Alasan Mengapa Half-Life: Alyx Hanya Disajikan Lewat VR

Menjelang peluncuran Half-Life: Alyx yang jatuh di minggu keempat bulan ini, Valve memublikasikan tiga buah video gameplay baru sembari mendemonstrasikan sejumlah opsi sistem navigasi. Semuanya terlihat kian menjanjikan, tapi keharusan untuk menikmatinya menggunakan perangkat VR sejujurnya memberatkan banyak orang. Padahal bagi studio sebesar Valve, seharusnya tak sulit buat menerjemahkan gameplay berbasis VR ke shooter tradisional.

Lalu mengapa Valve bersikeras untuk menghidangkan Half-Life: Alyx secara eksklusif lewat VR? Apakah langkah ini merupakan upaya mempromosikan Valve Index? Bisa jadi. Penjelasan lebih lengkapnya diungkap oleh Robin Walker dari Valve pada GameInformer dalam wawancara belum lama ini. Singkatnya: Alyx dari awal memang dibangun buat diakses via virtual reality.

IMG_06032020_103351_(1000_x_650_pixel)

Sejak dulu, Valve memang tidak malu-malu menunjukkan ketertarikannya pada VR. Developer sempat membantu HTC dalam menyajikan Vive lewat pengembangan SteamVR, dan pada akhirnya, Valve meluncurkan headset virtual reality mereka sendiri: Index. Anda mungkin juga tahu, begitu HTC Vive mulai dipasarkan, Valve telah menggarap The Lab sebagai upaya memahami VR lebih jauh. Respons pemain terhadap The Lab terbukti positif dan banyak dari mereka yang menginginkan ‘pengalaman gaming AAA’.

IMG_06032020_103402_(1000_x_650_pixel)

Versi purwarupa Half-Life: Alyx pada dasarnya adalah hasil porting Half-Life 2 ke VR. Menurut Valve, ini merupakan cara terbaik untuk mengeksplorasi aspek teknis permainan. Namun developer juga terkejut melihat naturalnya mekanisme Half-Life 2 ketika dinikmati melalui virtual reality, bahkan sebelum mereka mengutak-utik sisi teknis dan melakukan integrasi lebih jauh. VR menyadarkan Valve ada begitu banyak ide yang bisa digarap. Dari sana, dimulailah pengerjaan Half-Life: Alyx.

IMG_06032020_103338_(1000_x_650_pixel)

Meski secara dasar desain Half-Alyx: Alyx berkiblat pada first-person shooter, VR membuat pengalaman bermain jadi lebih unik. Di FPS tradisional, bidikan senjata terkunci pada kamera; sedangkan di virtual reality, kita bisa mengarahkan pistol secara leluasa – seperti di dunia nyata. Selain itu, sensasi membidik senjata secara fisik juga sangat berbeda dari menggunakan keyboard dan mouse.

IMG_06032020_103315_(1000_x_650_pixel)

Berpedoman pada hal ini, Valve kemudian mulai menggodok mekanisme permainan secara lebih luas, termasuk desain level, tempo, skenario pertempuran, hingga menentukan frekuensi pemberian amunisi. Para pemain Half-Life veteran mungkin akan segera merasa familier dengan apa yang Alyx sajikan, namun virtual reality menghidangkan pengalaman berbeda karena ada banyak elemen gameplay baru di sana.

IMG_06032020_103806_(1000_x_650_pixel)

Walaupun digarap sebagai prekuel dari Half-Life 2, narasi Alyx dirancang untuk memperluas jagat Half-Life. Walker bahkan menyarankan kita bermain hingga Episode 2 sebelum memulai petualangan di game anyar ini buat menyegarkan kembali ingatan – terutama terhadap detail-detail kecil.

Kabar baiknya, Robin Walker dan kawan-kawan juga berharap agar Alyx bukanlah proyek Half-Life terakhir yang mereka kerjakan. Beberapa anggota tim sempat berpartisipasi dalam mengembangkan game pertamanya, dan mereka ingin agar seri ini terus berlanjut. Itu berarti, masih ada peluang bagi kita untuk berjumpa dengan Half-Life 3.

Half-Life: Alyx sendiri siap meluncur di tanggal 23 Maret.

