Mengenal GrowPal, Startup Investasi Budidaya di Sektor Perikanan

Dengan masyarakat yang erat dengan bisnis budidaya, dalam dua tahun terakhir startup investasi budidaya terus bermunculan, salah satunya adalah GrowPal. GrowPal menjadi sebuah platform yang dikembangkan untuk menjembatani pemilik lahan / petani, pemodal, dan pembeli hasil panen.

GrowPal aktif beroperasi sejak Februari 2017. Saat ini tercatat 16 hektar lahan terdaftar untuk budidaya udang vaname dan 170 petak karamba jaring apung untuk budidaya ikan kerapu di dalam sistemnya. Angka tersebut akan bertambah di kemudian hari.

“Kami bekerja sama dengan asosiasi petambak perikanan Indonesia yang tersebar perwakilannya di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Dalam asosiasi tersebut terdapat seluruh pihak yang terlibat dalam proses budidaya perikanan termasuk pemilik lahan,” terang Chief Product Officer GrowPal Paundra Noorbaskoro.

Sama seperti platform investasi budidaya lainnya, GrowPal menyuguhkan kemudahan bagi mereka yang ingin berinvestasi. Pengguna tinggal melakukan pendaftaran di situs, kemudian memilih produk investasi yang ditawarkan. GrowPal akan mengirimkan laporan perkembangan komoditas yang dipilih pada dashboard yang disediakan.

Menyoal persaingan, Paundra tidak menganggap platform sejenis sebagai persaingan. Paundra menilai platform dengan model bisnis yang sama ada persamaan niat untuk membangun sektor perikanan di Indonesia. Untuk itu kolaborasi merupakan cara yang tepat untuk mewujudkan niatan tersebut.

“Kami ingin menjadi startup yang terus tumbuh hingga bisa ekspansi ke seluruh wilayah di Indonesia sehingga dapat membantu lebih banyak lagi produktivitas petani ikan. Satu dua tahun ini kami akan fokus ekspansi membuka sites di wilayah Bali, Aceh dan Sulsel. Wilayah-wilayah tersebut telah kami lakukan uji kelayakan dan memastikan seluruh supply chain berjalan baik sehingga dalam waktu dekat ini kami akan buka di sana,” ujar Paundra.

Paundra menjelaskan saat ini ada lima aspek yang mempengaruhi pengembangan platform investasi budidaya yang berkelanjutan. Yang pertama adalah akses terhadap kepemilikan tanah atau lahan, kemudian akses input dan detail teknis proses produksi, yang ketiga akses terhadap pasar, dan selanjutnya meningkatkan keterampilan budi daya oleh petani yang berkelanjutan dan kualitas lingkungan perairan yang baik. GrowPal optimis memiliki semuanya.

“Kami selalu optimis bahwa kami akan membawa peran untuk membantu mewujudkan cita-cita bersama Indonesia [sebagai] negara poros maritim dunia,” tutupnya.

Aplikasi Keanggotaan Restoran Premium “Alacarte” Resmi Meluncur

Aplikasi keanggotaan restoran premium Alacarte resmi meluncur di Jakarta, hari ini (7/12) setelah lakukan tes beta selama tiga bulan belakangan. Alacarte memberikan penawaran hidangan kepada para anggotanya berupa beli-1-gratis-1 (buy-one-get-one) di restoran ternama yang sudah menjadi mitra. Anggota akan menikmati penawaran mulai dari makanan pembuka, hidangan utama, makanan pencuci mulut, koktail, dan lainnya. Sasaran penggunanya adalah kalangan menengah hingga ke atas, sampai profesional muda.

Ide mendirikan Alacarte dimulai sejak awal 2017 oleh Ferdinand Sutanto (CEO), Low Meng Ee Kenneth (COO), dan Philip Chen (Direktur). Ketiganya melihat di Jakarta saja, terdapat lebih dari 380 juta transaksi di restoran senilai US$1,5 miliar dalam setahun.

Dari angka tersebut, terlihat bahwa orang Jakarta suka menyantap makanan bersama di restoran. Akan tetapi, permasalahannya terletak di kemacetan sehingga opsi untuk santap bersama tersebut jadi terkendala karena harganya yang mahal.

“Kami ingin menjembatani kebutuhan pemilik restoran dan pelanggan dengan memperkenalkan produk yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Anggota dapat menjelajahi restoran baru sambil menghemat hingga 50% dari total tagihan,” terang CEO Alacarte Ferdinand Sutanto, Kamis (7/12).

Ferdinand mengungkapkan perusahaan telah menerima investasi dari angel investor dengan identitas yang dirahasiakan. Aplikasi Alacarte sudah tersedia di Google Play Store dan App Store.

