Jungle Ventures Siapkan Dana untuk Dua Startup Indonesia Jelang Akhir Tahun

Berhasil mengumpulkan dana tahap ketiga dengan nilai total kelolaan $240 juta (lebih dari 3,3 triliun Rupiah), perusahaan modal ventura tahap awal Asia Tenggara Jungle Ventures berencana berinvestasi ke dua startup Indonesia akhir tahun ini. Menurut Managing Partners Jungle Ventures David Gowdey, kedua startup tersebut merupakan platform yang menyasar konsumer ritel di tahap Seri A.

“Sejak awal kita fokus kepada startup yang menyasar kepada social commerce, consumer, dan software. Untuk saat ini baru dua startup asal Indonesia yang akan menerima pendanaan dari Jungle Ventures [untuk dana tahap ketiga]. Tidak menutup kemungkinan tahun 2020 mendatang akan ada lagi startup di Asia Tenggara yang mendapatkan investasi dari kami.”

Ticket size yang disiapkan Jungle Ventures untuk tahap seri A adalah antara $3 juta hingga $7,5 juta, sedangkan untuk startup tahap awal antara $500 ribu sampai $1 juta.

Jungle Ventures telah mengumpulkan pendanaan dengan jumlah dua kali lipat lebih besar dari pendanaan sebelumnya, Jungle Ventures II (2016), dengan hampir 60 persen pendanaan berasal dari luar Asia. Lebih dari 90% modal berasal dari investor institusional Amerika Utara, Eropa, Timur Tengah, dan Asia. Jumlah investor baru mengambil porsi hampir 70 persen dari penggalangan dana investasi ini, sedangkan sisanya merupakan investor lama, termasuk $40 juta yang diperoleh secara terpisah dalam komitmen akun kelolaan (managed account).

Dana tersebut akan diinvestasikan pada berbagai perusahaan berteknologi inovatif dan bisnis digital di Asia Tenggara. Sebelumnya Jungle Ventures telah berinvestasi ke Kredivo, RedDoorz, Sociolla dan Sweet Escape.

Fokus ke margin, bukan GMV

Selain memberikan pendanaan, perusahaan berupaya memberikan dukungan bagi startup berupa konsultasi dan arahan. Menurut David, perusahaan akan mengarahkan startup untuk fokus ke margin dan bukan kepada GMV. Langkah tersebut diambil untuk menghindari potensi permasalahan di masa mendatang.

“Sejak awal kita selalu mengajak pendiri startup untuk memikirkan margin dibandingkan GMV, sehingga rencana dan target dalam jangka panjang sudah bisa ditentukan, bukan hanya prediksi atau target saja. Kita juga melakukan pendekatan yang unik saat mencari startup yang memiliki potensi, yaitu startup yang sedang tidak melakukan penggalangan dana, mereka yang kami cari,” kata David.

Didukung Amit Anand yang memiliki pengalaman di bidang pengembangan piranti lunak dan David Gowdey yang bertanggung jawab terhadap akuisisi Koprol ke Yahoo beberapa tahun yang lalu, Jungle Ventures berharap bisa menciptakan startup Indonesia yang memiliki produk piranti lunak terbaik dan mampu untuk bersaing dengan pasar global.

“Menurut saya saat ini talenta di Indonesia sudah semakin baik, terutama mereka yang sebelumnya pernah bekerja di startup unicorn seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak hingga Traveloka. Ketika mereka keluar dan membangun startup sendiri, diharapkan bisa menjadi sumber daya yang sudah siap untuk menghasilkan produk atau layanan yang dibutuhkan,” kata David.

The Importance of Mental Health Through the Lens of Gojek and East Venture

Working in a tech-startup demands creativity and innovations, in a fast-paced environment, and think of sustainable business at a time. When it comes to burnout, incapable of balancing work and life, it may lead to harm for oneself, family, also the company.

Mental health issues are often avoided and considered as taboo in the startup community. DailySocial has brought this issue once by interviewing some startup workers and talks on how important to keep the work-life balance in the industry.

Today, we bring up the issue with a different perspective, from the founders of unicorn and investors. Somehow, there’s no conference ever talked about this topic.

At least, this is the fact that Gojek‘s President, Andre Soelistyo confirmed as a speaker at East Venture’s 10th-year-anniversary event with East Ventures’ Managing Partner, Willson Cuaca as a moderator.

“The mental health issue on founders in the leadership has never been brought at any conference. In fact, we are all, investors and founders should really start thinking about this,” Andre said, Mon (10/7).

He didn’t specifically mention how to solve this problem. However, he admits the thing can damage the founder’s mind if not taken seriously.

As he quoted a statistic, founders have two times bigger possibility to get depressed, three times for substance abuse disorder, and other statistics following them.

The worst scenario, he thought, is very likely to happen as founders are required to be creative. Which is, a creative person tends to feel lonely. In a difficult time, they always keep it to themselves instead of sharing with people, especially the employees.

“I really want to encourage the startup community to change because it all started from the community. The closest person to the founder is investor, therefore, it’s important how investors handle this issue.”

Willson agreed that the investor is the closest person to founders. Honestly, investor’s job after investing money is to absorb them whining and complaining. He spent a lot of time on this.

“We do have a founder almost committing suicide. This is crucial because when investing in the early-stage in the digital economy, investors aren’t focused on the economy or the technology, but the people.”

“Our philosophy is to maintain the people [founder] because we invest in people,” Cuaca added.

Communication among Gojek’s officials

Another topic arises, on how to communicate with each founder under Gojek’s business verticals.

For your information, Gojek has 20 business verticals and subsidiaries by acquisition. Each founder comes from different kinds of startups, gathered in one company, must have various kinds of leadership.

However, the relationship among founders should be called a partnership-driven organization, not a dynasty consists of people in a high position.

“Aldi [Go-Pay], Ryu [Midtrans], Catherine, and 20 other strong leaders have their own leadership style and good quality on execution. They have the same perspective so that when focusing on Gojek’s goals and mission, many objectives will appear and synergy will be made with each other.”

For example, one of the synergies is Gojek’s product with the lowest user acquisition cost, Go-Ride. When they’re linked to Go-Food product, the potential is there to make them as loyal consumers.

Furthermore, for consumers to make easier transactions, a payment system provided as Gopay. “Everything is connected for consumers to get more sticky with Gojek services and have more transactions in our platform. And that’s the goal.”

For the record, Gojek is not listed as East Ventures’ portfolio. As Soelistyo asked the reason, Cuaca said in 2011, he already met Nadiem in Bali for an event participated by US’ former diplomat, Hillary Clinton.

However, he decided not to invest in Gojek because when it was started, Nadiem was not full-time. He was still working at Zalora as Managing Director.

“Our hypotheses since the beginning is to invest in the founder who works full-time. That’s it.”

After all, Cuaca didn’t regret the decision that costs him a unicorn potential, which is finally become one in 2017. He said investors must be discipline on the first hypotheses. Otherwise, they’ll lose by not having the competence to see unicorn potential.

“It’s okay to miss one or two, as long as we’re disciplined with the hypotheses. There’s a term, no one can invest in all unicorns. Therefore, we need to build hypotheses and discipline to it, then you’ll get many or missed a little [possibility to capture the unicorn potential],” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengungkit Pentingnya Kesehatan Mental Menurut Kacamata Gojek dan East Ventures

Bekerja di startup teknologi dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif, bekerja dengan cepat, dan di saat yang bersamaan harus memikirkan bagaimana bisnis bisa tetap bertahan. Bila burnout, tidak bisa menyeimbangkan antara hidup dan kerja, lambat laun membahayakan bagi diri sendiri, keluarga, maupun perusahaan.

Gangguan kesehatan mental seringkali menjadi topik yang dihindari dan dianggap tabu untuk dibicarakan di kalangan penggiat startup. DailySocial pernah mengangkat topik ini dan mewawancarai sejumlah pekerja startup dan bagaimana work life balance itu harus selalu dijunjung tinggi.

Kali ini mengangkat kembali dengan perspektif dari founder dari startup unicorn dan investor. Pasalnya, di konferensi manapun, tidak ada ada yang mengangkat topik ini.

Setidaknya fakta inilah yang diakui oleh President Gojek Andre Soelistyo, saat menjadi pembicara di perayaan hari jadi East Ventures ke-10 yang dimoderatori oleh Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

“Isu mental health buat founder dalam kepemimpinannya di perusahaan ini tidak pernah ada yang di bahas di konferensi manapun. Padahal kita semua, investor, dan founder harus mulai memikirkan ini,” kata Andre, Senin (7/10).

