A Simple Way to Interpret Metaverse and Its Context

The metaverse term is gaining popularity since Facebook changed its label to Meta, shifting from social media to metaverse development. Furthermore, more literature arises in local languages to make it easier for people to understand the context of the metaverse. It happens in Indonesia.

In a brief discussion on the metaverse definition and its context, #SelasaStartup invites Shinta VR’s Co-founder & Managing Director, Andes Rizky. He shared tons of insights related to the metaverse and how it is implemented in Indonesia. The excerpt is below:

Metaverse and online realm

On a general note, Andes said that many people has actually experienced the metaverse concept through online games that are semi-metaverse, for example in Mobile Legends, PUBG, Free Fire, and so on which involve virtual teams (multiple players) to play.

However, the experience offered in this game is not immersive as it requires a VR device. “In a quasi (meta) world, we all feel like we are there (the game), emotionally immersed, even though we don’t use VR (a connecting device to the metaverse),” he said.

The right keyword, he continued, the most striking difference between the metaverse and the online realm is emotional involvement. In fact, all the emotional acts and behavior of a person in the metaverse nearly match someone’s behavior in the real world.

For example, he mentioned about Shinta VR’s current development of VR for education and human development. These two segments involve a human learning process that focuses more on the emotional than the logical element.

“For example, you don’t like math, if you don’t have an emotional connection, it won’t work perfectly. Shinta VR helps personalized learning processes that involve emotional elements.”

Andes’ opinion is in line with Kraken’s Co-founder and CEO, Jesse Powell statement. He said people who play popular online games are attracted to the metaverse with the idea of moving virtual items, virtual tokens, virtual outfits, or whatever it is, between different platforms. That’s where NFT and cryptocurrencies will play a big role.

Implementation and target

Moreover, because it involves an emotional element, the metaverse application in the future is to expand to many verticals of life. It includes making it a “tool” to detect a person’s behavior in certain scenarios, a medium to defeat phobias, meditation, analyzing shopping behavior as a target for digital advertising in the future.

Andes said, it is very possible that these potentials will be more accurate than assessments in the online realm. Take a real example, the majority of Indonesians are less objective when it comes to rating the goods they order on marketplace. Even though the stuff is not that great, it will get 4/5 stars. It also happens,when shopping for clothes on online platforms, the sizes are often not the right size.

“As a unified universe, all difficult activities to do in the real world is possible in the metaverse. Therefore, metaverse has many functions, depending on how we want to use it, because everyone is the target of metaverse users.”

In other words, it’s only a matter of time before the metaverse becomes mainstream, which begins with the NFT hype earlier this year. Industrially, the devices that support metaverse presence are getting friendly in terms of price and size. It’s no longer like it used to be, where a VR set must be connected to a PC which costs around IDR 36 million.

It also applies in terms of connection, the 4G network is getting widely and evenly distributed in Indonesia and the quality is increasing from time to time. Andes said this network quality will be able to present social interactions in the metaverse world.

“However, the metaverse is more complex, for a more immersive experience involving video, it requires 5G. However, for social interaction, 4G is enough. The only challenge is how to import VR as it is still challenging, both in Indonesia and Southeast Asia, there is no official Oculus distributor yet,” he said.

Andes also mentioned, “Another thing is, because the metaverse is quite new, it requires further literacy from content creators. This is no longer about digital literacy, but a more complex metaverse literacy. Relevant stakeholders are expected to be involved.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami Metaverse dan Seluk-Beluknya dengan Cara Sederhana

Istilah metaverse makin santer terdengar semenjak pengumuman Facebook yang mengubah namanya menjadi Meta, pergeseran dari media sosial menuju pengembangan metaverse. Semenjak itu, semakin banyak literatur berbahasa lokal agar semakin mudah dimengerti oleh banyak orang terkait seluk beluk metaverse. Hal itu juga terjadi di Indonesia.

Untuk membahas secara sederhana apa itu metaverse dan seluk beluk di dalamnya, #SelasaStartup kali ini mengundang Co-founder & Managing Director Shinta VR Andes Rizky. Andes akan berbagi banyak hal terkait metaverse dan seperti apa implementasinya di Indonesia. Berikut rangkumannya:

Beda metaverse dengan dunia online

Andes menjelaskan secara umum saat ini konsep metaverse sudah dinikmati oleh secara umum oleh banyak orang melalui online game yang sifatnya semi-metaverse, contohnya dalam permainan Mobile Legends, PUBG, Free Fire, dan sebagainya yang melibatkan tim virtual (multiple player) untuk bermain di sebuah game.

Hanya saja, dalam game tersebut pengalaman yang ditawarkan tidak immersive karena memerlukan perangkat VR untuk itu. “Di dunia yang semu (meta) kita semua merasa ada di situ (game), ikut tenggelam secara emosional, meski tidak pakai VR (perangkat penghubung ke metaverse),” ujarnya.

Kata kunci yang tepat, lanjut dia, pembeda yang paling mencolok antara metaverse dengan dunia online saat ini adalah keterlibatan sisi emosional. Sebab, segala tingkah laku dan perilaku emosional seseorang di metaverse bisa dikatakan hampir mendekati perilaku seseorang di dunia nyata.

Ia mencontohkan dengan apa yang dilakukan Shinta VR saat ini mengembangkan VR untuk edukasi dan pengembangan manusia. Yang mana, kedua segmen ini melibatkan proses belajar manusia yang lebih menitikberatkan pada unsur emosional daripada logis.

“Misal enggak suka matematika, kalau memang sudah enggak ada emotional connection, ya enggak bakal bekerja secara sempurna. Shinta VR bantu personalized proses belajar yang melibatkan unsur emosional.”

Pendapat Ander senada dengan apa yang dikemukakan Co-founder dan CEO Kraken Jesse Powell. Dia bilang orang-orang yang memainkan deretan game online populer tertarik dengan metaverse karena ide akan kemudahan memindah-mindahkan barang virtual, token virtual, pakaian virtual, apa pun itu, di antara platform yang berbeda-beda. Di situlah NFT dan mata uang kripto jadi bakal banyak berperan.

Implementasi dan target metaverse

Lagi-lagi karena melibatkan unsur emosional, maka penerapan metaverse ke depannya akan lebih luas ke banyak vertikal kehidupan. Termasuk menjadikannya sebagai “alat” untuk mendeteksi perilaku seseorang ketika ditempatkan di skenario tertentu, media untuk penghilang phobia, meditasi, hingga mendeteksi perilaku berbelanja sebagai target iklan digital ke depannya.

