Tiket Incar Tambahan Dana Segar, Siap Cetak Laba di Tahun 2021

Platform OTA Tiket mengungkapkan sedang mengincar dana segar untuk kebutuhan ekspansi bisnis. Perusahaan juga menargetkan segera cetak laba pada dua tahun mendatang karena diklaim memiliki revenue stream yang jelas.

CEO Tiket George Hendrata enggan menyebut berapa besar kebutuhan dana yang diincar. Dana segar bakal dipakai untuk ekspansi bisnis perusahaan. Perusahaan sedang giat membuka kantor baru baik di Indonesia maupun di luar negeri.

“Sekarang revenue line (bisnis) sudah jelas dan makin besar (potensi OTA). Pertumbuhan kami per tahunnya selalu di atas 100%, kalau sudah di atas itu kita buka diri lagi untuk fundraising ke investor strategis agar Tiket bisa lebih mantap lagi ke depannya,” ucap dia, kemarin (16/1).

Setelah Tiket diakuisisi penuh oleh Blibli, pada pertengahan Juli 2017, perusahaan tidak melakukan penggalangan dana eksternal. Pun sebelumnya, sejak dibangun pada 2011, Tiket termasuk startup yang tidak pernah mencari pendanaan lanjutan dari investor. Dana awal diperoleh dari angel investor senilai $1 juta.

Menurut George, penggalangan dana adalah suatu kebutuhan buat startup yang ingin tumbuh dengan cepat, di sokong oleh kapital yang selalu tersedia. Kelebihan di dunia OTA, ini adalah industri tertua dibanding e-commerce maupun ride sharing, sehingga penetrasinya lebih tinggi.

Ambil contoh, sambungnya, di negara maju penetrasi OTA mencapai 60%-70%, sedangkan di Tiongkok sudah 50%. Indonesia sendiri sudah 30%. Angka ini berpotensi terus meningkat ke depannya, mengingat melancong sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup.

“OTA di luar (negeri) sudah profit karena punya revenue stream yang jelas, kebutuhan travelling juga besar, makanya size bisnis di pasar ini besar sekali. Kita mau agresif. Tiket ini jago kandang, kalau mau besar dan masuk ke lokasi baru, kita butuh partner yang kuat di daerah masing-masing.”

Terlebih itu, perusahaan berstatus unicorn biasanya memiliki investor lebih dari satu. Hal tersebut memiliki keuntungan, ada nilai tambah dalam pengembangan bisnis si perusahaan tersebut. Dalam artian, kapasitas jadi lebih besar, corporate governance lebih bagus, serta lebih mudah saat menjaring talenta baru.

Dia menyebut, saat ini Tiket mulai agresif mencari talenta baru baik di dalam maupun luar negeri. Ekspansi kantor perdana dimulai dari awal tahun lalu dengan membuka kantor di Vancouver, Kanada sebagai R&D. Pemilihan lokasi ini secara strategis memiliki kedekatan dengan Silicon Valley, menyimpan potensi talenta engineer yang bagus.

“Ada banyak talenta Indonesia yang berkarier di luar, kami berusaha mendekatkan diri ke mereka. Di samping itu, area computer science dan engineer lebih maju, kami perlu talenta seperti mereka.”

Selain Kanada, Tiket punya kantor di Singapura, Malaysia, dan Thailand sebagai kantor pemasaran. Di dalam negeri, Tiket menambah lokasi kantor di Jakarta (tiga kantor), Bali, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Medan, dan Makassar.

Lokasi kantor Tiket di Grha Niaga Thamrin (Jakarta), Bandung, dan Yogyakarta menjadi tempat R&D di dalam negeri. Total karyawan Tiket secara keseluruhan ada lebih dari 1.300 orang, meningkat dari akhir 2018 sebanyak 800 orang.

“Kantor Tiket di Singapura sebenarnya sudah dapat entity sejak Maret 2019 pakai nama Global Tiket Network Ltd.,, tapi office-nya baru di resmikan kemarin. Semua kantor kita di luar negeri pakai entitas yang jelas, mengikuti aturan yang berlaku di sana,” tambah Chief People Officer Dudi Arisandi.

Menurut Dudi, pemilihan lokasi kantor Tiket ini berkaca pada tingginya kunjungan destinasi wisata. Perusahaan pun perlu lebih mendekatkan diri kepada konsumen bila ada keluhan, sekaligus permudah relasi dengan mitra hotel demi tambahan suplai inventaris kamar.

Siap menuju profitabilitas

George mengklaim perusahaan dalam dua tahun lagi akan menuju profitabilitas, mengikuti jejak pemain OTA global lainnya. Dia juga mulai mempertimbangkan untuk IPO ketika target tersebut dapat tercapai.

Perusahaan OTA, menurutnya, memiliki revenue stream yang jelas. Ada komisi yang didapat dari mitra ketika berhasil menjual kamar hotel atau tiket penerbangan. Revenue take rate di OTA di kisaran 5%-25% tergantung produk yang berhasil di jual. Angka ini jauh lebih tinggi daripada perusahaan e-commerce yang umumnya take rate-nya 1%-2%.

“Lalu persaingan antar pemain OTA ini masih wajar. Tidak terlalu ‘gila’ seperti ride sharing. Jadi path-nya ini sudah bagus dan industrinya jauh lebih sehat. Kalau kita, path-nya ini sudah menuju profit, dalam dua tahun harusnya sudah bisa.”

Pertimbangan untuk melantai di bursa saham pun muncul ketika perusahaan sudah profit. George mengatakan IPO adalah langkah yang perlu bila perusahaan ingin berkembang di negara lain. Pasalnya, perusahaan akan memiliki governance yang lebih bagus, exposure ke investor juga jauh lebih besar.

