Usung Konsep Open Source, Smart Speaker Mycroft Mark II Pastikan Privasi Anda Tetap Terjaga

Lewat perangkat speaker pintar seperti Google Home atau Amazon Echo, kita bisa mengaktifkan serta menggunakan segala macam perangkat elektronik dan perabotan di rumah lewat perintah suara. Tapi efek negatif yang dapat terjadi adalah data-data Anda yang dikumpulkan oleh device itu dijual lagi oleh produsen, dan dimanfaatkan untuk menyodorkan iklan.

Hal ini menjadi perhatian Joshua Montgomery dan tim Mycroft AI. Setelah meluncurkan sistem voice assistant open source pertama di dunia pada tahun 2015, tim memperluas teknologinya dan memperkenalkan Mycroft Mark II. Dideskripsikan sebagai alternatif lebih terbuka dari Home dan Echo, Mark II merupakan speaker pintar yang memungkinkan Anda berinteraksi dengan perangkat di tempat tinggal via suara – misalnya mencari info tentang sesuatu atau memutar musik.

Smart speaker Mycroft Mark II mempunyai wujud seperti kapsul, memiliki diameter 105mm dan berdiri setinggi 196mm. Desainnya yang simpel namun stylish memastikan Mark II bisa ditaruh di berbagai tempat di rumah. Dalam menyampaikan informasi semisal tanggal atau cuaca, perangkat memanfaatkan suara dengan opsi karakter berbeda (Mycroft, Trinity, Indigo dan Victoria) serta layar.

Mycroft Mark II dibekali enam microphone yang diposisikan secara melingkar, sehingga dapat mendengar jelas perintah sang user meski Anda berada cukup jauh darinya atau ketika musik sedang dijalankan. Mic juga bisa menyingkirkan bunyi-bunyian mengganggu berkat dukungan fitur Acoustic Echo Cancellation dan noise reduction. Keenam mic juga memungkinkan Mark II mengetahui arah datangnya suara Anda.

Hal yang membedakan Mycroft Mark II dari produk Google dan Amazon itu ialah pada aspek privasi. Dengan mengusung prinsip open source, data-data Anda dijamin tetap aman. Mycroft AI menyatakan bahwa mereka merupakan pemain netral di ranah ini. Platform pintar tersebut dibangun oleh komunitas inovator, menjaga teknologi voice assistant-nya tetap ‘jujur dan tidak lebih menguntungkan pihak tertentu’.

Mycroft Mark II 1

Pengalaman penggunaannya bisa Anda kustomisasi sendiri. Mycroft AI berjanji untuk tidak menaruh data-data suara Anda di server mereka, kecuali jika Anda mempersilakannya. Namun walaupun user memberikan izin, tak berarti Mycroft segera membuat profile Anda untuk dijual ke pengiklan. Data tersebut direkam secara anonim, fungsinya hanya buat menyempurnakan teknologi deteksi kata dan speech-to-text.

Mycroft Mark II sudah bisa Anda pesan sekarang juga via situs Kickstarter. Versi development kit dijual seharga US$ 100, sedangkan versi konsumen dibanderol US$ 130. Produk akan mulai didistribusikan di bulan Desember 2018.

Menurut saya, anonimitas pengguna adalah hal yang pertama kali memperoleh ancaman dari kehadiran smart speaker dan asisten digital. TechCrunch sempat memperkirakan bahwa akan ada lebih dari 10 miliar percakapan terekam oleh perangkat-perangkat seperti ini di tahun 2022 nanti – dan angka tersebut baru mencakup wilayah Amerika Serikat saja.

Connect Watch Dirancang Spesifik untuk Menjalankan Sistem Operasi Open-Source AsteroidOS

Samsung Gear S3 membuktikan kalau sebuah smartwatch tak harus menjalankan sistem operasi Android Wear untuk bisa menjadi hebat. Hal yang sama semestinya juga bisa berlaku untuk AsteroidOS, OS khusus smartwatch bersifat open-source yang sempat dipakai oleh Jolla sebagai fondasi untuk Sailfish OS versi smartwatch.