Menurut Andes, potensi-potensi tersebut sangat dimungkinkan bahkan dinilai akan lebih akurat daripada penilaian di dunia online. Ambil contoh nyata, mayoritas orang Indonesia kurang objektif ketika memberikan rating untuk barang yang mereka pesan di platform marketplace. Bahkan untuk barang yang tidak bagus, sering kali mendapat bintang 4/5. Begitpula saat belanja baju di platform online, sering kali ukurannya kurang pas.

“Sebagai universe yang satu kesatuan, semua kegiatan yang sulit dilakukan di dunia nyata bisa dilakukan di metaverse. Oleh karenanya, banyak banget kegunaan metaverse, tergantung bagaimana kita mau pakainya bagaimana sebab semua orang itu jadi target pengguna metaverse.”

Dengan kata lain, tinggal tunggu waktu saja sampai metaverse menjadi sesuatu yang mainstream, yang diawali terlebih dahulu oleh hype NFT yang dimulai sejak awal tahun ini. Sebab secara industri, perangkat pendukung hadirnya metaverse semakin ramah dari sisi harga dan ukuran. Tak lagi seperti dulu, yang mana satu set VR harus terhubung dengan PC memakan harga sekitar Rp36 juta.

Pun dari segi koneksi sendiri, persebaran jaringan 4G di Indonesia sendiri mulai merata dan kualitasnya juga semakin meningkat dari waktu ke waktu. Menurut Andes, dengan kualitas jaringan ini, mampu untuk menghadirkan interaksi sosial di dalam dunia metaverse.

“Hanya saja kalau metaverse yang lebih kompleks seperti melibatkan video untuk pengalaman lebih immersive, harus pakai 5G. Tapi kalau social interaction, 4G saja sudah cukup. Tantangannya tinggal cara impor VR karena masih challenging baik itu di Indonesia maupun Asia Tenggara belum ada distributor resmi Oculus,” tutupnya.

Andes menutup, “Hal lainnya yang perlu diperhatikan karena metaverse masih baru, sehingga perlu literasi lebih lanjut dari para konten kreator. Ini tidak lagi berbicara soal literasi digital, tapi literasi metaverse yang lebih kompleks lagi. Pemangku kepentingan terkait juga perlu dilibatkan.”

Exclusive Interview: Industri VR di Indonesia di Luar Gaming

Industri AR/VR mungkin tidak berkembang sepesat yang diharapkan pada beberapa tahun lalu. Menurut GlobalData, tahun ini industri AR/VR tahun bernilai US$5 miliar. Padahal, pada 2015, nilai industri AR/VR diperkirakan akan mencapai US$150 miliar. Meskipun begitu, menurut data dari PwC, teknologi AR/VR akan tetap dapat mendorong ekonomi global. Dalam laporan berjudul Seeing is Believing, PwC menyebutkan, teknologi AR dan VR dapat memberikan dorongan sebesar US$1,5 triliun pada ekonomi global di 2030.

Bentuk Dorongan yang AR/VR Berikan

Di laporan Seeing is Believing, PwC juga menjelaskan bagaimana teknologi AR/VR dapat mendorong ekonomi global. Mereka menyebutkan, keuntungan yang bisa didapat oleh perusahaan dari teknologi AR/VR beragam, mulai dari mempercepat proses desain produk sampai menjadi alat latihan untuk mengerjakan tugas berbahaya. Sebagai contoh, militer bisa menggunakan VR untuk melatih pasukan dalam menjinakkan bom.

Selain itu, AR/VR juga bisa memangkas waktu yang dibutuhkan perusahaan dalam mendesain produk. Karena, teknologi AR/VR memungkinkan perusahaan untuk menguji konsep produk tanpa harus membuat prototipe dari produk tersebut. Dampaknya ke konsumen, hal ini membuat perusahaan dapat memberikan produk dengan kualitas lebih baik dalam waktu yang lebih singkat.

Dampak AR/VR pada ekonomi global. | Sumber: PwC

Contoh industri yang menggunakan teknologi VR untuk memangkas waktu desain produk adalah industri otomotif. Menurut PwC, waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan otomotif untuk membuat desain pertama sampai model di dunia nyata adalah beberapa minggu. Namun, dengan VR, proses tersebut bisa dilakukan hanya dalam waktu beberapa hari saja.

Perusahaan juga bisa menggunakan teknologi AR/VR untuk mendapatkan sumber pemasukan baru. Saat ini, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang retail, jasa, dan otomotif tengah mempertimbangkan untuk menggunakan AR atau VR untuk menampilkan produk yang mereka tawarkan pada konsumen. Sementara perusahaan game dan hiburan mencoba untuk memberikan pengalaman yang sama sekali baru dengan teknologi AR/VR.

Industri VR di Indonesia: Pandemi Justru Dorong Pertumbuhan

Untuk mengetahui tentang industri AR/VR di Indonesia, saya menghubungi Andes Rizky, Managing Director, Shinta VR. Ketika ditanya soal nilai industri AR/VR di Tanah Air, Andes berkata, “Kalau nilai industri, saya mengacu sama perhitungan dari PwC dengan beberapa adjustment, bahwa Indonesia masuk dalam pasar Asia Pasifik non-Tiongkok. Kalau kita sesuaikan, sebenarnya potensi pasar AR/VR di Indonesia itu bisa sekitar US$500 juta sampai US$2 miliar pada 2025.”

Lebih lanjut, Andes bercerita, konsumsi konten AR/VR di Indonesia mulai naik sejak 2019. Karena, ketika itu, Oculus Quest diluncurkan. Keberadaan Oculus Quest mendorong pertumbuhan industri VR karena jika dibandingkan dengan headset VR lain, Oculus Quest punya harga yang lebih terjangkau. Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri AR/VR, ungkap Andes, adalah karena semakin banyak influencers dan YouTubers yang membuat konten VR, jika dibandingkan dengan 5 tahun lalu.

“Kalau dari peningkatan penjualan sendiri, kita memperkirakan, 2020-2021 ini, peningkatan pendapatan para startup VR naik di angka 50-200% dari tahun 2019,” kata Andes saat dihubungi melalui pesan singkat. “COVID-19 menyebabkan banyak sekali perusahaan, institusi pemerintah, dan masyarakat melirik VR sebagai solusi pandemi.”

Bisnis AR/VR di Indonesia

Mengutip data dari data dari Indonesia VR/AR Association (INVRA), Andes mengatakan, saat ini, ada sekitar 20 startup yang bergerak di bidang AR/VR di Indonesia. Kebanyakan dari startup itu fokus pada bisnis business-to-business (B2B). “Yang punya produk hanya beberapa startup, seperti Shinta VR dengan Millealab, Space Collab, dan Virtual Character, WIR dengan produk MINAR dan DAV, Octagon Studio dengan AR Card Education, dan Assmbler,” jelas Andes.

