Usai Pendanaan Rp102 Miliar, Wahyoo Seriusi “Cloud Kitchen” sebagai Mesin Pertumbuhan Bisnis

Startup digitalisasi UMKM kuliner Wahyoo mengumumkan perolehan pendanaan seri B sebesar $6,5 juta atau setara 102 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Eugene Asia Food Tech Fund-1. Nominal yang diungkap sedikit lebih besar dari pertama kali diwartakan DailySocial.id pada 10 Oktober 2022.

Eugene Asia Food Tech Fund-1 merupakan kendaraan investasi milik Eugene Investment & Securities dan NH Absolute Return Partners dari Korea Selatan. Investor lainnya yang berpartisipasi dalam putaran ini, Global Brains dan Trinity Optima Plus (TOP+).

Nama-nama ini melengkapi jajaran investor yang telah bergabung sebelumnya di Wahyoo, yaitu East Ventures, Indogen Capital, Arkblu Capital, dan Nitto Prima Ventura.

Seriusi bisnis cloud kitchen

Wahyoo akan memanfaatkan dukungan dana segar tersebut untuk perluas jaringan cloud kitchen dengan merekrut lebih banyak mitra restoran dan meluncurkan lebih banyak merek makanan label sendiri. Wahyoo Kitchen Partner adalah merek dapur virtual milik Wahyoo yang sudah mulai diinisiasi sejak satu tahun belakangan.

Perusahaan akan memanfaatkan jaringan Eugene Investment dan jaringan selebritas TOP+ untuk mempromosikan merek makanannya ke konsumen. Bagi TOP+ ini bukan investasi pertamanya di startup teknologi. Perusahaan label musik tersebut juga mengumumkan investasi dengan nilai dirahasiakan untuk perusahaan esports PT Generasi Tangguh Luar Biasa.

Dalam konferensi pers yang digelar perusahaan (16/11), Co-Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer mengatakan, dapur virtual ini adalah bisnis yang akan menjadi mesin pertumbuhan baru bagi Wahyoo, sebagai salah satu strategi dalam memanfaatkan jaringan kuliner yang sudah ada ditambah dengan infrastruktur teknologi Wahyoo yang sudah mumpuni.

Peter melanjutkan, loyalitas pemilik usaha kuliner sangat penting bagi pihaknya. Loyalitas bisa didapat ketika ia dan tim mampu memberikan sebuah nilai tambah untuk mereka, yaitu peningkatan bisnis yang lebih baik semenjak bergabung bersama Wahyoo.

“Kalau dulu kami telah berhasil dalam membuat mitra kuliner lebih efisien dalam berbelanja bahan baku, kini kami ingin fokus bagaimana memberikan penghasilan tambahan kepada mitra-mitra kami. Karena itulah memasuki tahun ini, Wahyoo mulai mengeksplorasi model bisnis cloud kitchen yang menawarkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan bagi mitra kami sehingga diharapkan dapat meningkatkan loyalitas mereka,” kata dia.

Co-Founder & COO Wahyoo Daniel Cahyadi menambahkan, “Kami melihat kemudahan menjadi kunci berkembangnya model bisnis dari Wahyoo Kitchen Partners. Kemudahan dalam berbelanja bahan baku lewat aplikasi kami, kemudahan dalam menjalankan operasional masak di dapur mereka, sampai kemudahan dalam pembayaran dalam aplikasi kami, membuat kami yakin dapat membuat mitra kami menjadi lebih senang dan royal.”

Wahyoo Kitchen Partner

Peter melanjutkan, jaringan dapur virtual yang dibentuk perusahaan punya nilai yang berbeda dibandingkan operator lainnya, yakni kemitraan dengan UMKM kuliner yang selama ini telah menjadi bagian dari perusahaan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan operator dapur virtual kebanyakan yang butuh investasi untuk bangun dapur baru dan karyawan baru.

Mitra UMKM kuliner di Wahyoo bisa memaksimalkan potensi dari dapurnya dan karyawan yang sudah ada, selama tetap memenuhi standar dalam hal kebersihan dan kualitas memasak. Tercatat ada 250 restoran kecil dari 27 ribu mitra Wahyoo yang telah bergabung dengan Wahyoo Kitchen Partners ini.

“Khusus kami, ingin bantu UMKM kuliner yang sudah ada di jaringan kami sehingga enggak ada lagi modal tambahan yang harus mereka keluarkan karena dapur dan karyawan sudah ada. Sebab kami ini sharing economy, jadi prinsipnya kami sangat ingin memajukan UMKM.”

Sejauh ini Wahyoo, lewat unit Tajir Group, telah mengoperasikan tiga merek makanan label privat, yakni Bebek Goreng Bikin Tajir, Ayam Paduka, dan Bakso Bikin Tajir. Seluruh suplai produk ini sudah berupa pre-cook agar tidak lama diolah oleh mitra. Alhasil, proses masak jadi lebih ringkas, maksimal lima menit agar lebih cepat sampai ke rumah konsumen.

“Mitra itu pasti enggak mau repot [harus olah menu baru], makanya kita buat mereka semudah mungkin, cuma masak saja. Karena kita memanfaatkan platform online, jadi kita memerhatikan algoritma [dari platform], jangan sampai dapat rating jelek karena proses masaknya lama. Jadi memang standarisasi itu penting di Wahyoo.”

Seluruh suplai bahan makanan disiapkan di pusat gudang Wahyoo yang berlokasi di Daan Mogot, Jakarta Barat berdekatan dengan kantor Wahyoo. Dari situ, proses pengiriman makanan akan dimulai sampai ke outlet.

Ke depannya, Wahyoo akan perbanyak merek makanan yang dapat dijual oleh para mitra UMKM, setidaknya ada tambahan delapan sampai 10 merek baru. Variasi kulinernya berkisar dari martabak, nasi briyani, teh susu, soto, mie ayam, dan nasi goreng.

