayaan pengguna menjadi favorit mereka.”

Pentingnya pelokalan

Aplikasi SHAREit tawarkan berbagai jenis konten hiburan / SHAREit
Aplikasi SHAREit tawarkan berbagai jenis konten hiburan / SHAREit

SHAREit adalah aplikasi yang menyajikan beragam konten digital, mulai dari video, game, musik, dan lain-lain. Pangsa pasarnya di negara berkembang, dengan basis pengguna terbesarnya di Indonesia. Untuk mitra bisnis, mereka pemilik bisnis mempromosikan brand mereka dengan pendekatan unik melalui fitur-fitur di aplikasi.

Di sini, SHAREit juga sudah memiliki tim lokal untuk di berbagai lini, termasuk komersial, konten, dan pengembangan bisnis. “Kami percaya langkah pertama pelokalan adalah memahami dan menghormati budaya, humaniora, kondisi industri, kebiasaan komunikasi pasar lokal, dll., Dan tidak ada cara yang lebih efektif dan efisien daripada mendirikan kantor lokal secara langsung.”

“Di satu sisi, kami memiliki pemahaman yang baik tentang budaya dan peraturan bisnis Indonesia melalui karyawan lokal kami. Di sisi lain, kami mendorong perkembangan dan persaingan industri yang lebih baik. Melalui karyawan lokal ini, kami juga dapat membuat pasar Indonesia mengenal SHAREit lebih baik. Pelokalan selalu saling menguntungkan,” imbuhnya.

Diklaim pertumbuhan bisnis SHAREit konsisten meningkat dari tahun ke tahun. Terakhir, aplikasi tersebut menempati peringkat pertama di Google Play beberapa negara untuk kategori Tools, termasuk Indonesia. Salah satu konten yang diminati adalah video berkualitas tinggi dengan bahasa lokal, terutama bergenre komedi.

Aat meyakini, tahun ini akan menjadi waktu yang krusial bagi seluruh industri konten digital. Pandemi berhasil mendorong perkembangan industri konten lokal hingga taraf tertentu. Tahun 2021 dampak dari rangsangan ini akan semakin nyata. “Bagi SHAREit, cara cepat memenangkan kepercayaan pengguna dan mitra bisnis, serta mengembangkan strategi Indonesia dan global selama periode ini akan menjadi poin utama kami. Membuat konten digital dapat diakses oleh semua orang selalu menjadi tujuan untuk dikejar.”


Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Indonesia’s Digital Economy Growth in 2020

Google, Temasek, and Bain & Company released their annual report “e-Conomy SEA 2020” to review the development of digital or internet business in Southeast Asia. The headline for this is “At full velocity: Resilient and racing ahead” – indicating how the ambitions of digital players survive and try to maintain growth amid the global economic downturn.

There are 7 highlighted digital sectors. Apart from the existing ones, e-commerce, transport & food, online travel, online media, and financial services; This year the research added two new business landscapes, healthtech and edtech – because both are experiencing significant growth amid the Covid-19 pandemic.

The pandemic has drove internet penetration in the region, with an estimated 40 million new users in 2020. Therefore, there are around 400 million internet users in total in Southeast Asia – equivalent to 70% of the total population. The existence of social restrictions forms a new culture, such as work/school activities from home, resulting in a drastic increase in consumption of digital services.

One quite interesting issue is that in Indonesia has 56% of total digital service consumers this year come from outside the metro area, while the remaining 44% are still from around the urban area. It is said, digital development is currently still Jabodetabek-centric; and this cannot be denied because there is a significant gap between metro and non-metro areas in terms of accessibility to infrastructure.

Gross Merchandise Value (GMV) is the matrix used to measure economic units in this report; that is, indicating the value of transactions/sales that occur within a certain period of time by the user. The GMV for the internet economy in Southeast Asia (accumulating value from the 7 highlighted sectors) is projected to exceed $100 billion. Indonesia will contribute $44 billion or the equivalent of 621 trillion Rupiah.

In Indonesia, most of  our GMV comes from e-commerce services, amounting to $32 billion, followed by transportation & food platforms worth $5 billion, online media $4.4 billion, and online travel $3 billion.

Validation for digital economy direction

Recently, APJII has released the latest report regarding internet user statistics in Indonesia. Specifically in 2020, there are approximately 25 million new internet users in the country (increasing by 8.9% compared to last year). Indonesia’s domination in many of the Google-Temasek-Bain & Company reports has also validated that Indonesia is on the right track in building its digital economy.

Although quite a few also say that Indonesia’s digital economy phase is still in “early stage”, at least the foundations are well formed. Looking back over the past decade, e-commerce and ride-hailing businesses have been able to become good industrial engines, they have expanded the scope of digital savvy in Indonesia – both from consumers and SMEs. The implication is that new (digital) business models are getting quickly accepted.

Covid-19 has also had a very visible impact. Some business sectors have been hit hard, for example online travel, but from there we can see how digital service providers are able to adapt quickly. Take, for example, the fast action of OTA to save businesses by aggressively promoting domestic transportation services or the “staycation” vacation model. So it is not surprising that in the statistics of the e-Conomy, the OTA platform still has a significant position.

