Bukan Sebatas Earphone Planar Magnetic, RHA CL2 Planar Ternyata Juga Wireless

Ngomong-ngomong soal headphone berteknologi planar magnetic, biasanya langsung teringat dengan Audeze. Teknologi yang juga dikenal dengan istilah orthodynamic ini sebenarnya sudah dipopulerkan oleh Yamaha sejak tahun 1976, akan tetapi tidak bisa dipungkiri Audeze-lah yang berjasa mengangkat reputasinya di kalangan audiophile lewat headphone premium seperti LCD–2.

Secara umum, headphone planar magnetic memiliki ukuran yang lebih besar dari biasanya, akan tetapi pada tahun 2016, Audeze membuktikan bahwa mereka bisa mengemas teknologi tersebut dalam sebuah earphone yang cukup ringkas bernama iSine. Dua tahun berselang, giliran RHA Audio yang membuktikan bahwa planar magnetic juga bisa diterapkan pada earphone wireless.

RHA CL2 Planar

Pabrikan audio asal Skotlandia itu baru saja memperkenalkan RHA CL2 Planar, earphone wireless berteknologi planar magnetic pertama di jagat raya. Bukan cuma wireless, dimensinya pun jauh lebih mungil ketimbang Audeze iSine – bobotnya cuma 9 gram tanpa kabel – dan desainnya juga terkesan lebih ‘normal’ selagi masih mencurahkan aura premium.

Yang lebih mengejutkan lagi, RHA baru memulai debutnya di segmen earphone wireless tahun lalu, dan ternyata CL2 Planar ini sudah mereka kembangkan selama sekitar empat tahun. Dedikasi dan kerja keras mereka itu akhirnya berujung pada driver planar magnetic berukuran 10 mm yang tertanam di masing-masing earpiece CL2 Planar.

RHA CL2 Planar

Kedua earpiece yang terbuat dari bahan keramik zirconium itu menyambung ke sebuah neckband fleksibel yang menyimpan chip Bluetooth 4.1 (aptX) sekaligus baterai berdaya tahan 12 jam. Remote kecil berisikan tombol pengaturan audio juga tampak pada salah satu kabelnya.

Berhubung ini masuk kategori produk audiophile – dan audiophile umumnya lebih memprioritaskan kualitas suara ketimbang kepraktisan konektivitas wireless – CL2 Planar rupanya juga dapat dilepas earpiece-nya dan disambungkan ke kabel audio 3,5 atau 2,5 mm (yang termasuk dalam paket pembelian) menjadi earphone wired biasa. Dibantu headphone amp atau DAC, CL2 Planar siap menyuguhkan respon frekuensi di rentang 16 – 45.000 Hz.

RHA CL2 Planar

Kabel audio bukan satu-satunya aksesori yang tersedia dalam paket pembelian CL2 Planar. RHA mempertahankan tradisinya menyertakan seabrek aksesori lain seperti sebuah carrying pouch, flight case, adaptor kabin pesawat, kabel USB-C untuk charging, sports clip, dan total 10 pasang eartip cadangan (termasuk buatan Comply yang berbahan memory foam) yang disusun rapi pada sebuah pelat stainless steel.

Melihat semua yang ditawarkannya, RHA CL2 Planar jelas bukan barang murah. Harganya dipatok $900, dan akan dipasarkan di berbagai peritel mulai tanggal 12 September mendatang.

RHA CL2 Planar

Sumber: Digital Trends dan RHA Audio.

Sony Luncurkan Pemutar Musik Digital Kelas Sultan Seharga Mobil LCGC

Jangankan orang awam, terkadang orang yang sudah akrab dengan perkembangan teknologi saja terheran melihat gelagat kaum audiophile. Mereka ini tidak segan mengucurkan dana yang begitu besar hanya demi memanjakan kedua telinganya, dan pabrikan pun merespon dengan baik pasar yang teramat niche ini.

