Teknologi VR untuk Pendidikan Melalui Program 100 Sekolah Pionir VR Millealab

Pandemi COVID19 telah berdampak di seluruh sektor aktifitas termasuk pendidikan. Di Indonesia, 94% sekolah-sekolah yang berada di Zona Merah sampai Zona Kuning tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka.

Hal ini sebenarnya sudah terjadi di beberapa daerah sejak pandemic COVID19 mulai muncul di bulan Maret 2020. Siswa-siswa secara serentak “dipaksa” untuk melakukan kegiatan belajar dari rumah. Para tenaga pendidik pun tak luput dari perubahan cepat ini. Mereka diharuskan untuk menggunakan teknologi secara kreatif agar murid tidak merasa bosan dengan sistem pembelajaran daring.

Beberapa Lembaga melakukan survei tingkat kebosanan siswa dan kebutuhan mereka akan metode pembelajaran daring yang menyenangkan. Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Timur , 92,29 % pelajar Jawa Timur yang menjadi responden survei, menginginkan metode belajar daring yang lebih kreatif dan inovatif. Dan 88,75 % responden yang menganggap sistem kegiatan belajar mengajar (KBM) saat ini menjenuhkan, membosankan dan membuat stress.

Sedangkan di Yogyakarta Survey yang dilakukan Direktur Pusat Kajian Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP), Universitas Gadjah Mada (UGM), terhadap 385 siswa di Yogyakarta, dari tingkat SD hingga SMA. Sebanyak 72% siswa di antaranya menyatakan, sulit memahami materi yang disajikan melalui metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).  Selain itu, penggunaan video conference untuk pembelajaran daring sangat memakan biaya kuota internet.

Sebagai contoh, satu jam belajar menggunakan aplikasi video conference dengan jumlah peserta 20 orang menghabiskan kuota sebanyak 1,5 Gb hingga 1,98 Gb, jika dikalikan dengan 4 jam belajar menggunakan video conference, maka satu hari dapat menghabiskan 6Gb hingga 10 Gb kuota internet. Tentunya hal ini sangat memberatkan bagi orang tua. Penggunaan VR Platform Millealab sebagai aplikasi pembelajaran berbasis VR, hanya membutuhkan maksimal kuota sebanyak 150 Mb saja” pungkas Andes, Managing Director Millealab.

Millealab sebagai satu-satunya produk cloud based platform VR untuk pendidikan di Indonesia, yang dikembangkan oleh anak bangsa dari SHINTA VR. Dengan menggunakan Millealab, para guru dapat membuat konten pembelajaran berbasis VR mereka sendiri tanpa harus menggunakan bahasa programming dan tanpa harus menggunakan computer yang mahal.

Selain itu, Millealab mempunyai fungsi classroom di mana para guru dapat berbagi konten pembelajaran VR beserta kuis-kuis didalamnya dengan sangat cepat dan mudah. Millealab yakin bahwa salah satu solusi efektif bagi sekolah-sekolah saat ini adalah penggunaan massif teknologi VR dan 3D interaktif. Dengan berbekal pengalaman melatih ribuan guru di Indonesia untuk membuat konten VR Pendidikan, Millealab bekerjasama dengan Ikatan Guru Indonesia DKI Jakarta, SEAMEO SEAMOLEC, Pigijo, dan DailySocial meluncurkan program “100 Sekolah Pionir VR Indonesia”.

Program ini bertujuan untuk memberikan akses dan pembimbingan jangka panjang secara gratis kepada 100 sekolah terpilih di 34 provinsi Indonesia untuk menggunakan teknologi VR melalui platform Millelab. Rekomendasi pemilihan sekolah dikoordinasi oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) DKI JAKARTA.

Setelah sekolah-sekolah terpilih, para guru perwakilan harus mengikuti pelatihan dan pembimbingan yang dilakukan guru-guru trainer dari IGI DKI JAKARTA untuk membuat konten pembelajaran VR sesuai dengan identifikasi pedagogi dan non-pedagogi sehingga setiap sekolah akan menemukan formulasi yang tepat dan optimal bagi siswa-siswi mereka.

Setelah para guru dapat membuat konten VR mereka sendiri menggunakan Millealab, mereka akan dibimbing untuk mengujicobakan dengan metode blended learning yang mereka pilih sesuai hasil identifikasi. Setelah itu program akan terus berlanjut untuk mendapatkan evaluasi perbandingan pembelajaran menggunakan VR untuk peningkatan emosi positif siswa, skill kognitif, skill literasi, dan skill problem solving yang kompleks.

Selain itu, program ini menggandeng partner-partner industri terkait bagi praktik baik pendidikan dengan memasukan subprogram-subprogram yang dapat meningkatkan kapasitas kualitas siswa. Subprogram yang meliputi pengetahuan potensi pariwisata daerah, UMKM dan entrepreneurship, dan literasi pengetahuan finansial bagi remaja diharapkan akan mampu membangun semangat berkarya bagi siswa-siswi dari sekolah terpilih.

Program Pionir VR ini adalah suatu revolusi bagi dunia pendidikan. Revolusi tentunya bergerak cepat dan dapat menjadi hal yang fundamental, terutama untuk memunculkan kembali nilai kreatifitas siswa dan inspirasi baik bagi mereka.” Tutur Bapak Iwan Ridwan selaku ketua IGI DKI JAKARTA dalam sambutannya di acara Grand Launching 100 Sekolah Pionir VR Indonesia.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner program Millealab “100 Sekolah Pionir VR Indonesia”.