Yang jadi masalah, AsteroidOS sejauh ini cuma bisa di-install secara manual, dan itu pun hanya pada sejumlah smartwatch yang kompatibel saja, macam LG G Watch Urbane, Asus ZenWatch 3 dan Sony Smartwatch 3. Namun ke depannya nasib AsteroidOS mungkin bakal berubah berkat kehadiran Connect Watch.

Connect dideskripsikan sebagai smartwatch pertama yang dikembangkan secara spesifik untuk AsteroidOS. Meski yang menjadi bintang di sini adalah software-nya, fisik Connect sendiri tampak cukup elegan sekaligus sporty, dan spesifikasinya juga terbilang cukup mumpuni.

Connect Watch with AsteroidOS

Layar membulatnya menggunakan panel AMOLED 1,39 inci dengan resolusi 400 x 400 pixel, sedangkan prosesor quad-core 1,39 GHz buatan MediaTek dipercaya menjadi otaknya. Konsumen dapat memilih varian dengan RAM 512 MB atau 1 GB, demikian pula untuk storage internalnya, yakni 4 GB atau 8 GB.

Sebuah kamera 2 megapixel (video 720p) turut tersemat di panel belakangnya, dan smartwatch ini juga bisa dijejali kartu SIM – meski hanya 3G dan bukan LTE. Melengkapi semua itu adalah GPS, serta baterai yang diperkirakan bisa bertahan sampai 4 hari – berkat kepiawaian AsteroidOS dalam hal efisiensi daya.

Aspek lain yang Connect prioritaskan adalah kebebasan penggunaan. Personalisasi merupakan bagian penting dari Connect, dan pengguna rupanya juga tidak perlu khawatir batas privasinya dilanggar dengan penggunggahan beragam data secara otomatis.

Sayang semua informasi mengenai Connect Watch baru sebatas itu. Harga dan ketersediaannya belum diketahui; pengembangnya cuma mengatakan kalau fase pre-order bakal segera dimulai melalui platform crowdfunding Ulele.

Sumber: Wareable dan Connect Watch.

Ringkas dan Solid, WhiteFox Bisa Menjadi Keyboard Mekanik Idaman Non-Gamer

Sebagian besar keyboard mekanik yang ada di pasaran merupakan keyboard gaming, padahal tidak semua penggunanya adalah seorang gamer. Konsumen non-gamer pun otomatis tidak punya banyak pilihan, tapi berkat dedikasi komunitas keyboard enthusiast bernama Input Club, mereka bisa mendapatkan keyboard mekanik idamannya.

Keyboard tersebut bernama WhiteFox, dan ia saat ini sedang mendekati masa akhir kampanyenya di Kickstarter. Saya katakan idaman karena ia memenuhi banyak kriteria yang mayoritas konsumen cari dari sebuah keyboard: berdimensi ringkas, tahan banting, dan tentu saja mampu menyuguhkan feel mengetik yang nyaman berkat penggunaan switch mekanik.

WhiteFox mengadopsi desain tenkeyless (tanpa numpad), membuatnya terasa begitu ringkas. Sasisnya dibuat dari aluminium utuh, dan masing-masing tombolnya tampak melayang di atas bodi yang terkesan solid itu. Tombolnya ini dibuat dari plastik PBT yang terkenal akan durabilitasnya. Lebih lanjut, tiap-tiap label di atasnya dijamin tak akan pudar.

WhiteFox

Performanya didukung oleh Halo Mechanical Switch yang dikembangkan sendiri oleh Input Club. Ada dua tipe yang ditawarkan: Halo True yang tactile dan Halo Clear yang bisa dikatakan sebagai hasil kawin silang Halo True dan Cherry MX Clear. Di samping itu, pengembangnya juga menawarkan WhiteFox dengan switch Kaihua Blue yang lebih mainstream.

Keistimewaan WhiteFox rupanya belum berhenti. Masing-masing tombolnya ternyata dapat diprogram sesuai kebutuhan, dan memprogramnya ini hanya sesimpel membuka situs dan menghadapi interface visual yang mudah sekali dinavigasikan.