Dia tidak menceritakan secara spesifik bagaimana dirinya mengatasi permasalahan ini. Namun dia mengaku hal demikian bisa menganggu kejiwaan founder bila tidak ditangani dengan serius.

Dari statistik yang ia kutip, founder itu punya kemungkinan dua kali lebih besar menderita depresi, tiga kali lebih besar untuk substance abuse disorder atau penyalahgunaan zat, dan statistik-statistik lainnya yang menghantui founder.

Kemungkinan buruk ini, menurutnya, sangat wajar terjadi karena founder itu dituntut untuk kreatif. Yang mana, orang kreatif itu punya tendensi sering kesepian. Ketika ada masalah, mereka selalu membebani pikiran tersebut ke diri sendiri ketimbang berbagi cerita ke orang lain, terlebih karyawannya.

“Ingin sekali mendorong bagaimana komunitas startup ini bisa berubah karena hal ini bisa dimulai dari komunitas. Orang terdekat founder itu adalah investor, sehingga perlu dilihat bagaimana investor menangani hal ini.”

Willson setuju, bahwa investor adalah orang terdekat bagi founder. Sejujurnya pekerjaan investor setelah menanamkan dana ke startup, adalah menerima keluh kesah para founder. Dia mengaku dirinya menghabiskan banyak waktu untuk hal yang satu ini.

“Bahkan ada founder kami yang berpikir untuk mau bunuh diri. Ini isu serius karena ketika investasi ke early stage di ekonomi digital, investor itu sebenarnya gak lihat ke ekonominya itu sendiri atau ke teknologi yang dipakai, justru ke orangnya.”

“Jadi filosofi kita adalah merawat orangnya [founder] karena kita berinvestasi ke people,” tambah Willson.

Bentuk komunikasi antar petinggi di Gojek

Selain membahas kesehatan mental, topik lainnya yang turut dibahas adalah bagaimana berkomunikasi dengan masing-masing founder yang membawahi vertikal unit bisnis dari Gojek.

Perlu diketahui, Gojek punya 20 vertikal bisnis dan anak-anak usaha yang sudah diakusisi. Masing-masing founder yang berasal dari startup berbeda dan dikumpulkan dalam satu perusahaan, pasti memiliki gaya kepemimpinan yang beragam.

Akan tetapi, hubungan antara masing-masing founder ini lebih pas disebut sebagai partnership-driven organization, bukan dinasti dengan menempatkan orang dengan posisi tertinggi.

“Aldi [Go-Pay], Ryu [Midtrans], Catherine, dan 20 strong leaders lainnya punya gaya kepemimpinan masing dan kemampuan yang baik dalam mengeksekusi. Mereka semua punya perspektif yang sama, jadi ketika kita fokus ke tujuan dan misi Gojek itu sendiri, ada banyak objektif yang muncul dan akhirnya menghasilkan sinergi satu sama lain.”

Dia mencontohkan, salah satu bentuk sinerginya adalah produk dari Gojek yang memiliki ongkos akuisisi konsumen terendah dari Go-Ride. Ketika mereka dikaitkan dengan produk Go-Food, ada potensi menjadikan mereka sebagai konsumen loyal.

Berikutnya, agar konsumen semakin mudah bertransaksi, disediakan sistem pembayaran dari Gopay. “Semuanya saling berhubungan sehingga konsumen jadi lebih sticky dengan layanan Gojek dan akhirnya banyak bertransaksi di tempat kita. Kira-kira seperti ini tujuannya.”

Sebagai catatan, Gojek tidak termasuk ke dalam portofolio di East Ventures. Ketika ditanya alasannya oleh Andre, Willson menjelaskan bahwa di 2011, dia sempat bertemu dengan Nadiem di Bali untuk menghadiri acara yang dihadiri oleh eks Menlu AS Hillary Clinton.

Namun Willson memutuskan untuk tidak berinvestasi di Gojek karena Gojek sudah dirintis, tapi Nadiem belum bekerja full time. Waktu itu Nadiem masih bekerja di Zalora sebagai Managing Director.

“Hipotesis kita sejak awal itu jelas hanya mau berinvestasi di founder yang bekerja full time. Itu saja alasannya.”

Kendati begitu, Willson mengaku tidak menyesal kehilangan calon unicorn, yang pada akhirnya memang menjadi unicorn di 2017. Menurut dia, investor harus tetap disiplin dengan hipotesis yang sudah dibuat dari awal. Bila tidak disiplin, justru investor akan rugi karena tidak bisa jeli menangkap potensi unicorn.

Missed one or two unicorn tidak apa, asal disiplin dengan hipotesis. Ada istilah tidak ada seorangpun yang bisa berinvestasi ke semua unicorn. Untuk itu, perlu bangun hipotesis dan disiplin menerapkannya, maka akhirnya kamu bisa mendapat banyak atau missed sedikit [kemungkinan menangkap calon unicorn],” pungkas dia.

Willson Cuaca to Invest a Lot More than Just Money in People Business

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

As one of the most active investors in the VC industry, Willson Cuaca has invested a lot more than just money in the people business. He is the early believer of Indonesia and Southeast Asia digital economy.

Many people only associate him with the VC industry, while he’s expert at much larger field. Cuaca was born to be in the tech industry, he started young in the computer field and achieved many firsts during his early career. Who knows that he is a person with guts that can make it into the industry through a different approach.

Was founded in 2009, East Ventures managed to have 160 startup portfolios in hand and some are getting profitable. This year marked their 10th anniversary and more stories to come. He believes in the power of this nation and its population.

He talks about beliefs and the core value to run a business. DailySocial has translated the conversation into paragraphs below.

You are best known as one of the most active investors in the VC industry. When did you start?

Many people might think I only about VC industry, meanwhile, my early days was full of computer stuff and network thingy.

I began my academic year at Binus University in 1996, this was also the year when it becomes a university – from previously named STMIK. My school year is filled with other activities besides study. I became a course instructor at BNTRC before renamed into Binus Center. Amidst the tight schedule, I still find time to have fun playing games.

I always tried to be the first to learn everything. In my college years, I learned all about the local area network and find out about Linux which was actually the core to Android and iOS systems. Slackware was my favorite distribution. I tried to fathom the knowledge and become one of the first people to learn about Cisco equipment. I was the first Cisco Certified instructor in Indonesia to trained Cisco’s engineer to be CCNA certified and the founding team of Cisco Networking Academy in Indonesia.

In 2000, I graduate university then hired as the Head of Infrastructure in an agriculture company. My job requires me to manage national wide intra-network connectivity.

Why did you move to Singapore?

Actually, I get bored easily, I need to find something new to do. It was 2001 when I observed the trend in internet security and learned enough to be a specialist, supporting firms in Singapore.

Around 2006, web-app was getting hype and I was encouraged to create my own app named Foyage. It was before iPhone launched and Blackberry widely used. I was also part of the first iPhone developer in Singapore and a few first Blackberry developers in the region.

After Foyage, I also created Apps Foundry with the aim to develop technologies and applications. Our first breakthrough is Scoop – #1 digital magazine reader in Indonesia- which was later acquired by Kompas.

Tell me about the early days of East Ventures? How did you meet the partners?

My relation with Batara is all the way to 1993 when we’re still in high school. When I went to Jakarta, he left for college in Japan. While I struggle with Foyage, he also exited his own company named Mixi. The website debuted on the stock market in 2006 and valued billions dollar, it was before the term unicorn coined. We then re-group again to create East Ventures in 2009 with 2 other partners. Taiga Matsuyama, the other partner, was the first investor of Batara’s Mixi.

Foyage raised first money from Singapore government investment scheme in 2008. Not until then, I realized that Indonesia also has a huge opportunity in this industry. In 2009, we decided to form East Ventures.

We started Jakarta Ventures Night, inviting few investors from Japan and some local startups. In 2010, DailySocial’s Rama Mamuaya also presented in the event and William Tanuwijaya from Tokopedia, the first in our portfolio. Later on, we invest in Disdus and made our very first exit. We’re actually the first VC to have a complete cycle and that instantly boosted our confidence. It helped creating the flywheels effect.