TikTok dan Tren Konten Edukatif yang Terus Meningkat

Hingga detik ini, saya yakin di luar sana masih banyak yang mengecap TikTok sebagai “platform alay”. Padahal, seandainya mereka mau membuka mata lebih lebar, mereka bakal melihat bagaimana TikTok sudah berevolusi menjadi platform distribusi konten yang matang dan yang menawarkan lebih dari sekadar hiburan.

Semuanya bermula pada tanggal 25 November tahun lalu, tepatnya ketika TikTok meluncurkan program #BelajarBareng guna mengajak para kreator untuk berbagi konten edukatif. Lalu tibalah pandemi COVID-19, dan semenjak pemerintah memberlakukan kebijakan PSBB, konten bertema pendidikan di TikTok pun semakin beranak pinak, demikian pengakuan dari Angga Anugrah Putra selaku Head of User & Content Operations TikTok Indonesia.

Puncaknya adalah ketika TikTok meluncurkan program #SamaSamaBelajar di bulan Mei lalu, yang sampai detik ini sudah membuahkan lebih dari 17 miliar view. Salah satu kegiatannya, yakni kompetisi #BerbagiIlmu, terbukti mendapat respon positif dan antusiasme yang cukup besar.

Guna melanjutkan tren konten edukatif tersebut, TikTok sekarang tengah mengadakan kompetisi #BerbagiSkill. Kegiatan ini akan berakhir pada tanggal 31 Juli, dan kemudian akan disambung oleh kompetisi ketiga yang bertajuk #BerbagiFakta pada tanggal 11 Agustus. Namanya kompetisi, sudah pasti ada hadiah uang bagi para pemenang, tapi uang bukanlah satu-satunya insentif yang bisa didapatkan oleh para kreator.

Di skala global, TikTok punya program Creative Learning Fund. Namun seperti yang saya bilang, ini bukan melulu soal uang. Di ranah lokal, TikTok juga sempat mengadakan semacam workshop (online via video conference) bersama kreator-kreator terpilih dengan tujuan untuk semakin membina mereka sekaligus mewadahi interaksi antar kreator supaya mereka bisa saling belajar hal baru dari sesamanya. Jadi selain menyajikan konten edukatif ke konsumen, TikTok sebenarnya juga berupaya untuk mengedukasi komunitas kreatornya.

Menurut Angga, pendidikan saat ini sudah masuk tiga besar kategori terpopuler di TikTok, membuktikan bahwa pasarnya memang ada. Subkategorinya sendiri bisa bermacam-macam, bisa sains, teknologi, DIY, life hacks, marketing, dan masih banyak lagi.

“Sebagai platform yang inklusif, siapa pun berkesempatan untuk berbagi kemampuan dan keahliannya di TikTok, dan menginspirasi pengguna lain untuk belajar dan bahkan ikut berbagi pengetahuan mereka,” jelas Angga.

Video pendek sebagai medium belajar dan mengajar

Contoh konten bertema pendidikan yang diunggah oleh Indra Azis (kiri) dan Jason Iskandar (kanan) / TikTok
Contoh konten bertema pendidikan yang diunggah oleh Indra Azis (kiri) dan Jason Iskandar (kanan) / TikTok

Lalu yang mungkin jadi pertanyaan adalah, seefektif apa format video pendek saat diperlakukan sebagai medium belajar dan mengajar? Dalam riset berjudul “What the world watched in a day” yang dilakukan Google, belajar hal baru dan menggali minat diri merupakan dua alasan terbesar untuk menonton video di samping menghibur diri. Riset itu juga menunjukkan bahwa semakin muda suatu generasi, semakin besar preferensi mereka terhadap format video pendek.

TikTok merupakan medium yang sangat pas untuk itu, dan pendapat ini diamini oleh Indra Azis, pelatih vokal kawakan yang kebetulan memang cukup populer di TikTok. “Selama puluhan tahun saya mengajar vokal, semakin muda generasinya memang semakin tidak ingin mendengar terlalu banyak teori. Mereka lebih senang yang to-the-point dan langsung terjun mencobanya,” tutur Indra.

Beliau lanjut menjelaskan bahwa video tutorial yang dia bagikan di TikTok mendapat banyak respon duet dari para penonton, dan itu secara langsung menunjukkan bahwa mereka bisa langsung mempraktikkan berbagai tips yang dia berikan. Indra juga mengaku bahwa durasi video yang singkat mendorongnya untuk lebih rajin membuat konten.

Pendapat yang tak kalah menarik datang dari Jason Iskandar, sutradara film pendek sekaligus pendiri rumah produksi Studio Antelope. Menurutnya, TikTok dan format video pendek bisa membantu para sineas untuk melatih kemampuan storytelling-nya, menyampaikan pesan yang mendalam dengan durasi yang sangat terbatas.

Durasi yang singkat tentu bakal menjadi tantangan tersendiri bagi para kreator konten bertema pendidikan, namun ini juga bisa menjadi ajang pembuktian bahwa mereka benar-benar kapabel di masing-masing profesinya. “Kalau belum bisa menjelaskan secara sederhana, berarti kita belum benar-benar menguasai soal itu,” pungkas Jason.

Gambar header: Kon Karampelas via Unsplash.

Kano PC Adalah Tablet Windows 10 Modular untuk Mengeksplorasi Cara Kerja Komputer

Setahun yang lalu, produsen permainan STEM Kano meluncurkan tablet Windows 10 pertamanya setelah sebelumnya berkutat dengan sejumlah perangkat yang menjalankan sistem operasi bikinannya sendiri. Sayang meski kedengarannya menjanjikan, perangkat bernama Kano PC itu hanya sempat dijual ke sekelompok kecil konsumen saja.