Input Club tidak lupa menegaskan kalau WhiteFox merupakan proyek open-source, yang berarti semua orang sebenarnya bisa membuat keyboard WhiteFox-nya sendiri. Kemunculannya di Kickstarter hanya untuk mempermudah mereka yang ingin menerima WhiteFox dalam bentuk siap pakai.

Konsumen yang tertarik saat ini masih bisa memesan WhiteFox lewat Kickstarter seharga $169. Tersedia pula varian berwarna hitam dengan aksen merah bernama Nightfox yang dibanderol $20 lebih mahal.

Mozilla Akuisisi Layanan Read Later Populer, Pocket

Mozilla, perusahaan kita kenal sebagai pengembang browser Firefox, baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Pocket. Bagi yang tidak tahu, Pocket merupakan layanan untuk menyimpan bermacam konten dari internet untuk ditonton, dilihat dan dibaca di lain waktu.

Tidak ada informasi mengenai nilai akuisisinya, akan tetapi ini merupakan akuisisi strategis pertama yang dilakukan oleh Mozilla. Mengapa Pocket? Menurut Mozilla, Pocket punya visi yang sejalan dengan mereka, yakni memberikan konsumen akses yang mudah terhadap konten berkualitas di internet yang tidak bergantung pada platform tertentu.

Hubungan Mozilla dan Pocket sendiri bisa dikatakan cukup unik. Pada awal pengembangannya di tahun 2007, Pocket hanya berupa plugin untuk Firefox, dan namanya kala itu masih Read It Later. Delapan tahun kemudian, kedua perusahaan memutuskan untuk bekerja sama dan menjadikan Pocket sebagai fitur bawaan Firefox.

Sekarang, Pocket sudah punya sekitar 10 juta pengguna aktif yang mengakses layanannya via perangkat iOS, Android maupun langsung dari web. Sejauh ini diperkirakan juga sudah ada lebih dari 3 miliar konten yang disimpan menggunakan Pocket.

Pasca akuisisi, Pocket masih akan beroperasi secara mandiri, namun berada di bawah payung Mozilla Corporation. Pocket nantinya juga akan menjadi bagian dari proyek open-source Mozilla, tetapi Nate Weiner selaku pendiri Pocket memastikan bahwa tidak akan ada yang berubah pada Pocket. Malahan, timnya jadi bisa lebih cepat mengembangkan fitur-fitur baru berkat sumber daya dan skala global Mozilla.

Sumber: Mozilla dan Pocket.

Microsoft AirSim Adalah Simulator Drone dan Mobil Tanpa Sopir yang Amat Realistis

Sebelum seorang pilot dapat menerbangkan pesawat, ia harus lebih dulu lulus ujian simulasi. Drone maupun mobil tanpa sopir juga demikian. Kalau tidak, tim pengembangnya bisa menghabiskan biaya banyak hanya untuk mengajari drone buatannya membedakan tembok dan bayangan.

Simulasi sejatinya sangat berperan dalam pengembangan teknologi computer vision, machine learning maupun artificial intelligence. Gampangnya, kalau pengujiannya membutuhkan banyak trial and error, simulasi merupakan cara terbaik untuk menghindari sejumlah konsekuensi yang ada, contohnya drone yang menabrak tembok kalau dalam skenario tadi.

Tim Microsoft Research baru-baru ini merilis sebuah software simulator berlisensi open-source yang bisa dimanfaatkan untuk menguji drone, mobil maupun gadget lain yang mengandalkan AI dan teknologi kemudi otomatis. Dinamai Aerial Informatics and Robotics Platform, atau AirSim singkatnya, simulator ini diklaim sanggup menciptakan dunia virtual seakurat dan semirip mungkin dengan dunia nyata.

Berbekal Unreal Engine, AirSim mampu me-render elemen-elemen grafik yang kompleks macam bayangan atau refleksi secara akurat dan realistis. Para pengembang drone pada dasarnya bisa menguji berbagai teorinya dan menabrakkan drone buatannya berulang-ulang sampai ratusan bahkan ribuan kali tanpa harus mengalami kerugian finansial.

Microsoft menegaskan bahwa AirSim tidak dimaksudkkan untuk menggantikan pengujian di dunia nyata, namun setidaknya bisa jadi pelengkap yang efektif sekaligus efisien. Singkat cerita, sebelum pengembang menguji apakah vacuum cleaner robotik garapannya bisa benar-benar berhenti sebelum terjatuh dari tangga, mereka bisa lebih dulu mematangkan teknologinya dengan simulator ini.