HTC Tunjukkan Visi Mereka Akan Extended Reality Lewat Headset Project Proton

HTC menyingkap tiga varian baru Vive Cosmos. Dalam kesempatan yang sama, mereka juga mengungkap visinya akan VR headset generasi mendatang. Gambar di atas adalah Project Proton, prototipe XR glasses yang tengah HTC kembangkan.

XR? Ya, cross reality atau extended reality tampaknya bakal menjadi fokus HTC kali ini. Jadi selain menyajikan realitas buatan (virtual), perangkat juga dirancang untuk menyuguhkan realitas tertambah (augmented). Sepasang lingkaran di depan itu adalah kamera, tapi belum jelas apakah gunanya untuk mewujudkan inside-out tracking (VR) atau sebagai passthrough view (AR).

HTC Project Proton

Bentuk Proton juga sangat berbeda dari keluarga besar Vive. Wujudnya mengingatkan saya pada Magic Leap dan Panasonic VR Glasses. Pada kenyataannya, HTC memang merancang Proton supaya lebih terasa seperti kacamata ketimbang headset.

Sejauh ini Proton terdiri dari dua model yang berbeda. Model yang pertama adalah yang bertipe all-in-one, dengan semua unit pemrosesan yang diposisikan ke bagian belakang strap. Dengan demikian, bagian depannya bisa jadi lebih ramping, namun distribusi bobotnya tetap seimbang berkat modul belakangnya.

HTC Project Proton

Model yang kedua malah lebih mirip lagi dengan kacamata biasa, sebab sepasang tangkainya tidak sampai mengitari seluruh kepala. Berhubung tidak punya unit pemrosesan sendiri, model ini harus mengandalkan bantuan perangkat lain, seperti smartphone misalnya. Juga absen di sini adalah sepasang headphone seperti yang terpasang pada strap model yang pertama.

Berhubung Proton masih berstatus eksperimental, HTC belum membeberkan banyak detail. Namun buat yang penasaran apa rahasia di balik wujud ringkasnya, HTC bakal menjawab “microdisplay“. Kekurangan microdisplay sejauh ini adalah viewing angle yang lebih sempit, dan kendala yang sama juga bisa kita jumpai pada prototipe Panasonic VR Glasses itu tadi, yang sendirinya mengandalkan panel micro OLED.

Sumber: Engadget dan Input.

HTC Perkenalkan 3 Varian Baru Headset VR Vive Cosmos

Dirilis di bulan Oktober 2019, Vive Cosmos merupakan pembaruan dari versi orisinal head-mounted display HTC. Perangkat ini menawarkan resolusi lebih tinggi dan menjanjikan efek screen-door yang minimal. Beberapa aspek di sana memang tidak berubah, misalnya pemanfaatan refresh rate 90Hz dan sudut pandang 110-derajat. Keunikan lain Cosmos dibanding Vive standar adalah, headset tak memerlukan base station agar bisa bekerja.

Minggu ini, HTC memperkenalkan tiga varian baru Vive Cosmos, terdiri dari Play, XR dan Elite. Pengembangan tiga model anyar ini merupakan upaya mengekspansi konsep Cosmos yang difokuskan pada fleksibilitas pemakaian. Mereka semua mengusung konsep modular, memungkinkan pengguna melepas bagian faceplate (pelat di sisi depan), membubuhkan adaptor wireless, serta membuka kesempatan untuk melakukan upgrade di masa depan.

CEO HTC Yves Maître menjelaskan bahwa mereka sengaja menyediakan pilihan-pilihan ini untuk memenuhi kebutuhan konsumen berbeda – dari mulai pengguna awam yang mulai tertarik dengan VR hingga user kelas bisnis. Apapun versi yang dipilih, tidak ada kompromi terhadap kemampuan headset dalam menyajikan konten, kenyamanan, serta build quality. Menariknya lagi, Vive Cosmos baru tak hanya difokuskan pada VR, tetapi juga cross reality (XR) secara umum.