Lalu di tengah pandemi dan berlangsungnya tahun ajaran baru di sejumlah negara, Kano mencoba untuk kembali mendapat sorotan lewat versi anyar Kano PC. Versi baru ini hadir dengan sejumlah peningkatan, utamanya terkait performa. Kalau sebelumnya Kano PC hanya ditenagai salah satu varian Intel Atom, versi barunya kini mengandalkan prosesor dual-core Intel Celeron N4000 yang lebih bertenaga.

Kapasitas RAM dan storage-nya masih sama, DDR3 4 GB dan eMMC 4 GB, akan tetapi daya tahan baterainya meningkat menjadi 10 jam pemakaian. Perubahan lainnya mencakup konektivitas Bluetooth 5.0 (sebelumnya cuma Bluetooth 4.2), charging via USB-C, sepasang port USB 3.0 (sebelumnya satu 3.0 dan satu 2.0), serta tombol volume di sisi kanan perangkat.

Menurut Kano, spesifikasi baru ini punya kinerja yang lebih unggul ketimbang laptop lain yang berharga lebih mahal, seperti Chromebook Acer Spin 11 misalnya, saat diuji menggunakan software benchmark Novabench. Peningkatan performa memang merupakan hal positif yang semestinya kita dapatkan dari produk generasi kedua, akan tetapi nilai jual utama Kano PC sebenarnya bukanlah itu.

Kano PC

Daya tarik utamanya justru terletak pada konsep perakitan ala Lego. Jadi sebelum bisa digunakan seperti tablet Windows 10 pada umumnya, Kano PC harus dirakit terlebih dulu. Sejumlah komponen, seperti misalnya modul speaker atau baterai, harus disambungkan ke papan sirkuit utamanya sebelum akhirnya dibungkus dalam case transparan.

Sejumlah indikator LED akan menyala untuk menandakan apakah suatu komponen sudah berfungsi dengan baik atau belum. Konsepnya memang tidak sekompleks merakit komputer pada umumnya, tapi setidaknya bisa memberikan gambaran kepada anak-anak mengenai cara kerja suatu komputer, dan pastinya ada kepuasan tersendiri ketika mereka bisa belajar menggunakan perangkat yang dibangunnya sendiri.

Berhubung modular, Kano PC juga punya potensi untuk di-upgrade ke depannya, dan ini penting demi mengajarkan anak-anak selaku target pasar utama Kano PC tentang besarnya dampak dari limbah elektronik. Daripada harus dibuang ketika baterai atau layarnya sudah rusak, Kano PC bisa ‘dihidupkan’ kembali dengan memasang modul yang baru.

Bicara soal layar, layar sentuh milik Kano PC diklaim cukup tangguh dan mampu bertahan meski dijatuhi bola baja dari ketinggian hampir 2 meter. Layarnya sendiri punya bentang diagonal 11,6 inci dan resolusi 1366 x 768 pixel.

Kano PC

Beralih ke software, Kano tidak lupa menyertakan sejumlah aplikasi edukasi racikan mereka sendiri. Mereka juga menyediakan layanan berlangganan Kano Club yang akan memberikan konten pendidikan secara rutin setiap dua minggu. Terakhir, mengingat Kano PC merupakan hasil kolaborasi antara Kano dan Microsoft, jangan terkejut kalau integrasi Microsoft Teams sudah tersedia secara default, dan ini diharapkan bisa membantu para murid dan pengajar dalam menjalani masa-masa sulit seperti sekarang.

Di Amerika Serikat, Kano PC saat ini telah dipasarkan seharga $300. Ke depannya, Kano berencana meluncurkan sejumlah periferal untuk Kano PC, mulai dari headphone, mouse sampai webcam modular yang dibekali sejumlah lensa yang berbeda.

Sumber: Engadget dan Kano.

Snapask Kenalkan Aplikasi Belajar Online Berbasis Tutor

Snapask, startup teknologi pendidikan asal Hong Kong mulai menggarap pasar Asia, termasuk Indonesia. Beberapa pelokalan konten mulai disiapkan. Gerak ekspansi mereka dimulai berkat suntikan dana segar senilai Rp700 miliar pada tahun 2020 ini. Di dalamnya termasuk pendanaan terbaru sebesar Rp487 miliar yang didapat dari Asia Partners (Singapura) dan Intervest (Korea Selatan).

Solusi yang ditawarkan Snapask adalah berupa aplikasi belajar one-on-one dengan tutor secara online. Pengguna bisa menanyakan masalah tugas atau hal lain yang ingin dipelajari. Gamifikasi yang ada di dalam sistem juga dinilai menjadi hal yang membuat pengguna betah, terlebih bagi mereka yang berada di jenjang pendidikan dasar dan menengah.

CMO Snapask Katherine Cheung kepada DailySocial menjelaskan, pengguna bisa mengabil foto pekerjaan rumah atau persoalan mereka, kemudian mengunggahnya melalui aplikasi. Selanjutnya Snapask akan menghubungkan mereka dengan tutor sesuai kebutuhan. Klaim waktu yang dibutuhkan untuk mencari tutor ini ada di angka 15 detik. Fitur Q&A dan Mini Class (sesi 30 menit dengan pertanyaan unlimited) adalah yang jadi unggulan.

“Kami melihat potensi besar di pasar Indonesia. Sebagian besar negara seperti Indonesia, sumber daya pendidikan sangat terpusat di kota-kota besar seperti Jakarta. Snapask ingin menjembatani kesenjangan antara pusat kota dan daerah pedesaan, untuk membuat sumber daya pendidikan terbaik tersedia untuk semua siswa,” imbuh Khaterine.