Microsoft AirSim saat ini masih dalam tahap beta, akan tetapi developer sudah bisa mengaksesnya lewat GitHub.

Sumber: 1, 2, 3.

Aplikasi LibreOffice 5.2.1 Hadirkan Berbagai Fitur Tambahan

LibreOffice saat ini telah menjadi aplikasi perkantoran yang paling banyak dijejalkan pada sejumlah distro Linux, selain itu, sang developer aplikasi juga semakin giat melakukan pembaharuan. Tak heran jika banyak pengguna open source yang beralih untuk menggunakan LibreOffice sebagai aplikasi perkantoran pada perangkat komputer mereka.

Belum lama ini, The Document Foundation yang berada di balik aplikasi LibreOffice telah mengumumkan kehadiran pembaharuan dari aplikasi perkantoran racikannya tersebut yang kini telah menyentuh versi 5.2.1. Sejumlah peningkatan telah disematkan untuk aplikasi seperti Writer, Calc, Draw, Math dan yang lainnya, termasuk tampilan antarmuka baru khususnya bagi pengguna platform Linux.

Seperti yang kami kutip melalui situs Softpedia, sedikitnya ada sekitar 105 buah pembaharuan yang telah dijejalkan, Italo Vignoli dari The Document Foundation telah mengumumkan kehadiran dari versi baru ini di sela-sela perhelatan LibOCon LibreOffice Developer Conference yang diadakan di Brno, Republik Ceko yang berlangsung dari tanggal 7 hingga 9 September 2016.

Selain tersedia untuk pengguna sistem operasi Linux, pembaharuan aplikasi perkantoran berbasis open source ini juga telah tersedia dan siap untuk diunduh secara cuma-cuma bagi pengguna komputer ber-platform Windows dan Mac OS X, jika Anda ingin mencoba aplikasi ini, dapat mengarahkan peramban Anda pada tautan berikut ini.

Sumber: SoftPedia| Gambar Header: LibreOffice

Aplikasi Simplenote di Semua Platform Kini Resmi Menjadi Software Open-Source

Kabar baik bagi pengguna Simplenote. Aplikasi pembuat catatan dengan fitur sinkronisasi yang sangat bisa diandalkan tersebut resmi menjadi software open-source. Sebelumnya, aplikasi Simplenote untuk Windows dan Linux sudah lebih dulu digarap dengan konsep open-source.

Keputusan ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan mengingat Simplenote diakuisisi oleh Automattic di tahun 2013. Sekadar mengingatkan, Automattic merupakan perusahaan di balik blogging platform WordPress, dan WordPress sendiri juga merupakan proyek open-source.

Lewat blog resminya, diumumkan bahwa semua aplikasi Simplenote kini dijadikan open-source, baik di Mac, iOS maupun Android. Developer yang tertarik bisa mengakses source code Simplenote melalui laman GitHub milik Automattic.

Apa artinya ini bagi kita sebagai pengguna? Well, ke depannya mungkin bakal bermunculan versi-versi modifikasi dari Simplenote yang menghadirkan fitur maupun fungsionalitas baru. Kita hanya perlu menunggu inisiatif dari para developer saja.

Kendati demikian, paling tidak sejauh ini source code yang berkaitan dengan server masih merupakan tanggung jawab Automattic secara penuh. Hal ini berarti kita masih tidak perlu meragukan kehandalan fitur sinkronisasi Simplenote.

Bagi yang belum pernah mencoba, Simplenote cukup recommended. Saya pribadi sudah menggunakannya sebagai tempat menampung ide selama beberapa tahun, dan fitur syncing-nya hampir tidak pernah mengalami kendala.

Sumber: TechCrunch dan Simplenote.

Teknologi Omnitone Besutan Google Suguhkan 3D Audio pada Konten VR Berbasis Web

Konsep yang ditawarkan virtual reality adalah bagaimana Anda bisa dibawa ‘masuk’ ke dalam realita baru tanpa harus mengandalkan gadget khayalan macam mesin waktu atau teleportasi. Untuk mencapainya, yang perlu dirangsang bukan cuma indera penglihatan, tetapi juga pendengaran.

