Kisah Sukses “Saat Senggang” Berdayakan Perempuan dan Komunitasnya, Mila: Kami Menjunjung Tinggi Kolaborasi

Setiap brand pastinya ingin bisa berdampak dan bermanfaat bagi sekitarnya. Hal ini juga yang menjadi misi awal dari brand yang kini dikenal dengan Saat Senggang.

Saat Senggang berhasil menjadi brand yang tidak hanya memanfaatkan teknologi di tengah era serba digital ini, tapi juga menjadi brand yang berdampak bagi perempuan dan komunitasnya dengan melibatkan mereka dalam proses produksi.

Penasaran bagaimana perjalanan lengkapnya? Simak kisah sukses Saat Senggang yang di sampaikan oleh Mila Wijaya, selaku Co-Founder, Co-Owner, dan Brand Director Saat Senggang, kepada DailySocial berikut ini.

Sebuah Perjalanan yang Terinspirasi dari Waktu Senggang

Saat Senggang merupakan sebuah brand yang diinisiasi oleh Utterly Magazine dan dinaungi oleh Utterly Studio, sebuah kreatif agensi multidisipliner. Mila menjelaskan bahwa hadirnya Saat Senggang adalah buah dari pemikiran untuk bisa melibatkan perempuan dengan lebih nyata.

“Lahirnya Saat Senggang ini sebetulnya berangkat dari sebuah pemikiran gimana ya caranya supaya kita bisa melibatkan perempuan dan komunitasnya itu lebih dalam dan lebih nyata. Karena kan kalau lewat majalah itu segmennya kan lebih kecil ya. Nah, makanya oke kita harus bikin lifestyle brand supaya value yang ingin kita sampaikan ini bisa terhubung langsung dan lebih dekat dengan audiens,” jelasnya.

Tak dapat dipungkiri, brand Saat Senggang memiliki nama yang cukup unik. Ternyata, ada cerita menarik di balik nama Saat Senggang ini di mana nama ini terinspirasi dari waktu senggang yang bisa diisi untuk mencari inspirasi.

“Jadi kami ini terinspirasi dari waktu senggang yang biasanya diisi dengan momen-momen lagi cari inspirasi. Terus, di waktu senggang itu malah kadang bisa muncul ide-ide yang terbaik kan, kayak ide-ide yang unik, menarik. Dan dari situ kita bisa kembangkan jadi sesuatu,” ujar Mila.

Jadi, waktu senggang yang dimiliki setiap orang merupakan waktu paling produktif yang bisa dimanfaatkan untuk berkarya tanpa terbatas usia, waktu, dan latar belakang.

Dari pemikiran tersebut, kemudian Saat Senggang lahir dengan tujuan untuk memberi semangat kepada perempuan untuk berkreasi dan mewujudkan hal-hal yang mereka suka. Hal ini juga direpresentasikan melalui tagline mereka, yaitu ‘Make each second in life count’.

Berinovasi Dalam Model Produk, Pengemasan, dan Cara Mengembangkan Brand

Membangun brand memang bukanlah hal yang mudah. Maka dari itu, Mila mengakui bahwa dalam mengembangkan Saat Sengggang, dirinya dan tim banyak melakukan trial and error dan berinovasi untuk mencari cara terbaik dalam menjalankan bisnis.

Brand Saat Senggang adalah brand dengan produk rajutan yang meluncurkan koleksi pertamanya di bulan Agustus tahun 2019. Awalnya, Saat Senggang tidak hanya ingin fokus kepada satu jenis produk, melainkan berbagai produk yang berhubungan dengan waktu senggang.

“Awalnya Saat Senggang itu sendiri kami nggak ingin fokus pada satu produk sebenarnya. Jadi (inginnya) semuanya berhubungan sama saat senggang. Mungkin kayak ada ibu-ibu yang saat senggangnya masak, ada ibu-ibu yang saat senggangnya menjahit, atau ada ibu-ibu yang saat senggangnya ngerajut. Nah, karena kami dulu dapatnya ibu-ibu orang terdekat kami ini bisa merajut ya kami berpikir oke kita mulai dari sini,” kata Mila.

Dari situlah kemudian Saat Senggang mulai berkolaborasi memudahkan proses distribusi dan branding produk rajutan komunitas rajut, serta terus mencari cara terbaik mengembangkan brand-nya. Mulai dari mengintegrasi program offline dan online, membuat campaign, pemotretan, dan lainnya agar value brand dan produk dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

Selain itu, Saat Senggang juga terus berinovasi dalam hal model dan pengemasan produk, menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar mudah diterima market.