Startup AR/VR yang melayani perusahaan sebagai klien, mereka biasanya mengerjakan proyek berdasarkan apa yang diinginkan oleh sang klien. “Jadi, perusahaan klien mau buat konten VR, lalu dikerjakan oleh startup-nya,” kata Andes. “Nah, permintaannya macam-macam, ada untuk marketing, training, dan lain sebagainya.”

Perusahaan yang menjadi klien startup VR berasal dari industri yang beragam. Pariwisata dan kesehatan jadi contoh industri yang pelakunya menggunakan AR/VR. Sementara sektor yang paling banyak menggunakan teknologi AR dan VR, menurut Andes, adalah sektor hiburan, pendidikan, dan human development. “Kalau AR, kemungkinan, sektor retail dan e-commerce akan berlomba ke sini,” ujarnya.

Kabar baik untuk pelaku industri AR/VR, generasi milenial dan gen Z yang tinggal di kota-kota besar Indonesia biasanya sudah mengerti VR. Artinya, perusahaan-perusahaan AR/VR tidak perlu terlalu mengkhawatirkan edukasi konsumen. “Jadi, orang-orang di rentang umur 10-35 tahun di kota besar, mereka sudah mengerti VR itu apa. Setidaknya, mereka sudah pernah lihat konten di media sosial atau YouTube, yang bahas tentang VR, walaupun mereka belum pernah langsung coba,” kata Andes. “Kalau dibandingkan dengan lima tahun lalu, edukasi dan awareness tentang VR sudah jauh lebih baik.”

Selama ini, salah satu masalah terbesar yang menghambat industri AR/VR tumbuh adalah harga hardware yang mahal. Namun, menurut Andes, masalah ini bisa diakali dengan membuat produk yang memang sesuai dengan permintaan pasar di Indonesia dan menerapkan strategi harga yang sesuai. “Kita di Shinta VR, untuk melakukan market fit research, kita butuh 6 bulan di 2018,” ungkap Andes. “Kita melakukan iterasi produk beberapa kali. Satu kali iterasi validasi, biasanya membutuhkan waktu 2 bulan.”

Andes menyebutkan, riset menjadi kunci bagi Shinta VR untuk menetapkan harga dari produk mereka. Sementara soal harga ideal dari produk VR, dia mengatakan, hal itu targantung pada keadaan pasar. Karena itulah, dia menekankan, penting bagi perusahaan untuk melakukan riset market fit. “Iterasi produk bisa sampai tiga kali atau lebih,” ujarnya. “Sebagian orang masih menganggap bahwa VR itu mahal dan eksklusif. Padahal, memang dia kebetulan belum ketemu dengan vendor atau produk yang memang sesuai dengan kemampuan mereka. Atau mungkin karena added value-nya kurang tersampaikan.”

Selama ini, Shinta VR dikenal berkat Milealab mereka, yaitu platform yang mendukung penggunanya untuk membuat konten edukasi VR. Tahun ini, mereka meluncurkan produk baru bernama Spacecollab, yang merupakan sistem pelatihan untuk universitas dan perusahaan, dan Maha5, agensi untuk para Virtual YouTuber alias Vtubers.

Andes percaya, ke depan, industri Vtubers di Indonesia akan menjadi besar. Meskipun begitu, menurutnya, hal yang dapat membuat industri VR menjadi mainstream adalah konsep metaverse dari Meta, yang dulu dikenal dengan nama Facebook.

“Konsep meta ini punya banyak efek. Pertama, NFT dan blockchain system semakin meningkat. Kedua, produsen headset VR akan berlomba-lomba untuk membuat alat yang ringan dan murah. Ketiga, emotional connection insight dalam dunia metaverse ini bisa memberikan insight konsumen dengan lebih komprehensif. Empat, sudah pasti akan leverage penggunaan AI dan machine learning,” kata Andes. “Konsep Meta Facebook sebenernya untuk lebih mendapatkan insight emotional loh. Dan ini bakal banyak dibutuhkan dalam dunia commerce atau social-commerce.”

Sumber: Pexels

Shinta VR dan Penerapan Metaverse dalam Segmen B2B

Sejak didirikan pada tahun 2016 lalu, bisnis Shinta VR diklaim mengalami peningkatan yang positif. Bukan hanya dari sisi inovasi, namun juga target pasar dan mitra strategis yang makin banyak. Masih fokus menyasar kepada segmen B2B, kini Shinta VR tengah mempersiapkan diri untuk menghadirkan inovasi yang lebih besar kepada virtual reality enthusiast di Indonesia.

“Saya melihat tahun 2022 mendatang akan lebih banyak lagi permintaan perangkat VR di Indonesia. Membuktikan bahwa teknologi VR sudah semakin dikenal dan digunakan oleh semua kalangan,” kata Managing Director Shinta VR Andes Rizky kepada DailySocial.id.

Secara khusus saat ini Shinta VR memiliki tiga produk unggulan, yaitu  produk edukasi untuk sekolah, layanan human development untuk pelatihan pegawai perusahaan, serta platform entertainment/new media. Shinta VR juga telah membantu ribuan sekolah di 34 provinsi di Indonesia menggunakan teknologi 3D dan VR dalam pembelajaran melalui unit bisnisnya, yaitu Millealab.

Dengan strategi ‘community based content’ Millealab berhasil menciptakan dampak luas bagi dunia pendidikan Indonesia dengan mencetak 5200 guru terlatih dan 130 guru ambasador VR sejak 2019, dan sudah digunakan oleh ratusan sekolah di seluruh Indonesia.

“Masing-masing produk memiliki kekuatan tersendiri yang nantinya jika diintegrasikan, bisa memberikan impact yang luas dan relevan. Untuk mempercepat pertumbuhan, perusahaan juga berencana untuk memperluas target pasar,” kata Andes.

Disinggung apakah ke depannya Shinta VR juga akan menggarap gaming, Andes menegaskan tren game memanfaatkan teknologi VR ke depannya adalah lebih kepada multiplayer. Meskipun memiliki potensi untuk bisa dikembangkan namun mereka masih merasa enggan untuk masuk ke sana. Ada dua alasan, pertama dibutuhkan sumber daya besar untuk menciptakan inovasi tersebut. Kedua, pangsa pasar di segmen B2B masih luas dan cenderung lebih mudah dimonetisasi.