Teknologi pendidikan di Indonesia yang kian mendapat tempat di masyarakat

Di Indonesia ada banyak jenis startup teknologi pendidikan. Ada yang menyasar mereka yang sedang mengenyam pendidikan formal seperti Zenius, Ruangguru dan HarukaEdu. Ada juga yang menargetkan mereka yang ingin menambah keterampilan seperti Dicoding, Kode.id, Skill Academy, Vokraf, dan masih banyak lagi.

Gaung mengenai teknologi pendidikan semakin kencang semenjak Presiden Joko Widodo menunjuk founder Gojek Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, juga founder Ruangguru Belva Devara sebagai Staf Khusus Presiden. Keduanya diharapkan bisa memberikan dampak positif, terutama pada pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia.

Menghadapi kondisi ini Snapask terbilang cukup percaya diri. Sekarang mereka sudah memiliki tim yang ada di Jakarta untuk pelokalan konten, termasuk juga untuk rekrutmen tutor melalui serangkaian seleksi.

“Selalu kualitas layanan yang paling dihargai oleh Snapask. Kami memiliki aturan seleksi yang paling ketat untuk tutor kami, untuk memastikan semua tutor memenuhi syarat untuk mengajarkan pertanyaan yang diajukan siswa. Itu adalah sesuatu yang tidak dapat Anda temukan di platform lain, dan kami sangat bangga untuk terus memberikan janji bimbingan terbaik kami kepada pengguna kami,” jelas Khaterine.

Tak hanya Indonesia, Snapask juga menjajaki pasar Taiwan, Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang dan Korea Selatan; sejak lima tahun kiprahnya sebagai perusahaan teknologi pendidikan. Terbaru, dengan pendanaan yang didapat Vietnam akan menjadi pasar selanjutnya. Mereka juga akan mendirikan kantor pusat regional Asia Tenggara di Singapura.

Sementara untuk pasar Indonesia Snapask mengaku masih akan fokus pada memperkaya konten lokal yang berkualitas. Harapannya dengan banyaknya konten yang berkualitas mereka bisa mengajak pelajar dan masyarakat Indonesia untuk menggunakan Snapask sebagai bagian dalam kegiatan belajar mereka.

Application Information Will Show Up Here

Sphero Akuisisi LittleBits Demi Semakin Mendominasi Industri STEAM Toys

Sphero dan LittleBits adalah dua nama yang cukup dikenal di industri STEAM toys (Science, Technology, Engineering, Art and Math). Keduanya sama-sama mulai berkiprah sejak tahun 2011, dan kini sudah menjadi kepercayaan berbagai institusi pendidikan di banyak negara.

Baik Sphero maupun LittleBits sama-sama memulai kiprahnya lewat program accelerator Disney. Masing-masing juga sempat menelurkan produk bertema franchise milik Disney dengan lisensi resmi, mulai dari Star Wars (Sphero BB-8 dan LittleBits Droid Inventor Kit) sampai Avengers (Sphero Spider-Man dan LittleBits Avengers Hero Inventor Kit).

LittleBits Droid Inventor Kit / LittleBits
LittleBits Droid Inventor Kit / LittleBits

Sekarang, keduanya memutuskan untuk bersatu di bawah nama Sphero. Ya, Sphero baru-baru ini mengumumkan rencananya untuk mengakuisisi LittleBits, meski tidak ada nominal mahar yang disebutkan.

Berkat tambahan aset dari LittleBits, portofolio produk Sphero kini mencakup lebih dari 140 paten di bidang robotik, elektronik, software dan Internet of Things (IoT). Akuisisi ini juga diharapkan bisa membantu Sphero melancarkan ekspansi internasionalnya, sekaligus rencana ke depannya untuk mengakuisisi perusahaan lain demi memperluas portofolio penawarannya di ranah STEAM toys.

Sphero RVR / Sphero
Sphero RVR / Sphero

Ini bukan pertama kalinya Sphero mengakuisisi perusahaan yang bergerak di bidang serupa. Tahun lalu, mereka sempat mengakuisisi Specdrums, startup yang hardware bikinannya berfokus pada area pendidikan musik. Sejauh ini, produk Specdrums masih dipasarkan di bawah brand yang terpisah, sehingga ada kemungkinan Sphero juga bakal menerapkan kebijakan yang sama untuk produk-produk LittleBits.

Arah perkembangan Sphero sebagai perusahaan sejatinya semakin jelas sejak mereka memutuskan untuk sepenuhnya mengalihkan fokusnya ke ranah edukasi. Di samping portofolio produk, aset terbesar yang Sphero punyai adalah jalinan kemitraan dengan sejumlah institusi pendidikan, sehingga pada akhirnya masuk akal apabila mereka tidak segan berinvestasi besar demi semakin memperluas penawarannya.

Sumber: 1, 2, 3.

DANAdidik Bermitra dengan The Vanderes Foundation

Tha Vanderes Foundation (Vanderes) resmi menjalin kerja sama dengan platform pembiayaan pendidikan asal Indonesia DANAdidik. Vanderes akan beperan sebagai salah salah satu lender utama DANAdidik dan membantu DANAdidik dalam memberikan mentorship dan membantu dalam pengembangan binsis.

Tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia yang dinilai masih rendah, jika dibandingkan dengan negara tetangga, menjadi salah satu alasan Vanderes menggandeng DANAdidik. Venderes percaya bahwa mereka berada dalam satu misi dengan DANAdidik. Percaya bahwa pendidikan adalah jalan utama untuk meloloskan diri dari kemiskinan secara permanen.

CEO DANAdidik Dipo Satria melihat kerja sama ini menunjukkan bahwa industri student loan di Indonesia akan berkembang, mengingat industri student loan merupakan hal yang sangat baru. Selain itu kerja sama ini juga menunjukkan bahwa investor luar negeri sudah mulai percaya pada student loan di Indonesia.

