Willson Cuaca: Startup di Asia Tenggara Tidak Akan Bisa Menjadi Unicorn Tanpa Indonesia

Pada sesi BUMN Startup Day 2022 Senin (26/9) kemarin, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca membagikan banyak pandangan dengan gaya khasnya, yakni melalui analogi-analogi unik.

Pandangan-pandangan ini masih berkaitan dengan potensi ekonomi digital di Indonesia dan perubahan industri startup Indonesia di era pra dan pasca-pandemi Covid-19.

Tren yang muncul dari pandemi

Willson menilai terjadinya inflection point cukup berdampak terhadap perkembangan industri startup di Indonesia. Jika dulu startup bisa membutuhkan waktu hingga enam bulan untuk mendapat sekitar 30.000 unduhan aplikasi, kini startup bisa mencapai satu juta unduhan hanya dalam satu bulan.

Implikasi lainnya, pandemi Covid-19 mengubah perilaku pengguna dan mempercepat bagaimana proses edukasi pasar. Alhasil, adopsi digital tak hanya terjadi pada early adopter saja, tetapi justru lebih dari itu. Kalangan orang tua yang cenderung bukan digital native, bahkan bisa menggunakan aplikasi Zoom.

Kemudian, ia juga mengidentifikasi dua jenis model bisnis startup selama masa pandemi ini. Pertama, startup yang dapat solving problem pada pra dan pasca-pandemi. Kedua, startup yang seolah-olah model bisnisnya hanya cocok di masa lockdown pandemi saja.

Kendati demikian, ia menekankan ada atau tidaknya pandemi Covid-19, ekonomi digital Indonesia akan tetap bertumbuh. Era pra dan pasca-pandemi justru akan menentukan bagaimana suatu startup dapat bertahan dan tetap relevan. Maka itu, penting untuk melihat apakah problem statement yang dikembangkan oleh dapat bertahan selama pandemi atau pasca-pandemi.

Membangun bisnis teregulasi dan beretika

Di masa awal fenomena investasi startup, Willson menyebut VC memulai dengan blank paper mengingat bisnisnya masih tergolong baru. VC terbilang tidak didukung dengan data, hanya sebatas ide. Lalu, sebagai venture capitalist, bagaimana Willson menuntut pertumbuhan dari portofolio startup yang bisnisnya belum teregulasi? Bagaimana membuat keputusan bahwa mungkin sebuah startup dapat mencapai kesuksesan suatu hari?

Ia menilai, setiap pelaku startup tetap harus mengejar pertumbuhan, tetapi dalam lingkungan yang teregulasi. Bagaimana pun juga VC mengacu pada metrik pertumbuhan tinggi. Maka itu, untuk mencapai hal tersebut, VC perlu membuat semacam playbook sendiri dengan menggunakan sejumlah komponen, seperti Environmental, Social, dan Corporate Governance (ESG).

Komponen tersebut dapat menjadi lensa pengambilan keputusan sehingga investor tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Menurutnya, VC perlu meregulasi diri di internal sehingga dapat mendorong startup yang inklusif, win-win solution, dan mampu men-encourage hal-hal positif.

Di samping itu, pelaku startup juga perlu mengambil risiko, tetapi tetap membangun bisnis beretika. Penting untuk digarisbawahi, bagi Willson startup harus bisa menguasai bisnisnya sendiri sebelum mendisrupsi.

“Mantra startup ‘lebih baik minta maaf, daripada minta izin’ masih berlaku. Analoginya begini, apa perbedaan U-turn di Singapura dan Indonesia? Di Singapura, orang melihat tanda dulu, baru belok. Artinya, mereka berinovasi dalam kerangka tertentu. Di Indonesia, mereka mencari yang tidak ada tanda, lalu belok. Mereka berinovasi dulu dan tidak dalam suatu kerangka karena kerangkanya belum tentu ada–tetapi tetap sesuai etika,” paparnya.

Learn how to learn

Willson mengungkap bahwa Indonesia sedang menuju masa keemasan digital dengan potensi sangat besar. Ia membandingkan PDB per kapita di India hanya sekitar $1.000, padahal populasinya menembus 1,4 miliar jiwa. Namun, PDB per kapita Indonesia justru mencapai $4.000 dengan populasi 250 juta. Artinya, spending di Indonesia lebih banyak sehingga potensi startup untuk menjadi profitable juga lebih besar.

“Kita tidak boleh low self-esteem dari negara lain. Investor di India dan Korea Selatan berbondong-bondong ke Indonesia karena kita ekosistem terbesar di Asia Tenggara. Nilai ekonomi digital di Asia Tenggara sekitar Rp2 triliun, Indonesia sumbang Rp1 triliun. Startup di Asia Tenggara tidak akan bisa jadi unicorn tanpa Indonesia. Setidaknya harus punya sedikit [kontribusi pasar] dari Indonesia. Kita harus percaya diri,” ujarnya.

Pertumbuhan ekonomi digital tersebut bukan terjadi dalam semalam saja. Menurutnya, tanpa sadar Indonesia telah membangun infrastruktur digital selama satu dekade, mulai dari e-commerce, payment gateway, warehouse, hingga last mile delivery.

Dengan perkembangan infrastruktur yang semakin matang, startup justru lebih mudah memonetisasi bisnisnya karena memanfaatkan berbagai API yang sudah ada. Willson juga menekankan agar founder tidak terlena dan tetap terus belajar seiring berkembangnya bisnis mereka.

“Dalam skala 0 sampai 1.000, 1.000 sampai 10.000, hal yang terpenting buat founder adalah kemampuan belajar. Ketika founder membuat produk, mereka harus belajar leadership, governance, atau management. Ketika startup mencapai skala 1.000, founder harus belajar corporate structure sampai people culture. Ketika mencapai skala 10.000, founder tidak lagi terlibat di operasional, mereka harus menjadi visioner,” tuturnya.

AC Ventures Tutup Putaran Pertama Dana Kelolaan ke-5 Senilai 2,4 Triliun Rupiah

AC Ventures (ACV) dilaporkan telah menutup putaran pertama dana kelolaan kelima (Fund V). Dari target sebesar $250 juta atau setara 3,7 triliun Rupiah, ACV telah mengumpulkan 65% atau sekitar $162,5 juta atau setara 2,4 triliun Rupiah, yang sebagian besar berasal dari Limited Partner (LP) pada dana kelolaan sebelumnya.

“Kami berinvestasi pada digitalisasi di Indonesia dan pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara. Tahun lalu, PDB dari sektor digital Indonesia mencapai $70 miliar dan diproyeksi tumbuh lebih dari $350 miliar dalam lima tahun ke depan. Kami telah membangun ekspertis melalui pengalaman berinvestasi selama ini, terutama pada commerce, fintech, dan UMKM,” ujar Co-founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li sebagaimana diberitakan Techcrunch.

