Cara Mudah untuk Memvalidasi Ide Produk atau Bisnis

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memvalidasi ide pengembangan produk. Selain mendiskusikan dengan ahli atau mentor bisnis, pengembangan MVP (Minimum Viable Product) dinilai menjadi cara yang lebih terukur. MVP menjadi sebuah mekanisme untuk memperkenalkan ide produk dan fungsionalitas intinya sedini mungkin kepada publik. Penting dilakukan untuk mengurangi risiko produk tersebut tidak ada penggunanya.

MVP dapat dirilis dalam berbagai macam metode, di antaranya A/B Testing (peluncuran versi Alpha atau Beta dari aplikasi), penjelasan melalui landing page, survei dan riset, hingga pembuatan video demo produk. Untuk startup di tahap awal yang biasanya memiliki anggota tim yang sedikit dan waktu yang sempit untuk melakukan pengujian –karena jika gagal harus secepat mungkin agar bisa beralih ke ide lainnya, tentu harus mencari cara yang paling cepat dan efisien.

Konten berbasis “Demand Validation Video” bisa dicoba, dipadukan dengan optimasi media sosial untuk publikasi. Hal yang perlu dilakukan ialah buat sebuah desain produk sesuai dengan ekspektasi ide, dan paparkan bagaimana fungsionalitas produk tersebut bekerja. Lebih baik lagi jika sebelumnya sudah dilakukan pengembangan tahap awal, sehingga video tersebut berisi demo produk yang dikembangkan.

Selanjutnya manfaatkan media sosial seperti Twitter atau Facebook untuk mempublikasikan video tersebut. Tambahkan sebuah keterangan yang bersifat “menjual” dalam mempublikasikan video tersebut. Untuk memastikan capaian yang besar, jika perlu gunakan layanan iklan dengan menargetkan pangsa pasar yang ingin dirangkul melalui inovasi tersebut.

Ini ada sebuah contoh menarik, dari sebuah pengembang yang menyampaikan MVP melalui video di Twitter.

Ia memaparkan melalui tulisan di Twitter, bahwa sebuah aksesoris harus multifungsi bisa digunakan untuk pembayaran. Dan video memberikan gambaran tentang contoh bagaimana sistem tersebut bekerja. Sangat jelas dan mudah dipahami. Maka selanjutnya serahkan kepada publik untuk menilai. Terkait apakah akan ada penerimaan atau tidak, itu adalah jawaban yang dibutuhkan dari sebuah MVP.

Dari studi kasus di atas, kebetulan produk mendapatkan penerimaan yang cukup baik. Komentar yang diberikan dalam Reply menunjukkan sentimen baik atas hipotesis yang diunggah. Kemudian jumlah Retweet juga memvalidasi bahwa ide tersebut cocok diaplikasikan, sehingga orang lain ingin berbagi tentang inovasi ini kepada rekannya. Ini sebenarnya serupa dengan video MVP yang cukup legendaris dari Dropbox.

Proposisi nilai telah divalidasi dengan umpan balik yang didapat dari media sosial. Sebenarnya di titik ini sudah bisa ditentukan, apakah pengembangan produk perlu diprioritaskan ke depan atau tidak. Jika masih butuh meyakinkan diri lagi, bisa langsung mewawancara narasumber yang terlibat dalam percakapan di media sosial, tanyakan mengapa mereka tertarik atau mengapa mereka menganggap solusi tersebut kurang penting.

Baca juga:

Empat Pertanyaan yang Perlu Dijawab Sebelum Memutuskan Membuat Aplikasi

Dalam sebuah laporan yang diumumkan Go-Globe, setiap orang secara rerata menghabiskan sekitar 52% dari waktunya untuk mengakses internet lewat smartphone mereka. Aplikasi memang dinilai sebagai cara lain untuk meningkatkan engagement dengan para pengguna, akan tetapi apakah membuat aplikasi itu benar-benar dibutuhkan untuk bisnis Anda?

Terlebih, saat ini persaingan aplikasi di publisher semacam Android dan iOS sudah cukup sengit, membuat tingkat churn-nya yang tinggi. Artikel ini akan membahas pertanyaan apa saja yang perlu Anda jawab sebelum memutuskan membuat aplikasi. Berikut rangkumannya:

1. Apakah aplikasi memudahkan pelanggan?

Perbedaan terbesar antara mengakses internet lewat smartphone dengan desktop adalah ukuran layar. Jika bisnis Anda bergantung pada gambar, dan pelanggan perlu melihat detail tertentu sebelum mengambil keputusan. Maka jawabannya aplikasi tidak akan banyak dibutuhkan.

Tanyakan pada diri Anda apakah bisnis yang sedang dijalani ini memerlukan banyak keputusan subjektif dalam diri pelanggan. Jika jawabannya ya, maka sebaiknya jangan buat aplikasi. Jika tidak, mengapa tidak mencobanya?

Pasalnya, jika produk Anda bisa ditangani cukup dengan menghadirkan situs yang komprehensif maka akan mubazir jika Anda tiba-tiba membuat aplikasi. Mengunjungi sebuah situs itu mudah, tapi ketika menyuruh pengguna untuk mengunduh aplikasi terlebih dahulu itu yang susah. Sebab tidak semua orang mau melakukannya.