Lihat saja Sony. Di event Hong Kong High End Audio Visual Show belum lama ini, mereka memamerkan dua perangkat audio kelas sultan dari lini Signature Series mereka: earphone IER-Z1R seharga HK$13.990 (± Rp 26,1 juta) dan pemutar musik digital DMP-Z1 seharga HK$61.880 (± 115,5 juta). Tak perlu digabung, banderol music player-nya saja sudah setara mobil baru kelas LCGC.

Sony IER-Z1R / Sony
Sony IER-Z1R / Sony

Pertanyaannya, apa yang konsumen dapat dari perangkat audio seharga mobil itu? Dukungan audio berformat hi-res sudah pasti, tapi tentu ini baru secuil dari cerita lengkapnya. Pada DMP-Z1, Anda bisa melihat bubuhan emas di sekujur tubuhnya; di kenop volume besarnya, dan bahkan solderan di jeroannya pun disebut mengandung emas demi menyempurnakan aliran sinyal.

Satu komponen yang unik adalah yang Sony juluki dengan istilah Vinyl Processor. Berkat ini, DMP-Z1 dapat menyajikan karakter khas vinyl pada musik digital yang diputarnya. Bukan cuma itu, prosesor lain berlabel DSEE HX yang ada di dalamnya juga diklaim sanggup menyempurnakan kualitas suara pada format audio lossy, termasuk yang sudah melewati tahap kompresi intensif – ibaratnya seperti TV 4K yang meng-upscale video 1080p.

Sony DMP-Z1

DMP-Z1 dapat digunakan langsung bersama headphone atau earphone berkat kapasitas penyimpanan internal sebesar 256 GB, plus sepasang slot microSD. Ia juga bisa difungsikan sebagai DAC (digital-to-analog converter) via USB-C, maupun menyambung ke ponsel via Bluetooth jika perlu. Baterainya sendiri diperkirakan bisa bertahan sampai 9 jam ketika dipakai memutar musik hi-res.

Jadi, anggap Anda seorang audiophile, Anda pilih ini atau LCGC?

Sumber: The Verge.

Sennheiser Memory Mic Adalah Mikrofon Wireless untuk Videografer Smartphone

Entah kebetulan atau tidak, kategori produk mikrofon semakin mencuat popularitasnya belakangan ini. Dua indikasinya adalah mikrofon USB garapan Beyerdynamic dan akuisisi Logitech atas Blue Microphones. Di saat yang sama, tren mikrofon portable alias wireless juga ikut menguat berkat produk seperti Mikme Silver, serta yang terbaru datang dari dedengkot mikrofon itu sendiri, Sennheiser.

Pabrikan asal Jerman tersebut baru saja memperkenalkan Sennheiser Memory Mic, sebuah mikrofon yang bisa tersambung ke smartphone via Bluetooth untuk membantu meningkatkan kualitas audio pada saat pengambilan video dari jarak jauh. Seperti yang kita tahu, kualitas gambar bukanlah kelemahan smartphone dalam merekam video, melainkan kualitas audionya.

Sennheiser Memory Mic

Seperti Mikme, Memory Mic datang bersama sebuah aplikasi smartphone yang berfungsi untuk menyinkronkan audio dengan video yang sedang direkam secara otomatis. Yang cukup unik di sini adalah, mikrofon bawaan smartphone rupanya masih akan aktif selama perekaman, sehingga pada hasil akhirnya, pengguna dapat menggabungkan audio dari Memory Mic dan suara ambient yang ditangkap oleh ponsel.

Juga menarik adalah kemampuan Memory Mic untuk terus merekam audio meski sudah keluar dari jangkauan koneksi Bluetooth. Ia dapat menyimpan audio secara internal hingga berdurasi empat jam, dan setelahnya dapat disinkronkan secara otomatis dengan video dari smartphone melalui aplikasi pendamping itu tadi.