Cosmos 1

Play ialah model entry-level, opsi paling terjangkau di antara empat tipe Vive Cosmos. Headset dilengkapi empat kamera untuk menunjang sistem pelacakan inside-out (Cosmos standar punya enam kamera), kembali mengusung desain flip-up (jadi mudah dikenakan sendiri), dan memanfaatkan panel LCD jenis baru dengan pixel yang lebih padat serta menyuguhkan resolusi total 2880x1700p. Setup layar ini diterapkan ke seluruh versi Cosmos.

Cosmos XR

Elite ialah headset Cosmos paling high-end – tampaknya disiapkan buat menyaingi Valve Index. Varian ini dibundel secara lengkap: ditunjang External Tracking Faceplate, dua unit SteamVR base station dan sepasang Vive controller. Ia juga mendukung Vive Tracker serta Wireless Adapter sehingga pengalaman menikmati konten VR tak lagi terikat di satu tempat. HTC menyampaikan, Cosmos Elite dirancang untuk menangani game-game yang menuntut keakuratan seperti Pistol Whip dan Superhot.

Sedikit berbeda dari saudara-saudaranya, perancangan Cosmos XR lebih diarahkan ke segmen mixed reality, ala Microsoft HoloLens. Berbekal dua kamera pass-through, XR bisa berperan jadi perangkat VR dengan field-of-view 100-derajat serta mampu mengintegrasikan konten virtual dan dunia nyata (via Vive Sync). XR rencananya akan mulai didistribusikan di kuartal dua 2020 sebagai developer kit. HTC berjanji buat menyingkap detail lebih jauh mengenai XR di ajang GDC tahun ini.

Di antara tiga headset baru tersebut, Cosmos Elite dijadwalkan buat meluncur lebih dulu di triwulan pertama 2020, dijajakan seharga US$ 900. External Tracking Faceplate akan dijual secara terpisah mulai kuartal kedua nanti, dibanderol US$ 200. Aksesori ini kompatibel dengan Vive Cosmos (US$ 700) serta Cosmos Play.

Via Eurogamer.

Half-Life: Alyx Bantu Dongkrak Penjualan Headset VR Valve Index

Sempat berkolaborasi dengan HTC dalam penggarapan Vive serta mengukuhkan pijakannya di ranah virtual reality lewat pengembangan SteamVR, Valve kian percaya diri untuk meramu headset VR-nya sendiri. Index diumumkan di bulan April 2018 lalu mulai dipasarkan tak lama setelahnya. Selain spesifikasi yang lebih canggih dibanding perangkat sekelas, Index menjanjikan sistem kendali intuitif lewat Knuckles Controllers.

Melengkapi upaya Valve berkiprah di segmen VR, sang pemilik Steam itu akhirnya mengumumkan kelanjutan dari seri Half-Life sesudah keheningan selama 12 tahun. Meski demikian, Half-Life: Alyx bukanlah game biasa. Untuk bisa menikmatinya, kita diharuskan mempunyai headset virtual reality. Ada cukup banyak gamer yang kecewa dengan arahan ini, namun langkah tersebut terbukti tepat. Menyusul dibukanya gerbang pre-order Alyx, penjualan Index juga terdongkrak naik.

Berdasarkan data terkini dari firma analis SuperData, permintaan terhadap Index melonjak dua kali lipat lebih di kuartal keempat 2019 dibanding triwulan sebelumnya. Valve berhasil menjual 103 ribu unit Index di antara bulan Oktober sampai Desember, dan kini total penjualan headset di 2019 mencapai 149 ribu. Hal ini sangat menarik karena Index bisa dibilang merupakan produk premium – satu setnya dibanderol US$ 1.000.

Angka penjualan sebetulnya berpotensi melambung lebih tinggi lagi seandainya tidak ada kendala pada persediaan unit. Info Road to VR mengungkapkan bahwa produk tersebut terjual habis di mana-mana per tanggal 15 Januari 2020. Saat ini laman Index di Steam masih menunjukkan status ‘kehabisan stok’. Anda yang benar-benar menginginkannya diminta memasukkan email agar Valve bisa mengabarkan langsung jika unit telah kembali tersedia.

Selain Index, SuperData juga menyingkap penjualan HMD virtual reality lain di periode kuartal empat 2019. PlayStation VR terlihat masih memimpin di depan, tentu saja berkat ketiadaan ‘daftar kebutuhan hardware‘. Headset bisa langsung bekerja begitu disambungkan ke PlayStation 4. Posisi kedua ditempati oleh HMD virtual reality standalone Oculus Quest. Uniknya lagi, penjualan Index lebih tinggi dari Rift S, lalu Vive sendiri tidak muncul di daftar lima besar.