2. Apakah ada unsur niche untuk diferensiasi?

Karena ada jutaan aplikasi beredar di Play Store maupun App Store yang beredar, konsumen akan cepat bosan ketika mereka harus mengunduh aplikasi namun fungsi yang ditawarkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Maka dari itu, sebelum berinvestasi pertimbangkan terlebih dulu apakah aplikasi yang Anda buat menyediakan fungsionalitas yang unik dan bisa berdampak signifikan bagi pengguna?.

Apakah ada aplikasi lain di luar sana yang melakukan hal serupa? Apakah Anda bisa menjamin aplikasi yang dibuat lebih responsif dibandingkan situs Anda? Pastikan ada unsur niche di dalamnya.

Dengan adanya unsur niche, Anda bisa memberikan nilai tambahan untuk aplikasi. Misalnya jika bisnis Anda adalah on-demand yang sedang sangat marak, Anda perlu mempertimbangkan penambahan fitur mobilitas dalam prosesnya. Jika menurut Anda pelanggan tertarik dengan program loyalitas atau kupon, maka produk aplikasi diharapkan bisa diterima dengan baik.

3. Di mana pelanggan berbelanja dan riset produk Anda?

Jika konsumen Anda menggunakan smartphone untuk riset produk Anda, belanja untuk produk yang Anda tawarkan, atau memanfaatkan fitur apa yang Anda tawarkan, artinya Anda perlu buat aplikasi untuk memfasilitasi itu semua.

Apalagi jika Anda menerima pembayaran dari mereka, maka Anda benar-benar membutuhkan aplikasi mobile. Untuk itu, Anda perlu perhatikan konteksnya. Apabila konsumen dalam perjalanan dan perlu mencari informasi segera, dan tidak punya banyak waktu untuk langkah yang rumit, namun aplikasi Anda bisa memainkan peran tersebut. Maka pilihan membuat aplikasi itu jadi suatu keharusan.

4. Apakah aplikasi bisa menciptakan ROI?

Mengembangkan aplikasi bisa jadi mahal tergantung pada fungsinya. Namun, ada banyak solusi hemat biaya yang memungkinkan Anda membuat aplikasi tanpa menghabiskan uang, salah satunya membuat aplikasi. Aplikasi mobile adalah cara yang bagus untuk meningkatkan engagement dan loyalitas konsumen. Seiring waktu, peningkatan engagement dan kesetiaan mereka akan dapat diterjemahkan menjadi pendapatan yang meningkat.

Langkah awal yang mungkin bisa Anda lakukan adalah tes pasar dengan membuat produk versi beta dan menawarkan ke konsumen loyal. Lalu perhatikan konversinya terhadap total penjualan.

Kunci Pengembangan Startup adalah Fokus pada Cakupan Pasar dan Terus Bereksplorasi

Di ajang Google Playtime SEA 2017 (02/11), selain sesi keynote dari tim Google APAC, juga diadakan sesi panel diskusi dari rekanan pengembang terpilih. Salah satu sesi diskusi panel membahas ekosistem dan karakteristik pengembang di beberapa negara di Asia Tenggara. Ada empat pemateri yang dihadirkan, pertama Indonesia yang diwakili Touchten Games, Malaysia diwakili Kurechii, Vietnam diwakili Amanotes, Thailand diwakili Ookbee, dan Filipina diwakili MochiBits.

Masing-masing startup menceritakan tentang bagaimana produk mereka mampu beradaptasi dengan ekosistem pasar lokal dan regional dengan strategi dan pendekatan yang unik. Sebagai pemateri hadir Co-Founder & COO Touchten Rokimas (Roki) Soeharyo. Ia menceritakan tentang bagaimana startup yang didirikan bersama kakak kandung dan seorang saudaranya dapat berkembang hingga kini memiliki sekitar 50 pegawai.

Sebagai pengembang produk digital berbasis game, salah satu yang digarisbawahi Roki ialah pentingnya untuk memiliki keunikan dalam inovasi yang digulirkan. Touchten didirikan dari tahun 2009, sekurangnya sudah lebih dari 50 game yang berhasil diselesaikan.

Spesialis mobile game berkategori makanan

Ramen Chain, Warung Chain, Japan Food Chain, Desert Chain adalah beberapa judul produk unggulan dari Touchten. Roki menyebutnya sebagai Food Chain Series. Produk tersebut terbukti banyak diminati sejak seri pertama dikembangkan, lalu dilanjutkan dengan varian lain di kategori yang sama. Seri game tersebut kini sudah diunduh lebih dari 8 juta kali oleh pengguna. Namun untuk mencapai titik itu tidak dengan cara yang instan, terdapat riset mendalam dan berbagai perhitungan untuk mengatur strategi.

“Biasanya dalam proses pengembangan dari founders sudah memiliki guidelines tentang tema game apa yang akan dikembangkan. Setelah dipresentasikan kepada tim, biasanya masing-masing anggota akan diminta untuk presentasi dalam pitching ide. Dari seluruh ide yang masuk akan diseleksi sesuai dengan riset pasar dan temuan lain untuk pertimbangan,” ujar Roki.

Ketika produk sudah jadi dan berhasil diluncurkan di Google Play, proses monitoring tetap akan terus dilakukan untuk mengetahui ketertarikan pengguna dan segmentasi yang tepat untuk pemasaran. Karena kadang produk aplikasi tertentu akan sangat ramai di negara A, namun kurang diminati di negara B.