To date, East Ventures has invested in 160 companies, mostly are the early-stage startups focuses on consumer internet, mobile, SaaS, media, retail education and much more. Recently, some are getting profitable as Indonesia’s digital economy hit the inflection point.

With so many portfolios in hand, how could you manage?

The key is to invest in people. Once you meet the right one and clicked, you trust them enough to run independently and to bring out the best result through this deal.

We need 3 point of alignment with entrepreneur.
1. vision, what kind of problems to solve, what’s the goal?
2. strategy, it’s how to work things out, how to get it done?
3. tactical, this is more like the execution.

East Ventures and the founding team must have a same vision. In fact, I don’t believe that investors could change their portfolios. We might advise strategy but it’s the people (founders) who know what’s best for their company.

You’ve created your own app, built your own VC, run the business. During your journey, have you faced any stumbling block?

Of course, there are ups and downs, but one thing I always believe is “things that don’t kill you make you stronger”.

I was so desperate that I couldn’t raise funds for Foyage, but I’m not the kind of person who stops and stares while the industry’s rapidly growing. We founded East Ventures in 2009, it was really hard to gain trust from people that time. We went some places, but no one believes except some Japanese innvestors, it was due to Batara’s credential. However, I think it’s the power of not giving up until it gets to the point where all the pieces put down together.

Early days of East Ventures, managing the whole portfolios alone

 

If no one believes in Indonesia’s digital industry, why would you?

Emotionally, It’s because I’m Indonesian. If not us, who else?

In terms of business, there are 30 million internet users in Indonesia. A huge size market, why wouldn’t anyone make a move? At that time, there’s only one problem. If we start now, when will we make it? This is where the leap of faith is necessary.

The thing is, Indonesia is capable of making something impossible happened. Instead of talking about American Dreams, why can’t we create the Indonesian Dream. We are too focused on the story of some people who create big things somewhere, why don’t we work things out and have people look at us. This kind of inferiority complex should have vanished from our mindset. We are a great nation with lots of people.

What makes you decide to invest in one?

There are three hypotheses on people;
1. integrity, a moral standard, you do the right thing when no one sees,
2. self-awareness, to know yourself and what you’re capable of,
3. paradox, having contradictive traits, which means adaptive.
These things cannot be learned instantly or faked.

Once I met these criteria in people, no need to think or waste time. That is why most of our good deals were closed within 28 hours after the first meeting. These consistently happened overtime with Tokopedia, Traveloka, Kudo, Shopback, Ruangguru, Sociolla, The Fit Company, Kedai Sayur, Bahasa.ai and many more. Also, we tried to create a healthy ecosystem in this VC. Therefore, I wouldn’t invest in competing businesses. We back our founders wholeheartedly.

In terms of academic background, how do you see people with the overseas title have an impact in the industry?

Casually, people who study overseas will have the privilege to gain insight from the global knowledge.  However, I don’t believe people who study overseas will always be more successful. In fact, I believe people should have global knowledge to know and what’s best for local execution.It is not always by studying abroad.

You survived many years in this industry. Do you have any specific support system?

Family is indeed the fundamental support that shapes your current self. I also believe that character was developed, not learned. That is why I find it hard to believe in the accelerator or mentoring concept that aims to turn someone into an entrepreneur.

The accelerator program, they might have done a very curated process to find talents, but in my concept, once a jewel, although it’s covered in dirt, is still a jewel. The potential was there from the very beginning and developed through times.

I believe in serendipity, that is why I put my focus on people. A Chronos and Chairos concept, everybody has their own timeline, and the moment we met, the decision was made, whether to involve or not at each other’s life.

If you really believe in Indonesia’s digital industry, why won’t you live in Indonesia?

In Singapore, we always get the best scenario, in terms of regulation and many more. While in Indonesia, everything is in the worst case, unexpected things often arose. I’d like to maintain my consciousness by having the contrast. The yin and yang, so to say. Therefore, My life could be more contrast and I have a clearer mind to identify the problem statement.

Also, Singapore is currently the hub in Southeast Asia.

After achieving many firsts in the computer and technology industry, also with East Ventures, what’s next?

This is also the question I always ask myself every day, What should I do next? How can I transfer my knowledge to my team, for they can do their own things, in their own style, and have their own investees.

I can’t have this role forever, that is why I have partners. I want to build East Ventures and make it institutional, raise the next generation team, and make sure it stays true to its mission, to be an Entrepreneurship Platform. Then, I will have time and space to think of something new again – or maybe I will do this forever. Let’s wait for the stars to align.

This year marked as East Venture's 10th year anniversary
This year marked as East Venture’s 10th year anniversary

If you have something to say about the industry, what would you say?

The industry currently has a much larger pie. Indonesia, with so many issues in the country, offers quite many opportunities. Thus, I think the VC industry will stay long here.

To me, the VC industry is all about people business, the technology is just a tool.

Bagaimana “Venture Debt” Membantu Startup Indonesia

Kini sangat lumrah jika startup mendapatkan pendanaan dari modal ventura melalui pendanaan ekuitas (equity financing). Founder menjual sebagian saham setelah dihitung valuasinya oleh investor untuk mendapatkan dana yang mendukung pengembangan bisnis.

Nilai minus dari pendanaan ekuitas adalah potensi kepemilikan founder yang semakin terdelusi bila sering menggalang pendanaan. Alih-alih bisa mengontrol perusahaan, founder harus rela untuk dikontrol para investor yang telah menguasai saham mayoritas. Bila kinerja tidak sesuai ekspektasi, ia siap-siap harus didepak.

Sebenarnya ada metode lain untuk mendapatkan pendanaan, dan telah diatur OJK, yakni bagi hasil dan obligasi konversi.

Di luar negeri dengan ekosistem perusahaan teknologi sudah dewasa, seperti Amerika Serikat, Eropa, bahkan India, sebenarnya lebih awal dikenal konsep venture debt (utang ventura). Kehadirannya disebabkan kebutuhan pasar pada saat itu.

Cara kerjanya kurang lebih mirip dengan pembiayaan dari bank. Founder mendapat kredit dan harus dikembalikan dengan tenor dan kupon yang sudah disepakati berdasarkan profil risiko perusahaan.

Sejumlah perusahaan teknologi penting pernah terbantu lewat venture debt, seperti Airbnb dan Uber. Sebetulnya, apa itu venture debt? Lalu seperti apa potensinya buat startup Indonesia?

Mengenal venture debt

DailySocial meminta pandangan secara umum mengenai venture debt dari MDI Ventures yang diwakili Kenneth Li dan Aldi Adrian. Aldi menjelaskan venture debt umumnya masuk berbarengan dengan pendanaan ekuitas. Sangat riskan buat firma venture debt masuk sendiri.

Dengan demikian, founder akan memiliki runway yang lebih panjang untuk ekspansi bisnis tanpa sahamnya banyak terdelusi. Dia mencontohkan, ketika startup X ingin menggalang pendanaan dengan hitungan valuasi hanya bisa dapat sekitar $5 juta-$10 juta.

Tapi dengan tambahan venture debt, ada tambahan $5 juta untuk dikembalikan dalam satu atau dua tahun, artinya startup tersebut akan punya landasan lebih panjang. “Ada ekspektasi dari performa dan traksi startup bisa jauh lebih tinggi valuasinya tanpa harus galang dana lagi di tengah jalan.”

Kombinasi antara dana yang masuk, berupa ekuitas dan venture debt, akan membuat founder jadi lebih nyaman karena mereka tidak harus melepas saham lebih banyak. Mereka tetap akan mengontrol perusahaan.

“Jika founder tidak mau give up equity, bisa ambil venture debt karena kan kalau sudah kasih equity tidak bisa diambil lagi, beda dengan venture debt,” tambah Kenneth.

Aldi melanjutkan, kecenderungan venture debt itu dana digunakan untuk modal kerja, bukan untuk disalurkan lagi sebagai disbursement, atau disebut loan channeling, kendati metode ini sebenarnya juga bisa dipakai venture debt.

Umumnya venture debt masuk berbarengan dengan equity financing / DailySocial
Umumnya venture debt masuk berbarengan dengan equity financing / DailySocial

Pernyataan ini sekaligus meluruskan debt financing (pembiayaan utang) yang didapat Kredivo. Startup fintech lending ini memperoleh debt financing dari firma venture debt Partners for Growth (PFG) sebesar $20 juta. Dana sepenuhnya disalurkan lagi sebagai pinjaman ke konsumen melalui lini produk Kredivo.