On the other hand, the pandemic is actually ripening the level of digital adoption in society. The benefits for digital players may be seen at a later time. When the community lockdown starts to get used to shopping, studying, consulting health online, this will become new permanent habits. Especially when the platform is able to accommodate these needs, therefore, it brings a more pleasant impression.

In our internal records, funding to digital startups have also continued to pour during this pandemic. This indicates a good trend regarding investor trust in Indonesia’s  business players – amidst a recession and increased risk of failure due to economic dynamics. This momentum certainly needs to be maintained to ensure that the Indonesian startup ecosystem continues to grow, and realize the nation’s vision to lead the Asian digital economy.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Perkembangan Ekonomi Digital Indonesia Tahun 2020

Google, Temasek, dan Bain & Company kembali merilis laporan tahunan mereka “e-Conomy SEA 2020” yang mengulas tentang perkembangan bisnis digital atau internet di Asia Tenggara. Kali ini, judul yang diambil adalah “At full velocity: Resilient and racing ahead” — mengindikasikan bagaimana ambisi pemain digital bertahan dan mencoba menjaga pertumbuhan di tengah keterpurukan ekonomi global.

Ada 7 sektor digital yang disorot. Selain yang sudah ada sebelumnya, yakni e-commerce, transport & food, online travel, online media, dan financial services; tahun ini riset menambahkan dua lanskap bisnis baru yakni healthtech dan edtech — karena keduanya mengalami pertumbuhan signifikan di tengah pandemi Covid-19.

Pandemi juga mendorong penetrasi pengguna internet di regional, tercatat ada sekitar 40 juta pengguna baru di tahun 2020. Sehingga secara total di Asia Tenggara ada sekitar 400 juta pengguna internet — setara dengan 70% dari total populasi. Adanya pembatasan sosial membentuk kultur baru seperti kegiatan bekerja/sekolah dari rumah, memberikan dampak pada konsumsi layanan digital meningkat derastis.

Satu hal yang cukup menarik, di Indonesia 56% dari total konsumen layanan digital tahun ini datang dari luar area metro, sementara sisanya yakni 44% masih dari seputaran area metro. Sehingga bisa dikatakan, sampai saat ini perkembangan digital memang masih Jabodetabek-sentris; dan itu tidak dimungkiri karena ditinjau dari aksesibilitas sampai infrastruktur memang ada jenjang yang cukup signifikan antara area metro dan non-metro.

Gross Merchandise Value (GMV) jadi matriks yang digunakan untuk mengukur unit ekonomi dalam laporan ini; yakni mengisyaratkan pada nilai transaksi/penjualan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu oleh pengguna. GMV untuk ekonomi internet di Asia Tenggara (mengakumulasi dari nilai yang didapat dari 7 sektor yang disorot) diproyeksikan akan melebihi $100 miliar. Indonesia akan memberikan sumbangsih $44 miliar atau setara 621 triliun Rupiah.

Di Indonesia, mayoritas GMV masih disokong oleh layanan e-commerce, yakni sebesar $32 miliar, disusul platform trasport & food senilai $5 miliar, online media $4,4 miliar, dan online travel $3 miliar.

Validasi baik untuk arah pertumbuhan ekonomi digital

Belum lama ini, APJII juga baru merilis laporan terbarunya terkait statistik pengguna internet di Indonesia. Spesifik di tahun 2020, kurang lebih ada 25 juta pengguna internet baru di tanah air (naik 8,9% dibanding tahun lalu). Berbagai dominasi Indonesia di banyak bahasan laporan Google-Temasek-Bain & Company turut memvalidasi Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam membangun ekonomi digitalnya.

Kendati tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa fase ekonomi digital Indonesia masih “early stage”, setidaknya fondasinya sudah terbentuk dengan baik. Mengamati kembali pada satu dekade ke belakang, bisnis e-commerce dan ride-hailing mampu menjadi lokomotif industri yang baik, mereka memperluas cakupan digital savvy di Indonesia – baik dari kalangan konsumer maupun UKM. Implikasinya berbagai model bisnis (digital) baru lebih cepat diterima.

Covid-19 juga memberikan dampak yang sangat kasat mata. Beberapa sektor bisnis memang sangat terpukul, misalnya online travel, namun dari sana pula kita bisa melihat bagaimana penyelenggara layanan digital mampu beradaptasi cepat. Ambil contoh, gerak cepat OTA menyelamatkan bisnis dengan gencar mempromosikan layanan transportasi domestik atau model liburan “staycation”. Sehingga tidak mengherankan dalam statistik e-Conomy platform OTA masih punya posisi signifikan.

Di sisi lain, pandemi sebenarnya tengah mematangkan tingkat adopsi digital masyarakat. Keuntungannya bagi pemain digital mungkin bisa terlihat di kemudian hari. Saat lockdown masyarakat mulai membiasakan berbelanja, belajar, berkonsultasi kesehatan secara online, bisa jadi ini akan menjadi kebiasaan-kebiasaan baru yang bersifat seterusnya. Apalagi jika platform mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut dengan baik, sehingga membawakan kesan yang lebih menyenangkan.

Dalam catatan internal kami, sepanjang pandemi ini transaksi pendanaan ke startup digital juga masih terus mengalir tanpa adanya perlambatan. Mengindikasikan tren baik terkait kepercayaan investor terhadap pelaku bisnis di Indonesia – di tengah resesi dan risiko kegagalan yang meningkat akibat dinamika ekonomi. Momentum ini tentu perlu dijaga untuk memastikan ekosistem startup Indonesia terus bertumbuh, dan merealisasikan visi bangsa untuk memimpin ekonomi digital Asia.