“Produk yang kami kembangkan pada awalnya diluncurkan global, karena dari situ kami akan tahu pasar negara mana yang lebih suka. Seperti contohnya Food Chain Series, awalnya kami mengira pasar Amerika yang akan lebih banyak menggunakan, tapi ternyata asumsi tersebut salah, yang lebih banyak menggunakan ada di Asia. Sehingga dalam seri selanjutnya produk aplikasi pun disesuaikan dengan pasar tersebut. Fokus pada cakupan pasar menjadikan kita lebih mengerti secara kental apa yang dibutuhkan user,” lanjut Roki.

Memiliki game berseri ini juga tidak diputuskan begitu saja. Traksi game pertama yang sangat tinggi, dan mendapatkan antusias luar biasa menjadikan Touchten mengembangkan lebih banyak lagi game tentang makanan. Di lain sisi juga menjadi branding yang bagus untuk Touchten sebagai pengembang game spesialis kategori makanan.

Persepsinya semua benci iklan, pengembang dituntut kreatif

Dari tiga pilihan populer monetisasi produk apps atau games, yakni model iklan, in-app pruchase atau premium, Touchten lebih banyak mengusung model iklan, karena kebanyakan game yang diterbitkan dapat diunduh pengguna secara gratis. Roki juga menyadari tentang sebuah persepsi bahwa pada dasarnya pengguna mobile tidak suka dengan iklan. Cukup mengganggu pengalaman saat menggunakan aplikasi. Dari situ strategi kreatif dibutuhkan, agar proses bisnis tetap berjalan, namun kenyamanan pengguna tetap diutamakan.

Roki menjelaskan, “Kalau kita sedang asyik bermain, terus keluar pop-up iklan pasti akan sangat terganggu, kami menyadari itu. Apa yang kami lakukan menampilkan iklan itu secara halus, misalnya dalam sesi tertentu di permainan ada sebuah billboard yang menyatu dengan tampilan sebuah perkotaan, di sana iklan tersebut dipasangkan. Jadi lebih ke pendekatan native advertising. Prisipnya selama iklan itu tidak mengganggu pengguna, dapat dimaksimalkan developers untuk mencari uang.”

Belum lama ini Touchten juga mengeksplorasi “gaya baru”, menjalin kerja sama dengan Deddy Corbuzier untuk mengembangkan game berjudul “Fist of Rage”. Diceritakan Roki, ini adalah sebuah kolaborasi mutualisme. Deddy dianggap memiliki personality dan follower yang kuat, sedangkan Touchten memiliki kapabilitas untuk pengembangan produk digital interaktif.

“Kerja sama dengan Deddy Corbuzier adalah sebuah win-win collaboration. Dari sisi Deddy dengan adanya produk digital yang interaktif dia bisa lebih engage dengan followers dan komunitasnya, sedang dari sisi Touchten tentu terbantu dengan sebaran pengguna dari komunitas yang dimiliki Deddy. Selebriti sudah seharusnya open dengan yang seperti ini, sekarang konsumen semua ke mobile, dan game menjadi salah satu media paling interaktif untuk menjangkau pangsa pasar masa kini,” jelas Roki.

Penguatan ekosistem menjadi wujud komitmen yang sangat berarti

Google Playtime adalah acara tahunan untuk pengembang di platform Android
Google Playtime adalah acara tahunan untuk pengembang di platform Android

Selain bersama Roki, DailySocial juga sempat berbincang dengan Calvin Kizana selaku Founder & CEO Picmix dan Andi Taru Nugroho selaku Founder & CEO Educa Studio yang turut diundang secara khusus untuk menjadi peserta di acara ini. Secara singkat mereka mengungkapkan bahwa ekosistem mobile yang ada saat ini begitu berarti bagi para pengembang. Cakupan pasar yang sangat besar membuat inovasi menjadi lebih mudah didistribusikan kepada pangsa pasar.

“Google Playtime 2017 spesial bagi saya, karena yang mendapatkan undangan adalah developer terpilih. Di sini banyak insight yang saya dapat, termasuk salah satu yang paling menarik tadi berkaitan dengan pemaparan data saat ini sudah ada 2 miliar pengguna aktif bulanan di Google Play. Menjadi trigger kami untuk terus mengkreasikan produk,” ujar Andi.

Sedangkan Calvin mengungkapkan, “Acara tahunan Google Play ini sangat berguna bagi pelaku startup seperti saya. Banyak masukan menarik, informasi tentang tools dan tips pengembangan yang disampaikan dari para expert. Di lain sisi, acara ini sangat membantu kami sebagai ajang networking untuk mendekatkan diri dengan Google dan rekan startup lainnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Pertimbangan Memilih Progressive Web Apps Ketimbang Merilis Aplikasi

Mendirikan perusahaan teknologi yang mengandalkan internet sebagai lahan bisnis utamanya, sering dihadapkan pada pemikiran perlu atau tidaknya merilis aplikasi. Akan tetapi melihat kondisi sekarang ini, tiap perusahaan umumnya sudah meluncurkan aplikasi masing-masing.

Kondisi tersebut, membuat tingkat churn yang sangat tinggi. Tingkat keberlangsungan suatu aplikasi dalam smartphone pengguna semakin kecil untuk diunduh, bila manfaatnya tidak begitu terasa bagi mereka. Apalagi kalau tampilannya UI/UX-nya kurang menarik. Kekurangan lainnya, biaya pemeliharaan aplikasi tidaklah murah.