“Partnership ini menunjukkan bahwa industri student loan akan berkembang di Indonesia. Mengingat student loan adalah hal yang sangat baru di Indonesia. Partnership ini menunjukkan bahwa investor luar pun sudah mulai percaya dengan industri student loan Indonesia.  Note pada awal tahun ini Presiden Jokowi mem-push perbankan untuk mengeluarkan produk student loan. Sepertinya fintech startup seperti DANAdidik yang akan me-lead pertumbuhan industri student loan tersebut,” terang Dipo.

Dipo juga menerangkan bahwa keduanya akan mulai fokus pada pengembangan bisnis lokal student loan di Indonesia. Vanderes juga menyatakan ketertarikan utnuk lebih aktif dalam membangun kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.

“Kami sudah mulai berbicara semenjak awal tahun, namun baru terealisasi sekarang ini. Seperti partnership pada umumnya, banyak pengenalan terhadap masing-masing pihak dan diskusi strategi apa yang paling untuk merelisasikan sinergi antara kedua pihak,” ungkap Dipo.

Faktor Penghambat Perkembangan Startup Teknologi Pendidikan di Indonesia

Startup yang bergerak di bidang teknologi pendidikan, atau sering juga disebut dengan edtech, menyimpan potensi yang cukup besar. Hanya saja industri edtech masih terus berusaha keras mengambil peluang-peluang yang ada di dunia pendidikan Indonesia. Permasalahan-permasalah seperti keterbatasan materi, kelas belajar yang belum banyak hingga manajemen pendidikan masih menjadi masalah utama yang juga berarti masih ada kesempatan untuk memberikan solusi. Dalam dua tahun terakhir startup pendidikan tumbuh, namun tidak secepat industri-industri lain yang sama-sama memanfaatkan teknologi.

Layanan Edtech sejatinya dibagi menjadi beberapa jenis atau kategori. Contohnya adalah penyedia materi belajar secara online, platform teknologi yang menjembatani guru dengan murid, solusi untuk komunikasi dan kolaborasi guru-murid-orang tua, atau platform bertanya untuk mempermudah mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah. Secara umum, tiap kategori memiliki hambatan yang sama.

Masih harus mengedukasi masyarakat

Sama seperti banyak bisnis baru di banyak sektor lain, tugas pertama kali yang harus dihadapi layanan edtech adalah mengenalkan solusi yang mereka tawarkan kepada para calon pengguna. Baik itu perusahaan, institusi sekolah, atau lembaga pendidikan (B2B) atau guru, siswa dan orang tua (B2C). Semua punya permasalahan untuk mengenalkan ke masing-masing calon pengguna.

Untuk bisnis B2B, kemampuan masuk ke sekolah, universitas atau lembaga-lembaga belajar menjadi hal pertama. Selanjutnya mereka harus bisa meyakinkan layanan mereka berkualitas dan memiliki sejumlah fitur yang memang dibutuhkan. Di sejumlah kota kemungkinan sekolah, universitas, atau lembaga belajar sudah memiliki platform belajar yang dikembangkan sendiri. Jika produk edtech yang ditawarkan merupakan platform belajar harus ditemukan pembeda. Untuk kasus ini, edukasinya adalah tentang keunggulan yang ditawarkan.

Sementara bagi mereka yang menargetkan mendigitalisasi proses pendidikan yang masih konvensional, tugasnya lebih berat lagi. Ada beberapa aspek yang jadi penghambat, misalnya para pengajar yang sudah nyaman belajar dengan cara lama atau mereka yang belum seutuhnya menguasai untuk penggunaan teknologi. Siswa dan orangtua di sini berperan sebagai pengikut, sehingga guru memegang peranan penting untuk kesuksesan segmen ini.

Sektor B2C memiliki tantangan yang berbeda. Misalnya, ada yang memaknai layanan atau aplikasi yang baik adalah yang bisa membantu mengerjakan PR atau layanan edtech yang baik adalah layanan yang membantu mereka memahami sebuah masalah. Masih banyak pula yang beranggapan bahwa pendidikan yang baik adalah mereka yang bisa mengantarkan masuk ke sekolah favorit di jenjang yang lebih tinggi.

Perbedaan cara pandang siswa atau orang tua tentang keberhasilan pendidikan ini juga menjadi area yang harus disikapi. Pengadaan uji coba, seminar atau usaha lainnya bisa membuka pandangan masyarakat terhadap solusi teknologi pendidikan.

Konten dan cara belajar

Hadirnya teknologi membawa sejumlah perubahan dari segi cara belajar. Kelas jarak jauh, konten-konten pelajaran on demand berbentuk video pun mulai banyak ditemukan. Permasalahan muncul ketika konten atau metode belajar yang ditawarkan oleh para penyedia layanan edtech hanya bekerja untuk sebagian orang karena model dan cara belajar masyarakat umumnya berbeda-beda. Untuk itu mengenali model belajar sangat penting.

Saat ini ini ada banyak bentuk konten atau cara belajar, misalnya dengan video on demand yang sudah disusun per bagian sesuai dengan kurikulum, tatap muka langsung dengan guru atau pun grup/kelas, atau penyajian materi/proses belajar yang lainnya. Yang masih kurang adalah pembiasaan, termasuk kesadaran bahwa belajar bukan soal apa yang harus dihadapi di sekolah atau perguruan tinggi, tetapi bisa banyak hal.