Menghemat dengan berlangganan

Dia mengklaim dengan keanggotaan, pengguna Alacarte bisa menghemat sebanyak lebih dari Rp50 juta per tahun. Asumsi ini diambil dari jumlah restoran yang sudah jadi mitra dihubungkan dengan penghematan hingga 50% dari total tagihan.

Untuk menikmati penawaran tersebut, pengguna diwajibkan membayar sejumlah uang keanggotaan. Ada dua tipe keanggotaan yang ditawarkan, yaitu lite membership dengan membayar Rp199 ribu berlaku untuk mencoba selama satu bulan saja sebelum membeli membership tahunan. Sementara, untuk premium membership dengan membayar Rp599 ribu berlaku selama satu tahun.

Mekanisme kemitraan antara Alacarte dengan restoran, jadi setiap restoran menyediakan tiga jenis promosi beli-1-gratis-1. Anggota premium dapat memilih ketiganya secara sekaligus, namun tidak bisa redeem kembali untuk promosi yang sama. Jangka waktu redeem sepanjang tahun keanggotaan aktif.

Sementara untuk anggota lite, mereka hanya bisa memilih satu dari tiga promosi yang ingin mereka kehendaki. Setelah dipilih, secara otomatis dua promo lainnya akan terblokir sehingga tidak bisa digunakan.

Menurut Ferdinand dengan mekanisme tersebut, tentunya akan menguntungkan pemilik restoran beserta anggota. Bagi pemilik restoran, mereka akan mendapat konsumen baru yang sesuai dengan target pasarnya main, meningkatkan jumlah kunjungan, dan meningkatkan cross-sell melalui penawaran beli-1-gratis-1. Sedangkan bagi anggota, mereka dapat menikmati restoran baru dengan biaya yang hemat dikantong.

Saat ini, Alacarte baru bermitra dengan restoran berskala menengah ke atas yang berlokasi di Jakarta dengan total lebih dari 100 restoran. Terdapat lebih dari 300 penawaran yang bisa dinikmati anggota.

Application Information Will Show Up Here

EMAGO, Layanan Berbasis Cloud untuk Bermain Game

EMAGO merupakan sebuah platform berbasis cloud yang didesain untuk membantu pengguna dalam bermain game. Konsep yang ingin disuguhkan mirip dengan Netflix. Pengguna tidak perlu membeli konten video atau musik, namun cukup berlangganan bulanan. Pun demikian dengan EMAGO, semua game disimpan dan diproses melalui server khusus, sehingga pengguna hanya cukup mengakses game tersebut dengan model streaming.

“EMAGO dapat membuat pengguna bermain game, bahkan untuk [game berkualitas] high-end di laptop biasa saja. Syaratnya cuman koneksi internet, karena semua proses pengolahan grafis game ada di server gaming EMAGO,” ujar Izzudin Al Azzam, Co-Founder EMAGO.

Inovasi ini bisa dibilang baru untuk pangsa pasar Indonesia. Menurut pemaparan pengembang, EMAGO hadir berdasarkan fakta hasil riset Steam: 81% gamers di dunia tidak dapat memainkan game baik dikarenakan isu grafis. Perangkat keras grafik untuk kebutuhan bermain game berspesifikasi tinggi masih dinilai kurang terjangkau dari sisi harga. Selain itu, dari survei yang dilakukan EMAGO mengemuka fakta bahwa 73% gamers di Indonesia merasa harga game dan perangkat juga terlalu mahal untuk dijangkau.

“Dari fakta tersebut, terkait dengan perangkat dan harga game, kami mencoba menawarkan kemudahan dan biaya yang lebih efisien. Pemain hanya cukup menggunakan perangkat yang sudah dimiliki, tidak perlu lagi membeli hardware khusus game. Pengguna juga tidak perlu membeli game, karena dapat bebas memainkan game yang ada di library EMAGO,” terang Azzam.

Untuk lancar memainkan secara “streaming“, pengguna harus memiliki konektivitas internet stabil minimal 4Mbps. Hal ini mengingat seluruh sumber daya diakses langsung dari server secara online. Sejauh ini sudah ada lebih dari 20 game di EMAGO. Pihaknya sedang terus memperluas kerja sama dengan publisher game, baik lokal maupun internasional, untuk memastikan semua game di EMAGO legal. Mekanisme model bisnis dengan publisher ialah revenue sharing.

“Kenapa yakin EMAGO akan bisa diterima pasar: kami terinspirasi dari Netflix dan Spotify yang sukses di industri masing-masing. Itu membuktikan bahwa model bisnis cloud sangat diminati. Sejauh ini kami menerapkan 2 model berlangganan, yaitu Basic (20 games/bulan) dan Premium (40 games/bulan),” lanjut Azzam.

