HTC Perkenalkan 3 Varian Baru Headset VR Vive Cosmos

Dirilis di bulan Oktober 2019, Vive Cosmos merupakan pembaruan dari versi orisinal head-mounted display HTC. Perangkat ini menawarkan resolusi lebih tinggi dan menjanjikan efek screen-door yang minimal. Beberapa aspek di sana memang tidak berubah, misalnya pemanfaatan refresh rate 90Hz dan sudut pandang 110-derajat. Keunikan lain Cosmos dibanding Vive standar adalah, headset tak memerlukan base station agar bisa bekerja.

Minggu ini, HTC memperkenalkan tiga varian baru Vive Cosmos, terdiri dari Play, XR dan Elite. Pengembangan tiga model anyar ini merupakan upaya mengekspansi konsep Cosmos yang difokuskan pada fleksibilitas pemakaian. Mereka semua mengusung konsep modular, memungkinkan pengguna melepas bagian faceplate (pelat di sisi depan), membubuhkan adaptor wireless, serta membuka kesempatan untuk melakukan upgrade di masa depan.

CEO HTC Yves Maître menjelaskan bahwa mereka sengaja menyediakan pilihan-pilihan ini untuk memenuhi kebutuhan konsumen berbeda – dari mulai pengguna awam yang mulai tertarik dengan VR hingga user kelas bisnis. Apapun versi yang dipilih, tidak ada kompromi terhadap kemampuan headset dalam menyajikan konten, kenyamanan, serta build quality. Menariknya lagi, Vive Cosmos baru tak hanya difokuskan pada VR, tetapi juga cross reality (XR) secara umum.

Cosmos 1

Play ialah model entry-level, opsi paling terjangkau di antara empat tipe Vive Cosmos. Headset dilengkapi empat kamera untuk menunjang sistem pelacakan inside-out (Cosmos standar punya enam kamera), kembali mengusung desain flip-up (jadi mudah dikenakan sendiri), dan memanfaatkan panel LCD jenis baru dengan pixel yang lebih padat serta menyuguhkan resolusi total 2880x1700p. Setup layar ini diterapkan ke seluruh versi Cosmos.

Cosmos XR

Elite ialah headset Cosmos paling high-end – tampaknya disiapkan buat menyaingi Valve Index. Varian ini dibundel secara lengkap: ditunjang External Tracking Faceplate, dua unit SteamVR base station dan sepasang Vive controller. Ia juga mendukung Vive Tracker serta Wireless Adapter sehingga pengalaman menikmati konten VR tak lagi terikat di satu tempat. HTC menyampaikan, Cosmos Elite dirancang untuk menangani game-game yang menuntut keakuratan seperti Pistol Whip dan Superhot.

Sedikit berbeda dari saudara-saudaranya, perancangan Cosmos XR lebih diarahkan ke segmen mixed reality, ala Microsoft HoloLens. Berbekal dua kamera pass-through, XR bisa berperan jadi perangkat VR dengan field-of-view 100-derajat serta mampu mengintegrasikan konten virtual dan dunia nyata (via Vive Sync). XR rencananya akan mulai didistribusikan di kuartal dua 2020 sebagai developer kit. HTC berjanji buat menyingkap detail lebih jauh mengenai XR di ajang GDC tahun ini.

Di antara tiga headset baru tersebut, Cosmos Elite dijadwalkan buat meluncur lebih dulu di triwulan pertama 2020, dijajakan seharga US$ 900. External Tracking Faceplate akan dijual secara terpisah mulai kuartal kedua nanti, dibanderol US$ 200. Aksesori ini kompatibel dengan Vive Cosmos (US$ 700) serta Cosmos Play.

Via Eurogamer.

Bremble Furniture Arrives in Indonesia, to Provide Augmented Reality Based Product Browsing

Was founded in 1991, Bramble Furniture officially expands to Indonesia. The US-based furniture company has placed a fabrication center in Indonesia. For better customer experience, a new showroom was built in Jakarta. However, something’s unique with its debut in the local market, in order to improve the customer experience for product awareness, the company developed an Augmented Reality (AR) based app.

Using a combination of showroom and technology, it’s expected to help customers to directly see the products. Bramble has also formed a local team in Indonesia to help market penetration.

Bramble Furniture’s Director, Jeremiah Bramble said Indonesia is an ideal market for the company. Not only focus on B2B but Bramble is currently targeting middle to upper-class consumers with lists of luxury design products available online and offline.

