Wifkain Bags Seed Funding Led by Insignia Ventures [UPDATED]

Textile supply chain platform, Wifkain, announced seed funding led by Insignia Ventures Partners with an undisclosed amount. A number of prominent angel investors participated in this round, including the Atome Financial Indonesia‘s CEO, Wawan Salum.

The company positioned itself as a pioneer, Wifkain aspires to be the first technology-based platform to meet the needs of the textile supply chain for fashion brands in Indonesia. Through this funding, Wifkain intends to expand its business reach to SMEs and fashion brand owners, increase the number of merchants, and build a team.

On the general note, Wifkain was founded by former banker and fashion entrepreneur Sara Sofyan (CEO), D2C brand entrepreneur Chindera Soewandy, and former Bukalapak’s executives Rudy Setyo Hartono (CTO) in 2020.

The Co-founder & CEO, Sara Sofyan said many brands had difficulty finding manufacturing partners due to several factors. In that case, Wifkain provides Manufacturing-as-a-Service (MaaS) services by cooperating with various manufacturers in various specialties, capacities, and locations in Indonesia.

“The platform we built connects sellers and buyers directly, simplify the long supply chain by cutting out intermediaries, the transaction process is cheaper, faster, and low risk,” Sara said in her official statement.

Meanwhile, Yinglan Tan, Founding Managing Partner of Insignia Ventures Partners, said that e-commerce and social media make fashion available quickly and easily accessible online. However, the upstream supply chain in Indonesia will remain disconnected and fragmented.

“Thus, Sara and the team at Wifkain are in a strong position to digitize the entire supply chain in the textile industry. They have made significant early-stage progress since launching the platform. We are delighted to be their partner on this journey,” he said.

Challenges and target

Sara views the Indonesian textile industry ecosystem from upstream to downstream has not been fully digitized. The process chain is very long, complex, and not transparent as it involves many intermediaries.

Manufacturing companies also have no integrated system for buyers, limiting their opportunities to increase sales. The ordering process can take up to several days. The level of non-fulfillment (unfulfillment rate) of sales can reach 30-50 percent. This situation forces fashion business people and brand owners through a multi-layered chain of processes.

In addition, traditional textile traders who sell offline have limitations in the choice of products which are relatively expensive, the ordering system is not integrated, and there is no product guarantee.

In fact, Indonesia is one of the largest textile markets and manufacturing centers in the world. Its market value is around 40% of the total global fashion industry market of $55 billion according to the Euromonitor report in 2018. The value is projected to grow at 5% CAGR in 2022.

Wifkain seeks to digitize the supply chain, especially for long-tail merchants in the MSME segment, aka merchants with search volumes and relatively low levels of competition. Through the solutions built, Wifkain wants to increase connectivity, transparency and efficiency for the textile industry supply chain

In order to meet supply chain needs in Indonesia, Wifkain will develop order management and inventory management that will allow order confirmation within a few hours, reduce order non-fulfillment rates to less than 5%, increase production process transparency, and provide analytical data such as demand predictions to suppliers.

Since its commercial service in 2020, Wifkain recorded an 11-fold growth in GMV (YoY) and pocketed 150 merchants (textile and factory traders) on the island of Java. The company claims to be able to complete the sourcing process in one day, faster than the standard which generally takes up to three weeks. It guarantees that there is an efficiency of purchasing costs of up to 50%.

On a separate session with DailySocial, Sara revealed that it is not easy to digitize merchants or textile suppliers with long history of conventional operation. One of the obstacles is shown from the development of technology on the platform to accommodate merchant needs.

“[The development of] technology [for the textile market] does not have many benchmarks in the market, therefore, we have to [do] testing properly according to the needs of merchants,” Sara added.

Although the textile marketplace is relatively new to the Indonesian market, Sara admitted that Wifkain’s business measurement metrics remain the same as the e-commerce model in general, such as Monthly Active User (MAU), Lifetime Value (LTV), and retention rate.

To date, Wifkain merchants are only available in the Java and Bali areas, however, the scope of buyers has reached various locations throughout Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Wifkain Peroleh Pendanaan Awal Dipimpin Insignia Ventures [UPDATED]

Platform supply chain tekstil Wifkain mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal (seed) yang dipimpin oleh Insignia Ventures Partners dengan nominal yang dirahasiakan. Sejumlah angel investor terkemuka ikut berpartisipasi pada putaran ini, termasuk CEO Atome Financial Indonesia Wawan Salum.

Memposisikan diri sebagai pionir, Wifkain berkeinginan untuk menjadi platform berbasis teknologi pertama untuk memenuhi kebutuhan rantai pasokan (supply chain) tekstil bagi fashion brand di Indonesia. Lewat pendanaan ini, Wifkain ingin memperluas jangkauan bisnisnya ke UKM dan pemilik fashion brand, meningkatkan jumlah merchant, dan membangun tim.