Sennheiser Memory Mic

Di balik kemasan putihnya yang terlihat premium itu bernaung mikrofon tipe condenser yang mampu merekam audio dari segala arah (omnidirectional) dalam resolusi 16-bit/48kHz, dengan rentang frekuensi 100 – 20.000 Hz. Casing-nya dilengkapi sebuah penjepit magnetik agar dapat dengan mudah dipasangkan ke tubuh subjek video yang hendak direkam.

Baterainya diperkirakan dapat bertahan sampai empat jam pemakaian dalam satu kali pengisian. Charging-nya sendiri mengandalkan sambungan USB-C, tapi sayangnya tidak ada informasi apakah perangkat ini juga dapat difungsikan sebagai mikrofon USB.

Sennheiser Memory Mic saat ini sudah dipasarkan seharga $200. Podcaster, YouTuber maupun kalangan umum yang ingin meningkatkan kualitas audio pada video-video bikinannya semestinya bakal tertarik dengan produk semacam ini.

Sumber: Sennheiser.

Earphone Bluetooth Ini Didedikasikan untuk Penggemar Berat Star Trek

Kalau Anda merasa desain Apple AirPods terlihat aneh, tunggu sampai Anda melihat earphone Bluetooth yang satu ini. Sepintas ia kelihatan seperti alat bantu dengar, tapi sebenarnya ia dirancang untuk penggemar Star Trek sejati, utamanya mereka yang mengidolakan Captain Spock ketimbang karakter lain dalam franchise tersebut.

Dipersembahkan oleh ThinkGeek, nilai jual utama dari perangkat bernama Star Trek Wireless Vulcan Earbuds ini sudah pasti adalah desainnya. Anggap ini sebagai earphone berdesain earhook, hanya saja ketika dipakai penggunanya bakal tampak seperti ras Vulcan dari franchise Star Trek.

Masih seputar desain, warna produk berlisensi resmi ini mungkin kelihatan aneh dan tidak pas. Namun pada kenyataannya, ThinkGeek bilang bahwa mereka telah menyocokkan dengan warna kulit karakter Spock di serial orisinilnya selagi mengikuti standardisasi Pantone. Demi kenyamanan, paket penjualannya menyertakan dua pasang eartip silikon ekstra dengan ukuran yang berbeda.

Star Trek Wireless Vulcan Earbuds

Perangkat ini bukanlah true-wireless earphone seperti AirPods. Masih ada kabel pendek yang menyambungkan kedua earpiece-nya, dan di tengahnya ada remote kecil dengan sebuah tombol dan mikrofon. Kalau biasanya earphone semacam ini bisa dikalungkan saat sedang tidak dipakai, earphone yang satu ini tidak, karena Anda yang membelinya jelas tidak mau menyembunyikannya dari jangkauan pandang khalayak.

Dari segi teknis, perangkat mengandalkan driver 10 mm dengan rentang frekuensi 20 – 20.000 Hz. Konektivitas yang digunakan adalah Bluetooth 4.0, sedangkan daya tahan baterainya berkisar 5 jam, dengan charging yang memerlukan waktu sekitar 2 jam.

Tanpa harus terkejut, tidak ada yang istimewa dari spesifikasinya, tapi toh ThinkGeek menjualnya seharga $40 saja. Selanjutnya Anda tinggal meminang replika Communicator, dan bersiap meramaikan event cosplay terdekat.

Sumber: SlashGear.

Speaker Bluetooth Ini Menyamar Sebagai Ban Mobil Balap Formula 1

Pernah mendengar nama iXoost (dibaca seperti kata “exhaust”)? Jujur saya pribadi belum pernah. iXoost merupakan produsen speaker asal Itali yang dikenal lewat produk-produknya yang bertema otomotif. Dan kalau Anda penasaran seunik apa produk bikinannya, coba perhatikan speaker berikut ini.