Kredivo memisahkan kantong pendanaan bisnis menjadi dua. Pertama adalah pendanaan ekuitas dari VC untuk membiayai seluruh pengeluaran operasional dan mendukung pertumbuhan perusahaan.

“Yang kedua yaitu pendanaan lini kredit (debt line) yang berasal dari institusi keuangan seperti bank atau firma pembiayaan seperti PFG. Kami gunakan sepenuhnya untuk penyaluran pinjaman kepada konsumen melalui beberapa lini produk pembiayaan: e-commerce, pinjaman tunai, dan offline,” ujar Head of Marketing Kredivo Indina Andamari.

Dia beralasan, pemisahan ini sebatas praktik bisnis dan pengelolaan dana yang dianggap sehat bagi pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan. “Kami akan terus menerapkan ini untuk seterusnya. Keduanya sangat krusial bagi bisnis kami.”

Venture debt ini tidak jauh berbeda dengan pembiayaan dari bank. Ada tenor dan kupon yang secara bulanan harus rutin dibayar startup. Perkiraan tenor cukup pendek, ada yang satu sampai dua tahun.

Namun, menurut Kenneth, kupon bisa dipastikan lebih rendah dari bank karena umumnya investor menawarkan opsi waran (warrant). Utang tersebut bisa dikonversi menjadi saham menjelang jatuh tempo atau saat startup menggalang pendanaan baru.

Ada investor yang menjadikan waran sebagai opsi, tapi ada juga yang dikunci pasti jadi saham. Itu kembali ke kewenangan masing-masing. Opsi waran inilah poin utama yang membedakan venture debt dengan convertible notes. Convertible notes pasti dikonversi menjadi saham.

“Kalau ternyata di tengah jalan startup-nya kurang menarik bila dikonversi, akhirnya tinggal balikin seperti biasa saja uangnya tiap bulan.”

Tidak ada ketentuan nominal dalam venture debt. Jadi tidak ada istilah Seri A, B, dan seterusnya. Besaran dana akan diberikan sesuai kebutuhan startup, tentunya setelah investor mengukur profil risikonya.

Pemain venture debt ini, sebenarnya tidak hanya datang dari firma venture debt. Bank juga turut berpartisipasi. Di Amerika Serikat, Silicon Valley Bank (SVB) disebut-sebut sebagai pionirnya. Selain itu ada juga Comerica Bank, Bridge Bank, Pacific Western Bank, dan Square 1 Bank.

Sementara itu, yang berasal dari firma adalah Western Technology Investment (WTI), Triplepoint Capital, Hercules Technology, Lighthouse Capital, Pinnacle Ventures, Horizon Ventures, dan masih banyak lagi.

Di Asia Tenggara, ada Genesis Alternative Ventures, InnoVen Capital, dan DBS yang semuanya beroperasi di Singapura.

Perbedaan tingkat toleransi risiko investasi dari tiap investor / DailySocial
Perbedaan tingkat toleransi risiko investasi dari tiap investor / DailySocial

Perbedaan antara keduanya adalah profil risiko dan pengembalian masing-masing. Bank selalu menjadi investor dengan bentuk pembiayaan termurah, tapi jarang mengambil risiko yang signifikan. Kerugian terbesar yang mereka estimasi hanya 1%-1,5% dari tiap portofolio.

Bagi firma venture debt, term sheet mereka sering disamakan dengan bank, tapi ini dianggap kurang tepat. Mereka ini lebih dikategorikan sebagai versi hibrida antara pembiayaan bank dan VC.

Sumber dana para firma bermacam-macam, termasuk mengambil dari bank, seperti halnya Partners for Growth, salah satu mitra strategis SVB.

InnoVen sendiri sebelumnya bernama SVB India Finance, yang merupakan bagian dari SVB. Ia beroperasi sejak 2008 dan tercatat mengucurkan lebih dari 75 pinjaman ke 50 perusahaan di India senilai $110 juta per tahun 2015. SVB India dibeli Temasek Holdings di 2015, sekaligus menandakan masuknya Temasek ke pasar venture debt.

Perkembangan venture debt secara global

Pangsa pasar venture debt dan venture capital di AS / DailySocial
Pangsa pasar venture debt dan venture capital di AS / DailySocial

Ada survei menarik yang dirilis Kruze Consulting (Agustus 2019). Mereka memaparkan, 85% responden yang mewakili pasar venture debt di Amerika Serikat menyatakan telah menyalurkan $23 miliar pinjaman (Rp325,7 triliun) secara akumulatif selama tiga tahun terakhir.

Diestimasi tahun ini saja penyalurannya menjadi $10 miliar (Rp141,6 triliun)  atau tumbuh 20% dari pencapaian di 2018.

Di India, meski tidak sebesar Negeri Paman Sam, perkembangan venture debt cukup pesat sesuai dengan kondisi startup di sana. Kehadiran firma seperti InnoVen Capita, Trifecta Capital, Alteria Capital, dan investor individu seperti Sachin Bansal dan Binny Bansal (Co-Founder Flipkart) turut berkontribusi meramaikan pasar ini.

Menurut riset YourStory Research, venture debt yang tersalurkan di India tahun 2017 adalah $1,2 miliar (Rp16,9 triliun) dengan 47 pinjaman. Tahun berikutnya naik jadi $1,4 miliar (Rp19,8 triliun) dengan 62 pinjaman. Lalu pada tujuh bulan pertama di 2019 ini, jumlahnya mencapai $547 juta (Rp7,7 triliun) dengan 35 pinjaman.

Nama-nama startup yang mengambil venture debt di antaranya Ninjacar, Bigbasket, UrbanLadder, Bounce, dan Oyo. Yang terakhir ini sudah berekspansi ke Indonesia.

Venture debt yang berhasil tergantung pada pendanaan ekuitas. Yang punya banyak pemainnya di India. Dana VC yang fokus di sini cukup kering, ada $3-$4 miliar pada satu titik, akan masuk pada dua sampai tiga tahun ke depan. Bagi venture debt, yang penting startup harus tetap punya kinerja baik agar terus menarik modal, di mana itu sudah tersedia,” ucap Managing Partner Alteria Capital Vinod Murali.

Sementara itu, di Asia Tenggara tepatnya di Singapura, venture debt baru ramai sejak 2015 pasca Temasek mengambil SVB India Finance dan di-rebrand menjadi InnoVen Capital. Mereka beroperasi di tiga negara, India, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Sebanyak 190 pinjaman telah mereka kucurkan untuk 170 perusahaan.

Rinciannya, 26 startup di Tiongkok, 24 startup di Asia Tenggara, dan lebih dari 100 startup di India. Di Asia Tenggara, InnoVen telah berinvestasi untuk Pomelo, Face, Tabsquare, Akulaku, Kargo, RedDoorz, Sorabel, Sepulsa (rebrand jadi Alterra), Wego, Tada, Zuzu, dan lainnya.

Sementara Genesis Alternative Ventures, yang berdiri pada 2018, diprakarsai konglomerasi Sasson Investment Corporation dan Bank CIMB Niaga untuk mendukung debut Genesis di Indonesia.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah potensinya sama seperti negara lain?

Kepada DailySocial, Co-Founder and Partner Genesis Martin Tang mengatakan, “Kami melihat founder startup Indonesia sangat savvy dan mulai sadar perlunya mempertahankan saham mereka selama mungkin. Venture debt adalah sumber modal yang dapat membantu startup perpanjang runway atau mendanai modal kerja dengan dilusi ekuitas yang lebih rendah.”

Dia melanjutkan, di luar Indonesia, venture debt lebih banyak digunakan karena ketersediaan yang lebih luas. Genesis secara aktif mulai mendanai startup lokal bersama Bank CIMB Niaga, sekaligus menandai debutnya di sini.

Untuk komitmen awal, kedua belah pihak bersama menyiapkan dana venture debt sebesar Rp300 miliar untuk disalurkan. Martin masih enggan membeberkan nama-nama startup yang akan menerima kucuran dana. Dia hanya menyebutkan ada beberapa yang sudah dalam pipeline.

“Kami memandang market startup Indonesia sangat menarik, terlihat dari banyaknya pengusaha lokal yang berkualitas tinggi dengan populasi yang besar untuk dilayani.”

