Tak Harus Putih, Cover PS5 Kini Dapat Diganti dengan 5 Warna Lain Berkat Aksesori Resmi dari Sony

Saat pertama kali diungkap, PlayStation 5 langsung menuai banyak kontroversi terkait desainnya. Lalu ketika Sony sudah mulai memasarkannya, tidak sedikit konsumen yang terkejut melihat ukuran fisik PS5 yang tergolong bongsor. Singkat cerita, desain PS5 bukan untuk semua orang, dan Sony tampaknya sadar akan hal itu.

Namun tentu saja merombak desainnya secara drastis sekarang terdengar kurang rasional — mungkin ini bisa jadi salah satu ekspektasi kita untuk PlayStation 5 Pro nanti, seandainya ada. Yang bisa Sony lakukan sekarang setidaknya adalah memberikan opsi personalisasi warna kepada para pengguna PS5.

Ya, PS5 sekarang tidak harus berwarna putih. Sony baru saja menyingkap aksesori PS5 Console Cover dalam lima pilihan warna yang berbeda: Cosmic Red, Galactic Purple, Midnight Black, Starlight Blue, dan Galactic Purple. Cara pemasangannya mudah kalau menurut Sony sendiri; cukup lepas cover putih bawaan PS5, lalu ganti dengan yang baru ini. Selain untuk versi standarnya, aksesori ini juga tersedia buat PS5 Digital Edition, jadi jangan sampai Anda salah beli.

Supaya klop, Sony tidak lupa menyediakan controller DualSense dalam lima opsi warna yang sama persis, meski dua di antaranya (Cosmic Red dan Midnight Black) sebenarnya sudah tersedia selama beberapa bulan. Dari sisi fungsionalitas, controller baru ini sama persis seperti versi putih yang disertakan dalam paket penjualan PS5.

Di Indonesia, PS5 Console Cover bakal dijual secara resmi dengan harga Rp939.000, sedangkan controller DualSense dalam tiga warna barunya dibanderol Rp1.359.000. Sejauh ini belum ada informasi apakah ke depannya Sony bakal menjual konsol PS5 dalam warna-warna baru ini. Untuk sekarang, warna-warna baru ini sifatnya sebatas add-on yang opsional.

Untuk PS5 Console Cover varian Cosmic Red dan Midnight Black, pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai 21 Januari 2022. Sementara tiga varian warna sisanya diperkirakan bakal menyusul tidak lewat dari babak pertama 2022. Controller-nya sendiri akan lebih dulu dijual mulai 14 Januari 2022.

Di luar sana, sebenarnya sudah eksis sejumlah opsi cover untuk PS5 dari sejumlah produsen pihak ketiga — yang akhirnya memicu perseteruan hukum antara Sony dan produsen-produsen tersebut, sekaligus mendorong Sony untuk mematenkan desain cover PS5.

Sumber: Sony.

Mcdonald’s Australia Tidak Sengaja Tunjukkan DualSense Edisi Khusus McD

Update: Sony membatalkan kontroler DualSense bertema McD. Dikutip dari Press Start, McD Australia memberikan komentarnya. “Sony belum memberikan otorisasi penggunaan kontroler mereka sebagai bahan promosi terkait dengan event Stream Week yang sudah diajukan dan kami meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi.”


Brand McDonald’s menjadi salah satu brand makanan cepat saji terbesar di seluruh dunia. Namun bagaimana jika mereka membuat custom controller untuk konsol?

McDonald’s Australia tidak sengaja memamerkan sebuah joystick PlayStation 5 atau yang lebih dikenal dengan Dualsense edisi khusus McDonalds’s sebagai peringatan ulang tahun mereka di Australia yang ke-50.

Sebagai edisi khusus McDonalds, DualSense ini tampil mencolok dengan perpaduan warna merah-putih. Dan tentunya tidak lengkap bila edisi McDonald’s tidak memiliki gambar burger dan juga kentang goreng yang menjadi makanan khasnya.

Sayangnya DualSense ini tidak akan dijual bebas namun akan menjadi hadiah giveaway yang diberikan kepada para penonton beruntung yang menonton event live stream dari beberapa streamer Twitch yang bekerja sama dengan McDonald’s.

Kabar terbarunya yang dikutip dari media Australia, Press Start malah menjelaskan bahwa McDonald’s Australia mengonfirmasi jika event livestream yang mereka rencanakan akan dilaksanakan mulai minggu besok diundur hingga waktu yang belum ditentukan.

Mereka juga menghapus DualSense McDonald’s ini sebagai hadiah dan menggantinya dengan jaket eksklusif Ulang Tahun Macca (sebutan McD di sana) ke-50 tahun dan juga 50 subscriptions untuk setiap streamer. Perubahan mendadak ini dilakukan karena ternyata DualSense McDonald’s ini awalnya ditujukan untuk diposting pada minggu lainnya.

Image credit: McDonald’s Australia

Hal tersebut dikonfirmasi oleh CNET yang menghubungi salah satu streamer yang berpartisipasi dalam event McDonald’s tersebut. Streamer yang tidak disebutkan namanya tersebut bahkan menjelaskan bahwa dirinya tidak dapat membicarakan tentang DualSense ini di dalam stream-nya.

Perihal masalah penghapusan gambar DualSense tersebut, dikatakan bahwa pihak Sony PlayStation ternyata tidak memberikan izin bagi McDonald’s Australia untuk menggunakan gambar DualSense sebagai materai promosi event stream yang akan mereka adakan.