Sebagai informasi, Wifkain didirikan oleh mantan bankir dan pengusaha fashion Sara Sofyan (CEO), pengusaha brand D2C Chindera Soewandy, dan eks Bukalapak Rudy Setyo Hartono (CTO) di 2020.

Co-founder & CEO Sara Sofyan mengatakan banyak brand kesulitan mencari mitra manufaktur karena sejumlah faktor. Untuk itu, Wifkain menghadirkan layanan Manufacturing-as-a-Service (MaaS) dengan menggandeng berbagai macam pabrikan di berbagai spesialisasi, kapasitas, dan lokasi di Indonesia.

“Platform yang kami bangun menghubungkan penjual dan pembeli langsung, memotong supply chain yang panjang dengan memangkas perantara, proses transaksi lebih murah, cepat, dan rendah risiko,” ujar Sara dalam keterangan resminya.

Sementara itu, Founding Managing Partner Insignia Ventures Partners Yinglan Tan mengatakan e-commerce dan media sosial membuat fashion dapat tersedia dengan cepat dan mudah diakses secara online. Namun, supply chain hulu di Indonesia akan tetap terputus dan terfragmentasi.

“Maka itu, Sara dan tim di Wifkain memiliki posisi kuat untuk mendigitalkan seluruh rantai pasokan di industri tekstil. Mereka telah membuat kemajuan tahap awal yang signifikan sejak meluncurkan platformnya. Kami senang dapat menjadi partner mereka dalam perjalanan ini,” ujarnya.

Tantangan dan target

Sara melihat ekosistem industri tekstil Indonesia dari hulu ke hilir belum sepenuhnya terdigitalisasi. Rantai prosesnya sangat panjang, kompleks, dan tidak transparan karena melibatkan banyak perantara.

Perusahaan manufaktur juga tidak punya sistem terintegrasi kepada pembeli sehingga membatasi peluang mereka meningkatkan penjualan. Proses pemesanan memakan waktu hingga beberapa hari. Tercatat tingkat ketidakterpenuhan (unfulfillment rate) penjualan bisa mencapai 30-50 persen. Situasi ini memaksa pelaku bisnis fashion dan pemilik brand melalui rantai proses yang berlapis.

Selain itu, pedagang tekstil tradisional yang berjualan secara offline memiliki keterbatasan pada pilihan produk yang harganya relatif mahal, sistem pemesanannya tidak terintegrasi, dan tidak ada jaminan produk.

Padahal Indonesia merupakan salah satu pasar tekstil dan pusat manufaktur terbesar di dunia. Nilai pasarnya berkisar 40% dari total pasar industri fashion global $55 miliar mengacu laporan Euromonitor di 2018. Nilai tersebut diproyeksi tumbuh 5% CAGR di 2022.

Wifkain berupaya mendigitalkan rantai pasokan, terutama bagi long-tail merchant di segmen UMKM alias merchant dengan volume pencarian dan tingkat persaingan yang relatif rendah. Melalui solusi yang dibangun, Wifkain ingin meningkatkan keterhubungan, transparansi, dan efisiensi bagi rantai pasokan industri tekstil

Untuk memenuhi kebutuhan rantai pasok di Indonesia, Wifkain akan mengembangkan order management dan inventory management yang memungkinkan konfirmasi pesanan dalam waktu beberapa jam, menurunkan tingkat ketidakterpenuhan pesanan kurang dari 5%, meningkatkan transparansi proses produksi, dan menyediakan data analisis seperti prediksi permintaan ke pemasok.

Sejak layanannya komersial di 2020, Wifkain mencatat pertumbuhan GMV sebesar 11 kali lipat (YoY) dan mengantongi 150 merchant (pedagang tekstil dan pabrik) di pulau Jawa. Wifkain mengklaim dapat menyelesaikan memproses sourcing dalam satu hari, lebih cepat dibanding standar yang umumnya memakan waktu sampai tiga minggu. Pihaknya menjamin ada efisiensi biaya pembelian hingga 50%.

Dihubungi DailySocial secara terpisah, Sara mengungkap tidak mudah untuk mendigitalisasi merchant atau supplier tekstil yang selama ini beroperasi secara konvensional. Salah satu kendalanya terlihat dari pengembangan teknologi di platform untuk mengakomodasi kebutuhan merchant.

“[Pengembangan] teknologi [untuk pasar tekstil] tidak banyak benchmark-nya di pasar sehingga kami harus [melakukan] testing dengan benar sesuai dengan kebutuhan merchant,” tutur Sara.

Meski marketplace tekstil terbilang baru untuk pasar Indonesia, Sara mengaku metrik pengukuran bisnis Wifkain tetap sama dengan model e-commerce pada umumnya, seperti Monthly Active User (MAU), Lifetime Value (LTV), dan retention rate.