Associate Director InnoVen Capital Paul Ong menambahkan, venture debt punya korelasi erat dengan jumlah investasi yang mengalir ke negara manapun. Di Indonesia sendiri, ekosistem startup telah tumbuh dan matang dalam lima tahun terakhir.

“Dengan semakin banyak founder berada di titik sukses, mereka mulai sadar akan mengurangi kepemilikan saham untuk melindungi kekayaan pribadi. Venture debt bisa bantu itu dengan menyediakan dana yang lebih murah dan less dilutive buat perusahaan mempercepat pertumbuhan.”

Paul mengonfirmasi bahwa InnoVen belum melakukan debut di Indonesia, apalagi menyediakan dana khusus. Pihaknya baru menyediakan pendanaan untuk startup melalui entitasnya di Singapura.

Untung rugi buat startup dan investor

Konsep pendanaan ini terdengar memang menarik karena founder tetap bisa menjaga sahamnya tidak terdilusi. Dikutip dari laman Kauffman Fellows, modal tambahan yang diberikan lewat venture debt memungkinkan startup untuk mencapai lebih banyak kemajuan sebelum menuju pendanaan berikutnya atau meningkatkan kepastian untuk pencapaian tertentu, sambil meminimalkan dilusi yang akan terjadi dengan mengamankan modal tambahan pada putaran sebelumnya.

Contoh nyatanya, sebuah startup SaaS menerima venture debt sebesar $1,25 juta untuk meningkatkan angka penjualan. Ongkos dari pembiayaan ini adalah $250 ribu dalam bentuk bunga dan waran yang mewakili 0,79% saham perusahaan.

Jika mencari pendanaan ekuitas pada putaran ini, founder harus merelakan 10,7% saham dimiliki investor baru dengan nilai yang sama. Dengan venture debt ini, founder dapat menghemat saham yang signifikan hampir 10%. 22 bulan setelah pembiayaan, perusahaan dibeli dengan kelipatan signifikan dari valuasi terakhir.

Bagi founder, mempertahankan kontrolnya terhadap perusahaan bukan hanya tentang memaksimalkan kekuasaan, melainkan pada cara mempertahankan kontrol atas strategi dan operasi. Saham itu sangat berharga. Menyerahkannya untuk memenuhi peluang jangka pendek, padahal bisa didanai lewat utang, belum tentu menjadi cara terbaik dalam menjalankan bisnis.

Pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum mengambil pendanaan venture debt / DailySocial
Pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum mengambil pendanaan venture debt / DailySocial

Di sisi lain, tidak semua startup tepat untuk memilih venture debt sebagai alternatif yang bisa dipilih. Meski kontradiktif, tapi inilah charm dari venture debt. Membatasi startup adalah salah satu cara investor mitigasi risiko.

Aldi menerangkan, startup yang biasanya dibidik investor venture debt adalah mereka yang sudah arus kas stabil, sudah mulai monetisasi, dan minimal sudah pernah menerima pendanaan Seri A. Bicara target konsumen, investor lebih suka yang bergerak di B2B untuk mendukung poin-poin di atas.

“Di Indonesia itu kebanyakan bergerak direct ke B2C, jadi untuk track monthly cashflow-nya agak challenging. Makanya investor itu lebih prefer ke B2B karena clear cari yang cashflow-nya jelas. Sehingga tidak ada spesifikasi bergerak di industri mana, tapi lebih ke cashflow-nya harus jelas.”

Venture debt kurang cocok apabila startup tersebut sering bakar uang, punya revenue stream bervariasi, tujuan penggunaan dana tidak jelas, dan pembayaran utang mencakup lebih dari 25% dari biaya operasional.

“Jangan sampai terima uang tapi enggak bisa balikinnya. Makanya ini lebih tepat buat startup yang sudah mature dan proven model bisnisnya. Bukan buat startup yang masih cari-cari model bisnis.”

Venture debt juga dapat menciptakan masalah di putaran ekuitas berikutnya. Investor baru harus setuju untuk membayar utang atau berinvestasi di bawah utang sebagai pilihan keduanya. Kedua situasi ini akan sulit diterima oleh investor baru karena umumnya mereka lebih sreg melihat modal yang disuntikkan langsung masuk ke perusahaan.

Segala kekurangan dan kelebihan ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan buat startup ketika ingin mengambil cara ini. Kenneth menyebut, tren venture debt ini masih sangat awal di Indonesia, sehingga bisa dikatakan belum banyak yang paham. Pemainnya yang terlihat jelas juga baru Genesis Alt Ventures bersama Bank CIMB Niaga.

“Di Asia Tenggara saja ini masih jadi challenging, apalagi di Indonesia. Akan tetapi mungkin ke depannya venture debt ini bakal punya porsi sendiri.”

Aldi ikut menimpali, “Mungkin sebenarnya investor sudah mengincar Indonesia tapi belum berani agresif karena opportunity-nya belum banyak yang sesuai dengan appetite mereka.”

Pernyataan Aldi dan Kenneth diperkuat Paul dan Martin. Paul menjelaskan, ada metrik yang dipakai dalam menyasar startup baru, di antaranya adalah bagaimana peluang pasarnya, keunggulan utama perusahaan, dan tim yang solid.

Selain itu, mereka juga melihat berapa banyak modal ekuitas yang telah dikumpulkan startup dan siapa saja investornya. “Kami agnostik secara sektor dan tahap [pendanaan], namun kami biasanya memberikan pinjaman kepada startup yang telah meningkatkan modal ekuitas dari investor institusional atau VC.”

Setelah startup menerima dana, InnoVen tidak mengatur bagaimana uang tersebut digunakan. Meskipun demikian peruntukkannya harus jelas, misalnya untuk belanja pemasaran, membuka kantor baru, mengembangkan produk, modal kerja, membeli lebih banyak inventaris, atau membuka gerai apabila mereka bergerak di bisnis brick and mortar.

Sepanjang perjalanan InnoVen, Paul mengklaim bahwa InnoVen berhasil menekan risiko gagal bayar (default rate) nol persen di Asia Tenggara. Kinerja ini akan tetap dipertahankan, setidaknya ditekan sampai di bawah 4% untuk jangka panjangnya.

“Perusahaan portofolio kami yang telah mampu bayar kembali pinjaman, kini terus tumbuh dalam langkah yang sehat dan terus menarik modal investasi baru.”

Genesis juga tidak berbeda. Martin mencari startup yang telah mendapat pendanaan setidaknya Seri A ke atas dengan proposisi bisnis yang nyata menuju keberlanjutan. Di samping itu, startup juga perlu memiliki unit economics yang kuat dan basis konsumen loyal untuk beli produk premiumnya, ini membuktikan ada margin kotor masuk ke pundi-pundi.

“Kami juga mencari startup yang memiliki strategi ‘bakar duit’ yang terkendali, sepadan dengan pertumbuhan dan margin kotor.”

Poin-poin di atas sangat ia tekankan sebagai faktor penentu kesuksesan buat firma venture debt saat menyalurkan dana.

Oleh karena itu, sebelum memilih opsi ini, Martin menyarankan agar founder memahami strategi ‘bakar uang’ mereka, siklus modal kerja, dan model bisnis, untuk memutuskan apakah memiliki utang akan membantu atau justru menghambat mereka.

Leverage (penggunaan aset dan sumber dana/source of funds) akan selalu baik jika digunakan dengan benar. Namun, ini atas dasar bahwa perusahaan dapat memenuhi kewajiban utangnya,” tutur Martin.

Dalam mencari partner venture debt yang tepat, Paul mendorong founder untuk selalu bekerja dengan investor yang kredibel, punya pengalaman, dan selaras dengan rencana bisnis perusahaan. Tujuannya untuk memastikan bahwa perusahaan bisa tetap mengatur utang mereka secara optimal dan tidak melebihi dari yang seharusnya.

“Meski kami tidak memiliki fund life, kami mampu mendukung portofolio perusahaan kami dengan berbagai pinjaman pada berbagai tahap penggalangan dana, seiring perusahaan tersebut tumbuh.”

Debut venture debt di Indonesia

Sebenarnya di antara portofolio InnoVen di Asia Tenggara sudah muncul sejumlah startup Indonesia yang memanfaatkan dana utang ventura ini, seperti Akulaku, Alterra (dulu Sepulsa), RedDoorz, dan Sorabel.

Selain itu UangTeman di tahun 2017 mengumpulkan dana Seri A senilai $12 juta dalam bentuk utang dan ekuitas yang dipimpin K2 Venture Capital.