Dulu sebelum layanan transportasi online dan belanja online dikenal di masyarakat, banyak orang yang merasa takut atau ragu bertransaksi. Kini pasar yang semakin savvy menjadi momentum para penyedia edtech untuk bisa mengubah dan mengarahkan cara belajar memanfaatkan teknologi dan bersinergi bersama.

Lenovo Ajak Sekolah-Sekolah untuk Memulai Program Belajar Berbasis Virtual Reality

Ide akan VR headset berbasis Daydream tapi yang standalone (bisa beroperasi tanpa tersambung PC atau smartphone) sudah diumumkan sejak tahun lalu, dan Lenovo akhirnya merealisasikannya lewat Mirage Solo, yang diperkenalkan pada ajang CES kemarin. Kini, pabrikan asal Tiongkok itu punya inisiatif baru untuk memaksimalkan potensi standalone VR headset-nya.

Inisiatifnya dijuluki Lenovo VR Classroom, semacam program untuk institusi pendidikan yang tertarik mengimplementasikan aktivitas belajar-mengajar berbasis virtual reality. Dengan VR, cara guru mengajar maupun cara murid mengonsumsi informasi jelas akan berubah drastis, dan ini tentu saja diharapkan bisa mendorong tingkat partisipasi dalam kelas.

Bundel Lenovo VR Classroom mencakup headset Mirage Solo itu tadi, Lenovo Tab 4 Plus 10 inci untuk sang pengajar, router kelas komersial Ruckus R510 untuk menangani transmisi data dalam jumlah besar, lalu yang tidak kalah penting adalah dukungan sederet konten edukatif, plus lesson plan seputar STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) racikan Scholastic.

Lenovo mematok harga mulai $2.899 untuk bundel yang paling murah buat tiga murid, lalu tersedia pula bundel untuk 10 maupun 24 murid, plus opsi untuk menambahkan Lenovo Mirage Camera ke dalam bundel, supaya ide-ide kreatif para murid juga bisa tersalurkan. Pemasarannya baru akan dimulai bulan April mendatang di Amerika Serikat.

Apa yang dilakukan Lenovo ini cukup menarik karena, yang melihat potensi besar VR dalam dunia pendidikan sebenarnya sudah banyak, tapi sebagian besar masih bingung dengan penerapannya. Lenovo pada dasarnya hanya ingin memudahkan dengan menyediakan tak cuma hardware dan software yang dibutuhkan, tapi juga sejumlah layanan untuk membimbing institusi pendidikan sampai akhirnya mereka siap memulai program berbasis VR-nya.

Sumber: Lenovo.

AR vs VR: Mana yang Punya Masa Depan Lebih Cerah?

AR dan VR, dua akronim ini banyak menghiasi headline media publikasi dalam dua dua tahun terakhir. Keduanya sebenarnya sudah eksis sejak cukup lama, namun baru belakangan ini kembali menjadi sorotan. Yang mungkin menjadi pertanyaan, manakah dari keduanya yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap pengguna?

Secara umum, keduanya sama-sama memiliki dampak yang cukup besar terhadap cara kita berinteraksi dengan dunia digital. Kendati demikian, AR sepertinya punya masa depan yang lebih cerah jika mengamati tren terkini.

Apa itu AR?

Pokemon Go / Augment
Pokemon Go / Augment

AR atau augmented reality, dapat diterjemahkan secara harfiah menjadi realitas tertambah. Tidak seperti virtual reality yang benar-benar menyuguhkan sebuah realitas baru di hadapan pengguna, augmented reality mencoba meleburkan dunia nyata dengan dunia virtual.

Game Pokemon Go yang dirilis tahun lalu merupakan cara terbaik untuk menjelaskan konsep AR. Dengan mata telanjang, mustahil kita bisa menemukan seekor Pikachu di sebuah taman kota. Namun ketika dilihat melalui kamera smartphone, akan muncul sejumlah Pokemon yang berkeliaran.

Lingkungannya (taman kota) nyata, tapi objeknya (Pokemon) hanyalah ilusi belaka yang cuma bisa dilihat melalui smartphone, kira-kira seperti itu deskripsi sederhana AR. Sejauh ini kesannya AR mungkin hanya bermanfaat di bidang hiburan, tapi kenyataannya tidak demikian.

Manfaat AR

Ilustrasi penggunaan HoloLens dalam proses desain mobil / Ford
Ilustrasi penggunaan HoloLens dalam proses desain mobil / Ford

Selain memunculkan genre baru di bidang gaming, AR menyimpan banyak potensi di dunia pekerjaan. Contoh yang terbaru adalah Ford, yang memanfaatkan HoloLens untuk mempercepat proses desain mobil, memungkinkan tim desainernya untuk bereksperimen dan berkolaborasi dengan mudah dan cepat.

Contoh lain adalah Google Glass, yang belum lama ini dirilis kembali tapi khusus untuk kalangan enterprise saja. Tidak main-main, klien Google Glass mencakup nama-nama besar seperti Boeing, Volkswagen, General Electric dan DHL.

Di tangan para profesional ini, AR memungkinkan mereka untuk, misalnya, memproyeksikan desain baru moncong depan mobil di atas sebuah model fisik, lalu mengamati apa saja kekurangannya dan langsung mengerjakan revisinya tanpa harus membuat ulang model fisiknya.

Dalam konteks lain, pekerja pabrik yang menggunakan Google Glass jadi tidak perlu lagi membawa-bawa buku petunjuk selagi kedua tangannya disibukkan dengan sesuatu, sebab penerapan teknologi AR dalam Glass memungkinkan semua informasi yang dibutuhkan untuk ditampilkan langsung di hadapan mereka.