Kemungkinan besar hal tersebut disebabkan karena DualSense Edisi khusus tersebut bukan resmi dari Sony PlayStation namun merupakan sebuah DualSense custom yang dicat ataupun ditutupi stiker dengan grafis milik McDonald’s.

Evolusi Controller PlayStation dari Masa ke Masa

Saya memainkan PlayStation ketika saya masih SD. Ketika itu, saya sadar bahwa tombol X digunakan untuk memberi jawaban ya atau mengonfirmasi jawaban. Namun, saya kemudian juga sadar, pada game-game tertentu, tombol X justru digunakan untuk membatalkan pilihan. Game-game tersebut biasanya punya satu kesamaan, yaitu menggunakan Bahasa Jepang. Hal ini membuat saya paham, di Jepang, tombol X dan O memiliki fungsi “terbalik”.

Berkiblat pada negara-negara Barat, Indonesia menjadikan tombol X untuk konfirmasi dan tombol O untuk batal. Namun, lain halnya dengan Jepang. Di Negeri Sakura tersebut, tombol O justru digunakan untuk konfirmasi dan tombol X untuk batal. Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan budaya antara Jepang dan negara-negara Barat.

Di Jepang, “X” — alias batsu — melambangkan kesalahan, menurut laporan The Verge. Bagi Anda yang sering mendapatkan nilai merah ketika sekolah, pasti familier dengan lambang yang satu ini. Sementara itu, ikon lingkaran — atau maru — justru memiliki arti yang sama dengan lambang centang. Jika Anda sering menonton acara kuis Jepang, Anda pasti pernah melihat ikon “O” ketika peserta memberikan jawabanyang benar.

Negara-negara Barat punya budaya yang berbeda. Di Amerika Utara dan Eropa, “X” justru dianggap sebagai lambang target. Misalnya, pada peta harta karun, “X” akan melambangkan tempat harta berada. Selain itu, tombol X juga punya posisi yang strategis. Alhasil, tombol X dipilih sebagai tombol konfirmasi pada game. Berbeda dengan Jepang, di negara-negara Barat, ikon “O” tidak memiliki arti apapun. Jadi, ikon ini bisa digunakan sebagai lambang batal.

Jika ditanya mana yang benar, saya akan menjawab tidak ada. Karena perbedaan fungsi tombol muncul karena perbedaan budaya. Masalahnya, hal ini memberikan pekerjaan ekstra untuk para developer game. Jadi, jangan heran jika…

 

Sony Bakal Menyeragamkan Tombol Konfirmasi Pada PlayStation 5

Selama empat generasi konsol, Sony tidak pernah keberatan untuk mengakomodasi perbedaan penggunaan tombol di Jepang. Namun, mereka berencana untuk menyeragamkan fungsi tombol pada PlayStation 5. Hal itu berarti, para gamer di Jepang harus membiasakan diri untuk menggunakan tombol X sebagai konfirmasi dan tombol O sebagai batal. Menurut laporan Kotaku, perwakilan Sony menjelaskan, alasan mereka melakukan hal ini adalah untuk memudahkan para developer dalam membuat game. Alasan lainnya adalah untuk menyeragamkan pengaturan tombol di semua negara.

Tentu saja, keputusan Sony ini mendapatkan protes dari gamer Jepang. Memang, ada gamer yang percaya diri jika mereka akan bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Namun, tidak sedikit juga gamer percaya bahwa keputusan Sony ini akan membuat banyak orang Jepang kebingungan. Bahkan ada orang yang mengatakan, mereka tidak akan membeli PlayStation 5 karena hal ini.

Kejadian ini membuat saya penasaran: bagaimana perusahaan game seperti Sony menentukan layout dari tombol pada controller. Kenapa D-Pad diletakkan di sebelah kiri? Kenapa Sony memilih untuk menggunakan ikon X, O, kotak, dan segitiga? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya akan membahas tentang controller sejak awal.

 

Sejarah Controller

Berbicara tentang sejarah controller, tentu tak lepas dari Spacewar, yang dianggap sebagai salah satu video game pertama. Spacewar bisa dimainkan berdua. Masing-masing pemain akan mengendalikan sebuah pesawat luar angkasa. Seorang pemain akan dinyatakan sebagai pemenang ketika dia berhasil menghancurkan pesawat musuh. Untuk memainkan Spacewar, pemain bisa menggunakan empat dari delapan switch yang ada pada PDP-1. Dua switch berfungsi untuk memutar pesawat ke kiri atau ke kanan, satu switch untuk mengaktifkan thruster pesawat dan satu switch lain untuk menembakkan torpedo.

Hanya saja, ada beberapa kelemahan dari sistem kendali ini. Salah satunya adalah para pemain harus menghafal fungsi dari masing-masing switch. Pasalnya, empat switch pada PDP-1 saling berdampingan. Jadi, sulit untuk membedakan switch yang berfungsi untuk memutar pesawat dengan switch untuk menembakkan torpedo. Masalah lainnya adalah switch yang digunakan untuk bermain Spacewar terletak dekat dengan tombol power. Hal ini meningkatkan risiko pemain secara tidak sengaja mematikan komputer saat sedang bermain.