Untuk pengembangan tahun 2018, EMAGO menargetkan dapat membawa platformnya bisa diakses melalui TV Kabel (IPTV) dan ponsel pintar. EMAGO meluncur tahun ini melalui inisiatif program inkubator Digital Amoeba yang digagas Telkom.

Mengenal Assemblr, Platform Berkreasi dengan Teknologi AR

Industri AR (Augmented Reality) di Indonesia masih dalam tahap berkembang. Mulai bermunculan layanan dan bisnis AR baru yang mencari model bisnis. Salah satunya adalah Assemblr. Sebuah platform berbasis mobile yang memungkinkan penggunanya menghasilkan karya 3D dari hasil penggabungan obyek-obyek yang tersedia dan material yang beragam. Hasil kreasi tersebut nantinya bisa ditaruh di dunia nyata menggunakan teknologi Augmented Reality dan Geo-Location.

CEO Assemblr Hasbi Asyadiq menyebut bahwa platformnya ini merupakan gabungan antara Lego dengan Pokemon GO. Assemblr didesain untuk membantu pengguna membuat konten 3D yang divisualisasikan ke dalam bentuk Augmented Reality. Hasilnya dapat ditempatkan di dunia nyata untuk diakses semua orang.

“Kita percaya bahwa salah satu cara pengaksesan informasi yang signifikan di masa depan akan berbentuk Augmented Reality. Walaupun adaptasinya akan memakan waktu, namun masa depan pengaksesan informasi akan menuju kesana. Untuk mewujudkan itu Augmented Reality memerlukan dua faktor penting agar dapat diterima oleh banyak orang. Yang pertama adalah hardware dan yang kedua adalah konten. Assemblr mencoba masuk ke dalam ranah konten,” terang Hasbi.

Dari segi teknologi, Assemblr mengusung teknologi SLAM ( Simultaneous Localization and Mapping) AR yang memungkinkan obyek digital dapat ditempatkan di suatu posisi tanpa menggunakan gambar sebagai marker. Teknologi SLAM ini mampu membaca area di sekitar sebagai basis tracking 3D Object untuk tetap berada di suatu posisi.

“Misalkan pengguna membuat sebuah bangunan yang kemudian dia taruh bersebelahan dengan Monas (Monumen Nasional). Orang-orang yang berada di dalam radius sekitar Monas dapat melihat karya yang ditaruh di tempat tersebut dalam bentuk SLAM Augmented Reality. Namun para pengguna Android masih harus menggunakan marker untuk men-trigger 3D object sampai ARCore [teknologi SLAM yang dimiliki Android] menjadi sebuah standar AR di Android,” ungkap Hasbi.

Assemblr akan berbentuk aplikasi freemium yang memungkinkan pengguna membeli beberapa item yang diinginkan di dalam aplikasi. Dengan menargetkan pengguna di rentang usia 18-24 tahun, Assemblr bisa menjadi sarana penyaluran ide kreatif  terutama mereka yang memiliki ketertarikan dengan building blocks mechanic.

mobile 3D Assamblr

YCombinator dan target ke depannya

Ada cerita menarik dari Assemblr dan bisnisnya. Mengawali bisnisnya di Oktober 2017 mereka berusaha menembus YCombinator, salah satu inkubator yang berperan melahirkan startup ternama seperti Twitch, Dropbox, hingga AirBB. Assemblr berhasil menembus tahap wawancara, namun gagal mengikuti program inkubasi karena masih di tahap awal. Kondisi tersebut tidak membuat Hasbi dan kawan-kawan menyerah, Assemblr akan mencoba kembali di tahun depan dengan posisi traction yang lebih kuat, dengan total 261,085 pengguna dan 124,636 kreasi telah dibuat semenjak masuk fase beta dari 1 November 2017 sampai dengan 4 Desember 2017.

Assemblr juga telah mencanangkan beberapa target dalam satu-dua tahun ke depan. Target-target tersebut meliputi fitur multiplayer atau memungkinkan pengguna untuk membuat project bersama pengguan lainnya secara real time, memfasilitasi pengguna menempatkan hasil kreasi di dunia nyata dan berburu item di sekitar mereka, menjadi portal untuk pengguna berkompetisi, dan juga menjadi marketplace untuk kreator menjual karya mereka di Assemblr.

Application Information Will Show Up Here

TEMU Kembangkan Aplikasi untuk Serap Tenaga Kerja “Low Skill”

Portal pencarian kerja (job listing) menjadi salah satu terobosan menarik untuk menjembatani kebutuhan masyarakat akan pekerjaan dan korporasi sebagai penyedia lapangan kerja. Sudah banyak saat ini portal pencari kerja, namun kebanyakan memfokuskan untuk pekerja dengan pendidikan tinggi (minimal lulusan kuliah). Sementara itu tingkat terserapnya pekerja dengan pendidikan di bawah standar tersebut semakin kecil. Dengan latar belakang tersebut layanan TEMU dihadirkan.

