BI-FAST Diresmikan, Biaya Transfer Antarbank Turun Jadi Rp2.500

Satu per satu implementasi dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 mulai terealisasi. Bank Indonesia akhirnya meresmikan BI Fast Payment (BI-FAST) yang memungkinkan transfer antarbank hanya Rp2.500.

BI-FAST adalah infrastruktur sistem pembayaran yang disediakan Bank Indonesia yang dapat diakses melalui aplikasi yang disediakan industri sistem pembayaran dalam memfasilitasi transaksi pembayaran ritel bagi masyarakat. Implementasi BI-FAST oleh bank kepada nasabahnya akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan rencana bank dalam mempersiapkan kanal pembayaran bagi nasabahnya masing-masing.

Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, BI-FAST merupakan tongak penting reformasi digitalisasi sistem pembayaran nasional sebagai implementasi BSPI 2025 bersama, QRIS, SNAP, dan reformasi regulasi sistem pembayaran. Ini merupakan inisiatif nasional untuk menciptakan infrastruktur SP ritel yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bertransaksi ekonomi dan keuangan yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal.

“Saya berharap peluncuran BI-FAST akan mempercepat digitalisasi ekonomi keuangan nasional, mengintegrasikan ekosistem industri sistem pembayaran secara end-to-end dari perbankan digital, fintech, e-commerce, dan konsumen, mendorong inklusi ekonomi keuangan, serta mendorong pemulihan ekonomi nasional“ ungkap Perry dalam peluncuran BI FAST, Selasa (21/12).

Pada tahap awal di Desember 2021, implementasi BI-FAST fokus pada layanan transfer kredit individual dengan 21 peserta batch 1 yang telah go live. Bagi calon peserta lainnya yang belum masuk sebagai peserta batch 1, Bank Indonesia tetap membuka gelombang-gelombang berikutnya untuk menjadi peserta BI-FAST. Selanjutnya, layanan akan diperluas secara bertahap mencakup layanan bulk credit, direct debit, dan request for payment.

Nasabah bisa bertransaksi menggunakan BI-FAST di berbagai instrumen pembayaran, seperti nota debit atau kredit, uang elektronik, dan alat pembayaran menggunakan kartu. Lalu bisa menggunakan kanal dari teller, mobile banking, internet banking, ATM atau EDC, dan agen.

“Selanjutnya calon peserta lainnya akan terus kami dorong untuk bergabung pada tahapan-tahapan berikutnya. Pada pekan ke-4 Januari akan ada peluncuran kembali, dengan harapan pada 2022 seluruh industri bisa memanfaatkan BI-FAST untuk kepentingan rakyat.”

Teknologi dan kepesertaan BI-FAST

Sebagai catatan, sistem baru ini akan melengkapi layanan pembayaran ritel yang sudah ada saat ini, yakni Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Tetapi layanan BI-FAST diklaim lebih unggul dari sisi efisiensi waktu hingga tarif yang lebih murah.

BI menetapkan tarif yang harus dibayarkan oleh peserta, dalam hal ini perbankan, kepada BI selaku penyelenggara, sebesar Rp19 per transaksi. Sedangkan tarif yang dikenakan oleh perbankan kepada nasabah maksimal Rp2.500 per transaksi. Biaya ini lebih murah dibandingkan tarif SKNBI sebesar Rp2.900. Bank sentral juga menetapkan batas maksimal nominal transaksi BI-FAST secara bertahap, di mulai dari Rp250 juta pada tahap awalnya.

BI mengklaim kecepatan penyelesaian pembayaran hanya butuh waktu 25 detik, beroperasi 24 jam dan seminggu penuh. Kecepatan tersebut bukan hanya di level nasabah, juga setelmen di perbankannya itu sendiri. “Kalau sekarang beberapa transfer online di nasabahnya memang real-time, tapi di banknya H+1,” ujar Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendrata mengutip dari Katadata.

Keunggulan BI-FAST lainnya adalah memiliki fitur proxy address, yang memungkinkan transfer tidak hanya bisa dilakukan dengan nomor rekening melainkan proxy address yang didaftarkan, berupa nomor HP atau alamat email.

Dalam penyelenggaraan BI-FAST, bank sentral menerbitkan beleid yang tertuang dalam PADG No. 23/25/PADG/2021 sebagai pedoman bagi para calon peserta maupun peserta BI-FAST. Peserta BI-FAST adalah bank maupun lembaga selain bank (LSB) dan pihak lainnya, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditentukan.

Disebutkan, bank yang bisa menjadi peserta langsung harus memiliki modal inti minimum Rp6 triliun dan modal disetor minimal Rp100 miliar untuk lembaga non bank. Dengan kata lain, bank-bank yang modal intinya masih di bawah angka tersebut, hanya bisa menjadi peserta tidak langsung dengan bekerja sama dengan peserta langsung untuk setelmen transaksi pembayarannya.

Dari sisi nasabah, biaya transfer BI-FAST yang berlaku pada peserta tidak langsung akan lebih mahal dibandingkan peserta langsung karena ada biaya tambahan yang dibebankan.

Tanggapan Flip

Kehadiran BI-FAST bisa dikatakan menjadi ancaman tersendiri bagi startup seperti Flip dan Oy! yang menyediakan bebas biaya transfer antarbank. Kepada DailySocial.id, Co-founder dan CEO Flip Rafi Putra Arriyan menuturkan pihaknya senantiasa menyambut baik kebijakan yang dibuat oleh Bank Indonesia karena selaras dengan visi Flip dalam menghadirkan solusi teknologi keuangan yang adil bagi seluruh masyarakat di Indonesia.

“Untuk mendukung inisiatif tersebut, kami berkomitmen untuk melanjutkan upaya dan inovasi kami dengan memanfaatkan teknologi guna memberikan kualitas terbaik, baik untuk kepraktisan, kemudahan, maupun kecepatan dalam bertransaksi bagi para pelanggan di seluruh Indonesia.”

Produk Flip sebenarnya tidak hanya transfer antarbank tanpa biaya saja, ada juga remitansi, pembelian produk digital, top up e-wallet, dan solusi manajemen transfer untuk B2B. Meski produk Flip head-to-head secara langsung dengan BI-FAST, sebenarnya Flip membebankan biaya sebesar Rp2.500 per transaksi apabila pengguna mengirim dana lebih dari batas maksimal Rp5 juta dalam sehari. Biaya ini sama persis dengan yang dibebankan BI-FAST.

Baru-baru ini perusahaan menyediakan jam operasional 24 jam untuk memberikan akses transfer dana yang lebih leluasa kepada penggunanya di sejumlah bank, untuk saat ini. Sebelumnya, Flip membatasi jam operasionalnya dari jam 7 pagi sampai jam 8 malam.

SNAP Tandai Dimulainya Standardisasi “Open Banking” Indonesia

Indonesia mulai menyusul negara global lainnya untuk mulai mengimplementasikan standar nasional Open API. Bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-76, Bank Indonesia meresmikan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP). Sekaligus uji coba sandbox QRIS dengan Thailand (Thai QR Payment) yang disebut QRIS Antarnegara.

SNAP merupakan standar nasional yang ditetapkan BI atas seperangkat protokol dan instruksi yang memfasilitasi interkoneksi antaraplikasi secara terbuka dalam pemrosesan transaksi pembayaran. Oleh karenanya, SNAP menyatukan berbagai layanan transaksi di Indonesia ke dalam satu sistem.

Standardisasi Open API Pembayaran ini, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, dapat menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, kompetitif, dan inovatif, sehingga dapat menyediakan layanan sistem pembayaran kepada masyarakat yang efisien, aman, dan andal.

SNAP mencakup standar teknis keamanan, standar data, spesifikasi teknis, dan dokumen pedoman tata kelola sistem pembayaran nasional. Ada dua hal yang distandarkan oleh SNAP.

Pertama, dokumen standar teknis dan keamanan, standar data, dan spesifikasi teknis SNAP menstandarkan, antara lain: protokol komunikasi, tipe arsitektur API, struktur dan format data, metode autentikasi, metode otorisasi, metode enkripsi, persyaratan pengelolaan akses API, struktur data request, hingga struktur data response.

Kedua, dokumen pedoman tata kelola SNAP menstandarkan pedoman perlindungan konsumen, perlindungan data, persyaratan kehati-hatian bagi penyedia layanan dan pengguna layanan, serta kontak.

Pengimplementasian SNAP merupakan salah satu tahapan penting dalam rangka mengakselerasi open banking di area sistem pembayaran. Inisiatif ini adalah tindak lanjut dari visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.

Menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 / Bank Indonesia

Penyusunan SNAP dilakukan bersama oleh Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dengan membentuk Working Group (WG) Nasional. Sebelum WG nasional dibentuk, BI terlebih dulu menerbitkan Consultative Paper Standar Open API Pembayaran oleh Bank Indonesia pada kuartal I 2020.

Jauh sebelum bank sentral menetapkan standarisasi Open API ini, industri sudah ambil langkah terlebih dulu dengan membuat Open API versi masing-masing. Salah satunya adalah BCA yang meluncurkan API BCA pada 2017. Disebutkan volume transaksi API BCA tumbuh 4,8 kali dalam dua tahun terakhir. Transaksinya tembus lebih dari 1 miliar aktivitas transaksi dan telah digunakan oleh lebih dari 2.500 nasabah bisnis.

Pengembangan fiturnya telah mencapai ratusan untuk memenuhi berbagai kebutuhan bisnis, seperti informasi saldo, mutasi rekening, transfer, BCA Virtual Account, dan lainnya. Bagi nasabah bisnis, implementasi API BCA mempermudah mereka saat rekonsiliasi transaksi penerimaan pembayaran, automasi dan simplifikasi proses transaksi bisnis.

QRIS Antarnegara

Sementara itu, terkait QRIS Antarnegara yang masuk ke dalam bagian SNAP, sebagai permulaannya bekerja sama dengan Bank of Thailand (BOT). Bagi konsumen atau wisatawan yang berasal dari Indonesia dan Thailand bisa melakukan pembayaran dengan memindai kode QR di masing-masing negara.

Perry mengatakan, pengembangan QRIS Antarnegara dengan Thailand dapat menjadi tonggak baru dalam memfasilitasi aktivitas masyarakat antar kedua negara, khususnya bagi wisatawan.

Secara teknis, penyelesaian transaksi QRIS Antarnegara ini menggunakan mata uang lokal masing-masing negara atau local currency settlement (LCS) melalui bank yang sudah dipilih atau appointed cross currency dealers (ACCD).

Interkoneksi switching to switching dibangun antar switching kedua negara yaitu Rintis, Artajasa, Jalin dan Alto dari Indonesia dengan National ITMX (NITMX) dari Thailand. Adapun bank ACCD di Indonesia yang terpilih adalah BCA, BNI, dan BRI. Sementara, bank ACCD di Thailand ada Bangkok Bank (BBL), Bank of Ayudhya (Krungsri), dan CIMB Thai Bank (CIMBT).

Proyek ini juga turut melibatkan 13 provider QRIS. Mereka adalah Bank Sinarmas, Bank Mega, Bank Permata, Bank BSI, Telkom Indonesia, Maybank, ShopeePay, LinkAja, DANA, Bank Mandiri, CIMB Niaga, dan Otto Cash.

Fase komersial penuh dengan Thailand akan dilakukan pada kuartal I 2022. Setelah Thailand, bank sentral tengah menanti uji coba dengan Malaysia. “Setelah Thailand kita dengan Malaysia dan setelahnya sudah ada beberapa negara ASEAN lain yang berminat dan sudah menyetujui,” terang Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta mengutip dari Katadata.

Setelah skala ASEAN, pada fase berikutnya QRIS Antarnegara bakal disiapkan untuk lintas negara di luar ASEAN. Salah satunya, dengan Arab Saudi.

Open banking di Singapura

Sumber: The Edge Markets

Tentunya kehadiran SNAP mempermudah industri jasa keuangan untuk terhubung secara digital dengan pemain non-bank. Contoh terdekat yang bisa ditengok adalah Singapura yang menjadi salah satu kiblat negara maju di Asia.

Pada dasarnya, semangat open banking adalah memberi manfaat kepada konsumen melalui peningkatan pengalaman konsumen, akses ke produk yang mendukung perbankan terbuka, dan pengambilan keputusan keuangan yang lebih baik dengan menggabungkan informasi keuangan mereka dalam satu platform.

Monetary Authority of Singapore (MAS) adalah pendorong utama perkembangan open banking yang masif di Singapura. Salah satu inisiatif utama yang mereka ambil adalah memperkenalkan API Exchange (APIX), sebuah platform kolaborasi yang menjadi dasar kuat bagi pertumbuhan open banking.

APIX adalah platform arsitektur terbuka lintas batas pertama di dunia dan bertujuan untuk mendukung inovasi dan inklusi keuangan di ASEAN dan di seluruh dunia. Platform yang diluncurkan pada November 2018 ini menjadi tempat lembaga keuangan dan perusahaan fintech dapat terhubung dengan mudah dan berkolaborasi dalam pengalaman desain melalui API.

Menurut Founder & CEO MatchMove Shailesh Naik, dia telah melihat kemajuan dalam kolaborasi antara bank dan perusahaan fintech di bidang ini selama dua tahun terakhir. Bank sekarang lebih bersedia untuk bekerja sama dan mulai menjangkau untuk tetap kompetitif karena proses di perusahaan fintech menjadi lebih menarik dan hemat biaya untuk sektor keuangan konvensional.

Tonggak penting lainnya lewat MAS adalah inisiatif Financial Planning Digital Services, yang bertujuan untuk memfasilitasi portabilitas data dengan kerangka kerja API yang aman. Pada 7 Desember 2020, MAS meluncurkan Singapore Financial Data Exchange (SGFinDex), yang melibatkan konsolidasi data keuangan dari bank dan lembaga pemerintah di satu tempat, bukan di beberapa lokasi.

Hal ini difasilitasi melalui identitas digital nasional Singapura, Singapore Personal Access (SingPass), yang merupakan layanan single sign-on yang digunakan oleh warga Singapura untuk bertransaksi dengan lebih dari 60 instansi pemerintah secara online. Konsumen memiliki pilihan untuk memberikan akses ke lembaga keuangan yang mereka pilih untuk berbagi informasi mereka.

Infrastruktur ini dikembangkan oleh sektor publik bekerja sama dengan ABS dan tujuh bank yang berpartisipasi, menjadikan SGFinDex menjadi infrastruktur digital publik pertama di dunia yang menggunakan identitas digital nasional dan sistem persetujuan online yang dikelola secara terpusat.

Managing Director MAS Ravi Menon menyampaikan pentingnya penguatan kepercayaan di sektor keuangan. Nilai lebih yang ditawarkan open banking harus diimbangi dengan risiko yang ditimbulkan oleh berbagi data nasabah antara berbagai pihak.

Dalam Global Financial Services Consumer Study 2019 yang diterbitkan Accenture, sebanyak 75% konsumen menyatakan bahwa mereka sangat berhati-hati tentang privasi data mereka, pelanggaran keamanan data menjadi perhatian terbesar kedua bagi konsumen. Oleh karena itu, agar open banking Singapura benar-benar dapat diterima, pelanggan harus sepenuhnya yakin bahwa data mereka aman.

Meskipun data perbankan di Singapura diatur oleh Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang disempurnakan, bank juga harus memainkan peran mereka dan terus waspada dalam melindungi data pelanggan mereka untuk menguntungkan konsumen dan industri, dan memastikan keberhasilan open banking di Singapura.

Berkaitan dengan itu, penanganan kebocoran data harus ditangani dengan benar-benar serius oleh pemerintah dan instansi terkait. Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menyampaikan isu ini belakangan semakin sensitif, di tengah geliatnya perkembangan ekonomi digital.

“Apabila isu ini terus terjadi, tentunya akan mengganggu pertumbuhan bank digital atau yang berkaitan dengannya. Sebab konsumen akan sulit untuk percaya datanya aman terproteksi,” ujar dia dalam suatu diskusi panel yang diadakan Infobank.

Kurangnya rasa percaya dari masyarakat terhadap layanan keuangan digital, tercermin dari survei yang diadakan  Digital 2021 Report. Disebutkan penetrasi aplikasi banking and financial services d Indonesia masih rendah hanya 39,2% dari responden. Angka ini lebih rendah dari Thailand 68,1%, Malaysia 55,7%, dan Filipina 42,1%.

Sementara, mobile payment juga rendah yakni 29,2% dibanding rata-rata dunia, yakni 30,9%. jauh dibanding Thailand, Filipina, dan Vietnam. Adapun, untuk penggunaan kode QR code di Indonesia baru sebesar 42% dari penduduk dewasa. Kalah dari Malaysia 77% dan Singapura 79%.

Durianpay Revolusi Kemudahan Proses “Checkout” untuk Bisnis Online

Di tengah geliatnya transaksi e-commerce di Indonesia, masih menyisakan solusi pembayaran yang masih terfragmentasi, manual, dan belum optimal. Kondisi tersebut mengakibatkan tingginya drop off pada saat checkout pembayaran. Pun bagi merchant, proses verifikasi dan rekonsiliasi yang masih manual sangat rawan terjadi kesalahan serta penipuan.

Kesempatan tersebut ingin diselesaikan oleh startup agregator pembayaran Durianpay. Startup yang didirikan oleh Antara Sara Mathai, Kumar Puspesh, dan Natasha Ardiani pada tahun lalu. Ketiganya memiliki pengalaman yang mendalam di industri pembayaran.

Mathai berpengalaman dalam membangun produk payment gateway di India dan Amerika Serikat, lalu membawanya ke Indonesia dan membangun produk-produk untuk memudahkan konsumen membayar segala jenis pajak di OnlinePajak, perusahaan Mathai sebelumnya. Mathai bertemu dengan Puspesh saat keduanya bekerja di Zynga, platform gaming terkemuka di India. Puspesh sempat bekerja di Moonfrog, salah satu pengembang game di India.

Sementara, Natasha memiliki pengalaman kuat sebagai praktisi kebijakan publik dan mulai menjadi kariernya sebagai entrepreneur untuk pertama kalinya. Sebelumnya Natasha bekerja di pembayaran digital milik Shopee, yakni ShopeePay dan Shopee PayLater, serta memimpin bisnis pinjaman dan penagihan di OVO.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder Durianpay Natasha Ardiani menjelaskan dengan melihat tantangan dan solusi yang dibutuhkan untuk melancarkan proses checkout, Durianpay menyusun solusi pembayaran yang memudahkan merchant dan konsumen.

Solusi satu atap

Durianpay sebagai agregator pembayaran bekerja sama dengan sejumlah payment gateway dan penyelenggara transfer dana untuk membangun solusi-solusi yang dibutuhkan merchant dari berbagai skala usaha. Di antaranya, fitur rekonsiliasi otomatis; pembayaran instan; fitur promo (memudahkan penjual mengkurasi promo berdasarkan metode pembayaran).

Kemudian, fitur split payment (memungkinkan konsumen membayar satu pesanan dengan dua atau lebih metode pembayaran yang berbeda); dan refund management untuk permudah proses pengembalian dana ke konsumen. “Fitur-fitur tersebut yang membedakan Durianpay dari platform sejenis,” terang dia.

Solusi tersebut bersifat plug-and-play sehingga mempermudah merchant memilih solusi mana yang mereka butuhkan. Metode pembayaran yang disediakan perusahaan, meliputi transfer bank (virtual account), direct debit, kartu debit dan kredit, pembayaran melalui gerai ritel, uang elektronik, pembayaran paylater, hingga internet banking. “Kami hanya membebankan biaya berdasarkan penerimaan pembayaran dan pengiriman pembayaran yang berhasil.”

Merchant yang sudah memanfaatkan solusi Durianpay di antaranya Ruangguru, Kopi Kenangan, Aplikasi Super, Chilibeli, Shox Rumahan, dan masih banyak lagi. “Kami menyasar bisnis besar hingga kecil sebagai klien/konsumennya berhubung langsung dengan solusi yang ditawarkan dan dapat diterapkan di segala macam dan tingkatan bisnis.”

Tak hanya menyasar perusahaan startup, Durianpay juga menyasar pelaku bisnis social commerce hingga pekerja lepas. Natasha menjelaskan, saat ini beberapa solusi yang disediakan pemain SaaS B2B pembayaran memerlukan integrasi yang kompleks, sehingga pemilik bisnis harus melakukan banyak intervensi manual untuk rekonsiliasi pembayaran. Mayoritas dari mereka juga membebankan harga tinggi untuk pengusaha kecil.

“Mencoba mengatasi masalah ini, Durianpay berinovasi dengan menghadirkan produk yang dapat menjembatani kesenjangan teknologi di pasar.”

Solusi tersebut dinamai Instapay. Melalui integrasi tunggal, perusahaan menawarkan akses ke berbagai pilihan pembayaran dan antarmuka tanpa kode yang dapat digunakan pebisnis untuk membuat alur kerja secara otomatis. Juga, menerapkan infrastruktur pembayaran yang instan dan mudah. Proses checkout dan pembayaran sepenuhnya dapat disesuaikan dan dimodifikasi oleh pemilik bisnis.

“Kami ingin terus berinovasi mengeluarkan produk-produk yang modern dan relevan di pasar dan nantinya membuat bisnis jenis apa pun dapat memfasilitas pembayaran untuk apa saja dan di mana saja,” tutup Natasha.

Potensi pembayaran digital

Sejumlah perusahaan dengan solusi sejenis, seperti Midtrans dengan produk Payment Link juga menyasar solusi yang sama dengan Durianpay. Xendit dengan aplikasi Xendit Bisnis juga menawarkan kemudahan berjualan dan mengelola bisnis lewat smartphone. Di luar itu, ada DOKU, Xfers, Faspay, dan lainnya yang berusaha menggarap lebih banyak segmen bisnis dapat merasakan kemudahan sistem pembayaran terintegrasi.

Salah satu faktor yang memaksa bisnis harus mengadopsi sistem di atas ini karena tingginya adopsi layanan pembayaran digital di masyarakat. Khususnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saat ini tak sedikit masyarakat terutama di perkotaan yang lebih memanfaatkan dompet digital melalui ponsel pintarnya.

Menurut data, adopsi aplikasi yang elektronik di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun — baik dari sisi pengadopsi maupun nilai transaksi yang dihasilkan.

Kenaikan adopsi pembayaran digital Indonesia / Sumber : The Asian Banker

Untuk memaksimalkan potensi tersebut, Durinapay juga baru mendapatkan pendanaan sebesar $2 juta (lebih dari 28 miliar Rupiah) dipimpin oleh Surge dari Sequoia Capital India. Dana segar akan dimanfaatkan untuk mengembangkan lebih banyak solusi dan perdalam penetrasi bisnisnya agar diterima lebih banyak pengguna.

LinkAja E-money Service Officially Launches, Available for Cross-Country Transaction

After being delayed for several months, LinkAja officially launched on Sunday (6/30). Participated also in the event, the Vice President of Republic Indonesia Jusuf Kalla, BUMN Minister Rini Soemarno, and Minister of Communication and Information Rudiantara at Gelora Bung Karno, Jakarta.

In his remarks, LinkAja’s CEO, Danu Wicaksana said that the product has created opportunities to improve the low rate of financial inclusion services in Indonesia. As of 2018, 76 percent of transactions in the country are still in cash.

LinkAja should be the national development agent in helping the government to improve Indonesia’s financial inclusion to 75 percent by the end of this year.

In this event, Wicaksana helped introduce LinkAja’s newest feature, the cross-country transaction. Currently, it’s only available in Singapore and having collaboration with Singtel telecommunications operators.

“There are two things related to LinkAja cross-country service. First, remittances from abroad. Second, cross-country merchant payments using the app,” he said to DailySocial.

Regarding remittance services, the company claimed to be the only e-money that provides it from Indonesia’s Migrant Workers (PMI) in Singapore.

He said no further details on the expansion strategy. However, LinkAja has good potential in acquiring the international market, particularly for Telkom remittance and Telkomsel users working abroad, also Indonesia’s Migrant Workers.

Another new feature is drawing money using smartphones. It allows users to draw money without debit card at more than 40 thousand ATM Link outlets of the red-plate banks.

As the previous information, LinkAja is a transformation from Telkomsel’s Tcash. The QR Code-based service has been announced since February and available since early March.

LinkAja was managed by PT Fintek Karya Nusantara or Finarya as the joint venture of four state-owned banks (Mandiri, BNI, BRI, and BTN), Telkomsel, Pertamina, Jasa Marga, and Jiwasraya. It’s a strategy against Go-Pay and OVO domination in the e-money market.

Currently, LinkAja has acquired 22 million users. In terms of the partnership, they’ve worked with more than 15,000 merchants, 400 payments, and  20 e-commerce in Indonesia. In addition, there’s also Cash in Cash Out (CICO) in over 100 thousand spots.

“We’re focused on the public’s essential affairs. One is to digitize SPBU with Pertamina, cashless payment for tolls with Jasa Marga, and digital payment for all public transportations like trains,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Layanan E-money LinkAja Resmi Meluncur, Dapat Dipakai Bertransaksi di Luar Negeri

Setelah sempat tertunda selama beberapa bulan, layanan fintech LinkAja akhirnya resmi meluncur pada Minggu (30/6). Peluncuran ini turut disaksikan langsung Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menkominfo Rudiantara di Gelora Bung Karno, Jakarta.

Dalam sambutannya, CEO LinkAja Danu Wicaksana mengatakan bahwa kehadiran LinkAja membuka peluang untuk meningkatkan layanan inklusi keuangan di Indonesia yang saat ini terbilang rendah. Per 2018 tercatat 76 persen transaksi di Tanah Air masih didominasi uang tunai.

LinkAja diharapkan dapat menjadi agen pembangunan nasional dan membantu visi pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan Indonesia menjadi 75 persen pada akhir tahun ini.

Pada peluncuran ini, Danu turut memperkenalkan fitur terbaru LinkAja, yakni bertransaksi di luar negeri. Saat ini LinkAja baru tersedia di Singapura dan telah bekerja sama dengan operator telekomunikasi Singtel.

“Jadi ada dua hal terkait layanan LinkAja di luar negeri. Pertama, remitansi dari luar ke dalam negeri. Kedua, membayar merchant di luar negeri dengan aplikasi LinkAja,” ungkap Danu kepada DailySocial.

Terkait layanan remitansi, perusahaan mengklaim menjadi satu-satunya layanan uang elektronik yang melayani remitansi dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Singapura.

Danu belum dapat memaparkan lebih lanjut mengenai strategi ekspansinya di luar negeri. Akan tetapi, LinkAja memiliki peluang untuk mencaplok pangsa pasar internasional, terutama basis pengguna remintasi Telkom dan layanan seluler Telkomsel yang bekerja di luar negeri atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Fitur unggulan lainnya adalah tarik tunai dengan menggunakan smartphone. Fitur ini memungkinkan pengguna menarik uang tunai tanpa harus membawa kartu debit di lebih dari 40 ribu ATM Link milik bank-bank pelat merah.

Seperti diketahui, LinkAja merupakan transformasi layanan pembayaran elektronik dari Tcash milik Telkomsel. Layanan berbasis Quick Response (QR) Code ini diumumkan pada Februari lalu dan sudah dapat dipakai untuk bertransaksi oleh pengguna sejak awal Maret.

LinkAja dikelola oleh PT Fintek Karya Nusantara atau Finarya yang merupakan perusahaan kongsi dari empat bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN), Telkomsel, Pertamina, Jasa Marga, dan Jiwasraya. LinkAja menjadi strategi untuk melawan dominasi Go-Pay dan OVO di pasar uang elektronik saat ini.

Sekarang LinkAja telah mengantongi 22 juta pengguna. Dari sisi kemitraan, LinkAja telah bekerja sama dengan lebih dari 15.000 merchant, pembayaran di 400 tagihan, dan 20 e-commerce di Indonesia. Selain itu, LinkAja juga memiliki fitur Cash in Cash Out (CICO) di lebih dari 100 ribu titik.

“Kami berfokus pada pemenuhan kebutuhan esensial masyarakat. Salah satunya dengan digitalisasi SPBU bersama Pertamina, pembayaran nirsentuh di jalan tol dengan Jasa Marga, dan pembayaran digital di berbagai moda transportasi publik, seperti kereta,” papar Danu.

Application Information Will Show Up Here

Komitmen Ayopop Tingkatkan Inklusi Keuangan Lewat Teknologi

Menurut survei Global Findex World Bank 2017, sebanyak 96,6 juta dari 250 juta populasi Indonesia (hampir 40%) tidak memiliki rekening bank. Kue yang besar ini menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus diselesaikan seluruh pihak. Pemain fintech pun bisa turut andil dengan menawarkan teknologi agar penetrasi bisa terjadi lebih cepat. Solusi inilah yang ditawarkan aplikasi pembayaran tagihan Ayopop.

VP Branding, Content & Social Media Ayopop Pribadi Prananta mengatakan, mayoritas pengguna Ayopop datang dari kota tier ketiga dari total pengguna saat ini sekitar 900 ribu orang. Untuk memfasilitasi pengguna dari kalangan tersebut, Ayopop membuat sejumlah inovasi diantaranya mempersiapkan akses Ayopop dengan kode USSD demi permudah pengguna yang masih memakai feature phone.

Inovasi ini, menurut Pribadi masih dalam tahap pengembangan bekerja sama dengan salah satu operator telekomunikasi sehingga belum bisa dijelaskan lebih detilnya. Selain itu, pihaknya juga rutin menambah channel top up saldo dengan mitra offline. Di antaranya Grup Alfa (Alfamart, Lawson, Dan Dan), agen BNI 46, dan BTPN Wow.

Kemitraan dengan jaringan ritel offline ini, ternyata cukup mendorong kemudahan top up saldo bagi pengguna. Pasalnya hampir 80% transaksi yang terjadi di aplikasi dilakukan lewat e-wallet AyoSaldo. Sebagai gambaran, dikutip dari statistik Ayopop, pertumbuhan transaksi top up saldo melalui Alfamart mencapai 270 kali lipat sejak resmi diumumkan pada September 2017.

Pribadi melihat pengguna cenderung untuk memilih top up saldo, salah satunya dikarenakan kemudahan untuk mengatur sendiri kebutuhan mereka. Sedangkan kalau harus mengandalkan Alfamart untuk setiap kali bertransaksi, pada akhirnya akan merepotkan pengguna.

“Kalangan middle low itu banyak yang enggak punya rekening bank, Ayopop punya solusi untuk pembayaran tagihan yang lengkap dengan opsi top up yang mudah. Kalau ada saldo, mereka bisa kontrol sendiri,” terangnya kepada DailySocial.

Ukuran aplikasi Ayopop juga terbilang cukup ramah, hanya 9,8 MB, sehingga tidak makan kapasitas memori smartphone pengguna. Desain UI/UX dibuat sesimpel mungkin sehingga mudah dioperasikan orang awam sekalipun.

Inovasi untuk anak muda

Pribadi melanjutkan, perusahaan juga mengembangkan fitur untuk kalangan anak muda dengan segera merilis AyoCatat, buat mempermudah pembayaran tagihan rutin dengan visual menarik. Semangat yang ingin ditularkan lewat fitur ini adalah mengedukasi orang-orang agar lebih rapi dalam mencatatkan pengeluaran.

Bahkan, pengguna akan diajak untuk berhemat dari setiap pembayaran yang dilakukan lewat fitur ini akan lebih murah daripada bayar satu per satu. Fitur ini masih dalam tahap beta, rencananya akan digulirkan secara masal pada kuartal pertama tahun depan.

“Ayopop juga menyediakan fitur loyalitas pengguna dengan visual menarik dengna objektif membiasakan orang untuk bertransaksi non tunai. Fitur ini bakal hadir juga tahun depan.”

Disamping itu, konten terkait tips dan info finansial untuk anak muda yang dikutip dari berbagai portal media agar pengguna mendapatkan informasi terkini tanpa harus keluar dari ekosistem Ayopop.

Perusahaan masih dalam tahap pendaftaran sebagai penyedia layanan e-money di Bank Indonesia, apabila izin sudah dikantongi tentunya akan memudahkan gerak bisnis jadi lebih masif. Kemungkinan untuk mengembangkan fitur kode QR juga siap dilakukan.

Ayopop hadir sejak 2016, memiliki 19 kategori pembayaran yang terdiri atas 500 produk. Di antaranya pembelian pulsa, token listrik, BPJS, voucher games, asuransi, tagihan listrik, pendidikan, properti, e-money dan masih banyak lagi.

Diklaim Ayopop telah dikunjungi 9 juta kali setiap bulannya dengan 1 juta screen view setiap harinya. Transaksi yang diproses setiap bulannya diklaim sekitar 1 juta kali. Ditargetkan pada tahun depan Ayopop dapat memproses hingga 29 juta transaksi, dari posisi saat ini 12 juta transaksi.

“Selama dua tahun terakhir sampai tengah tahun ini, kita selalu tumbuh secara organik. Tahun depan kita mau lebih jor-joran [strategi pemasarannya]. Namun untuk kebutuhan funding belum ada yang baru,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Memahami Tren Unik Pembayaran Online Masa Kini

Pertumbuhan teknologi yang cepat turut mengubah kebiasaan orang. Hal yang sama juga terjadi dalam kebiasaan belanja online, dari yang awalnya terbiasa datang langsung ke toko, kini hanya butuh layar ponsel atau komputer saja untuk membeli barang yang diinginkan.

Dulunya orang terbiasa datang ke agen travel apabila ingin melakukan perjalanan dan membandingkan harganya dengan masing-masing pemain agen. Kini semua proses bisa dilakukan dengan platform online. Begitupun saat ingin memesan ojek, cukup lewat aplikasi.

Menurut laporan ValueWalk, Indonesia memiliki sekitar 132 juta pengguna internet. Sekitar 24,7 juta di antaranya dikategorikan sebagai online shopper dan telah berbelanja sampai Rp75 triliun. Dipercaya angka ini baru mencatat belanja online dari metode pembayaran secara nontunai, belum dari metode Cash on Delivery (CoD) dan metode manual lainnya.

Semakin menariknya industri e-commerce sejalan dengan kian bervariasinya metode pembayaran yang dapat dipilih oleh para pembeli. Segala kemudahan yang diberikan inovasi teknologi membuat terjadinya pergeseran gaya hidup. Seperti apa tren unik tersebut?

Untuk membahas topik ini, #SelasaStartup sesi kali ini (23/10) menghadirkan Head of Marketing Communication Faspay Frecy Ferry Daswaty. Berikut rangkumannya.

Solusi pembayaran online kian beragam

Frecy menjelaskan saat ini opsi pembayaran untuk belanja online sangat beragam. Selain kartu kredit, debit dan bank transfer, ada mobile banking, e-money & mobile payment. Perusahaan teknologi pun juga menyediakan seperti Samsung Pay, Apple Pay, dan Google Pay.

Perusahaan konvensional juga tak mau kalah seperti Pegadaian dan Pos Indonesia yang menyediakan opsi pembayaran di setiap gerainya yang tersebar di seluruh Indonesia.

Namun yang sekarang ini memiliki gaung terbesar adalah digital financing yang dihadirkan para pemain fintech. Ambil saja contohnya solusi pembayaran dengan cara mencicil di warung kaki lima yang dihadirkan Akulaku.

“Metode pembayaran yang baru ini cukup unik dan kemungkinan ke depannya akan banyak solusi unik lainnya yang siap dihadirkan. Tentunya lambat laun inovasi baru ini akan mengubah kebiasaan orang-orang,” ujar Frecy.

Hal ini turut mendorong transaksi semakin seamless dan journey-nya kian ringkas dengan UI/UX yang user-friendly. Konsumen tidak perlu mengklik banyak halaman untuk menuntaskan transaksi online mereka.

Pembayaran transaksi antar negara juga dapat lebih mudah dilakukan, berkat solusi yang dihadirkan PayPal. Orang dapat berbelanja di berbagai platform e-commerce skala global, seperti Amazon dan Alibaba, dengan mudah.

“Bila dilihat pada tiga tahun lalu, pada waktu itu metode pembayaran dengan online belum begitu populer karena orang masih belum begitu percaya. Makanya lebih populer CoD. Beda kondisinya dengan sekarang ini.”

Adopsi mobile first tinggi

Tingginya jumlah online shopper di Indonesia, sambungnya, tercermin dari hasil laporan yang menyebut sebanyak 82% orang Indonesia mengakses internet lewat smartphone.

Tingginya adopsi smartphone berbanding terbalik dengan tingkat kepemilikan rekening bank. Yang angkanya kian timpang bila ditarik sampai lima tahun belakangan. Hal ini jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secara bersama antara pemerintah dengan pelaku industri.

Di sisi lain, fakta memperlihatkan tingginya kebergantungan orang dengan smartphone dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Dalam laporan lain yang ia kutip, 92,8% orang Indonesia berbelanja online lewat smartphone, sedangkan lewat PC hanya 7,21%.

Sesuaikan solusi pembayaran dengan jenis usaha

Menggabungkan dua fakta unik di atas, bisa ditarik kesimpulan bagaimana toko online menyusun strategi menyediakan metode pembayaran yang tepat. Caranya tergantung jenis layanan toko online yang dibuat.

Berdasarkan laporan internal Faspay, apabila menjual produk dengan harga di atas 1 juta, lebih baik memakai strategi cicilan kartu kredit atau sejenisnya ketimbang memberikan opsi dengan e-money. Hal yang sama jika toko online menjual jasa online travel agent. Program cicilan tentunya akan lebih menarik.

Adapun untuk layanan fintech repayment, misalnya dalam pembayaran tagihan, orang Indonesia cenderung lebih suka memilih opsi pembayaran lewat convenience store. Ini karena target nasabah pemain fintech adalah kaum unbankable dan belum memiliki rekening bank.

Opsi membayar lewat convenience store akan lebih memudahkan. Sementara untuk pembelian voucher game, mayoritas akan memilih beli lewat layanan e-money. Alasannya lebih ringkas dan tidak diharuskan identifikasi dengan mencantumkan KTP. Cukup pakai nomor ponsel.

“Ini fakta yang kita ambil dari data Faspay sendiri. Faspay bermitra dengan 1800 merchant dengan 20 kategori. Kami ambil lima kategori terbesar dan itulah hasilnya. Jadi intinya kembali lagi ke jenis layanan online yang mau disediakan. Karena preferensi dalam menggunakan tiap opsi pembayaran online itu berbeda-beda.”

Strategi berikutnya yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memilih promosi pemasaran yang tepat demi menjaring banyak transaksi. Dari data internal Faspay, tingkat belanja online tertinggi justru pada hari biasa, dari siang sampai sore hari.

Hari Rabu mencatat tingkat konversi tertinggi ketimbang hari lainnya. Justru pada hari pekan konversi mencapai penurunan sampai 30%.

“Ini wajar karena hari pekan, orang lebih terfokus untuk menghabiskan waktu bersama keluarga dan beristirahat sehingga jarang menggunakan smartphone-nya.”

Dari insight ini, Frecy berharap setiap toko online dapat mempertimbangkan banyak sisi, baik dari sisi penyediaan metode pembayaran dan strategi pemasaran yang tepat. Dengan demikian, bisnis akan tetap berkembang.

Belum Direstui Bank Indonesia, Go-Jek Ajukan Proses Izin Akuisisi Perusahaan Fintech

Bank Indonesia mengungkapkan belum memberi restu terhadap aksi akuisisi Go-Jek untuk dua perusahaan fintech Midtrans dan Kartuku, lantaran belum mengajukan proses perizinan ke bank sentral. Go-Jek sendiri telah mengumumkan aksi ini pekan lalu ke publik.

Agar dapat restu, pihak Go-Jek telah secara resmi mengajukan rencana akuisisinya sesuai prosedur pada hari ini, (18/12). BI hanya meminta Go-Jek untuk melaporkan rencana akuisisinya terhadap Midtrans dan Kartuku, mengingat kedua perusahaan ini bergerak di ranah pengawasan bank sentral. Sementara Mapan ada di ranah OJK.

“Per hari ini, mereka sudah sampaikan bahwa mereka akan mengakuisisi. Ini sudah disampaikan ke kami. Mereka sedang melengkapi dokumen sesuai dengan apa yang kami inginkan. Berikutnya BI akan lakukan penelitian lanjutan sebelum izin diberikan,” terang Direktur Departemen Pengawasan dan Kebijakan Sistem Pembayaran BI Pungky Wibowo, Senin (18/12).

Menurut Pungky, dalam memberikan persetujuan, bank sentral selalu mempertimbangkan berbagai aspek seperti menjaga efisiensi nasional, menjaga kepentingan publik, menja pertumbuhan industri, dan menjaga persaingan usaha yang sehat.

BI juga akan melakukan pendalaman dalam sudut pandang yang lebih luas dengan menerapkan consolidated supervision apabila perusahaan tersebut bagian dari suatu grup usaha.

Seluruh proses penilian tersebut, akan dimulai dalam kurun waktu 45 hari kerja sejak dokumen dinyatakan lengkap. Sehingga, BI belum bisa memastikan kapan proses perizinan akuisisi akan selesai.

Pungky menilai, Go-Jek cukup kooperatif dengan langsung melapor ke bank sentral saat disinggung BI lewat siaran pers yang disebar pada akhir pekan lalu (16/12), sehari setelah pengumuman dari Go-Jek. Go-Jek menunjukkan itikad baik dengan berusaha melengkapi dokumen dan persyaratan lainnya untuk memperoleh izin akuisisi.

Salah satu dari dua perusahaan yang akan diakuisisi Go-Jek juga sudah melaporkan ke BI sebelum akuisisi diumumkan.

Di sisi lain, Midtrans dan Kartuku belum mengantongi izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP). Keduanya diungkapkan sedang memproses sebagai PJSP untuk izin payment gateway, sesuai dengan aturan PBI PTP yang dikeluarkan BI pada akhir tahun lalu.

“Karena mereka sudah beroperasi jauh sebelum aturan PBI PTP baru keluar, jadi mendapat masa transisi untuk mengajukan permohonan izin sebelum 9 Mei 2017. Mereka sudah mengajukan sebelum batas tersebut dan sekarang masih proses,” tutup Pungky.

Fintech Provider in Payment Sector Must Now Registered at Bank Indonesia

Bank Indonesia issued a policy requiring fintech (financial technology) developer in payment system to register at central bank. The rule will be applied on January 1st, 2018. It’s stated in Bank Indonesia’s regulation (PBI) Number 19/12/17 on the Implementation of Financial Technology.

Bank central expects, with this policy, fintech startups can develop and contribute to push Indonesia’s economic growth by prioritizing risk mitigation aspects.

“BI sees a fast growing fintech can be used to push Indonesia’s economic growth. By innovation, the activities should be better. It also necessary to know the risk of fast growing fintech. The BI rule is a way to balance it,” said Sugeng, Bank  Indonesia’s Deputy Governor on Thursday (12/7).

PBI’s scope consists of registration rule, regulatory sandbox, licensing and approval, also monitoring and supervision.

Furthermore, there are five types of fintech classified by BI. It is payment system, market support, investment and risk management, financial loan and funding provider with other financial services.

Fintech criteria is regulated with five indicators, such as innovative, impactful on products/services/technologies and/or existing financial business model, beneficial for society, be widely used and other criteria set by BI.

Sugeng said, required registration is only for fintech provider which will or has done activities fit to the fintech criteria and under other authority, providing fintech in payment system.

Registered companies (and permitted by other authority) are not required to register. However, providing information regarding their business is sufficient.

“Unless the fintech’s payment, system already got permission as payment system provider (PJSP) by BI.”

Moreover, bank central issued two derivative rules of PBI Fintech as follows, governing board regulation (PADG) Number 19/14/PADG/2017 on fintech’s regulatory sandbox and PADG Number 19/15/PADG/2017 on how to register, deliver information, and monitor fintech’s implementation.

Junanto Herdiawan, BI’s Fintech Office Acting Head added, registered fintech provider will get into regulatory sandbox to see business model side and potential risk generated. Fintech company might go there for six month with a one-time renewal option.

“Later, the result will be seen whether it was working, not working or other status we set,” said Herdiawan, closely called as Iwan.

Immediately set an explicit prohibition regarding bitcoin

The PBI states fintech’s requirements in using Rupiah in every transaction. It means prohibition for any other currency in transaction, including virtual currency like bitcoin.

For Sugeng, the prohibition is basically due to the high-level volatility of virtual currency. It is concerned to have negative impact, then decided as invalid payment instrument.

Bank central is currently finalize the virtual currency prohibition as payment and investment instrument. BI plans to explicitly prohibit the virtual currency by issuing new rule in January 2018.

Unlike bitcoin, blockchain as supporting technology is not prohibited. In fact, BI is exploring ways to apply blockchain’s technology next year.

“Blockchain technology is not prohibited,” said Iwan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Penyelenggara Fintech di Sistem Pembayaran Kini Wajib Terdaftar di Bank Indonesia

Bank Indonesia menerbitkan beleid yang mewajibkan penyelenggaran fintech (teknologi finansial/tekfin) di bidang sistem pembayaran untuk terdaftar di bank sentral. Kewajiban ini mulai berlaku pada 1 Januari 2018. Aturan ini tertuang dalam Peraturan BI (PBI) No.19/12/17 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Bank sentral berharap melalui beleid ini, bisnis fintech tetap dapat berkembang dan berkontribusi demi mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan tetap mengedepankan aspek mitigasi risiko.

“BI melihat pertumbuhan fintech sangat bagus bisa dimanfaatkan untuk dorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan inovasi, kegiatan inovasi bisa lebih baik. Tapi perlu diketahui bahwa fintech saking berkembangnya bisa timbulkan risiko. Aturan di BI ini adalah cara untuk menyeimbangkannya,” ucap Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng, Kamis (7/12).

Ruang lingkup PBI ini meliputi aturan pendaftaran, regulatory sandbox, perizinan dan persetujuan, dan pemantauan dan pengawasan.

Lebih lanjut, ada lima jenis penyelenggara fintech yang sudah diklasifikasikan BI untuk mendaftar. Yakni, sistem pembayaran, pendukung pasar, manajemen investasi dan risiko, pinjaman pembiayaan dan penyedia modal, dan jasa finansial lainnya.

Kriteria bisnis fintech pun diatur dalam lima indikator seperti, inovatif, dapat berdampak pada produk/layanan/teknologi, dan/atau model bisnis finansial yang telah eksis, memberikan manfaat bagi masyarakat, bisa digunakan secara luas, dan kriteria lainnya yang ditetapkan BI.

Sugeng mengatakan, kewajiban pendaftaran ini hanya diperuntukkan ke penyelenggara tekfin yang akan atau telah melakukan kegiatan yang memenuhi kriteria fintech dan berada di bawah kewenangan otoritas lain dan menyediakan tekfin di bidang sistem pembayaran.

Untuk perusahaan yang telah terdaftar dan mendapat izin dari otoritas lain, tidak perlu mendaftar ke BI. Akan tetapi, setidaknya memberikan informasi bisnisnya ke BI.

“Kecuali tekfin sistem pembayaran itu telah mendapatkan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) dari BI.”

Bersamaan dengan itu, bank sentral juga merilis dua aturan turunan dari PBI Fintech yaitu peraturan anggota dewan gubernur (PADG) No.19/14/PADG/2017 tentang ruang uji coba terbatas (regulatory sandbox) tekfin dan PADG No.19/15/PADG/2017 tentang cara pendaftaran, penyampaian informasi, dan pemantauan penyelenggaraan tekfin.

Plt Kepala Fintech Office BI Junanto Herdiawan menambahkan penyelenggara fintech yang telah terdaftar akan masuk ke regulatory sandbox untuk melihat sisi model bisnis dan risiko yang berpotensi bisa ditimbulkan. Kemungkinan perusahaan fintech akan masuk ke sana selama enam bulan dengan opsi perpanjangan satu kali.

“Nanti dari situ akan dilihat hasilnya apakah berhasil, tidak berhasil, atau status lainnya yang kami tetapkan,” kata Junanto, atau yang lebih akrab disapa Iwan.

Segera buat larangan lebih tegas mengenai bitcoin

Dalam PBI ini juga menetapkan kewajiban penyelenggara fintech untuk mengunakan Rupiah dalam setiap transaksinya. Ini berarti melarang penggunaan mata uang lain dalam bertransaksi, termasuk mata uang virtual seperti bitcoin.

Menurut Sugeng, pelarangan ini pada dasarnya disebabkan mata uang virtual memiliki tingkat volatilitasnya yang tinggi. Dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak yang negatif, sehingga ditetapkan bukan sebagai alat pembayaran yang sah.

Bank sentral pun saat ini terus mematangkan rencana pelarangan penggunaan mata uang virtual sebagai alat pembayaran dan instrumen investasi. Rencananya BI akan secara tegas melarang mata uang virtual tersebut dengan menerbitkan aturan baru pada Januari 2018.

Meskipun melarang penggunaan bitcoin, blockchain sebagai teknologi pendukungnya tidak dilarang. Malah BI sendiri menjajaki penerapan teknologi blockchain tahun depan.

“Teknologi blockchain sendiri tidak kami larang,” pungkas Iwan.