Control box untuk Spacewar. | Sumber: Tom Tilley
Control box untuk Spacewar. | Sumber: Tom Tilley

Masalah pada sistem kendali untuk Spacewar mendorong Alan Kotok dan Robert A. Saunders untuk membuat sebuah control box. Sesuai namanya, control box berbentuk kotak dengan dua switch dan satu tombol. Switch horizontal untuk membelokkan pesawat dan switch vertikal untuk menyalakan thruster. Sementara tombol pada control box berfungsi untuk menembakkan torpedo. Jika dibandingkan dengan controller modern, control box memiliki ukuran yang jauh lebih besar.

Seiring dengan semakin populernya Spacewar, semakin banyak pihak yang tertarik untuk membuat control box dari game tersebut. Et voila! Muncullah berbagai variasi dari control box untuk Spacewar. Salah satunya adalah control box dengan lima tombol yang berfungsi untuk melakukan aksi yang berbeda-beda. Control box inilah yang menjadi inspirasi dari sistem kendali pada arcade.

 

Joystick dari Atari

Spacewar bukan satu-satunya game yang populer pada 1960-an. Pong menjadi game lain yang juga digemari masyarakat. Begitu populernya Pong sehingga game ini memiliki franchise arcade sendiri.

Controller untuk Pong. | Sumber: Ciroforo / Wikimedia Commons / CC BY 2.0
Controller untuk Pong. | Sumber: Ciroforo / Wikimedia Commons / CC BY 2.0

Atari lalu meluncurkan Pong untuk konsol mereka pada 1970-an. Bersamaan dengan itu, mereka memperkenalkan controller baru yang berbeda dari kebanyakan controller yang ada. Controller ini memiliki dua kenop — bernama potentiometer — yang bisa digunakan untuk menggerakkan alat pemukul di Pong. Walau controller ini cocok untuk memainkan Pong, ia tidak bisa digunakan untuk memainkan game lain. Jadi, desain controller ini pun tak lagi digunakan.

Pada 1978, Stephen D. Bristow mendapatkan paten untuk joystick Atari. Memang, ketika itu, Atari bukan satu-satunya perusahaan yang membuat joystick, mengingat proses pembuatan joystick relatif mudah. Namun, satu hal yang membedakan joystick Atari keberadaan pondasi pada bagian bawah joystick. Dulu, kebanyakan joystick memiliki desain seperti controller Channel F.

Controller Channel F. | Sumber: Google Arts & Culture
Controller Channel F. | Sumber: Google Arts & Culture

Pada joystick buatan Atari ini, hanya ada satu tombol. Kebanyakan gamer menggunakan tangan kanan untuk mengendalikan joystick, sementara tangan kiri digunakan untuk menekan tombol. Ke depan, ketika controller memiliki lebih dari satu tombol, gamer justru akan terbiasa menekan tombol aksi dengan jempol kanan.

 

D-pad dari Nintendo

Lalu, bagaimana joystick berevolusi menjadi D-pad? Directional pad atau D-pad “ditemukan” oleh Nintendo. Pada awalnya, Nintendo adalah perusahaan yang membuat kartu Hanafuda. Untuk tahu sejarah lengkap Nintendo, Anda bisa membacanya di sini. Sementara itu, video game mulai populer pada 1970-an. Tren ini membuat Nintendo tertarik untuk masuk ke industri game.

Pada 1977, Nintendo meluncurkan Color TV Game 6, yang memiliki 6 game tenis serupa Pong. Mereka juga sempat meluncurkan Color TV Game 15. Namun, Hiroshi Yamauchi, yang ketika itu menjabat sebagai Presiden Nintendo, punya visi yang lain. Dia meminta Gunpei Yokoi dan para teknisi untuk membuat video game baru. Terinspirasi dari kalkulator, Yokoi membuat Game & Watch pada 1980.

Game & Watch. | Sumber: Wikimedia
Game & Watch. | Sumber: Wikimedia/Peer Schmidt

Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, pada Game & Watch orisinal, hanya ada dua tombol: satu tombol untuk bergerak ke kiri dan satu ke kanan. Namun, video game berevolusi dengan cepat, sehingga kendali sederhana seperti pada Game & Watch tak lagi cukup. Masalahnya, Nintendo juga tidak bisa memasang joystick pada Game & Watch, mengingat kecilnya ukuran dari perangkat ini.

Nintendo lalu mencoba untuk memasang empat tombol di empat arah. Sayangnya, ide tersebut gagal. Yokoi mendapatkan ide untuk membuat “tombol” yang bisa bergerak ke empat arah, yang kini kita kenal dengan sebutan D-pad. Nintendo langsung menggunakan D-pad untuk controller dari konsol pertama mereka, Famicom alias Nintendo Entertainment System (NES). Tak hanya itu, mereka bahkan mematenkan D-pad. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan Sony dan Sega untuk menggunakan D-pad pada controller dari konsol mereka. Untuk menghindari pelanggaran hak paten, keduanya biasanya melakukan sedikit perubahan desain pada controller mereka.

 

Kenapa D-Pad Ada di Sebelah Kiri?

Ketika menggunakan joystick buatan Atari — yang hanya terdiri dari satu tonggak di bagian tengah dan satu tombol — gamer lebih suka menggunakan tangan kiri untuk menekan tombol. Namun, pada controller modern, para gamer justru harus menekan tombol aksi dengan tangan kanan. Ada alasan mengapa perusahaan game melakukan hal ini.