Gambar Header: Depositphotos.com

Philoit Q&A Platform for Millennials’ Creative Space

Not just building a question-and-answer platform, Philoit was initiated last year because of the uneasiness of the “unconscious problem” or the phenomenon of unconscious problems in society, which was felt by the Co-Founders Philoit Aldi Tahir and Pieter Surya. They feel that young people in Indonesia spend their energy on content that does not build literacy and knowledge in digital media.

From the data Aldi quoted, more than 60% of Indonesia’s young people spend more than 4 hours on the Internet. In fact, as many as 7% of them spent more than 11 hours on the internet. In other words, the youth’s time and energy is spent on media discussion content that does not build knowledge, such as the thousands of comments on YouTube and Instagram that every opinion written on them will not be read and lead to ongoing discussion.

“This anxiety makes it difficult for us to share the background of [the Philoit being initiated], because the problem we are solving is called an” unconscious problem “. But fortunately recently there was a Netflix documentary “The Social Dilemma” which can very clearly describe the problem in the algorithm on the internet, making us bound and become a product of media consumption, “explained Aldi to DailySocial.

The background of the two co-founders has to do with the core product of Philoit. Aldi mastered technical expertise in data & machine learning which was strengthened by literacy from books about technology and its relation to human behavior in consuming the digital world, and the use of AI.

Meanwhile Pieter has a passion in education in the field of teaching teachers and tutors. He previously started a startup called Tutoreal, to connect parents who need tutors. “But before Pieter launched its digital product, we met and agreed to build a Philoit.”

Philoit is one of the startups participating in the DailySocial Launchpad 1.0 incubation program, the incubation program from TheGreaterHub SBM ITB, BekUP Bekraf for Startup 2020, Cubic Incubator (Bandung), and one of the startup partners at Block71 Bandung.

Currently, Philoit is still actively mentored by Aji Santika from Feedloop-DeepTech-StartupBandung and Novistiar from HarukaEdu.

Zhihu as an objective not Quora

Aldi continued, a popular question-and-answer platform, especially in Indonesia, is Quora, which is always used as a mecca. Even though the basic functionality of the platform is similar, he claims Philoit is more focused on providing features to engage active users in discussions within the application.

These features include gamification, points & levels, titles & achievements, and the digital currency “Philoit COIN” which can be exchanged for prizes. “Philoit wants to stand in the middle as a combination of conventional forums and media-based applications full of various unique features because its aim is to target young people.”

He prefers to place Philoit as an “expert hub” by taking the mecca of a Chinese player named Zhihu. This question and answer platform is included in the top 10 most accessed applications in the Bamboo Curtain country. Its features are more or less the same as Philoi, there are gamification and stats features, like playing games in the form of sharing and discussion.

“Apart from that, the demographics and forms [of habits] of Indonesians and Chinese are similar, which can be good examples in building a similar success platform.”

Because he is passionate about becoming an expert hub, Aldi admits that his party is still perfecting Philoit’s features and core business which will be implemented by inviting experts to join. This is because the company wants to build an ecosystem from a question and answer platform first, then inviting credible people into it.

This strategy was taken because the lessons learned were drawn from the failures of previous players, that in the early stages they immediately used experts / public figures to attract the audience. Meanwhile, the discussion ecosystem in which the form is formed and has not even been validated, which in the end faces difficulties in maintaining the experts / figures in it.

Business plan and challenges

Aldi said that currently Philoit has not carried out monetization. However, in the plan, the company will implement a business model form “Pay Per Question”, not freemium or subscribe. For that, he invites credible experts or resource persons to the platform to answer any questions.

“Just like experience in the game world, users are required to buy diamonds which will later be used to ‘unlock’ content from experts.”

According to him, this concept is the customization of the user experience because users can choose what content they need and want to access. Moreover, this method is in accordance with the habits of young people who tend to be choosy. Users only need to pay for content for which they want to read answers, opinions, or opinions, from experts who are experts in their fields.

As for the challenge itself, considering that Philoit has a coin redeem feature as a form of appreciation for every opinion, discussion, point of view, and a form of content contribution from anyone and gives the same right to benefit.

“This is very different from other UGC platforms which do manual filtering of people who become partners or special contributors and get benefits such as money and others.”

However, at the beginning of the test, many users took advantage of the gap in order to collect as many coins as possible in various ways. Common examples include answers that do not fit the context of the question, copy and paste other people’s answers or from other content without including links, spam best answers, spam unvotes, and use multiple accounts.

“There are even those who directly attack our system and access coin changes through the database. Honestly, that’s not what we wanted from this coin system. ”

Finally, the team made a strategy change by updating the terms and conditions of the redemption, and updating the system that could automatically differentiate content quality based on text analysis. You do this by giving weight to the input from the user, so that the provision of content by the system varies.

Meanwhile, to minimize negative content, his party chose several active users to become moderators who manually report on existing content.

“For other challenges in the future, we believe there will still be, but on the way, we believe that honesty from users, sincerely sharing opinions along with a balance of benefits to be obtained, will form a good sharing ecosystem in Philoit.”

