Udana Permudah UMKM Raih Pendanaan dari Jalur Crowdfunding

Alternatif pendanaan untuk UMKM kini terus bertambah dengan kehadiran Udana. Startup securities crowdfunding (SCF) ini berambisi menjadi platform urun dana yang paling dipercaya di Indonesia karena mengusung transparansi penuh dari proses mitigasi hingga listing, sehingga dapat memberikan rasa kepercayaan bagi para investor.

Udana didirikan oleh Eric Wicaksono dan saat ini telah mengantongi izin usaha dari OJK dengan badan hukum PT Dana Rintis Indonesia. Perusahaan disebutkan telah memperoleh pendanaan ekuitas dengan nominal dan investor yang dirahasiakan.

Kepada DailySocial.id, Eric menuturkan ambisinya merintis Udana tak lain karena terbatasnya akses pendanaan bagi UMKM yang terus menjadi isu. Kondisi tersebut berdampak pada sulitnya para pemilik usaha saat ingin mengembangkan bisnisnya ke tahap lanjutan. Karenanya, hanya sedikit UMKM yang bisa naik kelas. Di sisi lain, minat investasi masyarakat sedang meningkat sepanjang pandemi. Masyarakat pun giat mencari alternatif instrumen untuk memperoleh pendapatan pasif melalui jalur investasi.

“Udana hadir untuk memberikan alternatif atau cara baru berinvestasi yang memberi lebih banyak pilihan dan kebebasan bagi pemodal. Kami juga turut hadir sebagai solusi meningkatkan pertumbuhan bisnis UMKM dengan mempertemukan para pebisnis dengan gagasan yang inovatif dengan calon pemodal potensial,” katanya.

Tidak dirinci secara spesifik jenis UMKM yang disasar oleh Udana. Ia hanya menuturkan, diferensiasi yang ditawarkan Udana dibandingkan pemain sejenisnya adalah pihaknya melakukan proses validasi dan kurasi yang ketat sebelum sebuah UMKM listing melalui platformnya. Ditambah, platformnya terbuka terhadap data kinerja bisnis yang dapat dipantau oleh pemodal setiap saat, termasuk saat pembagian dividen dari hasil yang akan mereka dapatkan.

Eric melanjutkan, Udana juga memberikan benefit khusus yang diberikan untuk pebisnis UMKM dan pemodal. Untuk pebisnis, mereka akan mendapat pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan bisnisnya dan akan terus dipantau secara berkala agar dapat meningkatkan kinerja usahanya. Sementara, bagi pemodal akan mendapatkan benefit, seperti membership dan lainnya yang dapat dinikmati dari masing-masing bisnis yang mereka danai.

“Udana ingin memberikan rasa sense of belonging yang membuat pemodal dapat merasakan secara langsung pertumbuhan dari bisnis yang diinvestasikan dan pastinya masih banyak kejutan-kejutan lainnya apabila menjadi salah satu pemodal di Udana.”

Proses kurasi

Dalam proses kurasi dan valuasi bisnis, perusahaan melakukan semua tahapannya dengan ketat, selayaknya yang diterapkan oleh perusahaan modal ventura, tapi dengan sedikit penyesuaian karena objek yang dikurasi adalah UMKM. Kegiatan ini dilaksanakan oleh tim analis bisnis Udana yang akan melakukan uji tuntas secara ketat (in-depth due diligence) dari aspek bisnis, legal, dan finansial dalam proses pemilihan bisnis.

Setelah bisnis berhasil listing, tim akan memantau perkembangan bisnisnya dan siap membantu pebisnis apabila terjadi penurunan performa atau membutuhkan bantuan lainnya. “Hal ini bertujuan untuk memberikan instrumen investasi yang berkualitas dan berpotensi untuk dapat dikembangkan.”

Diklaim saat ini ada enam penerbit sedang dalam tahap akhir kurasi di Udana yang mayoritas bergerak di industri kuliner. Harapannya pada akhir kuartal kedua seluruh UMKM tersebut ini dapat segera menggelar penggalangan dana. Adapun, untuk target sepanjang tahun ini bidik pendanaan untuk 20 UMKM senilai Rp40 miliar.

Industri urun dana, sambungnya, masih dalam tahap awal di Indonesia, sehingga kondisi tersebut harus dimanfaatkan dengan baik oleh ekosistem. Oleh karenanya, perusahaan bekerja sama dengan ekosistem untuk menggalakkan edukasi kepada masyarakat terkait risiko investasi yang dapat muncul ketika menaruh dananya di instrumen urun dana, kelebihan, dan kekurangannya. Terlebih, langkah tersebut selaras dengan ambisi Udana yang ingin memosisikan dirinya sebagai platform yang paling dipercaya.

“Harapannya pemodal memiliki pengetahuan dan mengetahui risiko sebelum memutuskan untuk berinvestasi di crowdfunding. Udana memiliki tujuan yang positif, yaitu ingin bersama-sama membangun ekosistem crowdfunding di Indonesia agar dapat menjadi salah satu motor penggerak perekonomian di Indonesia,” pungkasnya.

Secara industri, OJK mencatat sepanjang 2021, terdapat tujuh platform yang memperoleh izin usaha. Jumlah ini meningkat 75% dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya tercatat sebanyak empat Penyelenggara. Pada periode yang sama, jumlah penerbit/pelaku UMKM yang berhasil menghimpun dana melalui SCF juga meningkat 48,84% dari sebelumnya 129 perusahaan menjadi 192 perusahaan di 2021.

Dari sisi Pemodal SCF juga mengalami peningkatan yang signifikan, yakni sebesar 319,56% dari sebelumnya 22.341 pemodal menjadi 93.733 pemodal di 2021. Total dana yang dihimpun juga meningkat sebesar 115,48% dari Rp191,2 miliar menjadi Rp412 miliar.

Edtech Startup Dibimbing Seeks Fresh Funding Through FundEx SCF Platform

Edtech startups Dibimbing seeks fresh funding through stock securities issuance at FundEx, a securities crowdfunding startup. Dibimbing aiming for IDR 1.2 billion funding with 45 days offer period. There are 2.4 million total shares issued or the equivalent of 5% with a Rp500 price per share.

Dibimbing was founded in November 2020 by three young alumni of the University of Indonesia, Zaky Muhammad Syah, Alim Anggono, and Wildan Gunawan. The company focuses on helping users improve the abilities and skills required in the working industry. The educational programs provided are data science, digital marketing & UI/UX, business intelligent & SEO.

Indonesian digital industry’s rapid growth is faced with a major issue, the demand and availability of digital talent. World Bank’s data shows that Indonesia requires around nine million digital talents in 15 years or around 600 thousand people per year in average. If you rely only on the conventional education system, it will not meet the pace of the current industry.

As a solution to this gap, Dibimbing was developed as an edtech platform that provides digital skills learning, career preparation, and job distribution for Indonesian digital talents.

“Dibimbing has a vision to deliver unlimited digital talent as we want to help people find jobs easily and also provide them access to low-cost learning. Therefore, we need funding to scale up our product, and we need a partner to help spread the impactful work of Dibimbing for our customers,” Dibimbing’s CEO, Zaky Muhammad Syah said in an official statement.

The company’s business growth shows an upward trend. Its early days’ turnover rate was only IDR 2 million, then slowly increased to IDR 4.49 billion by the end of last year. The company has reached the BEP and make profit in the second quarter of 2021. There are 912 people who already graduated, mentored by 147 experts registeres in Dibimbing.

In the company’s prospectus, Dibimbing offers a number of benefits for its investors. In addition to capital gains, investors also get a special bonus in the form of a free investment class worth of IDR 1 million for each person.

Around 80% of the funds raised by Dibimbing will be used to improve the quality of technology-oriented products, including the use of AI to provide a better experience for its users. The remaining 20% ​​will be used to recruit the best marketing team to acquire more users

Mitigation process with FundEx

Dibimbing is the second company to raise funds through a startup pioneered by Agung Wibowo. Dibimbing’s shares are available to purchase through FundEx starting from Rp500 thousand, it will be affordable for many people.

In a separate interview with DailySocial.id, Agung explained that the company held a quite strict mitigation process with Dibimbing’s funding, from the beginning of the registration/pre-funding process to funding. Also, FundEx has been socializing the decision to issue debt or stock-based securities.

“We socialized the differences and consequences of the two securities products on the SCF platform, therefore, prospective issuers can choose securities that suit the company’s needs and strategic plans.”

He further explained, in the initial phase, prospective publishers are required to carry out an e-KYC process to ensure that the company/prospective issuer is a legal entity,” he said. After e-KYC is complete, we move on to the next stage, the process of signing an agreement between the prospective issuer and FundEx, either electronically or manually.

The goal is to ensure that if there are further obstacles to various parties in the process of offering securities to potential investors is a legal and binding agreement. Furthermore, the due diligence. Prospective publishers will be analyzed in terms of their performance, business prospects, and business risk profile.

This stage is also carried out transparently and can be monitored with prospective publishers through the FundEx platform, e-mail, or other communication media. “Every prospective issuer that passes the due diligence test and launches its securities offering on FundEx, potential investors can get a prospectus and can start funding the issuance of these securities.”

Agung continued, “Prospective investors’ funds do not go directly to the prospective issuer’s account, but are kept in an escrow account. It will only be transferred to the checking account of the prospective issuer if the crowdfunding target for the securities issued has been met. And if the funding target is not achieved, the funds from potential investors will be returned, and the securities offering will be null and void.”

FundEx targets to provide alternative funding platforms for 30 companies by the end of this year. Meanwhile, conducting intensive education through various activities on various online and offline platforms. This step is important to align the public’s understanding of the investment variants with different levels of risk.

Based on data compiled by OJK as of December 2021, the total fundraising through the SCF platform reached Rp412 billion, an increase of 115.48% compared to the same period in the previous year of Rp191.2 billion. Likewise, the number of investors in 2020 was 22,341 people, an increase of 319.56% to 93,733 in 2021.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Edtech Dibimbing Cari Pendanaan Segar Lewat Platform SCF FundEx

Startup edtech Dibimbing mencari pendanaan segar melalui penerbitan efek saham di FundEx, startup securities crowdfunding. Dibimbing menargetkan pendanaan sebesar Rp1,2 miliar dengan masa penawaran selama 45 hari. Total saham yang dilepas adalah 2,4 juta lembar atau setara 5% dengan harga per lembar Rp500.

Dibimbing berdiri sejak November 2020, oleh tiga anak muda alumni Universitas Indonesia, yaitu Zaky Muhammad Syah, Alim Anggono, dan Wildan Gunawan. Dibimbing fokus membantu penggunanya meningkatkan kemampuan dan keahlian yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Program pendidikan yang disediakan adalah data science, digital marketing & UI/UX, business intelligent & SEO.

Pertumbuhan industri digital yang begitu cepat di Indonesia, dihadapkan pada isu utama, yakni kebutuhan dan ketersediaan talenta digital. Data dari Bank Dunia menunjukkan, Indonesia membutuhkan sekitar sembilan juta talenta digital dalam 15 tahun atau rata-rata per tahun sekitar 600 ribu orang. Jika hanya mengandalkan sistem pendidikan konvensional, laju kebutuhan industri tidak akan dapat diimbangi.

Sebagai solusi dari kesenjangan ini, lahirlah Dibimbing sebagai platform edtech penyedia layanan belajar kemampuan digital, persiapan karier, dan penyaluran kerja bagi talenta digital Indonesia.

“Dibimbing punya visi mencetak talenta digital tanpa batas karena kami ingin membantu orang-orang mendapatkan pekerjaan dengan mudah dan mereka juga bisa mengakses pembelajaran yang murah. So, we need funding because we have to scale up our product, and we need a partner untuk bantuin share bahwa Dibimbing ini impactful for our customers,” ungkap CEO Dibimbing Zaky Muhammad Syah dalam keterangan resmi.

Pertumbuhan bisnis perusahaan sendiri menunjukkan tren kenaikan. Omzet perusahaan pada awal berdiri baru Rp2 juta, kemudian perlahan naik hingga mencapai Rp4,49 miliar pada akhir tahun lalu. Perusahaan sudah mencapai titik profit pada kuartal kedua 2021. Jumlah peserta yang telah lulus sebanyak 912 orang dibimbing oleh 147 mentor yang telah bergabung di Dibimbing.

Dalam prospektus perusahaan, Dibimbing menawarkan sejumlah benefit untuk para investornya. Selain capital gain, investor juga mendapat bonus spesial berupa kelas investasi gratis senilai Rp1 juta untuk setiap orang.

Sebanyak 80% dana yang digalang Dibimbing akan digunakan untuk meningkatkan kualitas produk yang berorientasi pada teknologi, termasuk pemanfaatan AI untuk memberikan pengalaman yang lebih baik bagi para penggunanya. Sisanya, sebanyak 20% akan dimanfaatkan untuk merekrut tim marketing terbaik guna mengakuisisi lebih banyak pengguna Dibimbing.

Proses mitigasi di FundEx

Dibimbing adalah perusahaan kedua yang melakukan penggalangan dana melalui startup yang dirintis oleh Agung Wibowo. FundEx sendiri menawarkan saham Dibimbing dapat dibeli mulai dari Rp500 ribu agar dapat menjangkau banyak kalangan.

Dalam wawancara terpisah bersama DailySocial.id, Agung menjelaskan proses mitigasi yang dilakukan perusahaan dalam pendanaan Dibimbing ini cukup ketat, sejak awal proses registrasi/pra pendanaan hingga pendanaan. Termasuk pula, keputusan untuk memilih menerbitkan efek berbasis utang atau saham juga disosialisasikan oleh FundEx.

“Kami mensosialisasikan perbedaan dan konsekuensi atas dua produk efek di platform SCF, sehingga calon penerbit dapat memilih efek yang sesuai dengan kebutuhan dan rencana strategis perusahaan.”

Dijelaskan lebih jauh, di fase awal calon penerbit diharuskan melakukan proses e-KYC untuk memastikan bahwa perusahaan/calon penerbit adalah badan hukum yang sah,” kata dia. Setelah e-KYC selesai, masuk ke tahap selanjutnya, yakni proses penandatanganan perjanjian antara calon penerbit dengan FundEx, baik secara elektronik maupun alternatif manual.

Tujuannya demi memastikan apabila ada kendala kepada berbagai pihak bahwa dalam proses penawaran efek ke calon investor merupakan perjanjian yang sah dan mengikat. Berikutnya, masuk ke fase uji kelayakan. Calon penerbit akan dianalisis dari segi kinerja, prospek bisnis, dan profil risiko bisnisnya.

Tahapan ini juga dilakukan secara transparan dapat dipantau bersama calon penerbit melalui platform FundEx, e-mail, atau media komunikasi lainnya. “Setiap calon penerbit yang lolos uji kelayakan dan launching penawaran efeknya di FundEx, calon investor dapat memperoleh prospektus dan bisa mulai mendanai penerbitan efek tersebut.”

Agung melanjutkan, “Dana calon investor tidak serta merta masuk langsung ke rekening calon penerbit, melainkan disimpan di escrow account. Hanya akan dipindahbukukan ke rekening giro calon penerbit apabila target urun dana atas efek yang diterbitkan telah terpenuhi. Dan apabila tidak tercapai target pendanaannya, maka dana calon investor akan dikembalikan, serta penawaran efek batal demi hukum.”

FundEx menargetkan setidaknya sampai akhir tahun ini perusahaan dapat menyediakan platform alternatif pendanaan bagi 30 perusahaan. Sembari, melakukan edukasi yang intensif melalui berbagai kegiatan di berbagai platform online dan offline. Langkah tersebut penting untuk meluruskan pemahaman masyarakat mengenai ragam dunia investasi yang memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh OJK per Desember 2021, total penghimpunan dana melalui platform SCF mencapai Rp412 miliar atau meningkat 115,48% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp191,2 miliar. Begitu pula dengan jumlah pemodal pada 2020 sebanyak 22.341 orang, meningkat sebesar 319,56% mejadi 93.733 di 2021.

Startup SCF FundEx Resmi Beroperasi, Incar Bisnis Digital Peroleh Alternatif Pendanaan

FundEx meramaikan jajaran pemain securities crowdfunding (SCF) dalam menyediakan alternatif pendanaan untuk UKM, sekaligus alternatif investasi bagi investor ritel. Startup ini telah mengantongi izin usaha dari OJK per 6 September 2021, direncanakan segera meresmikan diri ke publik pada akhir Oktober 2021.

FundEx didirikan pada 2019 oleh Agung Wibowo, Purwanto, dan Tri Mukhlison yang merupakan rekan satu almamater di Universitas Indonesia. Awalnya mereka tergerak untuk membangun ekosistem pendanaan untuk startup, setelah mendapat sosialisasi tentang equity crowdfunding (ECF) dari OJK. Kemudian pada 2020, OJK menyempurnakan aturan ECF menjadi SCF melalui POJK 57, sekaligus menggantikan peraturan sebelumnya, yakni POJK 37.

“Dengan diberlakukannya POJK 57 ini, model bisnis FundEx berubah. FundEx tidak hanya dapat menyelenggarakan penawaran efek bersifat ekuitas saja, tetapi juga efek bersifat utang, yaitu obligasi dan sukuk,” ucap Co-founder dan CEO FundEx Agung Wibowo kepada DailySocial.id.

Dia melanjutkan, dibandingkan pemain sejenisnya, diferensiasi yang ditawarkan FundEx adalah mereka lebih spesifik mencari bisnis digital yang kreatif dan inovatif dengan pertumbuhan yang tinggi, bahkan eksponensial. “Berinvestasi pada startup adalah keunggulan yang FundEx miliki, di mana pemain SCF lain tidak mengambil pasar tersebut.”

Melalui FundEx, bisnis bisa mendapatkan pendanaan mulai dari Rp1 miliar hingga Rp10 miliar. Masyarakat sebagai investor ritel akan mendapatkan kepemilikan saham dari bisnis yang berupa startup, sehingga berpeluang memperoleh dividen bahkan capital gain yang bersifat eksponensial.

Sementara bisnis yang berupa UMKM, seperti bisnis indekos, restoran, minimarket, akan mendapatkan dividen sharing secara rutin, setidaknya setahun sekali. Ada pula bisnis yang berupa proyek, yang memungkinkan investor ritel memperoleh pembagian hasil dari profit yang proyek tersebut dapatkan.

Mitigasi risiko

Setiap jenis bisnis memiliki instrumen investasi yang berbeda, ada yang efek bersifat ekuitas (EBE) untuk berinvestasi pada startup dan UMKM. Sementara untuk bisnis yang berjenis proyek, instrumen investasinya berupa obligasi dan sukuk, yang merupakan efek bersifat utang (EBU).

Tiga instrumen investasi yang FundEx tawarkan dapat menjadi alternatif investasi dan melakukan diversifikasi bagi para investor sesuai dengan profil risiko masing-masing. Sesuai dengan dorongan OJK, investor yang memiliki penghasilan kurang dari Rp500 juta/tahun, hanya bisa menginvestasikan 5% dari seluruh penghasilan tahunannya. Sementara, untuk mereka dengan penghasilan tahunan di atas Rp500 juta, bisa menginvestasikan antara 5%-10% dari penghasilan tahunannya.

Selain itu bagi sisi bisnis itu sendiri, FundEx juga melakukan langkah mitigasi sebelum suatu bisnis dapat melakukan penggalangan dana. Agung menerangkan, untuk EBU, keamanan lebih terjamin daripada yang bersifat ekuitas karena yang bersifat utang tentunya harus dikembalikan. “Kami harus memastikan bahwa penerbit memiliki kemampuan untuk mengembalikannya.”

Untuk aspek keamanan, perusahaan bekerja sama dengan perusahaan asuransi, serta meminta jaminan. Sementara untuk EBE, umumnya ada yang meminta dividen sharing dan capital gain. Jika ada yang mengarah ke dividen sharing, FundEx akan bermain di property management, jadi harus ada penguasaan aset.

“Baiknya properti yang bisa kami jadikan aset di perusahaan. Jadi misalkan perusahaan tersebut bangkrut, asetnya bisa kami likuidasi dan bisa kita kembalikan lagi ke pemodal.”

Dia melanjutkan, untuk investasi ke startup yang termasuk dalam kategori risiko tinggi, proses kurasinya akan jauh lebih ketat. Oleh karenanya, FundEx akan lebih selektif dan efek jenis ini akan dikeluarkan secara terbatas, sekitar tiga sampai lima startup per tahun.

“Karena kami yakin bahwa startup ini tidak punya banyak aset untuk diagunkan, tidak punya kepemilikan tanah, dan sebagainya. Yang bisa kami andalkan adalah bagaimana prospek mereka ke depan. Selain itu, tim atau founder startup juga akan sangat kami perhatikan. Apakah mereka punya masalah keuangan atau tidak.”

Menurutnya, semua indikator tersebut dapat dipantau melalui Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) yang telah bekerja sama dengan FundEx. “Dari situ kami bisa lihat apakah startup tersebut punya catatan keuangan yang buruk atau tidak.”

Agung menuturkan, agar dapat mengakomodasi lebih banyak usaha memperoleh alternatif pendanaan di luar perbankan. Untuk itu, pihaknya akan terus melakukan pendekatan ke penerbit, asosiasi, hingga komunitas-komunitas pengusaha. “Untuk efek bersifat utang, FundEx akan banyak bermain di ranah konstruksi, terutama untuk proyek-proyek yang sudah memiliki jaminan SBK dari pemerintah, yang kami nilai lebih aman dari segi risikonya.”

Mengingat perusahaan baru bisa beroperasi setelah mendapatkan izin, sejauh ini perusahaan sudah menerima aplikasi lebih dari 100 penerbit. Dari jumlah tersebut, ada dua penerbit yang sudah melalui uji kelayakan (due dilligence). “Pada akhir bulan ini [saat grand launching] kami akan luncurkan dua penerbit yang sudah ready to invest,” tutup Agung.

Bizhare Meluncurkan Aplikasi Mobile, Bidik Pertumbuhan Pengguna dan Investasi Berulang

Platform securities crowdfunding Bizhare resmi meluncurkan aplikasi mobile miliknya. Dengan kehadiran aplikasi ini, mereka membidik pertumbuhan investornya sebesar 5-10 kali lipat.

Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent mengatakan, Bizhare telah mengantongi traksi dan tingkat investasi berulang yang baik sejak pertama kali berdiri. Aplikasi ini diharapkan dapat terus menjaga tren investasi berulang tersebut. Mereka juga mengatakan ada kebutuhan pendanaan pada 1.200 calon penerbit bisnis UKM sebesar Rp100 triliun dan Rp2,4 triliun kebutuhan pendanaan calon penerbit khusus bisnis berbasis syariah.

“Pertumbuhan penerbit dan calon penerbit Bizhare mendorong kami mengembangkan sistem lebih baik lagi lewat aplikasi. Kami harap inovasi ini dapat memudahkan proses pendanaan bisnis, terlebih minat investasi di usia produktif sedang meningkat di mana 80% di antaranya mengakses mobile,” ungkapnya saat konferensi pers virtual pekan lalu.

Berdiri sejak 2017, Bizhare menawarkan instrumen investasi lengkap mulai dari saham, obligasi, hingga sukuk. Profil pengguna Bizhare juga berasal dari beragam sektor bisnis, yaitu F&B (41,8%), ritel (29,1%), agrikultur (18,2%), dan jasa (9,1%).

Berdasarkan data perusahaan, Bizhare mencatat pertumbuhan investor aktif sebesar 346% dan 166% untuk investor terdaftar. Total omzet yang dihasilkan penerbit UMKM di Bizhare mencapai Rp82 miliar, dengan total dividen sebesar Rp5,4 miliar dividen. Adapun, total investasi di Bizhare mencapai Rp50,6 miliar dari 73.400 investor kepada 57 penerbit.

Dari survei internal yang dilakukannya, CTO Bizhare Giovanni Umboh mengatakan, investor Bizhare lebih banyak mengakses mobile web (79,5%), sedangkan sisanya memakai perangkat dekstop (20,5%). “Sebelum memutuskan upgrade menjadi aplikasi, pertumbuhan investor kami di 2018 sangat signifikan. Maka itu, kami coba mengembangkan aplikasi demi meningkatkan kualitas layanan, fitur, dan keamanan pengguna Bizhare,” tambahnya.

Potensi securities crowdfunding

Hadir dalam kesempatan sama, Managing Director Plug & Play Indonesia Wesley Harjono mengatakan pasar securities crowdfunding di Indonesia dapat dikembangkan lebih besar agar industri fintech tak hanya terpusat pada layanan peer-to-peer (P2P) lending saja.

“Saya melihat banyak potensi dari para founder di Indonesia dalam merealisasikan mindset dan komitmen mereka. Saya pikir securities crowdfunding punya potensi besar, apalagi industri dan inovasinya masih terbilang baru. Regulator pun sangat memberikan dukungan,” ujarnya

Secara umum, pasar SCF di Indonesia masih terlampau jauh dengan P2P lending. Total penyaluran P2P per 31 Juli 2021 mencapai Rp236,47 triliun dengan jumlah lender 709.000 dan jumlah borrower sebanyak 66,7 juta. Adapun, total P2P legal yang terdaftar maupun berizin di OJK sebanyak 124 perusahaan.

Sementara, OJK mencatat total dana yang dihimpun dari securities crowdfunding per 23 Juli 2021 baru sebesar Rp313,56 miliar. Jumlah penyelenggara yang sudah terdaftar maupun mengantongi izin usaha dari OJK masih terhitung jari, antara lain PT Dana Saham Bersama (Dana Saham), PT Santara Daya Inspiratama (Santara), PT Investasi Digital Nusantara (Bizhare), PT Numec Teknologi Indonesia (LandX), PT Crowddana Teknologi Indonusa (Crowddana).

Platform Penerbit Investor Dana Dihimpun
Santara 89 23.445 Rp149,7 miliar
Dana Saham 37 N/A N/A
LandX 15 5.200 Rp84 miliar
Crowddana 9 3.249 Rp35,7 miliar

Mengutip Bisnis.com, Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2B OJK Ona Retnesti Swaminingrum sebelumnya mengungkap bahwa pasar semakin antusias terhadap skema penawaran efek lewat layanan urun dana berbasis teknologi atau securities crowdfunding (SCF). Menurutnya, respon positif pasar sejalan dengan diri

Antusiasme ini sejalan dengan dirilisnya peraturan baru terkait SCF karena kini bisa memperluas akses permodalan ke sektor UKM. Peraturan ini juga memperluas jenis efek yang ditawarkan lewat crowdfunding, tak cuma efek saham, ada efek bersifat surat utang dan sukuk (EBUS).

Application Information Will Show Up Here

Discovering the Prospect of Securities Crowdfunding for Startup Ecosystem

OJK’s act to expand alternative capitals for SMEs from equity crowdfunding (ECF) to securities crowdfunding (SCF) should be appreciated as the previous regulation had many cracks that did not accommodate SMEs, which were most are yet to be a form of limited liability companies.

The detailed regulations are contained in POJK 57/2020 concerning Securities Offerings through Information Technology-Based Crowdfunding Services, replacing POJK 37/2018 which has a limited concern to stock-based crowdfunding services and Islamic stocks.

The regulation, which contains 13 chapters and 92 articles, contains the detail of licensing, business activities, obligations and prohibitions, reporting, practice of securities offering and trading, also sanctions.

The extension does not necessarily eliminate the presence of the ECF. Chairman of the Indonesian Association of Crowdfunding Services (ALUDI) Reza Avesena, who is also the Co-Founder and CEO of Santara, emphasized that the ECF function still exists and remains an alternative that can be of interest to publishers and investors.

“With SCF, organizers can issue securities not only based on equity but also based on debt or sharia-compliant stocks (will be referred to as sukuk). It is spelled on Article 91,” he explained to DailySocial.

Avesena explained that the issuance of sukuk has now adopted what is applied by the capital market regulator. The requirements used by the IDX for issuing sukuk, such as the role of DPS (Sharia Supervisory Board) or ASPM (Capital Market Sharia Expert) recommended by DSN MUI, the role of sharia custodian banks, and the role of KSEI as custodian.

Furthermore in this SCF service contains several important points:

A. Bidding duration: 12 months (one time or more)
B. Securities offered: Equity securities, debt securities, and sukuk
C. Bidding value: Up to IDR10 billion
D. Offer period (each offer): 45 days
E. Offer is null and void: If the minimum fund is yet to fulfill, the offer is null and void.
F. Equity Securities: It is prohibited to use more than 1 provider
G. EBUS (Debt Securities and/or Sukuk): It is prohibited to raise new funds through the LUD before the Issuer fulfills its obligations to investors (except for EBUS progressive offers)
H. Cancellation offer: Issuers can cancel offers of securities before the end of the offering period by paying a penalty to the operator

CORE Indonesia’s economist, Yusuf Rendy Manilet said that the presence of SCF is a positive step for the domestic capital market because it can increase the amount of raising funds from the capital market. In addition, SCF has deepened the variety of instruments in the capital market as there are many financing instruments that have not been fully explored.

“This is a good thing, especially for the small and medium enterprise sector which is often hampered by capital issues. The impact will certainly be in line with the government’s efforts to deepen ownership of domestic investors,” he explained as quoted from Bisnis.com.

Bank Permata’s VP Economist, Josua Pardede agreed on this. He said the emerging SCF will have a positive impact on the capital market in line with the increasing demand for shares from domestic investors. This is clearly visible as the increasingly limited impact of foreign investors’ entry and exit on stock movements.

“SCF will deepen the stock market and encourage the empowerment and corporatization of SMEs,” he said.

Sumber: Depositphotos.com
Source: Depositphotos.com

The story behind ECF to SCF

Amvesindo’s Chairman, Edward Chamdani said that OJK’s reason for issuing POJK 37/2018 was due to the regulator’s decision to issue an ECF that is yet to fully understand the coverage. After issuing the POJK, the association provides insights from venture capital, for example, mandatory convertibles (mandatory convertible bonds) count as equity. Meanwhile, in the capital market, it is still considered a loan as long as it’s not the due date.

The concept differences occur as the regulations in the capital market are stiffer in regards to the regulations at the Ministry of Law and Human Rights. Also, after the issuance of POJK 37, there’s still a crack which finally completed by OJK through POJK 57. He saw OJK’s concern to the insights from Amvesindo that securities such as bonds or KIK participation units could be secured.

“Instead of making a circular, OJK finally made POJK 57, which is embedded with POJK 37. Therefore, securities instruments with a more open characteristic can be crowdfunded, not just equity,” he said as contacted by DailySocial.

Sumber: Amvesindo
Source: Amvesindo

He continued, the thing about SCF is it can be a new breakthrough for the startup ecosystem because it can be an attractive medium for angel investors, VCs, or accelerators expecting to collaborate with SCF organizers and fund SMEs.

There are many possibilities, for example, creating a joint venture company that functions as a pool of funds with a more open characteristic to invest in companies that are included in the SCF platform. Next, to be empowered by the accelerator players for a class upgrade and enter the accelerator board on the IDX. It could also be an angel investor or VC who directly injects funds for these SMEs.

Venture capital that does not adhere to a growth mindset can also invest. The SME businesses that enter the SCF platform are curated, not haphazard, and have stronger business fundamentals than most technology startups oriented towards “burn money” strategies.

Growth mindset-oriented venture capital companies also present. The misconception that VC is only interested in entering technology startups can also be suppressed as they start to look into many sectors. These possibilities can occur because there is a wider range of investors involved.

In terms of regulations, OJK is being more strict for SCF players than p2p lending, which still finds fraudulent investment because some players are foreign and have no representative offices in Indonesia. In fact, OJK does not enforce any provisions for registered status, the operator must have a new license to operate.

The requirements to obtain a license are very serious, not limited to understanding the business model, but must be ISO 27001 and audited by a committee that is a member of the IDX. “Because this is a mini stock exchange for private investors, we have to be strict from the start.”

Upgrade to SCF

OJK recorded issuing four operating licenses to four companies until the end of last year. They are Santara, Bizhare, Crowddana, and LandX. In total, these four companies have raised IDR185 billion in funds.

Meanwhile, OJK has noted that there are 16 prospective operators still in the ECF licensing process and three prospective organizers in the SCF licensing process. Two of the three referred to are Santara and Bizhare. “It’s in the final stage, hopefully, it can be issued [permit] this February,” Avesena said.

Santara has prepared a number of plans, for instance, for the issuance of sukuk, it has obtained a recommendation regarding the TAS (Sharia Expert Team) from the MUI DSN. However, even if the permit has been issued, the company will not immediately focus on SCF this year as it has first chosen to focus on issuing ECF.

“Because the ECF business model is very mature in our internal. However, that does not mean we will not issue sukuk, it is more necessary to educate the market and the audience first.”

Bizhare’s Founder and CEO, Heinrich Vincent said to DailySocial that the company chose to transform into SCF, not a pivot, in order to develop a pre-existing business model.

“Indeed, it is intended to make it easier for the community, especially SME businesses, to obtain capital with a more diverse choice of schemes. To be able to support Indonesia’s economic development and open up wider employment opportunities.”

Sumber: Bizhare
Soure: Bizhare

He continued, Bizhare’s SME business that received funding through the ECF scheme will continue to run and the company alone delivers innovations for the category in this service product by releasing Secondary Market services which will be released in early February 2021.

This service is a strategy to increase the liquidity of the issuer’s shares, as well as an exit strategy for investors. In an official statement today (3/2), Heinrich explained the benefits of the Secondary Market for SME publishers, to buy back their shares in the Secondary Market, if there are investors who want to sell their shares.

This way, a mature financial service system will be democratized, such as the capital market, which was initially only accessible to the upper-middle class, now accessible to SMEs throughout Indonesia. Investors can conduct transactions (bidding) and offer (shares) safely and conveniently.

“Bizhare Secondary Market is available for publishers operating at least a year, have been registered with KSEI, and/or are in accordance with the resolution of the GMS of Issuers. The Secondary Market will be opened every 6 months with the Secondary Market opening for 10 working days,” Vincent said.

Vincent is optimistic that SCF will make it easier for SMEs to choose the type of funding that suits their preferences, whether it’s in stocks, bonds or sukuk. In terms of requirements, the issuers are not only for limited liability companies, but also for cooperatives, CVs, and so on.

“We’ll continue to provide stock offerings for an increasingly attractive and diverse array of SME businesses. Currently, Bizhare is opening funding for various businesses that can be invested starting from IDR 50,000 per share. We are optimistic that there will be many businesses of Indonesian youth to grow rapidly thanks to our services as SCF, therefore, the development of Indonesian economy will be even more extraordinary.”

Bizhare is targeting more than 200-300 UKM to open funding through Bizhare this year. In terms of investor, the total investment value is expected to grow between 5-10 times. This target is to achieve with company innovation not only through expanding services to SCF but also additional types of businesses besides SMEs and franchisees, including technology startups.

“In terms of product, we will soon launch a new feature, it’s the business profile for prospective publishers can easily apply for funding and list their profile on Bizhare. In addition, the application for Android and iOS are targeted to launch this year.”

Vincent continued, “There are various strategic partnerships with various parties to be announced in the near future. In terms of funding, we’re to start discussing with various investors and VCs to join Series A funding by the end of 2021. ”

Massive education is necessary

The SCF market potential can be measured from the 60 million estimated number of MSMEs. In order to pursue this, ALUDI has a lot of homework to do. Industry optimism needs to be followed by massive education from all stakeholders in order to create a healthy ecosystem as the opportunities will get wider.

Avesena said financial literacy, integrity, legality, and understanding of the capital market have to be improved from an SME business perspective. Meanwhile, as the investors, literacy in understanding investment risk should be enhanced. It is considering each investment instrument has a different level of risk and level of understanding.

Another thing that needs to be upgraded is a public trust and lack of talent in the financial industry. Chamdani emphasized that in terms of educating investors, they should not be mistaken because this is a new investment instrument, such as stocks but not as liquid as stocks and the issuing company is relatively new.

“However, this is attractive because it contributes to SMEs, they have a fundraising route where banks or other financial institutions cannot be involved. That is an opportunity.”

He expects that if this instrument becomes more attractive to SMEs, the costs for listing securities in KSEI will be cheaper. Moreover, KSEI is currently promoting scriptless securities registration with ongoing system updates.

“KSEI’s potential could be a scriptless pattern for private companies to become a breakthrough, but the cost issue could be a burden on the platform, this becomes a concern.”

In terms of the perpetrators, Vincent said that the company prepares various programs every week to provide information about SCF online for investors. “We are actively working with the seller community, starting from the SME business community, seller marketplaces, and many others to educate business people in terms of strategies to develop their business through Bizhare funding,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

Meneropong Prospek “Securities Crowdfunding” Bagi Ekosistem Startup

Langkah OJK memperluas alternatif pencarian dana buat UKM dari equity crowdfunding (ECF) menjadi securities crowdfunding (SCF) patut diapresiasi karena aturan sebelumnya punya banyak lubang yang belum mengakomodasi UKM yang mayoritas belum berbentuk Perseroan Terbatas.

Aturan sudah detil tertuang di POJK 57/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi, menggantikan POJK 37/2018 yang semula hanya mengatur layanan crowdfunding berbasis saham dan saham syariah.

Beleid yang memuat 13 bab dan 92 pasal ini tersebut secara rinci bagaimana perizinan, kegiatan usaha, kewajiban dan larangan, pelaporan, praktek pelaksanaan penawaran dan perdagangan efek, hingga sanksi.

Perluasan ini tak lantas menghapuskan kehadiran ECF. Ketua Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI) Reza Avesena, yang juga merupakan Co-Founder dan CEO Santara, menegaskan bahwa fungsi ECF masih tetap ada dan tetap menjadi alternatif yang bisa diminati oleh penerbit maupun pemodal.

“Dengan SCF, penyelenggara bisa menerbitkan efek tidak hanya berbasis equity, namun juga berbasis utang atau sukuk. Bisa dilihat dari Pasal 91,” terangnya kepada DailySocial.

Reza juga menerangkan penerbitan sukuk kini mengadopsi apa yang diterapkan oleh regulator pasar modal. Instrumen persyaratan yang digunakan BEI untuk penerbitan sukuk, seperti peranan DPS (Dewan Pengawas Syariah) atau ASPM (Ahli Syariah Pasar Modal) yang direkomendasikan oleh DSN MUI, peran bank kustodian syariah, dan peran KSEI sebagai kustodian.

Lebih jauh dalam layanan SCF ini memuat beberapa poin penting:

A. Jangka waktu penawaran : 12 bulan (1 kali atau beberapa kali penawaran)
B. Efek yang ditawarkan : Efek bersifat ekuitas, efek bersifat utang, dan sukuk
C. Nilai penawaran : Maks Rp10 miliar
D. Masa penawaran (tiap penawaran ) : 45 hari
E. Penawaran batal demi hukum : Jika minimum dana tidak terpenuhi, penawaran batal demi hukum.
F. Efek bersifat ekuitas : Dilarang menggunakan lebih dari 1 penyelenggara
G. EBUS (Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk) : Dilarang melakukan penghimpunan dana baru melalui LUD sebelum Penerbit memenuhi kewajibannya kepada pemodal (kecuali untuk penawaran EBUS secara bertahap)
H. Pembatalan penawaran : Penerbit dapat membatalkan penawaran efek sebelum berakhirnya masa penawaran dengan membayar denda kepada penyelenggara

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan kehadiran SCF merupakah langkah positif untuk pasar modal domestik karena dapat memperbesar jumlah penghimpunan dana dari pasar modal. Selain itu, SCF semakin memperdalam variasi instrumen yang ada di pasar modal sebab dinilai masih banyak instrumen pembiayaan yang belum tergali secara maksimal.

“Ini merupakan hal yang bagus, terutama untuk sektor usaha kecil menengah yang kerap terganjal masalah permodalan. Dampaknya juga tentu akan sejalan dengan upaya pemerintah memperdalam kepemilikan investor domestik,” terangnya seperti dikutip dari Bisnis.com.

VP Economist Bank Permata Josua Pardede berpendapat sama. Menurutnya kemunculan SCF akan berimbas positif bagi pasar modal seiring meningkatnya permintaan saham dari investor domestik. Hal tersebut terlihat dari semakin terbatasnya dampak keluar masuk investor asing dalam pergerakan saham.

“SCF akan meningkatkan pendalaman pasar saham serta mendorong pemberdayaan dan korporatisasi UKM,” ujarnya.

Sumber: Depositphotos.com
Sumber: Depositphotos.com

Cerita awal ECF menjadi SCF

Ketua Amvesindo Edward Chamdani menceritakan asal mula OJK menerbitkan POJK 37/2018 karena adanya keinginan regulator untuk menerbitkan ECF tapi belum mengerti untuk area apa saja. Setelah menerbitkan POJK, asosiasi memberikan masukan dari sisi modal ventura, misalnya mandatory convertible (obligasi wajib konversi) terhitung sebagai ekuitas. Sementara, di pasar modal masih dianggap pinjaman selama belum jatuh tempo.

Perbedaan konsep ini terjadi karena peraturan di pasar modal yang lebih kaku karena berkaitan dengan peraturan di Kemenkumham. Pun, setelah POJK 37 diterbitkan masih ada lubang yang akhirnya dilengkapi OJK melalui POJK 57. Dia melihat OJK memperhatikan masukan dari Amvesindo bahwa efek seperti obligasi atau unit penyertaan KIK dapat disekuritaskan.

“Daripada buat surat edaran, akhirnya OJK membuat POJK 57 yang isinya sudah embedded dengan POJK 37. Jadi instrumen-instrumen efek yang sifanya lebih open bisa di-crowdfunding-kan, enggak sebatas ekuitas saja,” tuturnya saat dihubungi DailySocial.

 

Sumber: Amvesindo
Sumber: Amvesindo

Dia melanjutkan, menariknya SCF dapat menjadi suatu gebrakan baru buat ekosistem startup karena bisa menjadi medium menarik buat angel investor, VC, atau accelerator yang ingin bekerja sama dengan penyelenggara SCF dan mendanai UKM.

Banyak kemungkinan yang kemungkinan bisa terjadi, misalnya membuat perusahaan patungan sendiri yang berfungsi untuk pool of fund dengan sifat lebih open untuk berinvestasi ke perusahaan yang masuk ke dalam platform SCF. Lalu dibina para pemain akselerator untuk naik kelas hingga bisa masuk ke papan akselerasi di BEI. Bisa juga angel investor atau VC yang langsung menyuntikkan dananya untuk para UKM tersebut.

Modal ventura yang tidak menganut growth mindset juga dapat ikut mendanai. Bisnis UKM yang masuk ke dalam platform SCF sudah dikurasi, tidak sembarangan, dan punya fundamental bisnis yang lebih kuat daripada kebanyakan startup teknologi yang berorientasi pada strategi “bakar duit”.

Perusahaan modal ventura yang berorientasi growth mindset juga ikut masuk. Miskonsepsi mengenai VC hanya tertarik masuk ke startup teknologi juga dapat diredam karena mereka mulai melirik ke banyak sektor. Kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat terjadi karena ranah investor yang dijangkau jauh lebih luas.

Dari sisi regulasi, OJK jauh lebih ketat untuk pemain SCF ketimbang di p2p lending yang masih ditemukan investasi bodong karena kebanyakan pemain datang dari luar negeri dan tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Di sini, OJK tidak memberlakukan ketentuan status terdaftar, penyelenggara harus berstatus berizin baru boleh beroperasi.

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapat izin juga tidak main-main, tidak sebatas paham dengan model bisnis saja, tapi harus ISO 27001 dan diaudit oleh komite yang menjadi salah satu member di BEI. “Karena ini jadi mini bursa untuk private investor jadi mau enggak mau harus strict dari awal.”

Upgrade ke SCF

OJK mencatat hingga akhir tahun kemarin, telah mengeluarkan empat izin penyelenggara kepada empat perusahaan. Mereka adalah Santara, Bizhare, Crowddana, dan LandX. Secara kumulatif, keempat perusahaan ini telah menghimpun dana sebesar Rp185 miliar.

Sementara itu, OJK mendata ada 16 calon penyelenggara yang masih dalam proses perizinan ECF dan tiga calon penyelenggara dalam proses perizinan SCF. Dua dari tiga penyelenggara yang dimaksud adalah Santara dan Bizhare. “Sudah tahap final, harapannya bisa release [izinnya] pada Februari ini,” sebut Reza.

Santara telah menyiapkan sejumlah rencana, misalnya untuk penerbitan sukuk sudah mengantongi rekomendasi terkait TAS (Tim Ahli Syariah) dari DSN MUI. Akan tetapi, jika izin sudah terbit pun perusahaan belum langsung menyeriusi SCF pada tahun ini karena memilih untuk fokus pada penerbitan ECF.

“Karena di ECF bisnis model tersebut sudah sangat matang di internal kami. Tapi bukan berarti kami tidak akan menerbitkan sukuk, namun lebih perlu untuk edukasi market, audience terlebih dahulu.”

Kepada DailySocial, Founder dan CEO Bizhare Heinrich Vincent menuturkan, perusahaan memilih bertransformasi menjadi SCF, bukan pivot, dalam rangka  pengembangan model bisnis yang sudah ada sebelumnya.

“Tentunya ditujukan untuk lebih mempermudah bagi masyarakat, khususnya pelaku bisnis UKM, untuk memperoleh permodalan dengan pilihan skema yang lebih beragam. Untuk dapat mendukung perkembangan ekonomi Indonesia dan membuka lapangan pekerjaan lebih luas lagi.”

Sumber: Bizhare
Sumber: Bizhare

Ia melanjutkan, bisnis UKM di Bizhare yang sudah mendapatkan pendanaan melalui skema ECF akan terus berjalan dan perusahaan sendiri melahirkan inovasi untuk kategori di produk layanan ini dengan merilis layanan Pasar Sekunder yang dirilis pada awal Februari 2021.

Layanan ini menjadi strategi untuk meningkatkan likuiditas dari saham penerbit yang diterbitkan, serta salah satu exit strategy untuk para investor. Dalam keterangan resmi pada hari ini (3/2), Heinrich menjelaskan manfaat Pasar Sekunder untuk penerbit UKM sendiri yakni untuk kembali membeli saham (buyback) saham mereka di Pasar Sekunder, apabila ada investor yang ingin menjual sahamnya.

Dengan cara ini, terwujud demokratisasi sistem jasa keuangan yang mature seperti pasar modal, yang mana awalnya hanya bisa diakses kalangan menengah atas saja, kini bisa diakses oleh para UKM di seluruh Indonesia. Para investor dapat melakukan transaksi permintaan (bid) dan penawaran (offer) saham dengan aman dan nyaman.

“Pasar Sekunder Bizhare dibuka untuk penerbit yang sudah berjalan 1 tahun, sudah terdaftar di KSEI, dan atau sesuai hasil keputusan RUPS Penerbit. Pasar Sekunder akan dibuka setiap 6 bulan sekali dengan masa pembukaan Pasar Sekunder selama 10 hari kerja” jelas Vincent.

Vincent optimis dengan SCF akan memudahkan UKM untuk memilih jenis pendanaan yang sesuai dengan preferensi mereka, baik saham, obligasi, atau sukuk. Dari segi persyaratan pun, penerbit efek ini tidak hanya untuk yang berbadan PT saja, tapi juga koperasi, CV, dan sebagainya.

“Kami juga akan terus menghadirkan penawaran saham untuk deretan bisnis UKM yang semakin menarik dan beragam. Saat ini, Bizhare tengah membuka pendanaan untuk berbagai bisnis yang bisa diinvestasikan mulai dari Rp50 ribu per lembar saham. Kami optimis akan banyak karya bisnis anak muda yang dapat berkembang pesat berkat layanan kami sebagai SCF sehingga geliat ekonomi Indonesia semakin luar biasa.”

Bizhare menargetkan pada tahun ini dapat menargetkan lebih dari 200-300 UKM dapat membuka pendanaan melalui Bizhare. Dari sisi investor dan total nilai investasi diharapkan tumbuh antara 5-10 kali lipat. Target tersebut akan dicapai dengan inovasi perusahaan tidak hanya melalui perluasan layanan ke SCF, juga rencana penambahan jenis bisnis lainnya selain UKM dan franchise, seperti pendanaan untuk startup teknologi.

“Dari sisi produk, kami akan segera meluncurkan fitur baru yaitu business profile, supaya calon penerbit dapat semakin mudah dalam mengajukan pendanaan dan listing profile-nya di Bizhare. Selain itu, meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS yang ditargetkan rilis tahun ini.”

Vincent melanjutkan, “Ada berbagai kerja sama strategis dengan berbagai pihak yang akan diumumkan dalam waktu dekat. Dalam hal pendanaan, kami rencananya akan membuka diskusi dengan berbagai investor dan VC untuk bergabung pada pendanaan Seri A di akhir 2021 ini.”

Butuh edukasi masif

Potensi pasar SCF bisa diukur dari jumlah UMKM yang diperkirakan mencapai 60 juta. Demi mengejar potensi tersebut, ALUDI punya banyak pekerjaan rumah. Optimisme industri perlu dibarengi dengan edukasi masif dari seluruh stakeholder agar ekosistem jauh lebih sehat karena peluang ke depannya akan jauh lebih luas.

Reza menuturkan dari sisi pebisnis UKM perlu ditingkatkan tentang literasi keuangan, integritas, legalitas, serta pemahaman tentang pasar modal. Sementara dari sisi pemodal, literasi tentang pemahaman risiko investasi juga perlu ditingkatkan. Mengingat, tiap instrumen investasi punya tingkat risiko dan tingkat pemahaman yang berbeda.

Hal lain yang perlu ditingkatkan adalah menjaga kepercayaan publik dan menjembatani minimnya talenta di industri keuangan. Edward turut menekankan dalam hal edukasi kepada investor agar tidak salah kaprah karena instrumen investasi ini masih baru, seperti saham tapi tidak selikuid saham dan perusahaan penerbitnya tergolong muda.

“Tapi ini menarik karena memberikan kontribusi kepada UKM, mereka punya jalur penggalangan dana yang di mana perbankan atau institusi keuangan lainnya yang tidak bisa dimasuki. Celah tersebut yang bisa dimanfaatkan.”

Dia berharap bila instrumen ini semakin diminati UKM, maka ongkos untuk pencatatan efek di KSEI dapat lebih murah. Terlebih, KSEI saat ini sedang menggalakkan pencatatan efek tanpa skrip (scriptless) dengan pembaruan sistem yang masih dilakukan.

“Potensi KSEI bisa dengan pola scriptless untuk private company menjadi breakthrough, tapi isu cost ini bisa membebani platform, ini yang perlu diperhatikan.”

Dari sisi pelaku sendiri, Vincent menuturkan perusahaan setiap minggunya meracik berbagai program untuk memberikan informasi mengenai SCF secara daring untuk investor. “Kami juga aktif bekerja sama dengan komunitas penjual, mulai dari komunitas pelaku bisnis UMKM, seller marketplace, dan banyak lainnya untuk mengedukasi pelaku bisnis dalam hal strategi mengembangkan bisnis mereka melalui pendanaan Bizhare,” tutupnya.


Foto header: Depositphotos.com

Mengenal Lebih Dekat ALUDI, Asosiasi Pelaku Equity Crowdfunding

Bicara tentang equity crowdfunding (ECF) –formalnya dikenal urun dana melalui penawaran saham– adalah bicara tentang kepatuhan yang tinggi terhadap regulasi. Sebagai salah satu model bisnis dengan inovasi anyar, regulator di Indonesia cukup ketat mengawasi bisnis urun dana ini. Ini juga yang jadi salah satu alasan berdirinya Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI).

ALUDI ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pengawasan Pasar Modal sebagai asosiasi resmi urun dana sejak pertengahan Desember 2020 melalui surat OJK No.S-153/PM.22/2020. Perusahaan rintisan yang terdaftar meliputi Santara, Bizhare, dan CrowdDana; tercatat sebagai pendiri asosiasi ini, sementara posisi ketua diduduki oleh CEO Santara Reza Avesena. Ketiga startup tadi merupakan penyelenggara bisnis urun dana melalui penawaran saham berizin pertama di Indonesia.

Reza bercerita, ALUDI berdiri untuk membesarkan potensi pasar urun dana di tanah air. Sebagai bisnis yang tergolong baru, Reza menilai kehadiran pemain baru yang kuat dibutuhkan untuk membesarkan pasar sekaligus memperkenalkan produk urun dana ke publik lebih luas.

“Dalam hal platform kita kompetisi, dalam hal komunitas kita kolaborasi dalam bentuk membesarkan market, saling beri benefit, dan dengan asosiasi ini ketika penyelenggara-penyelenggara lain masuk bisa kita jagain,” ucap Reza.

Menjaga kepatuhan

Yang dimaksud “menjaga” oleh Reza adalah memastikan kepatuhan pemain baru ECF terhadap regulasi yang berlaku. Reza bersama Santara merasakan betul pentingnya kepatuhan akan regulasi itu. Pada masa awal beroperasi, Santara kena semprit OJK karena regulasi yang mengatur ECF belum ada. Imbasnya Santara harus berhenti beroperasi sementara.

Reza tidak ingin pengalaman pahit dialami oleh para koleganya. Selain bisa berimbas buruk terhadap kelangsungan bisnis, melanggar regulasi juga dapat menodai kepercayaan publik yang tengah dipupuk industri ini.

Asosiasi juga direncanakan mengambil peran dalam menyaring pemain-pemain baru. Reza menilai kemungkinan suatu penyelenggara mengalami default tetap ada. Jika skenario terburuk itu terjadi tak hanya akan mencoreng reputasi industri saja, tapi juga mengganggu kelancaran UKM yang melantai di bursa.

“Dengan adanya ALUDI, semua penyelenggara yang dapat izin kita jaga banget jangan sampai ada penyelenggara-penyelenggara bodong yang justru bisa menghilangkan kepercayaan masyarakat.”

Total sudah ada 22 anggota di ALUDI, 4 sudah berizin dan 17 lainnya masih berproses di OJK untuk menjadi penyelenggara ECF. LandX jadi nama paling akhir mengantongi izin OJK.

Perluasan izin

Belum lama asosiasi juga mendapat kabar baik menyusul terbitnya POJK Nomor 57 Tahun 2020 yang mengatur securities crowdfunding (SCF) — secara formal disebut penawaran efek melalui urun dana. SCF merupakan perluasan bisnis dari ECF. Bedanya dengan ECF, badan usaha yang bisa melakukan urun dana tidak hanya perseroan terbatas atau koperasi. Itu artinya badan usaha seperti CV, NV, firma, dan lainnya boleh ikut melakukan urun dana di pasar modal.

Pemerintah resmi meluncurkan SCF pada pembukaan perdagangan bursa pekan lalu. Hadirnya SCF menambah alternatif pembiayaan untuk UKM dan startup. Menyambut hal itu, penyelenggara ECF tengah berlomba memperluas izin mereka untuk bisa menawarkan produk SCF ke publik.

“Saat ini penyelenggara ECF yang sudah memiliki izin sedang melakukan perluasan izin untuk bisa comply dengan POJK 57/2020,” tutur Reza.

Potensi pasar ECF dan SCF bisa diukur dari jumlah UMKM yang diperkirakan mencapai 60 juta. Demi mengejar potensi tersebut, ALUDI punya banyak pekerjaan rumah untuk mendorong pertumbuhan UKM, meningkatkan literasi keuangan masyarakat, menjaga kepercayaan publik, dan menjembatani minimnya talenta di industri keuangan.