Google Glass dan kapabilitas AR merupakan pengganti buku manual yang ideal bagi para pekerja pabrik / Google
Google Glass dan kapabilitas AR merupakan pengganti buku manual yang ideal bagi para pekerja pabrik / Google

AR juga perlahan menunjukkan tajinya dalam keperluan marketing. Salah satu yang paling baru adalah Supercell, yang memanfaatkan platform AR milik Facebook untuk mempromosikan salah satu game terlarisnya, Clash of Clans.

Manfaat lain AR yang tidak kalah penting adalah di bidang pendidikan, dan ini sudah mulai meluas perkembangannya di tanah air. Startup asal Bandung, Octagon Studio, sudah cukup lama memasarkan flashcard berbasis AR yang dirancang untuk mengajarkan alfabet, bahasa maupun beragam pengetahuan umum lainnya secara interaktif.

Masih seputar pendidikan, ada aplikasi edukatif bernama Kartu Muslim yang digarap oleh sejumlah karyawan dari studio game lokal Touchten bersama Ustad Wijayanto. Ke depannya tren penerapan AR dalam bidang pendidikan dipastikan bakal terus berkembang, apalagi dengan adanya eksposur dari event seperti Jakarta XR Meetup.

Naik-turunnya tren AR

Osmo Pizza Co. / Osmo
Osmo Pizza Co. / Osmo

Manfaat-manfaat yang telah saya jabarkan di atas sebenarnya sudah bisa menggambarkan masa depan AR yang cukup cerah. Namun demikian, masih ada alasan lain mengapa AR punya peran yang sangat penting terhadap konsumen, bahkan lebih penting ketimbang VR.

Utamanya adalah bagaimana AR dapat mengubah cara kita berinteraksi dengan smartphone atau tablet, dan di saat yang sama masih melibatkan sejumlah objek fisik di sekitar. Saya ambil contoh Osmo Pizza Co., yang pada dasarnya merupakan perpaduan board game dan video game, dengan elemen edukatif yang tersisipkan secara elegan.

Dalam permainan ini, anak-anak berusia 5 – 12 tahun akan diajak belajar untuk menjalankan bisnis pizza-nya sendiri. Namun tidak seperti game simulasi pada umumnya, interaksi dalam Osmo Pizza Co. mengandalkan sejumlah objek fisik, mulai dari uang-uangan sampai adonan pizza palsu beserta topping-nya.

Sistem permainan seperti ini menurut saya dapat menyajikan porsi yang pas antara interaksi digital dan fisik; anak-anak yang bermain tidak hanya menikmati konten yang ditampilkan di layar secara pasif, tapi juga aktif mengutak-atik beragam alat bantu yang ada di sekitarnya tadi.

Nokia City Lens / Wired
Nokia City Lens / Wired

Pertanyaannya, mengapa baru sekarang AR kembali menjadi buah bibir? Padahal kalau Anda ingat, Nokia sempat meluncurkan aplikasi bernama City Lens di tahun 2012, yang memudahkan pengguna mencari lokasi menarik di sekitarnya hanya dengan mengarahkan kamera.

Ok, saya akui Nokia City Lens adalah contoh yang buruk, sebab aplikasi tersebut hanya tersedia untuk platform Windows Phone yang terbukti tidak laku. Namun poin yang ingin saya tekankan adalah, AR sudah menunjukkan potensinya sejak lama, tapi kemudian ia sempat hilang dari pembicaraan dan akhirnya bangkit kembali bersama dengan VR.

Lalu jika melihat perkembangannya, AR bisa dikatakan lebih maju dibanding VR. Kok bisa? Salah satu alasannya merujuk pada keterlibatan Apple dan Google. Dua perusahaan yang bertanggung jawab atas dua sistem operasi mobile terlaris itu belum lama memutuskan untuk serius memaksimalkan potensi AR.

ARKit dan ARCore

Ikea Place / Ikea
Ikea Place / Ikea

Buah pemikiran mereka adalah ARKit dan ARCore, yang sederhananya memungkinkan iOS dan Android untuk mendukung teknologi augmented reality secara native, tanpa memerlukan komponen ekstra maupun perangkat khusus.

Sebelum ARKit dan ARCore, Pokemon Go memang sudah bisa berjalan dengan lancar di iOS dan Android. Namun dengan ARKit dan ARCore, penerapan AR dapat lebih dimaksimalkan karena developer aplikasi dan game dapat mengakses beragam fungsinya secara mendalam.

The Machines / Directive Games
The Machines / Directive Games

ARKit pada dasarnya memungkinkan peningkatan kualitas grafik objek virtual yang ditampilkan. Hal ini dikarenakan hampir semua pemrosesan yang dibutuhkan dilakukan oleh prosesor, sehingga pada akhirnya GPU yang tidak tersentuh tersebut bisa dimaksimalkan oleh developer.

ARKit sejatinya memungkinkan developer untuk berfokus pada penyajian konten tanpa perlu memusingkan aspek krusial lain macam tracking, sebab semuanya sudah ditangani oleh ARKit. Ini juga yang menjadi alasan mengapa kursi dan sofa virtual yang disuguhkan aplikasi Ikea Place tampak cukup mendekati aslinya.

ARKit juga menjadi alasan di balik kemunculan game yang sepenuhnya bergantung pada teknologi augmented reality seperti The Machines, atau menjadi pengganti efek animasi rotoscoping secara instan.

Seperti ARKit, ARCore memungkinkan objek virtual tampil dengan pencahayaan yang cukup realistis / Google
Seperti ARKit, ARCore memungkinkan objek virtual tampil dengan pencahayaan yang cukup realistis / Google

ARCore di sisi lain bisa disebut sebagai ARKit versi Android. Google sebelumnya memang sudah punya inisiatif sendiri untuk AR, yakni melalui Project Tango. Namun karena membutuhkan perangkat yang dilengkapi komponen khusus, Tango belum mampu mengatrol popularitas AR.