Tanpa menyebut detail, Tiket mencatat pertumbuhan bisnis lebih dari 150% di 2019 dibandingkan tahun 2018. Kenaikan tertinggi datang dari pemesanan tiket pesawat. Destinasi yang paling banyak dikunjungi adalah Surabaya, Makassar, Medan, Singapura, Kuala Lumpur, dan Hong Kong.

Beberapa fitur yang dikembangkan perusahaan diantaranya Hotel Now, Smart Trip, Pay at Hotel, Smart Refund, Smart Rechedule, Online Check-in, Group Booking, dan Tiket Anti Galau. Perusahaan menyediakan fasilitas Airport Transfer dan Airport Lounge di 10 bandara besar di Indonesia.

Dalam waktu dekat, aplikasi Tiket akan dipersonalisasi sesuai kebiasaan pengguna dengan machine learning dan AI. “Tanpa disuruh [aplikasi] bisa lebih mengerti kita arahnya mau ke mana, ada rekomendasi tujuan yang sudah dipersonalisasi,” tutup George.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Traveloka Tingkatkan Pengalaman Perjalanan

Traveloka termasuk ke dalam salah satu perusahaan teknologi ndonIesia yang cukup rajin berinovasi. Perusahaan kini menjadi penyedia layanan yang lengkap dalam urusan perjalanan. Perlahan tapi pasti, fitur lain bermunculan.

Munculnya para pemain e-commerce yang juga menawarkan tiket perjalanan dan kamar hotel tak menjadikan Traveloka sebagai saingan. Justru mereka menjawabnya dengan melengkapi sejumlah layanan lain yang mengukuhkan posisi Traveloka sebagai pemimpin layanan perjalanan.

Traveloka saat ini memiliki lebih dari 10 produk travel dan gaya hidup yang meliputi transportasi, gaya hidup, hingga jasa keuangan. Termasuk di dalamnya Traveloka Eats, fitur yang memudahkan pengguna mencari restoran, dan Traveloka Xperience yang menawarkan produk wisata dan aktivitas liburan yang terkurasi.

“Dalam mengembangkan produk dan layanan, kami selalu menjadikan pengguna sebagai fokus utama kami. Kami berusaha untuk menganalisa kebutuhan pengguna dan kemudian menyediakan produk dan layanan yang memudahkan mereka. User centric adalah prinsip yang menjadi dasar utama kami dalam pengembangan produk, pemasaran, serta layanan untuk pengguna,” terang PR Manager Traveloka Aisha Bunsunandya kepada DailySocial.

Saat ini Traveloka kurang lebih telah diunduh lebih dari 40 juta pengguna dan beroperasi di  Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia.

Traveloka Xperience

Pada tahun 2018 silam Google dan Temasek merilis laporan bertajuk e-Conomy SEA 2018. Dalam laporan itu online travel menjadi salah satu industri yang diperkirakan akan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, bersama dengan industri e-commerce, ride hailing, dan online media. Dalam laporan itu nilai bisnis online travel mencapai $30 miliar dan diprediksi akan terus tumbuh hingga mencapai $78 miliar pada tahun 2025 mendatang.

Sebenarnya untuk industri travel Traveloka tidak sendirian. Ada Tiket.com, Expedia, EzyTravel, Klook, Booking, dan beberapa lainnya. Belum lagi dua “super app” Grab dan Gojek yang berkolaborasi dengan beberapa penyedia menawarkan pembelian tiket melalui aplikasinya.

Pengalaman pengguna adalah kunci

Bagi Traveloka saat ini mengembangkan layanan untuk memperkaya pengalaman menjadi salah satu hal yang menjadi fokus utama. Dalam sebuah wawancara, CEO Ferry Unardi menyampaikan bahwa pihaknya mencari pertumbuhan untuk bisnis gaya hidup dan layanan finansial.

Bisnis Traveloka semakin melebar dalam tiga tahun belakangan. Mereka aktif menjalin kerja sama strategis untuk menghadirkan solusi yang lengkap, bagi mereka yang bepergian, jadi sangat wajar pada akhirnya Traveloka hadir menawarkan asuransi, paylater, dan beberapa inovasi lainnya.

Awal tahun ini Traveloka meresmikan pusat research and development kedua di Bangalore, India setelah sebelumnya lebih dulu menghadirkannya di Singapura. Bukan tidak mungkin sejumlah inovasi akan mengalir dalam beberapa tahun ke depan.

Beberapa layanan yang ada mulai mentransformasikan Traveloka menjadi sebuah platform yang lengkap, setidaknya dalam urusan perjalanan dan pengalaman liburan. Atau mungkin mereka pelan tapi pasti akan menjadi “super app” khususnya di bidang perjalanan. Seperti ciri khas “super app”, banyak layanan dalam satu aplikasi.

Traveloka saat ini punya Traveloka Xperience dan Traveloka Eats untuk memanjakan mereka yang ingin mendapatkan pengalaman lebih selama berwisata atau bepergian, termasuk mendapatkan rekomendasi tempat makan. Dalam hal finansial ada layanan Traveloka Pay yang tentunya memberikan banyak penawaran menarik, kemudian ada layanan paylater hasil kerja sama dengan Danamas.

“Kami akan terus berinovasi dan melakukan pengamatan serta menganalisa behaviour masyarakat saat ini terkait perjalanan dan gaya hidup, sehingga kami dapat menghadirkan layanan dan produk baru yang dapat menjawab kebutuhan mereka dan menjadi travel and lifestyle booking platform terbaik,” tutup Aisha.

Application Information Will Show Up Here

Traveloka: Fundraising, Optimizing New Verticals, and Planning for IPO

Slowly but surely, Indonesia’s giants start to initiate exit strategy through go-public, including Traveloka. This is shared directly by its Co-Founder & CEO, Ferry Unardi in an interview with Bloomberg. He  said the realistic plan for IPO is to be accomplished in the next 2-3 years.