Adapun, saat ini merchant Wifkain baru ada di area Jawa dan Bali, tetapi cakupannya pembelinya sudah menjangkau berbagai lokasi di seluruh Indonesia.

**
Ikuti kuis dan challenge #NgabubureaDS di Instagram @dailysocial.id selama bulan Ramadan, yang akan bagi-bagi hadiah setiap minggunya berupa takjil, hampers hingga langganan konten premium DailySocial.id secara GRATIS. Simak info selengkapnya di sini dan pantau kuis mingguan kami di sini.

The Gravity of Multifinance Services Acquired by Tech Startups

Atome acquired PT Mega Finadana Finance (currently PT Atome Finance Indonesia), adding up to the fintech lending companies seeking to expand, especially in the consumer goods financing sector.

Prior to Atome, Kredivo has acquired PT Swarna Niaga Finance (currently PT FinAccel Finance Indonesia). Apart from fintech companies, Traveloka has acquired PT Malacca Trust Finance (currently PT Caturnusa Sejahtera Finance) to operate Traveloka Paylater.

In an official statement, Atome Financial Indonesia’s CEO, Wawan Salum said, “This acquisition is a proof of our commitment to grow our business in Indonesia, aiming to serve our partners and consumers better in providing customized financing and loan options.”

Since 2017, Atome Financial has established partnerships with some of the world’s leading financial institutions providing more than $200 million in funding and credit facilities to promote financial inclusion.

Wawan claimed, the company has cumulatively served more than 5 million users and has provided loans of more than $1 billion to empower merchants and consumers. “This acquisition will not only accelerate our rapid business expansion, but also contribute to a stronger and healthier lending and financing ecosystem in Indonesia,” he added.

DailySocial asks some follow-up questions to Wawan, but he has not written back to the date this article published.

In a general note, Atome Financial has two main business units, Atome and Kredit Pintar. Both are engaged in loan services, the difference lies in the function. Atome provides BNPL services with 0% interest payment options for three or six months. Atome partners with several retail groups and e-commerce platforms, such as MAP (including Sephora, Zara, Mango, Pull & Bear, Marks & Spencer, Food Hall), JD.id, and iStyle.

Meanwhile, Kredit Pintar runs cash loans with a maximum of IDR20 million in cash ranging from three to one year. Funds are not only for productive needs, but also for daily needs.

The trend of acquiring multi-finance companies, for the Chairman of the Indonesian Finance Companies Association (APPI), Suwandi Wiratno, allows these players to reach more comprehensive loan and financing products.

He said Traveloka for instance, basically sell products and incapable to act as a financial company to provide credit to their consumers. In terms of platform, they only need to register with the Ministry of Communication and Information, unlike financial companies that should be strictly regulated by the OJK.

“Through Caturnusa, people who want to buy tickets, which used to be in cash, can now paid using installments up to 10 times. That’s because financing requires prospective debtors, they [Traveloka] come here because they see the potential, where not everyone has the ability to buy in cash,” he said to DailySocial.

The ability to mix products and the ability of companies to offer financing will provide a new approach. They can freely distribute multipurpose financing to many industrial sectors such as multi-finance companies in general and enter into financial services for vehicle, property, electronics, KTA, and others.

In terms of sources, they can rely on bank loans, by channeling or joint financing, issuing debt securities from MTN, bonds, on/offshore syndication, and IPOs.

“By bundling their current products with loans that are in accordance with regulations, they can offer a new approach,” Suwandi added.

Previously in contact with DailySocial, Kredivo Indonesia’s CEO, Alie Tan said, since the beginning, Kredivo’s financing scheme was dominated by product purchases at merchants, not cash loans, therefore, a multi-finance license is considered more suitable for Kredivo. “Thus, we hope to grow rapidly and serve 10 million users in the next few years,” she said.

Alie’s statement backed Kredivo’s Co-Founder, Akshay Gargthe previous statement that through multi-finance licenses, Kredivo’s loan distribution will be bigger and more developed. This license is considered more stable as the regulations was established long time ago. It states that it is also possible for financing companies to channel 30% of their financing to fintech lending.

After FinAccel, Kredivo’s holding company, announced the acquisition of PT Swarna Niaga Finance, the company took off with Samsung to provide Samsung Financing services. The offer is not much different. Consumers can use Kredivo’s installment for purchasing Samsung devices online or offline.

FinAccel did not immediately leave the lending business as they introduced Kredifazz (PT FinAccel Digital Indonesia) which focused on productive and consumptive loans. One of the loan products released by Kredifazz is Klop!, a consumptive loan for Telkomsel users.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pesona Dibalik Akuisisi Layanan “Multifinance” oleh Startup Teknologi

Atome mengakuisisi PT Mega Finadana Finance (kini bernama PT Atome Finance Indonesia) untuk menambah jajaran perusahaan fintech lending yang tertarik melebarkan sayap, khususnya di bidang pembiayaan barang konsumen.