Fokus Mengelola Komunitas di Sela-Sela Produksi dan Branding

Menurut keterangan Mila, seluruh perempuan yang turut serta dalam produksi merupakan seniman bagi Saat Senggang. Maka dari itu, mengelola komunitas adalah salah satu hal penting yang harus diperhatikan dan juga akan berdampak baik kepada proses produksi Saat Senggang sendiri.

Saat ini, aktivitas produksi Saat Senggang sendiri berada di empat lokasi yang berbeda, antara lain di Surabaya, Semarang, Solo, dan Malang, yang mana semua pengiriman akan dilakukan dari Surabaya.

Banyaknya lokasi produksi dan jumlah perempuan pengrajut ini membuat Saat Senggang harus pintar-pintar mencari cara untuk mengelola komunitas agar kualitas produk yang dihasilkan tetap bagus.

“Karena kan sebenarnya kami sendiri bukan pelaku produksi, kan. Maksudnya kayak saya dan partner bukan yang merajut. Tapi kami mensiasatinya dengan setiap daerah itu akan ada satu ibu pemimpin dimana kami bekerja sama dengan dia,” jelas Mila.

Lebih lanjut Mila juga menjelaskan bahwa ibu pemimpin di setiap daerah ini bertugas membantu apabla ada yang ingin bergabung ke komunitas dengan memandu cara produksi dan juga SOP yang harus diikuti.

Namun, ternyata, alih-alih kualitas produk Mila mengakui bahwa komitmen pengrajut lah yang seringkali menjadi kendala. Meski begitu, hal tersebut dapat menjadi ruang baru bagi Saat Senggang untuk berinovasi.

Tokopedia Menjadi Platform Andalan Sejak Awal Berdiri

Ketika pandemi melanda Indonesa di tahun 2020 silam, banyak bisnis yang kewalahan dalam hal produksi hingga melakukan transisi dari penjualan offline ke online. Tapi, hal ini tidak berlaku bagi Saat Senggang.

Dalam kegiatan produksi, Saat Senggang justru dapat menggandeng komunitas lebih kuat karena para seniman-seniman perempuannya memiliki waktu luang lebih banyak ketika pandemi.

Selain itu, dalam hal penjualan pun Saat Senggang tidak mengalami kesulitan yang berarti selama pandemi. Hal ini dikarenakan Saat Senggang merupakan salah satu brand yang mengawali perjalanannya sejak awal berbasis online dengan platform Tokopedia sebagai andalannya hingga saat ini. 

“Perannya (Tokopedia) yang pasti banyak ya karena Tokopedia punya sistem yang menurut kami cukup membantu. Sangat membantu bahkan. Ya istilahnya dari bagaimana back office-nya, ketika ada order, bisa setting PO, dikasih waktu pengirimannya, ditambah ada penilaian dan performa toko itu sangat membantu bagaimana kita mengontrol pihak internal,” kata Mila.

Menurutnya, sistem di Tokopedia sangat membantunya dalam berkoordinasi dengan bagian-bagian lain, seperti administrasi dan warehouse. Kemudian, Saat Senggang juga tak perlu membangun toko online-nya sendiri.

“Terus misalnya ada komplain itu kayak mempermudah kita tanpa kita harus build own website kan, own e-commerce gitu. Terus ditambah ada gratis ongkir, kita bisa daftar di Power Merchant. Ya sangat membantu sih kalo saya bilang ya. Ditambah sekarang sudah ada affiliate. Sehingga dari tokonya sendiri pun bisa integrasi ke platform lain, sosial media, contohnya Instagram,” lanjutnya.

Adanya program Tokopedia affiliate juga membantu Saat Senggang mendapatkan penghasilan tambahan dengan membagikan link produknya ke platform promosi lain, seperti media sosial.

Hadapi Tantangan dengan Selalu Update Ilmu

Meski saat pandemi Saat Senggang tidak mengalami kesulitan bukan berarti Saat Senggang tidak pernah menghadapi tantangan. Dari kesulitan di proses produksi hingga tantangan dalam menyusun strategi bisnis pernah dihadapi oleh Saat Senggang menurut keterangan Mila.

“Iya selalu ada. Itu lah kenapa harus update ilmu terus,” katanya.