Perbandingan dasar antara venture debt dengan venture capital / DailySocial
Perbandingan dasar antara venture debt dengan venture capital / DailySocial

DailySocial sudah berusaha untuk menghubungi Bank CIMB Niaga untuk menanyakan detail strategi mereka bawa masuk venture debt di Indonesia. Belum ada jawaban yang diberikan hingga tulisan ini dimuat.

Sebelumnya, saat peresmian nota kesepahaman dengan Genesis, Presiden Direktur CIMB Niaga Tigor M. Siahaan menjelaskan inisiatif terjun ke venture debt karena ingin mengisi kekosongan pendanaan di startup. Bahwa selain equity financing, startup juga butuh loan financing.

“Sebenarnya sasarannya mungkin startup yang sudah berjalan satu hingga dua tahun, namun sulit berkembang karena sulit dapat pendanaan,” katanya.

Segmen startup yang dibidik, tidak melulu berkaitan dengan startup yang bergerak di dunia teknologi. Mereka juga menyasar fesyen, kuliner, properti, transportasi, kesehatan, hingga manufaktur.

Di luar bank, sebenarnya ada pemain modal ventura lokal yang tertarik dan tengah mempersiapkan diri terjun ke venture debt. Mereka ialah Ideosource. Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Edward Chamdani menjelaskan sebelum tutup tahun Ideosource berharap meresmikan bisnis barunya tersebut.

Riset sudah dilakukan sejak dua tahun lalu. Pertimbangan Ideosource terjun ke segmen ini karena Indonesia punya kekosongan pendanaan di industri brick and mortar dan konvensional, tidak hanya di startup teknologi. Konsep investasi startup di Indonesia menurutnya sedikit salah kaprah karena terlalu banyak mengaca di Silicon Valley.

Di sana, banyak produk yang dikembangkan dengan proses yang lama dan membutuhkan tenaga engineer yang berkualitas. Di Indonesia, ekosistem seperti itu belum ada. Oleh karena itu, banyak startup di sini yang lahir dan jadi besar karena berangkat dari masalah di pasar.

“Kalau fokus ke pasar, biasanya startup punya cashflow yang bagus karena product development-nya tidak lama dan bisa langsung dipasarkan. Efeknya rata-rata produknya butuh working capital, cashflow sudah bagus tapi belum ada yang bisa bantu karena belum bankable. Di situ jadi switch spot buat venture debt masuk,” terang Edward.

Bisnis barunya ini akan di bawah PT yang akan bertindak sebagai operating holding. Mereka akan memiliki akses ke investor institusi dengan model pembiayaan berbasis proyek, bukan pool of fund seperti yang dipakai VC kebanyakan.

“Semua value yang kita punya akan dimasukkan dan dikelola oleh holding secara asetnya. Konsep yang sama sebenarnya juga sudah diterapkan untuk pembiayaan di film, dikelola oleh pak Andi [Boediman, Managing Partner Ideosource].”

Sembari menunggu holding beroperasi, Ideosource menyiapkan inkubasi khusus startup binaan sebelum menerima venture debt. Mereka melakukan proof of concept dari model bisnisnya dan arah bisnisnya di pasar setelah diberi sejumlah pendanaan.

Dalam debutnya, Ideosource memilih usaha yang bergerak di fintech, infrastruktur, logistik, marketplace, perkebunan. Ketiga segmen awal menjadi fokus karena dianggap substansial dalam mendukung ekosistem awal yang ingin dibangun Ideosource.

Startup yang dibidik tidak melulu bergerak di teknologi, tapi juga konvensional dengan potensi dapat berkolaborasi dengan teknologi. Edward menekankan, startup tersebut punya target konsumen B2B dan arus kas yang bagus. “Kalau pure tech, tapi cashflow bagus tetap bisa. Intinya asal ada cashflow.”

Nantinya, Ideosource menetapkan waran yang sudah dikunci sejak awal sebelum venture debt disuntikkan. Mereka tetap memosisikan diri sebagai VC, tapi ini semua sudah dirundingkan sebelumnya dengan startup dan masuk melalui venture debt. Konversi sahamnya berada di belakang menjelang tempo utang berakhir.

Lantaran tujuan Ideosource yang ingin membangun ekosistem, setiap transaksi akan diarahkan ke pengambilan saham mayoritas. “Tergantung value, hitungannya variasi. Tapi bisa sampai 50% [ambil saham] karena kita operating holding jadi mau bersama-sama dengan startup. Kita enggak akan ninggalin mereka.”

Menurutnya, konsep lama Ideosource yang melepas saham ketika ada investor baru masuk kini dianggap tidak lagi menarik. Alhasil, dia memilih untuk berinvestasi sekali untuk selamanya, agar menuju IPO dan membangun ekosistem bersama.

“Kami akan stay seterusnya, jadi lebih cocok untuk masuk ke venture debt,” pungkas Edward.

East Ventures Klaim Portofolionya Berkontribusi 255 Triliun Rupiah untuk Ekonomi Digital Indonesia

Data internal East Ventures mengklaim portofolio perusahaan telah berkontribusi hingga 45% atau senilai $18 miliar (hampir 255 triliun Rupiah) dari total ekonomi digital di Indonesia yang dinyatakan dalam laporan e-Conomy SEA 2019 sebesar $40 miliar.

Masih membandingkan dari laporan yang sama, GMV dari e-commerce Indonesia bernilai sekitar $20,9 miliar (Rp296 triliun). Portofolio East Ventures menunjukkan kontribusi lebih dari 50% dari total GMV e-commerce di Indonesia.

“Ada enam portofolio kami yang berkontribusi terhadap pencapaian GMV e-commerce dan semuanya hadir di sini,” ucap Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca saat merayakan hari jadi East Ventures yang ke-10, kemarin (7/10).

Enam startup yang ia maksud adalah Tokopedia, Sociolla, Shopback, Kudo, Warung Pintar, dan Sirclo.

Ia merinci lebih dalam, di laporan e-Conomy, total pelanggan e-commerce di Asia Tenggara mencapai 150 juta orang. Pihaknya mengklaim portofolionya telah melayani lebih dari 60% dari angka tersebut. Angka itu berasal dari pencapaian Tokopedia, sebagai kontributor utamanya.

Sektor lainnya yang turut di-highlight e-Conomy adalah OTA. East Ventures menyebut portofolio perusahaannya memegang 50% mayoritas GMV sebesar $10 miliar seperti yang disebut dalam laporan. Kontributornya tentu tak lain dari Traveloka.

Untuk GMV dari sektor ride hailing, East Ventures mencatat Grab berkontribusi separuhnya. Laporan e-Conomy SEA 2019 mencatat GMV dari ride hailing di Asia Tenggara mencapai $6 miliar. Bila melihat dari pengguna aktifnya, e-Conomy mencatat ada 40 juta orang secara keseluruhan, naik dibandingkan tahun 2015 sebanyak 8 juta orang.

Grab tidak termasuk ke dalam portofolio East Ventures. Namun, Grab tercatat sebagai perusahaan yang membeli portofolio dari EV, yakni Kudo. Gojek pun demikian, ada Loket yang sudah diakuisisi penuh. Kedua perwakilan turut datang dalam kesempatan ini. Tak lupa, Ovo juga ikut hadir.

“Data internal kami juga mengungkap portofolio kami telah berkontribusi sebanyak 26.286 tech talents dari 100 ribu orang yang diungkap oleh laporan e-Conomy di Asia Tenggara.”

Laporan ini turut menunjukkan bahwa total investasi untuk startup unicorn di Asia Tenggara adalah $24 miliar (Rp340 triliun), East Ventures menyebut bahwa 50% di antaranya datang dari portofolionya. Kontribusinya terhadap PDB Indonesia adalah 1,5%, berhasil memberdayakan 8,5 juta UMKM.

East Ventures berdiri sejak 2009 di Indonesia oleh Willson Cuaca, Batara Eto, dan Taiga Matsuyama. Dari 160 startup yang telah didanai, tercatat 30 startup di antaranya sudah exit. Kemudian dua startup yang lain menjadi unicorn.

Sebanyak 13 startup di dalam portofolio dinobatkan sebagai calon unicorn berikutnya. Mereka ialah Ruangguru, IDN Media, Moka, Sociolla, Warung Pintar, Xendit, Waresix, CoHive, 99.co, Fore, Mekari, Ralali, dan Shopback.