Berbagai kekurangan ini menjadi dilema bagi perusahaan apakah perlu ikut terjun ke arus tersebut atau tetap idealis mengandalkan mobile web saja. Salah satu solusi yang ditawarkan untuk pengembang adalah memanfaatkan teknologi Progressive Web Apps (PWA) yang diluncurkan Google sejak tahun lalu.

Strategic Partner Manager Google APAC Rica Handayani menerangkan aplikasi memang dirancang untuk meningkatkan engagement, tapi bila melihat daya jangkaunya kurang baik karena butuh jaringan 3G ke atas. Kondisi sebaliknya ditunjukkan oleh mobile web. Dari segi jangkauan sangat luas, namun tingkat engagement-nya kurang baik.

Dari data yang dihimpun Google, mengakses mobile web paling tidak membutuhkan waktu loading selama 19 detik dalam jaringan 3G. Bila situs delay lebih dari tiga detik, akan berpotensi kehilangan konsumen sebanyak 53%.

PWA memiliki kelebihan dapat dikunjungi secara offline, dapat menerima notifikasi, dan dapat diakses oleh feature phone sekalipun. Sehingga, pertimbangan untuk mengalihkan dari mobile web ke PWA menjadi lebih tepat apalagi ketika perusahaan beroperasi di Indonesia. Mengingat, pengguna smartphone belum sampai ke tingkat pedalaman dan jaringan yang belum merata.

“PWA itu mobile site yang di-upgrade seperti mobile app. Sementara ini pengguna PWA di Indonesia maupun seluruh dunia, secara rerata berasal dari [layanan] e-commerce, travel online, dan news publisher. Industri lainnya, semisal game belum ada yang mengimplementasinya, bahkan di seluruh dunia. Belum ada contoh case study-nya untuk itu,” terang Rica saat menjadi pembicara di gelaran konferensi Seamless Indonesia 2017, Rabu (11/10).

Salah satu perusahaan yang menerapkan PWA adalah Twitter. Di Indonesia, beberapa waktu lalu Twitter telah mengumumkannya ke publik. Rica menerangkan, setelah Twitter mengimplementasinya, berhasil meningkatkan tingkat kunjungan hingga 65%. Jumlah cuitan (tweet) naik 75% dan menarik 1 juta pengguna yang menaruh icon Twitter dalam home screen mereka.

Twitter juga mencatat tingkat konsumsi data dari PWA hanya 0,6 MB. Lebih kecil dibandingkan saat mengakses lewat aplikasi Android sekitar 23 MB atau iOS sebesar 100 MB.

Perusahaan lainnya, OLA, aplikasi ride hailing di India, juga menjadi pengguna PWA. OLA mencatat dapat membukukan lebih dari 1 juta perjalanan setiap harinya dan mengakuisisi lebih banyak pengemudi hingga 600 ribu. Perusahaan juga telah menjangkau lebih banyak kota di India hingga 110 kota.

Setelah mengimplementasi PWA, OLA berhasil masuk ke kota tier 2 dan 3. Dari total booking yang diterima perusahaan setiap harinya, sekitar 20% berasal dari pengguna yang mengakses PWA. Orang-orang tersebut sebelumnya adalah pengguna yang meng-uninstall aplikasi OLA.

“OLA melihat tingkat konversi dari pengguna di kota tier 2 sama besarnya dengan pengguna dari native app. Malah tingkat konversi di kota tier 3 lebih tinggi 30% dari native app.”

PWA kini sudah bisa diakses melalui Opera, Internet Explorer, Samsung Internet Browser, dan Mozilla.

Contoh lainnya adalah perusahaan kosmetik Lancome. Perusahaan tersebut berhasil meningkatkan durasi kunjungan hingga 53% untuk pengunjung dari platform iOS.

Di Indonesia sendiri, beberapa perusahaan yang telah menggunakan PWA di antaranya Tokopedia, Kaskus, Liputan 6, Bukalapak, DailySocial, Viva.co.id, JD.id, Traveloka, Kapan Lagi Networks, Babe, Kompas, Brilio, dan lain sebagainya.

Discolsure: DailySocial adalah media partner Seamless Indonesia 2017

Lima Tips Mengerucutkan Ide Setelah Brainstorming

Mendapatkan ide untuk pengembangan bisnis, tidak selalu datang dari diri Anda sendiri. Bisa saja datang setelah brainstorming bersama tim bisnis, sebab pada dasarnya ide itu datang kapan saja.

Akan tetapi untuk skenario brainstorming, cara untuk memancing ide datang adalah dengan mengambil langkah mundur. Anda perlu meluangkan waktu untuk mengevaluasi ulang seluruh ide yang ada dengan mengerucutkannya sesuai angle yang dibidik.

Dalam artikel ini akan dibahas lebih detail yang mungkin akan berguna bagi tim Anda, setelah melakukan brainstorming. Berikut rangkumannya:

Gunakan sticky notes untuk mengurutkan ide

Tuliskan semua ide terbaik dalam sticky notes dan mulailah memberi peringkat dalam catatan tersebut. Misalnya ada 25 gagasan, mulailah memberi peringkat masing-masing gagasan dari yang terbaik sampai yang terburuk dalam tumpukan masing-masing lima kertas.

Setelah itu ambil 10 besar dan mulai persempit lagi. Ulangi terus sampai tersisa beberapa ide yang Anda butuhkan saja. Anda bisa memakai platform Trello yang berbentuk seperti papan kanban, jika Anda dan tim tidak berada di ruangan yang sama.