Bagi kebanyakan orang — sekitar 90% populasi dunia — tangan kanan adalah tangan dominan. Biasanya, orang menganggap tangan dominan sebagai tangan yang bisa mengerjakan suatu tugas dengan lebih baik. Padahal, menurut studi, perbedaan antara tangan dominan dan non-dominan tidak sesederhana itu. Baik tangan dominan maupun non-dominan memiliki keahlian tersendiri. Tangan dominan biasanya dapat melakukan gerakan kecil yang membutuhkan akurasi tinggi dengan sangat baik. Sementara tangan non-dominan cocok untuk melakukan gerakan besar yang lebih mementingkan kecepatan atau tenaga.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa D-pad atau analog stick ada di bagian kiri controller, sementara empat tombol lainnya ada di sebelah kanan. Ketika Anda menggerakkan karakter menggunakan D-Pad atau analog stick, biasanya, Anda tidak perlu terlalu memerhatikan presisi. Sementara itu, untuk melakukan aksi tertentu pada game, Anda harus bisa menekan tombol X, O, kotak, dan segitiga — yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda — secara akurat. Berikut tombol yang harus ditekan untuk mengeluarkan combo dari Akuma di Tekken 7.

Combo Akuma. | Sumber: Tekken 7 Combo
Combo Akuma. | Sumber: Tekken 7 Combo

Kenapa Sony Menggunakan Simbol?

Sony meluncurkan PlayStation pertama di Jepang pada Desember 1994 dan September 1995 di Amerika Utara. Ketika itu, para gamer telah terbiasa dengan controller dari Super Nintendo Entertainment System (SNES) dan SEGA Genesis. Tombol-tombol pada controller dari kedua konsol ini ditandai dengan huruf. Sony tampil berbeda karena mereka memilih untuk menggunakan ikon, yaitu X, O, kotak, dan segitiga.

Ada alasan tersendiri mengapa Sony memilih empat ikon tersebut. Menurut Push Square, tim desain Sony tidak ingin menggunakan huruf karena mereka tidak ingin controller mereka diidentikkan dengan satu bahasa tertentu. Dengan menggunakan ikon, mereka berharap controller mereka akan menampilkan budaya global.

Teiyu Goto, designer dari PlayStation pertama menjelaskan arti dari masing-masing simbol pada controller PS. Di Jepang, X merupakan lambang untuk tidak, sementara O untuk iya. Karena itu, tombol O di Jepang digunakan untuk mengonfirmasi, dan tombol X untuk batal. Ikon segitiga dibuat untuk melambangkan viewpoint atau arah. Dan ikon kotak diasosiasikan dengan secari kertas untuk menu atau dokumentasi. Seiring dengan perkembangannya zaman, arti dari masing-masing ikon ini tampaknya telah semakin terlupakan. Namun, empat simbol tersebut tetap identik dengan PlayStation.

 

Evolusi Controller dari PlayStation dari Waktu ke Waktu

Melihat desain dari controller PlayStation pertama, terlihat jelas bahwa Sony mendapatkan inspirasi dari controller SNES milik Nintendo. Tentu saja, mereka membuat sejumlah perubahan. Selain ikon untuk menandai masing-masing tombol, Sony juga memberikan handle pada controller mereka, sehingga ia lebih nyaman untuk digenggam. Controller dari Sony juga memiliki empat bumpers/shoulder buttons, lebih banyak dari shoulder buttons pada controller SNES.

Dua tahun setelah meluncurkan PlayStation pertama, Sony meluncurkan controller DualShock untuk PS1. Pada DualShock, Sony menambahkan dua analog stick dan juga dua rumble motors. Jika dibandingkan dengan D-Pad, analog stick memudahkan pemain untuk menggerakkan karakter dalam dunia 3D. Karena itu, analog stick dengan cepat menjadi standar industri. Tentu saja, DualShock juga menjadi controller standar untuk Sony.

Ketika Sony meluncurkan DualShock 2 bersamaan dengan PlayStation 2, mereka tidak membuat banyak perubahan. Mengingat controller DualShock memang disukai, masuk akal jika Sony memutuskan untuk terus menggunakan desain ini. Satu-satunya perubahan kasat mata pada DualShock 2 adalah soal warna. Sony mengubah warna controller DualShock 2 menjadi hitam dari abu-abu. Namun, sebenarnya, ada beberapa perubahan yang tak terlihat oleh mata. Salah satunya adalah masalah berat. DualShock 2 lebih ringan dari pendahulunya. Sony juga menggunakan tombol analog pada controller itu. Hal itu berarti, tekanan yang pemain gunakan akan memengaruhi apa yang terjadi.

Boomerang, prototipe controller untuk PS3. | Sumber: Wikimedia Commons
Boomerang, prototipe controller untuk PS3. | Sumber: Wikimedia Commons

Saat membuat controller untuk PlayStation 3, Sony sempat membuat prototipe yang dinamai Boomerang. Seperti yang Anda lihat pada gambar di atas, prototipe ini memiliki desain yang sangat berbeda dari DualShock. Hanya saja, di dunia online, banyak orang yang mengaku tidak suka dengan desain tersebut. Alhasil, akhirnya Sony memutuskan untuk membuat controller dengan desain yang tak jauh berbeda dari sebelumnya.

Meskipun begitu, Sony tetap melakukan beberapa eksperimen pada controller PS3. Salah satunya, mereka menghilangkan rumble motor. Memang, ketika itu, Sony juga sedang maju ke meja hijau melawan perusahaan bernama Immersion terkait penggunaan rumble motor. Sebagai ganti rumble motor, Sony memasang gyro sensor pada controller PS3, sehingga controller tersebut dilengkapi dengan motion control.