“Despite providing definite benefits, the B2B market makes it difficult for us to build direct relationships with customers. With the launch of the showroom and the AR-based technology in the platform, it is expected to increase the number of new customers,” he added.

AR technology implementation

Bremble furniture
Bramble furniture

In the app development, Bramble collaborates with Ars.App. In particular, Ars.App helps brand and designers to share interactive content digitally through AR. Using the developed app, users can directly see the designed furniture in detail.

“Only by downloading the Ars.App application on PlayStore, users can directly select all Bramble furniture products. This method is to facilitate customers with easy transaction while enjoying a unique experience when purchasing products online,” Ars.App’s Co-Founder, Jonathan Aditya said.

Every digitalized product in 3D format by Ars.App always based on Bramble data on customer’s interest obtained from their activities in the e-commerce platform.

“Currently, not only millennials capable of using kinds of technology like AR but common people are also using it. It certainly makes it easier for us to promote this feature to customers to facilitate them for purchasing by virtually see the products in its original form,” Aditya said.

In addition to the AR technology, Bramble and Ars.App will collaborate to implement Virtual Reality (VR) technology into the platform. In the development process, VR technology is expected to help customers while providing opportunities for companies to collect relevant data also acquiring new customers using technology.

“In the future, I can see the AR and VR technology not only through smartphones but also through glasses or smart contact lenses in which currently being developed in the United States,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Half-Life: Alyx Bantu Dongkrak Penjualan Headset VR Valve Index

Sempat berkolaborasi dengan HTC dalam penggarapan Vive serta mengukuhkan pijakannya di ranah virtual reality lewat pengembangan SteamVR, Valve kian percaya diri untuk meramu headset VR-nya sendiri. Index diumumkan di bulan April 2018 lalu mulai dipasarkan tak lama setelahnya. Selain spesifikasi yang lebih canggih dibanding perangkat sekelas, Index menjanjikan sistem kendali intuitif lewat Knuckles Controllers.

Melengkapi upaya Valve berkiprah di segmen VR, sang pemilik Steam itu akhirnya mengumumkan kelanjutan dari seri Half-Life sesudah keheningan selama 12 tahun. Meski demikian, Half-Life: Alyx bukanlah game biasa. Untuk bisa menikmatinya, kita diharuskan mempunyai headset virtual reality. Ada cukup banyak gamer yang kecewa dengan arahan ini, namun langkah tersebut terbukti tepat. Menyusul dibukanya gerbang pre-order Alyx, penjualan Index juga terdongkrak naik.

Berdasarkan data terkini dari firma analis SuperData, permintaan terhadap Index melonjak dua kali lipat lebih di kuartal keempat 2019 dibanding triwulan sebelumnya. Valve berhasil menjual 103 ribu unit Index di antara bulan Oktober sampai Desember, dan kini total penjualan headset di 2019 mencapai 149 ribu. Hal ini sangat menarik karena Index bisa dibilang merupakan produk premium – satu setnya dibanderol US$ 1.000.

Angka penjualan sebetulnya berpotensi melambung lebih tinggi lagi seandainya tidak ada kendala pada persediaan unit. Info Road to VR mengungkapkan bahwa produk tersebut terjual habis di mana-mana per tanggal 15 Januari 2020. Saat ini laman Index di Steam masih menunjukkan status ‘kehabisan stok’. Anda yang benar-benar menginginkannya diminta memasukkan email agar Valve bisa mengabarkan langsung jika unit telah kembali tersedia.

Selain Index, SuperData juga menyingkap penjualan HMD virtual reality lain di periode kuartal empat 2019. PlayStation VR terlihat masih memimpin di depan, tentu saja berkat ketiadaan ‘daftar kebutuhan hardware‘. Headset bisa langsung bekerja begitu disambungkan ke PlayStation 4. Posisi kedua ditempati oleh HMD virtual reality standalone Oculus Quest. Uniknya lagi, penjualan Index lebih tinggi dari Rift S, lalu Vive sendiri tidak muncul di daftar lima besar.

Top VR headsets.

Kabar gembiranya, Half-Life: Alyx bukanlah game yang dieksklusifkan untuk Valve Index. Pemilik HTC Vive, Oculus Rift dan Quest, serta headset Windows Mixed Reality juga dipersilakan menikmatinya. Tapi khusus buat pengguna Index, Alyx bisa diperoleh secara gratis. Di Indonesia, game dijual seharga Rp 225 ribu dan dijadwalkan meluncur di bulan Maret 2020 besok.