Aldi explained that in the future he wants to apply AI technology like those already used by large platforms such as Quora and Zhihu. Also, developing other interesting features such as Room to accommodate the questions and answers that occur during an event

“We have tried this feature by conducting several independent events and inviting experts in the form of sharing and online discussions. Every question submitted to the expert at the event will be shown live in a specific room that can be accessed by anyone, even after the event ends, “he concluded.

Philoit has so far been bootstrapping and is planning to do some fundraising. Since its release last year, now Philoit has more than 20 thousand registered users with a total of about 190 thousand question and answer content and 14 thousand blog posts. The application has been downloaded more than 10 thousand times on the Play Store.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Tanya-Jawab Philoit dan Ambisinya Wadahi Milenial untuk Berdiskusi

Tidak sekadar membangun platform tanya-jawab, Philoit dirintis pada tahun lalu karena ada kegelisahan masalah “unconscious problem” atau fenomena masalah yang tidak disadari di dalam masyarakat, yang dirasakan oleh Co-Founder Philoit Aldi Tahir dan Pieter Surya. Mereka merasa anak muda di Indonesia menghabiskan energinya kepada konten-konten yang tidak membangun literasi dan pengetahuan dalam media digital.

Dari data yang Aldi kutip, lebih dari 60% generasi muda Indonesia menghabiskan waktu lebih dari 4 jam di Internet. Bahkan, sebanyak 7% di antaranya menghabiskan lebih dari 11 jam di internet. Dengan kata lain, waktu dan energi generasi muda habis di dalam konten-konten diskusi media yang tidak membangun pengetahuan, seperti ribuan komentar di YouTube dan Instagram yang setiap opini yang ditulis di dalamnya tidak akan dibaca dan menimbulkan diskusi berkelanjutan.

“Kegelisahan ini membuat kami kesulitan untuk menceritakan latar belakang [Philoit dirintis], sebab masalah yang kami selesaikan disebut “unconscious problem”. Tapi untungnya baru-baru ini muncul dokumenter Netflix “The Social Dilemma” yang bisa menggambarkan dengan sangat jelas masalah tersebut ada di algoritma di dalam internet, membuat kita terikat dan menjadi produk dalam konsumsi media,” terang Aldi kepada DailySocial.

Latar belakang kedua co-founder ini berkaitan dengan inti produk Philoit. Aldi menguasai keahlian teknis mengenai data & machine learning yang diperkuat dengan literasi dari buku-buku tentang teknologi dan kaitannya mengenai perilaku manusia dalam mengonsumsi dunia digital, serta penggunaan AI.

Sementara Pieter memiliki passion di pendidikan untuk bidang pengajaran guru dan tutor. Ia sebelumnya merintis startup bernama Tutoreal, untuk menghubungkan orang tua yang membutuhkan guru les. “Tetapi sebelum Pieter melakukan launch produk digitalnya, kami bertemu dan sepakat untuk membangun Philoit.”

Philoit merupakan salah satu startup yang mengikuti program inkubasi DailySocial Launchpad 1.0, program inkubasi dari TheGreaterHub SBM ITB, BekUP Bekraf for Startup 2020, Cubic Incubator (Bandung), dan salah satu startup partner di Block71 Bandung.

Saat ini, Philoit masih aktif dimentori oleh Aji Santika dari Feedloop-DeepTech-StartupBandung dan Novistiar dari HarukaEdu.

Zhihu sebagai kiblat, bukan Quora

Aldi melanjutkan, platform tanya-jawab yang populer, terutama di Indonesia, adalah Quora yang selalu dijadikan kiblatnya. Walau fungsi dasar platformnya serupa, tapi ia mengklaim Philoit lebih fokus menyediakan fitur-fitur untuk meng-engage pengguna aktif berdiskusi di dalam aplikasi.

Fitur tersebut di antaranya gamifikasi, poin & level, title & achievement, dan mata uang digital ‘Philoit COIN’ yang dapat ditukar dengan hadiah. “Philoit ingin berdiri di tengah-tengah sebagai gabungan antara forum konvensional dan aplikasi berbasis media yang penuh berbagai macam fitur unik karena tujuannya untuk menyasar anak muda.”

Ia lebih ingin menempatkan Philoit sebagai ‘expert hub’ dengan mengambil kiblat pemain sejenis dari Tiongkok bernama Zhihu. Platform tanya jawab ini masuk ke dalam jajaran 10 besar aplikasi yang paling banyak diakses di negeri Tirai Bambu tersebut. Fiturnya kurang lebih sama dengan Philoi ada fitur gamifikasi dan stats, selayaknya bermain game dalam bentuk sharing dan diskusi.

“Selain itu, demografi dan bentuk [kebiasaan] orang Indonesia dan Tiongkok pun serupa yang bisa menjadi contoh baik dalam membangun platform sukses yang serupa.”

Karena semangatnya ingin menjadi expert hub, Aldi mengaku pihaknya masih menyempurnakan fitur Philoit dan core bisnis yang akan diimplementasikan dengan mengundang expert untuk bergabung. Pasalnya, perusahaan ingin membangun ekosistem dari platform tanya jawab terlebih dulu, baru mengundang orang-orang kredibel ke dalamnya.