Selain itu, pada controller PlayStation 3, Sony juga mencoba untuk menggunakan teknologi Bluetooth dan baterai yang bisa diisi kembali. Dengan begitu, para gamer akhirnya bisa bermain game menggunakan wireless controller. Pada bagian tengah controller, Sony juga menambahkan tombol “PS”, yang berfungsi untuk menyalakan PS3. Ke depan, tombol ini bisa digunakan untuk mengakses menu konsol di tengah game.

Dua tahun setelah peluncuran PS3, Sony akhirnya memenangkan kasus pengadilan melawan Immersion. Dan mereka pun meluncurkan DualShock 3, lengkap dengan rumble motor. Hal ini bukan berarti DualShock 3 bebas dari kritik. Salah satu protes para gamer adalah trigger button yang tidak bekerja maksimal karena desainnya yang cembung. Keluhan para gamer ini menjadi masukan agar Sony bisa  menyempurnakan controller mereka yang berikutnya.

Sony kembali merombak desain dari controller mereka ketika meluncurkan PlayStation 4. Salah satu perubahan terbesar pada DualShock 4 adalah touch pad yang ada pada bagian tengah controller. Selain itu, Sony juga mengganti tombol Start dan Select menjadi Options dan Share. Tombol Options memiliki fungsi yang sama dengan tombol Start dan Select. Sementara tombol Share, sesuai namanya, berfungsi untuk memudahkan para gamer PS4 memamerkan kegiatan gaming mereka di internet, seperti berbagi screenshot atau video pendek dari sesi gaming mereka.

DualShock 4. | Sumber: Deposit Photos
DualShock 4. | Sumber: Deposit Photos

Tak berhenti sampai di situ, Sony juga menambahkan speaker kecil pada DualShock 4 serta headphone jack. Jadi, Anda bisa langsung menghubungkan headphone Anda ke controller tersebut. DualShock 4 juga memiliki light bar. Hanya saja, fitur tersebut mendapatkan protes dari sebagian gamer. Alasannya, light bar pada DualShock 4 akan memantul di layar ketika mereka sedang bermain. Sayangnya, Sony tidak bisa menghilangkan light bar itu begitu saja. Karena, ketika Anda menggunakan PlayStation VR, light bar pada controller berfungsi untuk melacak posisi controller.

Selain perubahan besar, Sony juga melakukan sejumlah perubahan kecil pada DualShock 4. Misalnya, mereka membuat pad yang lebih besar dan pegangan yang lebih nyaman. Mereka juga menyempurnakan desain trigger button. Jadi, tidak heran jika saat ini, DualShock 4 dianggap sebagai controller terbaik buatan Sony.

 

Penutup

Sama seperti konsol, controller juga terus berubah dari waktu ke waktu. Dan Sony berencana untuk memperkenalkan controller dengan desain berbeda saat mereka meluncurkan PlayStation 5. Perusahaan asal Jepang itu bahkan menggunakan merek yang berbeda untuk controller PS5. Bukannya DualShock, tapi DualSense.

Selain warna, DualSense juga memiliki desain yang berbeda dari DualShock 4. Tampaknya, Sony berusaha untuk membuat controller ini menjadi semakin nyaman digenggam tanpa harus mengganti layout tombol. Salah satu perubahan pada tombol DualSense adalah tombol X, O, kotak, dan segitiga kini memiliki warna yang sama. Selain itu, Sony juga mengganti nama tombol Share menjadi tombol Create. Sementara light bar yang menjadi keluhan para gamer di DualShock 4, kini tampil di sekitar touch pad.

Selain dari segi desain, Sony dikabarkan membuat tombol L2 dan R2 sebagai tombol adaptive. Mereka juga mengganti rumble motor dengan haptic feedback. Kabar baiknya, sejauh ini, DualSense cukup populer di kalangan warganet. Jadi, Sony tak perlu menggunakan desain lama untuk controller PS5.

Sumber: The Verge, Ranker

Sony Resmi Perkenalkan PlayStation 5 Beserta Lusinan Game-nya

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Lewat sebuah live stream, Sony resmi menyingkap wujud PlayStation 5 secara utuh setelah sebelumnya lebih dulu mengungkap spesifikasi beserta controller-nya.

Kalau Xbox Series X kelihatan seperti sebuah gaming PC, PS5 sebenarnya juga demikian, tapi yang biasanya berasal dari brand Alienware. Ya, desainnya langsung mengingatkan saya pada PC besutan divisi gaming Dell tersebut, dan meskipun gambar-gambar promonya menunjukkan PS5 dalam posisi vertikal, ia sebenarnya juga bisa diposisikan secara horizontal.

Satu hal yang sangat mengejutkan (dan sangat cerdas menurut saya) adalah adanya dua varian PS5: satu dengan Blu-ray disc drive, satu lagi tanpa optical disc drive sama sekali dengan label “Digital Edition”. Spesifikasi dan performa keduanya dipastikan identik, tapi tentu saja varian Digital Edition tidak bisa merangkap fungsi sebagai Blu-ray player. Buat yang penasaran dengan performanya, demonstrasi Unreal Engine 5 (yang dijalankan di PS5) belum lama ini semestinya bisa memberikan gambaran.

PlayStation 5 Digital Edition ini merupakan langkah yang sangat cerdas, sebab saya yakin ada banyak konsumen di luar sana yang benar-benar sudah malas berkutat dengan media penyimpanan fisik (saya salah satunya). Harga jualnya juga sudah pasti lebih terjangkau daripada varian standar yang dilengkapi Blu-ray drive.