Namanya Pirelli P Zero Sound, dan seperti yang kelihatan pada gambar, wujudnya dibuat semirip mungkin dengan ban Pirelli P Zero yang digunakan di kompetisi balap Formula 1, lengkap beserta velg-nya. Tentu saja iXoost sudah memperoleh lisensi resmi dari Pirelli, kalau tidak produk ini pasti sudah diperkarakan di meja hijau.

Sayang ukurannya tidak sama persis seperti aslinya, melainkan merujuk pada ban yang digunakan oleh tim F1 untuk pengujian aerodinamika di dalam wind tunnel, dengan skala 1:2 (330 x 190 mm). Pun begitu, speaker ini berat (9,5 kg), dan di dalamnya bernaung satu midwoofer berdiameter 100 mm, tweeter 25 mm, serta amplifier berdaya 100 watt.

Pirelli P Zero Sound

Soal konektivitas, perangkat mengandalkan Bluetooth 4.0 dengan dukungan aptX. Yang amat mengejutkan, harganya jauh lebih mahal dari ban mobil Pirelli sendiri, yakni 2.400 euro. Dengan harga setinggi itu, ia jelas termasuk barang collectible, hanya saja saya menyayangkan effort iXoost dan Pirelli yang terkesan kurang maksimal.

Andai saja rangka speaker tersebut dibalut material karet yang sama seperti ban mobil, mungkin harganya jadi terdengar lebih masuk akal. Sebagai perbandingan, Porsche Design 911 Speaker yang terbuat dari ujung knalpot asli Porsche 911 GT3 cuma dihargai $550, padahal itu effort-nya sudah bisa dibilang luar biasa.

Sumber: The Verge.

Audeze Luncurkan Versi Closed-Back dari Headphone Terlarisnya

Ada tren baru yang mulai meningkat popularitasnya di segmen headphone premium belakangan ini: headphone yang tadinya berjenis open-backed dibuatkan versi tertutupnya (closed-back). Tren ini dimulai oleh Sennheiser lewat HD 820, yang merupakan versi closed-back dari HD 800, dan sekarang pabrikan lain pun mulai menyusul, salah satunya Audeze.

Produsen headphone yang dikenal akan teknologi planar magnetic-nya itu baru saja memperkenalkan Audeze LCD2 Closed-Back. Dari namanya saja sudah kelihatan bahwa ini merupakan versi berdesain tertutup dari LCD-2, salah satu headphone besutan Audeze yang paling banyak menuai pujian, meski bukan yang paling mahal.

Mengapa harus ada versi tertutup dari headphone yang pertama dirilis di tahun 2009? Well, seperti yang kita tahu, headphone jenis open-backed biasanya memang sangat bagus kualitas suaranya, tapi jangan harap Anda bisa menikmatinya dengan baik kalau tidak sedang berada di kamar seorang diri, sebab earcup yang terbuka berarti suara dari luar bakal terdengar sangat jelas.

Audeze LCD2 Closed-Back

Dibandingkan LCD-2, desain LCD2 Closed-Back tergolong cukup identik, terutama di bagian atas yang diwakili oleh headband bertipe suspensi. Yang sangat berbeda adalah di bagian earcup: LCD-2 pipih dengan sejumlah lubang pada permukaan luarnya, sedangkan LCD2 Closed-Back cembung dan tersegel luarnya.

Pendekatan yang diambil Audeze ini berbeda dari Sennheiser, di mana HD 820 berhasil mempertahankan desain khas dari HD 800 berkat penggunaan kaca Gorilla Glass yang melengkung. Audeze mungkin bisa dikatakan tidak seniat itu, tapi toh yang paling penting adalah bagaimana performanya bisa dipertahankan secara maksimal.

Audeze memastikan bahwa LCD2 Closed-Back sanggup menyuguhkan kualitas suara yang sama superiornya dengan LCD-2. Soundstage-nya mungkin berkurang karena desain tertutupnya, tapi sebagai gantinya, suara jadi tidak bocor ke mana-mana, dan suara luar pun juga bisa diredam dengan baik. Desain closed-back semestinya juga bisa menyajikan dentuman bass yang lebih mantap.