In order to achieve the goal, the company’s main homework is to maintain a positive financial flow. He also said the business is currently stable and facing the right track. They also have a clear direction to be profitable in the near future.

There’s a chance for dual listing

There has been a discussion about the go-public initiative with some parties, including IDX, Unardi said. However, the company might have to choose to make a listing on the other side of the digital world, in the US.

This has become a common move, like what happened to Alibaba, starting off in the US a few years back then, and in the Hong Kong exchange recently.

Previously in a separate occasion, Traveloka’s President Henry Hendrawan also mentioned the IPO issue. The company is likely to have a dual listing, in Indonesia and another country. The strategy to accelerate the realization is by optimizing digital financial services in the application ecosystem, in order to accelerate profit gain.

Aside from Traveloka, a similar initiative was made by other unicorns, such as Tokopedia and Gojek. Tokopedia is currently in the fundraising mode for 21 trillion Rupiah to prepare the company’s profitability entering the IPO season. Through various pits, the CEO, William Tanuwijaya has brought up the initiative to have pre-IPO first.

Analytical assumptions arose about digital startups flocked to plan for IPO, it is due to the overvaluation issue from other digital companies, like WeWork and Uber, resulting in a decrease of valuation (and investors’ trust) in a significant way. Moreover, there’s a projection of deceleration to the global economy in the next few years that could affect the current business model.

Continue with the fundraising

BRI and Traveloka partnership for PayLater Card / Traveloka
BRI and Traveloka partnership for PayLater Card / Traveloka

Similar to the other unicorns, Traveloka is said to grow with a conservative investment fund. As informed, the mechanism works as investors made an investment in return for stock, obligation, or cash – in another way is convertible notes – with merely lower risk, therefore, adopted by many startups.

The team is to accelerate growth by exploring new vertical that supports OTA business, such as lifestyle and financial technology. Some of the initiatives have started, such as the PayLater feature in partnership with Danamas, also Bank Rakyat Indonesia. – BRI is said to have a discussion regarding investment for Traveloka. In the wellness sector, they’ve optimized the Xperience feature to help their consumer’s recreational experience.

In order to accelerate, the company will continue to make fundraising. In fact, Unardi ensured that they are looking for investors with probability as strategic partners to support the new verticals. Rumor sparks in the mid-2018, that Traveloka has been looking for new funding up to 7 billion Rupiah.

Traveloka has been backed by some investors, including Expedia, JD.com, GIC, and Sequoia Capital.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Traveloka: Penggalangan Dana, Optimasi Vertikal Baru, hingga Rencana IPO

Pelan tapi pasti raksasa digital Indonesia mulai menyusun strategi exit melalui penawaran publik, tak terkecuali Traveloka. Hal ini disampaikan langsung oleh Co-Founder & CEO Ferry Unardi dalam sebuah wawancara bersama Bloomberg. Ia mengatakan rencana realistis IPO akan dilakukan sekitar 2-3 tahun mendatang.

Untuk mencapai hal itu, PR utama perusahaan adalah memastikan arus keuangan perusahaan positif. Ia pun menyampaikan bahwa saat ini kondisi bisnisnya masih stabil dan dalam lajur pertumbuhan yang sesuai. Turut ditegaskan mereka sudah memiliki arah yang jelas untuk menuai profit dalam waktu dekat.

Kemungkinan IPO di dua tempat

Sudah ada perbincangan mengenai rencana go-public dengan beberapa pihak, termasuk IDX, demikian disampaikan Unardi. Namun ada kemungkinan perusahaan akan terlebih dulu memilih listing di tempat perusahaan digital dunia lainnya berada, di Amerika Serikat.

Ini jadi praktik yang lumrah, seperti yang dilakukan Alibaba, mengawali di Amerika Serikat beberapa tahun lalu, dilanjutkan di bursa Hong Kong beberapa hari lalu.

Sebelumnya dalam kesempatan terpisah President Traveloka Henry Hendrawan juga menyampaikan soal IPO. Kemungkinan perusahaan akan melakukan dual listing, di Indonesia dan di negara lain. Strategi yang dilakukan untuk mempercepat realisasinya dengan mengoptimalkan layanan keuangan digital di ekosistem aplikasi, untuk mengakselerasi penciptaan profit.

Tidak hanya Traveloka, rencana serupa juga tengah digalakkan oleh unicorn lain, misalnya Tokopedia dan Gojek. Tokopedia sendiri tengah galang pendanaan baru hingga 21 triliun Rupiah untuk mempersiapkan profitabilitas perusahaan menjelang IPO. Dalam berbagai kesempatan CEO William Tanuwijaya sudah menyinggung keinginan perusahaan melakukan pra-IPO terlebih dulu.

Banyak analisis yang beredar mengenai startup digital yang berbondong menginisiasi IPO, salah satunya ditengarai isu overvaluation dari perusahaan digital lain, seperti WeWork dan Uber, yang justru menurunkan nilai (dan kepercayaan investor) secara signifikan. Terlebih ada proyeksi perlambatan ekonomi global dalam beberapa waktu mendatang yang bisa berdampak pada model bisnis yang sekarang dijalankan.

Masih terus melakukan fundraising

Traveloka BRI
Peresmian kerja sama BRI dan Traveloka untuk PayLater Card / Traveloka

Sama seperti unicron lokal lainnya, disampaikan saat ini Traveloka masih terus melaju dengan conservative invesment fund.  Sebagai informasi, dalam mekanisme tersebut investor memberikan pendanaan dengan imbal balik dapat berupa saham, obligasi, atau uang tunai – bentukan yang lebih riil salah satunya convertible notes – ini cenderung minim risiko, sehingga banyak diadopsi usaha rintisan.