Namun perlu diingat juga, keuntungan lain membeli versi fisik suatu game adalah, game-nya itu bisa kita jual saat kita sudah bosan atau sudah menamatkannya. Di Indonesia, pasar game PS4 bekas (secondhand) tergolong cukup besar, dan saya yakin kasusnya bakal sama untuk PS5 nanti.

Sony PlayStation 5

PS5 versi standar yang dilengkapi Blu-ray drive mungkin punya banderol lebih mahal daripada PS5 Digital Edition – sayangnya Sony belum merincikan harga masing-masing varian – akan tetapi konsumennya punya opsi untuk menjual koleksi game fisiknya jika mau.

Selain console PS5 itu sendiri, Sony juga mengungkap sejumlah aksesori yang bakal mendampinginya. Mulai dari charging dock untuk controller DualSense, wireless headset dengan dukungan 3D audio, media remote dengan dukungan perintah suara, sampai sepasang webcam 1080p, semuanya akan dipasarkan bersama PS5 memasuki musim liburan nanti.

9 game eksklusif dari PlayStation Studios

Masih ingat dengan PlayStation Studios? Nama baru dari Sony Interactive Entertainment Worldwide Studios itu telah menyiapkan 9 judul eksklusif untuk dinikmati di PS5. Yang pertama adalah Horizon Forbidden West, sekuel Horizon Zero Dawn yang memukau dari sisi grafik, cerita maupun gameplay.

Dalam Forbidden West, pemain akan kembali menjalankan Aloy, kali ini di lokasi-lokasi baru yang lebih bervariasi. Petualangan yang lebih besar menanti para penggemar action RPG garapan Guerilla Games ini.

Selanjutnya, ada Marvel’s Spider-Man: Miles Morales, sekuel dari Marvel’s Spider-Man karya Insomniac Games. Buat yang pernah menonton Spider-Man: Into the Spider-Verse, nama Miles Morales semestinya terdengar tidak asing. Ya, tokoh utama film animasi dari tahun 2018 itu bakal menjadi protagonis utama di game ini.

Selain Spider-Man, suguhan lain Insomniac Games buat PS5 adalah Ratchet & Clank: Rift Apart. Anda tak harus menjadi penggemar seri Ratchet & Clank untuk bisa mengapresiasi game terbarunya ini; Insomniac berhasil memanfaatkan narasi game yang bertema petualangan lintas dimensi untuk memaksimalkan kapabilitas hardware PS5, terutama SSD super-cepatnya yang memungkinkan sang lakon untuk berpindah dari satu dunia ke yang lain tanpa diinterupsi loading screen sekali pun.

Berikutnya, ada Demon’s Souls yang merupakan remake dari game berjudul sama karya FromSoftware. Grafik yang ditawarkan versi remake-nya ini terlihat istimewa, dan reputasi pengembangnya (Bluepoint Games) yang jadi taruhan. Yup, mereka adalah studio yang sama yang mengerjakan remake Shadow of the Colossus buat PS4 dua tahun lalu.

PlayStation baru tanpa Gran Turismo baru terkesan tidak afdal, dan untuk itulah Gran Turismo 7 eksis. Selain grafik yang makin memukau, Gran Turismo 7 juga akan kembali menghadirkan mode GT Simulation yang legendaris, pengalaman menyetir yang lebih realistis berkat haptic feedback pada controller DualSense, serta dukungan 3D audio untuk menunjukkan posisi mobil-mobil kompetitor.

Game selanjutnya pasti terdengar tidak asing bagi penggemar seri LittleBigPlanet. Sackboy A Big Adventure siap mengajak pemain bertualang bersama maskot imut LittleBigPlanet tersebut. Petualangannya juga tak perlu dijalani sendirian; game ini turut mendukung co-op multiplayer hingga empat pemain sekaligus.

Berikutnya, ada Returnal yang merupakan third-person shooter tapi dengan elemen roguelike. Jadi setiap kali karakter utamanya mati, permainan bukannya berakhir, melainkan justru membawa kita ke dunia baru yang berubah total. Returnal dikerjakan oleh Housemarque, studio asal Finlandia yang portofolionya mencakup gamegame seperti Resogun maupun Nex Machina.

Twisted Metal dengan nuansa konyol ala Rocket League, itulah kesan yang saya dapat setelah menonton trailer Destruction AllStars. Jujur saya sudah lupa kapan terakhir memainkan permainan vehicle-based combat seperti ini.

Terakhir, ada Astro’s Playroom yang akan tersedia secara cuma-cuma (pre-loaded) di PS5. Game ini melanjutkan petualangan sang robot lucu bernama Astro yang sebelumnya hanya bisa dinikmati lewat medium VR.

Game-game lain dari developer pihak ketiga

Di luar PlayStation Studios, sederet developer dan publisher lain turut memamerkan sejumlah karyanya buat PS5, termasuk komunitas developer indie. Kita mulai dari yang paling ajaib, yakni Grand Theft Auto V. Ajaib karena game garapan Rockstar ini seakan tidak mau mati dimakan usia.

GTA V pertama dirilis untuk PS3 di tahun 2013, sebelum akhirnya dirilis ulang di PS4 dengan peningkatan kualitas visual. Tahun depan, GTA V (plus GTA Online) akan dirilis kembali untuk kali kedua di PS5, dan lagi-lagi dengan janji kualitas visual yang lebih baik, beserta sejumlah penyempurnaan teknis lainnya. Tebakan saya: GTA V bakal berjalan di resolusi 4K 60 fps pada PS5.