TEMU (PT TEMU Sejahtera Visi Utama) merupakan startup pengembang portal job listing dalam web dan aplikasi yang mengkhususkan untuk menjaring tenaga kerja low skill, menyasar lulusan SD – SMA/K. Beberapa kesempatan kerja yang ditawarkan seperti sopir, penjaga toko, kasir, SPG, OB, dan lainnya. Para tenaga kerja disalurkan ke berbagai perusahaan dan kantor BUMN. Dengan misi sosial untuk memutus siklus kemiskinan yang ada di kampung kota di Indonesia, TEMU ingin memberikan solusi atas permasalahan komunikasi dan akses kepada berbagai informasi kesempatan kerja.

“Untuk memberikan informasi lowongan pekerjaan terbaik kepada para Pencari Kerja lulusan SD sampai SMA/SMK, pada Juni 2017 TEMU meluncurkan produk berupa aplikasi Android dengan nama TEMU KERJA yang dapat diunduh pada aplikasi Google Play Store,” jelas Co-founder TEMU Gustian Mahardika.

Berdiri sebagai perusahaan dengan misi sosial sejak 2015, TEMU berkomitmen untuk tidak mengambil keuntungan apa pun dari pihak pencari kerja. TEMU yang juga sebagai pasar tenaga kerja (job marketplace) memberikan fitur layanan gratis kepada pihak perusahaan yang ingin memasang lowongan pekerjaan melalui TEMU.

“Meskipun berdiri sebagai perusahaan dengan misi sosial, TEMU tetap menargetkan untuk mendapatkan keuntungan. Saat ini TEMU telah meluncurkan layanan berbayar bagi perusahaan yang memiliki kebutuhan tenaga kerja dengan keahlian yang tepat secara cepat. Layanan tersebut bernama headhunting low skill. Layanan headhunting saat ini hanya tersedia bagi perusahaan di daerah Jadetabek.” lanjut Gustian.

Aplikasi TEMU Kerja

Kebutuhan masyarakat

TEMU didirikan oleh dua orang founder, yakni Maral Dipodiputro dan Gustian Mahardika. Ide awal pengembangannya saat itu Maral ditugaskan untuk bergabung menjadi tim Pokja Papua yang dibentuk Presiden. Dari program tersebut Maral mempelajari betul tentang bagaimana memberdayakan masyarakat, dan melihat langsung berbagai permasalahan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan tepat dengan pendekatan digital.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015, masih terdapat 7,4 juta pengangguran di Indonesia dengan 89% atau 6,6 juta jiwa di antaranya merupakan warga yang putus sekolah hingga tingkat pendidikan tertinggi yang dimiliki adalah SMA/K. Di sisi lain, statistik pertumbuhan badan usaha terus mengalami peningkatan sebesar 10% setiap tahunnya yang tentu akan berdampak pada kebutuhan tenaga kerja low-skill.

Hal ini kemudian divalidasi Maral dan Gustian dengan riset turun ke lapangan selama lebih dari 8 bulan guna melihat keadaan nyata dan mencari permasalahan utama yang selama ini terjadi.

Hasil dari riset tersebut mengidentifikasikan bahwa permasalahan utamanya adalah adanya kesenjangan informasi dan komunikasi antara pihak pencari kerja dan penyedia kerja. Baik pihak perusahaan maupun pihak pencari kerja selama ini merasa kebingungan dan tidak tahu bagaimana cara untuk mencari/menyampaikan informasi lowongan pekerjaan secara tepat.

Job portal yang selama ini ada, lebih menyasar untuk kalangan pencari kerja lulusan di atas SMA, yang tentu kurang tepat bagi para pencari kerja low-skill maupun perusahaan yang butuh pekerja low-skill. Penetrasi penggunaan smartphone dan internet yang tinggi dirasa merupakan hal yang harus dimanfaatkan untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Dari hal tersebut, TEMU menciptakan sebuah pasar tenaga kerja berbasis teknologi dan informasi,” ujar Gustian.

Sembari mengembangkan basis pengguna, saat ini TEMU tengah mengikuti sebuah program akselerator Remake City Jakarta yang diadakan oleh UnLtd bekerja sama dengan KOICA. Gustian juga mengungkapkan bahwa saat ini TEMU terbuka dan dalam tahap pencarian pendanaan tambahan.

“TEMU memiliki beberapa target yang ingin dicapai dalam waktu satu tahun ke depan yakni penambahan fitur pada produk aplikasi TEMU KERJA dan juga website, perluasan wilayah layanan headhunting pada beberapa kota besar di Indonesia, dan meningkatkan jumlah pencari kerja yang menerima manfaat hingga 500.000 orang,” pungkas Gustian.