Sinyal Ruangguru sebagai unicorn

Kabar Ruangguru menjadi unicorn berikutnya memang sudah berhembus sejak tahun lalu. Namun belum terkonfirmasi hingga sekarang. Kemarin, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memberi sinyal tersebut kepada Belva di tengah-tengah speech-nya.

“Kami berharap ada unicorn lainnya pada akhir tahun ini. Hai Belva [Co-Founder & CEO Ruangguru],” ucap Rudiantara menyapa Belva yang turut hadir di acara East Ventures.

Rudiantara mengonfirmasi, sapaannya tersebut bukan berarti mengonfirmasi bahwa Ruangguru adalah unicorn berikutnya, melainkan sebatas sinyal mengingat peluangnya di sektor pendidikan terbilang lebih besar.

Alasannya, pemerintah punya anggaran Rp500 triliun untuk pengembangan pendidikan tahun depan. Sedangkan anggaran kesehatan sebesar Rp100 triliun.

“Kita ada empat unicorn, satu decacorn. Sudah lunas utang saya, bahkan saya berharap akhir tahun ada lagi [unicorn]. Saya enggak bilang perusahaannya tapi yang punya potensi besar itu ya di edutech.”

“Namun siapa startup yang menjadi unicorn bergantung kepada investor (venture capital),” sambungnya.

Empat unicorn yang ia maksud adalah Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan Ovo. Satu decacorn adalah Gojek. Rudiantara mengaku Ovo sudah memberikan konfirmasinya secara langsung kepada dirinya.

Pada kesempatan yang sama, Belva mengaku perusahaan justru tengah menggalang pendanaan Seri C. Namun dia menolak untuk berkomentar apakah lewat pendanaan ini akan mengantarkannya ke status unicorn. “Doakan saja,” ucap Belva singkat.

Ubah Fokus Bisnis, Ideosource Segera Garap “Venture Debt” Tahun Ini

Perusahaan modal ventura lokal Ideosource mengungkapkan sedang mempersiapkan unit bisnis terbarunya venture debt (utang ventura), karena melihat ada potensi yang belum tergarap baik di sini. Pengumuman ini sekaligus menandai pergeseran fokus pendanaan Ideosource dari berbasis ekuitas menjadi venture debt.

Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Edward Chamdani menjelaskan, venture debt cukup terkenal sebagai opsi pendanaan startup di Amerika Serikat, Eropa bahkan India, namun masih sangat baru di Indonesia.

Sebelum mantap di ranah barunya ini, Edward mengaku sudah melakukan riset mendalam sejak dua tahun lalu. Menurutnya, Indonesia punya kekosongan pendanaan di industri brick and mortar dan konvensional, tidak hanya di startup teknologi saja.

Konsep investasi startup di Indonesia juga menurutnya sedikit salah kaprah karena terlalu banyak mengaca di Silicon Valley. Di sana banyak pengembangan produk dengan proses yang lama dan membutuhkan tenaga engineer yang berkualitas.

Beda halnya di Indonesia, ekosistem seperti itu belum ada. Dampaknya, kebanyakan startup di sini lahir dan menjadi besar karena berangkat dari masalah di lapangan yang tidak butuh proses pengembangan yang lama dan bisa langsung dipasarkan.

Padahal, di luar itu ada banyak usaha yang sifatnya brick and mortar, sudah besar dan cashflow bagus, tapi tidak ada yang bisa bantu karena belum bankable. Kebutuhan pendanaan untuk bantu modal usaha tetap dibutuhkan.

Kementerian Indonesia punya banyak program pengembangan startup, dana yang dikucurkan bukan main besarnya. Namun, tidak banyak yang bisa memastikan bagaimana mereka bisa tetap beroperasi, dari dapat hibah, terima dana dari VC, sampai bankable, siapa yang bisa menjaminnya?. Ini yang menurutnya bisa dimasuki oleh venture debt dan project financing.

Perlu ditekankan di sini, venture debt adalah pembiayaan utang yang biasanya ada opsi waran untuk mengonversi utang menjadi saham. Tidak ada saham yang terdelusi dalam venture debt, kecuali ada kesepakatan waran. Sementara, project financing itu murni menyalurkan kredit.

“Bentuk growth-nya seperti startup, sudah pernah dapat seed atau angel investor dari teman dan keluarga untuk buat modal kerja. Penjualan sudah naik pelan-pelan, tapi sampai akhirnya stuck. Butuh inovasi baru, ini artinya butuh modal kerja lebih besar lagi. Di situ jadi switch spot buat venture debt masuk,” terang Edward.

Ideosource memanfaatkan lisensi yang dikantongi Dana Mandiri Sejahtera untuk bermain di segmen ini. Berdasarkan POJK No 35 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Usaha PMV, disebutkan venture debt adalah model dan mekanisme investasi yg berbeda dari penyertaan ekuitas. Untuk terjun ke sini, bisa memakai izin sebagai PMV atau Dana Ventura.

Ideosource sendiri belum memiliki izin PMV karena regulasi dirasa memberatkan, termasuk harus menyetor modal minimal Rp50 miliar. Ini kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi, mereka banyak menggalang dana dari investor eksternal.

“Jadi PMV license sangat memberatkan dari sisi persyaratan, namun Dana Ventura sesuai dengan pola VC tech. Kebanyakan VC tech polanya bukan setor modal, tapi menggalang dana dari investor eksternal.”

Selain Dana Mandiri Sejahtera, dua PMV yang mengantongi izin Dana Ventura adalah Mandiri Capital dan Reliance Modal Ventura.

Reduplikasi seperti Ideosource Entertainment

Ideosource akan membuat anak usaha yang bertindak sebagai operating holding. Rencananya segera beroperasi menjelang akhir tahun ini. Nama badan usaha masih dirahasiakan rapat-rapat oleh Edward.

Nantinya holding ini yang akan memiliki akses ke investor institusi dari dalam dan luar negeri memakai berbagai sumber pembiayaan dan berbasis proyek, bukan pool of fund seperti yang dipakai VC kebanyakan.

Cara yang sama juga sudah dilakukan lewat Ideosource Entertainment (IDEO), arm VC khusus industri film. Ada fund khusus yang dibentuk untuk menyalurkan pembiayaan dinamai Ideosource Film Fund (IFF) menyasar investasi film & media, produksi film, platform media analytic, digital marketing, dan sebagainya.

“Semua value yang kita punya akan dimasukkan dan dikelola oleh holding secara asetnya. Konsep yang sama sebenarnya juga sudah diterapkan untuk pembiayaan di film, dikelola oleh pak Andi [Managing Partner Ideosource],” katanya.

Tentunya akan ada perbedaan value chain yang ingin diperkuat Ideosource lewat venture debt ini. Misalnya untuk mendanai usaha di manufaktur, apabila ingin berinovasi pasti butuh lisensi IP, produk turunan pun semakin banyak. Lambat laun, makin banyak partner yang bisa digandeng untuk membesarkannya.

“Nanti kita bekerja seperti konglomerasi, dari value chain punya banyak partner. Jadi holding ini seperti ecosystem builder.”

Sembari menunggu holding beroperasi, Ideosource menyiapkan inkubasi khusus startup yang dibina sebelum menerima venture debt. Mereka melakukan proof of concept dari model bisnisnya dan arah bisnisnya di pasar setelah diberi sejumlah pendanaan.

Setidaknya startup sudah beroperasi selama dua tahun, termasuk waktu menyusun ide awalnya. Segmennya bergerak di agrikultur, FMCG, dan fintech.

Dalam debutnya, Ideosource memilih segmen yang bergerak di fintech, infrastruktur, logistik, marketplace, perkebunan. Ketiga segmen di awal paling utamakan karena dianggap substansial dalam mendukung ekosistem awal yang ingin dibangun Ideosource.

Startup yang dibidik tidak melulu bergerak di teknologi, tapi juga konvensional dengan berpotensi dapat dikolaborasikan dengan teknologi. Edward menekankan, startup tersebut punya target konsumen b2b dan arus kas yang bagus. “Kalau pure tech, tapi cashflow bagus tetap bisa. Intinya asal ada cashflow.”

Nantinya, Ideosource menetapkan waran yang sudah dikunci sejak awal sebelum venture debt disuntikkan. Mereka tetap memosisikan diri sebagai VC, tapi ini semua sudah dirundingkan sebelumnya dengan startup dan masuk melalui venture debt. Akan tetapi konversi sahamnya di belakang menjelang tempo utang berakhir.