Strategi tersebut diambil karena dari pembelajaran ditarik dari kegagalan pemain sebelumnya, bahwa pada tahap awal mereka langsung menggunakan expert/figur publik untuk menarik audiens. Sedangkan ekosistem diskusi di dalamnya bentuk terbentuk dan bahkan belum tervalidasi, yang pada akhirnya menghadapi kesulitan untuk mempertahankan para expert/figur di dalamnya.

Tantangan dan rencana bisnis

Aldi menuturkan saat ini Philoit belum melakukan monetisasi. Namun dalam rencananya, perusahaan akan mengimplementasikan bentu model bisnis ‘Pay Per Question’ bukan freemium atau subscribe. Untuk itu, ia mengundang expert atau narasumber yang kredibel ke dalam platform untuk menjawab setiap pertanyaan.

“Sama halnya seperti pengalaman dalam dunia game, pengguna diharuskan membeli diamond yang nantinya akan digunakan untuk ‘unlock’ konten-konten dari expert.”

Menurutnya, dengan konsep ini adalah kustomisasi user experience karena pengguna bisa memilih konten apa yang mereka butuhkan dan ingin untuk diakses. Lagipula cara ini sesuai dengan kebiasaan anak muda yang cenderung pemilih. Pengguna hanya perlu membayar konten yang ia ingin baca jawaban, opini, atau pendapat, dari expert yang ahli di bidangnya.

Adapun mengenai tantangannya itu sendiri, mengingat Philoit punya fitur coin redeem sebagai bentuk penghargaan terhadap setiap opini, diskusi, sudut pandang, dan bentuk kontribusi konten dari siapapun dan memberikan hak yang sama untuk mendapat keuntungan.

“Hal ini sangat berbeda dengan platform UGC lainnya yang melakukan penyaringan secara manual terhadap orang-orang yang dijadikan partner atau kontributor khusus dan mendapat benefit seperti uang dan lainnya.”

Akan tetapi, pada awal pengujian banyak pengguna yang memanfaatkan celah agar dapat mengumpulkan koin sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara. Contoh yang umum terjadi adalah jawaban yang tidak sesuai konteks pertanyaan, copy-paste jawaban orang lain atau dari konten lain tanpa menyertakan tautan, spam jawaban terbaik, spam unvote, dan menggunakan akun ganda.

“Bahkan ada yang langsung menyerang sistem kami dan mengakses perubahan koin melalui database. Jujur, bukan itu yang kami inginkan dari adanya sistem koin ini.”

Akhirnya, tim melakukan perubahan strategi dengan memperbarui syarat dan ketentuan penukaran, dan pembaruan sistem yang secara otomatis dapat membedakan kualitas konten berdasarkan analisa teks. Caranya dengan memberikan bobot terhadap input dari pengguna, sehingga pemberian konten oleh sistem bervariasi.

Sementara untuk meminimalisir konten negatif, pihaknya memilih beberapa pengguna aktif untuk menjadi moderator yang melakukan pelaporan secara manual atas konten-konten yang ada.

“Untuk tantangan yang lainnya ke depan kami percaya masih akan terus ada, tetapi dalam perjalanan, kami percaya kejujuran dari pengguna secara tulus membagikan pendapat disertai dengan keseimbangan benefit yang akan didapat, akan membentuk suatu ekosistem sharing yang baik di Philoit.”

Aldi menerangkan ke depannya ia ingin menerapkan teknologi AI seperti yang sudah dipakai oleh platform besar seperti Quora dan Zhihu. Juga, mengembangkan fitur menarik lainnya seperti Room untuk mengakomodasi tanya jawab yang terjadi dalam suatu event.

“Fitur ini sudah kami coba dengan melakukan beberapa event independen dan mengundang expert dalam bentuk sharing dan diskusi online. Setiap pertanyaan yang diajukan kepada expert di event tersebut akan ditampilkan live di suatu room spesifik yang bisa diakses oleh siapa pun, bahkan setelah event berakhir,” pungkasnya.

Philoit sejauh ini bootstrapping dan berencana untuk melakukan penggalangan dana. Sejak dirilis pada tahun lalu, kini Philoit sudah memiliki 20 ribu lebih pengguna terdaftar dengan total sekitar 190ribu konten tanya jawab dan 14 ribu konten tulisan blog. Aplikasi sudah diunduh lebih dari 10 ribu kali di Play Store.

Application Information Will Show Up Here

Asumsi Dapatkan Pendanaan Awal dari East Ventures, Difokuskan untuk Peningkatan Teknologi

East Ventures hari ini (15/9) mengumumkan investasi tahap awalnya untuk startup media digital Asumsi. Tidak disebutkan nominal pendanaan yang diberikan. Modal segar ini akan digunakan untuk mengakselerasi proses pengembangan produk teknologi, dengan misi menjadi ekosistem media yang berkelanjutan. Termasuk untuk merekrut talenta teknologi dan membangun infrastruktur teknis.

Menargetkan pembaca muda, Asumsi banyak mengangkat topik peristiwa terkini seputar isu sosial, politik, dan budaya. Didirikan pada tahun 2017 oleh Pangeran Siahaan, saat ini perusahaan mengklaim telah meraih 10 juta kunjungan per bulan di situsnya, dengan rata-rata 3,2 juta penonton setiap bulan di kanal YouTube-nya.