Application Information Will Show Up Here

SyarQ Tawarkan Layanan Kredit Berbasis Syariah untuk Pembelian Barang Secara Online

Tingginya peminat layanan belanja online memberikan kesempatan bagi berbagai elemen industri untuk turut meraup untung dari konsumen yang terus meningkat. Salah satunya bagi SyarQ, sebuah startup fintech yang mencoba menyuguhkan layanan kredit dengan mekanisme ekonomi syariah. SyarQ sudah diluncurkan sejak Maret 2017 dan saat ini layanan sudah bisa digunakan secara umum.

Proses bisnis yang dijalankan bukan dengan sistem kredit bunga, melainkan mengacu pada fatwa Dewan Syariah MUI tentang Murabahah, yakni perjanjian jual-beli antara penjual dengan pembeli. SyarQ mendapatkan keuntungan dengan mengambil margin profit, oleh karena itu harga cicilannya lebih mahal daripada harga pasar. Setiap penawaran SyarQ akan ditambah dengan profit terlebih dulu, baru dibagi berdasarkan jangka cicilan yang dipilih.

Proses transaksi di SyarQ tidak meminjamkan uang untuk membeli barang, namun membeli barang kemudian menjual kepada pembeli dengan cicilan. SyarQ membeli barang dari supplier, setelah pembayaran lunas dan secara prinsip menjadi milik SyarQ, barang tersebut kemudian dijual kepada pembeli. SyarQ tidak menjual barang yang belum menjadi kepemilikan SyarQ. Berbasis syariah, SyarQ tidak akan menerima pembayaran melalui kartu kredit.

“Dengan semangat anti riba dan menjunjung tinggi konsep ekonomi syariah, SyarQ lahir di tengah masyarakat yang membutuhkan solusi bagi mereka yang butuh cicilan barang-barang kebutuhan mereka namun ingin terhindar dari riba. Visi terdepan SyarQ adalah untuk menyediakan solusi keuangan syariah bagi masyarakat yang membutuhkan,” ujar Chief Marketing Officer SyarQ Corina Indrianti.

Saat ini SyarQ telah menjalin kemitraan dengan BMT/Koperasi untuk penyediaan dana pembelian dan bekerja sama dengan beberapa pemain e-commerce di Indonesia untuk penyediaan barang. Cara menggunakan cukup simpel, ketika pengguna sudah terdaftar dan terverifikasi, cari barang di layanan e-commerce terkait, lalu masukkan tautan barang tersebut ke sistem SyarQ. Dari sana akan ditampilkan penyesuaian harga dan jangka waktu kredit yang diberikan.

Sistem pengajuan kredit di SyarQ

SyarQ didirikan oleh M. Salman Alfarisy (CEO), Wisnu Manupraba (CTO), Raden Nanda Teguh Perkasa (COO), dan Corina Indrianti (CMO). Saat ini SyarQ dijalankan dengan pendanaan sendiri atau bootstrapping. Untuk roadmap dalam waktu dekat, SyarQ akan segera meluncurkan aplikasi mobile. Selain itu pihaknya juga menginginkan layanan SyarQ dapat menjadi payment channel marketplace, dan menjangkau masyarakat umum, karena saat ini sebagian besar pengguna adalah dari kalangan pegawai.

“Pertumbuhan startup di bidang fintech sangat cepat setahun ke belakang, dari informasi yang kami dapat sudah lebih dari 100 fintech dengan berbagai jenis layanan. Khusus untuk ekonomi syariah juga, peluang untuk tumbuhnya masih sangat besar karena market share-nya kurang lebih 5%-an, harapannya dengan munculnya fintech dapat memberikan kemudahan bagi para pengguna sehingga gap antara potential market share dengan actual market share-nya bisa menipis,” pungkas Corina.

NDRA, Aplikasi On-Demand Pertama yang Beroperasi di Papua

NDRA (New Delivery Ride Auto) merupakan layanan on-demand baru asli dan berbasis di Jayapura, Papua. Dikembangkan Ignatius Hendra, NDRA menjadi satu-satunya layanan on-demand yang telah beroperasi di sana. Sebelumnya pada 4 Oktober 2017 lalu Grab juga sudah memulai ekspansi ke Jayapura, hanya saja disebutkan sampai saat ini operasionalnya belum berjalan.

“Masyarakat di Papua sudah lama menginginkan layanan on-demand, tapi belum ada yang melihat pangsa ini, oleh karena itu saya mencoba masuk ke layanan ini,” ujar Hendra.

Tentu pertanyaan yang muncul ketika mendengar layanan on-demand baru yakni tentang persaingan. Bagaimana nanti ketika para “unicorn” masuk ke wilayah bisnis tersebut? Hendra pun mengakui bahwa kemungkinan bisnisnya pasti akan terganggu dan ini sudah ditempatkan dalam tantangan operasi bisnisnya mulai dari sekarang.