Kantongi pendanaan pra-seri A

Tim Shinta VR dengan TigaLapan Investama Group

Akhir Oktober 2021 lalu, Shinta VR mengumumkan telah mengantongi pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh TigaLapan Investama Group dan Investa Syailendra Nuswantara (INSAN) sebagai business/investment aggregator. Pendanaan ini melengkapi perolehan sebelumnya oleh Telkomsel Innovation Centre (TINC), Rentracks, dan beberapa angel investor.

Tahun 2022 mendatang Shinta VR juga memiliki rencana untuk melanjutkan pendanaan ke tahapan seri A.

Rencananya dana segar tersebut bakal digunakan oleh perusahaan untuk merekrut lebih banyak tim engineer dan melakukan riset produk secara internal untuk mendukung misi perusahaan melebarkan bisnis. Dengan investasi ini, Shinta VR berfokus untuk menjadi perusahaan metaverse paling berdampak di Indonesia.

“Perkembangan Shinta VR sejak tahun 2016 hingga saat ini sudah mengalami pertumbuhan yang positif. Setelah menjalankan bisnis secara bootstrap kini kami mampu bermitra dengan investor yang memiliki koneksi strategis untuk membantu bisnis Shinta VR,” kata Andes.

Fokus mereka yang menyasar segmen B2B dengan menghadirkan produk edukasi dan human development dinilai sangat relevan saat ini. Selama ini perusahaan mengklaim telah berhasil mendapatkan revenue dari produk yang mereka hadirkan.

Selain Shinta VR, perusahaan yang mengembangkan teknologi VR/AR di Indonesia adalah Festivo, DCIMAJI, Magnate, ARnCO, Octagon Studio, Primetech, Avergo, Omni VR, Invoya, INVR, DAV, Varcode. Semua perusahaan tersebut saat ini tergabung dalam Indonesian VR/AR Association (INVRA).

Penerapan metaverse di Indonesia

Di Indonesia sendiri saat ini teknologi VR sudah makin dikenal. Dilihat dari makin banyaknya marketplace yang menjual perangkat VR, menjadikan teknologi ini sudah semakin familiar dikalangan masyarakat. Dukungan dari pemerintah diklaim makin besar, dengan semakin banyaknya perusahaan lokal yang bermain di industri VR saat ini.

Apakah saat ini Indonesia sudah siap menerapkan konsep metaverse? Menurut Andes secara umum saat ini metaverse sudah banyak dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Melalui online games yang sifatnya semi-metaverse, secara langsung masyarakat Indonesia sudah terbiasa berinteraksi walaupun tidak langsung masuk ke metaverse yang sebenarnya. Teknologi yang digunakan juga tidak harus 5G, dengan 4G pun bisa didapatkan hasil yang bagus.

Metaverse menurut saya lebih melibatkan koneksi emosional. Jika bermain game seperti Among Us misalnya sudah bisa dikategorikan kepada metaverse, namun belum masuk dalam definisi metaverse yang sebenarnya. Saat ini pun perangkat untuk VR sudah semakin terjangkau harganya dan banyak dijual di berbagai marketplace. Artinya kita sudah siap, tinggal ditambahkan immersive, connection, dan emotional connection,” kata Andes.

Meskipun sangat luas definisi tentang metaverse, namun menurut Andes ada planet-planet kecil yang masih bisa dimanfaatkan untuk mendukung bisnis. Salah satunya adalah fokus kepada edukasi dan human development. Dengan integrasi data dan lainnya, nantinya juga bisa terhubung dengan metaverse lainnya seperti meta-commerce, blockchain, hingga NFT. Ditambahkan olehnya jika bicara soal metaverse hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana caranya bisa melakukan koneksi yang tepat,

“Misalnya untuk edukasi di sekolah bisa mendapatkan data insight untuk mengukur behavior siswa belajar di dunia virtual, demikian juga dengan human development dengan mendapatkan data yang lebih kompleks. Kemudian untuk virtual character system bisa didapatkan juga data koneksi emosional berinteraksi secara virtual,” kata Andes.

Startup VR Asal Indonesia, SHINTA VR, Dapatkan Pendanaan Pra seri A

Berita terbaru dari pendanaan atas startup asal Indonesia yang bergerak di bidang Virtual Reality atau VR, hadir. SHINTA VR, perusahaan yang berbasis di Jakarta mendapatkan pendanaan pra seri A dari beberapa investor lokal.

Tidak disebutkan nominal angka investasi, tim Hybrid juga telah mencoba mengontak Founder dan Managing Director SHINTA VR, Andes Rizky. Namun memang angkanya tidak diungkap secara umum. Adapun investor yang terlibat pada pendanaan adalah Tigalapan Investama Group dan Investa Syailendra Nuswantara (INSAN) yang memimpin round seri A kali ini.

SHINTA VR sendiri sebelumnya telah mendapatkan investasi dari Telkomsel Innovation Centre (TINC), Renctracks Co Creation, Ltd (Jepang), dan beberapa angel investor.

Anda yang sering mengikuti berita tentang VR dari ranah lokal mungkin akan mengenal beberapa lini produk dari Shinta VR, yaitu Millealab, SpaceCollab atau IP VTuber milik mereka.

Millealab sendiri merpakan unit bisnis dari SHINTA VR yang memiliki beberapa kegiatan antara lain pembelajaran Virtual Relaity ke sekolah-sekolah di 34 provinsi di Indonesia, dengan menggunakan teknologi berbasis 3D dan Virtual Reality. Program ini berhasil mencetak 5200 guru terlatih dan 120 guru sebagai ambassador VR sejak program dijalankan tahun 2019. Millealab menyediakan software platform khusus untuk membuat konten pembelajaran berbasis VR.

Sedangkan SpaceCollab adalah pengembangan sumber daya manusia melalui pelatihan tersinkronisasi berbasis multi-perangkat (VR, komputer, dan smartphone) yang sudah dipakai di beberapa universitas dan perusahaan.

Untuk yang terakhir, Shinta VR memiliki IP VTuber sendiri serta mendirikan agensi Virtual Youtuber bernama Maha5 yang telah bekerja sama dengan GoPlay, Samsung dan berbagai pihak lain.

Dikutip dari rilis, Andes Rizsky, Founder dan Managing Director SHINTA VR, mengatakan bahwa, “Konsistensi kami di bidang Immersive Technology sejak 2016 lalu adalah sebuah perjalanan yang akan membentuk masa depan industri imersif di Indonesia.” Dengan pendanaan ini, SHINTA VR akan memfokuskan diri menjadi perusahaan metaverse paling berdampak di Indonesia.