Masih ada satu hal yang membuat saya penasaran. Ketika Half-Life: Alyx baru disingkap, Valve bilang bahwa salah satu alasan mengapa game disajikan via virtual reality adalah karena pemanfaatan sistem kendali berbasis motion dalam pertempuran, eksplorasi serta menyelesaikan puzzle. Apakah itu artinya gamer wajib memiliki aksesori Knuckles atau sejenisnya, atau adakah solusi lainnya?

Via Eurogamer.

Hadir di Indonesia, Bramble Furniture Sajikan Pengalaman Menjelajah Produk Lewat Augmented Reality

Berdiri sejak tahun 1991, Bramble Furniture resmi ekspansi ke Indonesia. Perusahaan furnitur asal Amerika Tersebut kini juga miliki pusat fabrikasi di Indonesia. Demi mendekatkan diri dengan konsumen, sebuah showroom juga baru diresmikan di Jakarta. Namun ada yang unik dengan debutnya di pasar lokal, untuk berikan pengalaman lebih dalam pengenalan produk, mereka kembangkan aplikasi berteknologi Augmented Reality (AR).

Dengan gabungan showroom dan teknologi yang dimiliki, harapannya bisa membantu pelanggan untuk melihat langsung produk yang dimiliki. Bramble juga sudah bentuk tim lokal di Indonesia untuk penetrasi pasar.

Menurut Director Bramble Furniture Jeremiah Bramble, Indonesia menjadi pasar yang sangat ideal untuk perusahaannya. Tidak hanya fokus untuk B2B, kini Bramble turut menyasar segmentasi konsumen menengah ke atas dengan pilihan produk berdesain mewah, dapat dipesan secara online dan offline.

“Meskipun memberikan keuntungan yang pasti, pasar B2B menyulitkan bagi kami untuk membina relasi yang langsung kepada pelanggan. Dengan diresmikannya showroom dan penerapan teknologi AR dalam platform, diharapkan bisa menambah jumlah pelanggan baru,” kata Jeremiah.

Penerapan teknologi AR

Demonstrasi teknologi AR dalam smartphone

Dalam pengembangan aplikasi, Bramble menggandeng Ars.App. Secara khusus Ars.App membantu brand maupun para desainer untuk berbagi konten interaktif secara digital melalui AR. Melalui aplikasi yang dikembangkan, pengguna bisa melihat secara langsung desain (furnitur) yang ingin dibeli secara mendetail.

“Hanya dengan mengunduh aplikasi Ars.App di PlayStore, pengguna bisa langsung memilih semua produk furnitur Bramble. Cara ini tentunya memudahkan pelanggan untuk mengambil keputusan sekaligus menikmati pengalaman unik saat melakukan pembelian produk secara online,” kata Co-Founder Ars.App Jonathan Aditya.

Setiap produk yang didigitalisasi dalam bentuk 3D oleh Ars.App selalu dilandasi data dari Bramble yang didapat dari ketertarikan pelanggan yang direkam melalui aktivitas di situs e-commerce.

“Saat ini bukan hanya kalangan milenial yang sudah terbiasa menggunakan teknologi seperti AR, tapi masyarakat umum pun sudah mulai terbiasa menggunakan. Hal ini tentunya memudahkan kami untuk mempromosikan fitur ini kepada pelanggan agar mempermudah mereka melakukan pembelian dengan melihat langsung produk tersebut secara virtual dalam bentuk aslinya,” kata Jonathan.

Selain teknologi AR, rencana ke depannya Bramble dan Ars.App juga akan menerapkan teknologi Virtual Reality (VR) ke dalam platform. Masih dalam proses pengembangan, harapannya teknologi VR bisa membantu pelanggan sekaligus memberikan kesempatan untuk perusahaan mengumpulkan data yang relevan sekaligus mengakuisisi pelanggan baru memanfaatkan teknologi.

“Ke depannya saya lihat bukan hanya teknologi AR dan VR melalui smartphone saja, namun juga melalui kaca mata atau softlens pintar yang saat ini sudah mulai dikembangkan di Amerika Serikat,” kata Jonathan.

Application Information Will Show Up Here

Jelang Perilisan Half-Life: Alyx, Seri Game Half-Life Digratiskan Sementara

Pengumuman Half-Life: Alyx dilakukan ketika gamer terlena dan tidak menyangka Valve akan memberi kesempatan lagi untuk kembali ke jagat Half-Life 12 tahun sesudah Half-Life 2: Episode Two dirilis. Namun Alyx bukanlah game biasa. Kontennya disajikan secara eksklusif lewat perangkat virtual reality namun tetap menjanjikan pengalaman gaming blockbuster dengan dunia permainan yang ekspansif dan siap dieksplorasi.

Setelah digarap secara rahasia selama bertahun-tahun, Half-Life: Alyx akhirnya siap buat meluncur di kuartal pertama tahun 2020. Dan bermaksud untuk menyegarkan kembali memori Anda terhadap petualangan (dan perjuangan membebaskan Bumi dari alien) yang dilakukan oleh tokoh protagonis Gordon Freeman, Valve secara sementara menggratiskan permainan-permainan Half-Life sebelumnya hingga saat Half-Life: Alyx dilepas nanti.

Game yang dapat Anda nikmati secara cuma-cuma terdiri dari Half-Life (versi engine Source tahun 2004), Half-Life 2 (2004), Episode One (2006), dan Episode Two (2007); plus sejumlah expansion pack: Opposing Force dan Blue Shift. Semuanya dapat diakses tanpa perlu membayar selama kurang lebih dua bulan. Itu artinya selain cocok buat menyegarkan ingatan gamer veteran, program ini bisa jadi kesempatan bagi para pendatang baru untuk mendalami dan memahami dunia Half-Life.

Sayangnya, Valve tidak menyertakan Black Mesa di program ini. Alasannya mungkin karena bukan mereka yang mengembangkannya. Black Mesa adalah remake Half-Life pertama yang dikerjakan oleh pihak ketiga. Developer-nya, Crowbar Collective, merekonstruksi hampir seluruh aset permainan serta menambahkan skenario baru, memastikan konten, visual dan penyajiannya sekelas dengan game-game shooter modern.

Lewat Steam, Valve menyampaikan, “Half-Life: Alyx mengusung latar belakang sebelum Half-Life 2 dan episode-episode setelahnya. Developer berkeyakinan bahwa permainan baru dapat dinikmati secara maksimal jika kita sudah memainkan game-game sebelumnya, terutama Half-Life 2 serta dua episode penerusnya. Untuk itu, kami ingin membuat akses [ke semesta Half-Life] lebih mudah bagi pemain.”

Half-Life: Alyx membutuhkan headset virtual reality agar dapat dimainkan. Kabar baiknya, tidak ada pembatasan model HMD. Game siap mendukung HTC Vive, Oculus Rift, Oculus Quest, perangkat Windows Mixed Reality, serta produk buatan Valve sendiri, Index. Alyx rencananya akan dilepas di bulan Maret 2020, disuguhkan sebagai ‘full game‘ dan dibanderol seharga US$ 54 dengan penyesuaian di kawasan tertentu, termasuk Indonesia.

Sedikit catatan: khusus bagi pemilik Valve Index, Half-Life: Alyx akan diberikan secara gratis. Valve juga sudah menyiapkan sejumlah bonus menarik lain seperti SteamVR Home dan konten Counter-Strike: Go bertema Half-Life, serta skin senjata alternatif.

Via The Verge, sumber: Steam.

Panasonic Pamerkan VR Headset Berwujud Seperti Kacamata Biasa

VR headset tidak selamanya harus berwujud seperti sekarang. Di CES 2020, Panasonic mendemonstrasikan bahwa VR headset juga bisa lebih menyerupai kacamata biasa ketimbang ski goggles.

Seperti yang bisa kita lihat, bentuk prototipe VR glasses bikinan Panasonic ini mirip kacamata bergaya aviator, lengkap dengan sentuhan desain steampunk yang membuatnya pantas menjadi salah satu properti film Sherlock Holmes. Namun yang Panasonic kejar bukan cuma menyangkut nilai estetika saja, melainkan juga aspek kenyamanan dan fungsionalitas.

Di saat mayoritas VR headset mengandalkan strap yang mengikat kepala, perangkat ini cukup dipakai layaknya kacamata tradisional. Namun yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kualitas display-nya? Apakah bentuk yang tidak umum ini bisa berpengaruh buruk pada visual yang ditampilkan?

Panasonic VR glasses

Nyatanya tidak demikian. Perangkat ini mengandalkan panel micro OLED beresolusi UHD (3840 x 2160 pixel) hasil kerja sama antara Panasonic dan Kopin. Berkat resolusi yang amat tinggi, efek screen door yang selama ini umum menjangkiti VR headset pun dapat dieliminasi. Lebih lanjut, display-nya juga siap menampilkan konten dalam format HDR yang kaya warna.

Meski terdengar mengesankan, display-nya bukanlah tanpa kekurangan. The Verge yang sempat mencobanya langsung melaporkan bahwa viewing angle-nya lebih sempit ketimbang VR headset tradisional. Juga belum sempurna adalah distribusi beratnya, sehingga perangkat mudah melorot ke arah hidung.

Panasonic VR glasses

Dalam merancang VR glasses ini, Panasonic tak lupa membubuhkan teknologi unggulan dari sejumlah produknya. Di sektor audio, ada desain akustik yang selama ini diterapkan pada lini earphone Technics. Desain optik yang digunakan pada lini kamera Lumix, tidak ketinggalan juga teknologi signal processing milik TV dan Blu-ray player Panasonic, turut berkontribusi melahirkan perangkat ini.

Pertanyaan yang terakhir, kapan perangkat ini berlanjut ke produksi massal? Panasonic enggan menjawabnya, namun kecil kemungkinan Panasonic bakal memproduksinya sebagai perangkat yang bisa dibeli konsumen umum. Mereka lebih tertarik mengeksplorasi pengaplikasiannya dalam konteks komersial, semisal pada Olimpiade Tokyo di pertengahan tahun nanti.

Sumber: The Verge dan Panasonic.

Fitur Fixed Foveated Rendering di Oculus Quest Kini Dapat Aktif Saat Dibutuhkan Saja

Foveated rendering, teknik ini pada dasarnya merupakan salah satu alasan mengapa standalone VR headset macam Oculus Quest dapat menyuguhkan visual secara mulus. Tanpa teknik ini, perangkat bakal kesulitan menjaga frame rate tetap konsisten.

Dari kacamata sederhana, foveated rendering pada dasarnya memungkinkan display perangkat untuk menampilkan kualitas gambar yang paling maksimal pada sebagian area saja, menyesuaikan dengan arah mata pengguna memandang. Area sisanya akan menampilkan grafik dalam resolusi yang jauh lebih rendah, yang pada akhirnya berujung pada peningkatan performa secara signifikan.

Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight
Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight

Yang menjadi masalah adalah, foveated rendering pada Oculus Quest bersifat fixed, yang berarti cara kerjanya tidak melibatkan sistem eye tracking dan hanya terpusat pada satu titik area di tengah saja. Ditambah lagi, fixed foveated rendering (FFR) pada Oculus Quest akan selalu aktif setiap saat, tidak peduli apakah game-nya benar-benar haus resource atau tidak.

Untuk game yang berat, konsumen mungkin akan lebih memilih performa yang mulus ketimbang memaksakan visual yang bagus tapi frame rate-nya naik-turun. Lain ceritanya kalau game hanya sedang menampilkan cutscene dan sedang tidak ‘menyiksa’ GPU, di sini fitur FFR jelas akan terkesan mengganggu mengingat ada bagian cutscene (bagian di luar area tengah) yang tampak blur.

Singkat cerita, akan lebih ideal seandainya FFR bisa diaktifkan hanya saat diperlukan saja, dan inilah alasan di balik keputusan Oculus untuk menghadirkan fitur dynamic fixed foveated rendering pada Oculus Quest. Kata “dynamic” di sini merujuk pada kemampuannya untuk aktif atau nonaktif tergantung kebutuhan.

Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games
Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games

Jadi seandainya sedang bermain game dan masuk ke level yang tidak menyajikan banyak detail, atau sedang menampilkan cutscene sehingga tidak memerlukan kinerja GPU yang maksimal, FFR pun bisa dinonaktifkan. Sebaliknya, saat berpindah ke level yang lebih mendetail, FFR bisa diaktifkan supaya frame rate tetap konsisten.

Fitur ini tentunya memerlukan campur tangan developer agar bisa terwujud. Mereka harus meng-update game bikinannya terlebih dulu agar bisa memanfaatkan teknik ini. Buat konsumen, kehadiran dynamic FFR berarti mereka tidak harus selamanya mengorbankan kualitas visual dan dapat menikmati cutscene sebagaimana mestinya.

Sumber: VentureBeat.

Semakin Adiktif, Angry Birds VR Kini Dilengkapi Fitur Level Builder

Angry Birds VR: Isle of Pigs yang dirilis bulan Februari lalu menawarkan pengalaman bermain yang lebih immersive dari salah satu game mobile paling legendaris. Kendati demikian, konten yang terdapat di dalamnya (mode gameplay, jumlah level, dan lain sebagainya) tergolong terbatas jika dibandingkan dengan versi aslinya.

Pada hari H peluncurannya, developer Resolution Games sudah menjanjikan sejumlah update konten ke depannya, dan yang paling signifikan baru saja hadir. Update terbaru ini mendatangkan fitur bernama Level Builder, yang memungkinkan para pemain untuk menciptakan sendiri ‘medan perang’ antara tim burung dan tim babi.

Angry Birds VR Level Builder

VR sebagai medium kreasi bukanlah barang baru, dan konsep ini diterjemahkan dengan baik pada Angry Birds VR. Pemain bakal dihadapkan dengan meja yang bisa diputar-putar, dan di atas meja inilah mereka dibebaskan untuk berkreasi. Mulai dari balok kayu, balok es, sampai kotak berisi bahan peledak (TNT), semuanya bisa dipakai untuk membangun struktur-struktur yang unik.

Selesai membangun, saatnya menempatkan musuh untuk nantinya dijatuhkan dari bangunan tersebut. Jenis babi yang bisa dipilih cukup beragam, termasuk halnya boss pig yang sempat pemain jumpai di mode campaign-nya. Jenis burung yang bisa digunakan sebagai amunisi pun bebas pemain tentukan sendiri, demikian pula posisi titik teleportasi jika ada.

Angry Birds VR Level Builder

Untuk sekarang, custom level yang sudah dibuat baru bisa dinikmati sendiri-sendiri. Namun mulai tahun depan, Resolution Games berencana menghadirkan fitur online sharing sehingga para pemain bisa saling berbagi kreasinya masing-masing.

Franchise Angry Birds merayakan ulang tahunnya yang ke-10 belum lama ini, dan siapa yang menyangka dalam satu dasawarsa kita sudah bisa menikmati permainan ini di medium yang baru, sekaligus menciptakan sendiri level demi level-nya.

Sumber: VR Focus dan Resolution Games.

Oculus Quest Segera Kedatangan Fitur Hand Tracking Tanpa Controller

Visual bukanlah satu-satunya aspek esensial dalam bidang virtual reality. Kontrol pun juga tidak kalah penting. Semakin bagus input kontrol yang ditawarkan, semakin immersive pengalaman yang didapat konsumen, dan sensasi immersive selama ini selalu menjadi tolok ukur utama keberhasilan suatu perangkat VR.

Dewasa ini, VR headset yang dibekali inside-out tracking macam Oculus Quest sudah tergolong oke perihal kontrol. Menggunakan controller Oculus Touch, pergerakan tangan pengguna sudah dapat dilacak secara cukup akurat tanpa mengandalkan satu pun sensor atau kamera eksternal.

Progress selanjutnya adalah mewujudkan semua itu tanpa harus melibatkan controller. Kabar baiknya, fitur hand tracking tanpa controller ini bakal segera mendarat di Oculus Quest dalam waktu dekat. Cukup mengejutkan mengingat rencana Oculus sebelumnya adalah merilis fitur tersebut tahun depan.

Perlu dicatat, hand tracking masih dikategorikan sebagai fitur eksperimental di software update v12 untuk Quest. Jumlah aplikasi yang mendukung pun belum banyak, baru beberapa aplikasi bawaan seperti Oculus Browser, Oculus TV maupun Oculus Store. SDK (software development kit) untuk para pengembang aplikasi pihak ketiga baru akan dirilis minggu depan.

Sebelum ini Facebook pernah menjelaskan bahwa kemajuan dalam hal hand tracking ini bisa dicapai berkat sejumlah teknik baru deep learning dan model-based tracking. Selain lebih praktis ketimbang harus menggunakan controller, sistem baru ini juga dapat melacak pergerakan jari-jari pengguna secara lebih presisi dan realistis.

Salah satu hal yang membuat video trailer Half Life: Alyx menurut saya adalah pergerakan tangan dan jari-jari pemain yang kelihatan begitu realistis di layar. Facebook dan Oculus sepertinya ingin mencuri start dari Valve soal ini. Juga penting adalah harapan bahwa hand tracking bisa mendemokratisasikan VR secara lebih baik lagi mengingat konsumen tidak diwajibkan lagi untuk mempelajari cara menggunakan controller.

Sumber: The Verge dan Oculus.

Qualcomm Luncurkan Dua Prosesor Laptop Baru Beserta Chipset 5G untuk AR dan VR Headset

Setahun setelah Qualcomm merilis prosesor laptop-nya, Snapdragon 8cx, populasi laptop always-on bisa dibilang masih sangat kecil. Hal ini cukup wajar mengingat prosesor tersebut memang ditargetkan untuk kategori high-end, dan perangkat yang mengusungnya, macam Samsung Galaxy Book S, tidak bisa dikategorikan terjangkau.

Supaya laptop always-on bisa menjadi mainstream, penawarannya tidak bisa di kategori premium saja. Untuk itu, Qualcomm pun telah menyiapkan sepasang prosesor laptop baru, yakni Snapdragon 8c dan 7c. Keduanya bukanlah pengganti 8cx, melainkan ditujukan untuk perangkat di kelas yang lebih rendah.

Kendati demikian, Qualcomm mengklaim performanya masih cukup mumpuni. Snapdragon 8c misalnya, menjanjikan peningkatan kinerja hingga sebesar 30% jika dibandingkan dengan Snapdragon 850, yang tidak lain merupakan prosesor laptop pertama Qualcomm. Sebagai pembanding, Snapdragon 8cx menjanjikan performa dua kali lebih kencang ketimbang Snapdragon 850.

Kunci dari prinsip always-on adalah sambungan konstan ke jaringan LTE, dan ini diwujudkan lewat modem Snapdragon X24 yang terintegrasi pada Snapdragon 8c. Juga penting adalah AI Engine untuk mendongkrak kinerja fitur-fitur berbasis machine learning secara signifikan, hingga enam triliun pengoperasian per detik kata Qualcomm.

Di bawahnya lagi, ada Snapdragon 7c yang mengemas CPU octa-core Kryo 468 dan GPU Adreno 618. Qualcomm mengklaim prosesor ini dapat memberikan peningkatan performa sampai 25% kalau dibandingkan dengan chip yang sekelas. Di saat yang sama, daya tahan baterai perangkat bisa dinaikkan sampai dua kali lipat, dan tentu saja juga sudah ada modem LTE beserta AI Engine terintegrasi di sini.

Snapdragon 8cx sendiri tidak akan ke mana-mana. Qualcomm sekarang justru menawarkan varian 8cx yang dikhususkan untuk pasar enterprise, lengkap dengan optimasi dan integrasi yang dibutuhkan dari segi keamanan.

Snapdragon XR2

Konsep perangkat yang ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon XR2 / Qualcomm
Konsep perangkat yang ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon XR2 / Qualcomm

Akhir tahun 2019 juga menjadi saksi atas kelahiran Snapdragon XR2, yang diklaim sebagai chipset 5G pertama untuk platform extended reality (XR). Singkat cerita, selain menghadirkan konektivitas generasi terbaru, XR2 juga dirancang untuk menggenjot performa sekaligus fungsionalitas AR headset maupun VR headset secara dramatis.

Dibandingkan chipset generasi sebelumnya, XR2 disebut menawarkan kinerja CPU dan GPU dua kali lebih kencang. Dari segi visual, chip ini sanggup mengakomodasi display dengan resolusi 3K x 3K 90 fps per mata. Selain itu, video 360 derajat beresolusi 8K 60 fps pun juga siap ia putar dengan lancar.

Perihal fungsionalitas, XR2 mampu mengakomodasi sistem tracking pada perangkat hingga yang mengandalkan tujuh kamera sekaligus. Interaksi pengguna dengan dunia virtual juga dipastikan berlangsung mulus berkat prosesor khusus yang didedikasikan untuk teknologi computer vision, sehingga rekonstruksi 3D pun jadi lebih efisien.

AR dan VR memang sudah tidak terlalu meledak hype-nya belakangan ini. Kita lihat saja apakah XR2 dapat ‘menyelamatkannya’ dari keterpurukan.

Sumber: Qualcomm 1, 2.