Lain halnya dengan ARCore, yang dirancang agar bisa berjalan di banyak smartphone yang menjalankan OS Android versi 7.0 Nougat. Premisnya hampir sama seperti ARKit, dimana kapabilitas tracking akan ditangani oleh sistem, dan developer tinggal berkonsentrasi pada konten.

Banyak yang memprediksi ARKit dan ARCore bakal menggerakkan popularitas tren AR ke depannya. Alasannya sederhana saja: keduanya sudah langsung tersedia di jutaan perangkat, sehingga status mainstream yang bakal melekat pada AR sebenarnya hanya tinggal menunggu waktu sesaat saja. VR di sisi lain sulit mengalami nasib yang sama karena konsumen diharuskan membeli perangkat baru.

Masa depan AR

Mira Prism / Mira
Mira Prism / Mira

Dari segi software, AR sebenarnya sudah tergolong sangat matang berkat kehadiran ARKit dan ARCore. Namun dari segi hardware, AR mungkin masih belum menemukan medium yang tepat; memegang smartphone dan mengarahkan kameranya bukan cara yang praktis untuk menikmati AR.

Kacamata atau headset merupakan salah satu solusi yang tengah dikejar banyak pihak. Salah satunya adalah sebuah startup bernama Mira, yang menawarkan AR headset berbasis mobile – macam Gear VR, tapi untuk AR. Tak hanya startup kecil, nama besar seperti Intel pun juga mulai berfokus ke AR, meski sejauh ini apa yang dikerjakannya masih misteri.

Lenovo Mirage / Lenovo
Lenovo Mirage / Lenovo

Di tempat lain, ada Disney yang percaya AR lebih ideal ketimbang VR dalam konteks taman hiburan. Disney bahkan telah bekerja sama dengan Lenovo untuk mengembangkan AR headset spesial yang dirancang untuk para pencinta Star Wars, lengkap dengan motion controller berwujud Lightsaber.

Semua ini bisa mengindikasikan masa depan AR yang cerah. Saya tidak bilang VR bermasa depan suram, hanya saja perkembangannya mungkin tidak akan secepat AR yang lebih mudah diterima dan diadopsi oleh konsumen secara luas berkat akses yang jauh lebih gampang.

Parrot dan Tynker Berkolaborasi Untuk Mengembangkan ‘Drone Edukasi’

Setelah belasan tahun fokus pada teknologi wireless dan pengenal suara, lepas landasnya AR.Drone secara perdana di CES 2010 menandai dimulainya langkah Parrot SA menyelami bidang unmanned aerial vehicle kelas konsumen. Buat memantapkan bisnisnya di ranah itu, Parrot juga bekerja sama dengan SenseFly dan Pix4D demi memantapkan sistem autopilot serta algoritma.

Kali ini, Parrot ingin memperluas pemanfaatan teknologi drone ke bidang pendidikan. Beberapa tahun ke belakang, kita sudah melihat penggunaan robot untuk mengajarkan pemrograman sejak dini pada anak-anak. Buat melakukannya, perusahaan teknologi asal Perancis itu menggandeng Tynker, tim developer spesialis software-software edukasi. Sasaran Parrot ialah menyediakan sarana belajar coding lewat UAV.

Faktor yang mendorong kolaborasi ini adalah meningkatnya pemanfaatan drone di institusi-institusi pendidikan sebagai sarana untuk mengajarkan ilmu robotik. Tynker sendiri berperan mendukung sisi piranti lunak. Software mereka kabarnya siap mendukung bermacam-macam drone milik Parrot, misalnya Mambo MiniDrone, Swing, Airborne Night, Airborne Cargo, termasuk Jumping Race, Jumping Night, Jumping Sumo serta Rolling Spider.

Software Tynker dirancang agar menyerupai latihan simulasi penerbangan, menantang siswa memprogram drone menggunakan tablet – bukan dengan unit controller standar. Berkat metode itu, pelajar bisa mengimplementasikan kode dan melihatnya memengaruhi drone secara langsung. Kode tersebut bukan sekedar software ‘mainan’ – sebetulnya dipakai dalam drone sungguhan. Fungsi-fungsi yang ada di sana memungkinkan anak-anak memberikan perintah atau sebagai sarana memecahkan masalah.

Pada Digital Trends, co-founder sekaligus CTO Tynker Srinivas Mandyam menjelaskan bahwa para siswa akan lebih mudah memahami ilmu pemrograman dengan mencobanya langsung. Lewat teknik tersebut, proses coding akan jadi jauh lebih menyenangkan. Dan sebagai bonusnya, hasil kolaborasi Parrot dan Tynker ini mendorong anak-anak untuk tetap aktif serta memicu anggota keluarga buat beraktivitas bersama.

Menariknya lagi, Tynker mendesain software agar juga mudah dimengerti orang tua atau pihak pengajar – termasuk user yang tidak mempunyai latar belakang ilmu pemrograman. Developer berjanji, kreasi mereka itu dapat mendongkrak kemampuan anak-anak dalam hitung-menghitung serta menyelesaikan masalah. Tynker yakin metode ini sangat efektif karena hampir semua anak suka menerbangkan drone.

Selanjutnya, setelah siswa memahami bahasa Tynker, mereka bisa mulai mempelajari JavaScript, Phyton dan Swift yang sudah tersedia di platform edukasi tersebut, sehingga proses belajarnya berlangsung mulus.

Sumber: Digital Trends.