Pihaknya masih akan terus mengejar pertumbuhan dengan mengeksplorasi vertikal baru yang mendukung bisnis OTA, yakni gaya hidup dan teknologi finansial. Beberapa inisiatif sudah digulirkan, termasuk fitur PayLater bekerja sama dengan Danamas sekaligus Bank Rakyat Indonesia – BRI dikabarkan tengah dalam tahap penjajakan untuk turut andil jadi investor Traveloka. Untuk gaya hidup mereka juga sudah mulai optimalkan Xperience untuk mendukung kegiatan rekreasi penggunanya.

Genjot pertumbuhan, perusahaan masih akan terus melakukan penggalangan dana. Akan tetapi Unardi menegaskan, bahwa mereka tengah mencari investor yang sekaligus dapat dijadikan rekanan strategis untuk mengembangkan dua vertikal baru di atas. Pertengahan tahun lalu beredar kabar, Traveloka tengah cari dana hingga 7 triliun Rupiah.

Traveloka telah didukung oleh sejumlah investor, termasuk Expedia, JD.com, GIC, hingga Sequoia Capital.

Application Information Will Show Up Here

Airy Business Menjadi Layanan Unggulan Airy Indonesia

Setelah diperkenalkan akhir tahun 2018 lalu, kini Airy Business telah dipercaya oleh lebih dari 200 perusahaan dengan diperkuat akses reservasi ke 9 ribu rute penerbangan serta lebih dari 20 ribu hotel dan akomodasi di seluruh Indonesia.

Menyasar segmen B2B, platform Airy Business didesain untuk memudahkan perusahaan mengelola rencana perjalanan pegawai hanya dalam satu platform. Layanan yang diklaim menjadi unggulan Airy ini diharapkan bisa memudahkan pengelolaan perjalanan dinas perusahaan dengan sistem pengajuan dan persetujuan berbasis daring serta pelaporan komprehensif secara real time.

“Sebagai startup teknologi, Airy terus berinovasi mengembangkan diri dan menghadirkan solusi perjalanan bagi para traveller, termasuk pengguna perusahaan, serta menguatkan komitmen khusus Airy dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” kata VP Commercial Airy Viko Gara.

Viko menambahkan, Airy Business memberikan efisiensi kepada pengguna karena meringkaskan alur administrasi. Selain itu, Airy Business juga memungkinkan karyawan memiliki kebebasan mengatur perjalanan dinas dan tetap berkesempatan mendapatkan waktu rekreasi, tanpa menyalahi ketentuan perusahaan.

“Dengan keleluasaan tersebut, karyawan bisa selalu terinspirasi dan termotivasi dalam bekerja sehingga produktivitas pun meningkat dan bisnis perusahaan terus tumbuh,” tambah Viko.

Memanfaatkan ekosistem Airy

Selain menyediakan prosedur terintegrasi secara digital bagi karyawan dan manajemen perusahaan untuk pengelolaan biaya perjalanan, Airy Business juga memungkinkan pemesanan moda pesawat serta akomodasi hotel melalui satu kanal yang sama.

Untuk meningkatkan ketersediaan akomodasi, Airy Business juga diperkuat oleh lebih dari 2 ribu properti mitra yang tersebar di lebih dari 100 kota di seluruh Indonesia. Dari segi pembayaran, mereka menawarkan metode yang beragam, mulai transfer bank, kartu kredit, sampai penagihan per bulan ke bagian keuangan perusahaan.

Untuk memudahkan penggunaan, Airy Business dilengkapi dengan dedicated account manager yang dikhususkan menangani tiap pengguna, termasuk dasbor yang menyajikan informasi lengkap jadwal berbagai penerbangan dan hotel. Tidak disebutkan apakah nantinya Airy Business akan menghadirkan aplikasi.

“Lebih dari itu, dengan Airy Business, tim manajemen mudah memonitor pengeluaran perjalanan per departemen menggunakan data real time serta pelaporan secara komprehensif sehingga menciptakan transparansi antara karyawan dan perusahaan,” kata Viko.

Perkuat Bisnis di Indonesia, OYO Siapkan Dana Investasi 4,2 Triliun Rupiah

OYO mengumumkan komitmen baru dalam investasi mereka di Indonesia menjadi US$300 juta atau setara 4,2 triliun Rupiah. Komitmen anyar ini diumumkan setelah keberhasilan perusahaan menembus 5 juta pelanggan sepanjang 2019 ini.

Pendiri dan CEO OYO Ritesh Agarwal menyampaikan langsung sejumlah pencapaian yang sudah mereka peroleh selama beroperasi di Indonesia. Ritesh mengatakan, saat ini OYO sudah menggandeng 1.000 hotel dan 27.000 kamar di 100 kota di Indonesia. Ia menyebut angka itu tercapai lebih cepat dari target mereka yakni satu tahun.

“Kami pernah menyampaikan bahwa kita akan berinvestasi US$100 juta pada tahun lalu. Sekarang kami akan memperbarui investasi itu menjadi US$300 juta berkaca dari kesuksesan kita di sini,” ucap Ritesh.

Country Head OYO Indonesia Rishabh Gupta menjelaskan, tambahan investasi US$200 juta itu dianggarkan untuk satu tahun ke depan. Menurutnya, dana itu akan digunakan utamanya untuk revitalisasi bangunan hotel dan pelatihan staf yang tersebar

Country Head of Business Development OYO Indonesia Agus Hartono Wijaya turut menambahkan, pengucuran investasi itu diputuskan karena mereka menyadari ada cukup banyak hotel di sejumlah kota yang kualitasnya di bawah standar. Renovasi jadi langkah prioritas mereka untuk menarik pelanggan.

Let’s say okupansi mereka di bawah 50 persen misalnya. Justru itu value OYO untuk meningkatkan okupansi mereka jadi di atas 50 persen. Bagaimana caranya ya dengan direnovasi dulu,” imbuh Agus.