Sebagai bisnis dengan produk yang dibuat secara handmade, memenuhi jumlah produksi ketika demand sedang tinggi tentu merupakan kendala tersendiri. Namun, hal itu tidak menghentikan Saat Senggang. Memperbesar komunitas adalah solusi yang dipilih oleh Saat Senggang.

Tapi, lagi-lagi, kendala tidak berhenti sampai di situ. Saat Senggang menemui tantangan lainnya, yaitu bagaimana cara mengontrol komunitas dan kualitas produk (QC) karena komunitas yang semakin besar.

Kendala lainnya yang diutarakan Mila adalah strategi dalam mewujudkan impian untuk menjadi brand yang sustainable dengan memperhatikan tiga faktor, yaitu people, profit, dan planet.

“Tapi untuk planetnya ini kami sampai sekarang masih berusaha sih karena kami ini sebetulnya pengin bisa memproduksi produk yang materialnya bisa dari daur ulang. Jadi lebih ke economic circular gitu. Tapi lagi-lagi untuk ke sana bukan sesuatu yang mudah. Karena pertama supply-nya gak ada. Barang tersebut susah ditemukan, misalnya ada pun itu akan mahal sekali. Jadi kita mensiasatinya dari hal-hal kecil untuk punya value sustainable itu.”

Untuk mensiasati agar tetap tercapai sustainability yang diimpikan, Saat Senggang mulai dari hal-hal kecil seperti membuat packaging yang reusable, membuat desain dari sampah daur ulang, dan membuat barang-barang kecil dari sisa benang yang dapat dijual kembali.

Berhasil Bertahan dengan Konsistensi, Value, dan ‘Melek Digital’

Banyaknya tantangan ternyata tidak menyurutkan Saat Senggang untuk terus berkembang. Menurut Mila, konsistensi dan value yang dimiliki Saat Senggang juga menjadi alasan mengapa Saat Senggang bisa bertahan hingga saat ini.

“Yang membuat bertahan yang pasti konsistensi ya. Kami punya full heart kami tuangkan di brand ini. Menurut kami, brand yang bisa survive ketika brand itu dibentuk dengan value,” ujarnya.

Selain itu, Mila juga beberapa kali menekankan ‘melek digital’ sebagai kunci dari bertahan dan mengembangkan brand Saat Senggang. Mau terus belajar memahami teknologi adalah kunci survive yang dibagikan oleh Mila.

“Kalau yang masih gagap teknologi, kalau mereka masih merasa takut masuk ke teknologi itu biasanya karena keterbatasan informasi ya. Jadi mungkin kiat-kiat untuk pelaku bisnis yang masih gagap teknologi, dia harus terbuka dengan informasi baru, cari tahu. Karena kalau misalnya di zaman sekarang mereka gagap teknologi saya juga nggak tahu gimana mereka survive kan.”

Ingin Menjadi Brand yang Lebih Berdampak

Tak dapat dipungkiri, Saat Senggang telah memberikan dampak yang cukup besar bagi para senimannya, yakni perempuan-perempuan komunitas rajut di berbagai daerah yang menjadi bagian dari proses produksi Saat Senggang.

Meski begitu, Saat Senggang tidak ingin berhenti sampai di sini. Mila mengutarakan harapan Saat Senggang untuk bisa menjadi brand yang lebih berdampak ke depannya serta terus mempertahankan value yang dipegang sejak awal.

“Ke depannya kami ingin jadi brand yang bisa jadi wadah untuk membuka lapangan pekerjaan baru, menjadi brand yang selalu menjunjung tinggi sustainability, dan mungkin bisa punya produk-produk lain yang mungkin saja di luar rajut supaya bisa lebih berdampak buat komunitas-komunitas lain selain komunitas rajut.”

Dari kisah yang disampaikan Mila tersebut, kita tahu bahwa Saat Senggang di bawah naungan Utterly Studio telah berhasil melibatkan perempuan dan mendukung mereka untuk berkreasi melakukan hal yang mereka sukai.

Meski perjalanan Saat Senggang dan komunitas rajut dihadapi berbagai tantangan, namun hal tersebut tidak menghentikan mimpi Saat Senggang untuk bisa berdampak lebih besar lagi.