“Asumsi percaya bahwa kunci dari bisnis media yang berkelanjutan adalah kombinasi dari konten berkualitas dan inovasi teknologi. Kami telah berusaha sebaik mungkin dalam menciptakan konten berkualitas tinggi yang memenuhi standar jurnalistik untuk menawarkan alternatif dari media arus utama. Namun, kami sadar bahwa ini hanya solusi sebagian,” ujar Pangeran.

Terobosan model bisnis

Akses internet yang semakin meluas memberikan keuntungan sekaligus tantangan untuk industri media digital. Keuntungannya jelas, memungkinkan setiap perusahaan/startup merangkul pembacanya secara lebih efisien. Sementara tantangannya, makin banyaknya media –baik mainstream maupun niche—membuat kue iklan (sebagai legasi model pendapatan) semakin kecil. Maka inovasi strategi bisnis perlu digencarkan.

Bulan Februari 2020, Asumsi meluncurkan YourMedia, memungkinkan pengguna untuk memberikan donasi terhadap sajian konten yang menurut mereka layak untuk diapresiasi. Sederhananya, perusahaan merilis platform crowdfunding untuk mengajak pembacanya turut serta membangun bisnis Asumsi. Program tersebut diluncurkan pasca perusahaan mengikuti program Google News Initiative.

Kepada DailySocial tim Asumsi mengatakan, setelah hampir 8 bulan dirilis, platform YourMedia mendapati traksi yang cukup baik. “Kami berhasil mendapatkan funding ratusan juta Rupiah dari audiens. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya ada dorongan dan kemauan dari audiens untuk merogoh kantongnya untuk konten media yang mereka anggap berkualitas jika menggunakan pendekatan yang tepat.”

Isu lain yang disampaikan seputar industri media digital adalah soal ketergantungan terhadap media sosial. Di satu sisi, platform seperti Twitter, Facebook dll memudahkan proses distribusi konten dan terhubung dengan penikmatnya, tapi di sisi lainnya kemunculan kreator konten individu memperketat persaingan di industri yang sudah kompetitif sejak lama.

“Karena itu, kami harus berpikir di luar pendekatan yang biasa. Investasi ini memberikan Asumsi kemampuan untuk membangun infrastruktur teknologi, yang memberikan kami keunggulan sambil menjaga kualitas dan pendekatan unik yang membuat Asumsi berbeda. Asumsi ingin menciptakan platform berita yang didukung oleh sistem analisis dan monitoring canggih,” imbuh Pangeran.

Ketika ditanya lebih lanjut mengenai detail sistem tersebut, pihak Asumsi masih enggak untuk menceritakan. Selain itu, mereka memiliki beberapa rencana lain di beberapa bulan mendatang. Dua di antaranya merilis produk teknologi dan membuat vertikal media (konten) baru.

“Asumsi berencana membantu media independen lain untuk membuat dan memonetisasi konten dengan segera membuka platform YourMedia bagi mereka. Asumsi juga berencana untuk membantu audiens memahami dan mengonsumsi konten berita berkualitas dengan lebih baik. Ini tidak terbatas pada konten kami sendiri, tetapi juga konten berkualitas di platform lain.”

Ketum IDA, Dian Gemiano Berbicara tentang Lanskap, Disrupsi, dan Masa Depan Industri Media Digital

Senin (07/9) lalu, Indonesia Digital Association (IDA) mengadakan proses pemilihan ketua umum baru untuk periode 2020-2023. CMO KG Media Dian Gemiano (Gemi) resmi terpilih, melalui proses voting yang diikuti perwakilan 22 perusahaan media digital di Indonesia secara online. IDA didirikan untuk menjadi salah satu payung industri digital, khususnya di bidang media, periklanan, dan pemasaran. Tugas besarnya, membantu perusahaan meningkatkan “kue iklan”.

DailySocial berkesempatan untuk mewawancara Gemi, menggali perspektifnya tentang industri media saat ini, di tengah gempuran pandemi Covid-19; dan mendalami visi asosiasi yang kini di bawah kepemimpinannya.

“Industri media digital pada periode pandemi ini pada umumnya diuntungkan dari sisi volume traffic atau keterbacaan, namun sayangnya peningkatan volume tersebut tidak merefleksikan peningkatan revenue iklan yang biasanya kedua parameter tersebut bergerak beriringan,” ujar Gemi.

Lebih lanjut ia menjelaskan, pendapatan iklan yang cenderung stagnan (bahkan turun) disebabkan karena dua hal. Pertama, banyak pengiklan yang menahan belanja ikan dikarenakan situasi ekonomi yang tidak pasti (wait and see), terlebih sepanjang Q1 dan Q2. Kedua, naiknya volume keterbacaan menekan turun harga programmatic ads, dikarenakan over-supply inventory.

“Tekanan kedua cukup berat karena di beberapa media proporsi pendapatan dari programmatic ini cukup besar. Covid-19 ini harus menjadi wake up call untuk para pelaku bisnis media digital karena makin terasa bahwa kontrol kita terhadap pendapatan iklan semakin lama semakin mengecil. Perlu ada upaya-upaya strategis dari pengelola media untuk meng-assess praktik bisnis yang selama ini dijalankan dan mengambil kembali kontrol yang hilang tadi,” imbuh pria lulusan ITB tersebut.