Pertimbangan yang dia ambil, lantaran tujuan Ideosource yang ingin bangun ekosistem, kemungkinan besar akan ambil saham mayoritas startup. “Tergantung value, hitungannya variasi. Tapi bisa sampai 50% [ambil saham] karena kita operating holding jadi mau bersama-sama dengan startup. Kita enggak akan ninggalin mereka.”

Menurutnya, konsep lama yang biasa Ideosource pakai lepas saham ketika investor masuk, kini dianggap tidak menarik lagi buat perusahaan. Alhasil, dia memilih untuk invest sekali untuk selamanya. Ujungnya menuju IPO bersama dan bangun ekosistem bersama.

“Kami akan stay seterusnya, jadi lebih cocok untuk masuk ke venture debt,” tutupnya.

Kiprah Ideosource sebagai VC bisa dikatakan cukup lama, sudah beroperasi sejak 2011. Sejumlah startup pernah masuk dalam portofolionya, yakni Touchten, Stockbit, Immobi, Jas Kapital, Orori, Female Daily, Bhinneka, Kapan Lagi Network, eFishery, dan masih banyak lagi.

Arya Setiadharma: Sebagai Venture Partner di MDI, Fokus Saya Membantu Fundraising dan Dealsourcing

MDI Ventures resmi mendapuk Arya Setiadharma sebagai Venture Partner. Arya yang juga menjabat sebagai CEO Prasetia Dwidharma, akan bertanggung jawab untuk membantu MDI Ventures melakukan fundraising dan dealsourcing.

Untuk fundraising, fokusnya menggalang dana investasi dari Limited Partner (LP) yang lebih luas, termasuk untuk mendukung MDI Singapore Office. Sedangkan untuk dealsourcing, mencari startup yang cocok untuk disuntik dana oleh MDI. Untuk bisa mendapatkan informasi startup-startup bagus yang sedang fundraising, Arya bertanggung jawab membangun hubungan yang baik dengan Venture Capital yang lain.

“Dalam dunia venture capital, menurut saya kita harus membangun kepercayaan antar sesama investor. Sebagai investor, saya tidak akan membohongi investor lain hanya untuk menyelamatkan salah satu investment saya. Tentunya saya akan senang apabila ada startup portofolio Prasetia yang bisa mendapatkan investasi dari MDI. Tetapi saya sudah sampaikan kepada tim MDI, bahwa dengan posisi saya di MDI, mereka harus lebih critical dan selective terhadap startup portofolio Prasetia yang masuk ke pipeline,” ujar Arya.

Arya Setiadharma / Doc. Pribadi
Arya Setiadharma / Doc. Pribadi

Tahun ini Prasetia Dwidharma menjadi salah satu venture capital yang cukup aktif berinvestasi. Di Indonesia, mereka menyuntikkan dana di Redkendi, Doogether, Nimbly, dan Seekmi. Sementara di luar negeri mereka berpartisipasi dalam pendanaan Dropee (Malaysia), Kinexcs, Postr, TransferFi, VRCollab, dan Interviewer AI (Singapura).

Selain itu mereka juga berinvestasi di beberapa lulusan Y Combinator, seperti Traverse Technologies, Reelables, Spiral Genetics, Switchboard, dan Brainkey.

Menyoal kriteria investasi Arya menjelaskan, “Yang kami lihat pertama adalah founder-nya. Apakah benar-benar mengerti problem yang mereka ingin solusikan? Setelah itu kami akan melihat besar atau tidaknya market yang ingin disasar. Baru terakhir kami akan melihat scalabilituy startup tersebut. Prasetia selama ini banyak berinvestasi di startup B2B.”

CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma Bergabung dengan MDI Ventures (UPDATED)

CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma resmi bergabung dengan MDI Ventures sebagai Venture Partner. Hal ini disampaikan langsung oleh Arya,  seperti ditulis dalam akun LinkedIn miliknya.

Prasetia Dwidharma beberapa kali terlibat dalam co-investment bersama dengan MDI Ventures. Nama Arya bahkan namanya sempat menjadi bahan perbincangan di kalangan investor bakal mengisi posisi CEO MDI Ventures selepas ditinggal Nicko Widjaja.

Pindahnya Nicko Widjaja ke BRI Ventures membuat posisi pimpinan MDI Ventures kosong. Di tengah upayanya melebarkan sayapnya di luar Indonesia, perusahan venture capital milik Telkom ini setidaknya harus memiliki pimpinan dengan visi serupa untuk menyukseskan rencana yang sudah dibangun sebelumnya.

Prasetia Dwidharma merupakan perusahaan investasi yang cukup aktif di Indonesia. Beberapa portofolio Prasetia Dwidharma sejauh ini antara lain MTarget, Pomona, Nodeflux, Ekrut, dan beberapa lainnya.

Sedangkan untuk MDI Ventures, di 2019 mereka terlihat cukup aktif melakukan investasi di beberapa startup di kawasan Asia Tenggara. Beberapa startup yang mengumumkan disuntik investasi oleh MDI Ventures antara lain Qlue, Instarem, CXA Group, dan QFPay. MDI juga telah resmi “membuka cabang” di Singapura melalui MDI Ventures Singapore Office (MDI SG) yang dipimpin oleh Shannon Lee.

Update: Ada kesalahan penulisan di tulisan sebelumnya yang memasukkan Privy dan Kata.ai di dalam portofolio Prasetia Dwidharma.

MDI Ventures to Announce the Third Fundraising, Aiming for 1.4 Trillion Rupiah

MDI Ventures, Telkom backed corporate venture capital, is said to be in talk of the third fundraising, aiming for $100 million (over 1.4 trillion Rupiah). MDI is now involving foreign investor as LP, the leaked one is Kookmin Bank from South Korea.

MDI Ventures‘ Principal and Head of Investor Relations, Kenneth Li said to DailySocial that Kookmin Bank as one of the LPs to invest in its third fundraising. However, it’s not final yet.

He is yet to confirm that Telkom would be involved in the fundraising-to-be, or the slot will be fully occupied by foreign investors. In addition, their team is looking for LP from Middle East and some of the SEA countries, such as Thailand and Singapore.

Kookmin Bank debut in Indonesia is marked as they enter Bank Bukopin’s board of shareholders. As one of the biggest banks in South Korea, they’ve bought 22% shares worth of 1.46 trillion Rupiah last year.

“Kookmin is one of the latest investors for our investment, it’s still finalizing. In this round, we’re targeting $100 million investment as we made at the first one,” he said on Friday (9/13).

The decision to open overseas is kind of a new thing. First, the company pockets $100 million investment from Telkom alone. Next, the second one is from Telkomsel’s investment arm, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) worth of $40 million in May 2019.

MDI Ventures is to open the gate for those foreign investors having difficulty to enter this country. They’re aware of Indonesia from unicorns that exist in media overseas but having no exposure with other locals for collaboration.

The current strategy is said to follow Softbank’s initiative. First, Softbank is using its internal funding to invest in tech-company. After positive feedback, they’re maturing for greater amount of investment from high-profile global LP.

Although this is the first time, managing funds from foreign investors wouldn’t be a huge problem. He believes the company’s proven background and history since its debut in 2015 should gain investor’s trust in terms of fund managing and guarantee promising results.

To date, MDI Ventures has managed 35 portfolio across 10 countries with a total 5 exit. Some IPO took place overseas, such as Geenie in TSE (Japan) and Whispir (Australia).

Future plan

Telkom, as the parent company, has approved the plan to explore growth outside the country. The company can’t always rely on Telkom alone, they also need support from others.

However, they haven’t change the main focus, to look for potential startups to make collaboration with Telkom Group. It’s mutual as Telkom’s effort for digital transformation as more than just a telco.

“Telkom is to go beyond just a telco. We still have a same responsibility, to find potential startups for Telkom’s future plan, it includes collaboration,” MDI Ventures’ GM of Investment, Aldi Adrian said.

The freedom to choose the startup segment might be a privilege for MDI Ventures than any other CVCs, especially bank-backed ones due to regulations.

“We’ve become more agile to enter all business segments, therefore we offer more added value than other CVCs,”

Although they’ve no intention to leak the next investment, Kenneth confirmed, there are upcoming investments before 2019 end. One of them is an investment to fintech startup founded by one of the former unicorn’s players.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian