OJK Cabut Izin Usaha Fintech Lending TaniFund

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mencabut izin usaha PT TaniFund Madani Indonesia akibat gagal memenuhi ketentuan ekuitas minimum dan tidak mengimplementasikan rekomendasi pengawasan dari otoritas. Keputusan ini diambil berdasarkan Surat Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-19/D.06/2024 tanggal 3 Mei 2024.

Kepala Departemen Literasi Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Aman Santosa, menyatakan bahwa pencabutan izin ini merupakan langkah tegas OJK dalam memastikan kepatuhan regulasi di industri fintech.

“Pencabutan ini dilakukan setelah berbagai upaya pengawasan dan sanksi administratif yang kami berikan, namun TaniFund tetap tidak dapat menyelesaikan permasalahannya,” ujar Aman.

TaniFund, yang sebelumnya beroperasi di sektor pinjaman online untuk pertanian, mengalami peningkatan kredit macet yang signifikan. Menurut data dari OJK, tingkat kredit bermasalah di TaniFund mencapai 63,93%, jauh di atas ambang batas yang ditolelir.

Selain itu, TaniFund juga terlibat dalam beberapa kasus hukum terkait gagal bayar kepada para investor, yang menambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi.

“TaniFund harus segera menghentikan kegiatan usahanya dan melakukan likuidasi untuk memenuhi kewajiban kepada para pihak terkait,” tambah Aman.

Dalam rangka memberikan perlindungan kepada para investor dan pengguna, OJK juga telah melimpahkan kasus pidana terkait TaniFund kepada aparat penegak hukum untuk diproses lebih lanjut. Keputusan ini diharapkan akan menjadi pelajaran bagi industri fintech lainnya untuk lebih memperhatikan kepatuhan dan manajemen risiko dalam operasional mereka.

Dengan dicabutnya izin TaniFund, OJK berharap dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap industri fintech lending di Indonesia dan mempromosikan pertumbuhan yang sehat serta bertanggung jawab di sektor keuangan digital.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Izin TaniFund Terancam Dicabut Tahun Ini

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan izin usaha TaniFund terancam dicabut jika perusahaan tidak segera menyelesaikan seluruh kewajiban kredit macetnya. OJK memberikan tenggat waktu maksimal sampai pertengahan tahun ini kepada TaniFund untuk menyelesaikan masalah kredit macet ini.

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology OJK Tris Yulianta mengatakan saat ini TaniFund berada di bawah pengawasan khusus. “Kami minta TaniFund untuk melakukan action plan. Apabila sampai batas waktunya [persyaratan] tidak dipenuhi, kami akan tindak lebih tegas lagi,” kata Tris ditemui di acara Halal Bihalal AFPI-Taralite, pekan lalu (5/5).

Tris mengatakan, hampir setiap minggu atau minimal dua minggu sekali, OJK berkomunikasi dengan TaniFund terkait progres penyelesaian kredit macet ini. Ia menyebut, pihak TaniFund sudah melakukan penagihan, tetapi hasilnya belum signifikan. “Jadi kredit macet lender yang kemarin ramai, sudah sebagian berhasil ditarik. Tapi belum signifikan.”

Menurut dia, permasalahan kredit macet di perusahaan sangat kompleks, tidak hanya manajemen, tetapi juga masalah pada peminjamnya. “Karena ini sektor pertanian, bisa jadi tingkat keberhasilan panennya tidak sesuai ekspektasi. Namun, tidak bisa dikatakan ini hanya borrower-nya. Ini impact dari dua hal, ekspektasi borrower terhadap tingkat panen tidak sesuai, dan manajemen risiko juga kurang bagus.”

Hingga kini situs TaniFund (tanihubgroup.com) menghilang, hanya tersedia TaniHub Food Solutions yang merupakan solusi B2B dari grup tersebut sebagai penyuplai untuk bisnis.

Mengutip dari CNBC Indonesia, TaniHub ramai diberitakan karena gugatan PKPU yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan tersebut muncul karena tingkat kredit macet yang tinggi. Dilaporkan pada Maret 2023, TKB90 TaniHub hanya 36,07%.

Moratorium segera dicabut

Tak hanya itu, OJK juga berniat untuk mencabut penghentian sementara (moratorium) izin p2p lending dalam waktu dekat. Alasannya, perizinan untuk peluncuran teknologi baru sudah dalam tahap evaluasi akhir. Begitu rampung, moratorium akan segera dicabut.

“Kami mengusahakan pada tahun ini, bahkan mungkin tidak sampai akhir tahun ini [pencabutan moratorium]. Dalam waktu dekat bisa selesai karena evaluasi sudah dalam tahap akhir,” tambahnya.

Tris menerangkan teknologi yang akan diluncurkan ini bernama Sistem Perizinan Terintegrasi (SPRINT). Sistem ini akan membuat pendaftaran perusaahaan akan lebih cepat dan transparan. Para pendaftar dapat mengetahui perkembangan pengajuan izin sejauh ini di OJK sudah sejauh mana. Sebelumnya, pendaftar tidak dapat melacak progres perizinan dokumen dengan menggunakan sistem lama.

Dia menambahkan, moratorium dulu dilakukan pada Februari 2020 karena bertujuan untuk memperkuat sistem pengawasan, sekaligus meningkatkan kualitas perusahaan p2p lending yang terdaftar di OJK. Hasilnya, terlihat dari perusahaan yang terdaftar saat itu mencapai 164, kini yang sanggup bertahan tersisa 102 perusahaan.

Berdasarkan statistik OJK, sejak 2018 hingga Februari 2023, jumlah penyaluran pendanaan telah mencapai Rp564 triliun yang disalurkan oleh 1 juta pemberi pinjaman kepada 106 juta penerima pinjaman. Per 3 April 2023, industri ini telah membukukan profit sebesar Rp98,25 miliar pada Februari 2023.

TaniFund dan BukaPengadaan Jalin Kerjasama, Permudah Akses Pembiayaan untuk UMKM

TaniFund memiliki rekam jejak yang sangat baik dalam upaya membantu UKM mengembangkan bisnis melalui program permodalan. Beberapa program telah digulirkan, dan yang terbaru TaniFund menjalin kerjasama dengan BukaPengadaan dari BukaLapak yang masih akan bergerak di sektor pembiayaan.

Continue reading TaniFund dan BukaPengadaan Jalin Kerjasama, Permudah Akses Pembiayaan untuk UMKM

Didukung BRI, TaniFund Siap Salurkan Pendanaan Sebesar Rp 200 Miliar Kepada Petani dan UMKM

TaniFund mengumumkan seca resmi ker sama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) dalam upayanya untuk mendukung daya serap pembiayaan di sektor agrikultur dan pangan. Perjanjian Kerja Sama antra keduanya telah ditanda-tandangi pada Jumat, 26 Februari 2021 ini, yang sekaligus melahirkan satu poin penting, bahwa per bulan Maret 2021 mitra petani dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) binaan TaniFund bisa mengajukan pendanaan.

Continue reading Didukung BRI, TaniFund Siap Salurkan Pendanaan Sebesar Rp 200 Miliar Kepada Petani dan UMKM

TaniHub to Finalize Series B Funding, Continuosly Building Infrastructure Outside Java

Agritech startup TaniHub announces to finalize series B funding that is claimed to have the largest nominal value in all of Southeast Asia for startups in its vertical. This funding will be used to strengthen the company’s plans to expand outside Java by building business infrastructure.

Less than a year ago, TaniHub announced a Series A+ funding in April 2020 worth $17 million led by Openspace Ventures and Intudo Ventures.

In the virtual conference, the President of TaniHub Group Pamitra Wineka was unwilling to mention further regarding the fresh fund. He only said that this funding was in the finalizing stage and it was estimated to be announced in a month. The investors are claimed to be so enthusiastic that it is oversubscribed from the targeted funds.

“We want this fund to contribute back to farmers in Indonesia. We want to expand to where we can reach more farmers, hopefully, we can expand to Papua,” he said, Thursday (21/1).

The company plans to build a regional distribution facility (DC), a processing packing center (PPC), a poultry processing center (PPC), a national warehouse (national fulfillment center / NFC), and rice mills in various points. Several locations are including North Sumatra, Riau, Palembang, Lampung, Banjarmasin, Banjarmasin, Manado, and Makassar.

Currently, the PPC location with full-time operational is in Malang, which supports the supply chain of various regional distribution facilities across five cities, Bogor, Bandung, Kartasura, Surabaya, and Denpasar.

TaniHub Group Director of Supply Chain Sariyo said, Malang’s PPC has operated at almost maximum capacity. He appreciates the response the good response in the field because this PPC serves to streamline the distribution process and reduce the risk of damage.

“We build PPC based on the location whether the area has a lot of sources [of agricultural products]. Then, this will be very helpful because PPC must be close to the source area [of agricultural products],” he said.

In addition to the expansion, this year the company will digitize the entire supply chain process by building its own data-driven automation system, without manual work. Next, create a B2B consumer-only platform to accommodate specific processes in order to provide a much better transparency experience.

Last year’s business accomplishment

On the same occasion, the company also announced its glorious achievements over the past year. TaniHub Group Co-Founder & CEO Ivan Arie Sustiawan claims, the company is the first agritech company to successfully score GMV above IDR1 trillion with gross revenue growth reaching 639% YoY.

There are more than 46 thousand farmers who gained a positive impact from TaniHub, one of which is an increase in farmer income by 20%. Further elaborated, the largest revenue from TaniHub Group came from the B2B business with a contribution of 80%, the rest came from the retail business.

TaniHub e-commerce recorded a new user growth of more than 250 thousand people from March to December 2020. The most purchased products by consumers are chicken, dragon fruit, leaf vegetables, rice, eggs, avocado, spices, and melons. The total SKU owned by TaniHub is now more than 1,700, almost doubling the previous year’s SKU of 800.

TaniFund P2P lending also comes with achievements. Last year it succeeded in channeling IDR 89.2 billion funding through 243 projects in the food and agriculture sectors. There are 2500 affected farmers who joined the TaniFund ecosystem as their production has increased by 20%.

In addition, TaniFund’s spirit to increase financial inclusion is visible through the increased income of assisted farmers by an average of 25% with bank account ownership reaching 100%. TaniFund targets to increase its distribution to IDR 1 trillion to 10 thousand farmers this year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Segera Rampungkan Pendanaan Seri B, TaniHub Gencar Bangun Infrastruktur di Luar Jawa

Startup agritech TaniHub mengungkapkan segera mengumumkan pendanaan seri B yang diklaim memiliki nominal terbesar seantero Asia Tenggara untuk startup di vertikalnya. Pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk memantapkan rencana perusahaan bermain di luar Pulau Jawa dengan membangun infrastruktur pendukung bisnis.

Kurang dari setahun lalu, TaniHub mengumumkan pendanaan Seri A+ pada April 2020 sebesar $17 juta yang dipimpin Openspace Ventures dan Intudo Ventures.

Dalam konferensi yang digelar secara virtual, Presiden TaniHub Group Pamitra Wineka belum bersedia menyebutkan lebih lanjut terkait dana segar ini. Ia hanya mengatakan bahwa pendanaan ini masih dalam proses finalisasi diperkirakan baru bisa diumumkan sebulan lagi. Antusiasme investor kepada putaran ini diklaim begitu antusias, hingga oversubscribed dari dana yang ditargetkan.

“Dana ini mau kita kontribusikan balik kepada petani-petani di Indonesia. Kita mau ekspansi ke mana kita bisa jangkau lebih banyak petani, hopefully bisa sampai Papua,” ucapnya, Kamis (21/1).

Perusahaan berencana untuk membangun fasilitas distribusi regional (DC), pusat pemrosesan dan pengemasan produk (processing packing center/PPC), pusat pengolahan unggas (poultry processing center/PPC), gudang nasional (national fulfillment center/NFC), dan penggilingan padi di berbagai titik. Beberapa lokasinya, seperti Sumatera Utara, Riau, Palembang, Lampung, Banjarmasin, Banjarmasin, Manado, dan Makassar.

Saat ini, lokasi PPC yang sudah beroperasi penuh adalah di Malang yang mendukung rantai pasok dari berbagai fasilitas distribusi regional yang tersebar di lima kota, yakni Bogor, Bandung, Kartasura, Surabaya, dan Denpasar.

Director of Supply Chain TaniHub Group Sariyo mengatakan, PPC di Malang sudah beroperasi dengan kapasitas hampir maksimal. Ia mengapresiasi respons di lapangan sangat baik karena PPC ini berfungsi untuk mengefisienkan proses distribusi dan mengurangi risiko rusak.

“Kita bangun PPC melihat dari lokasinya apakah di daerah tersebut punya memiliki source [hasil tani] yang banyak. Bila iya, ini akan sangat membantu karena PPC itu harus dekat dengan daerah sumber [hasil tani],” ujarnya.

Selain ekspansi, pada tahun ini perusahaan akan mendigitalkan seluruh proses rantai pasok dengan membangun sendiri sistem automasi yang digerakkan oleh data, tidak lagi dengan manual. Berikutnya, membuat platform khusus konsumen B2B untuk mengakomodasi proses spesifik demi memberikan pengalaman transparansi yang jauh lebih baik.

Pencapaian bisnis tahun lalu

Dalam kesempatan yang sama, perusahaan juga sesumbar dengan pencapaiannya yang gemilang sepanjang tahun lalu. Co-Founder & CEO TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan mengklaim, perusahaan menjadi perusahaan agritech pertama yang berhasil mencetak GMV di atas Rp1 triliun dengan pertumbuhan gross revenue mencapai 639% secara yoy.

Terdapat lebih dari 46 ribu petani yang mendapat dampak positif dari kehadiran TaniHub, salah satunya meningkatnya pendapatan petani sebesar 20%. Dijabarkan lebih jauh, pendapatan terbesar dari TaniHub Group datang dari bisnis B2B dengan kontribusi 80%, sisanya datang dari bisnis ritel.

E-commerce TaniHub mencatatkan pertumbuhan pengguna baru lebih dari 250 ribu orang sepanjang Maret hingga Desember 2020. Produk yang banyak dibeli konsumen adalah ayam, buah naga, sayuran daun, beras, telur, alpukat, rempah-rempah, dan melon. Total SKU yang dimiliki TaniHub kini lebih dari 1.700, hampir dua kali lipat dari sebelumnya 800 SKU.

P2P lending TaniFund juga menorehkan pencapaian yang baik. Tahun lalu berhasil menyalurkan pendanaan sebesar Rp89,2 miliar melalui 243 proyek dalam bidang pangan dan agrikultur. Ada 2500 petani yang terdampak masuk ke ekosistem TaniFund karena produksinya meningkat sebesar 20%.

Tidak hanya itu, semangat TaniFund dalam meningkatkan inklusi keuangan terlihat pada peningkatan pendapatan petani binaan secara rerata sebesar 25% dengan kepemilikan rekening bank mencapai angka 100%. TaniFund sendiri menargetkan pada tahun ini dapat meningkatkan penyalurannya hingga Rp1 triliun kepada 10 ribu petani.

Application Information Will Show Up Here

Kencangkan Kolaborasi dengan Portofolio, BRI Agro Kini Jadi Lender Institusi TaniHub

Startup agritech TaniHub Group mengumumkan kolaborasi bisnis dengan BRI Agro demi meningkatkan kesejahteraan petani dengan pemberian akses pendanaan, sarana produksi, hingga jaminan penjualan hasil pertanian.

Dalam keterangan resmi, sebagai langkah awal dari kolaborasi ini, anak usaha TaniHub yang bergerak di p2p lending TaniFund akan mendapat akses pembiayaan dan pengadaan sarana distribusi kepada para petani dengan menyalurkan kredit dari BRI Agro. Hal ini sekaligus menandakan BRI Agro sebagai salah satu jajaran lender institusi yang bergabung di TaniFund.

Oleh karena itu, para petani binaan TaniFund dapat membeli bibit, pupuk, hingga sarana produksi lainnya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas produk mereka. Harapan besarnya, melalui pendekatan digital, petani dapat membeli berbagai kebutuhan produksi bersubsidi melalui aplikasi ataupun laman situs TaniHub.

Sebelumnya BRI Agro juga melakukan kerja sama serupa dengan Modal Rakyat (perusahaan di bawah naungan Fazz Financial). Seperti diketahui, baik TaniGroup ataupun Fazz Financial merupakan portofolio dari BRI Ventures.

CEO TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan menuturkan, kemitraan antara kedua perusahaan ini dapat membawa peran besar dalam peningkatan kesejahteraan petani Indonesia melalui akses pembiayaan. “Petani tidak perlu lagi khawatir mengenai salah satu masalah terbesar mereka, yakni akses permodalan. Bahkan dengan ekosistem TaniHub Group, para petani juga mendapatkan jaminan pasar,” ujarnya, Rabu (6/1).

Direktur Utama BRI Agro Ebeneser Girsang menambahkan, “Kami melihat TaniHub Group merupakan partner yang tepat bagi kami melihat inovasi dan pengalaman mereka sebagai perusahaan agritech yang sudah berdiri sejak tahun 2016.”

Sektor pertanian, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), mengalami pertumbuhan positif pada kuartal III 2020, yakni tumbuh 2,15% YOY. Pada kuartal sebelumnya juga naik 2,19% YOY. Peningkatan tersebut mengindikasikan sektor ini punya peran besar terhadap pertahanan ekonomi di Indonesia.

Dalam tulisan sebelumnya, selama ini TaniFund mayoritas masih mengandalkan lender ritel dalam menyalurkan pembiayaan kepada para petani binaannya. Padahal kebutuhan pembiayaan lambat laun terus tumbuh. Perusahaan baru didukung oleh dua bank, tanpa menyebut identitasnya.

Direktur TaniFund Edison Tobing menuturkan bank rata-rata masih menganut konsep konvensional karena selalu menanyakan apa jaminannya. “Pada akhirnya yang kami lakukan hanya bisa memperkuat keyakinan mereka, mengajak ketemu langsung dengan petani yang kita bina. Untuk kepastian dana dibalikkan ke lender, kami akan langsung bayarkan ke bank, bukan petani karena kami sendiri kan ambil barangnya dari petani.”

Mengutip dari situs TaniFund, hingga kini perusahaan telah menyalurkan pinjaman lebih dari Rp178 miliar dengan tingkat keberhasilan 90 (TKB90) sebesar 100%.

Application Information Will Show Up Here

Kredit Pertanian: Disukai Namun Disegani

Kredit pertanian di Indonesia punya margin yang seksi untuk digarap tapi riskan saat dijalankan. Hal ini sudah menjadi cerita lama buat perbankan yang masuk ke sektor ini. Ada begitu banyak isu yang membuat lembaga keuangan tidak berani terlalu dalam bermain di sektor ini.

Faktor gagal panen karena hama, cuaca buruk, dan risiko lain yang disebabkan manusia sendiri merupakan makanan sehari-hari. Meskipun risiko ini seharusnya bisa diatasi jika menggunakan asuransi, faktor kegagalan panen sama dampaknya dengan berkurangnya pasokan bahan pokok/komoditas: melonjaknya harga jual.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 yang melibatkan delapan ribu petani sebagai responden mengungkapkan, 15% petani sudah mengakses kredit bank dan 33% memperoleh bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Mayoritas petani, sekitar 52%, masih mengandalkan modal sendiri, koperasi, kerabat, dan kembaga keuangan non-bank lainnya.

Ada empat faktor permasalahan program kredit pertanian bila melalui bank, yaitu pemberian kredit yang tidak tepat sasaran, subsidi bunga, prosedur yang birokratis, dan tingginya risiko moral hazard. Muara dari seluruh masalah tersebut adalah potensi gagal bayar yang tinggi.

Perbankan menjawabnya dengan menetapkan bunga yang tinggi karena tingkat pengawasannya yang berbeda, misalnya menaruh orang lapangan untuk memantau dan sebagainya. Pemerintah akhirnya “menginterupsi” dengan mengubah skema penyaluran KUR mulai awal tahun ini. Jadi lebih sederhana karena target utamanya adalah pelaku usaha mikro sudah memiliki usaha tapi belum bankable.

Syarat utamanya pengajuan KUR adalah calon debitur punya usaha produktif yang aktif minimal enam bulan, tidak sedang menerima kredit kecuali kredit konsumtif, dan tidak masuk dalam daftar hitam BI. Berikutnya calon debitur mencantumkan identitas diri, berupa KTP, Kartu Keluarga, NPWP, surat nikah/cerai, surat keterangan usaha mikro atau kecil yang sudah diterbitkan pihak berwenang, dan surat keterangan lunas dan cetakan rekening dari pinjaman sebelumnya.

Jumlah pemain fintech lending di sektor agritech saja masih terbatas. Menurut catatan OJK per Maret 2020, mereka adalah iGrow, iTernak, Crowde, TaniFund, dan DanaLaut.

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Memanfaatkan kekosongan

Pemain fintech terjun ke segmen ini dengan mengumpulkan semua “keberanian” dan dibarengi mitigasi risiko yang sudah diukur matang-matang. Bentuk pendanaan yang mereka tawarkan umumnya berbentuk p2p lending, artinya ada pemberi pinjaman (entah individu atau korporasi) sebagai lender untuk disalurkan sebagai pembiayaan modal usaha ke petani yang sudah diverifikasi.

TaniFund misalnya, entitas bagian dari TaniHub Group ini spesifik menyalurkan pinjaman ke para petani di proyek-proyek pertaniannya. TaniHub (e-commerce), TaniSupply (supply chain), dan TaniFund melengkapi rangkaian solusi end-to-end grup untuk para petani lokal.

Pembeda inilah yang sengaja dibentuk TaniHub Groub. TaniHub membentuk ekosistem menyeluruh buat petani dari sebelum mulai menanam hingga panen. Perusahaan akan menyerap seluruh hasil panen, dalam kualitas apapun, dengan harga yang sudah disepakati dari awal.

Hasil panen itu sepenuhnya dijual ke konsumen TaniHub, entah itu mitra b2b atau b2c (melalui platform e-commerce). Alhasil, petani tidak perlu pusing dengan risiko harus dihadapkan dengan tengkulak.

“Biasanya setelah pinjam dari tengkulak, petani itu bingung mau jual hasil panennya. Ujung-ujungnya mereka jual ke tengkulak yang ngasih harga sampai jatoh, akhirnya mereka rugi. Tapi kami 100% jadi off-taker, dari titik 0 sampai proses jual sudah masuk ke dalam ekosistem TaniHub. Petani hanya perlu memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas dan mutu pertaniannya,” terang Direktur TaniFund Edison Tobing.

Dengan membentuk ekosistem demikian, TaniFund berhasil menekan laju kredit macet sampai di level 0,2% dan TKB90 100%. NPL tersebut, menurutnya, bukan karena gagal bayar, melainkan keterlambatan pembayaran karena perusahaan sudah melakukan mitigasi risiko dengan segala cara, sampai memanfaatkan jasa asuransi.

Lambat laun kebutuhan pendanaan di TaniFund semakin tinggi seiring terus bertambahnya jumlah petani yang tergabung. Meskipun demikian, hal ini belum dibarengi dengan banyaknya lender institusi yang bergabung. Baru ada dua yang berasal dari bank. Mayoritas pemberi dana di TaniFund adalah individu.

Edison mengatakan, bank itu rata-rata masih bersifat konvensional. Mereka selalu menanyakan kalau pinjaman seperti ini, jaminannya seperti apa. Dengan izin sebagai p2p lending, pihaknya tidak bisa memberikan jaminan apapun karena hanya bertindak sebagai platform yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman.

“Petani itu kenapa akhirnya bekerja sama dengan kami karena mereka gagal bekerja sama dengan bank. Karena bank memberikan funding dan mengharapkan funding balik.”

Salah satu proyek yang dibiayai TaniFund / TaniFund
Salah satu proyek yang dibiayai TaniFund / TaniFund

Dia melanjutkan, “Pada akhirnya yang kami lakukan hanya bisa memperkuat keyakinan mereka, mengajak ketemu langsung dengan petani yang kita bina. Untuk kepastian dana dibalikkan ke lender, kami akan langsung bayarkan ke bank, bukan petani karena kami sendiri kan ambil barangnya dari petani.”

Terkait kemungkinan TaniFund bila terhubung dengan KUR, Edison menyatakan ada beberapa faktor yang kurang memungkinkan. Pertama, program KUR yang berjalan saat ini banyak diarahkan untuk komoditas yang belum menjadi unggulan TaniHub saat masuk ke platform e-commerce-nya.

Ini akan menjadi masalah bila dipaksakan TaniFund. Misalnya pemerintah banyak mendorong petani jagung untuk mengambil KUR, sementara jagung saat ini bukan menjadi produk yang paling dicari konsumen TaniHub.

“Kami tetap jaga risiko karena setelah memberikan funding, kami ada kewajiban untuk menyerapnya. Sementara produk yang dijual itu bukan yang paling dicari konsumen kita.”

Kedua, dari sisi legalitas, p2p lending memiliki ketentuan pinjaman maksimal per proyek sebesar Rp2 miliar. Sementara, program KUR ini per proyeknya menyalurkan kredit di atas angka tersebut. Masalah kedua ini menyambung ke masalah pertama, bahwa TaniFund akan kesulitan dalam menjual hasil panen ke platform-nya, sekaligus melanggar ketentuan regulator.

“Kita kebanyakan masuk ke petani menengah ke bawah yang lahannya di bawah empat hektar, tergantung jenis komoditas. [..] Kebutuhan beras di kami kemungkinan baru 2 ribu ton per bulan, sementara KUR itu serapannya luar biasa besar. Strukturnya harus kita siapkan dulu baru bisa engage [ke kementerian terkait].”

Hingga kini TaniFund telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp129 miliar. Di tahun ini saja, perusahaan telah menyalurkan Rp42,19 miliar. Ditargetkan hingga akhir tahun angka ini dapat mencapai Rp90 miliar.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Jumlah pemain terbatas

Sebenarnya ada sejumlah pemain lain yang mendedikasikan dirinya sebagai platform fintech lending untuk pertanian, peternakan, atau akuakultur. Konsep yang mereka gunakan tidak jauh berbeda dengan TaniFund, yaitu melakukan pendampingan konsultasi sebagai bentuk pemberdayaan petani agar mereka paham cara menanam bahan pangan dengan baik dan mengelola keuangan dengan tepat.

Crowde, misalnya, menawarkan pinjaman modal bagi petani dengan skema setor hasil panen, yang bernama Gerakan Rakyat Petani (GARAP). Komoditas yang disasar adalah padi, jagung dan cabai. Besaran nilai setoran berbeda-beda, tergantung komoditas pertaniannya.

Setelah diberikan modal kerja, petani akan mengembalikan pinjaman dengan hasil panen menyesuaikan komoditas yang ditanam secara perlahan. Misalnya, untuk komoditas cabai yang dibudidayakan pada lahan dengan luas minimal 2.500 meter persegi (m2), petani harus menyetorkan hasil panen sebanyak 1,75 ton.

Sementara untuk komoditas padi, hasil panen yang harus disetorkan sebesar 5,7 ton di luas lahan minimal 10.000 m2. Apabila hasil panen petani melebihi patokan, hal ini akan menjadi hak petani. Inovasi ini bisa memperluas opsi petani dalam mendapatkan modal kerja.

Di luar segmen fintech, masih banyak pemain agritech lainnya yang menawarkan solusi untuk permasalahan yang berbeda-beda. Ada yang menyentuh ke unsur platform pengelolaan, IoT, hingga blockchain.

Satu segmen agritech yang paling banyak pemainnya adalah platform e-commerce yang menjual produk-produk hasil tani untuk kebutuhan sehari-hari. Tak terhitung berapa banyak pemain yang sudah menjadi pemimpin pasar, bahkan yang tiba-tiba pivot karena terdampak pandemi. Mereka mencoba peruntungan di kue yang sama.

Kue bisnis di industri ini memang besar. Perbankan sendiri belum mampu menyelesaikan kebutuhan pembiayaannya, sehingga peluang platform fintech di sektor ini masih sangat besar.

Cara platform fintech lending dalam memitigasi risiko di industri ini juga beragam. Selain memanfaatkan teknologi, ada yang mencoba menyalurkan pembiayaan lewat perantara, seperti koperasi yang dianggap lebih bersentuhan langsung dan mengerti kondisi para anggotanya. Model inilah yang diadopsi Mekar.

Meskipun demikian, pemain fintech lending masih memiliki keterbatasan dibandingkan bank, yakni ketersediaan dana. Pola channeling antara bank dan platform fintech lending dapat dilanjutkan pemanfaatannya untuk industri yang lebih luas.

TaniHub Introduces a New Business Unit “TaniSupply”, Focused on Supply Chain

An agri-tech startup, TaniHub Group, introduces TaniSupply (PT Tani Supply Indonesia) focused on solving issues related to the supply chain. The firm was established in September, 19th 2019.

As a sidenote, TaniHub (e-commerce platform), TaniFund (p2p lending), and TaniSupply (supply chain) are operated under TaniHub Group. Each of them is working on different focuses with different regulators, yet one vision to accelerate a positive impact on the agriculture industry.

TaniSupply Director, Vincentius Sariyo explained the maneuver under its own entity will be more aggressive in order to develop supply chain business in agriculture. In fact, the license of TaniSupply stands under a different department with TaniFund (Financial) and TaniHub (Communication and Informatics).

In the warehouse, TaniSupply team makes purchasing from farmers. Next, the grading process for fruit and vegetables, measuring sweetness, quality control (QC), and quality assurance (QA). Lastly, a logistics team to ensure product quality until it’s safely delivered to the customers.

“We’re now in the middle, we have TaniHub upfront and TaniHub in the back for online distribution. TaniSupply will take care of purchasing from farmers, and the function of a chain, warehouse, last-mile delivery, quality control, and others,” Sariyo explained on Wed (11/20).

The current warehouses are installed with a certain-standard cooler to keep the product from deteriorating. Warehouses can also be used, in terms of rent, by other parties to store food products for a certain period of time.

Investment in storage machines such as blast freezers will also be prepared to complement market needs. He even mentioned that TaniSupply is applying for certification for ISO 22000 related to food safety and halal warehouses. It is also possible to export to neighboring countries.

As a result, plans are to be developed from TaniSupply in the future, not only for the ecosystem within the group but also for the sustainability of the overall agricultural ecosystem.

The distribution of the TaniSupply warehouse will be focused outside of Java for the more integrated agricultural ecosystem. This includes shortening the distribution chain from farmers before being distributed to consumers.

To date, the company has some warehouses or distribution centers located in four cities (Bogor, Bandung, Yogyakarta, and Surabaya) and some other locations.

TaniSupply is targeting more locations around Bali, Sulawesi, and Balikpapan. The latest one will be located in Cikarang for 10 thousand square meters.

“In 2021, we’re to open new locations in all over the cities throughout Indonesia.”

Last-year issues with the agriculture supply chain in Indonesia

TaniSupply Director Vincentius Sariyo / TaniHub Group
TaniSupply Director Vincentius Sariyo / TaniHub Group

Sariyo explained the first initiative in building TaniSupply is to create an end-to-end agriculture ecosystem. There are more issues on the field to be solved with technology.

Each business unit from TaniGroup has different issues with a red needle to improve the agriculture technology that is currently a mess.

All this time, there’s always been a mismatch in the composition of supply and demand in agriculture. It is due to the crops in different grades, not every off-taker (buyers, including middlemen) wants.

The rest of the low-rated crops forced to be sold way cheaper than the cost of goods sold (COGS). This is causing a loss for the farmers. Many more issues come from the old paradigm that imprisons local farmers, making it very difficult for them to grow.

TaniHub is said to cultivate 35 thousand farmers and agri-communities, providing 800 business certificates more or less. The majority of goods are fruits, vegetables, fish, chicken, eggs, and rice. Only, 90% of those are trading farmers or free trade.

“In order to fulfill the demand for TaniHub, 90% comes from trading farmers. Only 10% comes from TaniFund, so they [TaniFund] still have a lot of homework to do,” TaniHub’s VP of Corporate Services, Astri Purnamasari said.

The offline sales on TaniHub still leading with 80% than the offline service. Most of the offline consumers are supermarkets, Horeca, F&B industries, retails, and startups.

“Previously, TaniHub was directly focused on B2C through an application. As time goes on without scale-up, we finally switch to B2B.”

The company also distributes some private label to the offline partners. For example, SommerVille for fruit-only goods; VIS for fish products; Fowler for chicken, duck, and eggs; GoldFarm for organic vegetables; and Lentik for rice.

With TaniSupply, TaniHub Group is tightening its position as the end-to-end agri-tech service. To date, there is no agri-tech player to serve end-to-end service in the agricultural ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

TaniHub Kenalkan Unit Bisnis Barunya “TaniSupply”, Khusus Tangani Rantai Pasokan

Startup agritech TaniHub Group memperkenalkan TaniSupply (PT Tani Supply Indonesia) yang bergerak khusus mengatasi isu di rantai pasokan. Perusahaan baru berdiri secara resmi pada 19 September 2019.

Sebagai catatan, TaniHub (platform e-commerce), TaniFund (p2p lending), dan TaniSupply (supply chain) bernaung di bawah agritech TaniHub Group. Ketiganya bergerak di bidang yang berbeda dengan regulator yang berbeda pula, namun dengan satu visi mempercepat dampak positif dalam pertanian.

Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo menjelaskan, manuvernya di bawah entitas sendiri akan jauh lebih agresif dalam mengembangkan bisnis rantai pasokan pertanian. Pasalnya, izin usaha dari TaniSupply ini berdiri di bawah payung kementerian yang berbeda dengan TaniFund (OJK) dan TaniHub (Kemenkominfo).

Di gudang, tim TaniSupply melakukan proses pembelian dari petani. Lalu memroses grading buah dan sayur, mengukur tingkat kemanisan, melakukan quality control (QC), dan quality assurance (QC). Terakhir, ada tim logistik untuk mengunci kualitas produk yang sampai ke tangan pelanggan tetap terjaga.

“Kita ada di tengah-tengah, di depan ada TaniFund dan di belakang kita ada TaniHub untuk channel penjualan online-nya. TaniSupply akan mengurus pembelian dari petani, ada fungsi chain, gudang, last mile delivery, quality control, dan lainnya,” terang Sariyo, Rabu (20/11).

Saat ini gudang perusahaan diinstalasi dengan pendingin berstandar khusus untuk menjaga produk agar tidak mengalami penurunan kualitas. Gudang juga bisa dipakai, dalam artian sewa, oleh pihak lain untuk menyimpan produk makanan untuk jangka waktu tertentu.

Investasi mesin penyimpanan seperti blast freezer juga bakal disiapkan untuk melengkapi kebutuhan pasar. Bahkan dia menyebut TaniSupply sedang mengajukan sertifikasi untuk ISO 22000 terkait keamanan pangan dan gudang halal. Terbuka juga kemungkinan untuk ekspor ke negara tetangga.

Alhasil, banyak rencana yang bisa dikembangkan dari TaniSupply ke depannya, tidak hanya untuk ekosistem di dalam grup saja, juga buat keberlangsungan ekosistem pertanian secara keseluruhan.

Persebaran gudang TaniSupply akan difokuskan ke luar Jawa untuk perkuat ekosistem pertanian agar semakin terintegrasi. Termasuk di antaranya untuk persingkat rantai distribusi dari petani sebelum didistribusikan ke konsumen.

Saat ini perusahaan memiliki gudang atau distribution center yang terletak di empat kota (Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya), serta sejumlah titik distribusi di berbagai area.

Lokasi tambahan yang akan disasar TaniSupply di antaranya Bali, Sulawesi, dan Balikpapan. Gudang terbaru TaniSupply akan berada di Cikarang seluas 10 ribu meter persegi.

“Tahun 2021 kami targetkan hadir di seluruh kota di seluruh Indonesia.”

Isu lama soal rantai pasokan di pertanian Indonesia

Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo / TaniHub Group
Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo / TaniHub Group

Sariyo menjelaskan inisiasi mendirikan TaniSupply sebenarnya karena keinginan untuk membentuk ekosistem pertanian yang menyeluruh dari hulu ke hilir. Masih banyak isu di lapangan yang bisa diselesaikan dengan teknologi.

Masing-masing unit bisnis dari TaniGroup memiliki permasalahan berbeda dan punya benang merahnya, ingin memperbaiki ekosistem pertanian yang hingga kini belum tertata rapi.

Selama ini komposisi antara supply dan demand di pertanian selalu ada mismatch. Lantaran, hasil tani yang terbagi ke dalam beberapa grade, tidak semuanya mau diserap oleh off taker (pembeli, salah satunya tengkulak).

Hasil tani sisaan dengan grade rendah akhirnya terpaksa dijual jauh dari harga pokok penjualan (HPP). Kondisi ini tentunya membuat petani merugi. Masih banyak isu lainnya yang berkaitan dengan paradigma lama yang masih mengekang petani lokal, sehingga sulit untuk berkembang.

TaniHub terhitung telah membina sekitar 35 ribu petani dan kelompok tani, menyediakan sekitar 800 SKU. Mayoritas adalah buah-buahan, sayur, ikan, ayam, telur, dan beras. Hanya saja, 90% dari petani ini adalah petani trading atau jual lepas.

“Untuk memenuhi demand di TaniHub, 90% disuplai oleh petani trading. Baru 10% datang dari TaniFund, jadi PR-nya di TaniFund masih banyak,” tambah VP of Corporate Services TaniHub Astri Purnamasari.

Penjualan offline lewat TaniHub masih mendominasi sekitar 80%, ketimbang jalur online. Mayoritas konsumen di offline ini adalah supermarket, Horeca, industri F&B, peritel, hingga startup.

“Awalnya bisnis TaniHub itu, diarahkan ke B2C via aplikasi. Tapi seiring waktu tidak scale up, akhirnya kita switch ke B2B.”

Perusahaan mendistribusikan beberapa private label saat mendistribusikan ke mitra offline. Misalnya, SommerVille untuk brand khusus buah; VIS untuk produk ikan; Fowler untuk daging ayam, bebek, dan telur; GoldFarm untuk sayur organik; dan Lentik untuk beras.

Dengan kehadiran TaniSupply, TaniHub Group makin memantapkan diri sebagai layanan agritech end-to-end. Sejauh ini, kebanyakan pemain agritech belum ada yang bermain dari hulu ke hilir dalam ekosistem pertanian.

Application Information Will Show Up Here