Gobi Partners dan Ozora Yatrapaktaja Luncurkan “Ratu Nusa Fund”, Bidik Startup Indonesia yang Dipimpin Perempuan

Gobi Partners dan Ozora Yatrapaktaja berkolaborasi meluncurkan dana kelolaan “Ratu Nusa Fund” sebesar $10 juta atau sekitar 143,6 miliar Rupiah. Mereka membidik startup tahap awal (seed) hingga pre-seri A yang dipimpin oleh perempuan di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Ratu Nusa Fund akan difokuskan pada investasi startup Indonesia di vertikal healthtech, e-commerce/social commerce, proptech, future of work/education, fintech, dan enterprise/SME tech.

Fokusnya adalah pemberdayaan usaha yang dapat meningkatkan kualitas hidup perempuan di Indonesia. Pihaknya juga membidik startup di kota-kota berkembang di Surabaya, Bali, Denpasar, Nusantara dan Medan yang selama kurang terekspos potensinya oleh para investor.

Co-founder Gobi Partners Thomas G. Tsao mengatakan, Indonesia menjadi pasar yang tepat untuk meningkatkan investasi yang berfokus pada pemberdayaan perempuan, mengingat saat ini terdapat sekitar 30 juta pengusaha perempuan memanfaatkan ekosistem startup yang tengah berkembang pesat.

“Selama ini pengusaha perempuan hanya mendapat porsi kecil dari investasi yang pernah dikucurkan VC, utamanya karena ada bias gender yang mengakar. Kondisi ini membuat ada banyak potensi yang belum digarap. Kami harap Ratu Nusa Fund dapat mengatasi kesenjangan ini,” tuturnya.

Founding Partner Ozora Margaret Srijaya menambahkan, pihaknya tak sabar menemukan startup-startup dengan potensi emas selanjutnya di Indonesia. Ia juga meyakini dana kelolaan ini dapat mendorong skala dampaknya di Indonesia dan pasar lain di kawasan Asia Pasifik.

“Ada banyak startup yang belum dan kurang mendapat dukungan dari VC dalam mendorong pengusaha perempuan dan bisnis berdampak yang melayani 133 juta populasi perempuan di Indonesia,” ucapnya.

Sebagai informasi, Gobi Partners membidik investasi di tahapan early hingga growth dengan fokus pada negara berkembang dan kurang terlayani (underserved). Hingga kini, Gobi telah memiliki 15 dana kelolaan dari 13 negara, berinvestasi di 310 startup di dunia, dengan beberapa portofolio seperti Crowdo, Deliveree, dan DOOgether.

Sementara, Ozora Yatrapaktaja merupakan VC yang memiliki keahlian lokal di Indonesia, jaringan, dan komunitas global dalam mengembangkan pemberdayaan usaha perempuan secara global. Margaret diketahui merupakan Founder dari komunitas online Womenpreneurs.id yang berdiri di 2018 dan Head of VC di BPP HIPMI Indonesia.

Investasi pada pemberdayaan perempuan

Pemberdayaan UMKM dan pengusaha perempuan cukup banyak mendapat sorotan di Indonesia. Tak sedikit pelaku startup yang mengembangkan produk atau layanan digital untuk melayani pengusaha perempuan di Indonesia.

Misalnya, Amartha menyalurkan pinjaman kepada pengusaha perempuan dengan model ‘tanggung renteng’. Ada pula startup baru Amaan yang memposisikan diri sebagai platform beyond financial services untuk melayani pengusaha perempuan.

Namun, ini saja dirasa tak cukup mengingat masih banyak startup yang dipimpin perempuan maupun yang melayani pengusaha perempuan yang belum terekspos oleh jaringan investor, baik dalam maupun luar negeri.

Jika melihat potensinya, data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat terdapat lebih dari 50% dari total 64,19 juta UMKM dijalankan oleh perempuan. Sementara, laporan Kauffman Foundation menyebutkan perusahaan teknologi swasta yang dipimpin wanita, terbukti dapat lebih efisien menggunakan modal/investasi, mencapai Return of Investment (ROI) 35% lebih tinggi, dan–apabila didukung oleh VC–dapat mengantongi 12% pendapatan lebih tinggi daripada startup yang dipimpin oleh pria.

Dalam radar kami, ada pula kemitraan dana kelolaan serupa untuk perempuan, yakni YCAB Ventures bersama Moonshot Ventures melalui Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF). Mereka punya misi untuk mendorong dampak terhadap pemberdayaan perempuan di industri startup Indonesia.