Top VR headsets.

Kabar gembiranya, Half-Life: Alyx bukanlah game yang dieksklusifkan untuk Valve Index. Pemilik HTC Vive, Oculus Rift dan Quest, serta headset Windows Mixed Reality juga dipersilakan menikmatinya. Tapi khusus buat pengguna Index, Alyx bisa diperoleh secara gratis. Di Indonesia, game dijual seharga Rp 225 ribu dan dijadwalkan meluncur di bulan Maret 2020 besok.

Masih ada satu hal yang membuat saya penasaran. Ketika Half-Life: Alyx baru disingkap, Valve bilang bahwa salah satu alasan mengapa game disajikan via virtual reality adalah karena pemanfaatan sistem kendali berbasis motion dalam pertempuran, eksplorasi serta menyelesaikan puzzle. Apakah itu artinya gamer wajib memiliki aksesori Knuckles atau sejenisnya, atau adakah solusi lainnya?

Via Eurogamer.

Panasonic Pamerkan VR Headset Berwujud Seperti Kacamata Biasa

VR headset tidak selamanya harus berwujud seperti sekarang. Di CES 2020, Panasonic mendemonstrasikan bahwa VR headset juga bisa lebih menyerupai kacamata biasa ketimbang ski goggles.

Seperti yang bisa kita lihat, bentuk prototipe VR glasses bikinan Panasonic ini mirip kacamata bergaya aviator, lengkap dengan sentuhan desain steampunk yang membuatnya pantas menjadi salah satu properti film Sherlock Holmes. Namun yang Panasonic kejar bukan cuma menyangkut nilai estetika saja, melainkan juga aspek kenyamanan dan fungsionalitas.

Di saat mayoritas VR headset mengandalkan strap yang mengikat kepala, perangkat ini cukup dipakai layaknya kacamata tradisional. Namun yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kualitas display-nya? Apakah bentuk yang tidak umum ini bisa berpengaruh buruk pada visual yang ditampilkan?

Panasonic VR glasses

Nyatanya tidak demikian. Perangkat ini mengandalkan panel micro OLED beresolusi UHD (3840 x 2160 pixel) hasil kerja sama antara Panasonic dan Kopin. Berkat resolusi yang amat tinggi, efek screen door yang selama ini umum menjangkiti VR headset pun dapat dieliminasi. Lebih lanjut, display-nya juga siap menampilkan konten dalam format HDR yang kaya warna.

Meski terdengar mengesankan, display-nya bukanlah tanpa kekurangan. The Verge yang sempat mencobanya langsung melaporkan bahwa viewing angle-nya lebih sempit ketimbang VR headset tradisional. Juga belum sempurna adalah distribusi beratnya, sehingga perangkat mudah melorot ke arah hidung.

Panasonic VR glasses

Dalam merancang VR glasses ini, Panasonic tak lupa membubuhkan teknologi unggulan dari sejumlah produknya. Di sektor audio, ada desain akustik yang selama ini diterapkan pada lini earphone Technics. Desain optik yang digunakan pada lini kamera Lumix, tidak ketinggalan juga teknologi signal processing milik TV dan Blu-ray player Panasonic, turut berkontribusi melahirkan perangkat ini.

Pertanyaan yang terakhir, kapan perangkat ini berlanjut ke produksi massal? Panasonic enggan menjawabnya, namun kecil kemungkinan Panasonic bakal memproduksinya sebagai perangkat yang bisa dibeli konsumen umum. Mereka lebih tertarik mengeksplorasi pengaplikasiannya dalam konteks komersial, semisal pada Olimpiade Tokyo di pertengahan tahun nanti.

Sumber: The Verge dan Panasonic.

Menatap Masa Depan Nasib Gaming VR dan AR Tahun 2020

Virtual Reality dan Augmented Reality, dua teknologi baru yang sampai saat ini perkembangannya masih seringkali dipertanyakan. Ada yang menganggap bahwa VR tidak akan menjadi masa depan karena satu dan lain hal, ada juga yang menganggap bahwa VR/AR punya fungsi menarik yang akan mengubah gaya hidup umat manusia layaknya smartphone juga mengubah kita.