Perbedaan akses dan infrastruktur suatu daerah turut berpengaruh pada kualitas hotel yang beragam. Disparitas kualitas hotel inilah yang hendak diselesaikan oleh OYO lewat tambahan investasi mereka.

Fokus di timur

Salah satu fokus ekspansi OYO di Indonesia berada di wilayah timur. Potensi wisata yang besar dan industri perhotelan yang masih berkembang di sana jadi alasan OYO membidik ke sana.

Kendati demikian, upaya ekspansi itu tak akan mudah karena gairah bisnis perhotelan di sana sedang lesu.

Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi Sukamdani mengutarakan, tingkat okupansi hotel di kawasan timur merosot 30 persen. Serupa dengan data PHRI, Badan Pusat Statistik pun mencatat penurunan tingkat hunian hotel berbintang pada Maret 2019 sebesar 4,21 poin menjadi 52,89 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Haryadi menyebut kenaikan harga tiket pesawat jadi penyebab utama hal itu terjadi.

Kendati demikian, Rishabh meyakini kenaikan harga tiket pesawat tak begitu berpengaruh pada industri perhotelan. Di samping upaya pemerintah Indonesia yang terus membenahi infrastruktur pariwasata, pihaknya juga terus berinvestasi untuk memperbaiki kualitas pelayanan hotel yang bekerja sama dengan OYO.

“Lagipula orang Indonesia tidak hanya berwisata melalui pesawat, banyak juga yang pakai infrastruktur darat seperti kalau ke Bandung atau Yogyakarta. Bagi OYO, okupansi hotel tidak terdampak oleh kenaikan tiket pesawat,” cetus Rishabh.

Program OPEN untuk pemilik aset

Pada saat yang sama, OYO juga meluncurkan OPEN yang ditujukan untuk mitra pemilik aset. Sederhananya, program ini merupakan wadah bagi para pemilik aset untuk bertukar ide, informasi, dan lainnya yang dapat menunjang bisnis.

Dalam program itu OYO berkomitmen untuk membagi hasil pendapatan tepat waktu, memberikan akses pembiayaan yang terjangkau, membantu pemasaran hotel, dan menyediakan teknologi sebagai solusi untuk pemilik hotel.

Melihat Masa Depan Marketplace Umrah di Indonesia

Menurut data Kementerian Agama, jumlah jamaah yang telah berangkat dan menunaikan ibadah umrah sekitar 1,1 juta orang di tahun 2018 dan diprediksikan terus naik untuk tahun ini. Ibadah umrah, sesuai ketentuannya, harus difasilitasi agen perjalanan yang terdaftar di Kementerian Agama dan Kedutaan Arab Saudi serta tergabung dalam organisasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU),

Sesuai dengan perkembangan zaman, mulai bermunculan marketplace OTA (online travel agent) yang memfasilitasi pembelian paket umrah secara online. Sebagai marketplace, mereka tidak membuat paket dan keagenan tersendiri.

Secara persentase, jumlah yang difasilitasi melalui marketplace terbilang masih kecil, tetapi melihat tren anak muda yang makin tertarik dengan wisata umrah, sesungguhnya potensinya cukup menarik di masa depan.

Kemkominfo baru-baru ini mengajak dua startup unicorn populer, Traveloka dan Tokopedia, untuk memudahkan pembelian paket umrah dari para agen secara online. Meski sempat terjadi polemik, sesungguhnya keduanya tidak terjun langsung mengurusi kegiatan ini.

PR Director Traveloka Sufintri Rahayu menyebutkan, “Tujuan dari inisiatif ini adalah untuk membantu memudahkan lebih banyak orang Indonesia agar dapat melaksanakan ibadah umrah. Kami berharap ke depannya, dengan adanya kemudahan pada digitalisasi perjalanan umrah, akan semakin banyak orang Indonesia yang dapat melaksanakan ibadah umrah.”

Baik Tokopedia msaupun Traveloka akan melakukan koordinasi dengan Kemenag dan Kemkominfo.

“Tentunya dalam pelaksanaan diskusi ini, tim terkait juga akan bekerja sama dan bermitra dengan PPIU sebagai stakeholder utama dari bisnis perjalanan umrah sebaik mungkin agar dapat menciptakan pengalaman umrah yang mudah dan nyaman bagi masyarakat Indonesia,” lanjut Sufintri.

Sinergi dan kompetisi

Layanan marketplace umrah yang sudah hadir di Indonesia, seperti Pergiumroh, Kitaumroh dan Umroh.com menyambut baik masuknya Tokopedia dan Traveloka ke ranah bisnis yang sudah mereka jalankan ini. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang diharapkan menjadi perhatian untuk persaingan dan kolaborasi ke depannya.

Menurut Commercial Manager Umroh.com Lia Firdausy, teknologi dan pasar milenial saat ini, menjadi peluang yang makin banyak dilirik oleh pemain serupa. Tidak heran jika Traveloka dan Tokopedia mencoba menawarkan layanan serupa. Suatu saat, kalangan milenial ini bakal menjadi peserta umrah paling banyak.

“Era milenial memang tidak bisa lepas dari perkembangan digitalisasi, begitupun industri umrah nantinya, Mau tidak mau semua harus bisa saling bersinergi. Tapi perlu diingat, tidak mudah mengadaptasi industri yang sudah besar pasarnya dan pelakunya ke dalam industri digital seperti umrah. Butuh kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kedua belah pihak.”

Sementara itu, COO Pergiumroh Abul Almaujudy menyebutkan, marketplace bisa memosisikan diri sebagai mitra para travel agent yang telah tergabung dalam PPIU. Jika layanan tersebut menyajikan produk milik sendiri, kecil kemungkinannya untuk bisa meluncurkan layanan secara independen. Marketplace dapat memberikan pengalaman yang lebih nyaman bagi mereka yang terbiasa melakukan transaksi online. Pasar offline yang selama ini telah jamak dilakukan travel agent tetap berjalan seperti biasa.

“Kalaupun secara undang-undang, marketplace umrah belum ada tempatnya, ya sebaiknya para pemangku kepentingan industri ini duduk bersama untuk merumuskan aturan mainnya. Digital adalah keniscayaan, tak bisa dibendung.”

Ia menambahkan, apa pun bentuk layanan yang nantinya akan dihadirkan Tokopedia dan Traveloka, Pergiumroh akan tetap menyambut terhadap segala inisiasi yang memang tujuannya membuat umrah makin bisa diakses oleh semakin banyak orang dengan aman, nyaman, dan mengedepankan semangat kolaborasi.

Nama besar startup unicorn juga disebutkan CMO Kitaumroh Eka Ananda Mumpuni sebagai hal positif untuk industri layanan umrah berbasis online ke depannya. Kehadiran dua unicorn ini diprediksikan akan semakin memacu persaingan. Dengan demikian layanan marketplace menjadi lebih kompetitif.

“Kami yakin adanya persaingan ini menjadikan kita semakin berinovasi dan terus berusaha menciptakan nilai tambah untuk para calon jamaah agar bisa bersaing dan memberikan pengalaman terbaik untuk para calon jamaah yang ingin melakukan ibadah umrah.”

Tantangan

Masih sulitnya menjalankan bisnis umrah menjadi salah satu alasan mengapa marketplace online belum saatnya bersaing dengan pemain lainnya. Menurut Lia, travel agent konvensional masih bisa bertahan dari gempuran OTA, karena banyak dipaketkan melalui wholesale (grosiran) berharga rendah karena mempunyai jatah kamar yang akan dialokasikan selama setahun.

“Saya melihat tiga tahun ke depan marketplace umrah masih banyak tantangannya. […] Masih harus gain trust dari publik untuk pembayaran online, apalagi setelah kasus penipuan beberapa waktu yang lalu. Platform online juga kerap hanya dijadikan sebagai wadah pembanding dan mencari informasi. Pada akhirnya lebih banyak orang yang melakukan transaksi secara offline.”

Salah satu upaya yang dilakukan adalah menumbuhkan kepercayaan di kalangan masyarakat dan menghadirkan paket ibadah yang bervariasi dengan harga terjangkau. Mengingat dana yang digunakan untuk beribadah tidak kecil, membangun kepercayaan adalah tantangan paling berat dan paling penting.

Hal senada diungkapkan Eka. Menurutnya, kepercayaan menjadi faktor yang sangat krusial di industri religi. Faktor lain adalah produk yang baik dan menjawab kebutuhan masyarakat yang akan berimbas kepada loyalitas. Loyalitas pelanggan akan termanifestasi menjadi banyaknya user base, sebuah metrik esensial untuk startup.

“Kegiatan pemasaran juga wajib untuk diperhatikan. Tren marketing dewasa ini mengalami transisi ke marketing kreatif. Dengan sumber daya yang relatif terbatas pun [tapi] dengan cara pemasaran yang tepat, maka exposure yang masif bisa didapat, sehingga touch point terhadap pelanggan akan makin meningkat.”

Makin dewasanya konsumen, dalam hal adopsi teknologi, cukup membantu pemain marketplace umrah menawarkan layanan mereka.

Agar unggul, salah satu penawaran yang bisa dilancarkan adalah memberikan opsi produk yang bervariasi, misalnya bundling dengan perjalanan wisata lain dan skema pembiayaan bermacam-macam.

“Saya melihat saat ini pemahaman dan kepercayaan masyarakat semakin tinggi jumlahnya mengenai pembelian paket umrah melalui marketplace. Kalau ditanya mengenai kemungkinan, bisa mencapai 20% transaksi melalui marketplace dalam waktu tiga tahun ke depan, maka jawabannya sangat bisa dan mungkin,” tutup Almaujudy.

Traveloka Dikabarkan Tengah Cari Pendanaan Baru Senilai 7 Triliun Rupiah

Startup unicorn Traveloka dikabarkan tengah dalam diskusi untuk mendapatkan pendanaan baru. Nilai yang ditargetkan mencapai $500 juta (setara lebih dari 7 triliun Rupiah) dan akan membawa valuasi perusahaan di angka $4,5 miliar.

Kabar yang dilaporkan oleh WSJ tersebut turut memaparkan mengenai rencana Traveloka untuk meningkatkan ekspansi regional. Belum ada informasi mengenai calon investor yang akan berpartisipasi, dikatakan oleh sumber akan segera “ditutup” beberapa bulan mendatang.

Terakhir, berita tentang putaran pendanaan baru Traveloka tersiar di April 2019 lalu dalam private equity round, dipimpin oleh GIC (Government of Singapore Investment Corporation), konon nilainya $450 juta. Sehingga ada kemungkinan $500 juta tersebut bagian dari penutupan putaran ini.

Inisiatif fundraising Traveloka juga sudah tersiar sejak tahun lalu. Pada awalnya ditargetkan mendapatkan dana $400 juta.

Secara layanan, startup yang didirikan Ferry Unardy, Derianto Kusuma dan Albert Zhang tersebut memang sudah tersedia di beberapa negara. Selain Indonesia, ada Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia yang menjadi fokus pangsa pasar bagi mereka. Termasuk untuk layanan terbarunya Xperience yang akhir-akhir ini terlihat sangat digenjot penetrasinya.

Tidak hanya sekadar memfasilitasi layanan transportasi, kini perusahaan mulai ingin memaksimalkan pengalaman bepergian secara menyeluruh. Bulan lalu, Traveloka memimpin pendanaan seri B untuk PouchNATION. Aksi korporasi tersebut digadang-gadang sebagai salah satu strategi masuknya “disrupsi” di bisnis hiburan — kedua perusahaan akan mengintegrasikan platform.

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Xperience Resmi Tersedia di Tujuh Negara

Traveloka menegaskan sub brand “Traveloka Xperience” yang baru dirilis tersedia tak hanya di Indonesia, tapi juga termasuk juga enam negara lainnya termasuk Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia. Layanan Traveloka Xperience diposisikan head-to-head bersaing dengan pemain regional seperti Klook atau KKday.

“Seluruh pengguna Traveloka di Asia Tenggara dan Australia bisa akses Traveloka Xperience di perangkat mereka. Kalau mereka mau berkunjung ke Indonesia, bisa melihat experience apa saja yang tersedia dan langsung booking dengan mudah,” kata Public Relations Director Traveloka Sufintri Rahayu, Kamis (20/6).

Traveloka Xperience, sebelum dinamai Attraction & Recreation, adalah platform pemesanan beragam produk aktivitas, liburan, dan gaya hidup, meliputi 12 kategori seperti atraksi, bioskop, event, hiburan, spa & kecantikan, olahraga, transportasi lokal, sampai workshop.

Layanan ini diklaim memiliki lebih dari 16 ribu inventori dan menjalin kerja sama dengan 4 ribu mitra yang tersebar di 60 negara dengan enam pilihan bahasa untuk memudahkan pengguna.

Sufintri mengaku, pihaknya percaya diri akan menjadi pemain terdepan di tengah persaingan dengan para pemain regional.

Traveloka kini menjadi platform yang memiliki banyak segmen bisnis yang baik secara langsung atau tidak bersinggungan dengan dunia pariwisata. Menurutnya, hanya dengan satu aplikasi saja pengguna bisa mendapatkan apa yang mereka cari. Selebihnya, hal tersebut tidak bisa mereka dapatkan apabila menggunakan layanan lain.

“Boleh kita confidence [karena] kita punya apapun di Traveloka. Trip Advisor itu tidak bisa langsung bayar booking dari sana. Namun, kami tidak pernah melihat [apa yang dilakukan] kompetitor, karena cuma melihat apa yang konsumen butuhkan.”

Optimisme yang tinggi ini dilatarbelakangi fenomena pergeseran pola konsumsi ke arah leisure economy terjadi di hampir semua negara pada masyarakat kelas menengah, termasuk Indonesia. Mengacu pada kriteria Asia Development Bank (ADB), definisi kelas menengah itu adalah pengeluaran per-kapita per hari antara $2-20 per hari.

Populasi dengan kriteria tersebut di Indonesia tercatat mencapai 134 juta jiwa. BPS menyebut sejak 2015-2017, secara statistik rata-rata biaya hiburan (per kapita per bulan) naik 30,96%.

Menurut studi Haris Group, lebih dari 70 persen kaum milenial lebih memilih untuk menghabiskan pengeluaran mereka untuk sebuah ‘pengalaman’, ketimbang ‘benda’. Pergeseran pola konsumsi ini menjadi peluang bagi Traveloka dan menyeriusinya menjadi sub brand.

Ada tim khusus yang direkrut untuk menanganinya. Sejak akhir tahun lalu, perusahaan merekrut Christian Suwarna sebagai CEO Traveloka Xperience yang menangani seluruh lini tersebut di seluruh negara wilayah operasional Traveloka. Tim bagian lainnya seperti engineering, marketing, dan unsur pendukung lainnya juga turut direkrut secara khusus untuk perkuat Traveloka Xperience.

Christian menambahkan, industri aktivitas liburan dan gaya hidup ini sebelumnya benar-benar jauh dari digitalisasi. Padahal, industri ini menyimpan begitu banyak potensi yang sebenarnya bisa didapatkan tanpa pengguna harus bepergian jauh. Malah menurutnya, bagian terpenting dari melancong itu terletak di bagian aktivitas, bukan naik pesawat atau menginap di hotel mahal.

Tanpa menyebut secara rinci, dia mengklaim pertumbuhan jumlah pesanan Traveloka Xperience di momen Lebaran tahun ini saja naik tiga sampai empat kali lipat dibandingkan hari biasa.

Demi mitigasi risiko, perusahaan tidak membuka kesempatan untuk mitra tur yang datang dari perseorangan. Minimal mereka harus berbadan hukum PT atau CV. Lalu ada kurasi yang secara khusus dilakukan oleh tim demi memastikan keaslian layanan yang disediakan mitra.

Ada fitur rating dan ulasan dari para pengguna yang telah menggunakan jasa dari mitra tersebut. Semakin tinggi rating yang masuk, tentunya akan menambah keyakinan calon pengguna untuk melakukan booking.

“Kami menjadi pemain tercepat untuk mengembangkan Xperience. Hasilnya tercermin saat momen Lebaran berlangsung. Angka itu adalah hasil, tapi bukan itu yang kita tonjolkan. Misi kami ingin mendorong orang berburu momen penting,” ujarnya.

Application Information Will Show Up Here

 

Tiket Atraksi dan Hiburan Jadi Tren Industri OTA Selanjutnya Setelah Akomodasi

Pariwisata adalah istilah yang sangat luas, tidak berbicara tentang tiket transportasi atau kamar hotel saja. Ada banyak irisan lainnya yang berkaitan dan tidak kalah menarik untuk diseriusi. Salah satunya adalah tiket akomodasi untuk atraksi, gaya hidup dan hiburan.

Ranah ini menarik karena melihat dari kebiasaan para pelancong setelah memesan tiket perjalanan dan hotel, mereka cenderung baru membuat rencana apa yang akan dilakukan setiba di destinasi. Para pemainnya pun mulai ramai bermunculan, hingga Traveloka dan Tiket membuat sub bisnis ini. Tak mau kalah, Gojek dan Grab yang memulainya terlebih dahulu dengan tiket akomodasi perjalanan dan hotel.