Adapun Bebek Goreng Bikin Tajir kini sudah hadir di 134 outlet yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, Solo, Semarang, dan Bali. Selanjutnya, Ayam Paduka sudah ada di 42 outlet yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Solo, dan Bakso Bikin Tajir sudah hadir di 18 outlet di Jabodetabek untuk sementara ini.

Application Information Will Show Up Here

Flip Secures 688 Billion Rupiah Series B Funding, Entering the Centaur List

A payment platform and cross-bank transfer startup, Flip, closed a $48 million (688 Billion Rupiah) Series B funding led by Sequoia Capital India, Insight Partners and Insignia Venture Partners. The investment marks Insight Partners’  debut in Indonesia for the New York-based global private equity and venture capital firm.

There is no further information on Flip’s latest valuation, yet the total $65 million since its seed has taken the company into the centaur list valued at over $100 million, following OY!, the closest competitor.

Previously, Flip’s series A in 2020 was led by Sequoia Capital India and the seed funding round in 2019 was co-chaired by Sequoia Capital India and Insignia Ventures Partners.

Flip is to use the fresh money to accelerate business expansion, strengthen operations in Indonesia, invest in technology to deliver better quality, and develop talent focusing on engineering and product teams.

“We are honored to receive the trust and continuous support of our partners. We are also pleased to welcome a leading global private equity and venture capital firm, Insight Partners, which has proven successful in the global financial technology industry landscape. We believe that this partnership will help us in pursuing growth and realizing our vision to present the fairest financial product in Indonesia,” Flip’s Founder and President Director, Rafi Putra Arriyan in an official statement, Wednesday (8/12).

Sequoia India’s VP, Aakash Kapoor said bank transfers are the most dominant payment method in Indonesia’s rapidly growing digital economy. Flip has a large and fast-growing user base with remarkably good retention metrics.

“Partnering with more than 50 fintech companies and some of the distribution-first payment unicorns, Sequoia Capital India believes that Flip is the most attractive consumer fintech company in Indonesia. We are very pleased to co-lead the third consecutive round as a testimony to our high confidence in Flip,” Kapoor said.

Flip has grown significantly amidst the increasing adoption of the technology. The company has served more than seven million users to process various types of financial transactions from various regions in Indonesia as well as abroad remittances.

In addition, Flip provides business solutions for hundreds of companies with various industry scales, including MSMEs (Small and Medium Enterprises), through cash disbursement and remittance services such as employee payroll, customer refunds, invoice/supplier payments, and international transfers.

This solution was created due to several obstacles faced by bank account owners in Indonesia when transferring money. Starting from the convenience of using the product, admin fees for different bank transfers, seamless transaction and faster process.

Rafi also mentioned, there is still room to renew and simplify various financial transactions. “Flip seeks to help individuals and businesses minimize the complexity of these transactions and reduce money transfer cost.”

Flip’s ambition is to become the world’s most customer-centric financial technology company and enable users to make fair financial transactions from anywhere to anyone.

Some of Flip’s main products include online P2P payments with bank transfers to more than 100 domestic banks, international remittances, top-up e wallet and other business solutions. It is claimed that Flip’s  transaction value has reached more than IDR 2 trillion per month.

BI Fast

The central bank is aware of the high transfer fees that consumers often complain as they make digital transaction. In response to this, Bank Indonesia recently launched a new system called BI Fast to reduce interbank transfer fees.

Through BI Fast, registered cross-bank transfer fees have been reduced from IDR 6,500 to IDR 2,500 per transaction. This system will be valid on December 2021 in 22 banks at an early stage. BI Fast is a real-time retail payment system that operates 24/7 replacing the Bank Indonesia’s National Clearing System (SKNBI).

Next, there will be more banks register as participants. Also, it is stated in the regulation that banks that can become BI Fast participants are conventional commercial banks, Islamic commercial banks, sharia business units, and branch offices of foreign banks in Indonesia.

BI Fast will certainly become a threat to both Flip and OY!. Flip alone does not charge an administration fee for individual customers with a nominal transfer of under IDR 5 million a day. If the transaction is at the maximum threshold, the user will be charged at IDR 2,500 per transaction. It is the exact nominal charged by BI Fast.

Recently, the company has provided 24-hour operational hours to provide users with more flexible access to transfer funds at several banks. Previously, Flip has limited its operating hours from 7am to 8pm.

Application Information Will Show Up Here

Flip Kantongi Dana Segar Seri B 688 Miliar Rupiah, Masuk ke Jajaran Centaur

Flip, startup penyedia platform pembayaran dan transfer dana antarbank, mengumumkan penutupan pendanaan Seri B senilai $48 juta (688 Miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Sequoia Capital India, Insight Partners, dan Insignia Venture Partners. Investasi di Flip menandakan debut Insight Partners di Indonesia bagi perusahaan ekuitas swasta dan modal ventura global yang berbasi di New York ini.

Meskipun belum ada informasi soal valuasi terbaru Flip, total dana $65 juta yang telah diperoleh Flip sejak pendanaan awal membawa Flip masuk ke jajaran centaur bervaluasi lebih dari $100 juta, menyusul OY!, kompetitor terdekatnya.

Sebelumnya, putaran Seri A Flip pada 2020 dipimpin Sequoia Capital India dan putaran pendanaan awal pada 2019 dipimpin bersama oleh Sequoia Capital India dan Insignia Ventures Partners.

Flip akan menggunakan dana segar tersebut untuk mempercepat ekspansi bisnis, memperkuat operasional di Indonesia, berinvestasi pada teknologi untuk memberikan kualitas yang lebih baik, serta mengembangkan talenta dengan fokus pada tim teknik dan produk.

“Kami merasa terhormat untuk tetap menerima kepercayaan dan dukungan terus menerus dari mitra kami. Kami juga senang menyambut perusahaan modal ventura dan ekuitas swasta global terkemuka, Insight Partners, yang telah terbukti sukses dalam lanskap industri teknologi keuangan global. Kami percaya bahwa kemitraan ini akan membantu kami dalam mengejar pertumbuhan dan mewujudkan visi kami untuk menghadirkan produk keuangan yang paling adil di Indonesia,” ucap Founder dan Direktur Utama Flip Rafi Putra Arriyan dalam keterangan resmi, Rabu (8/12).

VP Sequoia India Aakash Kapoor mengatakan, transfer beda bank merupakan metode pembayaran paling dominan dalam ekonomi digital Indonesia yang berkembang pesat. Flip memiliki basis pengguna yang besar dan tumbuh cepat dengan metrik retensi yang luar biasa baik.

“Bermitra dengan lebih dari 50 perusahaan fintech dan beberapa unicorn pembayaran pertama distribusi, Sequoia Capital India percaya bahwa Flip adalah perusahaan fintech konsumen paling menarik di Indonesia. Kami sangat senang untuk memimpin bersama putaran ketiga berturut-turut sebagai bukti keyakinan yang tinggi terhadap Flip,” kata Kapoor.

Flip telah tumbuh secara signifikan di tengah meningkatnya adopsi teknologi. Perusahaan telah melayani lebih dari tujuh juta pengguna untuk memroses berbagai jenis transaksi keuangan dari dan ke berbagai daerah di Indonesia serta untuk pengiriman uang ke luar negeri.

Selain itu, Flip menghadirkan solusi bisnis bagi ratusan perusahaan dengan berbagai skala industri, termasuk UKM (Usaha Kecil Menengah), melalui layanan pencairan uang dan pengiriman uang seperti penggajian karyawan, pengembalian uang pelanggan, pembayaran faktur/pemasok, dan transfer internasional.

Solusi ini hadir karena di Indonesia terjadi beberapa kendala yang dihadapi pemilik rekening bank saat melakukan transfer uang. Mulai dari, kenyamanan penggunaan produk, biaya admin transfer beda bank, alur transaksi hingga kelancaran dan kecepatan proses transaksi.

Menurut Rafi, masih terdapat ruang untuk memperbaharui dan mempermudah berbagai transaksi keuangan. “Flip berupaya membantu para individu dan bisnis untuk meminimalkan kerumitan transaksi tersebut dan melakukan transfer uang dengan biaya rendah.”

Flip berambisi menjadi perusahaan teknologi keuangan yang paling mengutamakan pelanggan (customer-centric) di dunia dan memungkinkan para pengguna untuk melakukan transaksi keuangan yang adil dari mana saja kepada siapa saja.

Beberapa produk Flip yang paling dominan di antaranya, pembayaran P2P online dengan transfer beda bank ke lebih dari 100 bank domestik, pengiriman uang ke luar negeri (international remittance), isi ulang dompet digital (top-up e-wallet), dan produk-produk solusi bisnis. Tercatat, nilai transaksi yang diproses Flip telah tembus lebih dari Rp2 triliun per bulannya.

BI Fast

Bank sentral menyadari biaya transfer yang tinggi sering dikeluhkan konsumen saat betransaksi digital. Menjawab hal tersebut, Bank Indonesia baru-baru ini meluncurkan sistem baru bernama BI Fast untuk meringankan biaya transfer antarbank sebagai salah satu tujuannya.

Lewat BI Fast, biaya transfer antarbank yang sudah terdaftar diturunkan dari Rp6.500 menjadi Rp2.500 per transaksi. Sistem ini awalnya direncanakan mulai berlaku per Desember 2021 di 22 bank pada tahap awal. BI Fast merupakan sistem pembayaran retail secara real-time yang beroperasi 24/7 menggantikan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).

Berikutnya, akan semakin bertambah bank yang mendaftar diri sebagai peserta. Pasalya, dalam beleid disebutkan, bank yang dapat menjadi peserta BI Fast adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, unit usaha syariah, dan kantor cabang bank asing di Indonesia.

Kehadiran BI Fast tentunya menjadi ancaman tersendiri baik bagi Flip maupun OY!. Flip sendiri tidak membebankan biaya administrasi untuk nasabah individu dengan nominal transfer di bawah Rp5 juta dalam sehari. Apabila transaksi di ambang batas maksimal, maka pengguna dibebankan biaya Rp2.500 per transaksi. Nominal tersebut persis sama dengan yang dibebankan oleh BI Fast.

Baru-baru ini perusahaan telah menyediakan jam operasional 24 jam untuk memberikan akses transfer dana yang lebih leluasa kepada penggunanya di sejumlah bank. Sebelumnya, Flip membatasi jam operasionalnya dari jam 7 pagi sampai jam 8 malam.

Application Information Will Show Up Here

Ula Adds Up Additional Series B Funding of 328 Billion Rupiah

Ula announced an additional $23.1 million (over 328 billion Rupiah) of its Series B round around one month ago. This follow-on funding was led by Tiger Global and Flipkart’s Co-founder, Binny Bansal, bringing a total $110 million for this series B.

Previously, they had announced a series B funding of $87 billion led by Prosus Ventures, Tencent, and B Capital. Also participated in this round, Bezos Expeditions, VC created by Amazon founder Jeff Bezos; along with other leading investors, Northstar Group, AC Ventures, and Citius.

This additional fund has brought a total $140 million (more than 1.99 trillion Rupiah) in accumulation since the company’s establishment.

In the company’s official statement, this fresh fund is said to be the company’s ammo to develop buy now, pay later features and utilize AI to better serve MSME consumers. In addition, the company will continue to expand to new locations and recruit more special talents.

“This follow on funding in the Series B round signifies the interest of investors and their confidence in Ula’s vision and mission. We are grateful and excited for the opportunity to build a platform that doesn’t only empower traditional retailers, but also reorganize the traditional retail industry. As we move forward, we will continue to take a customer-first approach to addressing fundamental issues with technology,” said Ula Co-founder & CEO Nipun Mehra, Tuesday (16/11).

Previously conveyed by Ula’s Co-founder & CCO, Derry Sakti, this BNPL solution was initiated since Ula already has 70 thousand stalls that transact through its platform, the database is a provision for credit scoring before disbursing loans.

It is said that the company has grown 230 times, offering more than 6 thousand products. The majority of Ula users come from tier two to four cities that still lack access to resources and logistics infrastructure.

In a general note, traditional retailers have limitations in accessing banking products, even though they are very dependent on daily income, it makes the paylater for supplier service has tremendous benefits for stalls.

“Using Ula, they no longer have to worry about purchasing goods, product availability, or even payment, which will give them more time to focus on other more important things. Seeing firsthand the impact that Ula has had on customers’ lives certainly moves our team to move forward,” he said.

The Ula app allows shop owners to order a wide variety of products and have them delivered directly to their stores. With a simple concept, Ula tries to focus on customer needs rather than adding unnecessary features, to ensure the best experience. This app is claimed to be lighter, suitable for low connection environments and the most basic devices, and ensures it doesn’t take up too much space on their phones.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ula Umumkan Tambahan Pendanaan Seri B 328 Miliar Rupiah

Ula mengumumkan perolehan tambahan dana sebesar $23,1 juta (lebih dari 328 miliar Rupiah) untuk putaran seri B yang baru diumumkan satu bulan yang lalu. Investasi lanjutan ini dipimpin oleh Tiger Global dan Co-founder Flipkart Binny Bansal, membawa total perolehan untuk seri B ini senilai $110 juta.

Sebelumnya, mereka telah mengumumkan pendanaan seri B sebesar $87 miliar yang dipimpin oleh Prosus Ventures, Tencent, dan B Capital. Putaran ini turut diikuti oleh partisipasi Bezos Expeditions, VC besutan pendiri Amazon Jeff Bezos; beserta investor terkemuka lainnya, yakni Northstar Group, AC Ventures, dan Citius.

Tambahan dana ini, bila diakumulasi sejak perusahaan berdiri, telah memperoleh pendanaan sebanyak $140 juta (lebih dari 1,99 triliun Rupiah).

Dalam pernyataan resmi perusahaan, disebutkan dana segar ini akan menjadi amunisi perusahaan untuk mengembangkan fitur buy now, pay later dan mengutilisasi AI untuk melayani konsumen UMKM lebih baik. Selain itu, perusahaan akan melanjutkan ekspansi ke lokasi baru dan merekrut lebih banyak talenta berbakat.

“Tambahan pendanaan dalam putaran seri B ini menandakan ketertarikan investor dan kepercayaan mereka pada visi dan misi Ula. Kami bersyukur dan bersemangat atas kesempatan untuk membangun platform yang tidak hanya memberdayakan peritel tradisional, tetapi juga menata ulang industri ritel tradisional. Saat kami bergerak maju, kami akan terus mengambil pendekatan yang mengutamakan pelanggan untuk mengatasi masalah mendasar dengan teknologi,” kata Co-founder & CEO Ula Nipun Mehra, Selasa (16/11).

Sebelumnya disampaikan oleh Co-founder & CCO Ula Derry Sakti, solusi BNPL ini dihadirkan karena Ula telah memiliki 70 ribu warung yang bertransaksi melalui platform-nya, basis data tersebut menjadi bekal untuk melakukan skoring kredit sebelum menyalurkan pinjaman.

Diklaim perusahaan telah tumbuh 230 kali lipat, menawarkan lebih dari 6 ribu produk. Mayoritas pengguna Ula berasal dari kota lapis dua hingga empat yang masih kekurangan akses terhadap sumber daya dan infrastruktur logistik.

Seperti diketahui, ritel tradisional memiliki keterbatasan dalam mengakses produk perbankan, padahal mereka sangat bergantung pada pemasukan harian, hal ini membuat pilihan pembayaran paylater kepada supplier memiliki manfaat yang luar biasa bagi warung.

“Dengan Ula, mereka tidak perlu lagi khawatir tentang pembelian barang, ketersediaan produk, atau bahkan pembayaran, yang tentunya akan memberikan mereka waktu lebih banyak untuk fokus kepada hal lain yang lebih penting. Melihat secara langsung dampak yang telah Ula berikan pada kehidupan pelanggan tentunya menggerakkan tim kami untuk terus maju,” tuturnya.

Aplikasi Ula memungkinkan pemilik warung untuk memesan berbagai macam produk dan mengirimkannya langsung ke toko mereka. Dengan konsep yang sederhana, Ula mencoba fokus pada kebutuhan pelanggan daripada menambahkan fitur yang tidak perlu, untuk memastikan pengalaman terbaik. Aplikasi ini diklaim lebih ringan, cocok untuk lingkungan koneksi rendah dan perangkat paling dasar, serta memastikan tidak memakan terlalu banyak ruang di ponsel mereka.

Application Information Will Show Up Here

Ula Snags 1.24 Trillion Rupiah Series B Funding, to Release Paylater Product for Warung

Ula snags $87 million in series B funding (approximately 1.24 trillion Rupiah) led by Prosus Ventures, Tencent, and B-Capital. Participated also in this round, the Bezos Expeditions, a VC created by Amazon founder Jeff Bezos; along with other leading investors, Northstar Group, AC Ventures, and Citius.

Ula‘s previous investors, including Lightspeed India, Sequoia Capital India, Quona Capital and Alter Global cut another check in this round. On this occasion, Ula also announced that AC Ventures Founding Partner, Pandu Sjahrir was appointed as the company’s advisor.

This funding was announced eight months after the series A funding in January. Collectively, the company has raised a total $117.5 million in funding within 20 months since its founding.

The company will use the funding to expand its geographic and team coverage area, to realize its vision of empowering the traditional retail industry in Indonesia. These include releasing new categories, developing paylater feature, developing new technologies, logistics infrastructure, and local supply chains.

Ula’s Co-founder & Chief Commercial Officer, Derry Sakti said that this BNPL solution was presented because Ula already has 70 thousand stalls that transact through its platform, the database is a provision for credit scoring before disbursing loans.

The company is said to grow 230 times, offering more than 6 thousand products. The majority of Ula users come from tier two to four cities that still lack access to resources and logistics infrastructure.

As is known, traditional retailers have limitations in accessing banking products, even though they are very dependent on daily income, this makes the paylater option to suppliers will have tremendous benefits for warung.

“Using Ula, they no longer have to worry about purchasing goods, product availability, or even payment, which will give them more time to focus on other more important things. Seeing the impact firsthand that Ula has given to customers’ lives certainly moves our team to move forward,” he said in an official statement, Monday (4/10).

Ula’s Co-founder & Chief Operating Officer, Riky Tenggara added, “Solving the complexities of supply chain problems in Indonesia is a very challenging and impactful endeavor. As a company built on a community, we cannot underestimate the importance of providing services that our customers can always rely on, especially services that can make a real difference to their lives.”

Ula investors, AC Ventures and Northstar, also put on some statement. They stated that they have the same mission regarding the importance of empowering Indonesian MSMEs through technology. This is because MSMEs contribute more than 60% of Indonesia’s GDP and become the backbone of the country’s economy.

“Ula provides a more efficient procurement and operational system, and ultimately opens access to credit that is needed to expand the MSME business scale,” AC Ventures’ Managing Partner, Adrian Li said.

The Ula app allows shop owners to order a wide variety of products and have them delivered directly to their stores. With a simple concept, Ula tries to focus on customer needs rather than adding unnecessary features, to ensure the best experience. The app is said to be lighter, suitable for low connection environments and the most basic devices, and ensures it doesn’t take up too much space on their phones.

Potential warung digitization

The service solution solves a very fundamental issue. Based on the results of a research entitled The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services, at least 92 million adults in Indonesia are yet to have access to banking financial services (unbankable) – making it difficult for them to access transactional digital services directly. This is quite a big number, even greater than the total population of countries in Southeast Asia except the Philippines.

Warung is the most outreaching business system – the place where micro-economy across Indonesia revolves. According to 2016 Economic Census data released by BPS, of the 26.4 million units of Micro, Small and Medium Enterprises (UMK), 46.38% fall into the category of “Wholesale and Retail Trade, Repair and Maintenance of Cars and Motorcycles. “ – warung is in it. This number is also the largest among other types of businesses in Indonesia.

In an interview with DailySocial.id, Ula’s Co-Founder Nipun Mehra explained his analysis of why his startup is steadily expanding into this sector. He said, traditional retail like warung is the main pillar of the Indonesian economy. “This is the backbone of the consumption economy, while employing millions of people. Traditional retailers are cost-effective and have deep knowledge of the local market. However, this sector is the most vulnerable part of the value chain because they usually work individually on a small scale,” he added.

The diversification they trying to make is the efficiency of resources and capital by presenting a doorstep system (direct product delivery) that is cost-effective. In addition to connecting retailers with stock providers of FMCG products, they will also expand product coverage in the fashion category.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Wealthtech Platform Ajaib Is Indonesia’s Newest Unicorn

Wealthtech platform Ajaib confirmed its new status as Indonesia’s next unicorn, after closing a $153 million (over 2.1 trillion Rupiah) series B round led by DST Global. This value is slightly higher than the one rumored at the late September. This funding adds up to the total amount of $243 million.

Further informed in the series B round, previous investors, including Alpha JWC Ventures, Ribbit Capital, Horizons Ventures, Insignia Ventures, and SoftBank Ventures Asia were participated.

DST Global and Ribbit Capital are investors of Robinhood, a US-based similar platform. Ajaib was often compared to Robinhood, it proves Indonesia’s advanced technology and capital market capabilities are able to compete with global markets.

Ajaib Group’s Co-founder & CEO, Anderson Sumarli said Ajaib will use this fresh fund to massively recruit top talent and conduct educational campaigns to inspire more budding investors.

“Our mission is to welcome a new generation of investors to modern financial services. Indonesia still at 1% of share investor penetration and we still have a long way to go to support government programs to increase financial inclusion and literacy in Indonesia,” Anderson said in an official statement, Monday (4/10).

The company currently has 1 million retail investors in shares, since it was first founded two and a half years ago. This is quite rapid achievement as Indonesia only has 2.7 million stock investors. “The growth in the number of retail stock investors has never been this fast in the Indonesian history, therefore, it is certainly the first step to build the strength of young Indonesian investors to change the nation’s future.”

Alpha JWC Ventures’ General Partner, Chandra Tjan said, “Ajaib’s success is a clear testament to the growth and strength of technology and the Indonesian capital market. “As Indonesians, we are very proud to be able to participate in building the country’s digital ecosystem, and to have a real impact on people’s daily lives,” said Chandra.

DST Global Managing Partner Thomas Stafford added, “Ajaib has built world-class products using modern technology to serve the younger generation of Indonesia in entering the capital market. We are very proud to be walking with Ajaib in their mission to democratize access to investment for all.”

On the same occasion, last month Ajaib also announced the appointment of Andi Gani Nena Wea, one of the President Commissioners of BUMN, as the President Commissioner of Ajaib.

As is known, according to the results of a survey by the Financial Services Authority (OJK) in 2020, the level of financial literacy in the capital market is  relatively low at 4.9% and the inclusion rate is only 1.6%. The company has been committed to providing financial education, especially in the investment sector through the Stock Generation Program that has been carried out with the IDX in various regions with low financial literacy.

To date, the program has reached 26 cities, from the capital to Papua. In addition, Ajaib also conducts online education every day as a form of Ajaib’s commitment to increasing financial inclusion and literacy, especially for the capital market.

Indonesia’s list of unicorns

Ajaib has confirmed to be the 7th unicorn from Indonesia. Even so, according to DailySocial.id’s records, there are currently 12 startups that have been confirmed as unicorns. They are:

Perusahaan Est. Valuasi
Gojek-Tokopedia $18 miliar
Traveloka ~$3 miliar
Bukalapak $6 miliar
OVO ~$2,9 miliar
JD.id (confirmed) undisclosed
Blibli (confirmed) undisclosed
Tiket.com (confirmed) ~$1 miliar
J&T ~$7,8 miliar
Kredivo* $2,5 miliar
Xendit ~$1 miliar
Ajaib ~$1 miliar
*assuming the merger process has been completed, to go public soon via SPAC

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Application Information Will Show Up Here

Ajaib Resmi Sandang Status “Unicorn”

Platform wealthtech Ajaib mengonfirmasi status barunya sebagai unicorn berikutnya dari Indonesia, setelah menutup putaran seri B sebesar $153 juta (lebih dari 2,1 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh DST Global. Nilai ini sedikit lebih besar dari yang dirumorkan pada akhir September. Pendanaan ini membawa jumlah total yang dikumpulkan Ajaib menjadi $243 juta.

Diterangkan lebih jauh, dalam putaran seri B ini diikuti oleh investor terdahulu, yakni Alpha JWC Ventures, Ribbit Capital, Horizons Ventures, Insignia Ventures, dan SoftBank Ventures Asia.

DST Global dan Ribbit Capital adalah investor dari Robinhood, platform sejenis dari Amerika Serikat. Sering disandikannya Ajaib dengan Robinhood membuktikan bahwa kemajuan kapabilitas teknologi dan pasar modal di Indonesia mampu bersaing dengan pasar global.

Co-founder & CEO Ajaib Group Anderson Sumarli mengatakan Ajaib akan menggunakan dana segar ini untuk merekrut besar-besaran talenta terbaik dan melakukan kampanye edukasi untuk menginspirasi lebih banyak investor pemula.

“Misi kami adalah untuk menyambut investor generasi baru ke layanan keuangan modern. Indonesia masih memiliki penetrasi investor saham sebesar 1% dan perjalanan kami masih panjang untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan inklusi dan literasi keuangan di Indonesia,” ujar Anderson dalam keterangan resmi, Senin (4/10).

Perusahaan saat ini telah memiliki 1 juta investor ritel saham, sejak pertama kali berdiri dua setengah tahun lalu. Pencapaian ini sangat pesat lantaran di Indonesia baru memiliki 2,7 juta investor saham. “Pertumbuhan jumlah investor ritel saham di Indonesia belum pernah secepat ini dalam sejarah Indonesia, sehingga hal itu tentu merupakan langkah awal untuk membangun kekuatan investor generasi muda Indonesia yang dapat mengubah masa depan bangsa.”

General Partner di Alpha JWC Ventures Chandra Tjan menuturkan, keberhasilan Ajaib merupakan bukti nyata pertumbuhan dan kekuatan teknologi dan pasar modal Indonesia. “Sebagai orang Indonesia, kami sangat bangga dapat ikut serta dalam membangun ekosistem digital Tanah Air, serta membawa dampak nyata bagi kehidupan sehari-hari masyarakat,” ujar Chandra.

Managing Partner DST Global Thomas Stafford menambahkan, “Ajaib telah membangun produk kelas dunia dengan menggunakan teknologi modern untuk melayani generasi muda Indonesia dalam memasuki pasar modal. Kami sangat bangga dapat berjalan bersama Ajaib dalam misi mereka untuk mendemokratisasikan akses investasi untuk semua.”

Dalam kesempatan yang sama, pada bulan lalu Ajaib turut mengumumkan pengangkatan Andi Gani Nena Wea, salah satu Komisaris Utama BUMN, sebagai Komisaris Utama Ajaib.

Seperti diketahui, menurut hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2020, tingkat literasi keuangan di pasar modal masih relatif rendah yaitu 4,9% dan tingkat inklusi hanya 1,6%. Perusahaan selama ini berkomitmen untuk memberikan edukasi keuangan terutama dalam bidang investasi melalui Program Generasi Saham yang telah dilakukan bersama BEI di berbagai daerah dengan literasi keuangan rendah.

Hingga saat ini, program tersebut sudah menjangkau 26 kota, dari ibukota hingga Papua. Selain itu, Ajaib juga melakukan edukasi secara daring setiap harinya sebagai bentuk komitmen Ajaib dalam meningkatkan inklusi dan literasi keuangan, terutama untuk pasar modal.

Daftar perusahaan unicorn dari Indonesia

Pihak Ajaib menyatakan dirinya sebagai unicorn ke-7 dari Indonesia. Meski begitu, dalam catatan DailySocial.id, sejauh ini ada 12 startup yang terkonfirmasi sebagai unicorn. Mereka adalah:

Perusahaan Est. Valuasi
Gojek-Tokopedia $18 miliar
Traveloka ~$3 miliar
Bukalapak $6 miliar
OVO ~$2,9 miliar
JD.id (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Blibli (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Tiket.com (dikonfirmasi perusahaan) ~$1 miliar
J&T ~$7,8 miliar
Kredivo* $2,5 miliar
Xendit ~$1 miliar
Ajaib ~$1 miliar

*dengan asumsi telah menyelesaikan proses merger untuk selanjutnya go-public via SPAC

Application Information Will Show Up Here

Ula Raih Pendanaan Seri B 1,24 Triliun Rupiah, Segera Rilis Produk Paylater untuk Warung

Ula berhasil mengumpulkan pendanaan seri B sebesar $87 juta (sekitar 1,24 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh Prosus Ventures, Tencent, dan B-Capital. Putaran ini turut diikuti oleh partisipasi Bezos Expeditions, VC besutan pendiri Amazon Jeff Bezos; beserta investor terkemuka lainnya, yakni Northstar Group, AC Ventures, dan Citius.

Investor Ula terdahulu, seperti Lighstpeed India, Sequoia Capital India, Quona Capital, dan Alter Global, turut berpartisipasi kembali pada putaran kali ini. Dalam kesempatan ini, Ula sekaligus mengumumkan Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir diangkat menjadi penasihat perusahaan.

Pendanaan ini diumumkan berselang delapan bulan setelah pendanaan seri A di awal Januari ini. Bila diakumulasi, perusahaan telah memperoleh pendanaan sebanyak $117,5 juta dalam 20 bulan sejak pendiriannya.

Perusahaan akan memanfaatkan pendanaan untuk memperbesar cakupan area geografi dan tim, untuk mewujudkan visinya dalam pemberdayaan industri ritel tradisional di Indonesia. Di antaranya merilis kategori baru, pengembangan layanan paylater, pembangunan teknologi baru, infrastruktur logistik, dan rantai pasokan lokal.

Co-founder & Chief Commercial Officer Ula Derry Sakti menyampaikan solusi BNPL ini dihadirkan karena Ula telah memiliki 70 ribu warung yang bertransaksi melalui platform-nya, basis data tersebut menjadi bekal untuk melakukan skoring kredit sebelum menyalurkan pinjaman.

Diklaim perusahaan telah tumbuh 230 kali lipat, menawarkan lebih dari 6 ribu produk. Mayoritas pengguna Ula berasal dari kota lapis dua hingga empat yang masih kekurangan akses terhadap sumber daya dan infrastruktur logistik.

Seperti diketahui, ritel tradisional memiliki keterbatasan dalam mengakses produk perbankan, padahal mereka sangat bergantung pada pemasukan harian, hal ini membuat pilihan pembayaran paylater kepada supplier memiliki manfaat yang luar biasa bagi warung.

“Dengan Ula, mereka tidak perlu lagi khawatir tentang pembelian barang, ketersediaan produk, atau bahkan pembayaran, yang tentunya akan memberikan mereka waktu lebih banyak untuk fokus kepada hal lain yang lebih penting. Melihat secara langsung dampak yang telah Ula berikan pada kehidupan pelanggan tentunya menggerakkan tim kami untuk terus maju,” tuturnya dalam keterangan resmi, Senin (4/10).

Co-founder & Chief Operating Officer Ula Riky Tenggara menambahkan, “Memecahkan kompleksitas masalah rantai pasokan di Indonesia merupakan sebuah upaya yang sangat menantang dan berdampak. Sebagai perusahaan yang dibangun dari sebuah komunitas, kami tidak dapat meremehkan pentingnya memberikan layanan yang selalu dapat diandalkan oleh pelanggan kami, khususnya layanan yang dapat memberikan perbedaan yang nyata bagi kehidupan mereka.”

Investor Ula, AC Ventures dan Northstar, turut memberikan pernyataannya. Mereka menyatakan bahwa mereka memiliki kesamaan misi mengenai pentingnya pemberdayaan UMKM Indonesia melalui teknologi. Pasalnya, UMKM berkontribusi lebih dari 60% terhadap PDB Indonesia dan menjadi tulang punggung ekonomi negara.

“Ula menyediakan pengadaan dan sistem operasional yang lebih efisien, dan pada akhirnya membuka akses akan pemenuhan kredit yang sangat dibutuhkan untuk memperluas skala bisnis UMKM,” ujar Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Aplikasi Ula memungkinkan pemilik warung untuk memesan berbagai macam produk dan mengirimkannya langsung ke toko mereka. Dengan konsep yang sederhana, Ula mencoba fokus pada kebutuhan pelanggan daripada menambahkan fitur yang tidak perlu, untuk memastikan pengalaman terbaik. Aplikasi ini diklaim lebih ringan, cocok untuk lingkungan koneksi rendah dan perangkat paling dasar, serta memastikan tidak memakan terlalu banyak ruang di ponsel mereka.

Potensi digitalisasi warung

Solusi layanan tersebut menyelesaikan isu yang sangat fundamental. Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial perbankan (unbankable) – sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses layanan digital transaksional secara langsung. Jumlah tersebut sangat besar, bahkan lebih besar dari total penduduk negara-negara di Asia Tenggara kecuali Filipina.

Warung adalah sistem bisnis yang paling menjangkau – tempat ekonomi mikro di berbagai penjuru Indonesia berputar. Menurut data Sensus Ekonomi 2016 yang dirilis BPS, dari 26,4 juta unit Usaha Mikro Kecil (UMK) & Usaha Menengah Besar (UMB), sebanyak 46,38% masuk dalam kategori “Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor” – warung masuk di sana. Jumlah ini sekaligus menjadi yang paling besar di antara jenis usaha lain yang ada di Indonesia.

Dalam wawancara dengan DailySocial.id, Co-Founder Ula Nipun Mehra menjelaskan analisisnya mengapa startupnya mantap merambah sektor ini. Menurutnya, ritel tradisional seperti warung adalah pilar utama ekonomi Indonesia. “Ini adalah backbone dari ekonomi konsumsi, sekaligus mempekerjakan jutaan orang. Peritel tradisional tergolong cost-effective dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai pasar lokal. Namun, sektor ini adalah bagian paling rentan dari value chain karena mereka biasanya bekerja secara individual dengan skala kecil,” ujarnya.

Diversifikasi yang coba dihadirkan adalah efisiensi sumber daya dan permodalan dengan menghadirkan sistem doorstep (pengiriman produk secara langsung) yang hemat biaya. Selain menghubungkan peritel dengan penyedia stok produk FMCG, mereka juga akan memperluas cakupan produk di kategori busana.

Application Information Will Show Up Here

Startup Insurtech Fuse Terima Tambahan Pendanaan Seri B

Startup insurtech Fuse mengumumkan perolehan tambahan pendanaan seri B (extended series B) dari eWTP Technology and Investment Fund, CE Innovation Capital (CEIC), dan Saratoga Investama Sedaya. Tidak disebutkan nominal dana yang didapat.

Pengumuman ini disampaikan selang satu bulan setelah Fuse mengumumkan pendanaan seri B yang dipimpin oleh GGV Capital dengan keterlibatan investor sebelumnya. Di antaranya adalah East Ventures Growth, SMDV, Golden Gate Ventures, Heyokha Brothers, dan lainnya.

eWTP merupakan salah satu investment arm yang di-backup oleh Alibaba dengan dana kelolaan sebesar $600 juta. Fund tersebut menargetkan investasi startup di negara-negara berkembang, seperti India, Vietnam, dan Thailand. Fuse adalah portofolio pertama eWTP di Indonesia.

Dalam keterangan resmi, Partner & CFO eWTP Jiang Dawei mengatakan, Fuse memiliki proposisi nilai unik yang dapat memberdayakan kanal penjualan tradisional dengan menghubungkan berbagai perusahaan asuransi. Selama ini perusahaan asuransi tersebut tersebar dengan jaringan agennya dan menyediakan produk asuransi yang komprehensif bagi agen/broker.

“Fuse juga telah mendemonstrasikan kemampuan untuk memanfaatkan produk asuransi inovatif dan mutakhir dari negara lain untuk menciptakan keunggulan kompetitif yang istimewa. Oleh karena itu, kami melihat Fuse sebagai pemain regional yang kuat di Asia Tenggara dalam waktu dekat,” kata Dawei, Kamis (16/9).

Partner CEIC Xiaolin Zheng menambahkan, Fuse memiliki keunggulan kompetitif di distribusi omnichannel dan inovasi teknologi. Mereka memosisikan diri dengan model “To Agent” yang telah meningkatkan efisiensi rantai pasok asuransi dalam bentuk digital.

“Kami percaya hal tersebut membuat Fuse berada di jalur yang tepat untuk meningkatkan skala bisnis di jangka panjang. Rendahnya penetrasi produk asuransi di Indonesia mengakibatkan prospek pertumbuhan yang menjanjikan dan peningkatan kebutuhan dari konsumen selama masa pandemi,” tutur dia.

CEO Fuse Andy Yeung mengatakan, pihaknya menyambut eWTP, CEIC, dan Saratoga sebagai investor karena mereka adalah pemimpin di sektor masing-masing. “Kami menantikan pengalaman-pengalaman berharga yang akan diperoleh dari mereka.”

Yeung mendirikan Fuse bersama Ivan Sunandar pada 2017, keduanya adalah veteran di industri asuransi. Diklaim, Fuse telah memiliki lebih dari 60 ribu mitra agen/broker dan bekerja sama dengan lebih dari 30 perusahaan asuransi memasarkan lebih dari 300 produk asuransi di dalam platform.

Total Pendapatan Premi Bruto (Gross Written Premium/GWP) yang telah diproses Fuse mencapai lebih dari $50 juta (Rp720 miliar) pada tahun lalu. Angka tersebut diklaim membuat Fuse menjadi perusahaan insurtech terbesar di Indonesia. Akan tetapi, potensi tersebut dapat tergali lebih dalam karena Fuse ingin menyelesaikan permasalahan kepercayaan di antara 97% orang Indonesia yang belum memiliki asuransi.

Fuse meluncurkan aplikasi Fuse Pro yang memungkinkan mitra agen/broker menutup polis secara instan dan mudah bagi konsumen.

Operasional Fuse tak hanya di Indonesia saja, tapi juga sudah melebar ke Vietnam dan Tiongkok dengan total 28 kantor cabang dan memiliki lebih dari 460 pegawai.

Kompetisi pasar

Startup insurtech memang sedang mendapat traksi yang tinggi selama pandemi. Pencapaian startup dari Indonesia kemudian direplikasi saat masuk ke pasar regional. Langkah tersebut juga dilakukan oleh pesaing Fuse, seperti PasarPolis dan Qoala.

PasarPolis yang juga sudah melebarkan sayapnya ke Thailand dan Vietnam. Startup ini mengklaim telah memroses lebih dari 300 juta polis pada akhir Agustus 2021. PasarPolis juga telah mengantongi pendanaan tambahan seri B pada awal tahun ini sebesar Rp70 miliar dari IFC.

Selain kedua pemain tersebut, ada Qoala yang juga telah mengantongi pendanaan seri A senilai Rp209 miliar yang dipimpin MDI Ventures melalui Centauri Fund. Startup ini juga sudah masuk ke Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Pada Maret 2020, Qoala mengklaim telah memroses lebih dari 2 juta polis per bulan, naik dari bulan yang sama di tahun sebelumnya sebanyak 7 ribu polis.

Menurut data yang diolah DSInnovate dalam “Insurtech Report 2021“, GWP yang telah dibukukan industri perasuransian di Indonesia telah mencapai $20,8 miliar pada tahun 2020. Asuransi jiwa mendominasi angka dengan persentase 73,8%.

Kendati sempat terdampak pandemi di awal kemunculannya di Indonesia, namun sektor ini relatif bisa cepat pulih jika dilihat dari Gross Premium Income yang didapat. Dalam laporan di atas, ada beberapa faktor penting yang dapat mendorong adopsi asuransi.

Pertama, isi proses klaim yang harus memudahkan (48% responden). Kemudian yang kedua terkait brand penyedia layanan yang harus meyakinkan (39%). Lalu dilanjutkan biaya (37%) dan manfaat yang diberikan (11%).

Application Information Will Show Up Here