Namun demikian, dalam hal gaming, ternyata tren penggunaan VR dan AR cenderung masih positif selama tahun 2019 kemarin. Mengutip hasil riset SuperData Year-in Review, ternyata pendapatan gaming VR dan AR sepanjang tahun 2019 ini masih menunjukkan peningkatan jika dibanding tahun 2018 lalu.

Sumber: VRLeague
Sumber: VRLeague

Secara total, penjualan game VR dan AR berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar US$2,2 miliar (sekitar Rp30 triliun) selama tahun 2019. Jumlah ini merupakan peningkatan sebesar US$300 juta (sekitar Rp4,1 miliar) dibanding dengan tahun 2018 lalu yang hanya mendapatkan US$1,9 miliar (sekitar Rp26 triliun). Sektor AR jadi penyumbang terbesar, mencapai US$1,7 miliar (sekitar Rp23 triliun), salah satunya berkat Pokemon GO. Walau games VR tidak menyumbang banyak pemasukan, namun penjualan headset VR juga cukup besar di tahun 2019 ini, mencapai US$5,7 miliar (sekitar Rp79,2 triliun).

Ada beberapa faktor atas hal ini. Dalam urusan games AR, sejak rilis Juli 2016 lalu, Pokemon GO memang sudah menjadi perhatian para gamers, terutama penggemar Pokemon. Menurut catatan Hybrid dari data SensorTower, Pokemon GO bahkan sudah mengumpulkan Rp42 triliun sepanjang masa hidupnya. Ditambah lagi, tahun 2019 juga jadi tahunnya game-game AR menyerbu. Ada beberapa judul yang muncul seperti Harry Potter: Wizard Unite, ataupun Minecraft Earth yang disebut SuperData sebagai calon pesaing Pokemon GO.

Untuk kasus VR, SuperData mengatakan, bahwa salah satu faktor pendapatan penjualan headset VR di tahun 2019 adalah dari Oculus Quest. Headset VR tersebut berhasil mendobrak teknologi VR, yang selama ini selalu bergantung kepada PC Gaming high-end ataupun konsol. Oculus Quest hadir secara berbeda, menjadi headset VR bersifat stand-alone yang bisa digunakan tanpa harus bergantung kepada PC high-end ataupun konsol gaming.

Dalam sesi #SelasaStartup kolaborasi Hybrid dengan DailysSocial bulan Agustus lalu, Nico Alyus dari Omni VR juga sempat mengatakan prediksinya tersendiri terhadap VR di masa depan. “Di masa depan, VR akan jadi medium apapun. Namun, itu baru bisa terjadi ketika VR sudah diadopsi oleh masyarakat secara umum.” Oculus Quest bisa menjadi alat untuk memberi akses VR ke masyarakat secara umum, karena sifatnya stand-alone VR yang membuatnya jadi lebih ekonomis.

Potensinya sebagai esports

Tanda tanya terhadap industri VR dan AR tidak hanya terjadi secara umum, tapi juga dari segi esports. Mengingat dua teknologi ini bisa memberikan pengalaman bermain yang lebih penuh, akankah VR ataupun AR punya potensi untuk menjadi esports?

Sumber: VRLeague
Sumber: VRLeague

Mengingat adaptasi dua teknologi ini yang masih sangat minim, cukup wajar jika potensinya sebagai esports juga masih terbilang kecil. Namun demikian, ini tidak menghentikan pemangku kepentingan di esports untuk melakukan sedikit percobaan. ESL Contohnya. Perusahaan esports asal Jerman tersebut sempat bekerja sama dengan Oculus untuk menyelenggarakan VR League. Mempertandingkan empat game yang juga butuh ketangkasan fisik, VR League bahkan memperebutkan total hadiah sebesar Rp3,5 miliar!

Pokemon GO - Piala Presiden Esports 2019
Kemeriahan komunitas Pokemon GO di Piala Presiden Esports 2019 | Sumber: Dokumentasi Pokemon GO Indonesia

Lalu bagaimana dengan AR? Mengingat entry-barrier AR yang lebih rendah dibanding VR, tak heran jika AR punya potensi yang lebih besar sebagai esports atau game kompetitif. Tak hanya terjadi di barat saja, Indonesia bahkan juga sudah pernah menghadirkan pertandingan Pokemon GO. Bahkan Indonesia sempat memecahkan rekor jumlah peserta terbanyak lewat gelaran bertajuk Rainbow Cup di Summarecon Mall Serpong pada bulan Juni 2019 lalu, yang diikuti oleh 445 peserta.

Bagaimana dengan tahun 2020? Sebagai teknologi yang masih baru dan punya entry-barrier cukup tinggi, tak heran jika tingkat penetrasi dua teknologi ini terbilang cukup rendah. Namun demikian melihat perkembangannya selama 2019 yang terus positif, bukan tidak mungkin jika VR dan AR akan diadaptasi oleh lebih banyak orang di masa depan nanti. Tahun 2020 mungkin belum akan jadi zamannya, tapi siapa yang tahu, mungkin beberapa tahun lagi VR dan AR akan menjadi fenomena budaya berikutnya layaknya smartphone di zaman sekarang.

 

Fitur Fixed Foveated Rendering di Oculus Quest Kini Dapat Aktif Saat Dibutuhkan Saja

Foveated rendering, teknik ini pada dasarnya merupakan salah satu alasan mengapa standalone VR headset macam Oculus Quest dapat menyuguhkan visual secara mulus. Tanpa teknik ini, perangkat bakal kesulitan menjaga frame rate tetap konsisten.

Dari kacamata sederhana, foveated rendering pada dasarnya memungkinkan display perangkat untuk menampilkan kualitas gambar yang paling maksimal pada sebagian area saja, menyesuaikan dengan arah mata pengguna memandang. Area sisanya akan menampilkan grafik dalam resolusi yang jauh lebih rendah, yang pada akhirnya berujung pada peningkatan performa secara signifikan.

Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight
Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight

Yang menjadi masalah adalah, foveated rendering pada Oculus Quest bersifat fixed, yang berarti cara kerjanya tidak melibatkan sistem eye tracking dan hanya terpusat pada satu titik area di tengah saja. Ditambah lagi, fixed foveated rendering (FFR) pada Oculus Quest akan selalu aktif setiap saat, tidak peduli apakah game-nya benar-benar haus resource atau tidak.

Untuk game yang berat, konsumen mungkin akan lebih memilih performa yang mulus ketimbang memaksakan visual yang bagus tapi frame rate-nya naik-turun. Lain ceritanya kalau game hanya sedang menampilkan cutscene dan sedang tidak ‘menyiksa’ GPU, di sini fitur FFR jelas akan terkesan mengganggu mengingat ada bagian cutscene (bagian di luar area tengah) yang tampak blur.

Singkat cerita, akan lebih ideal seandainya FFR bisa diaktifkan hanya saat diperlukan saja, dan inilah alasan di balik keputusan Oculus untuk menghadirkan fitur dynamic fixed foveated rendering pada Oculus Quest. Kata “dynamic” di sini merujuk pada kemampuannya untuk aktif atau nonaktif tergantung kebutuhan.

Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games
Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games

Jadi seandainya sedang bermain game dan masuk ke level yang tidak menyajikan banyak detail, atau sedang menampilkan cutscene sehingga tidak memerlukan kinerja GPU yang maksimal, FFR pun bisa dinonaktifkan. Sebaliknya, saat berpindah ke level yang lebih mendetail, FFR bisa diaktifkan supaya frame rate tetap konsisten.

Fitur ini tentunya memerlukan campur tangan developer agar bisa terwujud. Mereka harus meng-update game bikinannya terlebih dulu agar bisa memanfaatkan teknik ini. Buat konsumen, kehadiran dynamic FFR berarti mereka tidak harus selamanya mengorbankan kualitas visual dan dapat menikmati cutscene sebagaimana mestinya.

Sumber: VentureBeat.

Semakin Adiktif, Angry Birds VR Kini Dilengkapi Fitur Level Builder

Angry Birds VR: Isle of Pigs yang dirilis bulan Februari lalu menawarkan pengalaman bermain yang lebih immersive dari salah satu game mobile paling legendaris. Kendati demikian, konten yang terdapat di dalamnya (mode gameplay, jumlah level, dan lain sebagainya) tergolong terbatas jika dibandingkan dengan versi aslinya.

Pada hari H peluncurannya, developer Resolution Games sudah menjanjikan sejumlah update konten ke depannya, dan yang paling signifikan baru saja hadir. Update terbaru ini mendatangkan fitur bernama Level Builder, yang memungkinkan para pemain untuk menciptakan sendiri ‘medan perang’ antara tim burung dan tim babi.

Angry Birds VR Level Builder

VR sebagai medium kreasi bukanlah barang baru, dan konsep ini diterjemahkan dengan baik pada Angry Birds VR. Pemain bakal dihadapkan dengan meja yang bisa diputar-putar, dan di atas meja inilah mereka dibebaskan untuk berkreasi. Mulai dari balok kayu, balok es, sampai kotak berisi bahan peledak (TNT), semuanya bisa dipakai untuk membangun struktur-struktur yang unik.

Selesai membangun, saatnya menempatkan musuh untuk nantinya dijatuhkan dari bangunan tersebut. Jenis babi yang bisa dipilih cukup beragam, termasuk halnya boss pig yang sempat pemain jumpai di mode campaign-nya. Jenis burung yang bisa digunakan sebagai amunisi pun bebas pemain tentukan sendiri, demikian pula posisi titik teleportasi jika ada.

Angry Birds VR Level Builder

Untuk sekarang, custom level yang sudah dibuat baru bisa dinikmati sendiri-sendiri. Namun mulai tahun depan, Resolution Games berencana menghadirkan fitur online sharing sehingga para pemain bisa saling berbagi kreasinya masing-masing.

Franchise Angry Birds merayakan ulang tahunnya yang ke-10 belum lama ini, dan siapa yang menyangka dalam satu dasawarsa kita sudah bisa menikmati permainan ini di medium yang baru, sekaligus menciptakan sendiri level demi level-nya.

Sumber: VR Focus dan Resolution Games.

Oculus Quest Segera Kedatangan Fitur Hand Tracking Tanpa Controller

Visual bukanlah satu-satunya aspek esensial dalam bidang virtual reality. Kontrol pun juga tidak kalah penting. Semakin bagus input kontrol yang ditawarkan, semakin immersive pengalaman yang didapat konsumen, dan sensasi immersive selama ini selalu menjadi tolok ukur utama keberhasilan suatu perangkat VR.

Dewasa ini, VR headset yang dibekali inside-out tracking macam Oculus Quest sudah tergolong oke perihal kontrol. Menggunakan controller Oculus Touch, pergerakan tangan pengguna sudah dapat dilacak secara cukup akurat tanpa mengandalkan satu pun sensor atau kamera eksternal.

Progress selanjutnya adalah mewujudkan semua itu tanpa harus melibatkan controller. Kabar baiknya, fitur hand tracking tanpa controller ini bakal segera mendarat di Oculus Quest dalam waktu dekat. Cukup mengejutkan mengingat rencana Oculus sebelumnya adalah merilis fitur tersebut tahun depan.

Perlu dicatat, hand tracking masih dikategorikan sebagai fitur eksperimental di software update v12 untuk Quest. Jumlah aplikasi yang mendukung pun belum banyak, baru beberapa aplikasi bawaan seperti Oculus Browser, Oculus TV maupun Oculus Store. SDK (software development kit) untuk para pengembang aplikasi pihak ketiga baru akan dirilis minggu depan.

Sebelum ini Facebook pernah menjelaskan bahwa kemajuan dalam hal hand tracking ini bisa dicapai berkat sejumlah teknik baru deep learning dan model-based tracking. Selain lebih praktis ketimbang harus menggunakan controller, sistem baru ini juga dapat melacak pergerakan jari-jari pengguna secara lebih presisi dan realistis.

Salah satu hal yang membuat video trailer Half Life: Alyx menurut saya adalah pergerakan tangan dan jari-jari pemain yang kelihatan begitu realistis di layar. Facebook dan Oculus sepertinya ingin mencuri start dari Valve soal ini. Juga penting adalah harapan bahwa hand tracking bisa mendemokratisasikan VR secara lebih baik lagi mengingat konsumen tidak diwajibkan lagi untuk mempelajari cara menggunakan controller.

Sumber: The Verge dan Oculus.

Qualcomm Luncurkan Dua Prosesor Laptop Baru Beserta Chipset 5G untuk AR dan VR Headset

Setahun setelah Qualcomm merilis prosesor laptop-nya, Snapdragon 8cx, populasi laptop always-on bisa dibilang masih sangat kecil. Hal ini cukup wajar mengingat prosesor tersebut memang ditargetkan untuk kategori high-end, dan perangkat yang mengusungnya, macam Samsung Galaxy Book S, tidak bisa dikategorikan terjangkau.

Supaya laptop always-on bisa menjadi mainstream, penawarannya tidak bisa di kategori premium saja. Untuk itu, Qualcomm pun telah menyiapkan sepasang prosesor laptop baru, yakni Snapdragon 8c dan 7c. Keduanya bukanlah pengganti 8cx, melainkan ditujukan untuk perangkat di kelas yang lebih rendah.

Kendati demikian, Qualcomm mengklaim performanya masih cukup mumpuni. Snapdragon 8c misalnya, menjanjikan peningkatan kinerja hingga sebesar 30% jika dibandingkan dengan Snapdragon 850, yang tidak lain merupakan prosesor laptop pertama Qualcomm. Sebagai pembanding, Snapdragon 8cx menjanjikan performa dua kali lebih kencang ketimbang Snapdragon 850.

Kunci dari prinsip always-on adalah sambungan konstan ke jaringan LTE, dan ini diwujudkan lewat modem Snapdragon X24 yang terintegrasi pada Snapdragon 8c. Juga penting adalah AI Engine untuk mendongkrak kinerja fitur-fitur berbasis machine learning secara signifikan, hingga enam triliun pengoperasian per detik kata Qualcomm.

Di bawahnya lagi, ada Snapdragon 7c yang mengemas CPU octa-core Kryo 468 dan GPU Adreno 618. Qualcomm mengklaim prosesor ini dapat memberikan peningkatan performa sampai 25% kalau dibandingkan dengan chip yang sekelas. Di saat yang sama, daya tahan baterai perangkat bisa dinaikkan sampai dua kali lipat, dan tentu saja juga sudah ada modem LTE beserta AI Engine terintegrasi di sini.

Snapdragon 8cx sendiri tidak akan ke mana-mana. Qualcomm sekarang justru menawarkan varian 8cx yang dikhususkan untuk pasar enterprise, lengkap dengan optimasi dan integrasi yang dibutuhkan dari segi keamanan.

Snapdragon XR2

Konsep perangkat yang ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon XR2 / Qualcomm
Konsep perangkat yang ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon XR2 / Qualcomm

Akhir tahun 2019 juga menjadi saksi atas kelahiran Snapdragon XR2, yang diklaim sebagai chipset 5G pertama untuk platform extended reality (XR). Singkat cerita, selain menghadirkan konektivitas generasi terbaru, XR2 juga dirancang untuk menggenjot performa sekaligus fungsionalitas AR headset maupun VR headset secara dramatis.

Dibandingkan chipset generasi sebelumnya, XR2 disebut menawarkan kinerja CPU dan GPU dua kali lebih kencang. Dari segi visual, chip ini sanggup mengakomodasi display dengan resolusi 3K x 3K 90 fps per mata. Selain itu, video 360 derajat beresolusi 8K 60 fps pun juga siap ia putar dengan lancar.

Perihal fungsionalitas, XR2 mampu mengakomodasi sistem tracking pada perangkat hingga yang mengandalkan tujuh kamera sekaligus. Interaksi pengguna dengan dunia virtual juga dipastikan berlangsung mulus berkat prosesor khusus yang didedikasikan untuk teknologi computer vision, sehingga rekonstruksi 3D pun jadi lebih efisien.

AR dan VR memang sudah tidak terlalu meledak hype-nya belakangan ini. Kita lihat saja apakah XR2 dapat ‘menyelamatkannya’ dari keterpurukan.

Sumber: Qualcomm 1, 2.