Sedangkan Presiden Direktur TigaLapan Investama, Titi Khoiriah, mengatakan bahwa SHINTA VR merupakan portofolio pertama mereka di tahun 2021. Memiliki pengalaman di bidang investasi kontruksi, TigaLapan ingin masuk ke industri digital di Indonesia lewat Shinta VR.

Fahmi Bagus Mahessa dari business dan investment aggregator untuk usaha rintisan (start-up) INSAN menyebutkan bahwa, “SHINTA VR telah membuktikan eksistensinya dalam industri imersif dan secara konsisten bertumbuh dengan sangat baik. Kami percaya mereka bisa menjadi sangat besar.”

Investasi kali ini tentunya menarik di tengah semakin luasnya perkembangan metaverse, yang salah satunya menggunakan virtual reality sebagai sarana dalam mengakses konten atau berinteraksi. Tentunya akan menarik untuk melihat produk atau karya apa lagi yang akan dirilis oleh SHINTA VR, di era metaverse yang akan semakin menjadi umum dalam waktu dekat.

Saya kebetulan berteman baik dengan Andes, dan berencana untuk menggali lebih atas rencana SHINTA VR, setelah pendanaan kali ini. Ikuti terus infonya di Hybrid.co.id.

Program VR Ambassador Siap Cetak 5.000 Pionir Media Pembelajaran Berbasis Virtual Reality

Pandemi COVID-19 di tahun 2020 memaksa kita untuk menghadapi perubahan yang besar secara mendadak. Sektor pendidikan pun tidak luput dari itu. Kegiatan belajar mengajar yang umumnya dilakukan secara tatap muka kini harus dilangsungkan secara daring. Ketidaksiapan pun banyak terjadi karena dalam waktu yang singkat, para pendidik harus bisa menyesuaikan diri dengan teknologi yang tersedia.

Di sisi lain, peserta didik juga mengalami kebosanan karena metode pembelajaran daring yang kurang efektif. Mereka mendambakan metode baru yang dapat memberikan kesenangan belajar, dan di sinilah teknologi virtual reality (VR) hadir sebagai salah satu solusi.

Relevansi VR di sektor pendidikan bisa kita tinjau lebih jauh pada laporan World Economic Forum yang diterbitkan di bulan Oktober 2020. Data dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa penyerapan teknologi VR di dunia pendidikan mencapai 70% hingga tahun 2025.

Kebutuhan yang tinggi akan teknologi VR ini tentunya bukan tanpa alasan. VR terbukti mampu meningkatkan pencapaian siswa dalam hal pemahaman materi, peningkatan emosi positif, hingga kemampuan berpikir kritis. Pembuktiannya telah dilakukan di banyak negara dalam bentuk penelitian ilmiah universitas maupun penelitian independen.

Di Indonesia, dampak positif implementasi VR di bidang pendidikan ini bisa kita lihat dari uji coba yang dilakukan di 10 provinsi oleh penyedia platform pendidikan berbasis VR asal tanah air, MilleaLab. Dalam uji coba tersebut, MilleaLab bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang direkomendasikan oleh jaringan Ikatan Guru Indonesia.

“Uji coba yang melibatkan 1.800 peserta didik dari jenjang dasar dan menengah ini memberikan hasil yang sangat positif,” jelas Andes Rizky, Managing Director MilleaLab. “Dari data uji coba yang dilakukan, penggunaan VR dapat meningkatkan emosi positif siswa hingga 90%, meningkatkan daya ingat dan pemahaman siswa pada konteks pembelajaran hingga 80%, dan juga mampu meningkatkan nilai rata-rata kelas hingga 53%,” imbuhnya.

LenteraEdu, platform pendidikan yang diinisiasi oleh Putera Sampoerna Foundation, meyakini bahwa teknologi VR dapat menjadi solusi bagi penyesuaian kegiatan belajar mengajar di era pandemi, sekaligus menjadi gerbang untuk menyatukan teknologi yang bersahabat bagi tenaga dan peserta didik secara bersamaan.

Program VR Ambassador untuk mempercepat transformasi digital pendidikan tanah air

VR Ambassador

Berpegang pada prinsip tersebut, LenteraEdu menginisiasi program VR Ambassador yang bertujuan untuk mencetak tenaga pendidik yang bisa menjadi pionir teknologi immersive dalam dunia pendidikan Indonesia. Dalam melangsungkan programnya, LenteraEdu menggandeng MilleaLab yang sejak tahun 2019 telah aktif memberikan program pelatihan VR.

Kombinasi antara pengalaman pendidik dan fasilitator dari LenteraEdu dengan teknologi bersahabat yang MilleaLab ciptakan tentu dapat bersinergi dan membuka gerbang pendidikan Indonesia ke langkah yang lebih baik lagi. Hal ini pun dibuktikan dengan tingginya antusiasme terhadap program VR Ambassador. Hinggai hari terakhir, jumlah data yang masuk sebagai pendaftar tercatat 3x lipat lebih banyak daripada jumlah yang ditargetkan.

Dari sekian banyak pendaftar, LenteraEdu dan MilleaLab telah melakukan seleksi hingga mendapatkan 100 calon ambassador terbaik. Beberapa di antaranya juga merupakan guru-guru SMK, dan harapannya tentu supaya mereka dapat membantu meningkatkan kualitas lulusan di bidang vokasi, yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya jumlah pelaku usaha kecil dan menengah yang lebih kompeten.

Secara total, program VR Ambassador ini akan berlangsung selama enam bulan. Proses seleksinya telah selesai pada bulan Desember kemarin, dan program pelatihannya sendiri akan dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret ini. Selama pelatihan berlangsung, para guru akan diasah pengetahuan sekaligus keterampilannya dalam menyusun materi pembelajaran alternatif yang inovatif dengan memanfaatkan teknologi VR.

Tujuan akhirnya tentu supaya hasil belajar siswa dapat ditingkatkan, sekaligus memberikan pengalaman belajar yang autentik dan tanpa batas bagi mereka. Namun bukan cuma itu saja, masing-masing dari 100 VR Ambassador ini juga diwajibkan untuk melakukan diseminasi kepada 50 tenaga pendidik di tempat mereka berada, sehingga dapat memperluas praktik baik dan dampak positif yang diberikan. Program diseminasi ini rencananya akan dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2021.

Program VR Ambassador ini telah menerima dukungan penuh dari Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Riset dan Teknologi. Kendati demikian, LenteraEdu dan MilleaLab masih membuka pintu kerja sama dengan instansi lain yang tertarik untuk berkontribusi langsung terhadap pergerakan transformasi digital pendidikan di tanah air, entah itu dalam bentuk sponsorship maupun bentuk dukungan lainnya.