Berdasarkan data yang dihimpun DailySocial.id, ACV telah berinvestasi ke sebanyak 22 startup selama sembilan bulan terakhir di 2022 melalui Fund V, termasuk di antaranya SkorLife, KLAR, Esensi Solusi Buana (ESB), Atma, IDEAL, dan BRIK.

Menurut Adrian, meski ACV terbilang agnostik, Fund V akan difokuskan pada sektor baru, termasuk climate tech. Untuk startup tahap awal, ticket size yang dikucurkan berkisar $2 juta, dan sebagian besar dana akan disimpan untuk investasi lanjutan (follow-on investment).

Sebagai informasi, ACV terakhir menutup dana kelolaan ketiga (Fund III) senilai $205 juta atau Rp3 triliun. Sebagian dari Fund III sudah diinvestasikan sejak penutupan pertama pada Maret 2020. Adapun, International Finance Group (IFC) milik Bank Duni dan Disrupt AD milik Abu Dhabi Developmental Holdings bergabung menjadi LP pada dana kelolaan ini.

Sementara, dana kelolaan keempat (Fund IV) dijalankan oleh tim berbeda dengan fokus pada Malaysia. Secara keseluruhan, total portofolio ACV di Indonesia dan Asia Tenggara telah mencapai 120, termasuk Xendit, Shipper, Aruna, Carsome, dan Stockbit.

Melanjutkan suksesi unicorn IPO

Menurut Adrian, investor global tertarik dengan Asia Tenggara karena menunjukkan pertumbuhan pasar yang semakin mature, ditandai dengan melantainya GoTo dan Bukalapak di bursa saham, serta meningkatnya investasi di tahap later-stage dan secondary exit. Adapun, LP pada Fund V berasal dari Asia Utara, Amerika Serikat, Eropa, hingga Timur Tengah.

Ia juga menyebut pihaknya memainkan strategis yang sukses untuk tetap fokus menjadi investor tahap awal. Artinya, ACV ingin mendukung startup hingga pada titik posisinya menjadi valuable dalam membantu founder membangun bisnis.

ACV umumnya berinvestasi ke 30-35 startup per fund dan menyimpan sebagian untuk investasi lanjutan dengan rasio 20:1 bagi startup yang dapat menciptakan value. Per tahunnya, ACV mengucurkan investasi ke 10-12 startup melalui fund miliknya, dan tren ini akan terus berlanjut meskipun iklim investasi di global melambat.

Adrian berujar bahwa ACV lebih fokus berinvestasi pada startup tahap awal karena sejumlah alasan. Pertama, ACV dapat terlibat dengan para founder untuk merekrut key talent dan berbagai pedoman operasional mereka. Seiring dengan pertumbuhan tim, ACV dapat membantu founder untuk membentuk fundamental pada budaya kerja, komunikasi, dan talent.

“Selain itu, kami berinisiatif untuk mendorong kemitraan dengan konglomerat dan para pemangku kepentingan di Indonesia untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis startup. Misalnya, kemitraan startup fintech dan bank untuk memperluas akses pinjaman,” ujarnya.

Fokus pada bisnis

Adrian juga memberikan sejumlah catatan penting terkait situasi ekonomi saat ini dan dampaknya terhadap startup. Ia melihat bagaimana valuasi startup di semua tahap (stage) sampai turun sebesar 30%-40%. Namun, di sisi lain ia juga melihat ada perkembangan kualitas pada para founder. 

Situasi ini justru menjadi momentum yang tepat bagi founder untuk lebih fokus terhadap kualitas metrik dan product-market fit sebelum memulai untuk meningkatkan skala bisnisnya. Ia menekankan pentingnya untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan dengan situasi pasar saat ini.

“Saya pikir ketika [mendapatkan] investasi menjadi hal mudah tahun lalu, sejumlah startup yang mengejar pertumbuhan topline justru meningkatkan skala bisnis terlalu cepat sebelum waktunya. Hal itu bukan cara efisien untuk menggunakan modal, tetapi mencoba meraih pangsa pasar dan mendapat [investasi] pada putaran berikutnya. Jadi, saat-saat seperti ini menjadi momentum baik bagi founder dan investor.” Tutupnya.

Pemodal Ventura Dorong Startup untuk Ubah “Playbook” Bisnis

Para pemodal ventura (venture capitalist) di Indonesia tak henti-hentinya menekankan para startup untuk tetap resilient di tengah berbagai gejolak ekonomi dunia tahun ini. Apalagi, di sepanjang tahun ini, kita telah menyaksikan sejumlah startup melakukan efisiensi, ada yang menutup layanan dan ada juga yang merumahkan banyak karyawannya.

Gejolak ekonomi yang terjadi diketahui merupakan salah satu langkah antisipasi global untuk menghadapi resesi dengan adanya inflasi dan kenaikan suku bunga tinggi. Bahkan, gejolak baru bertambah pasca-pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan harga BBM.

Sebetulnya, CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro menilai sentimen yang terjadi tak selalu berarti buruk, baik itu tren bullish, bearish, atau market correction. “It’s a market adjusting itself. Apalagi valuasi [startup] mahal dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya pada sesi Nexticorn International Summit 2022 beberapa waktu lalu.

Kendati demikian, founder startup juga untuk jangan terlalu overlook pada cash management yang dapat memicu startup menjadi lalai terhadap penggunaan modal mereka. Startup perlu menahan diri melakukan shopping spree, bakar uang untuk kegiatan promo, atau menambah banyak tim.

“Kita lihat startup mulai melakukan efisiensi, bisa berupa mengurangi biaya marketing atau human resource. Startup harus mengubah playbook di situasi saat ini. Cobalah untuk fall in love dengan produk yang mereka kembangkan,” tutur Eddie.

Senada dengan di atas, Co-founder dan Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe berpendapat bahwa situasi ‘tech winter‘ dapat menjadi momentum founder untuk merefleksi dan fokus kembali pada pengembangan produk. Para founder juga perlu mengubah cara mereka untuk membangun bisnis.

Menurutnya, tantangan besar justru akan dialami pada startup di tahap seri A, B, dan C, bukan di early stage. Berkaca dari pengalamannya, Jefrey menilai tidak semua startup mampu menunjukkan profitabilitas di tahapan tersebut. Startup harus kembali fokus pada fundamental dan tidak perlu terjebak pada tekanan harus segera profit selama bisnisnya solid.

“Tahun lalu, kami pikir pasar sangat bullish, banyak founder dapat funding, tim bertambah. Tiba-tiba tahun ini bearish sangat ekstrem. Where’s the money, where’s the profit? Maka itu, startup yang dapat pendanaan harus take it slow. Mereka harus berubah, salah satunya mencapai product-market-fit sampai lima tahun untuk bisa achieve profitabilityWe’ll see a lot of potential growth dalam 3-5 tahun ke depan,” jelasnya.

Ekspansi regional

Pada kesempatan sama, DailySocial.id juga sempat berbincang dengan sejumlah startup unicorn menanggapi isu IPO maupun rencana ekspansi. Sebagian besar mengaku merampungkan tahun 2022 dengan fokus terhadap pengembangan produk dan ekspansi regional.

Kopi Kenangan, misalnya, akan membuka gerai regional pertamanya di Malaysia pada kuartal IV 2022. Co-founder dan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata mengungkap bahwa ini merupakan bagian dari rencana ekspansi ke Asia Tenggara yang akan dilakukan secara bertahap.

Ia mengaku telah mematangkan rencana ekspansi sejak lama dengan memperhitungkan potensi kenaikan harga bahan baku. Namun, situasi tersebut diatasi dengan melakukan integrasi dari sisi upstream. Per 2021, Kopi Kenangan telah menjual sebanyak 40 juta cangkir. Kini, total outlet-nya telah mencapai 672 outlet di 45 kota di Indonesia.

Demikian juga Co-founder dan COO Xendit Tessa Wijaya yang mengaku fokus terhadap ekspansi regional alih-alih memikirkan rencana melantai di bursa saham sebagaimana telah dilakukan oleh GoTo dan Bukalapak. Sekadar informasi, Xendit telah memulai ekspansi regionalnya sejak 2020.

“Saat ini, kami baru hadir di dua tenggara dan impian kami adalah menguasai Asia Tenggara. Mungkin selanjutnya, kami melirik Malaysia, Thailand, dan Vietnam untuk [ekspansi] ini karena ada permintaan dari customer. Indonesia semakin disorot, banyak global company yang berkembang. Mereka ingin suatu produk tidak cuma di Indonesia, tapi di Asia Tenggara,” jelasnya.

Adapun,  J&T Express tengah melakukan ekspansi ke Tiongkok dan Amerika Latin. Menurut CEO J&T Robin Lo, pasar J&T telah berkembang besar di Indonesia, tetapi belum merambah ke Asia Tenggara. Per 2021, J&T telah menyandang gelar decacorn dengan valuasi sebesar $20 miliar.

“Banyak perusahaan luar masuk ke Indonesia membawa investasi super raksasa. Kalau tidak menjajal negara lain, ketika diserang luar, kita akan sulit survive karena cuma punya market di Indonesia. Once we survive in Asia Tenggara dan Tiongkok, [kita] akan mudah survive di mana saja.” Tutupnya.

Eddi Danusaputro Paparkan Tesis Investasi BNI Ventures

PT BNI Modal Ventura atau BNI Ventures memaparkan fokus investasi startup pada ajang Nexticorn International Summit 2022 beberapa waktu lalu. BNI Ventures mengincar startup yang dapat mendukung misi induk usaha PT Bank Negara Indonesia Tbk (IDX: BBNI) untuk mengglobal.

Diungkapkan CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro, pemerintah telah memberi mandat masing-masing kepada Corporate Venture Capital (CVC) BUMN lain. Misalnya, BRI Ventures (BRI) fokus pada sektor mikro dan Mandiri Capital Indonesia (Mandiri) pada sektor korporasi dan ritel.

“Sementara mandat ke BNI berbeda. BNI akan bergerak menjadi international bank demi mendukung diaspora dan perusahaan yang punya bisnis di luar. Kami mencari startup yang mendukung customer BNI, seperti layanan remitansi di Hong Kong atau tenaga kerja di Arab Saudi. Ini coba kami capture,” ungkap Eddi.

Namun, tambahnya, bukan berarti BNI Ventures selalu mengincar portofolio dari luar Indonesia. Pihaknya juga mencari startup yang dapat mendukung pelaku UMKM yang ingin mengekspor produknya ke luar negeri. “Paling tidak ada komponen itu, ekspor kan bisa dari lokal,” tuturnya.

Adapun, BNI Ventures mengincar sektor agnostik pada pendanaan startup di tahap seri A atau early stage yang belum masuk ke pasar.

Sebagai informasi, BNI menyetorkan dana Rp500 miliar atau setara 500 ribu lembar saham yang menjadi pemegang kendali mewakili 99,98% kepemilikan di BNI Ventures. Sementara, sisanya dipegang oleh PT BNI Asset Management.

Adapun, rencana terjunnya BNI ke ekosistem digital mencuat usai pendirian Merah Putih Fund. Saat didirikan, Merah Putih Fund akan didukung oleh lima BUMN melalui CVC masing-masing, terdiri dari Telkom, Telkomsel, Mandiri, BRI, dan BNI. Namun, saat itu hanya BNI yang belum memiliki CVC.

Merah Putih Fund

Dalam wawancara terpisah, Eddi yang juga menjabat sebagai Chief PMO Merah Putih Fund, menargetkan pendanaan startup melalui Merah Putih Fund dilakukan pada awal 2023. Saat ini, pihaknya masih menyiapkan proses administrasi.

“Ada lima investor awal, tetapi [dana] dari masing-masing tidak bisa di-disclose karena tidak semua porsinya sama. Di kuartal I 2023 kami enter market, sekarang sedang proses, sudah tunjuk bank kustodian, legal counsel. Dana $300 juta ini perlu diinjeksi ke rekening Merah Putih Fund,” kata Eddi.

Menurutnya, saat ini ia sudah mulai menjajaki startup potensial meski belum ada yang pasti. Dalam pipeline-nya, ia menargetkan lebih dari 30 pertemuan dengan startup dari berbagai startup. Perlu dicatat, untuk mendapat pendanaan dari Merah Putih Fund, seluruh founder dan operating company harus berasal dari Indonesia.

“Perlu diketahui pula, kami terbuka [dengan startup apapun]. Bukan berarti [mencari] startup yang sudah pernah didanai oleh MDI atau MCI, terus dapat jalur cepat, tidak juga. Tidak harus portofolio existing dari lima investor itu. Kita harus adil.” Tutupnya.

Pemerintah Arab Saudi Siap Berinvestasi ke Startup Indonesia

Pemerintah Arab Saudi melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi Teknologi setempat bersama Yayasan Nexticorn menjalin kemitraan sinergis untuk mendanai startup unicorn dan soonicorn (centaur) di Indonesia. Ini adalah kerja sama business-to-government (B2G) yang ditandai melalui penandatanganan nota kesepahaman untuk membentuk dana patungan (joint fund). 

Penandatanganan note kesepahaman ini dilakukan oleh Ketua Yayasan Nexticorn Rudiantara dan perwakilan dari Center of Digital Entrepreneurship Kementerian Komunikasi dan Informasi Teknologi Arab Saudi di Nusa Dua, Bali (2/9). 

Sebagai informasi, startup unicorn dan soonicorn masing-masing dikategorikan sebagai startup dengan valuasi mencapai $1 miliar dan mendekati $1 miliar. Saat ini, Indonesia sudah memiliki 14 unicorn. 

Adapun, komitmen investasi ini bertujuan untuk mendorong startup unicorn dan soonicorn mengembangkan pasarnya, tak hanya di Indonesia, tetapi ke Timur Tengah melalui dukungan dari Arab Saudi.

“Kita nantinya akan punya perusahaan [startup] multinasional, tapi di bidang digital. New economy adalah melalui digital. Salah satunya J&T Express yang kini sudah ada di Arab Saudi,” ujar Ketua Yayasan Nexticorn Rudiantara ditemui usai MoU.

Adapun, Yayasan Nexticorn akan berperan sebagai organizer dalam kegiatan investasi ini. Sementara, modal akan tetap berasal dari pemodal ventura (VC). Ia menolak merincikan nilai investasi yang digelontorkan, tetapi angkanya berkisar ratusan juta dolar dengan porsi masing-masing 50:50. 

“Ratusan juta dolar pasti. Kita lihat nanti, soonicorn atau nexticorn karena nexticorn tidak [akan] berhenti funding-nya. Sebelum ini, kami berjanji ini harus konkret. Untuk realisasi investasi, tadinya mereka minta cepat, dalam satu tahun modalnya sudah masuk. Jadi, tahun depan sudah investasi ke startup,” ungkapnya.

Vertikal investasi

Ada lima vertikal yang akan menjadi fokus investasi antara lain umrah, logistik, pendidikan, keuangan, dan kesehatan. Komitmen investasi ini dapat dimanfaatkan sebagai launchpad bagi startup unicorn di Indonesia untuk masuk ke Timur Tengah.

Dalam paparannya, Menteri Komunikasi dan Informasi Teknologi Arab Saudi Abdullah bin Amer Alswaha menilai potensi digitalisasi pada sektor logistik sangat besar. Ia meyakini Indonesia dapat menjadi global hub mengingat sebanyak 20%-30% PDB Indonesia berasal dari logistik.

Indonesia punya generasi perempuan dan anak muda hebat yang dapat menyelesaikan tantangan di sektor ini. Ia mencontohkan bagaimana posisi Arab Saudi berdekatan dengan Laut Merah yang menjadi lokasi di mana 10% dari kegiatan perdagangan global terjadi. “As you perfect the South East Asia global hub for logistics, that’s a parallel that we could work together,” tuturnya.

Lebih lanjut, pendanaan tersebut nantinya tak hanya ditujukan untuk pasar Indonesia, tetapi juga Arab Saudi sebagai hub untuk Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East and North Africa/MENA). Menurutnya, pasar Arab Saudi sangat terbuka dalam mengikuti tren dari inklusi keuangan, healthcare, hingga edtech.

“Kami ingin mengeksplorasi dan melihat bagaimana kami dapat melihat kesuksesan ini di Timur Tengah. Maksudnya begini, Indonesia punya 14 unicorn, sedangkan Timur Tengah dengan total populasi 400 juta, baru punya enam unicorn, mengagetkan bukan. Tapi ini menunjukkan potensi kami,” paparnya.

Pihaknya menekankan untuk memanfaatkan keahlian dan pengalaman dalam mengembangkan inovasi bersama. Menurutnya, kemitraan ini menjadi kesempatan sekaligus tantangan untuk melakukan reskilling dan upskilling.

[Video] Rencana MDI Ventures Luncurkan Impact Fund

Melalui wawancara bersama DailySocial, VP Business Development MDI Ventures Alvin Evander mengungkapkan rencana peluncuran program Impact Fund pada pertengahan 2022.

Impact Fund, kata Alvin, merupakan pendanaan yang fokus ke startup-startup yang memiliki tujuan spesifik menyasar pada lingkungan dan sosial.

Dikelola secara terpisah dari dana MDI Ventures sebelumnya, Alvin menyebutkan saat ini adalah waktu yang pas bagi MDI Ventures meluncurkan Impact Fund.

Lalu, seperti apa kriteria startup yang bisa masuk dalam program ini? Apa target yang ingin dicapai MDI Ventures dalam peluncuran program Impact Fund?

Simak pembahasan tentang Impact Fund MDI Ventures yang terangkum di video wawancara berikut.

Untuk video menarik lainnya seputar modal ventura (venture capital) dan seperti apa dukungannya terhadap startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi VCTalks.

Melirik Hipotesis Insignia Ventures Terhadap Prospek Startup Indonesia

Dinamika startup yang terus berkembang, turut memengaruhi bagaimana hipotesis para investor sebelum menanamkan pendanaannya. Insignia Ventures melihat pada tahun ini, berkat gelombang digitalisasi yang didorong oleh pandemi, muncul startup baru dari berbagai sektor yang bahkan relatif terdepan dalam segi inovasi.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Founding Managing Partner Yinglan Tan menjelaskan, “Bahkan mereka [startup] berada di ruang yang relatif terdepan seperti web3, pertanian, perawatan kesehatan, hingga iklim. Kami ingin memainkan peran kami dalam mendukung usaha ini lebih awal dan membantu mendorong mereka lebih jauh.”

Sektor-sektor unggulan inilah yang akan didukung perusahaan melalui dana kelolaan yang baru diumumkan yang difokuskan pada pendanaan tahap awal. Pada kelolaan yang ketiga ini, Insignia Ventures berhasil mengumpulkan dana sebesar $516 juta (lebih dari 7,7 triliun Rupiah); diklaim kelebihan permintaan (oversubscribed).

Dana tersebut terbagi menjadi tiga jenis kelolaan, yakni sebesar $388 untuk fund utama IVPF III, $28 juta untuk fund Entrepreneurs yang berinvestasi di samping fund utama; dan $100 juta untuk Annex Fund I. Investor yang berpartisipasi dalam putaran ini berasal dari institusi utama, termasuk dana kekayaan negara (sovereign wealth funds), yayasan, dana abadi universitas, dan kantor keluarga terkenal dari Asia, Eropa, dan Amerika Utara.

Tan tidak merinci spesifik seperti apa persentase dana yang akan disalurkan untuk startup Indonesia. Namun, dari dana kelolaan sebelumnya, persentase investasi untuk startup lokal mengambil jumlah yang signifikan karena negara ini menjadi pasar inti bagi Insignia Ventures berkat ukuran pasar dan peluang bisnis yang beragam yang dihadirkan.

Bahkan, sambungnya, meski ada beberapa pemain yang sudah mendominasi, portofolio dari Insignia diklaim tetap mampu ambil ruang baru, terutama di dua area. Yakni, digitalisasi bisnis tradisional dan perusahaan posisi tandingan atau startup yang membangun produknya atas dasar kesenjangan dari perusahaan teknologi yang lebih besar dalam hal segmen pasar atau kedalaman produk.

“Oleh karena itu, kami berharap aktivitas kami di Indonesia akan terus berkembang dalam dekade ini, tetapi pada saat yang sama, kami juga ingin membuka lebih banyak peluang di pasar seperti Vietnam, Filipina, dan Thailand.”

Secara terpisah dalam keterangan resmi, Tan menyampaikan alasan mengapa pihaknya tertarik untuk berinvestasi lebih agresif pada “sektor potensial berikutnya” seperti web3, teknologi iklim, perawatan kesehatan, dan pertanian. Dia bilang, dampak yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan terbesar di luar Asia Tenggara dalam dekade terakhir akan menjadi permulaan baru dibandingkan dengan dampak yang akan dibuat oleh pembuat pasar pada dekade berikutnya.

Menurutnya, ada keselarasan yang tidak penting, tetapi kritis antara solusi yang keluar dari area ini dan masalah lama di wilayah ini dari keberlanjutan pangan ujung ke ujung hingga kepercayaan dengan institusi. Solusi untuk masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh startup teknologi saja dan sektor-sektor ini sendiri mungkin masih awal.

“Tetapi pendiri yang tepat yang cocok dengan masalah yang tepat dapat memecahkan masalah, dan itulah tepatnya mengapa kita tidak dapat membuang waktu dalam “pemecahan masalah “waktu emas” ini untuk mendukung mereka.”

Dari awal Insignia Ventures debut di 2017, pihaknya akan terus melanjutkan misi awalnya untuk mendukung para pendiri startup dalam membangun perusahaan hebat, melihat peluang dalam membangun teknologi secara menyeluruh di berbagai industri dan aktivitas sebagaimana digital kini sudah mengambil alih lebih banyak aspek kehidupan dan bisnis.

“Saat kita mulai di tahun 2017, investor secara global masih belum familiar dengan potensi ekonomi digital Asia Tenggara. Pada tahun 2019, ketika kami mengumpulkan dana kedua kami, ada lebih banyak perhatian tetapi masih lebih utama diarahkan ke e-commerce, fintech, dan perusahaan raksasa di kawasan ini dengan putaran pertumbuhan yang besar-besaran.”

Tekanan atas tren pengetatan likuiditas

Terlepas dari inflasi global yang menjadi tantangan berat bagi pasar teknologi secara keseluruhan, Insignia Ventures justru memandang kondisi tersebut sebagai “waktu emas” bagi para pemimpin dan pembuat pasar ekonomi digital untuk bermunculan.

Tan menuturkan, pihaknya melihat peluang sekali dalam satu dasawarsa untuk menangkap keuntungan yang lebih besar karena jadi pemenang terpapar sangat jelas ketika kondisi sedang pasang surut. Di saat yang bersamaan, pemenang itu tidak dapat ditentukan begitu saja oleh valuasi dan skala bisnis, sebab pada akhirnya perusahaan dengan unit ekonomi yang berkelanjutan dan penciptaan nilai yang konkret jadi faktor terpenting.

“Ada keseimbangan yang baik antara kecepatan dan daya tahan yang menentukan pencarian kami untuk memperoleh pengembalian terbaik. Ini adalah ‘golden hour’ ketika pemimpin pasar Asia Tenggara dalam dekade ini akan dicetak. Lanskap pendanaan di regional ini berada dalam posisi terbaik karena investor sekarang lebih strategis dengan alokasi mereka daripada sebelumnya, katakanlah seperti di tahun 2021 atau 2019.”

Di Indonesia, Insignia Ventures memiliki sejumlah portofolio, di antaranya platform ritel mobil Asia Tenggara Carro, platform wealthtech Ajaib, perusahaan fintech Payfazz (sekarang Fazz Financial), platform e-commerce enabler Shipper, platform open finance Brankas, dan beberapa lainnya yang sudah memiliki bisnis dan tim di Indonesia.

Perusahaan pertama kali debut dengan fund sebesar $120 juta, kemudian melakukan penggalangan yang kedua sebesar $200 juta di 2019. Selama lima tahun terakhir ini, pendekatan Insignia Ventures berhasil mendukung para founder startup dalam membangun bisnisnya sebagai pemimpin pasar di Asia Tenggara, menciptakan dampak yang lebih besar untuk semua orang.

Hingga saat ini, Insignia Ventures bernilai $46 miliar dengan modal yang diinvestasikan sebesar $304,9 juta, dengan rasio kerugian kurang dari 2%. Perusahaan portofolionya juga berhasil menarik investasi lanjutan sebesar $7,7 miliar. Dengan seluruh kinerja ini, Yinglan melihat ini hanya sebagai puncak gunung es dalam hal berapa banyak lagi penciptaan pasar teknologi yang dapat dihasilkan dari wilayah tersebut.

“Kami bangga dengan dampak yang telah diciptakan oleh perusahaan portofolio kami dan bangga telah bermitra dengan mereka sejak awal, melalui pertumbuhan bersama mereka dan menyaksikan secara langsung bagaimana mereka telah membentuk ekonomi digital Asia Tenggara. Tapi ini masih awal bagi kami; ini masih merupakan hari-hari awal digitalisasi di kawasan ini. Kami percaya ada lebih banyak peluang bagi perusahaan semacam itu untuk muncul di Asia Tenggara,” pungkas Tan.

Kiat Startup Bertahan di Tengah “Tech Winter”

Sebagai salah satu VC yang menduduki posisi teratas dalam hal investasi kepada startup di Indonesia, AC Ventures memiliki fokus khusus untuk mendukung pertumbuhan portofolio mereka. Memasuki masa sulit startup yang juga kerap disebut “Tech Winter”, AC Ventures memiliki beberapa catatan penting yang wajib di perhatikan oleh penggiat startup di tanah air.

Mulai dari strategi penggalangan dana yang tepat, potensi untuk melakukan M&A, hingga saat ini menjadi waktu yang tepat untuk merekrut talenta digital terbaik ke dalam tim. Hal ini seusai yang disampaikan Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir dalam sesi webinar yang diadakan Rabu (03/8) lalu.

Efisiensi penggunaan kapital

Masih berlangsungnya perang antara Ukraina dan Rusia, ditambah dengan aturan Zero-Covid Policy yang diterapkan oleh Tingkok, mengakibatkan tertundanya aktivitas bisnis dan penutupan pabrik yang mempengaruhi kepada supply chain di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Ditambah lagi dengan inflasi dan meninggkatnya harga berbagai barang dan kebutuhan masyarakat. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi pertumbuhan bisnis kebanyakan startup. Untuk bisa bertahan dan mendapatkan profit, idealnya startup sudah mulai melakukan efisensi dalam hal penggunaan kapital atau modal yang ada saat ini.

Idealnya ketika dana segar sudah didapatkan oleh startup, bisa untuk menggunakan runway tersebut untuk waktu sekitar 36-48 bulan ke depan. Diprediksi pendanaan atau penawaran untuk berinvestasi dari VC akan lebih sulit diberikan. Investasi yang tahun ini kemudian final biasanya sudah dijajaki sejak tahun lalu.

“Jika saat ini Anda mencari nilai valuasi, rata-rata jumlah tersebut sudah menurun sekitar 30% di private market. Di sisi lain untuk public market, nilainya bisa mencapai sekitar 50 hingga 80% berdasarkan di negara perusahaan tersebut beroperasi,” kata Pandu.

Strategi lain yang kemudian juga bisa dilancarkan oleh startup adalah fokus mengembangkan unique value proposition untuk mendapatkan growth. Perhatikan pula unit ekonomi dan hedge risk. Untuk bisa mendapatkan market share, gunakan berbagai macam kanal, salah satunya adalah melakukan merger and acquisition (M&A). Hal ini dinilai lebih efektif dibandingkan jika perusahaan mengambil jalan melalui kanal yang organik. M&A bisa melahirkan keuntungan yang positif bagi startup, jika dieksekusi dengan tepat.

Kondisi sulit saat ini juga mewajibkan startup untuk terus menghadirkan inovasi dengan keterbatasan yang ada. Dengan melakukan cara ini diharapkan menjadikan perusahaan lebih siap ke depannya. Namun yang tidak kalah penting untuk dilakukan oleh startup saat ini adalah, untuk bisa membangun tim yang berkualitas, dengan merekrut tenaga kerja terbaik.

“Saat ini adalah waktu terbaik untuk fokus merampingkan tim. Jika telah memiliki tim dengan nilai B hingga B+, saat ini kemudian menjadi yang tepat untuk kemudian merekrut talenta dengan nilai A+. Satu orang dengan nilai A+ bisa lebih baik didapatkan dibandingkan dengan menambah tim berjumlah 6 orang dengan nilai B+,” kata Pandu.

Perubahan investasi VC saat tech winter

Menurut Pandu jika startup telah memiliki produk yang tepat dan digunakan oleh orang banyak, maka bisa menciptakan less price sensitive. Untuk itu pastikan produk yang dimiliki telah melalui proses product market fit yang tepat. Mindset ini yang baiknya diterapkan oleh semua entrepeneur.

Sementara itu menurut Director Head of Research Credit Suisse, investor saat ini lebih fokus kepada apakah startup telah memiliki revenue model atau tidak. Mereka juga akan memprioritaskan kepada startup yang bisa merekrut target pengguna mereka dengan tepat dan pada akhirnya harus memiliki strategi monetisasi yang jelas.

Jika sebelumnya proses penggalangan dana terbilang cepat waktunya, namun saat ini ketika sudah mulai banyak investor yang melakukan kalkulasi dan due diligence secara ketat, proses penggalangan dana bisa berjalan lebih lama dari biasanya. Untuk mereka yang saat ini sudah berada di tahapan Seri A ke atas, juga harus melalui proses penyaringan yang ketat. Mulai dari latar belakang pendirinya hingga unit ekonomi yang dimiliki startup.

Untuk ukuran investasi juga bakal mengalami perubahan. Tidak lagi menawarkan jumlah yang besar, saat ini investor mulai mengurangi investasi mereka dengan nilai yang lebih kecil dari biasanya. Salah satu alasan adalah, mulai banyaknya Limited Partner (LP) yang melakukan evaluasi saat proses underwriting dilakukan.

Dilihat dari jumlah investor yang masuk ke Asia Tenggara khususnya Indonesia, negara seperti Tiongkok hingga Korea Selatan juga sudah melirik banyak startup di Asia Tenggara.

Melansir dari DealStreetAsia, saat ini sudah mulai banyak VC asal Tingkok yang mendirikan kantor perwakilan mereka di Singapura. Tujuannya adalah untuk memberikan investasi kepada startup di Asia Tenggara. VC besar asal Tiongkok seperti Shunwei Capital, Source Code Capital dan Plus Capital, dikabarkan telah dalam proses melakukan ekspansi membuka kantor perwakilan mereka di Singapura.

Disinggung seperti apa dinamika IPO startup Indonesia ke depannya, Pandu menegaskan IPO yang dilakukan oleh GoTo merupakan salah satu yang terbilang sukses. Namun untuk mempercepat pertumbuhan startup jika memang bisa dilakukan kolaborasi dengan konglomerasi hingga M&A dengan kompetitor, menjadi lebih ideal dilakukan untuk mendapatkan growth yang positif.

Kondisi politik Indonesia yang akan diwarnai oleh Pemilu tahun 2024 mendatang juga diprediksi akan menunda terjadinya aktivitas investasi di tanah air. Namun saat Pemilu sudah selesai digelar, dipastikan kegiatan tersebut akan kembali berjalan normal. Untuk itu manfaatkan 9 bulan waktu sebelum Pemilu untuk kemudian startup mulai aktif melakukan kegiatan penggalangan dana.

From MCI to BNI Ventures, Eddi Danusaputro’s Continuous Journey to Support the State-Owned’s CVC Scheme

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Indonesia’s investment ecosystem is said to have a tough time, as affected by the “winter season” in the US, where some sources flow the investment money in this country. However, despite the unfortunate facts, we can learn many things from this situation. Eddi Danusaputro agreed on this as a necessary evil, a maturing process for Indonesian startups, which for a long time has had its seasons in the sun.

Recently departed from MCI (Mandiri Capital Indonesia), Eddi Danusaputro has put all in his power to build and nurture the State-Owned Enterprise’s CVC from day one. With limited resources and a small room for experiments, Eddi has led this company to generate 20 investment portfolios. The most recent investment was on Jul 11, 2022, when AgriAku raised $35M. Aside from that, the CVC has had three exits, including the most notable ones, Moka and Jurnal.id.

After dedicating almost 6,5 years of his life to MCI, Eddi is ready to embrace a new journey with another state-owned VC, Bank Negara Indonesia (BNI). Although he is not yet available to discuss much of the new entity’s further plan, he assured to make a good deal of all his previous experiences in the new venture. In addition, he will be fully in charge of the Merah Putih Fund, a fund initiated by the SOE ministry and co-managed by 5 CVCs.

Not long ago, he was appointed as the Chairman of Amvesindo, a venture capital association for Indonesian startups. Aside from the VC life, Eddi is highly passionate about basketball. To date, he’s been involved as the Chairman of Indonesia’s local basketball club, Amartha Hangtuah.

Above are some facts about Eddi Danusaputro. DailySocial has had a chance to hear more about his journey to becoming one of the most successful venture capitalists in the country. Let’s listen to it through the excerpt below.

Let’s start with the early days of your career. How was the journey of becoming a venture capitalist with your economic background?

We usually think we choose our journey, but sometimes it’s the journey that finds us. I graduated in the mid-’90s, and the digital industry was not developed back then. Some options include a state-owned enterprise (SOE), government-related, or Multinational. I chose the last one.

I began in the sales department for FMCG products, P&G. I admit that this experience has sharpened my marketing skills. Whatever you do, whether in sales, marketing, or engineering, at the end of the day, you have to be able to sell. People sell every part of themselves, their ideas, their skills, and their products. Communication sets of skills are essential.

Furthermore, I got a scholarship to Duke University in the US, catching my enthusiasm for the finance industry. I started in New York City with Morgan Stanley, then relocated to Singapore. I lived there for 12 years and finally returned to my home country to help build MCI.

You have experienced different cultures by studying and working in the US, then transferred to Singapore and living there for 12 years. Is there any significant impact on your journey?

Studying abroad has broadened my insight. With students and lecturers from different countries also brought different perspectives. Several trends are set outside the home country. For example, the “dot com” trend started in the US, and I am fortunate to experience it live. It goes along with investment terms, private funds, and so on that rise from the west. People with the privilege to study or work abroad can experience the trend and move back to leverage the movement in their home country.

In Singapore, people tend to be disciplined and punctual. Also, they are usually more individualist in terms of working culture. Colleagues do not necessarily become friends. They’re just in it for the job. Meanwhile, aside from the traffic that challenges time management in Indonesia, we are most likely to be social. Friends are pretty close and easily share contact. In other countries, privacy is precious.

During the journey, you’ve been occupying several positions. Which one do you cherish most?

I have been working in the capital market, where we need to keep an eye 24/7 to monitor the selling and buyout in the exchange. This situation has affected my working hours and communication in general, not mentioning about the time differences and the high volatility. It is pretty different from the dynamics of the startup industry. However, whichever, I should be able to enjoy the process.

How about the challenge after you’ve entered the VC industry?

In the startup industry, we’re investing in people, the founders. We need to build a relationship to know the person, which requires some time. That is one thing. Then, the pandemic came rattling, and some did not make it.

Recently, the startup industry is said to have a winter season. Some of these startups are yet to experience a correction, either topline or valuation. This condition is something they should learn from. Is it going to affect the runway? Should they be worried? What will the investors do? This way, we can finally see the founder’s character and which one will be resilient and survive during the hard times.

You’ve recently departed from Mandiri Capital Indonesia after 6,5 years of building and nurturing the CVC. What can you share about the experience, and where do you plan the next journey?

I was there from day one of MCI. I helped build the system, workflow, and SOP and shaped the company culture. We are not a giant company with massive resources. Therefore, we need to work efficiently. I need most of the team to be generalists and intrigued to know the work of the other groups. Work rotation is necessary. Everyone should learn everything before becoming a specialist.

As a CVC, we also need to take a risk, not to be reckless but calculated risks. It is fair to make mistakes as long as the process has been proper. However, not all decisions turn out to be what we planned. The culture is to know how to make a decision and be responsible.

It has been two terms, and I have officially departed from MCI. However, I’m still being an advisor during the transition to my new position. MCI is a long trip. My next journey is to build a new CVC for Bank Negara Indonesia (BNI). It may look similar to the last journey, but I’ve had my experiences and learned my lessons.

You were recently appointed as the Chairman of Amvesindo, a venture capital association for Indonesian startups. Do you think the industry has already in its ideal situation?

On a general note, the association covers not only the VCs but also startups (which are yet to have an independent association). It also becomes a discussion companion for regulators, bridging the concern of the two parties. It is the core and primary function in this industry.

It is yet to be ideal. However, this is a long journey. The important thing is that communication is way better than before. Startups, VCs, and the government have built an excellent start to walk through this journey.

Aside from the current job, do you have other interests to pursue?

I’m also an angel investor for some companies starting from scratch. Also, I’m currently a Chairman of the Amartha Hangtuah basketball club.
I have a mission for Indonesian basketball clubs can be profitable like the global ones, not just rely on the owner’s pockets. I’ve dreamed of them surviving with sponsorships, ticket merchandise, etc. The club should be self-sustainable.

Furthermore, I intend to improve athletes’ welfare in Indonesia. There are numerous stories about former athletes who live below the poverty line. It might be due to a lack of skills outside of sports or the unawareness of saving and investing. Every payday at the club, I help oversee and encourage them always to plan their expenses and set a pie for investment and savings. It’s solely for their future.

Eventually, I want to boost these clubs’ exposure, hoping they can plot for IPO one day. I wish to take my club to the next level and reach these milestones. Thus, I can wed my two passions, startups and basketball.

As a seasoned entrepreneur, is there anything you want to say to the younger generation who just started their journey?

This thing is essential. Whatever age you are, you must be eager to learn something new. Surround yourself with people who are more intelligent than you. If you walk into a meeting and are the smartest person in the room, you’re in the wrong room. Then, you cannot learn anything new. It includes when we’re in the organization, we must dare to hire people with expertise different from you. At a Director’s level, one must know to recruit people who are a thinker, not only executors.

I experienced several career pivots and must be ready to learn something new. Life is a series of continuous learning. Besides my current career path and basketball venture, I’m also a lecturer at Bina Nusantara University (Binus). Once I had a class of corporate students, and I had fun teaching and learning from them. The key is not to easily satisfied and feels like an expert.

Currently, I’m treasuring new technologies. I called it ABCD (Artificial Intelligence, Blockchain, Cloud Computing, and Database). I took a course in data science and machine learning. It’s my thirst to learn something I am yet to master. Lately, I’ve been interested in crypto meanwhile still focusing on sports management.

What’s your projection on the startup investment industry? Which sectors are resilient enough to get through this storm?

This winter season is a necessary evil. It’s a maturing process for Indonesian startups, which has had its seasons in the sun for a long time. Even though they can pass through the pandemic, now, with the downturn, it is a good thing, something to clear our sight.

All kinds of assets, stocks, commodities, everything has a cycle. Correction is inevitable. Then, the spring will come again. There are several schemes with B2B, B2C, B2B2C, and D2C. The one with the “burn money” strategy mainly lies on B2C. However, this is all going to change. Businesses should be able to outsmart this strategy.

My prediction goes with consolidation. There are so many e-commerce players. Are they all going to survive? I don’t think so. The market will eventually narrow, some will die or fall, and there will be few options. I root for consolidation and M&A in this ecosystem. Startups also need to plan for exits, which could be IPO or other mechanisms.

Hipotesis B Capital Terhadap Ekosistem Startup Asia Tenggara

B Capital, perusahaan investasi multi-tahap global, memandang wilayah Asia Tenggara merupakan salah satu pasar dengan pertumbuhan tercepat karena terdapat populasi muda, wirausaha, dan generasi digital. Indonesia sendiri dinilai sebagai wilayah kunci dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di Asia.

Prospek yang positif dari kawasan ini mendorong B Capital untuk memberikan perhatian lebih, terlihat dari penghimpunan dana kelolaan tahap awal Ascent Fund II senilai $250 juta yang diumumkan pekan lalu (20/7). Alokasi investasi tersebut akan diarahkan untuk pasar Amerika Serikat dan Asia, untuk pendanaan tahap pra-awal hingga Seri A.

Secara terpisah dalam wawancara bersama DailySocial.id, Partner B Capital Karan Mohla mengatakan alokasi dana tersebut akan digunakan untuk melanjutkan dedikasi perusahaan dalam membangun Economy of Future dan fokus mengidentifikasi gelombang inovasi berikutnya di seluruh teknologi SaaS, kesehatan, fintech, logistik, dan sejumlah sektor lain yang sedang berkembang.

Sektor tersebut dilirik potensial tak lain dikarenakan laju digitalisasi telah mengalami percepatan selama beberapa tahun terakhir di seluruh korporasi dan konsumer akhir. Potensi tersebut ditawarkan oleh kawasan Asia Tenggara. Filosofi tersebut, sambungnya, telah menjadi arahan investasi B Capital sejak pertama kali berdiri di 2015 yang fokus pada sektor enterprise, fintech, dan kesehatan, hingga memiliki aset yang dikelola (AUM) senilai lebih dari $6,5 miliar.

“Kami akan terus mencari startup dengan tim dan teknologi luar biasa yang memiliki potensi untuk maju menjadi perusahaan global dan mengubah industri yang sudah mapan. [..] Juga terus dorong startup portofolio kami agar berkembang secara global sesuai dengan visi kami untuk menjadi platform investasi global,” kata Mohla.

Dia melanjutkan, pihaknya tidak memiliki alokasi investasi khusus untuk regional, apalagi Indonesia, karena pihaknya bekerja dari akar rumput untuk bermitra dengan para pendiri startup yang dinamis dan inovatif di kawasan yang menjadi fokus perusahaan. “Kami percaya bahwa Indonesia dan Vietnam adalah dua pusat teknologi dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara dan menawarkan peluang besar.”

Terkait iklim makroekonomi dan tren pengetatan likuiditas, Mohla memastikan bahwa pihaknya memiliki pandangan jangka panjang saat melakukan investasi dan bermitra dengan para pendiri startup. Ia pun mengakui ada ketidakpastian ekonomi makro yang perlu diperhitungkan dalam strategi dan pengambilan keputusan investasi.

Akan tetapi, ada siklus pasar yang sudah diprediksi dan mengacu pada komitmen perusahaan terhadap pasar Indonesia dan Asia Tenggara. ”Kami tetap bersemangat mencari peluang investasi pada pendanaan tahap awal dan terus bermitra dengan para pendiri startup yang inovatif dan tangguh.”

Sebagai catatan, B Capital tercatat memiliki sejumlah portofolio startup di Indonesia. Di antaranya, putaran pendanaan Kopi Kenangan Seri B pada Mei 2020 sebesar $109 juta, pendanaan seri A Ula $20 juta pada Januari 2021, putaran Seri B $53 juta untuk Payfazz pada Juli 2020. Investasi terbaru diberikan untuk Finku sebesari $2,8 juta pada Mei 2022 dan startup social commerce Super untuk putaran Seri C pada Juni 2022 sebesar $70 juta.

Seleksi startup

Mohla melanjutkan misi inti dari B Capital adalah berinvestasi di perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif dengan teknologi yang unggul, proposisi nilai pelanggan yang kuat, dan kemampuan untuk tumbuh cepat ke sektor dan wilayah baru. Oleh karenanya, pihaknya percaya bahwa inovasi tidak memiliki batas.

Perusahaan mencari startup paling menjanjikan di dunia yang memiliki potensi untuk berkembang menjadi perusahaan global, mengubah industri yang sudah mapan, dan akan mendukung mereka sejak pendirian hingga tahap IPO. Aspek founder juga tak luput dari perhatian penting.

Dia bilang, B Capital mencari pendiri dan pemimpin visioner yang mampu menata ulang industri tradisional dengan teknologi yang membantu bisnis agar berkembang di masa depan digital. Ambisi, integritas, dan kemauan untuk terus belajar adalah kualitas dan karakteristik penting yang kami cari dalam diri para pendiri startup.

Pendiri startup yang hebat juga perlu memiliki visi ke mana mereka ingin membawa perusahaan mereka dan memiliki tujuan jangka panjang yang akan berfungsi sebagai fondasi perusahaan. Bagaimana para pendiri startup bisa tetap beradaptasi dengan perkembangan kondisi bisnis dan mengubah strategi mereka sembari tetap fokus pada visi awal.

“Selain itu, kami juga mencari startup dan pengusaha yang selaras dengan nilai-nilai B Capital. Kami mencari pendiri yang menginspirasi, visioner, gigih, rendah hati, terbuka dan inklusif, kolaboratif, serta bersedia mengambil risiko dan belajar dari kegagalan mereka. Yang paling penting, mereka bersedia berinovasi dan mengadvokasi dengan rasa ingin tahu dan kreativitas yang tak terbatas.”

Dia melanjutkan, “Kesuksesan startup bukanlah tentang menjadi yang pertama tapi lebih tentang menjadi yang terbaik, pengetahuan mumpuni dan pengalaman panjang di bidang mereka akan memberikan keuntungan dibandingkan pesaing dan petahana di industri yang sama.”

Dalam mengelola portofolio B Capital yang tersebar secara global, khusus di Asia Tenggara, tim profesional investasinya telah bermitra strategis dengan Boston Consulting Group (BCG). Kesepakatan tersebut memungkinkan pihaknya memberikan perusahaan portofolionya di kawasan ini dengan akses jaringan yang luas dengan pemimpin perusahaan global yang ingin bermitra dengan teknologi yang sedang berkembang. B Capital sendiri memiliki kantor global yang berlokasi di Los Angeles, San Francisco, New York, Singapura, Hong Kong, dan Beijing.

“Mitra strategis kami berasal dari industri spesifik seperti enterprise, perawatan kesehatan, teknologi, dan engineering. Inilah cara kami membawa keahlian lokal dan membantu perusahaan portofolio kami tumbuh.”