Untuk mengantisipasinya, salah satu yang dilakukan NDRA ialah memberikan opsi layanan selengkap mungkin dan secepat mungkin penetrasinya. Selain jasa transportasi ojek dan taksi online, NDRA juga sudah mampu mengakomodasi pemesanan kebutuhan pembelian barang di toko, bahkan sayur mayur di pasar. Untuk layanan pembelian tiket bioskop, pembayaran listrik, dan lainnya kini telah diakomodasi dalam fitur N-SHOP.

Fitur N-RENT juga telah dihadirkan untuk membantu pengguna dalam mendapatkan jasa tenaga tertentu. Termasuk N-EXPRESS untuk layanan pengiriman barang.

“Di fase awal ini, operasional NDRA tidak ada kantor fisik, hanya melalui online dan media sosial. Begitupun juga dengan driver ojek, taksi, dan kurir, belum menggunakan atribut. Untuk pengguna yang mengunduh aplikasi kami di Google Play sudah sekitar 300 orang. Saat ini kami belum melakukan soft opening, masih dalam tahap percobaan dan sosialisasi. Oleh karena itu untuk driver pun masih beberapa orang saja,” ujar Hendra.

Proses bisnis sewa aplikasi, bukan bagi hasil

Berbeda dengan model bisnis layanan on-demand yang selama ini ada, NDRA tidak menggunakan skema bagi hasil, melainkan sewa aplikasi. Sehingga ada biaya bulanan yang dikenakan untuk mitra, dan untuk hasil dari order yang didapat sepenuhnya menjadi hak pengemudi. Adapun biaya yang dikenakan saat ini sebagai berikut:

  • Untuk ojek dan kurir yang bergabung membayar biaya sewa aplikasi Rp250.000/bulan.
  • Untuk taksi dan mobil yang bergabung membayar biaya sewa aplikasi Rp350.000/bulan.
  • Untuk merchant resto yang bergabung membayar biaya sewa aplikasi Rp350.000/bulan.
  • Untuk merchant rumah makan, lapak online, dan PKL yang bergabung membayar biaya sewa aplikasi Rp150.000/bulan.
  • Untuk pengusaha lokal dan usaha rumahan yang punya produk maupun olahan lokal tidak ada biaya sewa.

Saat ini NDRA baru beroperasi di Kota Jayapura, namun dalam waktu dekat, jika pengembangan aplikasi iOS rampung (targetnya awal tahun), akan melakukan ekspansi ke kota lain, seperti Sorong, Manokwari, Biak, Fak-fak, dan Merauke. Pengembangan NDRA masih sepenuhnya dengan dana pribadi dan membuka kesempatan kerja sama untuk investor guna mengembangkan bisnis lebih luas. Selain itu pasca masa percobaan, NDRA ingin merekrut pemuda-pemudi Papua untuk bisa bergabung ke startup tersebut, mengembangkan layanan on-demand lokal di sana.

“Karena visi dan misi NDRA adalah menjadi aplikasi yang dapat memberikan layanan kebutuhan masyarakat secara online dan sekaligus sebagai penyedia lapangan pekerjaan kepada siapa saja dan di mana saja khususnya di tanah Papua,” pungkas Hendra.

Application Information Will Show Up Here

Kulina Jadi Satu-satunya Startup Indonesia di Google Launchpad Accelerator Batch Kelima

Google kembali mengumumkan nama-nama startup yang berhak mengikuti program Google Launchpad Accelerator. Di edisi kelima ini, Indonesia diwakili oleh Kulina, sebuah startup yang bergerak di bidang langganan katering untuk makan siang. Ini akan menjadi kesempatan Kulina mendapatkan sejumlah pembelajaran dari mentor-mentor terpilih.

Google Launchpad Accelerator adalah acara enam bulan sekali yang diadakan oleh Google. Program bootcamp yang diselenggarakan selama dua minggu akan memberikan kesempatan bagi para pesertanya untuk mendapatkan mentoring dari tim Google maupun mentor ahli dari perusahaan teknologi dan venture capital di Silicon Valley. Rencananya program batch kelima ini akan dimulai pada 29 Januari 2018 mendatang.

Sebelumnya Google Launchpad Accelerator telah meluluskan sejumlah startup asal Indonesia. Nama-nama seperti PicMix, Ruma, Qlue, Snapcart, Jurnal, iGrow, Kurio, Jojonomic, dan Sirclo tercatat sebagai startup yang memiliki kesempatan bergabung dengan program yang sama dan mendapatkan sejumlah pembelajaran penting.