Disclosure: DailySocial adalah media partner program ShintaVR/MilleLab.

Teknologi VR untuk Pendidikan Melalui Program 100 Sekolah Pionir VR Millealab

Pandemi COVID19 telah berdampak di seluruh sektor aktifitas termasuk pendidikan. Di Indonesia, 94% sekolah-sekolah yang berada di Zona Merah sampai Zona Kuning tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka.

Hal ini sebenarnya sudah terjadi di beberapa daerah sejak pandemic COVID19 mulai muncul di bulan Maret 2020. Siswa-siswa secara serentak “dipaksa” untuk melakukan kegiatan belajar dari rumah. Para tenaga pendidik pun tak luput dari perubahan cepat ini. Mereka diharuskan untuk menggunakan teknologi secara kreatif agar murid tidak merasa bosan dengan sistem pembelajaran daring.

Beberapa Lembaga melakukan survei tingkat kebosanan siswa dan kebutuhan mereka akan metode pembelajaran daring yang menyenangkan. Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Timur , 92,29 % pelajar Jawa Timur yang menjadi responden survei, menginginkan metode belajar daring yang lebih kreatif dan inovatif. Dan 88,75 % responden yang menganggap sistem kegiatan belajar mengajar (KBM) saat ini menjenuhkan, membosankan dan membuat stress.

Sedangkan di Yogyakarta Survey yang dilakukan Direktur Pusat Kajian Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP), Universitas Gadjah Mada (UGM), terhadap 385 siswa di Yogyakarta, dari tingkat SD hingga SMA. Sebanyak 72% siswa di antaranya menyatakan, sulit memahami materi yang disajikan melalui metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).  Selain itu, penggunaan video conference untuk pembelajaran daring sangat memakan biaya kuota internet.

Sebagai contoh, satu jam belajar menggunakan aplikasi video conference dengan jumlah peserta 20 orang menghabiskan kuota sebanyak 1,5 Gb hingga 1,98 Gb, jika dikalikan dengan 4 jam belajar menggunakan video conference, maka satu hari dapat menghabiskan 6Gb hingga 10 Gb kuota internet. Tentunya hal ini sangat memberatkan bagi orang tua. Penggunaan VR Platform Millealab sebagai aplikasi pembelajaran berbasis VR, hanya membutuhkan maksimal kuota sebanyak 150 Mb saja” pungkas Andes, Managing Director Millealab.

Millealab sebagai satu-satunya produk cloud based platform VR untuk pendidikan di Indonesia, yang dikembangkan oleh anak bangsa dari SHINTA VR. Dengan menggunakan Millealab, para guru dapat membuat konten pembelajaran berbasis VR mereka sendiri tanpa harus menggunakan bahasa programming dan tanpa harus menggunakan computer yang mahal.

Selain itu, Millealab mempunyai fungsi classroom di mana para guru dapat berbagi konten pembelajaran VR beserta kuis-kuis didalamnya dengan sangat cepat dan mudah. Millealab yakin bahwa salah satu solusi efektif bagi sekolah-sekolah saat ini adalah penggunaan massif teknologi VR dan 3D interaktif. Dengan berbekal pengalaman melatih ribuan guru di Indonesia untuk membuat konten VR Pendidikan, Millealab bekerjasama dengan Ikatan Guru Indonesia DKI Jakarta, SEAMEO SEAMOLEC, Pigijo, dan DailySocial meluncurkan program “100 Sekolah Pionir VR Indonesia”.

Program ini bertujuan untuk memberikan akses dan pembimbingan jangka panjang secara gratis kepada 100 sekolah terpilih di 34 provinsi Indonesia untuk menggunakan teknologi VR melalui platform Millelab. Rekomendasi pemilihan sekolah dikoordinasi oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) DKI JAKARTA.

Setelah sekolah-sekolah terpilih, para guru perwakilan harus mengikuti pelatihan dan pembimbingan yang dilakukan guru-guru trainer dari IGI DKI JAKARTA untuk membuat konten pembelajaran VR sesuai dengan identifikasi pedagogi dan non-pedagogi sehingga setiap sekolah akan menemukan formulasi yang tepat dan optimal bagi siswa-siswi mereka.

Setelah para guru dapat membuat konten VR mereka sendiri menggunakan Millealab, mereka akan dibimbing untuk mengujicobakan dengan metode blended learning yang mereka pilih sesuai hasil identifikasi. Setelah itu program akan terus berlanjut untuk mendapatkan evaluasi perbandingan pembelajaran menggunakan VR untuk peningkatan emosi positif siswa, skill kognitif, skill literasi, dan skill problem solving yang kompleks.

Selain itu, program ini menggandeng partner-partner industri terkait bagi praktik baik pendidikan dengan memasukan subprogram-subprogram yang dapat meningkatkan kapasitas kualitas siswa. Subprogram yang meliputi pengetahuan potensi pariwisata daerah, UMKM dan entrepreneurship, dan literasi pengetahuan finansial bagi remaja diharapkan akan mampu membangun semangat berkarya bagi siswa-siswi dari sekolah terpilih.

Program Pionir VR ini adalah suatu revolusi bagi dunia pendidikan. Revolusi tentunya bergerak cepat dan dapat menjadi hal yang fundamental, terutama untuk memunculkan kembali nilai kreatifitas siswa dan inspirasi baik bagi mereka.” Tutur Bapak Iwan Ridwan selaku ketua IGI DKI JAKARTA dalam sambutannya di acara Grand Launching 100 Sekolah Pionir VR Indonesia.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner program Millealab “100 Sekolah Pionir VR Indonesia”.

Shinta VR Perkenalkan Maya Putri, YouTuber Virtual Pertama dari Indonesia

Kemahiran talenta dari Jepang di ranah robotik bukan hanya terealisasi lewat pembuatan robot mekanis, tapi juga pada penciptaan agen virtual serta Vocaloid. Saya kenal beberapa kawan yang merupakan penggemar berat Hatsune Miku, karakter berbasis kecerdasan buatan seperti Kizuna Ai mempunyai acara TV-nya sendiri dan menjadi salah satu duta turisme Jepang.

Kali ini, langkah serupa diambil oleh perusahaan teknologi lokal yang memulai kiprahnya di ranah virtual dan augmented reality. Belum lama ini, Shinta VR memperkenalkan agen digital buatannya yang disiapkan untuk menjadi YouTuber. Tim asal Jakarta itu menamai kreasinya Maya Putri. Bagi saya pribadi, penamaannya sangat catchy. Maya adalah terjemahan bahasa Indonesia dari kata ‘virtual‘ sedangkan Putri ialah nama populer sekaligus representasi dari gender tokoh itu.

Maya Putri diklaim sebagai YouTuber virtual pertama dari Indonesia. Mungkin sebagai bentuk apresiasi terhadap tempat dicetusnya gagasan agen virtual, ia mempunyai desain karakter ala tokoh anime yang dikombinasikan bersama sejumlah atribut khas Indonesia, contohnya pakaian berwarna merah putih serta pengguanaan pola batik berbeda di baju serta bandana.

Berdasarkan video introduksinya, Maya mengaku berasal dari kota Solo, namun kata-kata yang diucapkannya mengindikasikan kentalnya aksen bahasa Jepang. Dari penjelasan Shinta VR, ini merupakan salah satu cara agar Maya cepat populer di kalangan pecinta pop culture Jepang lokal serta khalayak global.

Maya Putri 1

Shinta VR penyampaikan bahwa proses pengembangan Maya Putri menyerupai prosedur penciptaan YouTuber virtual lain. Tim developer memanfaatkan software animasi 3D dan teknologi perekam gerakan untuk membuat avatar digital itu, kemudian konten-konten tersebut didistribusikan ke platform video sharing YouTube. Maya Putri sendiri ‘punya cita-cita’ buat menjadi penyanyi nasional.

Yang menarik dari teknologi YouTuber virtual di sana adalah, Shinta VR memastikan agar Maya Putri tak hanya jadi tontonan, namun bisa pula berinteraksi dengan pemirsa. Buat memamerkan kemampuannya itu, sang YouTuber digital pertama asal Indonesia akan menjadi tamu di acara Anime Festival Asia, yang dilangsungkan di akhir bulan Agustus nanti.

Di acara itu, Maya Putri akan menyanyikan lagu-lagu cover secara live serta berpartisipasi dalam sesi tanya jawab bersama pengunjung. Meski begitu, Shinta VR juga punya rencana untuk mempersiapkan Maya buat menyanyikan lagu orisinal, serta merilis stiker Line dan sejumlah merchandise di waktu yang akan datang.

Shinta VR membuka kesempatan bagi perusahaan lain untuk bekerja sama menciptakan karakter orisinal mereka. Tim akan menyediakan sistem dan panduan, mendukung proses produksi video, serta membantu mereka mendistribusikan YouTuber virtualnya.

Mencicipi Game VR Kompetitif Pertama Buatan Anak Bangsa, Codename: Mindvoke

Eksekusi sebuah produk teknologi perlu dilakukan secara tepat. Terlalu cepat, biasanya pasar belum siap; tapi jika terlambat, maka peluang untuk jadi pionir lewat begitu saja. Kasus ‘terlalu cepat’ itu sempat terjadi pada platform VR mindVoke kreasi Shinta VR. Platform ini memungkinkan user menciptakan sendiri dunia virtual berbekal PC/smartphone, kemudian mempersilakan kita men-share-nya.

Terlepas dari upaya Shinta VR mendesainnya sebagai platform user-friendly, konsumen ternyata belum siap mengadopsinya. mindVoke dirilis hanya beberapa bulan setelah Oculus Rift dan HTC Vive dilepas, dan mungkin, saat itu belum banyak pengguna menyadari kecanggihan serta potensi VR. Namun semangat Shinta VR meramu produk berbasis virtual reality belum padam. Anda mungkin sudah tahu, mindVoke kini menjelma jadi game kompetitif berjudul Codename: Mindvoke.

Hampir sama seperti strategi yang dilakukan OmniVR, Shinta VR mencoba memperkenalkan karya barunya itu melalui kompetisi offline. Tapi berbeda dari VR League, Codename: Mindvoke menjadi primadona di turnamennya. Dan sebelum babak penyisihan minggu lalu dimulai, saya diberikan kesempatan untuk mencobanya lebih dulu.

 

Hands-on, eyes-on

Layaknya mayoritas game action virtual reality, Codename: Mindvoke mengusung perspektif orang pertama. Penyajiannya sedikit mengingatkan saya pada arena virtual reality EXA Outpost di Kuala Lumpur, Malaysia. Namun ketika EXA fokus pada pengalaman kooperatif, Mindvoke dirancang sebagai permainan kompetitif. Di versi ini, game menyajikan pertandingan antar-tim dua lawan dua.

mindvoke3

Tim Shinta VR menjelaskan bagaimana permainan ini dibangun menggunakan engine Unity. Mereka sempat mempertimbangkan buat memanfaatkan Unreal, tapi memutuskan memilih Unity karena developer lebih memahami tool-nya dan waktu untuk mempelajari Unity jauh lebih singkat dari Unreal. Shinta VR juga mengaku mereka sangat memerhatikan faktor optimalisasi software sehingga game dapat mencapai kriteria resolusi 2160×1200p di 90Hz.

mindvoke2

mindvoke4

Hal lain yang saya tangkap ialah, Codename: Mindvoke berjalan di platform SteamVR, disuguhkan menggunakan head-mounted display HTC Vive beserta controller-nya. Di arena kompetisi yang berlokasi di What’s Up Cafe Kemanggisan ini, Shinta VR memanfaatkan laptop MSI dengan kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1060. Dan dari pengalaman saya menikmatinya, game berjalan dengan mulus – saya sama sekali tidak merasakan motion sickness ketika bermain ataupun waktu melepas headset.

mindvoke6

mindvoke1

Sebelum memulai, Mindvoke meminta pemain memasukkan nickname dan nama tim. Setelah itu, game membawa kita ke ruang tunggu virtual di mana Anda bisa beradaptasi dengan sistem kendalinya. Mindvoke menggunakan sistem navigasi berbasis teleportasi, yang segera mengingatkan saya pada Doom VFR. Teleportasi merupakan metode bergerak utama, dan Anda juga dapat mengombinasikannya bersama kemampuan ‘terbang’ yang mengonsumsi energi.

mindvoke13

Karakter-karakter pemain direpresentasikan oleh avatar berupa manusia setengah badan – hanya bagian atas tubuh saja yang ditampilkan. Lalu pemain disajikan tiga pilihan senjata: pistol, pedang dan panah. Pistol merupakan opsi yang paling mudah digunakan, pedang adalah spesialis jarak dekat, sedangkan panah ialah senjata tersulit tapi paling mematikan. Untuk bergerak ke suatu lokasi, Anda perlu menekan touchpad dan menentukan arahnya.