Di Asia Tenggara, isu ini juga cukup menarik dan menjadi salah satu pembahasan yang diangkat di Echelon Asia Summit 2019 di Singapura pada akhir bulan lalu. Mengundang empat pembicara, yaitu Chuan Sheng Soong (Klook), Liu Weichun (KKday), Blanca Menchaca (BeMyGuest), dan Kelvin Lam (YouTrip).

Keseluruhan pembicara ini adalah pemain OTA yang khusus di ranah yang sedang rising star tersebut. Klook dan KKday juga telah hadir di Indonesia.

Faktor eksternal dukung perubahan kebiasaan

Blanca menjelaskan faktor pendukung eksternal yang mendukung seseorang untuk melancong adalah semakin banyaknya pilihan maskapai dengan harga terjangkau dan harga kamar hotel yang bervariasi, dari budget sampai bintang lima. Di samping itu, semakin banyaknya pilihan destinasi lokal juga turut memengaruhi tingkat kunjungan wisatawan.

Belum lagi, saat ini kebanyakan wisatawan berasal dari kalangan milenial yang cenderung spontan dalam segala hal. Termasuk saat merencanakan dan mengambil keputusan pada hari yang sama. Namun sayangnya, sekitar 40%-60% orang akan cenderung offline begitu sampai di destinasi.

Maksudnya, mereka tidak lagi terhubung dengan aplikasi OTA untuk membeli semua kebutuhannya selama di destinasi. Wisatawan akan mengandalkan mesin pencari untuk mendapatkan rekomendasi dan membeli tiketnya secara offline, artinya harus mengantre, bayar tunai, dan sebagainya.

“Di luar sana masih banyak usaha kecil yang pendukung pariwisata yang belum terjamah oleh dunia online. Inilah yang ingin kami perbanyak, semakin banyak yang terhubung dengan online, bisnis kecil mereka akan semakin hidup.”

Chuan menambahkan, setelah kehadiran Klook dan KKday, terjadi perubahan kebiasaan pengguna dari sebelumnya. Pengguna kini cenderung memesan tiket atraksi yang ingin mereka kunjungi, baru memesan tiket akomodasinya. Pergeseran ini dianggap cukup baik, karena sebelumnya tiket atraksi itu ada di komponen paling akhir ketika wisatawan berkunjung ke suatu destinasi.

“Data kami memperlihatkan 50% pengguna Klook memesan tiket atraksi terlebih dahulu baru membeli akomodasinya. Ini sesuatu yang baik.”

Segmen gaya hidup dan hiburan itu istilah yang luas

Blanca melanjutkan, segmen gaya hidup dan hiburan adalah istilah yang luas dan mencakup banyak aspek. Mereka dikategorikan sebagai aset tidak berwujud. Beda halnya dengan platform e-commerce yang menjual barang berwujud seperti tas, ponsel, dan sebagainya.

“Kita menjual pengalaman yang diharapkan konsumen bisa melampaui ekspektasi mereka. Ketika pengalaman mereka jelek, mereka tidak menyalahkan penyuplainya tapi ke platformnya.”

Tiket pesawat dan hotel merupakan hal pertama yang didigitalkan oleh para pemain sebelum ramainya OTA. Seperti diketahui, kedua memiliki perbedaan kelas harga, ada eksekutif dan ekonomi, dengan pelayanan yang berbeda. Beda dengan tiket atraksi, semuanya diperlakukan sama.

Kendati demikian, hal inilah sekaligus menjadi tantangan. Sebab perlakuan untuk tiap tiket atraksi itu berbeda satu sama lainnya ada banyak vertikal yang harus diselesaikan.

Bandingkan ketika Anda ingin memesan tiket wisata ke suatu daerah dengan helikopter, lalu membeli kartu SIM lokal. Pengalamannya tentu berbeda, bukan? Padahal keduanya sama-sama masuk ke dalam segmen gaya hidup dan hiburan.

“Masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan untuk bantu industri perjalanan jadi lebih masif dan seamless dengan bantuan teknologi,” tambah Chuan.

Tantangan dari “super app

Menariknya segmen ini, lantas membuat unicorn semakin tertarik untuk menggelutinya. Lihat saja dari hadirnya fitur booking hotel di aplikasi Grab dan kerja sama antara Gojek dengan Tiket untuk Go-Travel. Keduanya memperkuat diri sebagai super app dengan beragam vertikal layanan di bawahnya.

Traveloka juga sudah mengumumkan sub brand baru “Traveloka Xperience” untuk perkuat dominasinya di ranah OTA. Diklaim Traveloka memiliki 15 ribu dalam 10 sub kategori yang dikurasi sendiri oleh tim.

Melihat tantangan tersebut, Kelvin menjawab bahwa pemain super app itu hanyalah sebagai tambahan jalur penjualan. Dengan basis pengguna yang begitu luas, penjualan tentunya akan semakin terdorong ketika masuk ke dalam ekosistem super app. Dari sisi konsumen pun mereka akan dimudahkan karena tidak perlu mengunduh aplikasi lain.

Akan tetapi hal ini jadi kelemahan, super app itu seperti pasar tanpa memiliki kekuatan yang paling menonjol. Sementara, para pemain seperti Klook dan KKday memiliki tim yang secara khusus memikirkan bagaimana UI/UX yang sesuai dengan para pengguna. Bagaimana penyampaian informasi dan ulasan yang lengkap untuk memberikan gambaran yang secara menyeluruh sebelum pengguna membelinya.

“Ketika kamu ingin beli tiket Universal Studio, kamu memang bisa belinya lewat super app. Tapi ketika kamu ingin menyusun seluruh rencana trip kamu, apakah mau membelinya di sana juga? Rasanya tidak. Kami pasti butuh banyak referensi dari berbagai situs untuk cari tahu apa yang paling tepat,” pungkas Kelvin.