Selain Kulina dari Indonesia, ada sejumlah startup lain yang mengikuti program ini dari negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

Kulina adalah startup Yogyakarta namun melayani pasar Jakarta. Mereka mengklaim mengembangkan layanan untuk membantu masyarakat Jakarta mendapatkan makan siang yang hemat namun berkualitas.

“Konsumsi makan siang adalah salah satu elemen terbesar yang menguras dompet karyawan di Jakarta. Dengan Kulina, anggaran makan siang bisa terkontrol dan konsumen bisa menggunakan penghematan tersebut untuk hal-hal lain yang tak kalah penting seperti travelling, menabung dan lain-lain,” terang Chief Operating Officer Kulina Casper Sermsuksan.

Kulina disebut mengembangkan teknologi berupa algoritma untuk membantu memilihkan rute terdekat dengan konsumen untuk menghemat biaya pengiriman sehingga biaya yang harus dikeluarkan konsumen Kulina bisa diminimalisir.

“Algoritma kami menghasilkan efisiensi biaya logistik yang sangat signifikan, sehingga kami tidak perlu membebani konsumen dengan tambahan ongkos kirim,” CEO Kulina Andy Fajar Handika menjelaskan layanannya.

Matakota Sajikan Layanan Pelaporan Warga Berbasis Media Sosial

Matakota merupakan platform berbasis media sosial yang difungsikan untuk menampung informasi pelaporan warga. Konsepnya secara umum tidak jauh beda dengan solusi perkotaan pintar yang sudah ada sejauh ini. Pengguna dideteksi berdasarkan lokasi akses, kemudian dapat memberikan informasi pelaporan berdasarkan kategori yang sudah disediakan. Berbasis media sosial, Matakota diharapkan dapat menampung laporan warga secara instan dan mendapatkan follow up lebih lanjut dari pihak terkait.

“Setiap user Matakota bisa melaporkan kejadian dengan enam kategori, yaitu laporan lalu lintas, kebakaran, kriminal, bencana alam, kegiatan sosial, dan perlindungan anak. Dalam menangani perlindungan anak, kami juga sudah bekerja sama dengan Kak Seto, Ketua Umum LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia),” terang Co-Founder & CEO Matakota Henry Karya Nugraha.

Mengingat informasi tersebut bisa disampaikan oleh siapa saja, Matakota dibekali dengan fitur “Fake Report” di setiap posting yang dibuat penggunanya. Ini untuk meminimalkan adanya informasi hoax. Dalam sebuah laporan, jika ada yang menekan tombol Fake Report lebih dari lima kali, maka akan otomatis terhapus. Jadi informasi berasal dari warga, dan validasi informasi pun dari partisipasi warga.

Matakota juga dilengkapi dengan fitur Panic Button. Fitur tersebut hanya bisa digunakan untuk pengguna yang sudah memvalidasi profilnya dengan data e-KTP. Selain itu, Matakota juga dilengkapi dengan fitur News yang menyuguhkan berita lokal, nasional, maupun internasional untuk memberikan wawasan lebih luas kepada smart citizen.

Terintegrasi dengan layanan berbasis perangkat

Selain sebagai wadah untuk menampung dan memvalidasi informasi dari masyarakat, layanan Matakota didesain untuk bisa diintegrasikan dengan perangkat keras seperti Beacon, CCTV/IPTV, TMC, ATCS, dan sensor bencana. Sehingga harapannya pihak terkait dengan mudah bisa memantau kondisi kota dan memberikan peringatan dini ketika akan terjadi bencana.

“Jika saya lihat, saat ini beberapa instansi pemerintah seperti kepolisian, PMI, BPBD, dan PMK masih berjalan sendiri-sendiri. Belum terintegrasi menjadi satu. Jadi masyarakat harus menghafalkan nomor telepon penting itu masing-masing. Sedangkan jika dalam kondisi darurat bisa jadi masyarakat kesulitan mengingatnya. Jadi kami ingin mengintegrasikannya dan meningkatkan durasi quick response pemerintah dalam menangani laporan. Saat ini quick response instansi berwenang dalam menangani laporan yang membutuhkan respons cepat masih belum maksimal, rata-rata kasus ditangani setelah 30 menit kejadian berlangsung,” terang Henry.

Matakota didirikan oleh Henry (CEO) dan rekannya Gita Hanandika (CEO). Diawali dengan bootstrapping, saat ini Matakota sedang dalam tahap fundraising. Matakota belum lama ini juga menjadi pemenang pertama pada kompetisi ID.Connect di Surabaya yang diselenggarakan oleh D~NET bekerja sama dengan Express Wi-Fi by Facebook.

“Untuk pengembangan produk satu tahun ke depan Matakota akan mengembangkan fitur Lost & Found, pengembangan IoT Beacon private dan business, serta Early Warning System. Sedangkan dari segi bisnis kami ingin bekerja sama dengan lebih banyak kota di Indonesia,” lanjut Henry.

Di akhir perbincangan tim Matakota juga menyampaikan pendapatnya tentang sebuah kota pintar yang ideal. Menurutnya, kota pintar ideal adalah sebuah kota yang memiliki unsur smart government, smart economy, smart environment, smart mobility, dan smart living. Terdapat integrasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sehingga menghasilkan sebuah kinerja yang efektif dan efisien baik itu untuk pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Application Information Will Show Up Here

Startup Fintech Lending AwanTunai Resmi Hadir, Salurkan Dana dari Korporasi

Startup fintech yang bergerak di bidang lending AwanTunai resmi hadir di Indonesia. Sebelum diresmikan, pengembangan bisnis AwanTunai telah dimulai sejak Mei 2017 dan telah mengantongi surat tanda terdaftar di OJK.

Sedikit berbeda dengan pemain lending lainnya, AwanTunai tidak menggunakan investor individu sebagai pemberi dana, melainkan dari korporasi. Salah satu korporasi yang berkomitmen untuk menyalurkan pinjaman ke pengguna AwanTunai adalah Kredit Plus (PT Finansia Multi Finance), nilainya saat ini sebesar US$30 juta. Terdapat juga beberapa fund reksa dana dari luar negeri sebagai sumber dana.

Perbedaan lainnya, perusahaan mengincar masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah sebagai penggunanya. Juga menggandeng merchant offline sebagai kanal distribusi.

“Jadi sumber dana kami dari institusi, meski demikian kami tetap ada di bawah payung regulasi POJK Nomor 77 Tahun 2016,” terang CEO AwanTunai Dino Setiawan, Rabu (29/11).

Dino melanjutkan, pihaknya melihat untuk penyaluran dana yang besar belum tentu ketersediaan dananya bisa diandalkan dari investor individu saja. Maka dari itu perlu gandeng institusi untuk menjamin sumber dananya selalu tersedia.

“Ditambah, kontribusi belanja dari e-commerce terhadap industri ritel masih 1%. Daripada melihat yang 1% itu, lebih baik kami mengembangkan dari 99% yang sudah jelas ada.”

Pada tahap awal, AwanTunai baru melayani penyaluran pinjaman untuk pembelian smartphone dengan rentang maksimal Rp4 juta. Ada alasan khusus mengapa perusahaan memilih pembiayaan untuk smartphone yang bisa dikatakan sebagai kredit konsumtif.

Pertama, dilihat dari pertumbuhan pembelian smartphone di Indonesia tumbuh 40%. Bisa disimpulkan barang tersebut menjadi kebutuhan umum yang dapat menunjang produktivitas.

Kedua, sebagai langkah awal perusahaan mengumpulkan data pengguna. Data yang dikumpulkan akan digunakan perusahaan untuk merumuskan produk konsumer lainnya yang bisa dicicil.

“Sejauh ini baru smartphone saja. Kami akan menyediakan produk konsumer lainnya yang bisa dicicil, dalam waktu dekat akan segera diumumkan.”

Model bisnis AwanTunai

Untuk proses pengajuan pinjaman, calon debitur hanya perlu mengunduh aplikasi AwanTunai lalu mengunggah KTP sebagai persyaratan. Kemudian nasabah akan diverifikasi oleh credit engine yang dibangun sendiri oleh AwanTunai. Jaminannya dalam waktu 15 menit calon debitur bisa mengetahui persetujuan limit kredit.

Dalam model bisnisnya, AwanTunai memiliki dua jenis penyaluran. Pertama, menggandeng calon debitur dari institusi untuk menjamin penyaluran tepat sasaran dan meminimalkan potensi gagal bayar. Institusi yang telah bermitra dengan AwanTunai adalah Blue Bird untuk para pengemudinya.

Sementara ini, AwanTunai baru bermitra dengan 42 pool Blue Bird berlokasi di Jabodetabek untuk 16 ribu pengemudi selama lima bulan terakhir. Sekitar 8 ribu pengajuan disetujui dengan total penyaluran sekitar Rp5 miliar. Ke depannya, perusahaan akan diperluas untuk pool Blue Bird berlokasi di Surabaya.

Berikutnya, AwanTunai menggandeng merchant offline yang menjual smartphone untuk menjadi point of sales financing yang aman, mudah, dan cepat. Adapun total merchant yang sudah bermitra totalnya sekitar 50 merchant berlokasi di Jabodetabek.

Untuk memperluas layanannya, AwanTunai akan bermitra dengan tiga bank untuk tambahan sumber dana dan bermitra dengan pedagang kecil hingga perusahaan besar untuk meningkatkan layanannya ke seluruh masyarakat.