Lanjut ke Godfall, game terbitan Gearbox ini bakal menjalani debutnya di PS5 sekaligus PC. Permainan menyuguhkan latar medieval yang apik, dan bakal mengawinkan combat ala Dark Souls dengan elemen looting equipment legendaris ala seri Borderlands. Trailer terbarunya di atas akhirnya menunjukkan model gameplay-nya, setelah sebelumnya cuma hadir dalam wujud trailer sinematik.

Resident Evil Village alias Resident Evil 8 bakal melanjutkan kembali perspektif first-person yang diperkenalkan game sebelumnya. Capcom menjanjikan porsi yang lebih besar pada elemen eksplorasi dan combat, dan jalan ceritanya sendiri melanjutkan peristiwa yang terjadi pada Resident Evil 7.

Sci-fi tapi dengan bumbu mistis, kira-kira seperti itu gambaran yang saya dapat setelah menonton trailer Pragmata di atas. Sejauh ini tidak banyak yang diketahui tentang game bikinan Capcom ini, sebab jadwal perilisannya sendiri masih jauh (2022).

Jujur saya paling excited dengan yang satu ini. Deathloop digarap oleh Arkane Studios, developer di balik seri Dishonored. Kalau melihat trailer-nya, Deathloop akan kembali menerapkan formula stealth yang serupa, lengkap dengan sejumlah skill yang sangat menarik dan menggugah hasrat bermain. Yang sedikit berbeda, selain setting dan persenjataannya, adalah tempo permainan yang sepertinya lebih cepat pada Deathloop.

Shinji Mikami kembali memeriahkan kategori game horor dengan Ghostwire: Tokyo. Protagonisnya merupakan seorang pemuda dengan beragam kemampuan telekinesis dan sihir, dan tugasnya adalah menyelamatkan Tokyo dari kepunahan sekaligus menguak misteri di balik hilangnya 99% dari populasi kota tersebut.

Kalau Oddworld: New ‘n’ Tasty yang dirilis di tahun 2014 merupakan remake dari Oddworld: Abe’s Oddysee, maka Oddworld: Soulstorm ini bisa dilihat sebagai remake dari sekuelnya, Oddworld: Abe’s Exoddus. Namun ketimbang sebatas merombak visual dan gameplay, Soulstorm juga bakal menghadirkan sejumlah elemen yang benar-benar baru.

Judul indie yang paling menarik kalau menurut saya, Kena: Bridge of Spirits dikerjakan oleh Ember Lab, studio yang sebelumnya menekuni bidang animasi dan perfilman. Permainan mengisahkan perjalanan seorang pemuda yang mencoba menguak misteri di balik peristiwa mengenaskan yang menimpa desanya.

Visualnya terlihat begitu menarik, dan developer-nya juga menjanjikan narasi yang mendalam. Combat yang disajikan juga cukup memikat, terutama berkat sejumlah skill yang sanggup memanipulasi kondisi lingkungan di sekitar sang protagonis.

Gameplay lengkapnya belum diungkap, namun teaser di atas sudah bisa menggambarkan grafik menawan yang NBA 2K21 tawarkan. 2K sepertinya sengaja menampilkan adegan-adegan penuh bayangan, sebab seperti yang kita tahu, dukungan ray tracing bakal menjadi salah satu fitur unggulan PS5 di samping waktu loading yang luar biasa cepat.

Digarap oleh pengembang Octodad: Dadliest Catch, Bugsnax mengisahkan petualangan seorang jurnalis ke Snaktooth Island untuk bertemu dan mewawancara langsung makhluk jenaka bernama Bugsnax, yang dideskripsikan sebagai separuh serangga (bug), separuh jajanan (snack). Meski sepintas terlihat penuh kekonyolan, Bugsnax disebut juga bakal menjadi panggung demonstrasi yang pas buat kapabilitas controller DualSense.

Action RPG dengan dunia semi-open world dan elemen survival, deskripsi itu saja sebenarnya sudah membuat Little Devil Inside sangat menarik perhatian, apalagi ditambah dengan grafik poligonal yang apik. Trailer-nya bisa dibilang penuh intrik: sesekali menampilkan setting fantasi dengan beragam monster ala The Witcher, tapi beberapa saat juga menunjukkan suasana kehidupan urban.

Goodbye Volcano High terdengar sangat cocok dijadikan judul sebuah serial TV, dan ternyata developer game ini juga ingin memberikan pengalaman yang serupa seperti kegiatan binge watching drama romansa. Bedanya, berhubung pemain bakal dihadapkan dengan banyak pilihan di sepanjang permainan, narasinya otomatis bakal bercabang dan pada akhirnya menuntut lebih dari satu playthrough untuk mendalami cerita lengkapnya.

Hitman 3 bakal menjadi penutup dari trilogi World of Assassination dan kembali menempatkan pemain sebagai Agent 47, dan kontrak yang dijalaninya dalam game ini disebut sebagai yang terpenting di sepanjang kariernya. Permainan sekali lagi bakal membebaskan kita dalam memilih solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan misi, dan itu membuka potensi agar game bisa kita tamatkan lebih dari satu kali (dengan cara penyelesaian misi yang berbeda tentu saja).