Soal harga, LCD2 Closed-Back rupanya tidak lebih mahal ketimbang LCD-2. Dengan banderol $900, ia pun berada tepat di tengah-tengah LCD2 Classic dan LCD-2. Kasusnya sangat berbeda di kubu Sennheiser, di mana HD 820 dihargai jauh lebih mahal ketimbang versi open-backed-nya (HD 800 dan HD 800 S).

Sumber: Digital Trends.

Keluar dari Zona Nyaman, Roku Luncurkan Speaker Wireless untuk TV

Roku, produsen set-top box yang amat populer di Amerika Serikat, akhirnya keluar dari zona nyamannya dan memulai debutnya di segmen audio. Perusahaan yang namanya berarti “enam” dalam bahasa Jepang tersebut memperkenalkan Roku TV Wireless Speakers, sepasang speaker nirkabel yang dirancang secara spesifik untuk mendampingi Roku TV (smart TV yang ditenagai Roku OS).

Desainnya mengingatkan saya pada Sonos One, namun yang membedakan, speaker ini tak dilengkapi mic untuk menangkap perintah suara pengguna. Merilis speaker yang tak bisa merespon perintah suara di tahun 2018 memang terkesan aneh, tapi jangan terburu heran.

Roku TV Wireless Speakers

Paket penjualan speaker ini mencakup dua buah remote sekaligus. Yang pertama bentuknya mirip remote TV standar, sedangkan yang kedua berbentuk pipih dengan sejumlah tombol di atasnya. Kedua remote ini sama-sama memiliki tombol mic, dan dari sinilah pengguna bisa mengontrol speaker dengan perintah suara.

Mengapa harus ada dua? Karena remote yang berbentuk pipih itu dimaksudkan untuk ditempatkan di mana saja dalam kediaman pengguna, semisal di dapur, sehingga pengguna bisa memerintahkan speaker untuk memutar playlist musik favorit tanpa harus berjalan ke depan TV terlebih dulu.

Perintah suara yang bisa diberikan pun hanya sebatas untuk mengakses konten, bukan untuk menanyakan informasi-informasi generik seperti kasusnya pada smart speaker. Roku percaya bahwa model seperti ini dapat membuat konsumen merasa lebih nyaman, terutama bagi mereka yang mementingkan faktor privasi di atas segalanya.

Roku TV Wireless Speakers

Selebihnya, speaker ini siap menyemburkan audio dari konten apapun yang sedang diputar di Roku TV. Optimasi audio berbasis software turut tersedia, di mana speaker bakal menurunkan volume secara otomatis pada adegan yang meledak-meledak maupun selingan iklan yang berisik, dan sebaliknya meningkatkan volume pada adegan-adegan sepi maupun yang berdialog.

Masing-masing unitnya dibekali satu woofer 3,5 inci dan satu tweeter 0,75 inci, dan mengingat ia selalu datang dalam formasi sepasang, sudah pasti konfigurasi suara yang dihasilkannya adalah stereo.

Secara keseluruhan, Roku TV Wireless Speakers merupakan alternatif yang sangat menarik bagi konsumen yang sudah memiliki Roku TV, macam buatan TCL misalnya. Mereka bisa mendongkrak kinerja audio TV-nya tanpa harus melihat kabel ekstra yang berseliweran, dan juga biaya yang harus dikeluarkan tidak semahal membeli soundbar.

Lebih tepatnya, konsumen hanya perlu menebus $200 untuk sepasang speaker ini beserta kedua remote-nya itu tadi. Sayang sekali ia tidak kompatibel dengan set-top box Roku.

Sumber: Ars Technica.