mindvoke12

mindvoke8

Percobaan pertama saya tidak bisa dikatakan sukses. Butuh beberapa kali sesi bermain agar gamer dapat lebih lancar mengombinasikan teknik teleportasi, menembak dan menoleh. Sejumlah hal krusial saya sadari setelah dibuat bertekuk lutut oleh tim Shinta VR: komunikasi dengan rekan satu tim Anda sangat penting, kemudian semakin tinggi posisi karakter, semakin luas juga ruang pengawasan Anda. Itu alasannya pemain berpanah sangat berbahaya ketika menempati posisi tinggi.

mindvoke5

Mindvoke menyajikan art direction khas sci-fi dengan warna-warni yang cerah. Shinta VR mengakui ada banyak aspek di sisi visual yang dapat mereka sempurnakan, namun Anda tidak akan terlalu memperhatikan kekurangan grafisnya ketika sedang sibuk membidik lawan sembari berteriak meminta perlindungan. Selama turnamen berlangsung, peserta akan bertanding di arena surealis bertema makanan.

mindvoke7

mindvoke9

 

Rencana ke depan

Awalnya Mindvoke didesain sebagai permainan multiplayer kooperatif, namun Shinta VR menyadari ada satu faktor yang belum ada di versi awal kreasi mereka itu: tujuan bermain. Menurut developer, ada banyak elemen unik diekspos oleh formula multiplayer. Beberapa yang saya lihat meliputi kerja sama, komunikasi, elemen persaingan, serta lebih seru buat disaksikan. Dan untuk sekarang, game VR kompetitif memang terbilang masih jarang.

mindvoke11

Selanjutnya, Shinta VR punya agenda untuk melepas Codename: Mindvoke di Steam tahun ini (walaupun belum diketahui kapan tepatnya akan meluncur). Di versi baru itu nanti, game kabarnya siap mendukung mode 5 versus 5.

Turnamen Codename: Mindvoke sendiri akan terus dilangsungkan di sepanjang tahun, digelar di gerai-gerai What’s Up Cafe. Shinta VR sengaja memilih lokasi-lokasi yang berdekatan dengan kampus, dan ‘season pertama’ ini dilaksanakan di area Kemanggisan dari mulai tanggal 6 sampai 28 April 2018.

Perkembangan dan Potensi Teknologi VR dan AR di Indonesia

Perlahan tapi pasti, kehadiran teknologi Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), hingga Mixed Reality (MR) telah memberikan pilihan baru. Tidak hanya bagi industri game namun industri umum lainnya. Meskipun jumlah penggiat startup yang menyasar teknologi VR, AR dan MR masih tergolong sedikit, namun keberadaannya di Indonesia sudah makin familiar dan banyak digunakan masyarakat umum.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial menghadirkan Co-Founder Shinta VR Andes Rizky untuk mengupas tuntas apa itu teknologi VR dan AR dan bagaimana posisi Indonesia terhadap teknologi VR dan AR saat ini.

Perkembangan teknologi

Sejak tahun 1960-an, teknologi yang satu ini sudah dikembangkan segelintir orang. Meskipun belum bersifat komersil dan kebanyakan digunakan untuk pendidikan, konstruksi, dan kesehatan, teknologi VR sudah cukup familiar digunakan di Amerika Serikat. Pada tahun 1980-an teknologi VR ini kemudian kembali hadir dengan produk  yang lebih canggih, namun sekali lagi belum banyak digunakan masyarakat umum.

“Pada tahun 1987, melalui produk VR buatan visual artist Jaron Lanier, teknologi VR sudah mulai dikembangkan lagi. Namun karena harganya yang sangat mahal, hanya kalangan tertentu saja yang bisa menikmati teknologi ini,” kata Andes.

Meskipun belum memiliki tampilan yang seamless seperti saat ini, teknologi VR dan AR pada tahun 80-an, sudah mulai memanfaatkan sensor hingga gerakan tubuh untuk kemudian diimplementasikan ke dalam teknologi tersebut.

Berbeda dengan VR yang banyak digunakan kalangan umum, teknologi AR justru lebih banyak digunakan untuk keperluan militer hingga institusi privat. Kemampuannya yang bisa mencatat semua pergerakan juga banyak digunakan oleh konstruksi untuk menelaah takaran hingga kebutuhan yang tepat untuk membangun gedung atau rumah.

“Jika saat ini teknologi AR justru jauh lebih familiar digunakan untuk keperluan komersil, dulunya teknologi AR terbilang sangat eksklusif dan hanya kalangan tertentu yang bisa menggunakannya,” kata Andes.

Saat ini, berkat kepopuleran permainan Pokemon Go, teknologi AR tidak hanya banyak digunakan orang dewasa. Banyak anak-anak mulai familiar dengan teknologi ini. Tidak hanya untuk permainan, tetapi juga edukasi dan hiburan lainnya.

Perkembangan teknologi VR dan AR kemudian melahirkan teknologi baru yang merupakan peleburan dua teknologi tersebut, yaitu Mixed Reality (MR). Teknologi yang tergolong masih baru ini secara fleksibel mampu menghasilkan gerakan yang unik, berasal dari kecerdasan AR dan VR.

“Intinya adalah VR tergolong lebih personal dibandingkan dengan AR. VR sendiri saat ini lebih didominasi oleh game untuk hiburan masyarakat umum,” kata Andes.

Kesiapan Indonesia

Sedikitnya ada 13 perusahaan teknologi yang mengembangkan teknologi VR dan AR di Indonesia. Masing-masing dengan keunikan sendiri, menawarkan produk untuk korporasi, startup, dan layanan e-commerce.

Selain Shinta VR, perusahaan yang mengembangkan teknologi VR dan AR di Indonesia adalah Festivo, DCIMAJI, Magnate, ARnCO, Octagon Studio, Primetech, Avergo, Omni VR, Invoya, INVR, DAV, Varcode. Semua perusahaan tersebut saat ini tergabung dalam Indonesian VR/AR Association (INVRA).

“Bersama dengan Bekraf kita memiliki rencana untuk memberikan edukasi dan pelatihan kepada pengembang hingga masyarakat umum yang tertarik dengan teknologi VR dan AR,” kata Andes.

Meskipun masih didominasi negara Tiongkok dalam hal penyebaran produk dan pengembangan perangkat teknologi, namun Indonesia memiliki potensi yang besar untuk bisa mengembangkan teknologi VR dan AR. Dengan pilihan harga produk yang makin terjangkau, Andes optimis akan lebih banyak lagi pengembang VR dan AR di Indonesia.

“Shinta VR sendiri dalam waktu dekat akan meluncurkan permainan VR yang bisa digunakan oleh tim dalam jumlah yang banyak. Masih fokus kepada permainan, kita akan melanjutkan ke tahap scale up dengan permainan yang rencananya bakal dirilis bulan Juli mendatang,” tutup Andes.