Dalam perbincangan dengan DailySocial.id, Head of Impact Investments YCAB Ventures Adelle Odelia Tanuri sempat menyebut bahwa IWEF dapat membantu mereka untuk menjangkau lebih banyak UMKM dengan berinvestasi di startup. Dengan begitu, pihaknya dapat mendorong impact lebih luas.

YCAB Ventures Bicara Langkah Awal Masuk ke Ekosistem Startup dan Lanskap Investasi Berdampak

Kementerian Koperasi dan UKM melaporkan terdapat 64,19 juta UMKM di Indonesia, di mana lebih dari 50% di antaranya dijalankan oleh perempuan. Data ini menunjukkan ada potensi luar biasa untuk mendorong perekonomian melalui kewirausahaan perempuan.

Potensi-potensi tersebut digarap oleh perpanjangan tangan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), melalui YCAB Ventures, dengan menyalurkan skema microfinance kepada para ibu pemilik usaha selama sepuluh tahun terakhir.

Meskipun demikian, peningkatan pemberdayaan perempuan dirasa tak cukup dengan membantu permodalan wirausaha semata. Maka itu, sejak satu tahun terakhir, YCAB Ventures mulai terlibat di ekosistem startup Indonesia.

Adalah Adelle Odelia Tanuri yang memimpin Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF), sebuah dana kelolaan yang memberikan investasi ke startup yang menawarkan produk/layanan berbasis teknologi, serta dipimpin/dikelola oleh tim yang memiliki keseimbangan gender antara laki-laki dan perempuan.

Mengenai Adelle, ia telah lama berkecimpung dalam berbagai kegiatan dan usaha untuk memberdayakan perempuan. Adelle merupakan salah satu Co-founder dan Director di Rahasia Gadis, komunitas perempuan online yang berfokus pada tentang kesehatan mental, hak-hak, dan kepemimpinan remaja perempuan.

Pada kesempatan ini, DailySocial berbincang dengan Adelle selaku Head of Impact Investments YCAB Ventures dalam memulai langkahnya di ekosistem startup, bicara lanskap investasi, dan misinya membuka kesempatan terhadap female founder di Indonesia.

Mengenai YCAB Ventures

Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) merupakan organisasi nirlaba yang berdiri di 1999 dan berfokus pada pengembangan anak muda secara berkelanjutan hingga menjadi social enterprise.

Sejak 2010, YCAB mulai memperluas ekstensinya dengan mendirikan YCAB Ventures untuk terlibat dalam pengentasan kemiskinan dan ketidaksetaraan di Indonesia. Salah satu programnya adalah memberikan pembiayaan usaha (microfinance) kepada perempuan.

Adelle meyakini bahwa pemutusan rantai kemiskinan dapat dilakukan dengan memberdayakan perempuan dan memberikan akses terhadap layanan keuangan yang selama ini belum inklusif. Misalnya, memberikan microfinancing kepada ibu-ibu pemilik usaha makanan kecil-kecilan di rumah.

Per 31 Desember 2020, YCAB Ventures telah menyalurkan sebanyak 592.825 pinjaman produktif dengan nilai sebesar Rp1,2 triliun sejak 2010. YCAB Ventures juga telah berinvestasi dengan total sebesar Rp22,8 triliun di sepuluh social enterprise, termasuk GSI Lab, Krakakoa, dan EVOS Esports.

Empowerment perempuan bisa improve livelihood sekeluarga, dan mereka bisa memastikan anak-anaknya [bisa] sekolah. Selama perjalanan ini, kami melihat ada different angle dan peluang untuk berinvestasi di ekosistem startup,” tuturnya.

Maka itu, YCAB Ventures memutuskan untuk berinvestasi ke startup sejak 2021 karena dipicu oleh sejumlah faktor, seperti pertumbuhan ekonomi digital, iklim investasi, dan masih ada ketidaksetaraan di kalangan perempuan. YCAB Ventures juga ingin fokus terhadap pengembangan female founder startup di Indonesia.

“YCAB Ventures tidak bisa menjangkau semuanya sendiri. Kami mungkin sudah menjangkau ratusan ribu UMKM, tetapi kami dapat reach lebih banyak lagi dengan berinvestasi di startup. Dengan begitu kami bisa dorong impact lebih luas,” tuturnya.

IWEF dan tesis investasi

YCAB Ventures memulai langkah awalnya dengan membentuk Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF) bersama Moonshot Ventures. IWEF merupakan dana kelolaan yang bertujuan untuk mendorong dampak terhadap pemberdayaan perempuan di industri startup Indonesia.