Beyerdynamic Luncurkan Mikrofon USB untuk Para Musisi, Podcaster dan Live Streamer

Mikrofon USB belakangan bertambah populer seiring semakin melonjaknya tren live streaming dan podcasting. Para streamer yang kerap mangkal di Twitch mungkin lebih memercayakan mikrofon dari brand gaming seperti Razer, sedangkan kalangan podcaster mungkin lebih memilih produk dari dedengkot audio seperti Beyerdynamic berikut ini.

Namanya Beyerdynamic Fox, dan ia merupakan mic tipe kondensor dengan wujud kapsul yang cukup ringkas. Komponen diaphragm berukuran cukup besar menjanjikan konversi sinyal suara yang akurat, dibarengi oleh sampling rate maksimum 24-bit/96kHz. Fox turut dilengkapi jack headphone untuk keperluan monitoring.

Jack-nya ini diposisikan di sisi depan demi kepraktisan, tepat di bawah kenop untuk mengatur volume dan menyeimbangkan sinyal input dan output (mix), serta sebuah tombol mute. Sisi belakangnya cuma dihuni oleh sebuah tuas kecil untuk mengatur gain. Secara keseluruhan, desainnya terkesan simpel, namun tetap elegan khas produk Jerman.

Beyerdynamic Fox

Fox mengandalkan konektivitas USB-C, meski kabel yang tersedia dalam paket penjualannya memiliki konektor USB-A (standar) di ujung satunya. Sangat disayangkan Beyerdynamic tidak menyertakan adaptor Lightning ataupun USB-C, padahal belakangan mulai banyak podcaster yang merekam menggunakan ponsel, terlebih sejak kehadiran aplikasi seperti Anchor.

Di Amerika Serikat, Fox bakal dijual seharga $179 mulai tanggal 16 Juli mendatang. Banderolnya terbilang kompetitif jika dibandingkan dengan produk serupa dari brand seperti Blue, Shure, Rode dan Apogee, yang sudah cukup lama bermain di segmen ini.

Sumber: The Verge.

Under Armour Luncurkan Headphone Wireless Edisi The Rock

Belakangan tren headphone yang di-endorse selebriti ternama sudah tidak seramai dulu. Namun Under Armour sepertinya tertarik menghidupkan tren itu kembali melalui hasil kolaborasinya bersama Dwayne “The Rock” Johnson, mantan pegulat yang sekarang menjadi salah satu bintang terbesar Hollywood.

Mereka meluncurkan UA Sport Wireless – Project Rock Edition, headphone wireless berdesain unik yang ditujukan bagi para penggemar olahraga – atau bisa juga untuk fans berat The Rock. Ada lambang banteng khas The Rock di kedua sisi earcup, tapi yang lebih penting adalah penggunaan material non-konvensional pada headphone itu sendiri.

UA Sport Wireless - Project Rock Edition

Lapisan luar bantalan telinganya dibungkus material kain breathable yang dapat dilepas dan dicuci jika perlu, sedangkan permukaan bantalan yang menempel ke telinga beserta headband-nya dilapisi material lembut yang diyakini mampu ‘mencengkeram’ telinga beserta kepala dengan baik, mencegah headphone terlepas selagi penggunanya berlatih secara intensif.

Secara keseluruhan, desainnya tampak rugged, dan itu semakin dipertegas oleh sertifikasi IPX4. Saat sedang tidak dipakai, earcup-nya bisa dilipat ke atas demi menunjang portabilitas, dan UA pun telah membekali setiap paket penjualannya dengan sebuah hard case.

UA Sport Wireless - Project Rock Edition

Headphone-nya sendiri dibuat oleh JBL, dengan dukungan konektivitas Bluetooth 4.1, namun tidak untuk codec aptX. Yang cukup unik adalah fitur bernama Talk-Thru, di mana ketika diaktifkan, volume musik akan dikecilkan secara otomatis, lalu mikrofon berteknologi noise cancelling-nya akan menyala supaya pengguna bisa berbicara dengan orang di sekitarnya tanpa perlu melepas headphone.

