[Review] Xiaomi Pad 5: Performa Flagship Harga Mainstream, Bisa untuk Gantikan Laptop

Pasar tablet Android sepertinya sudah sepi dari sebelum pandemi COVID 19 merebak. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan oleh kebutuhan masyarakat lebih condong pada penggunaan smartphone. Namun, pandemi COVID 19 mengharuskan semua orang untuk bekerja dan sekolah di rumah. Dan ini mungkin merupakan sebuah titik balik dari penjualan tablet di seluruh dunia dan juga di Indonesia.

Pemilihan tablet memang cukup sulit untuk saat ini. Ada tablet dengan harga yang murah, namun memiliki spesifikasi yang kurang tinggi. Sayangnya, banyak tablet dengan spesifikasi yang bergaris lurus dengan harga yang dikenakan pula. Di sinilah Xiaomi ingin mengambil momen dengan mengeluarkan tablet Android terbarunya yang bernama Xiaomi Pad 5. Yup, Xiaomi saat ini sudah menghilangkan nama Mi pada semua perangkatnya.

Jika saya tidak salah, Xiaomi pernah memasukkan dua tabletnya ke Indonesia, yaitu Mi Pad dan Mi Pad 2. Setelah itu, sepertinya Xiaomi vakum dalam mengeluarkan perangkat tabletnya di Indonesia. Setelah pergantian kepemimpinan dari Steven Shi ke Alvin Tse, sepertinya Xiaomi Indonesia mulai berani memasukkan perangkat-perangkat non Redmi, termasuk kembalinya tablet Xiaomi Pad terbaru, yaitu Xiaomi Pad 5.

Xiaomi Pad 5 bisa dibilang sebuah tablet dengan spesifikasi flagship yang dijual dengan harga mainstream. Hal ini tentu saja membuatnya bisa digunakan di mana saja untuk bekerja dan meeting dengan menggunakan aplikasi seperti Zoom dan Google Meet. Kita juga bahkan bisa mengetik dengan menggunakan aplikasi Office dengan mudah serta menggambar langsung di layarnya.

Sebagai catatan, Xiaomi Indonesia hanya memasukkan Xiaomi Pad 5 non Pro saja. Paket penjualannya sendiri terpisah dengan keyboard dan juga stylus-nya. Anda juga bisa menggunakan stylus dan keyboard bluetooth pihak ketiga tanpa adanya masalah. Dan semua itu akan dapat digunakan dengan sangat smooth tanpa adanya lag. Dengan begitu pula, Xiaomi bisa menekan harga dari tablet ini untuk tidak mencapai nilai 5 juta rupiah.

Xiaomi Pad yang saya dapatkan (dan satu-satunya varian yang ada saat ini) bisa dilihat pada tabel berikut

SoC Qualcomm Snapdragon 860
CPU 1 x 2.96 GHz Kryo 485 Gold + 3 x 2.42 GHz Kryo 485 Gold + 4 x 1.78 GHz Kryo 485 Silver
GPU Adreno 640
RAM 6 GB LPDDR4x
Internal 128 GB UFS 3.1
Layar 11 inci 2560×1600 IPS 120 Hz Dolby Vision
Dimensi 254.7 x 166.3 x 6.9 mm
Bobot 511 gram
Baterai 8720 mAh fast charge 33 watt, 22,5 watt charger
Kamera 13 MP utama, 8 MP Selfie
OS Android 11 MIUI 12.5 Enhanced

Hasil dari CPU-Z, AIDA64, serta Sensor Box dapat dilihat sebagai berikut:

Mungkin Anda berpikir mengapa review ini lama keluar. Saya terus terang menunggu hingga MIUI 12.5 Enhanced datang ke Xiaomi Pad 5. Salah satu yang ingin saya rasakan adalah menggunakan memory extension sebesar 3 GB yang menjadi sebuah virtual memory pada tablet ini. Hal tersebut membuat Xiaomi Pad benar-benar bisa dipakai sebagai pengganti laptop!

Charger

Didalam paket penjualannya hanya akan ditemukan beberapa dokumen serta charger dan kabel USB-C. Walaupun Xiaomi Pad 5 mendukung pengisian hingga 33 watt, Xiaomi hanya memberikan charger dengan daya 22,5 watt saja.

Desain

Terus terang, Xiaomi Pad 5 memiliki desain yang menurut saya cukup keren. Badan dari tablet ini menggunakan bahan plastik polikarbonat keras dengan finishing matte. Untuk frame-nya sendiri sudah menggunakan bahan aluminium sehingga perangkat ini tidak mudah bengkok. Untuk perangkat yang saya dapatkan memiliki warna yang disebut dengan Cosmic Grey.

Layar Xiaomi Pad 5 memiliki resolusi 2560×1600 pada layar dengan dimensi 11 inci. Panel yang digunakan adalah IPS yang memiliki 1 miliar warna dengan refresh rate 120 Hz dan mendukung HDR10 serta Dolby Vision. Sayangnya, tidak dijelaskan apakah layar ini sudah menggunakan teknologi dari Corning dengan Gorilla Glass atau dari Asahi dengan DragonTrail atau tidak.  Oleh karenanya, gunakan lapisan pelindung tambahan agar layar tersebut aman dari goresan.

Xiaomi menempatkan kamera pada sisi atas (jika dalam posisi portrait), sehingga tablet ini lebih cocok digunakan pada posisi tersebut saat melakukan video conferencing. Pada bagian belakangnya, terdapat sebuah kamera serta LED flash yang terang. Sayang memang, bagian kameranya cukup menonjol sehingga cukup mengganggu desain tipis dari tablet ini yang memiliki dimensi 254.7 x 166.3 x 6.9 mm. Bobotnya sendiri cukup ringan untuk sebuah tablet berukuran besar, hanya 511 gram saja.

Jika dalam posisi landscape, tombol volume berada pada sisi atas beserta dengan konektor untuk stylus-nya. Pada bagian kiri akan ditemukan tombol power beserta dua speaker kiri. Untuk bagian kanannya dapat ditemukan dua speaker kanan beserta port USB-C untuk mengisi daya dan OTG. Bagian bawahnya akan ditemukan konektor untuk Xiaomi Pad Keyboard.

Xiaomi Pad 5 sudah menggunakan sistem operasi Android 11 yang sudah terpasang MIUI 12.5 Enhanced. Versi MIUI yang saya gunakan saat ini adalah 12.5.11 (RKXMIXM) yang sudah memiliki fitur Memory extension. Xiaomi sendiri mengalokasikan 3 GB dari penyimpanan internalnya untuk dijadikan memori virtual. Hal ini tentu saja akan membuat RAM 6 GB yang terpasang lebih lowong saat membuka banyak aplikasi.

Memori virtual ini sendiri sangat diperlukan jika Xiaomi Pad 5 digunakan untuk bekerja. Apalagi saat digunakan seperti sebuah laptop, misalnya dengan membuka aplikasi Office dengan tab yang banyak, browser internet dengan jumlah yang banyak pula, tentu saja akan membuat tablet ini menjadi tidak lag.

Konektivitas

Xiaomi Pad 5 yang dijual di Indonesia merupakan versi WiFi tanpa konektivitas seluler. Dengan Snapdragon 860, perangkat ini sudah mendukung WiFi 5 atau yang dikenal dengan 802.11 AC yang berjalan pada kanal 2,4 GHz dan 5 GHz. Tangkapan sinyal WiFi juga cukup baik, di mana saat beberapa smartphone hanya menangkap 3 bar tablet ini masih menangkap dengan penuh.

Xiaomi Pad 5 tidak memiliki GPS yang biasa digunakan untuk menampilkan lokasi secara akurat. Namun saat terkoneksi dengan WiFi, perangkat ini mampu memberikan informasi lokasi dengan cukup baik. Tablet ini juga tidak dilengkapi dengan NFC.

Kamera: Tablet namun hasil fotonya bagus!

Xiaomi Pad 5 juga dilengkapi dengan kamera untuk berbagai jenis kebutuhan. Pada bagian belakangnya, Xiaomi menyematkan kamera dengan resolusi 13 MP buatan OmniVision dengan OV13B10. Lalu pada bagian depannya, kamera yang terpasang memiliki resolusi 8MP yang menggunakan sensor OmniVision OV8856. Lalu bagaimana hasilnya?

Kamera bagian belakangnya ternyata mampu menangkap gambar dengan sangat baik. Pada kondisi cahaya yang cukup, perangkat ini mampu mengambil gambar dengan tajam dan rendah noise. Warna yang dihasilkan juga cukup baik serta kontrasnya yang juga baik. Hasilnya bisa dilihat pada gambar berikut ini

Kamera depannya juga bisa menangkap gambar dengan bagus. Untuk sebuah kamera 8 MP, hasilnya cukup tajam serta warnanya yang cukup baik. Untuk hasil yang lebih baik lagi, saya sarankan untuk menyalakan HDR serta mematikan fitur beautify.

Pengujian

Xiaomi Pad 5 menggunakan chipset dari Qualcomm, yaitu Snapdragon 860. Kembaran Snapdragon 855+ ini memang ditujukan untuk perangkat flagship pada 2 tahun yang lalu, namun kinerjanya saat ini masih menduduki peringkat atas. Qualcomm menggunakan 3 cluster yang terdiri dari Kryo 485 Gold (berbasis Cortex A76) 2.96 GHz pada cluster Prime,  3 core Kryo 485 Gold berkecepatan 2.42 GHz serta 4 core Kryo 485 Silver (berbasis Cortex A55) dengan kecepatan 1.78 GHz. GPU yang digunakan adalah Adreno 640.

Seperti biasa, saya menggunakan tablet ini dalam dua skenario, yaitu bermain serta bekerja. Game yang saya gunakan tentu saja ada pada Google Play. Skenario kedua adalah menggunakan tablet dengan aplikasi yang saya gunakan sehari-hari. Perangkat ini sendiri sudah saya gunakan sekitar 1 bulan.

Games

Terus terang, sebenarnya ada 3 game yang saya uji dengan menggunakan Xiaomi Pad 5. Ketiganya adalah Genshin Impact, Pokemon Unite, dan PUBG New State. Namun sayang, aplikasi GameBench mengharuskan saya untuk menyalakan Developer Options dan PUBG New State mensyaratkan agar pilihan tersebut dimatikan.

Dengan menggunakan Snapdragon 855+ Snapdragon 860, tentu saja sudah lebih dari cukup untuk menjalankan game-game yang beredar saat ini. Hal tersebut memang berhubungan langsung dengan clock yang dimiliki oleh SoC ini serta GPU-nya yang tergolong masih ada diurutan atas, yaitu Adreno 640. Terlebih lagi dengan layar 120 Hz yang digunakan yang berhubungan langsung dengan kemampuannya untuk menampilkan sampai 120 fps.

Berbicara mengenai 120 fps, ada sebuah hal yang cukup unik saat bermain PUBG New State. Oleh karena tidak bisa menggunakan aplikasi GameBench untuk mengukur framerate-nya, langsung saja saya mencoba menggunakan fitur Game Turbo dari MIUI. Ternyata, Game Turbo mendeteksi bahwa game ini jalan pada 120 fps! Akan tetapi, pada saat memindah pilihan dari Vulkan ke OpenGL ES, framerate tersebut terkunci pada 60 fps.

Untuk Genshin Impact dan Pokemon Unite, keduanya mendapatkan framerate yang sama pada tablet ini. Dengan 40 fps, tentu saja pengguna bisa bermain dengan cukup lancar. Saya memilih setting paling tinggi untuk kedua game ini, sehingga jika 40 fps dirasa kurang, Anda bisa menurunkan kualitasnya untuk mencapai 60 fps.

Satu hal yang kurang nyaman saat bermain adalah bobot dari perangkat ini. Untuk sebuah tablet, perangkat dengan bobot 511 gram ini memang cukup ringan. Akan tetapi jika dipegang dengan 2 tangan yang jari-jarinya digunakan untuk bermain game, beratnya akan cukup terasa pada lengan. Namun tentunya hal ini kembali lagi ke preferensi masing-masing penggunanya.

Hasil benchmark yang saya dapatkan bisa dilihat sebagai berikut

Bekerja dan hiburan

Selama sebulan, saya mencoba mengetik dengan menggunakan Xiaomi Pad 5 yang dihubungkan dengan keyboard dan mouse bluetooth. Yang saya rasakan memang hampir tidak ada bedanya dengan menggunakan sebuah laptop. Yang membedakan tentu saja dari sisi sistem operasi. Namun dari pengalaman, saya lebih suka menggunakan tablet ini jika dibandingkan dengan sebuah Chromebook.

Aplikasi yang saya gunakan pada tablet ini meliputi Trello, Slack, GMail, WPS, Telegram, Facebook, Tiktok, serta Chrome. Sebagai catatan, artikel ini sebagian besar saya ketik dengan menggunakan browser Chrome pada Xiaomi Pad 5. Pekerjaan grafik juga dilakukan pada WPS untuk Android. Untuk melakukan editing, saya menggunakan Photopea secara online sehingga memang tidak ada kendala sama sekali saat menggunakannya.

Tablet ini juga saya coba gunakan untuk sekolah anak yang saat ini masih dilakukan di rumah. Dengan menggunakan Zoom, yang ternyata lebih lancar jika dibandingkan dengan laptop Windows, membuat kegiatan tersebut terasa lebih nyaman. Hal ini tentu saja tidak lepas dari RAM 6 GB yang sudah mendukung memori virtual sebesar 3 GB.

Untuk menonton video, perangkat ini sudah dilengkapi dengan Dolby Vision serta Dolby Atmos. Hal ini tentu saja akan meningkatkan kualitasnya saat menonton layanan video streaming seperti Netflix. Perangkat ini juga sudah mendukung Widevine L1 sehingga bisa menonton video 1080p pada banyak layanan streaming. Anda juga harus mendengarkan suara yang keluar dari 4 speaker yang ada, karena suaranya yang keras serta cukup jernih.

Benchmarking

Xiaomi Pad 5 menggunakan Snapdragon 860 yang notabene merupakan Snapdragon 855+. Untuk mengetahui seberapa baik kinerjanya, saya menghadirkan Snapdragon 870 atau Snapdragon 865+, Snapdragon 865, serta Mediatek Helio G95.  Berikut adalah hasilnya

Dapat dilihat bahwa kinerja Xiaomi Pad 5 yang menggunakan Snapdragon 860 memang kencang. Dengan hasil yang ada, tentu saja sejalan dengan pengalaman saya dalam menggunakannya selama sebulan penuh. Nilai tersebut juga berarti bahwa perangkat ini mampu digunakan dengan bebas lag.

Uji baterai: 8720 mAh yang cukup panjang

Untuk menguji baterai dengan kapasitas 8720 mAh memang membutuhkan banyak waktu. Sayangnya, aplikasi yang ada saat ini tidak merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian tablet tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan, bekerja, serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Xiaomi Pad 5 dapat bertahan hingga 14 jam 5 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 22,5 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang lebih 2 jam.

Verdict

Kebutuhan akan sebuah tablet Android untuk keperluan WFH dan SFH memang sedang meningkat. Sayangnya, banyak tablet dengan kinerja tinggi memiliki harga yang mahal. Untuk tablet dengan harga yang murah, spesifikasi yang diberikan juga tidak terlalu tinggi. Masalah inilah yang dipecahkan oleh Xiaomi dengan meluncurkan Xiaomi Pad 5.

Kinerja dari Xiaomi Pad 5 memang sangat bagus karena menggunakan SoC Qualcomm Snapdragon 860. Dengan menggunakan SoC ini, kinerja tablet yang digunakan untuk bermain game, bekerja, serta hiburan menjadi nyaman karena terasa responsif. Apalagi, tablet ini memiliki memori virtual tambahan 3 GB yang memastikan RAM tidak akan kepenuhan. Semua itu juga ditunjang dengan baterai yang memiliki kapasitas besar dan berdaya tahan lama.

Tablet ini juga memiliki kamera yang menghasilkan gambar serta video yang bagus. Hal tersebut tentu saja membuat perangkat ini bisa mengambil momen sehari-hari sekaligus bisa diandalkan saat melakukan panggilan video untuk meeting. Sayang memang, tablet ini tidak memiliki GPS serta NFC yang saat ini mungkin dibutuhkan oleh para konsumen di Indonesia. Tablet ini juga hanya memiliki konektivitas WiFi tanpa adanya dukungan jaringan seluler.

Xiaomi Pad 5 dijual oleh Xiaomi Indonesia dengan harga Rp. 4.999.000. Dengan harga tersebut, pengguna akan mendapatkan semua kelebihan yang sudah saya sebutkan di atas. Bagi saya, Xiaomi Pad 5 memang merupakan sebuah tablet terjangkau dengan kinerja yang tinggi yang bisa digunakan untuk segala macam kegiatan seperti bermain game, belajar, bekerja, dan menikmati hiburan.

Sparks

  • Kinerja tinggi dengan Snapdragon 860
  • Responsif dengan RAM 6 GB + memori virtual 3 GB
  • Daya tahan baterai yang cukup panjang
  • 4 Speaker Dolby Atmos dan layar 120 Hz yang mendukung Dolby Vision
  • Desain cantik dan tipis
  • Hasil kamera yang bagus

Slacks

  • Tanpa GPS dan NFC
  • Charger bawaan hanya 22,5 watt saja
  • Tanpa microSD
  • Tanpa port audio

[Review] Infinix Zero X Pro, Tercanggih dari Infinix dengan Sejumlah Fitur Premium

Selama ini, brand Infinix dikenal luas dengan smartphone kelas menengah ke bawah. Namun pada Oktober lalu, Infinix Mobile Indonesia mempersembahkan sesuatu yang spesial di penghujung tahun 2021.

Perangkat tersebut bernama Infinix Zero X Pro dan merupakan smartphone paling canggih dari Infinix saat ini. Dibanderol dengan harga mencapai Rp4.899.000, ia bakal bersaing di segmen mid to high dan di atas kotak penjualannya terpampang rangkaian fitur yang terbilang mengesankan.

Bagian depan misalnya, tercatat keterangan kamera 108MP, OIS, dan kemampuan digital zoom sebanyak 60x. Lalu, di bagian belakang kotak penjualan, hampir semua spesifikasi utama Infinix Zero X Pro dijejalkan, tetapi yang paling menonjol ialah penggunaan panel AMOLED 120 Hz dan baterai 4.500 mAh dengan pengisian cepat 45W.

Dengan harga hampir mencapai Rp5 juta, seberapa tangguh Infinix Zero X Pro melawan kompetitor di kelasnya? Berikut review Infinix Zero X Pro selengkapnya.

Pengalaman Hunting dengan Infinix Zero X Pro

Sabtu kemarin, saya melakukan perjalanan jarak dekat dari stasiun Brebes ke stasiun Pekalongan. Saya tiba di tujuan sekitar jam setengah 6 dengan cahaya pagi yang cukup menantang, bagi saya cahaya yang dramatis seperti sunrise dan sunset adalah salah satu kunci menghasilkan karya foto yang tak biasa.

Untuk konfigurasi kamera belakangnya, Infinix Zero X Pro memang boleh berbangga. Ia memiliki tiga unit kamera, dengan kamera utama menggunakan sensor Samsung S5KHM2 1/1.52 inci beresolusi 108MP dengan piksel 0.7µm dan lensa wide f/1.8.

Sensor tersebut didukung teknologi ISOCELL 2.0 dengan Super-PD autofocus, OIS, dan mengimplementasikan sunanan Nonapixel 3×3. Hal itu berarti secara default, Infinix Zero X Pro menghasilkan gambar 12MP dengan piksel besar 2.1 µm.

Berkat piksel besar dan OIS, saat menggunakan mode kamera Pro, saya tidak ragu menggunakan ISO terkecil yakni 100 dan membiarkan shutter speed otomatis mengikutinya. Namun di kondisi minim cahaya, kalau memungkinkan cari sesuatu untuk menyandarkan tangan dan gunakan tombol volume untuk melepas rana dengan stabil.

Nah yang spesial dari kamera Zero X Pro adalah keberadaan kamera 8MP dengan lensa telephoto periscope 125mm f/3.4. Menggunakan sensor OmniVision OV08A10 berukuran 1/4.4 inci dengan piksel 1.0µm, serta dilengkapi sistem autofocus PDAF dan OIS.

Hasilnya adalah kemampuan optical zoom 5x dan digital zoom hingga 60x. Infinix juga mengembangkan algoritma yang dijuluki Galileo Engine untuk mengoptimalkan hasil foto saat memotret bulan dengan mode Super Moon.

Pada praktiknya, silahkan abaikan saja fitur digital zoom 60x karena gambarnya pecah. Namun saya sangat mengapresiasi kemampuan lossless zoom 5x, karena memudahkan mancari komposisi saat hunting. Hasilnya memang tak selalu sempurna, tips dari saya selalu jepret beberapa kali, tentukan titik fokus, dan tekan rana dengan stabil.

Sebagai pelengkap, ada kamera 8MP f/2.3 dengan lensa ultrawide 120 derajat yang juga digunakan pada mode Super Macro dengan jarak ideal 2,5 cm. Selain itu, tiga kamera belakangnya didukung oleh quad LED flash dan kamera depan 16MP-nya juga dibekali dengan dual LED flash. Berikut bebeerapa hasil fotonya:

Untuk kebutuhan videografi, baik kamera belakang dan depan dapat menghasilkan rekaman 4K pada 30 fps dan 1080p hingga frame rate 60 fps. Fitur videonya meliputi video beauty (hanya 720p 30 fps), bokeh effect (1080p 30 fps), dan ultra steady (1080p 30 fps).

Pada mode video slow motion, Zero X Pro juga menyediakan frame rate tinggi 120 fps pada 1080p, serta 240 fps dan 960 fps pada resolusi 720p. Sementara, untuk mode video time-lapse mendukung hingga 4K 30 fps dengan interval dan durasi yang bisa disesuaikan.

Panel AMOLED 120 Hz

Bagian Belakang Infinix Zero X Pro

Ketika unboxing, unit Infinix Zero X Pro dalam balutan warna nebula black langsung menyita seluruh perhatian saya. Bagaimana tidak, cover belakangnya penuh dengan gemerlap bintang-bintang yang berkelap-kelip, kesannya sangat glamor.

Penampilannya memang cukup unik, dengan desain dual glass dan bingkai dari plastik dengan finishing seperti metal. Bingkai di sekeliling bodinya tegas, dengan sudut-sudut yang agak membulat sehingga tidak terasa kaku ketika digenggam. Dimensinya 164.1×75.7×7.8 mm, tetapi bingkai modul kamera belakangnya cukup menonjol keluar, dan bobotnya 193 gram.

Layar Infinix Zero X Pro

Pada bagian depan, saya amat senang mendapatkan panel AMOLED dengan refresh rate tinggi 120 Hz dan touch sampling rate 240 Hz. Layarnya membentang 6,67 inci, ditopang resolusi 1080×2400 piksel dalam aspek rasio 20:9, dan punya kecerahan maksimum 700 nit. Sayangnya, Zero X Pro hanya didukung playback Widevine L3 yang artinya hanya dapat streaming film di aplikasi seperti Netflix dalam resolusi sebatas SD.

Fitur lain termasuk fingerprint under display yang bekerja cukup cepat dan memiliki dual stereo speaker dengan mengandalkan earpice. Untuk kelengkapan tombolnya, di sebelah kanan ada tombol power dan volume, serta slot SIM tray di sebelah kiri. Sisanya di sisi bawah, meliputi jack audio 3,5mm, mikrofon, port USB-C, dan speaker.

Performa – Mediatek Helio G95

Dari semua hal keren yang ditawarkan oleh Infinix Zero X Pro, penggunaan chipset Mediatek Helio G95 memperjelas posisinya di kelas menengah. SoC tersebut masih dibuat pada proses teknologi 12 nm, dengan CPU octa-core yang terdiri dari 2x Cortex-A76 2.05 GHz, 6x Cortex-A55 2.0 GHz, dan GPU Mali-G76 MC4. Sebagai informasi, Realme 8 dan Xiaomi Redmi Note 10S juga menggunakan chipset yang sama.

Bagaimana dengan performanya? Mengingat perangkat ini sudah menjalankan XOS 7.6 berbasis Android 11 dan didukung konfigurasi memori RAM 8GB dengan penyimpanan internal UFS 2.2 hingga 256GB, Infinix Zero X Pro jelas mampu menjalankan tugasnya untuk menangani kebutuhan smartphone sehari-hari.

Kalau buat gaming, game kompetitif seperti MOBA dan battle royale dapat dijalankan dengan lancar pada Zero X Pro. Namun sebetulnya chipset Helio G95 itu hanya sanggup mengakomodasi layar FHD+ dengan refresh rate maksimum 90 Hz. Agar bisa menghadirkan refresh rate 120 Hz pada Zero X Pro, Infinix tandemkan dengan chipset dari MediaTek juga yakni Intelligent Display yang secara khusus menangani kinerja komponen display.

Semua kegiatan ber-smartphone disuplai oleh baterai berkapasitas 4.500 mAh, lengkap dengan fitur pengisian cepat 45W yang dapat mengisi 40% dalam waktu 15 menit saja.

Verdict

Review Infinix Zero X Pro

Infinix berhasil membuat smartphone kelas menengah yang sangat menarik. Ia berhasil menjejalkan sejumlah fitur premium seperti panel AMOLED dengan refresh rate 120 Hz, fingerprint under display, kamera utama 108MP, kemampuan optical zoom 5x, hingga baterai 4.500 mAh dengan pengisian cepat 45W.

Semua itu dikemas dalam harga yang cukup kompetitif, Rp4.899.000. Sayangnya, Infinix masih mengandalkan chipset MediaTek Helio G series yang mana dari segi performa sebenarnya sama sekali tidak buruk, tetapi teknologi yang dibawa agak tertinggal dibandingkan chipset 5G Dimensity dari MediaTek.

Sparks

  • Panel AMOLED FHD+ dengan refresh rate 120 Hz
  • Fingerprint under display
  • Kamera utama 108MP
  • Kamera sekunder 8MP dengan lensa periscope untuk optical zoom 5x
  • Menjalankan XOS 7.6 berbasis Android 11
  • Baterai 4.500 mAh dengan pengisian cepat 45W

Slacks

  • Teknologi SoC agak tertinggal
  • Belum mendukung playback Widefine L1

[Review] Seagate NVMe SSD FireCuda 530: Storage PCIe Gen 4 x4 Super Kencang

Seiring dengan perkembangan pada sisi penyimpanan di komputer, tentu saja kinerja akan lebih meningkat lagi. Dahulu semua orang masih menggunakan hard disk ATA yang kemudian digantikan oleh SATA sampai generasi ke 3. Setelah itu, muncullah NVMe yang menggunakan jalur PCI express yang meningkatkan kinerjanya berkali-kali lipat. Dan saat ini, jalur PCI express pun sudah sampai ke generasi ke 4.

Jalur PCI express juga memiliki beberapa jalur yang saat ini dikenal dari x1, x4, x8, hingga x16. Pada PCIe generasi ke 3, jalur x1 memiliki kecepatan 0,985 GB/s, sehingga pada NVMe yang membutuhkan jalur x4 akan memberikan bandwidth sebesar 3.939 GB/s. Untuk PCIe generasi ke 4, jalur x1 akan memiliki kecepatan 1.969 GB/s dan untuk storage NVMe yang menggunakan x4 akan memiliki bandwidth 7.877 GB/s.

Saat ini, media penyimpanan SSD berbasis PCIe NVMe generasi ke 4 pun sudah datang. Salah satunya adalah Seagate FireCuda 530 yang menggunakan PCIe 4.0 x4. FireCuda sendiri merupakan lini penyimpanan dari Seagate yang memiliki kinerja tinggi dan ditujukan untuk para gamer. Oleh karenanya, terdapat logo Seagate Gaming pada setiap kotak penjualan dari Seagate FireCuda.

SSD yang satu ini diklaim dapat melakukan transfer data pada kecepatan 7000 MB/s. Kecepatan tersebut tentunya akan bisa dicapai hanya dengan menggunakan NVMe dengan PCI express generasi ke 4 pada jalur x4. Hal ini tentunya membuat Firecuda 530 menjadi salah satu SSD dengan kinerja sangat kencang yang ada pada tahun 2021 ini. Tipe Seagate FireCuda yang datang ke meja pengujian tim DailySocial merupakan SSD dengan heatsink tebal, yang dikenal dengan FireCuda 530 Heatsink.

Spesifikasi dari Seagate FireCuda 530 NVMe SSD yang saya dapatkan adalah sebagai berikut

Kapasitas 2 TB
Interface PCIe Gen 4 x4
Tipe konektor NVMe 1.4
Form Factor M.2 2280
Controller Phison PS5018-E18
Jenis memori NAND Micron 176L TLC
Endurance 2550 TBW
Dimensi 24.2 x 10.74 x 9.6 mm
Bobot 47 gram

Seagate memberikan garansi 5 tahun untuk SSD NVMe yang satu ini. Selain itu, garansi yang diberikan juga akan akan terpotong oleh TBW (TeraByte Written) yang ditentukan. Jadi, garansi akan berakhir jika sudah terpakai lebih dari 3 tahun atau melebihi penulisan 2550 TB. Oleh karena itu, jangan sering-sering ya melakukan benchmarking pada SSD ini 🙂

Desain

Bulky! Itulah yang pertama kali muncul dipikiran saya saat membuka paket penjualan dari FireCuda 530. Tentu saja, hal tersebut karena heatsink tebal yang dipasangkan di atas cip NAND yang ada. Dengan meningkatnya kinerja cip tentu saja menghasilkan panas yang berlebih dan ini adalah cara Seagate untuk meredamnya.

Seagate FireCuda 530 menggunakan kedua sisi dari board-nya untuk diisi berbagai chip. Untuk kontrolernya, Seagate FireCuda 530 menggunakan Phison PS5018-E18 dengan proses pabrikasi 12 nm dari TSMC. Cip NAND-nya sendiri menggunakan Micron 176-Layer Triple-Level Cell. Dan hadir cip RAM DDR4 buatan Hynix yang berfungsi sebagai cache.

Bobot yang dimiliki oleh Seagate FireCuda 530 ini sangat ringan, hanya 47 gram saja. Perangkat ini memiliki dimensi 24.2 x 10.74 x 9.6 mm yang cocok untuk dipasangkan pada sebuah desktop mau pun Playstation 5. Sayangnya SSD ini sepertinya tidak cukup saat dipasangkan pada beberapa laptop gaming karena dimensi heatsink-nya yang cukup tebal. Namun, dengan heatsink setebal ini, membuat FireCuda 530 bisa lebih terjaga suhunya, walaupun kadang masih terjadi overheating.

Seagate FireCuda 530 juga sudah didukung dengan Seagate Seatools. Software yang satu ini dapat memonitor keadaan FireCuda 530 sehingga pengguna tahu kapan harus mengganti SSD-nya. Sayangnya karena keterbatasan waktu, saya tidak sempat menguji SSD ini dengan memakai Seagate Seatools. Namun, aplikasi ini sudah tersedia langsung pada halaman resmi dari FireCuda 530.

Pengujian

Dalam menguji SSD yang satu ini, tentu saja membutuhkan sebuah perangkat yang sudah mendukung PCI-e 4.0. Saya memilih menggunakan sebuah laptop yang memakai prosesor Intel Core i5 Generasi ke 11 yang memang sudah mendukung PCI express 4.0 dan mampu menjalankan SSD NVMe PCIe Gen 4 x4 dengan kecepatan penuh. Untuk mengujinya, tentu saja saya menggunakan slot NVMe utama yang tersedia. Sistem operasi yang digunakan adalah Windows 11.

Saat menggunakan slot SSD NVMe kedua yang disediakan oleh vendor laptop yang saya pakai, ternyata hasil ujinya masih terbatas pada PCI-e generasi ke 3. Jadi, Seagate Firecuda 530 hanya terbatas pada kecepatan 3.500 MB/s saja, walaupun angka tersebut sudah termasuk kencang untuk sebuah gaming PC. Saat dipasangkan pada slot pertama, masalah kecepatan pun teratasi. Akan tetapi muncul masalah lainnya.

Iklim tropis di Indonesia memang mudah membuat peralatan PC menjadi lebih panas. Hal tersebut juga terjadi pada Seagate FireCuda 530, di mana bisa mencapai angka di atas 80 derajat celcius pada saat saya uji tanpa menggunakan AC. Saat panas, SSD ini ternyata hanya bisa berjalan pada 64 MB/s saja pada hampir semua software benchmark. Dan saat saya pegang heatsink-nya, memang terasa sangat panas sekali.

Pada pengujian kali ini, saya akan menggunakan dua buah software benchmark, yaitu Crystal Disk Mark dan ATTO. Crystal Disk Mark sendiri saya gunakan dua versi, yaitu versi 6 dan 8, karena keduanya memiliki perhitungan yang berbeda. Berikut adalah hasilnya

Cukup senang rasanya bisa mendapatkan angka 7 GB/s saat menguji SSD yang satu ini. Pada Crystal Disk Mark 6, akhirnya janji Seagate yang mengatakan bahwa SSD ini dapat berjalan pada kecepatan 7.000 MB/s dapat terlampaui dengan hasil 7.033 MB/s. Sayangnya hasil tersebut akan didapat dengan menghasilkan suhu yang panas, yaitu pada sekitar 70 derajat celcius.

Dengan kinerja seperti ini, tentu saja bisa membuat loading sebuah game berat menjadi lebih cepat. Saat menggunakannya dengan Windows 11 pun, membuat sistem secara keseluruhan menjadi terasa lebih responsif jika dibandingkan dengan sebuah SSD SATA. Apalagi saat mencobanya bermain game Valorant, loading-nya memang terasa lebih kencang walaupun tidak terpaut cukup jauh dengan SSD NVMe PCI-e Gen 3 x4 yang banyak terpasang pada laptop saat ini.

Kinerja seperti ini tentu saja juga menguntungkan untuk mereka yang sering melakukan editing dan rendering gambar serta video. Semakin cepat kinerja dari SSD, tentu saja berbanding lurus dengan selesainya sebuah pekerjaan. Kecepatan seperti ini juga cukup disarankan untuk mereka yang menggunakan software Office berat yang membuka lebih dari 10 window, seperti untuk mereka yang bekerja pada sebuah kantor akuntan.

Verdict

Saat memiliki sebuah sistem yang mendukung PCI-e 4.0, tentu saja mengganti SSD pada tingkat yang lebih tinggi akan mempercepat sistem secara keseluruhan. Dengan kinerja yang lebih tinggi, tentu saja membuat semua software yang dijalankan akan lebih cepat. Hal tersebut juga akan membuat para gamer tidak lagi perlu menunggu loading menjadi lebih lama. Oleh karena itu, Seagate menawarkan FireCuda 530 yang memiliki kinerja sangat tinggi untuk sebuah media penyimpanan saat ini.

Kinerja tinggi tersebut diberikan oleh Seagate dengan angka transfer data 7 GB/s. Selain itu, hasil benchmark juga menunjukkan bahwa Seagate FireCuda 530 mampu digunakan untuk segala pekerjaan. Dengan heatsink yang tebal juga memastikan agar SSD ini tidak akan kepanasan saat dipakai secara ekstrim. Memiliki TBW yang besar memastikan bahwa SSD ini tidak akan rusak dalam waktu yang dekat.

Seagate menjual FireCuda 530 2 TB dengan harga Rp. 7.899.000. Memang, harga ini tergolong mahal untuk ukuran kapasitas 2 TB dan jika dibandingkan dengan kompetitornya. Walaupun begitu, SSD ini cocok untuk para profesional dan gamer yang membutuhkan kinerja tinggi sebuah komputer. Dan tentu saja, mereka yang memiliki PS5 juga akan diuntungkan dengan kinerja yang dimiliki oleh FireCuda 530 ini.

Sparks

  • Kinerja baca dan tulis sangat kencang
  • Heatsink tebal yang memastikan suhu terjaga
  • Bisa digunakan pada Playstation 5
  • Garansi yang panjang, yaitu 5 tahun
  • TBW yang cukup besar dengan 2550 TBW

Slacks

  • Harganya yang cukup mahal
  • Tidak cocok untuk semua laptop karena tebalnya heatsink

 

[Review] Realme Narzo 50A: Baterai Besar, Bermain Lancar, Kamera Mumpuni, dan Harga Terjangkau

Realme kembali mengeluarkan sebuah smartphone yang ditujukan untuk anak-anak muda yang gemar bermain game serta pecinta smart gadget. Tentu saja, perangkat yang satu ini hadir pada lini Narzo. Perangkat yang datang ke meja pengujian tim DailySocial kali ini adalah realme Narzo 50A yang memiliki slogan “Mighty Performance Inside“. Lalu apa maksud dari slogan tersebut?

Lini Narzo selalu hadir dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan lini nomor dari realme. Seperti halnya realme Narzo 50A yang memiliki harga di sekitar 2 jutaan. Dengan harga tersebut, realme memposisikan Narzo 50A sebagai smartphone dengan pengalaman bermain terbaik di harga 2 jutaan. Perubahan besar dihadirkan pada realme narzo 50A diantaranya dari sisi kamera baik dari sisi jumlah kamera menjadi tiga dan besaran megapiksel maupun dari sisi sistem operasi yang sudah berbasis Android 11.

Dengan harga tersebut pula, realme juga kembali menggunakan SoC buatan Mediatak. Pada Narzo 50A, realme memilih Mediatek G85 yang memang sudah mumpuni untuk menjalankan semua game yang hadir di Android. Tentunya hal tersebut tidak lepas dari penggunaan CPU Cortex A75 yang bertenaga. Dan tentunya perangkat ini bisa bertahan lama berkat baterai 6000 mAh yang terpasang didalamnya.

Spesifikasi lengkap dari realme Narzo 50A yang saya dapatkan bisa dilihat pada tabel berikut ini

SoC Mediatek Helio G85
CPU 2 x 2.0 GHz Cortex-A75 + 6 x 1.8 GHz Cortex-A55
GPU Mali-G52 MC2
RAM 4 GB LPDDR4x
Internal 64 GB eMMC 5.1
Layar 6,5 inci 1600 x 720 IPS
Dimensi 164.5 x 75.9 x 9.6 mm
Bobot 207 gram
Baterai 6000 mAh 18 watt charger
Kamera 50 MP / 12.5 MP utama, 2 MP macro, 2 MP B/W, 8 MP Selfie
OS Android 11 Realme UI 2

Untuk hasil pemindaian dengan menggunakan software CPU-Z serta SensorBox bisa dilihat pada gambar berikut ini.

Dengan kapasitas baterai yang besar, realme memberikan Narzo 50A sebuah charger yang bisa mengisi dengan cukup cepat. Kapasitas tersebut juga membuat perangkat yang satu ini bisa menyelamatkan smartphone lain pada saat butuh mengisi baterai alias reverse charging. Perangkat ini juga mengusung kamera dengan resolusi 50 MP baru dari Samsung. Lalu seperti apa kinerja dari realme Narzo 50A?

Unboxing

Perlengkapan inilah yang bisa didapatkan didalam kotak penjualan dari realme Narzo 50A. Realme juga masih menghadirkan charger 18 watt sehingga pengguna tidak perlu lagi membelinya secara terpisah.

Desain

Unik! Itulah yang saya pikirkan pertama kali saat melihat desain belakang dari realme Narzo 50A. Selain desain garis diagonal yang cukup mirip dengan realme Narzo 30A, realme Narzo 50A dilengkapi dengan sebuah kotak hitam yang cukup besar pada bagian kiri atas belakangnya. Realme juga menempatkan logo Narzo pada kotak hitam tersebut, sehingga memang cukup tersamar. Warna yang saya dapatkan memiliki nama Oxygen Blue.

Berbicara kotak hitam yang ada dibelakangnya tersebut, realme menempatkan tiga buah kamera di sana. Selain itu, terdapat pula sebuah LED flash di sebelah kamera B/W. Kamera utama berada pada sisi kiri atas dan kamera makro ada di sebelahnya. Area hitam ini juga sekaligus menjadi tempat untuk sensor fingerprint yang memang cukup cepat dalam memindai jari telunjuk saya.

Layar realme Narzo 50A memiliki resolusi 1600×720 pada layar dengan dimensi 6,5 inci dengan model poni mini dropSmartphone ini menggunakan layar dengan jenis IPS yang sayangnya tidak dilindungi dengan lapisan pelindung seperti Gorilla Glass. Walaupun begitu, realme Narzo 50A sudah terlapisi dengan lapisan tahan gores sehingga cukup menahan goresan saat berada didalam kantong celana. Agar memiliki perlindungan yang lebih baik lagi, ada baiknya untuk menyisihkan dana maksimal Rp. 100.000 untuk membeli lapisan yang lebih kuat lagi seperti tempered glass atau hydrogel.

Untuk tombol volume serta power, bisa ditemukan pada sisi sebelah kanan dari Narzo 50A. Slot SIM serta microSD bisa ditemukan pada sisi sebelah kirinya. Pada bagian bawahnya akan ditemukan port audio 3,5 mm, microphone, USB-C, dan speaker.

Realme Narzo 50A sudah menggunakan sistem operasi Android 11 dengan antarmuka realme UI 2.0. Antar muka yang digunakan pada realme Narzo 50A masih memiliki app drawer sehingga Anda akan menemukan semua aplikasi di sana. Homescreen-nya juga memiliki beberapa gesture seperti swipe up untuk membuka app drawer dan swipe down untuk membuka fungsi search.

Jaringan

Realme Narzo 50A menggunakan chipset Mediatek Helio G85 yang ditujukan untuk para gamer dan pengguna mainstream. Oleh karena itu, perangkat ini sudah menggunakan modem yang sudah mendukung teknologi terkini, seperti Carrier Aggregation untuk 4G. Kategoti LTE yang ada pada perangkat ini masuk dalam Cat 7 untuk download dan Cat 13 untuk upload.

Kanal LTE yang didukung pada smartphone ini meliputi band 1, 3, 5, 8, 38, 40, dan 41. Tentunya, band yang didukung adalah yang sudah digunakan oleh operator seluler di Indonesia. Selain mendukung Dual 4G, perangkat ini juga sudah mendukung fitur dual VoLTE.

Perangkat ini juga sudah mendukung teknologi WiFi 5 atau yang dikenal dengan 802.11 ac. Hal tersebut tentu membuat realme Narzo 50A memiliki koneksi WiFi yang jauh lebih kencang karena menggunakan jaringan 5 GHz. Narzo 50A juga sudah mendukung bluetooth versi 5.0.

Kamera: 50 MP yang bagus

Realme saat ini tidak lagi menggunakan kamera dengan sensor 48 MP dan menggantinya dengan sensor buatan Samsung, yaitu ISOCELL JN1. Sensor baru ini sudah menggunakan teknologi ISOCELL 2.0 sehingga mampu meningkatkan sensitivitas cahaya dibandingkan dengan teknologi yang lama. ISOCELL JN1 juga menggunakan teknologi Tetracell RGB Bayer yang akan membuat resolusi kamera menjadi 12,5 MP.

Kamera yang satu ini, secara mengejutkan, mampu menghasilkan gambar yang cukup bagus. Asalkan cahaya yang ada cukup, gambar yang dihasilkan memang cukup tajam dan rendah noise. Untuk latar belakang yang lebih terang, usahakan untuk menyalakan HDR agar dynamic range-nya lebih baik. Untuk kondisi saat cahaya rendah, selalu gunakan Nightscape agar gambarnya lebih baik.

Kamera makro yang terpasang memiliki resolusi 2 MP saja. Oleh karena itu, hasilnya juga tidak akan sebaik kamera utamanya. Saya merupakan orang yang sangat jarang menggunakan kamera ini, karena hasil cropping kamera utamanya masih terasa lebih baik.

Kamera selfie pada smartphone ini menggunakan sensor Omnivision OV8856 yang memiliki resolusi 8 MP. Hasilnya memang lumayan pada saat kondisi cahaya yang baik. Namun didalam ruangan, saya sangat menyarankan untuk mengaktifkan fitur fill light agar hasilnya lebih baik dan tidak buram.

Pengujian

Realme Narzo 50A menggunakan chipset dari Mediatek, yaitu Helio G85. Dengan seri Helio, chipset ini memang didesain untuk digunakan pada perangkat mainstream sehingga akan memiliki kinerja yang cukup tinggi, walaupun saat ini sudah digunakan pada perangkat entry level. SoC ini menggunakan 2 buah cluster yaitu 2 core Cortex A75 dengan kecepatan 2 GHz pada cluster kinerja dan 6 inti prosesor Cortex A55 pada cluster efisiensi berkecepatan 1,8 GHz. GPU yang digunakan adalah Mali-G52 MC2.

Untuk menguji seberapa kencang Helio G85 yang dipakai pada Narzo 50A dalam penggunaan sehari-hari, saya memakai dua skenario. Skenario pertama tentu saja bermain game-game yang ada pada Google Play. Skenario kedua menggunakan perangkat ini untuk penggunaan sehari-hari. Perangkat ini sudah saya gunakan sekitar 1 minggu.

Bermain Game

Mediatek menciptakan Helio seri G memang ditujukan untuk bermain game. Dengan menggunakan 2 inti Cortex A75, memang membuat perangkat yang menggunakan Helio G85 bisa bermain game dengan cukup nyaman. Akan tetapi, GPU yang digunakan, yaitu Mali-G52 MC2, memang menjadi hambatan beberapa game untuk dapat dimainkan pada framerate yang lebih tinggi lagi.

Saat menguji Narzo 50A, saya menggunakan 3 game yang dimainkan selama 1 minggu. Ketiganya adalah Genshin Impact, Pokemon Unite, dan PUBG Mobile. Sayangnya pada PUBG Mobile di Narzo 50A, saya hanya dapat memilih smooth ultra yang membatasi framerate sampai 40 fps saja. Padahal, chipset Mediatek Helio G85 seharusnya mampu membuat game ini jalan pada 60 fps.

Pada saat bermain Genshin Impact yang terkenal berat, saya berpikir bahwa perangkat ini tidak akan mampu berjalan pada rata-rata 30 fps. Ternyata, saya salah! Dengan profile lowest dan menggunakan pilihan framerate 60 fps, ternyata Genshin Impact dapat dijalankan pada rata-rata 30 fps. Hal ini tentu saja tidak akan membuat orang pusing saat memainkannya.

Game Pokemon Unite dipasang pada mode rekomendasi rendah. Oleh karena keterbatasan waktu, saya hanya mengujinya pada mode grafis rendah namun menggunakan framerate tinggi. Saat menguji, ternyata Narzo 50A mampu berjalan pada 60 fps. Tentu saja hal ini sangat membantu pemain untuk meraih kemenangan.

Untuk mengukur framerate, saya menggunakan aplikasi GameBench yang akurat dalam menghitung frame per detiknya. Berikut adalah hasil dari ketiga game tersebut yang dijalankan pada realme Narzo 50A

Bekerja dan hiburan

Untuk pekerjaan yang berhubungan dengan kantor, saya harus menggunakan beberapa aplikasi seperti Trello, Slack, GMail, Whatsapp, Telegram, Facebook, Tiktok, serta Chrome. Saat memakainya selama seminggu, saya sama sekali tidak mendapatkan masalah serta lag yang mengganggu. Oleh karena itu, smartphone ini memang cocok untuk dijadikan teman bekerja. Apalagi saat meeting melalui Zoom atau Meet, saya tidak menemukan kendala apa pun dan rapat pun selesai tanpa gangguan.

Saat menonton, saya mengecek apakah Netflix dapat menjalankan konten HD pada perangkat ini. Realme Narzo 50A hanya memiliki sertifikasi Widevine L3, sehingga semua video streaming akan dibatasi hingga 540p saja. Tentu saja, hal tersebut berkaitan dengan resolusi HD+ yang diusung oleh Narzo 50A. Oleh karena speaker-nya hanya satu, menggunakan earphone merupakan suatu keharusan saat menonton film.

Benchmarking

Oleh karena realme Narzo 50A menggunakan cip Mediatek mainstream yang ada saat ini, saya penasaran untuk membandingkannya dengan cip lainnya. Oleh karena itu, Helio G95 serta Snapdragon 662 dan Unisoc T710 saya hadirkan sebagai pembanding. Berikut adalah hasilnya

Uji baterai: 6000 mAh

Untuk menguji baterai dengan kapasitas 6000 mAh memang membutuhkan banyak waktu. Sayangnya, aplikasi yang ada saat ini tidak merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian smartphone tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan seperti menonton video dan mendengarkan musik serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Realme Narzo 50A dapat bertahan hingga 26 jam 25 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 18 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang lebih 2,5 jam.

Verdict

Di era keterbatasan chipset seperti saat ini, mencari sebuah perangkat yang memiliki harga terjangkau dengan kinerja tinggi mungkin cukup sulit. Hal tersebut dikarenakan dengan harga rendah, spesifikasi yang diberikan akan sulit digunakan untuk bermain game. Jika spesifikasinya tinggi, harganya pun juga ikut tinggi. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk realme Narzo 50A yang baru saja diluncurkan oleh realme.

Perangkat yang satu ini memiliki kinerja yang cukup baik karena menggunakan Mediatek Helio G85. Dengan SoC tersebut dan ditemani dengan RAM 4 GB, saya dapat dengan lancar bermain game pada perangkat ini. Baterai yang besar juga membuat waktu bermain menjadi lebih lama. Tentu saja untuk dipakai bekerja setiap hari, smartphone ini nyaman digunakan.

Kamera yang terpasang pada realme Narzo 50A memiliki hasil yang dapat diandalkan pada cahaya yang cukup. Dengan ISOCELL JN1, membuat semua orang bisa mengambil gambar dengan resolusi tinggi. Cukup disayangkan memang, kamera ultrawide tidak hadir pada smartphone yang satu ini.

Realme menjual Narzo 50A dengan harga Rp. 2.099.000 untuk varian yang saya dapatkan, yaitu 4/64 GB, dan Rp. 2.299.000 untuk varian 6/128 GB. Dengan harga tersebut, membuat realme Narzo 50A menjadi salah satu perangkat dengan harga terjangkau yang bisa digunakan untuk bermain game dengan nyaman. Oleh karena itu, mereka yang gemar bermain game serta pekerja dengan dana terbatas bisa memilih perangkat yang satu ini sebagai daily driver mereka.

Sparks

  • Kinerja yang cukup baik dengan Helio G85
  • Daya tahan baterai yang sangat baik dengan 6000 mAh
  • Kamera utama yang bagus untuk kelas smartphone 2 jutaan
  • Desainnya cukup unik
  • Responsif saat digunakan

Slacks

  • Resolusi layar masih HD+ dengan 60 Hz
  • Tanpa kamera ultrawide
  • Waktu pengisian baterai cukup lama

[Review] Vivo X70 Pro: Gunakan Mediatek Dimensity 1200 dengan Desain Cantik dan Kamera Zeiss Memukau

Setelah sukses dengan smartphone Vivo X60 Pro, tentu saja produsen smartphone asal Tiongkok ini harus mempertahankan posisinya. Oleh karena itu, Vivo saat ini sudah meluncurkan sang penerus dari perangkat yang menggunakan kamera dengan lensa Zeiss. Smartphone penerus tersebut memiliki nama Vivo X70 Pro, yang saat ini sudah saya gunakan selama hampir 1 bulan penuh.

Dibandingkan dengan perangkat sebelumnya, Vivo menambahkan 1 lapisan lagi pada kamera X70 Pro, Lapisan tersebut bernama Zeiss T*lens coating yang akan mengurangi pantulan atau efek cahaya yang tidak diinginkan dalam foto. Lapisan ini telah digunakan pada Vivo X60 Pro+ yang tidak masuk ke wilayah Indonesia. Pada perangkat yang satu ini, Vivo juga masih mempertahankan fitur yang menstabilkan gambar yang disebut Gimbal.

Vivo juga mengganti produsen SoC pada X70 Pro. Pada X60 Pro, Vivo menggunakan Snapdragon 870 yang digantikan dengan Mediatek Dimensity 1200 pada X70 Pro. Kedua chipset memang sama-sama memiliki kinerja yang tinggi. Untuk spesifikasi lengkap dari X70 Pro yang saya dapatkan bisa dilihat pada tabel berikut ini

SoC Mediatek Dimensity 1200 MT6893
CPU 1 x 3.0 GHz Cortex-A78 + 3 x 2.6 GHz Cortex-A78 + 4 x 2.0 GHz Cortex-A55
GPU Mali-G77 MC9
RAM 12 GB LPDDR4x + 4 GB Memory Expansion
Internal 256 GB UFS 3.1
Layar 6,56 inci 2376 x 1080 120Hz AMOLED
Dimensi 158.3 x 73.2 x 8 mm
Bobot 183 gram
Baterai 4400 mAh 44 watt charger
Kamera 50 MP / 12.5 MP utama, 12 MP Zoom 2x, 8 MP Periscope 5x, 12 MP Ultrawide, 32 MP Selfie
OS Android 11 FunTouch OS 12

Untuk hasil pemindaian dengan menggunakan software CPU-Z serta SensorBox bisa dilihat pada gambar berikut ini.

Baterai yang terpasang pada smartphone ini memiliki kapasitas yang sedikit lebih besar dari sang pendahulunya, yaitu 4400 mAh. Uniknya, pengisian daya dari Vivo memakan daya 44 watt. Hal ini tentunya cukup berbeda dengan standar yang ada seperti 30 watt atau 65 watt. Walaupun begitu, pengisian daya seperti ini tentu saja membuat waktu tunggu menjadi lebih cepat.

Unboxing

Seperti inilah yang akan ditemukan pada paket penjualan dari Vivo X70 Pro. Vivo juga sudah menyertakan charger yang dapat mengisi dengan cepat, yaitu 44 watt.

Desain

Desain bagian belakang dari Vivo X70 Pro memang hampir mirip dengan X60 Pro. Yang membedakan adalah area kamera yang ada di sebelah kiri atasnya. Untuk logo Vivo-nya sendiri, masih terletak pada kiri bawah. Warna yang saya dapatkan memiliki nama Aurora Dawn.

Layar Vivo X70 Pro memiliki resolusi 2376×1080 pada layar dengan dimensi 6,56 inci ini serta memiliki refresh rate 120 Hz yang sangat smooth saat digeser. Smartphone ini sudah menggunakan layar dengan jenis Super AMOLED namun tidak jelas apakah dilindungi dengan Gorilla Glass. Walaupun begitu, Vivo X70 Pro sudah terlapisi dengan lapisan hydrogel sehingga aman dari goresan dan benturan ringan.

Pada sisi belakangnya, terdapat ruang kotak yang berisikan kamera dengan LED Flash. Kamera utama dengan 50 MP berada pada bagian atas, kamera zoom 2x ada dibawahnya, dan kamera periscope ada pada sisi bawah dengan dimensi kotak. Di sebelah kirinya merupakan kamera ultrawide.

Pada bagian atasnya ditemukan sensor inframerah dan microphone. Volume naik dan turun serta tombol power diletakkan pada sisi sebelah kanan. Dan pada bagian bawahnya terdapat slot USB-C, speaker, microphone utama dan slot nano SIM. Anda tidak akan menemukan slot microSD dan juga port audio 3.5 mm pada perangkat ini.

Perangkat Vivo X70 Pro yang saya uji sudah menggunakan FunTouch OS versi 12. Basis sistem operasi yang digunakan masih memakai Android 11. Antar muka yang digunakan pada Funtouch OS masih memiliki app drawer sehingga Anda akan menemukan semua aplikasi di sana. Homescreen-nya juga memiliki beberapa gesture seperti swipe up untuk membuka app drawer dan swipe down untuk membuka fungsi search.

Fungsi Extended RAM juga sudah terpasang secara default pada perangkat ini. Pada Vivo X70 Pro, fungsi Extended RAM akan menambah ruang cache sebesar 4 GB. Ruang ini diambil langsung dari penyimpanan internal yang sudah menggunakan teknologi UFS 3.1. Hal ini akan mengurangi isi RAM sehingga perangkat terasa memiliki RAM sebesar 16 GB.

Jaringan

Vivo X70 Pro menggunakan chipset Dimensity 1200 yang memang ditujukan untuk perangkat flagship. Oleh karena itu, perangkat ini sudah menggunakan modem yang sudah mendukung teknologi terkini, seperti Carrier Aggregation untuk 4G maupun 5G. Modem yang digunakan oleh Dimensity 1200 juga sudah mendukung semua jaringan yang ada saat ini.

Smartphone ini sudah mendukung bandwidth 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 12, 17, 18, 19, 20, 26, 28, 38, 39, 40, dan 41 untuk jaringan 4G. Sedangkan untuk jaringan 5G, Vivo X70 Pro sudah mendukung bandwidth n1, n3, n5, n8, n28, n41, n77, n78, dan n79. Di atas kertas, Vivo X70 Pro memang belum mendukung n40. Namun, Vivo berjanji bakal membuka kanal n40 agar dapat terhubung dengan jaringan Telkomsel.

Dimensity 1200 mendukung fungsi Smart 5G Power Saving. Teknologi ini secara cerdas akan mengidentifikasi kekuatan sinyal di sekitarnya dan beralih antara 4G dan 5G tanpa jeda waktu peralihan. Hal tersebut akan menghasilkan konsumsi daya yang 30% lebih rendah dibandingkan dengan smartphone tanpa fitur Smart 5G.

Kamera: 50 MP Sony IMX 766

Biasanya, smartphone dengan kamera 50 MP didominasi dengan sensor buatan Samsung. Akan tetapi berbeda dengan Vivo yang menggunakan Sony IMX 766. Kamera zoom 2x yang terpasang menggunakan sensor Sony IMX 663 dan zoom 5x nya menggunakan sensor OmniVision OV08A10. Untuk kamera wideangle menggunakan sensor buatan Samsung, yaitu S5K3L6.

Kamera utamanya akan menghasilkan gambar 12,5 MP saat algoritma quad bayer digunakan. Kamera ini juga menghasilkan gambar yang cukup memukau, di mana minim noise dan cukup tajam. Warna yang dihasilkan juga kaya dan memiliki dynamic range yang baik. Kamera ini juga terbukti bagus saat digunakan dengan mode malam yang sangat minim cahaya.

Kamera zoom juga memiliki profile yang cukup mirip. Hanya saja, tingkat ketajamannya memang menurun walaupun tidak menjadi masalah yang berarti. Hasil antara 2x dan 5x memang cukup mirip.

Kamera wideangle mungkin merupakan yang memiliki hasil paling bawah, walaupun tidak buruk. Perbandingannya cukup terlihat pada tingkat ketajaman dan warna yang dihasilkan. Akan tetapi, hasilnya memang cukup baik untuk mengambil gambar sehari-hari

Hasil kamera makro pada Vivo X70 Pro patut diacungi jempol. Fungsi makro pada Vivo X70 Pro menggunakan kamera wideangle dan memiliki fungsi AF. Hasil tangkapannya cukup tajam untuk ukuran kamera makro smartphone.

Kamera selfie pada smartphone ini juga dapat mengambil gambar yang bagus. Namun, mungkin untuk Anda yang kurang suka dengan fitur beautify akan cukup terganggu dengan hasil muka yang cukup licin, walaupun sudah mematikan fungsi tersebut. Akan tetapi, hasilnya memang cukup baik dan dapat digunakan untuk mengambil momen sehari-hari.

Pengujian

Vivo X70 Pro menggunakan chipset baru dari Mediatek, yaitu Dimensity 1200. Dengan seri 1xxx, chipset ini memang didesain untuk digunakan pada perangkat high end sehingga akan memiliki kinerja yang cukup tinggi. SoC ini menggunakan 3 buah cluster yaitu Cortex A78 dengan kecepatan 3 GHz pada cluster Prime, 3 inti prosesor Cortex A78 pada cluster performa berkecepatan 2,6 GHz, dan 4 inti prosesor Cortex A55 pada cluster efisiensi berkecepatan 2 GHz. GPU yang digunakan adalah Mali-G77 MC9.

Untuk menguji seberapa kencang Dimensity 1200 dalam penggunaan sehari-hari, saya memakai dua skenario. Skenario pertama tentu saja bermain game-game yang ada pada Google Play. Skenario kedua menggunakan perangkat ini untuk penggunaan sehari-hari. Perangkat ini sudah saya gunakan sekitar 1 bulan penuh.

Bermain game

Jika berbicara mengenai bermain, tentu saja Dimensity 1200 sudah lebih dari cukup. Apalagi dengan hadirnya Prime core membuatnya akan lebih kencang pada aplikasi yang hanya membutuhkan 1 inti prosesor saja. Untuk aplikasi yang membutuhkan resource tinggi, inti prosesor yang memiliki clock tinggi juga sudah sanggup untuk memprosesnya. Hal tersebut terutama untuk bermain game.

Sayangnya, pada pengujian kali ini saya tidak bisa menampilkan framerate dari setiap game. Hal tersebut dikarenakan aplikasi GameBench gagal dijalankan pada Vivo X70 Pro. Activator untuk membuat GameBench bisa terverifikasi akan terhenti.

Saya memainkan beberapa game yang diantaranya adalah Genshin Impact, Battlefield, Pokemon Unite, dan PUBG. Sangat disayangkan bahwa PUBG Mobile hanya mampu dimainkan paling cepat pada smooth extreme. Jadi, perangkat ini belum didukung untuk bermain pada 90 fps.

Untuk game lainnya selain Genshin Impact, saya tidak menemukan lag saat bermain. Hal tersebut bisa berarti bahwa semua game tersebut bisa berjalan pada 60 fps. Genshin Impact pun juga dapat dimainkan tanpa terasa lag pada profile highest 60 fps. Walaupun sepertinya game tidak berjalan seara konstan di 60 fps, tetapi sepertinya game ini tidak pernah kurang dari 50 fps saat dimainkan.

Bekerja dan Hiburan

Trello, Slack, GMail, Whatsapp, Telegram, Facebook, Tiktok, serta Chrome adalah aplikasi yang sudah pasti saya gunakan tiap hari. Tentu saja, perangkat ini tidak memiliki masalah saat menjalankan semuanya. Bahkan beberapa kali saya menemukan bahwa sebagian dari aplikasi tersebut masih tetap terbuka di background saat sudah ditutup dan beralih ke aplikasi lainnya. Mungkin hal tersebut efek dari menggunakan RAM 12 GB ditambah 4 GB extended.

Netflix dan Disney+ pun tidak luput dari aplikasi yang saya gunakan untuk menonton. Tidak ada masalah sama sekali pada saat menggunakan ke 2 aplikasi tersebut untuk menonton. Sayang memang, speaker yang ada di Vivo X70 Pro hanya satu, sehingga mengurangi kenyamanan saat menonton dan mendengarkan musik.

Benchmarking

Oleh karena Vivo X70 Pro menggunakan cip Mediatek tertinggi yang ada saat ini, saya penasaran untuk membandingkannya dengan cip lainnya. Oleh karena itu, Dimensity 1100 serta Snapdragon 870 dan 860 saya hadirkan sebagai pembanding. Berikut adalah hasilnya

Walaupun menggunakan cip dengan performa tinggi, namun sepertinya Vivo memilih untuk sedikit menurunkan kinerjanya. Mungkin hal tersebut dilakukan untuk mengurangi panas yang dihasilkan. Kinerjanya sendiri masih sering tercatat berada di bawah Dimensity 1100.

Uji baterai: 4400 mAh

Untuk menguji baterai dengan kapasitas 4400 mAh memang membutuhkan banyak waktu. Sayangnya, aplikasi yang ada saat ini tidak merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian smartphone tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan seperti menonton video dan mendengarkan musik serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Vivo X70 Pro dapat bertahan hingga 20 jam 5 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 44 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang lebih 60 menit.

Verdict

Vivo lagi-lagi menawarkan sebuah smartphone flagship yang memiliki kamera bagus serta kinerja yang baik. Setelah sukses dengan seri X60 Pro-nya, mereka kembali hadirkan sang penerus. Dengan nama X70 Pro, Vivo menawarkan fitur-fitur yang lebih baik dari sang pendahulu dan tetap menyasar pada pasar premium.

Kinerja yang ditawarkan oleh Vivo X70 Pro memang bukan yang paling kencang yang ada di pasar saat ini. Namun, dengan Dimensity 1200 sudah sangat mumpuni untuk mengerjakan semua hal dan menjalankan aplikasi serta game yang ada pada Google Play Store. Kinerja ini dibarengi dengan daya tahan baterai yang cukup lama.

Kamera juga menjadi andalan dari X70 Pro untuk bersaing di pasar Indonesia. Dengan Sony IMX 766, membuat smartphone ini bisa menangkap momen dengan baik di segala cuaca. Selain bisa menangkap gambar dengan baik, video yang dihasilkan juga sangat bagus. Apalagi, dengan Gimbal OIS yang terpasang dapat menstabilkan pengambilan gambar tanpa buram.

Vivo menjual X70 Pro dengan RAM 12 GB serta penyimpanan internal 256 GB dengan harga Rp. 10.999.000. Dengan harga tersebut, tentu saja konsumen akan mendapatkan sebuah perangkat yang memiliki kamera apik dan mempunyai kinerja yang sangat baik. Smartphone ini juga cocok untuk mereka yang ingin memiliki kamera yang bisa dibawa setiap hari sebagai pengganti kamera saku.

Sparks

  • Kinerja tinggi dengan Dimensity 1200
  • Hasil kamera yang bagus
  • Pengisian baterai yang cepat dengan charger 44 watt
  • Layar 120 Hz yang cerah
  • Gimbal OIS sangat stabil
  • Walau baterai di bawah 5000 mAh, daya tahannya sangat baik

Slacks

  • Speaker-nya masih mono
  • Masih belum mengadopsi wireless charging
  • Layar tidak menggunakan kaca keras seperti Gorilla Glass

[Review] Dell UltraSharp U2421E: Monitor Layar Tajam dan Nyaman di Mata dengan Konektivitas Lengkap

Dengan merebaknya virus Covid-19, menyebabkan semua orang harus bekerja dan belajar di rumah. Kegiatan WFH dan SFH tentu saja membutuhkan sebuah perangkat komputer. Untuk lebih nyaman dalam bekerja, tentu saja sebuah monitor akan meningkatkan tingkat ergonomis saat menggunakan komputer. Untuk itu, Dell menawarkan monitornya yang bernama Dell Ultrasharp U2421E.

Seperti namanya, Dell Ultrasharp menawarkan tingkat ketajaman yang lebih baik, terutama jika dibandingkan dengan layar laptop. Untuk menambah kenyamanannya, monitor yang satu ini juga menawarkan konektivitas yang lebih lengkap. Salah satunya adalah USB-C yang saat ini pelan-pelan sudah menjadi standar konektivitas. Tentunya hal ini akan mempermudah seseorang dalam menggunakan perangkat eksternalnya seperti flash disk dan HDD eksternal.

Dell Ultrasharp U2421E sendiri memiliki spesifikasi sebagai berikut

Dimensi layar 24,1″
Rasio 16:10
Resolusi 1920×1200
Tipe panel IPS
Dimensi 530.8 x 313.7 x 39
Berat total 4 KG
Port Display Port 1.4, HDMI 1.4, 2x USB-C, 3x USB 3.2, RJ 45, Audio 3.5mm‎‎‎
Response Time 5-8 ms
Kontras 1000:1

Monitor ini juga memiliki penyanggal panel yang bisa diatur tingkat ketinggiannya. Bahkan, bagi mereka yang membutuhkan monitor dengan posisi vertikal juga bisa memilih monitor yang satu ini. Hal tersebut membuat penggunaan Dell UltraSharp menjadi lebih luas.

Unboxing

Didalam paket penjualannya hanya akan ditemukan buku manual serta beberapa kabel. Kabel-kabel tersebut terdiri dari kabel USB-C to USB-C, USB-A to USB-C, serta Display Port. Tidak ditemukan kabel HDMI didalamnya yang mengharuskan pengguna untuk membelinya secara terpisah. Kabel power bawaannya juga masih belum menggunakan standar Indonesia.

Desain

Dell UltraSharp U2421E datang dengan panel berjenis In-Plane Switching atau IPS. Oleh karena ditujukan untuk penggunaan secara multipurpose dan tidak hanya untuk bekerja saja atau bermain saja, monitor ini memiliki response time 5 ms (GtG fast) dan 8 ms (GtG normal). Dell juga menggunakan refresh rate 60 Hz pada UltraSharp U2421E, seperti kebanyakan monitor yang dijual di pasar Indonesia.

Monitor Dell UltraSharp U2421E juga bisa diputar menjadi vertikal dan horizontal, membuatnya juga cukup cocok untuk para designer. Selain itu, monitor ini juga bisa dihadapkan ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah agar dapat terlihat dengan nyaman oleh sang pengguna. Hal ini tentu saja bisa membuat tubuh sang penggunanya serta leher menjadi lurus sehingga tidak mudah lelah. Posisi ini tentunya lebih menyehatkan.

Monitor Dell yang satu ini juga memiliki On Screen Display Menu. Pada menu ini, pengguna dapat melihat beberapa informasi fitur yang digunakan. Selain itu, pada OSD ini juga pengguna bisa mengubah setting-setting tertentu seperti brightness dan contrast-nya. Navigasi untuk menunya sendiri cukup nyaman karena memiliki tombol arah yang ada pada belakang layarnya.

Tombol navigasi yang berada pada bagian belakang layar ini ditemani dengan sebuah tombol power untuk mematikan dan menghidupkan layar ini.  Pada bagian bawah layarnya akan ditemukan sebuah port USB 3.2 dan USB-C. Port lainnya seperti power, HDMI, Display Port in, Display Port out (untuk daisy chain), USB-C Display Port, Audio 3,5 mm, dan dua buah USB 3.2.

Memakai Dell Ultrasharp U2421E untuk bekerja, menonton, dan bermain

Terus terang, sebagai pengguna laptop yang selalu melihat pada sebuah layar dengan dimensi 15 inci setiap hari, tentu saja lega saat menggunakan layar 24 inci untuk bekerja. Saat digunakan untuk mengetik, baik pada software Office maupun langsung pada browser internet, monitor ini mampu memberikan bentuk teks yang bersih dan dapat terbaca dengan baik. Warna yang diberikan juga memiliki kontras yang bagus untuk sebuah gambar dan video. Saat digunakan untuk melakukan streaming, seperti menggunakan aplikasi Zoom untuk melakukan meeting secara online, monitor ini juga nyaman untuk digunakan.

Selanjutnya, saya menggunakan monitor ini semenjak sekitar 3 minggu lalu untuk menonton video-video yang ada pada layanan streaming. Tentunya, monitor ini memberikan kontras yang sangat baik pada layar dengan bingkai yang tipis ini. Saya sama sekali tidak melihat bayang-bayang saat film ada pada gerakan yang cepat. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh pilihan menu refresh rate yang diubah ke fast.

Sepertinya para editor gambar dan video juga akan menyukai monitor ini. Dell menawarkan 16,7 juta warna yang cukup akurat. Selain itu, monitor ini juga sudah mendukung cakupan 99% sRGB serta Delta E <2. Mata saya juga tidak cepat lelah karena sudah memiliki fungsi low blue light yang memiliki potensi untuk merusak mata.

Bermain game dengan menggunakan monitor ini juga cukup baik, walaupun hanya memiliki refresh rate sampai 60 Hz saja. Game seperti Valorant dan CS:GO dapat dimainkan dengan baik tanpa harus membuat mata menjadi lelah serta kepala menjadi pusing. Saat bermain, saya juga bisa mengisi baterai untuk beberapa smartphone yang menggunakan port USB-C. Layar ini mampu memberikan daya 90 watt untuk disalurkan pada jalur USB-C tersebut dengan Power Delivery.

Sayang memang, saya tidak bisa menggunakan koneksi Display Port serta USB-C Display Port untuk membandingkannya dengan HDMI. Walaupun begitu, dengan HDMI saja monitor ini sudah memberikan hasil yang cukup memuaskan. Sebagai informasi saja, artikel ini sebagian besar juga diketik dengan menggunakan monitor Dell Ultrasharp U2421E.

Satu hal lagi, sebuah komputer yang terkoneksi pada Dell Ultrasharp U2421E akan mendeteksi adanya sebuah output suara. U2421E sendiri tidak memiliki built-in speaker sehingga tidak bisa mengeluarkan suara. Satu-satunya suara yang akan dihasilkan oleh monitor ini adalah melalui port audio 3.5 mm. Jadi, jangan sampai salah ya…

Verdict

Dalam membeli sebuah monitor, tentu saja ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Misalnya saja fitur-fitur lain yang mungkin tidak ada pada monitor-monitor standar lainnya. Dell menawarkan Ultrasharp U2421E yang memiliki beberapa fungsi tambahan yang membuat badan serta mata tidak lelah.

Dell Ultrasharp U2421E juga memiliki beberapa fitur yang tidak dimiliki oleh monitor lain. Monitor ini mampu memberikan port USB dan USB-C tambahan yang memudahkan para penggunanya saat membutuhkan. Selain itu, monitor ini juga mampu mengisi baterai dari sebuah smartphone atau laptop berkat Power Delivery 90 watt.

Dell juga menawarkan stand yang dapat diatur ketinggiannya agar tidak membuat badan menjadi bungkuk. U2421E juga dapat diubah posisinya menjadi vertikal agar bisa digunakan oleh mereka yang membutuhkan seperti para designer atau editor gambar. Tombol navigasinya juga cukup mudah dan nyaman digunakan serta terletak di bagian belakang monitornya.

Dell menjual Ultrasharp U2421E dengan harga Rp. 4.999.000. Dengan harga tersebut, Anda bisa mendapatkan sebuah monitor yang posisinya bisa diatur dengan mudah serta memiliki banyak port. Monitor ini juga menawarkan banyak pilihan input modern seperti HDMI, DP, dan USB-C DP. Jadi, harga yang ditawarkan tentu saja tidak terlihat mahal jika dibandingkan dengan fitur yang ditawarkan

Sparks

  • Kontras dan warna yang dihasilkan bagus
  • Memiliki banyak port USB dan USB-C
  • Posisi dapat diatur dengan mudah
  • USB-C Power Delivery 90 watt yang dapat mengisi baterai smartphone serta laptop
  • Mendukung daisy chain ke beberapa perangkat yang mendukung DP

Slacks

  • Tanpa built in speaker
  • Tidak disertakan kabel HDMI
  • Kabel power bukan standar Indonesia

Review WD Black D30, SSD Eksternal Mungil yang Dilengkapi Aksesoris Dock

Sejak pertama kali berkenalan dengan seri WD_Black untuk yang versi portable drives, saya langsung kepincut dengan desain dan tampilan luar dari seri perangkat ini. Waktu itu perkenalan pertama saya dengan perangkat WD_Black P10. Sekarang ini telah jadi perangkat yang bisa diandalkan dari kecepatan baca/tulis atau dari sisi desainnya yang keren. 

Nah, WD dengan baik hati mengenalkan saya pada perangkat lain yang masih dalam satu seri WD_Black, yaitu WD_Black D30 Game Drive SSD. Perangkat SSD eksternal ini dari desainnya sudah benar-benar mencuri perhatian saya. Bentuknya, cara penempatannya serta tentu saja kemampuan teknisnya. 

Mari kita bahas satu persatu. 

Catatan: Saya menguji dengan menggunakan laptop yang telah memiliki USB 3.1 Gen 2, serta perangkat PS4 yang hanya USB Gen 3. WD_Black D30 paling optimal digunakan di USB 3.2 Gen 2, namun karena keterbatasan perangkat, saya hanya menguji di USB 3.1 Gen 2 laptop serta USB Gen 3.0 di PS4.

Unit WD_Black D30 Game Drive SSD yang saya coba adalah dengan ruang penyimpanan 1TB. 

Desain WD_Black D30

Kalau Anda terbiasa dengan dock hard disk yang umum ditempatkan di meja atau area rak khusus, maka konsep desain dari WD_Black D30 cukup mirip. Ada bagian utama yang adalah hard drive-nya lalu ada plastik kecil yang berfungsi sebagai dock. Jadi Anda bisa menempatkan WD_Black D30 ini di dekat laptop Anda atau jika menggunakannya sebagai penyimpanan eksternal perangkat konsol, menempatkannya di dekat konsol. 

Yang membedakan dengan eksternal drive model dock adalah ukurannya. WD_Black D30 hadir dengan ukuran yang cukup mungil, bahkan bisa digenggam oleh telapak tangan dewasa. Karena menggunakan NVMe maka bentuk dari perangkat bisa agak lebih kecil dibandingkan bentuk HD SATA. Ini menjadikan WD_Black D30 benar-benar terasa seperti HD Dock tapi versi SD (merujuk pada model Gundam), kecil cenderung kayak mainan. 

Tapi dengan desain seperti ini, jika Anda hanya memiliki ruang yang tidak lebar di samping konsol Anda, maka bentuknya yang kecil akan sangat relevan. Untuk desain tampilan, D30 masih mengusung tampilan layaknya seri WD_Black lain seperti P10 atau P50. Tampilan yang memberikan kesan kokoh karena bentuknya seperti peti kemas. 

Saya adalah, satu dari mungkin banyak orang yang menyukai desain seperti ini. Penyimpanan eksternal diharuskan memiliki daya tahan, dan desain serta pilihan bahan khas WD_Black seri ini cukup mewakili itu. Kombinasi metal dan plastik serta tampilan desainnya, memberikan kesan terlindungi. 

Untuk memudahkan pengguna, D30 juga telah memiliki lampu indikator sebagai pelengkap. Untuk kabel tersedia dengan konektor USB type C to Type A. Panjangnya memang tidak cukup jika Anda ingin menaruh perangkat HD ini agak jauh dari perangkat utama seperti PS atau PC, tetapi bagi saya sudah cukup, karena memang penempatannya cukup dekat dengan perangkat PC/PS4. 

Pengalaman penggunaan WD_Black D30

Karena WD_Black D30 ini dipromosikan sebagai game drive, maka saya menggunakannya sebagai penyimpanan utama ketika memainkan PS4. Kebetulan salah satu game favorit saya, FIFA22 belum lama dirilis, setelah mengunduh di PS4, saya langsung memindahkan ke D30 dan mengaksesnya dari SSD ini ketika bermain. 

Namun sebelum menjadikan D30 ini sebagai penyimpanan utama untuk game PS4, saya mengujinya dulu dengan laptop, termasuk uji menggunakan aplikasi Crystal Disk Mark. 

Pengujian

Pengujian pertama adalah dengan menggunakan aplikasi Crtytal Disk Mark untuk mendapatkan angka read dan write. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Pengujian yang pertama:

Pengujian yang kedua:

WD_Black D30 sendiri di atas kertas atau dari spesifikasi yang disebutkan di situs resmi sampai dengan 900MB/s. Namun tentu saja harus melihat spesifikasi interface yang maksimal di perangkat ini yaitu USB 3.2 Gen 2. 

Karena saya menguji dengan laptop yang menggunakan interface USB 3.1 Gen 2, kecepatan seperti di atas cukup sesuai ekspektasi. Meski dengan spesifikasi ports yang sama di beberapa pengujian oleh media lain bisa sampai 597.13MB/s untuk baca dan 653.43MB/s untuk tulis. Namun ada juga yang hanya 444.60MB/s untuk baca dan 395.56 MB/s untuk tulis.

Selain untuk PC atau laptop dengan port USB 3.2 Gen 2 yang bisa mendapatkan kecepatan maksimal. WD juga menyebutkan bahwa perangkat D30 bisa digunakan untuk perangkat konsol. Seprti yang disebutkan di atas, saya menguji sambil menggunakan sehari-hari D3 untuk ruang penyimpanan di PS4. Namun PS4 hanya memiliki interface USB 3.0 jadi tentu saja kecepatan akan kurang optimal 

Saya mengujinya untuk men-transfer file game dari PS4 ke D30, waktu yang dibutuhkan seperti berikut:

Selain itu saya juga mencobanya dengan menggunakan untuk bermain FIFA22, yang cukup dikenal agak lelet jika dimainkan di PS4 bukan next gen console. Pengalamanya cukup baik. Bahkan saya merasa ada peningkatan sedikit tapi cukup terasa karena loading di beberapa menu dan bagian game FIFA22 ada peningkatan jadi tidak terlalu lambat. 

Untuk pengalaman bermainnya sendiri hampir tidak ada masalah, FIFA22 bisa saya mainkan dengan lancar secara rutin. Termasuk update konten atau patch. 

Kesimpulan Review WD_Black D30 Game Drive SSD

Untuk alasan desain dan kecepatan yang dihadirkannya, WD_Black D30 Game Drive SSD adalah sebuah pilihan yang sangat menarik bagi saya. Desain memang bisa jadi masalah selera, namun menemukan desain SDD dengan desain minimalis tetapi masih tetap ada elemen tangguh serta masih memiliki elemen gaming, dan hadir membawa spesifikasi yang mumpuni, tidak cukup banyak. Dan, D30 cukup mewakili itu semua. 

WD sendiri menyediakan 3 pilihan storage yaitu 500GB, 1TB dan 2TB. Dari sisi harga memang cukup premium, dan ini adalah salah satu kekurangan (kalau boleh menyebut demikian) dari perangkat ini. Dalam laman resminya, unit yang saya uji dibanderol seharga 149.99 atau 150 dollar.

[Review] Huawei Freebuds 4: TWS Open-fit dengan ANC 2.0, Suara Bagus tanpa Gangguan Suara Luar

Huawei merupakan salah satu produsen AIoT yang memperkenalkan teknologi active noise cancelling pada produk True Wireless Stereo-nya di Indonesia. Berselang 2 tahun kemudian, Huawei kembali meluncurkan produk TWS-nya yang memiliki teknologi ANC yang lebih canggih lagi. Produk tersebut adalah penerus dari Huawei Freebuds 3, yaitu Huawei Freebuds 4.

Berbeda dengan Huawei Freebuds 4i yang memiliki desain in-ear, Freebuds 4 masih mengadopsi desain yang sama dengan Freebuds 3, yaitu Open-Fit. Unit review dari Huawei ini juga sudah menghampiri rumah saya semenjak bulan lalu. Dan semenjak itu, saya penasaran ingin mencoba teknologi ANC 2.0 yang dibenamkan pada TWS baru ini. Huawei juga mengatakan bahwa Freebuds 4 sudah dicoba dengan berbagai macam bentuk telinga sehingga ANC-nya lebih efektif dibandingkan seri sebelumnya.

Hal tersebut juga lah yang membuat saya sangat tertarik untuk mencobanya. Saya merupakan salah satu orang yang kurang cocok dengan TWS dengan desain Open-Fit. Hal tersebut tentu saja karena TWS jenis ini mudah tergeser ke bagian luar sehingga suara dari driver tidak sepenuhnya masuk ke rongga telinga serta noise dari luar yang mengganggu suara.

Huawei Freebuds 4 sendiri memiliki spesifikasi sebagai berikut

Bobot 4,1 gram per earbuds, 38 gram case
Versi Bluetooth 5.2
Ukuran Driver ⌀14,3 mm dynamic
Dimensi 41,4 x 16,8 x 18,5 mm (earbud), ⌀58 x 21,2 mm (case)
Kapasitas Baterai 30 mAh (per earbud), 410 mah (case)

Seperti pendahulunya, Huawei Freebuds 4 masih menggunakan driver besar dengan dimensi 14,3 mm. Driver berukuran besar ini memang cocok untuk melepaskan suara dengan lebih kuat ke rongga telinga pada model Open-fit. Huawei juga menjanjikan latensi rendah, yaitu 150ms pada smartphone EMUI serta 90 ms pada sistem operasi HarmonyOS. Sayangnya, saya sedang tidak memegang perangkat HarmonyOS pada saat pengujian.

Unboxing

Pada paket penjualan dari Huawei Freebuds 4 hanya akan ditemukan sebuah kabel USB-C untuk mengisi daya. Bagi pengguna yang memakai smartphone dengan port USB-C tentunya tidak perlu menggunakan kabel ini dan bisa memakai bawaan dari smartphone-nya.

Desain

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Huawei Freebuds 4 menggunakan model Open ear atau Open fit. Model ini sendiri akan digantung pada celah yang ada di telinga bagian bawah. Oleh karena itu, model Open fit tentu tidak akan masuk rapat ke rongga telinga dan seringkali tergeser ke luar. Dengan begitu, suara dari luar akan masuk ke rongga telinga sehingga suara dari driver kerap terganggu dan tidak penuh dan di sinilah ANC 2.0 dari Huawei berfungsi.

Sama seperti TWS yang beredar di pasaran, Huawei Freebuds 4 masih menggunakan bahan plastik polikarbonat yang tebal. Saat dipegang, TWS ini memang terasa kokoh sehingga saya tidak terlalu khawatir jika perangkat ini jatuh dari telinga. Charging case-nya pun juga dibuat sangat kokoh oleh Huawei sehingga tidak perlu khawatir untuk menaruhnya pada kantong belakang celana Anda.

Pada setiap earbuds-nya terdapat sebuah speaker, microphone, serta beberapa sensor. Pada bagian batang setiap earbuds-nya terdapat sensor sentuh yang bisa dikonfigurasi fungsinya dari aplikasi AI Life. Sensor tersebut memiliki 3 jenis gesture, yaitu sentuh 1x, sentuh 2x, dan menggeser dari atas ke bawah atau sebaliknya. Dan pada bagian bawah dari TWS ini terdapat konektor untuk mengisi ulang baterai dari case-nya.

Pada charging case-nya sendiri terdapat sebuah LED pada bagian depannya. Saat case ini terbuka, earpiece-nya akan langsung mencari perangkat bluetooth lainnya untuk melakukan pairing atau langsung terhubung. Pada bagian kanannya terdapat sebuah tombol untuk melakukan pairing dengan perangkat lainnya.

Huawei telah membenamkan driver berukuran besar ke dalam TWS Open-fit ini. Dengan dimensi yang sedikit lebih besar dibandingkan sang pendahulunya, Freebuds 4 pun memiliki driver 14,3 mm. Penggunaan driver yang lebih besar sendiri juga membuat suara pada bagian bass menjadi lebih baik. Hal ini pula lah yang dibutuhkan pada sebuah TWS dengan model ini.

Baterai yang ditanamkan pada kedua buah earpiece ini memiliki kapasitas 30 mAh. Dengan kapasitas ini, Huawei menjanjikan pemakaian hingga 4 jam tanpa ANC dan 2,5 jam dengan ANC. Untuk Charging case-nya sendiri sudah ditanamkan baterai 410 mAh yang membuat total pemakaian bisa mencapai 22 jam atau seharian penuh. Pengisian baterai charging case-nya sendiri menggunakan USB-C yang sudah umum digunakan saat ini.

Untuk orang yang sering berkeringat seperti saya, tidak perlu lagi khawatir TWS-nya akan rusak. Huawei Freebuds 4 sudah memiliki sertifikasi IP4X yang tahan terhadap percikan air. Jadi, perangkat ini juga cocok dijadikan perangkat penghilang kebosanan saat sedang berolah raga sendirian.

Huawei Freebuds 4 menggunakan sebuah aplikasi yang bernama AI Life. Aplikasi ini akan memperlihatkan informasi mengenai Huawei Freebuds 4, seperti sisa baterai. Selain itu, aplikasi ini juga bisa mengubah setting seperti gesture dan mengkonfigurasi ANC yang ada. Tentunya, aplikasi ini juga bisa melakukan upgrade firmware.

Menggunakan selama sebulan

TWS dengan model Open-ear memang tidak cocok untuk orang dengan telinga seperti saya. Setiap kali memasangkannya pada telinga, selalu saja ujung eartips menjauh dari rongga telinga. Hal tersebut tentu saja membuat suara yang dihantarkan dari driver ke telinga berkurang dan menjadi tidak lengkap. Oleh karena itu, saya sangat tertarik untuk mencoba ANC yang ada pada TWS ini.

Setelah membuka paket penjualannya, saya langsung menghubungkannya ke smartphone yang digunakan. Perangkat ini sudah mendukung codec SBC dan AAC dalam mentransfer suara. Aplikasi AI Life juga langsung mendeteksi perangkat yang satu ini. Setelah itu, sebuah firmware pun juga terdeteksi setelah terhubung dengan aplikasi tersebut, sehingga ada beberapa peningkatan pada Huawei Freebuds 4 yang saya gunakan.

 

Sekarang waktunya memasangkan perangkat ini pada kedua telinga saya. Tentunya saat memasangkan kedua earpiece tersebut, tidak ada yang berbeda dengan TWS Open-fit pada umumnya. Ujung dari earpiece lagi-lagi tidak mencapai rongga telinga sehingga saya cukup jelas mendengar semua suara di sekitar saya.

Kemampuan ANC 2.0 pada TWS ini pun saya uji kebenarannya. Saat menyalakannya, suara yang ada dari luar memang terdengar lebih kecil dibandingkan biasanya. Suara kipas PC yang biasanya cukup terdengar, sekarang terdengar sekitar 30-40%-nya saja. Apalagi suara ketikan dari sebuah keyboard mechanical yang menjadi hampir tidak mengganggu.

Setelah itu, saya langsung mendengarkan sebuah lagu dari aplikasi Spotify. Dengan menggunakan bitrate tertinggi (Vorbis 320 Kbps), saya mencoba pada volume sekitar 80% saja. Ternyata, suara yang ada dari luar menjadi sangat kecil sehingga suara dari lagu yang dimainkan menjadi dominan. Hal ini tentunya menambah kenyamanan pemakainya dalam mendengarkan musik.

Sayangnya, karena terdapat celah antara earpiece dan rongga telinga, membuat saya harus menaikkan volume suara menjadi 90%-100%. Pada tingkat ini, suara dari luar sudah hampir tidak terdengar sama sekali. Selain itu, menaikkan volume dari TWS ini juga diperlukan karena memang suara yang dihasilkan terdengar kurang kuat.

Satu hal yang pasti pada perangkat TWS ini adalah suara vokal yang dihasilkan terdengar jernih. Untuk channel high dan low, akan cukup menyenangkan mereka yang menyukai profil balanced. Untuk saya, TWS memberikan bass yang kurang dominan sehingga harus menyalakan fungsi bass boost pada aplikasi AI Life. Setelah itu, baru TWS ini terasa pas suaranya.

Mendengarkan lagu dengan format FLAC bahkan menjadi lebih enak untuk ukuran TWS Open-fit. Saya bisa mendengar petikan senar gitar dengan cukup jelas pada lagu Tears in Heaven. Tentunya suara dari Eric Clapton sendiri terdengar jelas dan tidak mendominasi. Untuk urusan mendengar musik, TWS ini berhasil memikat hati saya.

Dengan menyalakan ANC-nya, saya juga mencoba menonton film-film yang ada di Netflix. Hasilnya memang cukup menyenangkan. Suara yang ada terasa sangat fokus pada film tersebut dan hampir tidak terdengar suara lain dari luar. Akan tetapi apabila ada orang didekat saya sedang berbicara, tentu saja masih akan terdengar suaranya.

Dengan janji latensi yang rendah, tentu saja saya mencoba TWS ini dengan bermain game. Saya mencoba TWS ini dengan bermain game di PC, yaitu Shadow of the Tomb Raider dan Valorant. Alangkah senangnya pada kedua game ini, delay yang terjadi hampir tidak terasa sama sekali. Suara langkah musuh bisa saya dengar dengan jelas dan tepat.

Terakhir adalah pengujian untuk melakukan panggilan dengan menggunakan Whatsapp Call. Saya pun mencoba di luar ruangan yang memiliki banyak gangguan suara dan angin. Call Noise Cancellation yang ada bisa meredam gangguan dengan cukup baik, walaupun belum mengisolasi suara saya secara utuh.

Janji Huawei untuk daya tahan baterai pada TWS ini ternyata cukup tepat. Tanpa ANC, saya bisa menggunakannya hingga 4 jam. Untuk ANC, TWS ini akan mati dalam waktu sekitar 2,5 jam saja. Untuk mengisi baterai pada earpiece-nya, akan penuh dalam waktu sekitar 30 menit.

Verdict

Membeli sebuah TWS Open-Fit akan terasa sama jika tidak memiliki sebuah Active Noise Cancelling. Hal tersebut disebabkan oleh adanya celah yang cukup besar antara eartips dengan rongga telinga. Hal tersebut akan membuat suara dari luar masuk ke telingga sehingga suara dari TWS akan memudar. Masalah ini pun dipecahkan oleh Huawei dengan mengeluarkan Freebuds 4.

Teknologi Open-fit noise cancellation yang ada pada Huawei Freebuds 4 memang membuatnya berbeda dari TWS lain. Walaupun posisinya tidak pas pada telinga saya, suara yang dihadirkan pun menjadi lebih terdengar karena suara dari luar akan terhalau oleh ANC. Dengan volume penuh, suara luar akan terasa terisolasi dan akan memberikan suara yang bagus.

Daya tahan baterai dari TWS ini juga cukup baik saat tidak menyalakan ANC-nya. Selain itu, IP4x juga menjamin bahwa perangkat ini tidak rusak akibat terkena keringat di telinga. Latensi pada perangkat ini juga cukup kecil yang membuatnya pas untuk bermain game.

Untuk semua fitur yang dihadirkan, Huawei menjual Freebuds 4 dengan harga Rp. 2.199.000. Dengan harga tersebut, konsumen akan mendapatkan sebuah TWS Open-fit yang terasa pas untuk semua telinga berkat ANC 2.0-nya. Huawei menjual TWS ini pada jalur distribusi mereka baik online maupun offline.

Sparks

  • Teknologi ANC yang membuat TWS ini mirip in-ear
  • Kualitas suara yang dihasilkan bagus
  • Desainnya cukup nyaman di telinga
  • Aplikasi AI Life menyediakan fungsi yang cukup lengkap
  • Latensi kecil yang nyaman untuk bermain game

Slacks

  • Suara yang dihasilkan terasa kurang keras
  • Daya tahan baterai, terutama dengan ANC, kurang lama

[Review] Xiaomi Poco F3, Performa Flagship dengan Harga Setengahnya

Smartphone besutan Xiaomi dikenal punya harga terjangkau dengan membawa spesifikasi yang tinggi di kelasnya. Termasuk Poco, namun perbedaannya dengan lini produk Xiaomi yang lain ialah Poco berfokus pada kecepatan yang nyata.

Kali ini DailySocial Gadget akan mengulas Poco F3 yang digadang-gadang sebagai flagship killer. Julukan tersebut bukan tanpa alasan, sebab smartphone 5G yang ditenagai chipset flagship Qualcomm Snapdragon 870 ini dilepas dengan harga mulai dari Rp4.999.000.

Selain itu, nilai jual utama dari Poco F3 ialah kualitas premium audio visual-nya. Ia mengemas panel AMOLED E4 6,67 inci FHD+ dengan refresh rate tinggi 120Hz dan memiliki dual speaker stereo Dolby Atmos.

Dari dua kombinasi ini saja sudah jelas, siapa yang cocok menggunakan Poco F3 yakni mereka yang mementingkan performa dan penikmat film. Untuk mencapai harga tersebut, tentunya ada beberapa fitur yang disesuaikan. Apa lebih dan kurangnya? Siamak review Xiaomi Poco F3 berikut ini.

Performa Flagship

Review-Xiaomi-Poco-F3-2

Pertama mari perjelas posisi dari Qualcomm Snapdragon 870, sebagai bagian dari Snapdragon 8 series, artinya chipset ini dirancang untuk smartphone kelas atas. Namun perlu diketahui bahwa ia tidak mengusung teknologi mutakhir seperti yang terdapat pada Snapdragon 888 dan 888+.

Snapdragon 870 dibuat dengan dasar yang sama seperti chipset flagship tahun lalu yakni Snapdragon 865 dan 865+. Diproduksi pada pabrik TSMC menggunakan proses fabrikasi 7nm, dengan CPU Kryo 585 berbasis Cortex A-77, dan GPU Adreno 650.

Perbedaannya clock speed prosesor Kryo 585 pada Snapdragon 870 telah ditingkatkan kecepatannya hingga 3,2 GHz. Naik dari 2,84 GHz pada Snapdragon 865 dan 3,1 GHz untuk Snapdragon 865+.

Selebihnya spesifikasi lainnya identik, termasuk penggunaan modem 5G Snapdragon X55 yang sudah mendukung Sub-6 dan mmWave. Serta, AI Engine generasi ke-5 dengan prosesor Hexagon 698 dan Tensor Accelerator yang menghasilkan performa 15 tera operations per second (TOPS).

Lalu, bagaimana performa smartphone Android 11 dengan MIUI 12.5 for Poco itu dalam kehidupan nyata? Seperti yang diharapkan, didukung RAM LPDDR5 hingga 8GB dan penyimpanan internal UFS3.1 hingga 256GB – Poco F3 sangat cakap dalam menangani berbagai tugas di kehidupan sehari-hari.

Mesin yang powerful untuk gaming dan pembuatan konten. Bagaimanapun Snapdragon 870 merupakan chipset Qualcomm tercepat kedua di bawah Snapdragon 888 series.

Layar AMOLED E4 6,67 inci FHD+ 120Hz

Review-Xiaomi-Poco-F3-3

Nilai jual Poco F3 selanjutnya terletak di bagian paling utama dari sebuah smartphone yakni layar. Ia mengemas panel AMOLED E4 6,67 inci FHD+ dalam aspek rasio 20:9 yang mampu menampilkan warna yang kaya dan akurat.

Bagi pecinta film, Poco F3 membawa pengalaman menonton premium ke level berikutnya. Berkat tingkat kecerahan yang diklaim mencapai 1300 nits, Anda tidak akan lagi kesulitan menonton film di luar ruangan.

Tentu saja, Poco F3 sudah mengantongi sertifikasi Widevine L1 dan HDR10+. Saya coba di Netflix, ia mendukung pemutaran video FHD HDR. Fasilitas dual speaker stereo Dolby Atmos yang imersif juga membuat pengalaman menonton semakin menyenangkan.

Biar lebih optimal lagi, Poco menyediakan fitur dua AI image engine. Pertama AI HDR enhancement yang dapat memberikan detail tambahan di area terang dan gelap saat menonton video HDR. Lalu kedua MEMC, yang memungkinkan konten video berjalan lebih mulus dengan teknik penambahan frame rate.

Layar Poco F3 juga mendukung color gamut 100% pada color space DCI-P3. Ditambah kerapatan kerapatan layar 395ppi, kegiatan kreatif seperti editing foto yang menuntut akurasi warna tinggi dapat dilakukan secara lebih presisi.

Keseimbangan warna di layar Poco F3 dapat disesuaikan lebih jauh sesuai preferensi pengguna lewat fitur color scheme. Ada empat opsi mode warna yakni auto, saturated, original color, dan advanced settings.

Bila memilih advanced settings, kita bisa mengatur color gamut ke enhanced, original, P3, dan sRGB. Juga ada adaptive color yang bila diaktifkan dapat menyesuaikan tampilan warna sesuai kondisi pencahayaan sekitar.

Buat keperluan gaming, chipset kencang yang dipadukan layar dengan refresh rate tinggi 120Hz dan touch sampling rate di angka 360Hz merupakan sebuah paket komplet. Dipastikan Poco F3 dapat menunjang skill dan performa dari sang gamer saat bermain game-game kompetitif. Di pengaturan layar, Poco menyediakan opsi pengaturan refresh rate 60Hz atau 120Hz.

Untuk melengkapi pengalaman gaming, Poco F3 dibekali motor linear sumbu-x yang memberikan umpan balik getaran yang realistis. Baterai 4.520 mAh dengan pengisian cepat 33W yang hanya butuh waktu 52 menit untuk mengisi penuh dan teknologi Liquid Cool 1.0 Plus untuk mendukung bermain game durasi panjang.

Desain Khas Kelas Menengah

Dua hal yang dikompromikan oleh Xiaomi pada Poco F3 ialah aspek desain dan kamera. Dari segi desain, ia mengemas desain tipikal smartphone kelas menengah dengan layar datar dan sensor sidik jari di samping bodi.

Desain Poco F3 sangat mirip dengan Redmi K40 dan Mi 11i. DotDisplay dengan bezel layar yang lumayan tipis dan punch hole kecil untuk kamera depan di atas bagian tengah. Sedangkan kamera belakangnya mengadopsi desain halo ring, meski susunannya berbeda dengan Mi 11 series dan cukup menonjol.

Build quality-nya bagus, meski bingkainya dari plastik tetapi yang berkualitas tinggi. Hadir dengan ketebalan 7,8 mm, bobot 196 gram, dan punya sudut-sudut yang agak membulat – Poco F3 terasa solid dalam genggaman tangan.

Bagian depan dan belakangnya juga sudah diproteksi Gorilla Glass 5. Tersedia dalam warna klasik arctic white dan night black, serta deep ocean blue yang tampil lebih unik dan menonjol seperti yang saya uji. Ketiganya memiliki finishing glossy yang mudah ditempeli noda sidik jari. Solusinya sudah disediakan Poco, cukup pakai casing pelindung bawaannya.

Untuk kelengkapan di sekeliling bodinya, tombol power dan volume ditempatkan di sisi kanan dan sisi kirinya polos. Di sisi atas ada earpiece yang berfungsi ganda sebagai speaker kedua dan IR blaster. Lalu, di bawah ada SIM tray dengan dua slot nano SIM tanpa slot microSD, port USB-C, mikrofon, dan speaker.

Kamera 48MP

Review-Xiaomi-Poco-F3-10

Ini yang membedakan Poco F3 dengan perangkat lain yang ada di pasar, ia tidak menonjolkan aspek kamera. Meski begitu bukan berarti kemampuan kamera Poco F3 sekadarnya, hanya saja konfigurasi kameranya mengalami penyesuaian.

Poco F3 mengemas tiga kamera di belakang, dengan kamera utama 48MP di bawah lensa wide 25mm f/1.8 dan mengandalkan sensor Sony IMX582 berukuran 1/2 inci dengan piksel 0,8 µm. Sebagai pembanding, kamera utama Mi 11 Lite yang dibanderol tiga jutaan saja sudah menggunakan sensor 64MP.

Seperti biasa, dengan teknologi quad-bayer 2×2, maka secara default hasilnya 12MP dengan piksel 1.6µm. Sisanya meliputi kamera ultra wide 8MP f/2.2 dengan sensor Sony IMX355, kamera macro 5MP f/2.4 menggunakan sensor Samsung S5K5E8 untuk bidikan jarak dekat 3-7 cm, dan kamera depannya 20MP f/2.5.

Untuk aplikasi kamera Poco F3, antarmukanya khas seperti perangkat MIUI. Peralihan antar mode bisa dilakukan dengan mengusap ke kiri dan kanan, dengan pintasan zoom antara ultrawide, 1x, dan 2x. Lalu, pada sisi sebrang tombol rana – ada pengaturan flash, HDR, AI, filter, Google Lens, dan opsi pengaturan lainnya.

Fitur kamera yang tersemat sangat lengkap, meliputi photo, portrait, video, dan pro. Lalu pada opsi ‘more’ ada 12 mode tambahan, meliputi night, 48MP, short video, panorama, documents, vlog, slow motion, time-lapse, dual video, movie effects, long exposure, dan clone. Berikut beberapa contoh hasil jepretan Poco F3:

Perekaman videonya mendukung hingga resolusi 4K pada 30fps dan 1080p dengan frame rate 30/60fps. Poco menjejalkan tiga mikrofon di dekat modul kamera belakang yang mampu menangkap suara sekitar 360 derajat dan mengisolasi suara untuk menghilangkan noise latar belakang.

Verdict

Review-Xiaomi-Poco-F3-11

Dari uraian di atas, sekarang kita sudah mengetahui lebih dan kurangnya Poco F3. Ia fokus pada kecepatan, chipset Snapdragon 870 tidak tanggung-tanggung dalam memberikan performa besar yang nyata. Cocok buat mereka yang mengidamkan performa gahar dengan budget terbatas, Poco F3 cuma dibanderol dengan harga setengah dari kebanyakan smartphone flagship.

Pengalaman pengguna premium juga diperoleh berkat kualitas layar AMOLED-nya, maksimal untuk menikmati hiburan – baik nonton film maupun gaming, serta mampu menunjang kegiatan pembuatan konten kreatif. Semua kelebihan itu dikemas dalam desain tipikal smartphone kelas menengah dengan layar datar dan sensor sidik jari di samping.

Namun jika fotografi sangat penting bagi Anda, Poco F3 mungkin bukan jawaban yang Anda cari – ia tidak menawarkan kemampuan kamera terbaik. Bukan jelek, fitur-fiturnya kameranya juga tetap komplet, hanya saja konfigurasi kameranya kurang mentereng. Bila memilih Poco F3 sebagai daily driver, Anda harus sedikit kompromi dengan desain dan kamera, untuk mendapatkan performa dan kualitas layar yang luar biasa.

Sparks

  • Chipset Qualcomm Snapdragon 870 yang sangat kencang
  • Layar AMOLED E4 120Hz yang kaya warna dan akurat
  • Sudah mendukung jaringan 5G
  • Harga sangat kompetitif, setengah dari smartphone flagship

Slacks

  • Desain khas kelas menengah dengan layar datar
  • Sensor sidik jari di samping
  • Konfigurasi kamera kurang mentereng

 

[Review] Realme GT Master Edition: Snapdragon 778G 5G Pertama di Indonesia dengan Desain Cantik

Realme saat ini memiliki cukup banyak seri untuk smartphone yang dijual di Indonesia. Untuk seri C, dikenal dipasarkan untuk entry level. Selain itu, ada juga seri angka yang dijual untuk pasar mainstream. Saat ini, realme juga memiliki sebuah seri yang dikenal dengan GT.

Seri realme GT yang pertama beredar secara resmi di Indonesia adalah realme GT Master Edition. Perangkat yang satu ini didesain oleh desainer kenamaan Naoto Fukasawa. Tampilan belakang smartphone ini mengadopsi gaya yang terinspirasi dari desain koper. Namun, perangkat yang datang untuk diuji Dailysocial tidak memiliki tampilan desain koper tersebut.

Realme GT ME juga merupakan smartphone pertama di Indonesia yang menggunakan chipset baru dari Qualcomm, yaitu Snapdragon 778G. Snapdragon 778G sendiri memiliki kinerja yang kurang lebih sama dengan Snapdragon 855 yang menjadi nomor satu sekitar 2 tahun yang lalu. Selain kencang, tentunya SoC tersebut sudah mendukung konektivitas 5G.

Realme GT Master Edition memiliki spesifikasi sebagai berikut

SoC Qualcomm Snapdragon 778G
CPU 1 x 2.4 GHz Kryo 670 Prime + 3 x 2.2 GHz Kryo 670 Gold + 4 x 1.9 GHz Kryo 670 Silver
GPU Adreno 642L
RAM 8 GB LPDDR4x + 5 GB Memory Expansion
Internal 256 GB UFS 2.2
Layar 6,43 inci 2400 x 1080 120Hz AMOLED
Dimensi 159.2 x 73.5 x 8 mm
Bobot 174 gram
Baterai 4300 mAh 65 watt charger
Kamera 64 MP / 16 MP utama, 2 MP Macro, 8 MP Ultrawide, 32 MP Selfie
OS Android 11 Realme UI 2.0

Untuk hasil pemindaian CPU-Z dan GPU-Z bisa dilihat pada gambar berikut ini

Fitur memory expansion tentu hadir pada perangkat yang satu ini, membuatnya memiliki ruang cache yang lega untuk menyimpan data sementara. Hal ini tentu saja membuatnya bisa digunakan untuk membuka banyak aplikasi tanpa harus tertutup di background. Satu hal yang disayangkan adalah absennya speaker stereo pada perangkat ini. Hal tersebut tentu saja mengingat harganya yang cukup tinggi.

Unboxing

Inilah yang akan ditemukan didalam kotak paket penjualannya. Realme sudah memberikan charger 65 watt langsung didalam paket penjualannya. Namun sayang, back case yang saya dapatkan bukanlah yang memiliki motif koper. Hal ini tentu saja membuat realme GT ME yang saya dapatkan menjadi kurang mewah.

Desain

Sekali lagi, saya memang cukup kecewa karena tidak mendapatkan back case dengan motif koper yang memang terlihat unik dan mewah serta berbeda dari biasanya. Saat tidak menggunakan back case tersebut, dapat dilihat desain matte yang cukup indah pada bahannya yang terbuat dari plastik polikarbonat. Warna yang saya dapatkan memiliki nama Biru Fajar atau Daybreak Blue.

Layar realme GT ME memiliki resolusi 2400×1080 pada layar dengan dimensi 6,43 inci ini serta memiliki refresh rate 120 Hz. Smartphone ini sudah menggunakan layar dengan jenis Super AMOLED namun belum diketahui pelapis apa yang digunakan. Informasi yang saya dapatkan, realme menggunakan Dragontrail dari AGC untuk memperkuat layarnya. Saya cukup menyarankan untuk mengganti lapisan anti gores yang ada pada smartphone ini dengan tempered glass atau hydrogel agar lebih kuat lagi.

Pada sisi belakangnya, terdapat ruang kotak yang berisikan tiga kamera yang memiliki desain bulat yang sama dengan LED Flash. Desain ini tentu membuat realme GT Master Edition menjadi terlihat cantik. Kamera utama dengan 64 MP berada pada bagian atas. Kamera ultrawide ada pada bagian tengah dari kotak ini. Kamera makro ada pada bawah dan LED berada persis di sebelah kanannya.

Pada bagian atasnya ditemukan sebuah microphone kedua. Tombol power ada pada sebelah kanan sendirian. Slot nano SIM serta tombol volume naik dan turun terletak pada bagian kirinya. Dan pada bagian bawahnya terdapat slot USB-C, speakerport audio 3,5 mm, serta microphone utama.

Unit realme GT Master Edition yang saya dapatkan sudah menggunakan realme UI dengan versi 2.0. Realme UI sendiri merupakan turunan dari ColorOS versi 11. Realme UI 2.0 memiliki app drawer yang bisa diakses dengan cara menggeser layar ke arah atas. Saat menggesernya ke arah bawah, maka fitur search akan muncul.

Realme GT ME juga memiliki sebuah fitur untuk melebarkan RAM 8 GB yang dimilikinya. Fitur yang bernama Memory Expansion ini akan menambahkan sebuah memori virtual dengan pilihan 2, 3, hingga 5 GB pada penyimpanan internalnya. Hal ini akan membuat sistem menaruh beberapa cache pada memori virtual sehingga RAM-nya menjadi tidak penuh.

Saat menguji, saya selalu menyalakan fitur ini agar tidak kekurangan RAM. Hasilnya, beberapa aplikasi dan game yang saya tutup tidak lagi harus mengulang dari awal saat kembali digunakan. Namun, berhati-hatilah saat menggunakan fitur ini karena akan mengurangi daur hidup penyimpanan internal dari smartphone ini. Saran saya, matikan saja saat tidak bermain game karena 8 GB sudah cukup untuk pemakaian sehari-hari.

Jaringan

Realme GT ME menggunakan chipset Snapdragon 778G yang ditujukan untuk perangkat mainstream. Untuk itu, perangkat ini sudah menggunakan modem yang sudah mendukung teknologi terkini, seperti Carrier Aggregation untuk 4G maupun 5G. Modem X53 yang digunakan oleh Snapdragon 778G juga sudah mendukung semua jaringan yang ada saat ini.

Smartphone ini sudah mendukung bandwidth 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 12, 17, 18, 19, 20, 26, 28, 38, 39, 40, 41, dan 66 untuk jaringan 4G. Sedangkan untuk jaringan 5G, realme GT ME sudah mendukung bandwidth n1, n3, n5, n7, n8, n20, n28, n38, n40, n41, n77, n78, dan n66. Dengan begitu, perangkat ini sudah mendukung semua jaringan 5G yang digunakan oleh semua operator yang sudah menggelar di Indonesia.

Untuk konektivitas WiFi, realme GT ME sudah bisa terkoneksi dengan WiFi 6 atau yang dikenal dengan 802.11 AX. Tentunya perangkat ini sudah bisa terhubung dengan jaringan 5 GHz dari sebuah router WiFi yang lebih kencang dari 802.11 AC. Kecepatannya sendiri tentunya juga lebih kencang dari WiFi pada jaringan 2.4 GHz. Walaupun WiFi 6 belum umum ditemukan di Indonesia, setidaknya perangkat ini sudah terlebih dahulu mendukungnya.

Kamera: Paduan Omnivision dan Sony IMX

Realme membenamkan tiga buah kamera pada GT Master Edition-nya. Kamera utama yang memiliki resolusi 64 MP datang dari Omnivision dengan OV64B yang memiliki filter quad bayer yang menghasilkan resolusi 16 MP. Kamera kedua adalah wideangle 8 MP yang menggunakan sensor Sony IMX 355 yang ternyata saat ini cukup umum digunakan. Terakhir adalah kamera makro dengan resolusi 2 MP dari Omnivision pula dengan OV02B10.

Pada siang hari, kamera dari Realme GT Master Edition bisa mengambil gambar dengan sangat baik. Tingkat kontras yang diberikan pas untuk ukuran saya. Noise yang dihasilkan juga cukup terjaga serta tingkat ketajamannya juga cukup baik. Kameranya juga cukup baik digunakan saat di malam hari.

Kamera berikutnya menggunakan lensa ultrawide sehingga penangkapan gambarnya lebih luas. Kamera ini mampu menangkap gambar dengan tingkat noise yang cukup rendah. Sayangnya, tingkat ketajamannya memang tidak terlalu baik.

Kamera makro yang ada pada perangkat ini memiliki resolusi yang kecil. Oleh karena itu, kameranya akan menghasilkan gambar yang seadanya saja. Jangan berharap tingkat ketajamannya akan bagus serta warna yang didapat akan akurat.

Untuk hasil selfie-nya, kamera pada realme GT Master Edition memang cukup baik. Warna yang dihasilkan juga cukup baik dan tingkat ketajamannya juga pas. Saat saya zoom hingga 100%, helai kumis dan jenggot yang saya miliki dapat tertangkap dengan baik tanpa blur yang berlebihan.

Pengujian

Realme GT Master Edition menggunakan chipset baru dari Qualcomm, yaitu Snapdragon 778G. Dengan seri 7xx, chipset ini memang didesain untuk digunakan pada perangkat high end sehingga akan memiliki kinerja yang cukup tinggi. SoC ini menggunakan 3 buah cluster yaitu Kryo 670 Prime dengan kecepatan 2,4 GHz pada cluster Prime, 3 inti prosesor Kryo 670 Gold pada cluster performa, dan 4 inti prosesor Kryo 670 Silver pada cluster efisiensi. GPU yang digunakan adalah Adreno 642L.

Lalu sekencang apa chipset Snapdragon 778G ini? Dua skenario tentu saja saya gunakan. Yang pertama sudah pasti untuk bermain game dan yang kedua dipakai untuk bekerja sehari-hari. Perangkat ini sendiri sudah saya gunakan selama tiga minggu penuh.

Bermain: Bisa High Setting

Snapdragon 778G yang digunakan oleh realme GT ME memang hadir tidak seperti SoC sebelumnya. Dengan menggunakan Prime core, membuat kinerja dari perangkat ini menjadi lebih kencang lagi. Performanya akan cukup terasa saat menjalankan beberapa game yang ada di platform Android. Hal tersebut tentu saja juga berpengaruh pada aplikasi-aplikasi yang membutuhkan resource yang tinggi.

Kali ini saya menggunakan 3 buah game untuk menguji keandalan realme GT Master Edition. Yang pertama tentu saja Genshin Impact yang masih terbukti cukup berat dijalankan di Android. Saya cukup terkejut bahwa perangkat ini bisa di setting highest dan masih mendapatkan 47 fps dan tidak terasa panas di tangan.

Game kedua adalah Marvel Future Revolution yang cukup berat dijalankan pada beberapa perangkat. Namun, realme GT ME mampu menjalankannya pada setting tertinggi dan masih mendapatkan sekitar 55 fps. Terakhir, saya bermain Pokemon Unite dan masih mendapatkan 60 fps tanpa masalah. Tentunya hal ini membuat realme GT ME sangat cocok digunakan sebagai mesin bermain game Android.

Satu hal yang kurang pada perangkat ini adalah masih menggunakan satu speaker mono saja. Tentunya hal ini cukup mengurangi kenyamanan saat bermain, walaupun sudah tersedia port audio 3,5mm untuk earphone. Saat bermain, saya menggunakan TWS yang sudah memiliki low latency dan hal tersebut membuat saya menjadi lebih nyaman saat bermain karena suara yang dihasilkan bagus.

Dengan menggunakan aplikasi GameBench, berikut adalah hasilnya

Bekerja dan Hiburan: Tidak ada masalah

Aplikasi Trello, Slack, GMail, Whatsapp, Telegram, Facebook, Tiktok, serta Chrome sudah pasti saya gunakan setiap hari tanpa henti. Selain itu, saya juga menggunakan Filmora Go untuk melakukan editing video. Hasilnya, semua aplikasi tersebut nyaman saya gunakan pada realme GT Master Edition.

Saya juga sesekali menggunakan aplikasi WPS untuk menulis artikel ini dengan menggunakan sebuah keyboard bluetooth. Hasilnya membuat saya bisa bekerja di mana saja tanpa harus membawa sebuah laptop. Tidak ada lag mau pun masalah crash  saat digunakan selama 3 minggu.

Benchmarking

Snapdragon 778G yang digunakan pada realme GT ME memang belum ada yang gunakan di Indonesia. Oleh karena itu, saya membawa beberapa chipset baru yang digunakan pada beberapa smartphone untuk mengukur seberapa cepat perangkat ini. Berikut adalah hasilnya

Jika dilihat pada perbandingan di atas, kinerja Snapdragon 778G kurang lebih sama dengan Snapdragon 860. Akan tetapi pada beberapa bagian, Snapdragon 778G justru mengunggulinya. Dimensity 1100 ternyata memiliki GPU yang lebih kencang dibandingkan dengan Adreno 642L sehingga mengungguli kinerja dari 778G. Akan tetapi secara keseluruhan, kinerja dari Snapdragon 778G memang kencang.

Uji baterai: 4300 mAh

Untuk menguji baterai dengan kapasitas 4300 mAh memang membutuhkan banyak waktu. Sayangnya, aplikasi yang ada saat ini tidak merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian smartphone tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan seperti menonton video dan mendengarkan musik serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Realme GT ME dapat bertahan hingga 19 jam 51 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 65 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang lebih 30 menit.

Verdict

Dalam meluncurkan sebuah smartphone, produsen tidak melulu mengeluarkan dengan spesifikasi yang tinggi. Desain juga menjadi sebuah bagian penting dalam menentukan pembelian sebuah smartphone. Hal tersebut juga ditawarkan realme pada smartphone terbarunya ini. Realme GT Master Edition pun bisa menjadi pilihan saat ingin bergaya sekaligus bermain game dan bekerja.

Kinerja yang ditawarkan pada realme GT Master Edition sudah tidak perlu diragukan lagi. Semua game yang ada pada sistem operasi Android bisa saya jalankan dengan setting yang tinggi tanpa lag dan panas. Kinerja seperti ini tentu saja bakal membuat pekerjaan dengan aplikasi yang ada menjadi lancar tanpa halangan. Semua itu dihadirkan pula dengan layar yang cerah dan nyaman dipandang.

Kamera yang ada pada perangkat ini bisa membuat penggunanya nyaman untuk mengambil momen sehari-hari. Tinggal “point and shoot“, perangkat ini akan mengambil gambar dengan baik. Selain itu baterai yang digunakan, walau memiliki kapasitas 4300 mAh saja, ternyata memiliki daya tahan yang panjang. Untuk mengisinya juga hanya butuh menunggu 30 menit saja.

Perangkat yang saya dapatkan menggunakan konfigurasi 8 GB + 256 GB dijual dengan harga Rp. 4.999.000. Sedangkan untuk versi 128 GB nya dijual lebih murah Rp. 300.000an saja. Dengan harga tersebut, pengguna bisa mendapatkan smartphone dengan kinerja baik, desain yang bagus, serta bisa terkoneksi dengan jaringan 5G tanpa harus menguras kantong lebih dalam.

Sparks

  • Menggunakan Snapdragon 778G yang kencang untuk game dan aplikasi
  • Daya tahan baterai yang panjang walau hanya 4300 mAh
  • Layar AMOLED yang nyaman dipandang dan cerah
  • Hasil kamera dapat diandalkan dalam segala kondisi
  • Pengisian baterai hanya 1/2 jam
  • Memory expansion yang membuat RAM lebih lega

Slacks

  • Hanya memiliki sebuah speaker saja
  • Desain Master Edition pada perangkat yang saya dapatkan tidak terasa karena bukan desain koper