“Kami melihat timing dan momentumnya tepat saat ini untuk bisa [dorong] impact. Jadi kami tidak hanya fokus pada low income saja, tetapi juga female founder yang memiliki produk yang melayani dan memberdayakan perempuan,” tuturnya.

Secara umum, YCAB Ventures punya tiga tesis investasi utama. Pertama, pihaknya mencari startup di kategori dampak (impact) yang tidak hanya fokus terhadap financial return, tetapi juga memiliki metrik untuk mengukur impact, bukan sekadar klaim saja.

Kedua, IWEF berinvestasi ke startup berbasis growth hack berbasis teknologi untuk memecahkan berbagai masalah di kalangan perempuan. Ketiga, pihaknya menggunakan kriteria Gender Lens Investing untuk berinvestasi pada perempuan. Menurut Adelle, integrasi dan analisis terhadap gender dapat digunakan untuk membuat keputusan investasi.

Mengutip Kumparan, Gender Lens Investing (GLI) merujuk pada tindakan dan proses yang dilakukan investor dengan memerhatikan manfaat investasi bagi perempuan. Singkatnya, GLI dapat menciptakan perubahan di ranah bisnis untuk memajukan kesetaraan gender. Di Indonesia, sejumlah investor maupun perusahaan telah menggunakan model ini. Menurut data Intellecap Indonesia, sebanyak 95% investor GLI berfokus pada bisnis yang dipimpin perempuan.

Pemberdayaan perempuan dalam kegiatan ekonomi / Sumber: YCAB Ventures

Adelle menilai konsep GLI melihat apakah faktor gender berkontribusi terhadap absennya investasi sebuah startup. Demikian juga pada faktor Gender Lens Team, untuk melihat kesetaraan gender pada tim di startup. Menurutnya, GLI juga berpotensi menjadi “the next big thing” di Indonesia sejalan dengan semakin tingginya keterlibatan banyak pihak untuk memberdayakan perempuan dalam kegiatan perekonomian.

“Kami berinvestasi ke startup yang punya co-founder perempuan karena mereka di-underestimate dan undervalued oleh sejumlah faktor, seperti [konstruksi] sosial dan bias gender. Kami juga melihat produk consumer untuk perempuan itu sangat besar di Indonesia, dan perempuan yang membuat purchasing decision,” jelasnya.

Mengutip laporan riset Kauffman Foundation di 2013, Adelle mengatakan bahwa perusahaan teknologi swasta yang dipimpin wanita, terbukti lebih capital-efficient, mencapai Return of Investment (ROI) 35% lebih tinggi, dan–apabila didukung oleh VC–mengantongi 12% pendapatan lebih tinggi dibandingkan startup yang dijalankan oleh pria.

Selain kriteria di atas, IWEF membidik investasi di startup di pre-seed dan seed (early stage). Pihaknya juga menekankan pentingnya kualitas pada founder, seperti keinginan beradaptasi, mengeksekusi produk, dan kepemimpinan.

Di luar kolaborasi ini, YCAB Ventures juga terbuka terhadap kemitraan dengan VC lain, terutama lokal, selama memiliki kesamaan visi-misi dan ekspertis lebih dalam terhadap pemberdayaan perempuan dan dampak.

Impact insentive

Ada banyak pertanyaan mengenai upaya startup mencapai impact dan return secara berkesinambungan. Adelle menilai kedua hal tersebut dapat memungkinkan berjalan bersamaan apabila startup memiliki aspek kepemimpinan dan model bisnis yang saling melekat dengan impact.

“Kami mencari model bisnis di mana dampak dan financial return bisa tumbuh bersama-sama. Dan hal ini dapat terjadi apabila founder punya leadership dan mengutamakan impact, itu yang terpenting,” kata Adelle.

Di YCAB Ventures, Adelle menerapkan beberapa metode pengukuran dampak. Pertama, ia mengadopsi standardisasi metrik yang digunakan oleh organisasi nirlaba Global Impact Investing Network (GIIN) untuk membantu startup untuk menemukan metrik yang tepat.

“Terkadang it gets really complicated [bicara soal dampak] dan bisa klaim punya impact. Apakah membuka pekerjaan termasuk impact? Semua orang punya definisi masing-masing. Namun, kami selalu merekomendasikan GIIN sebagai referensi untuk mengukur hal itu,” ujarnya.