Project Athia, judulnya terkesan seperti belum final (dan memang kenyataannya demikian), namun teaser singkatnya di atas berhasil menarik perhatian saya, terutama berkat sejumlah cuplikan gameplay yang turut dihidangkan – biasanya kalau game masih dalam tahap pengembangan, kita hanya akan diberi trailer sinematiknya saja.

Fakta menarik lain seputar game ini adalah, ia dikerjakan oleh Luminous Productions, studio baru yang Square Enix dirikan di tahun 2018, dengan sejumlah personil yang berasal dari tim pengembang Final Fantasy XV.

Apa jadinya kalau Shadow of Colossus mengambil tema sci-fi dengan setting antariksa dan gaya visual cel-shaded? Kemungkinan hasil jadinya mirip game berjudul Solar Ash ini. Solar Ash merupakan game kedua Heart Machine, kreator game indie yang cukup populer dari tahun 2016, yaitu Hyper Light Drifter.

Temanya petualangan lintas planet, tapi ketimbang menyajikan potret galaksi yang penuh warna, Jett: The Far Shore lebih memilih menampilkan suasana kelam di suatu planet mirip Bumi. Trailer-nya penuh dengan misteri, dan itulah yang harus pemain pecahkan dalam permainan bergaya sinematik ini.

Persembahan terbaru Annapurna Interactive berjudul Stray ini menempatkan pemain sebagai seekor kucing yang tersesat di sebuah kota di masa depan. Tujuannya tidak lebih dari sebatas pulang dan berjumpa kembali dengan keluarganya, meski itu tentu bukanlah hal yang mudah, apalagi mengingat kotanya mirip Kowloon Walled City versi cyberpunk.

Pertama diumumkan di akhir 2018, The Pathless mengisahkan petualangan seorang pemanah bersama burung elang peliharaannya di dunia yang penuh keajaiban. Awalnya game ini ditujukan buat PS4, namun sekarang developer Giant Squid mengumumkan bahwa The Pathless juga akan hadir di PS5, dan bakal memaksimalkan kapabilitas hardware-nya, terutama controller DualSense demi semakin menumbuhkan kesan immersive.

Sumber: PlayStation Blog 1, 2.

Sony Luncurkan Aplikasi PlayStation Messages untuk Android dan iOS

Elemen sosial kini memegang peranan penting dalam industri gaming. Lihat saja Twitch. YouTube-nya video game tersebut sudah cukup lama meluncurkan fitur Whisper, yang pada dasarnya merupakan sarana berkomunikasi bagi para penonton dan pembuat video, baik melalui web maupun perangkat mobile.

Console modern pun turut mengamini pentingnya fitur sosial dalam pengalaman bermain. PlayStation misalnya, yang baru-baru ini meluncurkan sebuah aplikasi baru untuk perangkat Android maupun iOS. Didapuk PlayStation Messages, aplikasi ini ditujukan untuk menjadi medium komunikasi bagi para pemain yang terhubung ke PlayStation Network.

PlayStation Messages App

Jadi sederhananya, pengguna PlayStation kini dapat saling bertukar pesan dengan rekan-rekan seperjuangannya melalui perangkat mobile, sama seperti yang sudah ditawarkan oleh Steam dalam komunitas PC gaming. PlayStation Messages benar-benar mengedepankan tampilan yang mudah untuk mengirim pesan satu sama lain.

Aplikasi ini akan menampilkan daftar teman-teman Anda secara lengkap, disortir berdasarkan status online atau alfabet, dan Anda juga bisa melihat game apa yang sedang mereka mainkan. Dengan PlayStation Messages, Anda bisa membentuk tim secara cepat, membuat janji lewat pesan teks maupun suara, sekaligus stiker dan attachment lain seperti foto.

PlayStation Messages

PlayStation Messages saat ini sudah bisa diunduh melalui Google Play dan App Store. Buat pengguna PlayStation 4, sepertinya ini merupakan aplikasi wajib yang harus ada di homescreen smartphone Anda.

Bersamaan dengan itu, Sony rupanya juga mengirimkan update untuk PlayStation App. Aplikasi ini sejatinya dapat membantu pengguna mengorganisasikan game yang tengah diunduh, mengontrol PS4 dari kejauhan maupun menjadi layar kedua dalam beberapa judul game yang kompatibel.

Sumber: PlayStation Blog.

Takut Ketinggalan Live Stream E3 2015? Ini Jadwal dan Cara Menontonnya

Bagi gamer di seluruh dunia, E3 merupakan perhelatan wajib – tempatnya pengumuman dan pengungkapan info game-game blockbuster terbesar. Untungnya jika tidak sempat mengunjungi Los Angeles Convention Center, kita masih bisa menyaksikan acaranya via live stream. Tapi kapan dan di mana? Saya yakin banyak dari kita melewatkan presentasi Bethesda pagi tadi. Continue reading Takut Ketinggalan Live Stream E3 2015? Ini Jadwal dan Cara Menontonnya

Fokus ke PlayStation, Sony Akan Tinggalkan Pasar Smartphone?

Sony Corporation sedang gonjang-ganjing. Bagaimana tidak, belum lama setelah mengungkapkan rencananya untuk meramaikan pasar otomotif dengan target menjadi pemasok sensor gambar kamera mobil nomor satu, Sony kini dikabarkan akan memensiunkan divisi smartphone miliknya. Continue reading Fokus ke PlayStation, Sony Akan Tinggalkan Pasar Smartphone?