Mic yang sama ini juga dapat digunakan untuk memanggil Siri atau Google Assistant. Soal baterai, perangkat bisa beroperasi sampai 16 jam dalam satu kali pengisian. Charging-nya hanya memerlukan waktu dua jam, tapi kalaupun hanya sempat dicolokkan selama 5 menit, perangkat rupanya masih bisa digunakan selama satu jam ke depan.

UA Sport Wireless - Project Rock Edition

Di Amerika Serikat, perangkat ini dijajakan seharga $250. Belum ada informasi mengenai ketersediaannya di Indonesia, yang ada barulah sepatu seri Project Rock saja.

Sumber: The Verge.

Sonos Beam Adalah Soundbar Pintar dengan Integrasi Alexa

Jauh sebelum voice assistant menjadi tren, Sonos sudah menggunakan istilah smart speaker untuk produk-produknya yang mampu terhubung langsung ke internet sekaligus berkomunikasi satu sama lain. Namun definisi smart speaker sekarang sudah bergeser, dan Sonos pun mau tidak mau harus beradaptasi, hingga akhirnya lahirlah Sonos One.

Akan tetapi Sonos One sejatinya tidak lebih dari sebatas speaker lama yang dimodifikasi dan ditambahi integrasi asisten virtual. Lain ceritanya dengan produk yang baru saja Sonos luncurkan. Namanya Beam, dan secara teknis ia merupakan sebuah soundbar. Sonos sebelumnya sudah pernah punya soundbar bernama Playbar, tapi Beam sangatlah berbeda.

Sonos Beam

Yang paling beda adalah dimensinya. Panjang Beam cuma 65 cm, dengan tinggi kurang dari 7 cm dan bobot 2,8 kg. Secara keseluruhan, ukuran Beam hanya 60% dari Playbar, sehingga ia begitu ideal untuk ruangan kecil atau sedang, seperti di apartemen misalnya.

Terkait desain, di mata saya Beam kelihatan seperti hasil perkawinan antara Playbar dan Playbase. Wujudnya tetap minimalis seperti jajaran produk Sonos lainnya, dan konsumen bisa memilih dua pilihan warna matte, yakni hitam atau putih. Selain diletakkan di atas meja, Beam juga dapat digantung di tembok.

Sonos Beam

Hal lain yang patut disoroti dari Beam tentu saja adalah kecerdasannya, terutama berkat integrasi Amazon Alexa, sehingga kontrol via perintah suara dapat dilakukan dengan mudah. Integrasi Google Assistant baru akan menyusul (dalam waktu dekat kata Sonos), sedangkan Siri juga dapat dipanggil berkat dukungan AirPlay 2, sehingga Beam juga ideal untuk para pelanggan Apple Music.

Interaksi dengan asisten-asisten virtual ini dipastikan berjalan mulus berkat lima buah mikrofon beamforming yang telah tertanam di bodi Beam, di mana suara pengguna masih bisa ditangkap dengan baik walaupun audio sedang berjalan dalam volume cukup keras. Streaming langsung ke berbagai layanan via Wi-Fi atau Ethernet turut didukung, seperti halnya produk Sonos lainnya, demikian pula kemudahan untuk membuat setup multi-room.

Sonos Beam

Perihal kualitas suara, Sonos tidak mau kita meremehkan Beam akibat tubuh kecilnya. Di balik sasisnya bernaung empat full-range woofer, tiga passive radiator, satu tweeter dan lima amplifier Class-D. Beam juga mendukung teknologi Trueplay, yang memungkinkan perangkat untuk menyesuaikan equalizer-nya dengan kondisi akustik ruangan secara otomatis.

Pre-order Sonos Beam saat ini sudah dibuka di harga $399, hampir separuh harga Playbar. Sonos bilang bahwa Beam bakal tersedia secara global mulai 17 Juli mendatang.

Sumber: Sonos.