Kedua, pihaknya juga mencoba konsep impact incentive yang kerap digunakan di industri VC. Adelle mencontohkan, apabila berinvestasi di startup dan memperoleh financial return melebihi hurdle rate, misal 7%, VC dapat memberikan profit sharing ke investor, general partner, atau limited partner.

Di IWEF, pihaknya menerapkan impact insentive dengan model impact-linked carry kepada fund manager yang fokus ke impactful investment. Artinya, fund manager bisa memperoleh insentif berupa profit sharing jika berhasil mencapai impact yang dituju.

“Saat ini, impact-linked carry belum [banyak diterapkan] di Indonesia. Semoga IWEF bisa menjadi yang pertama membawa model ini untuk measure dan track impact karena keduanya mahal. Untuk bisa dapet insentif, mau tidak mau ya harus track impact.”

Roadmap 2022

IWEF memiliki target kelola dana selama sepuluh tahun, di mana saat ini baru mengumpulkan $2 juta dari LP Investing in Women untuk tahap pertama. Sementara, sisanya $8 juta akan dikumpulkan dengan skema blended finance, terbuka untuk investor lokal dan asing.

Sambil mengumpulkan dana, IWEF menargetkan investasi ke sebanyak 20-40 startup di Indonesia dalam tiga sampai lima tahun ke depan. Per Desember 2021, IWEF telah memberikan investasi ke 11 startup di Indonesia, termasuk di antaranya Eateroo (F&B), Binar Academy (edtech), dan TransTRACK.ID (logitech).

Ticket size investasi berkisar antara $15.000 sampai $200.000, tetapi besarannya tergantung apa yang kami yakini dan sesuai dengan misi investasi kami. Dan investasi ini bisa bertahap tergantung dari trennya. Jadi bisa kami top up,” ujarnya.

YCAB Ventures tidak terpaku pada vertikal tertentu atau agnostik, selama memenuhi kriteria yang dipaparkan pada tesis investasi di atas. Namun, Adelle melihat bahwa edtech dan fintech menjadi beberapa vertikal yang akan menjadi tren besar setelah ride hailing dan e-commerce.

Menurutnya, pendidikan masih menjadi salah satu concern besar terhadap pemutusan rantai kemiskinan. Meski saat ini sudah banyak pemain edtech di Indonesia, ia menilai masih ada ruang pertumbuhan dan peluang yang dapat digali untuk mengatasi masalah di industri pendidikan Indonesia.

Demikian pula dengan inklusi keuangan di Indonesia yang terbatas bagi kalangan unbanked dan underbanked. Peningkatan adopsi keuangan digital selama pandemi Covid-19 membuktikan bahwa potensi layanan fintech dapat dieksplorasi lebih lanjut.

Tak kalah penting, Adelle juga menyoroti tentang ketimpangan ekosistem startup yang selama ini mayoritas terkonsentrasi di Jakarta dan sekitarnya.

“Salah satu tantangan utama di industri startup adalah a lot of tech-based service terpusat di Jakarta. Tapi, kami melihat banyak entreprenuer di tier 2 dan 3 yang belum tergarap dengan baik dan sebetulnya dapat menjadi masa depan,”

Pendampingan bisnis

Adelle menilai semakin ke sini, startup semakin selektif dalam mencari investor. Mereka tak lagi hanya mencari sumber permodalan, tetapi juga networking dan mentorship yang dapat membantunya mengembangkan bisnis. Di YCAB Ventures, Adelle ikut terlibat dalam melakukan pendampingan bisnis (mentoring) kepada para founder yang minim pengalaman.

Pihaknya fokus mengasah kemampuan founder di early stage, seperti bisnis, marketing, dan kepemimpinan, dapat dilakukan melalui komunikasi tim IWEF dan portofolio. Dan melalui program khusus She Disrupts Indonesia yang menyediakan sesi mentorship dan training. YCAB Ventures juga menawarkan jejaring koneksi kuat pada sektor pemerintahan maupun swasta.

“Khususnya female founder, mengapa mereka tidak mendapat investasi sebanyak male founder? Itu bisa jadi karena sejumlah faktor, misalnya kepercayaan diri rendah, tidak ada pengalaman, dan literasi keuangan juga rendah. Bagi kami, [pemberdayaan perempuan] bukan cuma memberikan modal, tetapi mengasah kemampuan bisnis dan networking.”