Sederhananya, video 360 derajat saja masih belum cukup immersive untuk membuat Anda merasa sedang berada di dalam realita baru. Suara yang dihasilkan juga harus bisa menyerupai pengalaman kita di dunia nyata; kalau video menunjukkan seorang pianis sedang akrobat jari di sisi kiri Anda, suaranya juga harus terdengar dari sebelah kiri pula.

Berkaca pada pemahaman ini, Google merancang sebuah proyek open-source baru bernama Omnitone. Omnitone pada dasarnya memanfaatkan teknik ambisonics untuk menciptakan suara surround yang ‘menyelimuti’ pendengar secara 360 derajat, atau yang dikenal dengan istilah 3D audio. Tujuannya sekali lagi adalah untuk memberikan pengalaman audio serealistis mungkin.

Menariknya, Omnitone dirancang agar kompatibel dengan konten VR berbasis web. Dan karena ia bersifat open source, developer dari pihak mana saja bisa memanfaatkannya untuk menciptakan konten VR yang immersive secara visual sekaligus aural.

Kalau Anda masih bingung bagaimana cara kerja Omnitone, Google sudah menyiapkan dua video demonstrasi yang bisa Anda coba langsung menggunakan browser di komputer dan sebuah headphone – tidak perlu memakai VR headset atau headphone surround, headphone standar saja sudah bisa menunjukkan efek ‘sihir’-nya.

Sumber: Engadget. Gambar header: Oculus.

Surround 360 Ialah Kamera 360 Berwujud Seperti Piring Terbang Ciptaan Facebook

Disebut-sebut sebagai tahunnya virtual reality, 2016 membawa sejumlah tantangan nyata bagi para produsen perangkat VR: memenuhi ekspektasi konsumen terutama dari sisi teknis serta ketersediaan konten. Dengan memiliki Oculus VR, Facebook menjadi salah satu pemain besar di ranah itu. Dan kini sang raksasa sosial media ingin memastikan investasi mereka tidak sia-sia.

Dalam konferensi developer tahunan F8 di kota San Francisco, Facebook memperkenalkan Facebook Surround 360, sebuah kamera untuk merekam video 360 derajat berkemampuan me-render otomatis. Melaluinya, Facebook mengikuti jejak Google (Odyssey) dan Samsung (Gear 360). Namun langkah mereka tak sekedar ikut-ikutan, Surround 360 katanya memberikan solusi atas kendala teknis yang ada di device sejenis.

Facebook Surround 360 02

Surround 360 berpenampilan seperti piring terbang. Ia memiliki 17 buah kamera – 14 mengelilingi sisi sampingnya, satu fish-eye di atas dan sepasang lagi di bawah. Desain tersebut tentu saja ada maksudnya: dengan penempatan kamera seperti ini, Surround 360 dapat mengabadikan video secara utuh, tanpa memperlihatkan tiang/mount. Tiap kamera dibekali shutter global sehingga objek-objek cepat tidak menimbulkan efek artefak.

Kamera ini diramu agar tangguh serta kuat, dan produsen juga menemukan cara supaya Surround 360 tidak overheat dalam penggunaan di waktu lama. Rangkaian kamera itu dipasangkan ke chassis aluminium secara kokoh, sehingga rig dan unit kamera tidak bergerak saat dipakai. Di bagian luarnya, Facebook memanfaatkan shell dari baja power-coated untuk memproteksi komponen internal.

Facebook Surround 360 03

Facebook Surround mampu menyajikan output video 4K, 6K, sampai 8K. Khususnya buat 6K dan 8K, produsen menggunakan codec Dynamic Streaming, hasilnya bisa dilihat dari Oculus Rift serta Gear VR. Menariknya, output tersebut tidak eksklusif cuma untuk headset virtual reality saja. Rekaman dapat di-share ke News Feed Facebook (monoscopic), dan teman-teman Anda dipersilakan mengunduh video stereonya.