Disrupsi dan tantangan industri media

Banyak survei menunjukkan tingginya penetrasi pengguna media sosial di Indonesia. Salah satunya dirangkum dalam laporan terbaru WeAreSocial, sekurangnya tahun ini ada 130 juta pengguna Facebook di Indonesia dan 63 juta pengguna Instagram. Twitter, YouTube, Tik Tok, dan platform lainnya juga makin digemari. Secara tidak langsung, layanan tersebut mengubah cara orang dalam mengonsumsi konten digital seperti berita, pun bagi bisnis untuk menempatkan iklannya.

Kondisi ini memaksa bisnis media untuk berbenah, menyusun ulang strategi mereka agar tetap relevan bagi pembacanya. Gemi pun setuju bahwa media sosial menjadi salah satu tantangan eksternal yang dihadapi industri media digital. Karena sudah menjadi sebuah keniscayaan, di setiap ekosistem bisnis akan ada kompetitor yang sifatnya disruptif. Namun ia menekankan, idealnya kompetitor bisa membuat iklan bisnis menjadi lebih sehat, karena mendorong inovasi agar industri tetap bertumbuh.

“Untuk mencapai kondisi (ideal) tersebut, seluruh pemain harus berada di playing field yang setara sehingga keuntungan mutualisme terjadi dengan netral. Jadi menurut saya bukan keberadaan media sosial atau platform lain yang menjadi isu, tetapi apakah hubungan antarpemain sehat dan setara?,” terang Gemi.

Ia melanjutkan, “Suka atau tidak keberadaan media sosial untuk para publisher digital pun memberikan keuntungan, setidaknya di area distribusi konten dan consumer engagement. Namun pengelola media juga harus mampu menganalisis dengan cermat apakah keuntungan tersebut sudah adil dan setara? Jika belum maka harus diperjuangkan, dan jika merasa kurang memiliki kekuatan untuk fight, berarti harus diperjuangkan bersama-sama. Banyak sekali parameter yang harus dilihat dalam hal ini, mulai dari kebijakan, praktik bisnis, pengelolaan konsumen hingga masalah etika,” imbuhnya.

Ia juga menyoroti, selain di eksternal juga ada tantangan terbesar di sisi internal yang perlu diselesaikan bersama, yakni kompetensi. Misalnya terkait kompetensi pengelolaan data. Sejak lama banyak digembor-gemborkan tentang optimasi data dan peran data untuk peningkatan bisnis media, juga jargon-jargon seperti “data is the next oil”. Menurut pengamatannya, sampai saat ini belum terlihat pebisnis media di Indonesia yang berhasil mengelola data audiens dengan baik dan scaling up bisnis dari situ.

“Salah satu tantangan pengelolaan data ini adalah volume yang dimiliki masing-masing media. Jika dibandingkan dengan kompetitor global, maka volume individual tadi jadi tidak signifikan,” ujar Gemi.

Yang akan diupayakan IDA

Indonesia Digital Association

Visi terkait peningkatan kue iklan sudah sangat jelas dan dibutuhkan oleh seluruh pelaku di industri media. Namun tentunya visi tersebut harus mampu diperinci dengan langkah-langkah strategis yang dapat memberikan dampak nyata. Merurut Gemi, ada dua hal utama yang akan diperjuangkan: peningkatan kompetensi dan mendorong keberpihakan kebijakan pemerintah pada perusahaan lokal.

“Produk iklan harus atraktif. Dalam konteks iklan digital, attractiveness meningkat jika performa iklan juga baik. Agar performa iklan baik salah satu aspek utamanya adalah pemanfaatan data. IDA akan memfasilitasi dan mendorong pengelola media agar memiliki kompetensi yang baik di bidang data dengan pelatihan talenta atau menghubungkan dengan rekanan teknologi yang tepat. Ide lain yang perlu di eksplorasi adalah memfasilitasi data scale up antar media agar volume data yang dimiliki media lokal bisa bersaing dengan pemain global,” jelas Gemi.

Sementara itu, terkait kebijakan, IDA akan aktif memberikan edukasi kepada pembuat kebijakan terkait praktik bisnis periklanan digital — sejauh ini memang kompleks dan kadang tidak mudah dipahami orang di luar industri. IDA akan mengadakan diskusi reguler dengan pembuat kebijakan dalam lingkup kemitraan sehingga harapannya IDA dapat menjadi salah satu sumber referensi utama dalam penentuan kebijakan terkait industri digital.

Sebagai asosiasi yang menaungi banyak pemain industri, IDA juga mengharapkan adanya partisipasi dan kesepakatan untuk tumbuh bersama.

“Terdengar klise, tetapi untuk melakukan hal tersebut diperlukan investasi dan transparansi antar perusahaan media digital. Harapan ke depannya IDA dapat menjadi fasilitator yang efektif untuk inisiatif-inisiatif seperti itu. Komunitas ini juga harus bersepakat untuk mengedukasi pasar agar bergerak ke satu arah yang sama yaitu arah yang memberikan manfaat yang adil untuk semua stakeholder industri ini,” tuturnya.

Industri media digital masih terus bertumbuh

Perubahan industri sangat cepat, sehingga sulit untuk memprediksikan apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Namun ia cukup yakin, bahwa industri media digital di Indonesia masih akan tumbuh karena ruang pertumbuhan pengguna internet pun masih sangat lebar.