Mengombinasikan sejumlah ide

Untuk melakukan hal ini, Anda bisa membagi-bagi ide menjadi beberapa kategori. Kemudian menggabungkan ide dan ciptakanlah dari sana. Periksa persamaan dan lihat mana yang paling sesuai dengan model bisnis Anda bila diterapkan.

Dengan menggabungkan gagasan, lalu mendekonstruksi, dan merekonstruksi ide akan menghasilkan ide yang terbaik. Ini mencerminkan kerja sama tim dan bisa dipastikan seluruh anggota tim Anda akan menyukai hasilnya.

Ambil rehat sejenak

Menghasilkan berbagai ide baru setiap hari dan berusaha untuk mewujudkannya. Kemudian bangun di esok harinya dan melakukan hal yang sama. Anda perlu mengambil rehat sejenak dengan meluangkan waktu sebentar untuk peninjauan ulang dari catatan lama. Kegiatan seperti ini akan memicu timbulnya pikiran yang lebih segar dan perspektif yang lebih obyektif.

Bergantung pada tingkat urgensi

Bekerja di perusahaan startup, memaksa Anda untuk bekerja secara cepat. Proses pengambilan keputusan pun, harus cepat dan tepat sesuai kebutuhan perusahaan. Untuk menentukan ide mana yang harus Anda ambil, sebaiknya pertimbangkan unsur urgensi sebagai sesuatu yang paling diutamakan.

Bila Anda belum terbiasa untuk memahami definisi dari apa itu ‘penting’ dan ‘mendesak’. Anda bisa memanfaatkan bagan Gantt, untuk menentukan di mana sumber daya yang tersedia dan kapan waktu alokasinya.

Prioritaskan berdasarkan dampak, keyakinan, dan kemudahan

Gunakan kerangka I.C.E untuk menentukan gagasan dengan pengaruh tertinggi. Hal-hal apa saja yang paling berpengaruh? Apa yang paling Anda percayai? Seberapa mudah melakukannya? Lalu jawab pertanyaan tersebut dengan buat skor untuk setiap ide.

Dari situ, Anda akan memiliki daftar prioritas. Kemudian wujudkan ide tersebut secara satu persatu sesuai dengan sumber daya yang Anda miliki. Akan tetapi, ketika Anda menemukan sebuah ide tidak realistis untuk diwujudkan meski sudah di tengah jalan, sebaiknya tetap lanjutkan sampai selesai.

Pro dan Kontra Startup Melakukan “Stealth Mode”

Demi menjaga ide hingga model bisnis yang dimiliki saat ini, masih banyak pemilik startup yang merahasiakan startup mereka dan mengklaim dalam fase “stealth mode” demi menjaga kerahasiaan dan privasi. Meskipun terkesan eksklusif, namun pada akhirnya jika startup memilih untuk melakukan cara ini bakal mengganggu perkembangan hingga proses MVP (Minimum Viable Product) dari startup itu sendiri.

Artikel berikut ini akan membahas 5 efek negatif yang terjadi kepada startup jika memilih untuk “stealth mode“.

Membatasi kegiatan pemasaran dan promosi

Jika saat ini Anda terbilang baru dalam dunia startup dan bukanlah seorang serial entrepreneur atau tokoh yang berpengaruh (seperti Elon Musk atau Steve Jobs), ada baiknya untuk mulai mempromosikan startup Anda sejak awal. Dengan demikian kegiatan untuk melakukan perekrutan tim hingga bertemu dengan investor yang tepat bakal lebih terbuka jika kegiatan “stealth mode” di tinggalkan.

Menyulitkan proses MVP dan validasi

Fase “stealth mode” atau merahasiakan produk startup merupakan kebalikan dari proses yang paling banyak diterapkan oleh startup yaitu Lean Startup. Program tersebut justru mengajak pemilik startup untuk menerapkan MVP hingga proses validasi. Sehingga ketika satu model bisnis gagal, bisa segera di koreksi bahkan melakukan pivoting demi mendapatkan produk startup yang ideal.

Memilih untuk “stealth mode” justru membatasi startup untuk melakukan metode tersebut sehingga Anda tidak pernah tahu apakah produk yang dimiliki berfungsi dengan baik dan bakal disukai oleh target pasar.

Melindungi ide startup

Saat ini ketika ide serta model bisnis startup sudah semakin beragam akan menjadi sulit bagi startup untuk merahasiakan atau menutupi hal tersebut. Intinya adalah meskipun ide yang Anda miliki terbilang unik dan baru, bukan berarti akan sulit untuk di duplikasi oleh orang lain, sehingga Anda pun enggan untuk mengumumkan ide startup Anda. Jika Anda memiliki model bisnis hingga teknologi dan formula yang khusus, tentunya akan sulit untuk ditiru, untuk itu jangan pernah merasa takut ide bisnis akan dicuri oleh pesaing.

Mengklaim ide startup fantastis

Saat ini sudah banyak startup yang mengklaim memiliki ide yang “bisa merubah dunia” atau “membuat dunia lebih baik” semua hal tersebut akan menjadi percuma jika tidak dibuktikan dengan traksi hingga pendapatan yang telah Anda peroleh. Semua ide startup yang nampak fantastis belum tentu bakal menjadi “game changer” tanpa adanya bukti nyata.

Penerapan teknologi (advance/basic)

Salah satu kegiatan “stealth mode” yang dinilai sukses adalah, ketika Co-founder Adam Cheyer tengah mengembangkan produk Siri ke pasaran. Dengan menerapkan teknologi yang membutuhkan proses lama untuk pengembangan, merupakan hal yang wajar jika produk tersebut dirahasiakan terlebih dahulu. Namun jika startup Anda masih memanfaatkan teknologi dalam tahap awal dan belum memanfaatkan teknologi yang berat, ada baiknya untuk meninggalkan “stealth mode“.

Kiat Founder Memastikan Keunggulan Produk dalam Berbisnis

Bersamaan dengan arus perkembangan bisnis digital yang sangat pesat, sebagai pemimpin bisnis tidak hanya harus piawai dalam memikul tanggung jawabnya dalam memimpin. Lebih dari itu, pemimpin bisnis –khususnya di level startup—harus jeli dengan sepak terjang produknya. Inti dari sebuah produk bisnis adalah fungsionalitas, atau tentang apa yang bisa diberikan oleh produk tersebut kepada penggunanya.

Jika melihat dari sepak terjang startup sukses yang saat ini ada di Indonesia, sebut saja GO-JEK atau Tokopedia, mereka memiliki sebuah tandasan fungsionalitas inti dari produk digital yang dikembangkan. Dari situ fitur lain dengan basis produk utama dikembangkan. Contohnya awal mulanya hanya ada GO-RIDE, namun setelah memiliki mitra pengemudi yang cukup, muncul layanan lain, mulai dari GO-FOOD sampai dengan GO-MART, memanfaatkan fungsionalitas mendasar yang dimiliki GO-JEK.

Berbicara tentang fitur pada sebuah produk digital, berikut 3 hal yang dapat menjadi pertimbangan pelaku bisnis startup dalam mengembangkan sebuah produk:

Bangun produk dengan target pengguna yang jelas

Riset menjadi hal yang penting ketika tengah merencanakan sebuah pengembangan produk. Dan riset yang paling utama, ialah tentang pangsa pasar. Sederhananya seperti ini, ketika startup telah memiliki ide untuk membuat produk atau fitur ABC, apakah fungsionalitas tersebut benar-benar akan digunakan? Siapa yang akan menggunakan? Jawabannya harus jelas dan rinci.

Cara memvalidasi yang paling mudah ialah dengan membentuk sebuah Minimum Viable Product (MVP). Yakni sebuah rilis awal sebuah produk untuk segera dihadirkan kepada target pengguna dengan tujuan mendapatkan masukan sekaligus melihat reaksi pengguna akan fitur-fitur yang dikembangkan.

[Baca juga: Seri Pengembangan Produk #3: tentang Minimum Viable Product]

Karakter produk menjadi sebuah kunci ke depannya

Karakter ini tentang sebuah pembeda, karena pada dasarnya sangat jarang produk digital yang benar-benar menjadi produk tunggal di dunia ini. Bahkan sering kali proses pengembangan diawali proses meniru dari inovasi yang sudah ada sebelumnya, dan memberikan pelengkap yang belum ada di produk tersebut. Tidak masalah, karena yang paling penting justru tentang penciptaan sebuah karakter produk. Bisa dikatakan untuk membangun karakter produk ini, effort utama yang diperlukan ialah invasi berkelanjutan.

Seperti Reid Hoffman saat membangun Linkeldn, pada awalnya basis pengembangan utama untuk mengumpulkan data pengguna berdasarkan resume, untuk dilakukan mapping guna kebutuhan bisnis dan analisis. Dengan keahliannya, Linkeldn kini menjadi lebih dari sekedar tempat menampilkan resume online, bahkan menjadi jaringan profesional bagi para pekerja atau pun pencari kerja, termasuk melakukan sosialisasi dan publikasi.

Menetapkan nilai produk

Pada akhirnya produk dikembangkan untuk dapat menjalankan sebuah proses bisnis. Sehingga produk tersebut harus memiliki harga. Terkait penentuan harga bisa dilakukan secara bertahap, mungkin dalam tahap MVP semua masih digratiskan, hingga pada akhirnya basis pengguna sudah sangat besar. Monetisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pengembangan layanan premium atau memberikan biaya sewa. Hal terpenting dalam penentuan nilai produk, pengguna harus benar-benar memahami terlebih dulu ketertarikan konsumen, jika perlu buat testimoni untuk melihat apakah jika nantinya dimonetisasi produk tersebut tetap masih akan diminati.

 

Mengelola Inovasi Startup untuk Capaian Tujuan Bisnis

Dalam pengembangan startup, ada beberapa komponen yang menjadi dasar menuju kesuksesan, mulai dari kepemimpinan, tim, hingga varian produk yang dimiliki. Berbagai komponen tersebut harus mampu membentuk sebuah sinergi, sehingga dapat memutarkan sebuah roda yang disebut dengan inovasi. Inovasi menjadi suatu hal yang wajib, karena teknologi sangat dinamis, pun dengan pengembangan produk yang dilandasi dengan sistem berbasis teknologi.

Perusahaan-perusahaan besar seperti FacebookGoogle dan Microsoft pun memperoleh keuntungan bisnis dengan melakukan banyak perubahan inovasi secara berkala atas produk inovasi yang mereka lahirkan.

Terkait dengan inovasi, ada dua hal yang dapat digarisbawahi oleh setiap founder terkait dengan pengembangan produk dan apa yang perlu dilakukan ke depannya. Yakni terkait mempertahankan buaya inovasi dan menempatkan inovasi tersebut pada jalur yang tepat. Berikut rangkumannya:

Budaya inovasi dalam pengembangan produk startup

Disadari atau tidak, startup diawali dan dibangun dari sebuah ide tentang inovasi. Umumnya dimulai ketika founder menemukan sebuah masalah di lingkungannya, lalu mencoba menyelesaikan permasalahan tersebut dengan pendekatan produk teknologi. Dari situ ada sebuah celah yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi lahan bisnis.

Sementara itu, terdapat skala prioritas dalam inovasi startup yang digunakan sebagai model bisnis yang memanfaatkan kemampuan teknologi untuk merespons peluang yang ada. Melalui skala prioritas ini, langkah awal dalam proses menemukan pangsa pasar yang sesuai.

Setelah skala prioritas inovasi selesai, lakukan uji hipotesis untuk menemukan solusi atas kendala yang terjadi dalam meluncurkan inovasi startup. Karena dalam tahap ini startup akan dibimbing untuk mengikuti program inkubasi bersama inovator terpilih untuk membantu perkembangan startup.

Menempatkan pada kanal distribusi yang tepat

Program inkubator dan akselerator didesain untuk menempatkan inovasi startup pada jalur yang tepat. Ada beberapa hal yang biasanya menjadi fokus program tersebut, yakni penguatan bisnis secara internal dan eksternal. Di internal, pengembangan termasuk penguatan tim sampai urusan operasional lainnya. Sedangkan di eksternal lebih kepada validasi produk terhadap konsumen, atau menempatkan inovasi yang sudah digalakkan ke jalur yang tepat, dengan tujuan mencapai product-market-fit dan mendapat keuntungan bisnis.

Kanal distribusi yang tepat akan membawakan startup ke dalam sebuah proses yang disebut dengan scale-up. Yakni sebuah tahap kemandirian dalam pengembangan bisnis yang sepenuhnya mengandalkan model bisnis yang telah dijalankan. Proses scale-up baru bisa jalan, jika alur monetisasi berhasil tervalidasi, dan produk mampu menghasilkan traksi yang terus bertumbuh.

Kiat Bagi Founder dalam Mengoptimalkan Program Akselerasi Startup

Setiap perusahaan rintisan atau startup dunia memulai bisnis dari nol sampai menyandang unicorn atau IPO. Dalam perkembangannya, program inkubator dan akselerator memberikan banyak dampak, tak terkecuali untuk lanskap startup di Indonesia..

Umumnya sebelum masuk ke program akselerator, startup tahap awal akan mengikuti rangkaian kegiatan inkubasi. Saat produk dan proses bisnis telah mapan, maka akan beranjak ke proses akselerasi. Umumnya program akselerasi berjalan lebih cepat. Waktu yang relatif lebih singkat dari program akselerator ini karena potensi startup tinggal dimatangkan dan memaksimalkan strategi.

Ketika startup ada dalam program akselerasi, founder akan berperan cukup sentral. Sehingga perlu memiliki berbagai persiapan agar program dapat berjalan dengan maksimal. Berikut tips yang dapat diikuti founder agar kegiatan akselerasinya dapat menuai hasil lebih baik.

Memperhitungkan persiapan

Sebagai pemimpin startup, ketika bisnisnya ada dalam program akselerasi, dapat menjadi momentum untuk secara intensif memperhitungkan fase perkembangan startupnya. Hal tersebut dikarenakan dalam proses akselerasi beragam proses bisnis ataupun produk akan divalidasi ulang, untuk mampu merangkul pangsa pasar yang lebih luas.

Memiliki pemahaman tentang program akselerator yang diikuti menjadi kunci penting, agar dapat mengikuti setiap prosesnya, dan bahkan mempersiapkan berbagai kemungkinan untuk mematangkan validasi.

Penyesuaian startup

Jangan gegabah dalam mengambil keputusan untuk mengikuti program akselerator. Ketika startup diterima akselerator, setiap visi yang dimiliki juga akan diuji ulang. Founder harus membawa sebuah keyakinan bahwa visi tersebut terukur dan bisa direalisasikan dengan beragam strategi yang dilansir.

Agar diterima dalam program akselerator, startup juga perlu menunjukkan ide awal yang telah mampu dikembangkan dengan baik. Utarakan juga apa yang sebenarnya menjadi tujuan utama bisnis tersebut. Dengan begitu mentor dapat membantu membimbing startup untuk berjalan.

Memosisikan produk

Setelah mengikuti akselerator, startup kemungkinan akan mengalami proses pemasaran yang lebih gencar, mengeksplorasi berbagai kemungkinan untuk perluasan pangsa pasar. Manfaatkan program ini untuk mendapatkan masukan tentang bagaimana masuk ke area pasar baru tersebut, keahlian para mentor atau rekanan pada program akselerasi akan banyak membimbing.

Jaringan bisnis juga akan dapat berkembang baik manakala founder mampu memosisikan diri dengan baik di program tersebut. Menjalin hubungan yang menguntungkan bagi bisnis.

Memahami Peran Sentral VP Engineering di Startup

Urusan engineering tidak bisa disepelekan startup digital atau bahkan perusahaan masa kini yang ingin memanfaatkan keuntungan dari penetrasi pengguna internet dan ponsel pintar. Unsur teknis –berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi—telah menjadi DNA bisnis. Untuk itu kini VP Engineering atau CTO (Chief Technology Officer) kerap disuguhkan dalam peran sentral dalam inti bisnis. Mereka harus memahami proses bisnis hingga kebutuhan pengguna akan optimasi layanan.

Pada prinsipnya VP Engineering bertanggung jawab lebih dari sekedar urusan teknis pengembangan produk, namun juga perlu kemampuan untuk mengelola tim, mengatur alur pengembangan produk hingga menentukan kapan sebuah fitur akan dirilis. Namun karena satu dan lain hal, peran VP Engineering biasanya justru disibukkan dengan urusan yang lebih sempit. Wajar saya, karena umumnya akan berubah seiring dengan perkembangan tim dan produk dalam startup tersebut.

Untuk itu sangat penting bagi startup memahami sebenarnya apa peran seorang VP Engineering dalam sebuah startup. Hal ini berkaitan dengan tren yang ada saat ini. Individu (founder) biasa hadir dengan sebuah ide –mereka tidak memiliki kemampuan teknis teknologi, sehingga memfokuskan pada bisnis. Kepercayaan bab teknologi pun dilimpahkan kepada seorang VP Engineering yang direkrut.

Berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang seorang VP Engineering:

Perencanaan produk

Di lapangan nyatanya VP Engineering benar-benar difokuskan dalam teknis eksekusi pembuatan produk. Namun sejatinya dalam perencanaan produk juga perlu dilibatkan bersama Product Manager. Beberapa hal dapat dipertimbangkan VP Engineering dalam perencanaan produk, misalnya untuk memberikan masukan terkait dengan ketersediaan data atau skala produksi pengembangan produk.

Pada dasarnya apa yang disarankan VP Engineering dalam proses perencanaan ialah menggambarkan batasan ataupun kemampuan yang dapat dijangkau dalam proses tersebut. Hal ini untuk membantu CEO atau pihak manajemen lainnya memahami tentang persiapan atau ekspektasi teknis terkait pengembangan suatu produk. Kejelian VP Engineering dibutuhkan untuk memastikan proses pengembangan produk menjadi seimbang. Ia perlu memahami kapan harus merilis produk baru, menggantikan produk lama dan sebagainya. Strategis dalam urusan teknis.

Membangun tim dan kultur di dalamnya

Peran penting lain dari seorang VP Engineering adalah mengupayakan integritas tim produk (teknis) secara baik, dan membangun kultur produktif di dalamnya. Pengembangan produk masa kini dituntut untuk dapat berjalan secara berkelanjutan, sehingga mekanisme dan strateginya perlu dijaga sehingga menghasilkan workflow yang baik. Kemampuan tentang manajemen pengembangan perangkat lunak yang dimiliki VP Engineering akan berperan penting di sini.

[Baca juga: Pengembangan Produk Startup Cocok Menggunakan Metodologi Agile dan SCRUM]

Ia juga tidak bekerja sendiri, dalam unit produksi yang lebih kecil perlu mempercayakan kepada bawahannya yang melaporkan secara langsung. Oleh karena itu, seorang VP Engineering harus dapat menentukan siapa manajer terbaik bagi tim tersebut, memperkerjakan mereka, dan mampu mengasuh keterampilan itu dari waktu ke waktu. Membangun tim yang kuat bukanlah hal yang statis. Startup berkembang dengan cepat, dan tim teknik perlu mencapainya.

Sebagai CEO, perlu juga mengetahui bagaimana seperti apa VP Engineering yang bekerja optimal? Cara termudah untuk menilai VP Engineering di luar kualifikasi di atas kertas adalah dengan melihat tim yang ada dan sebelumnya, termasuk melihat apakah mereka memenuhi jadwal rilis yang dijadwalkan? Apakah mereka memiliki proses yang masuk akal (vs. serampangan)? Apakah ada banyak perselisihan (yaitu, gesekan yang tidak produktif vs kreatif) di antara tim?

Memastikan eksekusi pengembangan produk berjalan baik

Hasil akhir yang diharapkan dari tim yang dipimpin VP Engineering adalah produk berkualitas. Namun tidak semata-mata mengembangkan produk saja, namun perlu penyesuaian dan penekanan agar semua berjalan seperti yang sudah dijadwalkan oleh manajemen. Di sini peran VP Engineering harus mampu mengakomodasi proses pengembangan perangkat lunak secara benar.

[Baca juga: Kisah Mendirikan Startup sebagai CTO]

VP Engineering juga perlu piawai ketika harus menyelesaikan “kekacauan” yang terjadi dari hal yang tidak diinginkan. Misalnya di awal peluncuran sistem berjalan dengan baik, namun seiring banyaknya pengguna bugs mulai muncul. Berpikir untuk melakukan perbaikan, eskalasi dan strategi lain seiring dengan pertumbuhan pengguna menjadi salah satu mental yang perlu dimiliki VP Engineering. Bahkan kapan pun kejadian itu terjadi, prioritasnya ialah kenyamanan pengguna sistem.

Dari berbagai peran tersebut, startup digital memang harus memiliki seorang VP Engineering sedini mungkin. Banyak startup tahap awal percaya bahwa mereka tidak memerlukan VP Engineering karena tim teknik mereka cukup senior atau mungkin terlalu kecil. Tapi pada akhirnya akan sulit mengakomodasi peran-peran penting di atas. VP Engineering yang kuat menyediakan tulang punggung untuk fungsi teknik yang tahan terhadap tekanan bisnis sembari menetapkan budaya dan proses yang tepat untuk kualitas produk yang akurat.