Device turut ditopang software stitching jempolan supaya bekerja selaras dengan hardware. Exposure, shutter speed, dan sensor, semuanya diatur di sana. Buat mengendalikan kamera-kameranya, Facebook memilih PC berbasis Linux agar sistem mudah dimodifikasi.

Facebook Surround 360 04

Facebook tidak berniat mengerjakannya sendiri. Mereka berencana buat merilis Surround 360 sebagai proyek open-source (baik unit kamera serta software) di GitHub pada pertengahan tahun ini. Developer bisa mengutak-atik desain dan kodenya, sedangkan pencipta konten dapat memakainya untuk produksi video 360. Versi awal Surround 360 tersusun atas komponen-komponen kustom, membutuhkan modal yang sangat banyak: US$ 30.000.

Via The Verge. Sumber: Facebook.

Oculus Rift Terlalu Mahal? OSVR Bisa Menjadi Alternatif Teroptimal Buat Gamer PC

Setelah menunggu selama berbulan-bulan, banyak orang kaget saat mengetahui harga retail Oculus Rift. Kebanyakan dari mereka kecewa karena ternyata ia lebih mahal dari dugaan sebelumnya, apalagi jika dibandingkan dengan versi DK. Tapi di masa kebangkitan virtual reality ini, tersedia sejumlah alternatif yang tidak kalah canggih, jika Anda mencari lebih seksama.

Anda mungkin tidak akan kesulitan menyebutkan beberapa produk head-mounted display VR selain Rift. Vive dan PlayStation VR, semuanya menjanjikan fitur-fitur canggih. Namun familierkah Anda dengan OSVR alias Open Source Virtual Reality? Ia disediakan sebagai wadah untuk membangun ekosistem virtual reality secara terbuka dan kolaboratif. OSVR diprakarsai oleh Razer, diungkap perdana di CES tahun lalu.

OSVR 01

Dengan berpedoman pada prinsip keterbukaan, OSVR membuka pintu lebar-lebar bagi produsen dan developer untuk berpartisipasi. Sejauh ini, ia telah menghimpun nama-nama seperti Intel, Nod, Ubisoft, Gearbox Software, Leap Motion, Jaunt, dan Sensics. Mereka bisa memanfaatkan skematik dan source code secara bebas. Syarat terakhir ialah memiliki headset versi developer, atau istilahnya, OSVR Hacker Dev Kit.

OSVR 03

Selain open source, keunggulan lain OSVR adalah penyuguhan yang simpel dan modular tanpa disertai kesan murah. Desain versi saat ini mengingatkan saya pada Rift DK2, namun developer sudah memperbarui sejumlah aspek: kabel berpangkal dari headset, mengikuti strap atas ke belakang, kemudian menyambung ke modul hardware eksternal. Bagian ini memang sengaja dibuat untuk dicantelkan di celana atau ikat pinggang.

Menurut laporan hands-on Digital Trends, OSVR berhasil menawarkan solusi terhadap masalah efek screen-door, di mana kita dapat melihat titik-titik pixel – disebabkan oleh dekatnya jarak antara mata dan display. Buat menangani hal itu, OSVR memanfaatkan jenis lensa yang lebih baik dipadu teknik difusi screen-level. Hasilnya gambar jadi lebih jelas dan juga lebih responsif. Padahal, Hacker Dev Kit hanya ditopang resolusi 960×1080-pixel per mata (plus refresh rate 120Hz), di bawah Rift dengan 1080×1200. Menariknya lagi, tiap unit OSVR bisa ditenagai oleh rangkaian hardware berbeda – sebuah konsep familier di kalangan gamer PC.

OSVR 04

Mengapa OSVR cocok untuk gamer PC? Melalui rancangan modular, user diberi keleluasaan buat melakukan upgrade komponen internal serta mengkustomisasi hardware – sesuai kekuatan sistem PC. Ia memang tidak mempunyai standard seperti Nvidia VR Ready atau Oculus Ready PC, tapi proses setup ini sangat menyerupai esensi ber-gaming di komputer personal.

Anda sudah bisa memesan OSVR sekarang. Harganya cuma separuh dari Oculus Rift: US$ 300, tersedia di Razer Zone.

Sumber tambahan: Razer Zone.