“Pertumbuhan penetrasi internet Indonesia akan terakselerasi ke luar Jawa. Karena hal tersebut kapabilitas hyperlocal media jadi sangat penting untuk dimiliki. Dalam waktu dekat juga kita akan mengalami ‘cookie-less internet’ yang akan mengubah lanskap digital advertising kita dengan signifikan (KG Media memprediksikan penurunan revenue programatic sekitar 16% akibat kondisi ini). Pemilik media harus mampu memetakan lanskap baru ini dengan rinci agar bisa memosisikan dirinya dengan baik ketika hal itu terjadi,” tutup Gemi.

e27 Luncurkan “Perks” untuk Pelanggannya, Kumpulan Alat Digital Premium Penunjang Bisnis

Media startup berbasis di Singapura, e27, baru-baru ini meresmikan fitur baru yang dinamai “Perks”. Fitur tersebut menjadi satu dari tiga benefit yang bisa didapatkan melalui program e27 Pro. Di dalamnya berisi berbagai penawaran spesial alat-alat yang dapat membantu meningkatkan produktivitas bisnis.

Beberapa produk yang sudah tersedia di e27 Perks di antaranya: Airtable, AWS Activate, Canva, MyStartupEquity, Notion, Typeform, Zendesk, dan masih banyak lagi. Setiap produk yang ditawarkan adalah versi premium, dengan nominal kredit tertentu yang dapat digunakan.

Pandemi Covid-19 benar-benar telah mengubah tatanan dan cara bisnis bekerja. Optimasi alat-alat digital menjadi penting untuk menunjang laju bisnis. Di sisi lain, menjaga pengeluaran operasional agar tetap efektif harus tetap menjadi prioritas pengusaha. Kondisi tersebut yang juga melatarbelakangi peluncuran Perks.

Selain itu dalam rilis resminya dikatakan, program keanggotaan e27 Pro difungsikan sebagai katalisator untuk bisnis dengan memberdayakan pengusaha dengan alat dan sumber daya untuk meningkatkan skala bisnis secara cepat. Selain Perks, e27 juga menyajikan fasilitas Ecosystem Roundup dan Connect.

Ecosystem Roundup membantu pengusaha mendapatkan pembaruan informasi melalui rangkuman pemberitaan bernas yang terkurasi. Sementara Connect menjadi platform yang dapat membuka peluang kepada bisnis untuk terhubung dengan investor dan mitra bisnis.

Lebih lanjut soal Perks dan keanggotaan e27 Pro: klik di sini.

Disclosure: Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan e27

Young On Top Berinvestasi ke Hipwee, Kejora Ambil Alih Kepemilikan dari Migme

PT YOT Inspirasi Nusantara (Young On Top – YOT) hari ini (13/8) mengumumkan investasinya ke platform media daring Hipwee. Tidak disebutkan detail dan nominal investasi yang diberikan. Founder & CEO YOT Billy Boen mengatakan, kesamaan values kedua perusahaan yang melatarbelakangi keputusan strategis tersebut, di samping menjadi awal penjajakan kerja sama dengan startup di bawah naungan grup YOT.

Sebelumnya diketahui, Hipwee sempat diakuisisi Migme pada tahun 2015 lalu. Namun beberapa waktu berselang, saham tersebut diambil alih oleh Kejora Ventures. YOT masuk mengakuisisi sebagian kepemilikan saham Kejora atas Hipwee.

Bersama masuknya YOT ke jajaran shareholder, Alexander Zulkarnain selaku Brand & Partnership Director dari YOT akan turut membantu jajaran manajemen Hipwee, berperan sebagai Chief Brand Officer yang fokus pada pengembangan merek dan kerja sama.

CEO Hipwee Nendra Rengganis mengatakan, kolaborasi kedua perusahaan diharapkan bisa memberikan keleluasaan untuk menciptakan konten-konten yang tidak hanya mengejar klik, tapi juga berdampak dan membantu memecahkan berbagai permasalahan anak muda Indonesia.

“Kami tidak sabar untuk segera berkolaborasi dan menciptakan banyak terobosan baru yang semoga, bisa menemani langkah anak muda Indonesia menemukan versi terbaik dari diri mereka,” ujarnya.

Seperti diketahui, sebagai sebuah holding, YOT menaungi beberapa bisnis, di antaranya GDILab (perusahaan analitik digital), TopKarir (portal karier), maingame.com (platformnya game lokal), dan Bizhare (layanan equity crowdfunding).

Hipwee sendiri didirikan sejak tahun 2014, fokus sebagai media yang menyasar pembaca di rentang usia 18 sampai 24 tahun. Sistemnya berbasis komunitas, saat ini mereka mengaku sudah memiliki 9 ribu kontributor yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.

Kerjora dan YOT sendiri sebenarnya memiliki keterkaitan (secara tidak langsung). Billy Boen ditunjuk sebagai direktur Orbit Fund, joint venture berbentuk modal ventura antara Kejora dan SBI Holdings. Memfokuskan startup tahap awal, mereka berkomitmen untuk menggelontorkan dana US$30 juta atau setara 426 miliar Rupiah.

Application Information Will Show Up Here