Sebelum Atome, ada Kredivo yang mengakuisisi PT Swarna Niaga Finance (kini bernama PT FinAccel Finance Indonesia). Di luar perusahaan fintech, ada Traveloka yang mengakuisisi PT Malacca Trust Finance (kini bernama PT Caturnusa Sejahtera Finance) untuk mengoperasikan Traveloka Paylater.

Dalam keterangan resmi, CEO Atome Financial Indonesia Wawan Salum menyampaikan, “Akuisisi ini merupakan bukti dari komitmen untuk mengembangkan bisnis kami di Indonesia, dengan tujuan melayani mitra serta konsumen kami dengan lebih baik dalam memberikan pilihan pembiayaan dan pinjaman yang disesuaikan.”

Sejak tahun 2017, Atome Financial telah menjalin kemitraan dengan beberapa lembaga keuangan terkemuka di dunia yang menyediakan lebih dari $200 juta dalam pendanaan dan fasilitas kredit guna mendorong inklusi keuangan.

Wawan mengklaim, secara kumulatif perusahaan telah melayani lebih dari 5 juta pengguna dan telah memberikan pinjaman lebih dari $1 miliar untuk memberdayakan pedagang dan konsumen. “Akuisisi ini tidak hanya akan mempercepat ekspansi bisnis kami yang pesat, namun juga berkontribusi pada ekosistem pinjaman dan pembiayaan yang lebih kuat dan sehat di Indonesia,” tambahnya.

DailySocial mengirimkan sejumlah pertanyaan tambahan kepada Wawan, namun hingga tulisan ini diturunkan belum mendapat respons.

Seperti diketahui, Atome Financial memiliki dua unit bisnis utama, yakni Atome dan Kredit Pintar. Keduanya sama-sama bergerak di pinjaman, pembedanya terletak di sisi penggunaannya. Atome menyediakan layanan BNPL dengan opsi pembayaran bunga 0% selama tiga atau enam bulan. Atome bermitra dengan beberapa grup ritel dan platform e-commerce, seperti MAP (mencakup Sephora, Zara, Mango, Pull & Bear, Marks & Spencer, Food Hall), JD.id, dan iStyle.

Sementara, Kredit Pintar bermain di pinjaman cepat (cash loan) dengan maksimal plafon Rp20 juta dengan tunai mulai dari tiga sampai satu tahun. Dana tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan produktif, juga kebutuhan sehari-hari.

Maraknya ketertarikan mengakuisisi perusahaan multifinance, menurut pandangan Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno, memungkinkan para pemain tersebut untuk menyentuh produk pinjaman dan pembiayaan yang lebih komprehensif.

Ia mencontohkan, untuk Traveloka, pada dasarnya mereka menjual produk, tidak bisa bertindak seperti perusahaan pembiayaan yang bisa memberikan kredit untuk konsumennya. Secara platform, mereka hanya cukup mendaftarkan diri ke Kemenkominfo saja, tidak seperti perusahaan pembiayaan yang harus diregulasi ketat oleh OJK.

“Sekarang lewat Caturnusa, orang yang mau beli tiket yang harusnya dulu harus beli tunai, sekarang bisa dicicil sampai 10 kali. Itu karena di pembiayaan butuh calon debitur, mereka [Traveloka] masuk ke sini karena melihat potensi, di mana tidak semua orang punya kemampuan beli tunai,” katanya saat dihubungi DailySocial.

Kemampuan meracik produk dan kemampuan perusahaan menawarkan pembiayaannya akan memberikan pendekatan baru. Mereka dapat lebih leluasa menyalurkan pembiayaan multiguna untuk banyak sektor industri seperti perusahaan multifinance pada umumnya dan masuk ke pembiayaan kendaraan, properti, elektronik, KTA, dan lainnya.

Untuk sumber dana, mereka bisa mengandalkan pinjaman dari bank, dengan cara channeling atau joint financing, mengeluarkan surat utang dari MTN, obligasi, sindikasi on/offshore, hingga IPO.

“Dengan menggabungkan produk yang sudah mereka miliki dengan pinjaman yang sesuai dengan regulasi, mereka bisa menawarkan suatu pendekatan baru,” tambah Suwandi.

Sebelumnya, saat dihubungi DailySocial, CEO Kredivo Indonesia Alie Tan menuturkan, sejak awal skema pembiayaan Kredivo memang didominasi pembiayaan pembelanjaan produk di merchant, bukan pinjaman tunai, maka dari itu lisensi multifinance dirasa lebih cocok untuk Kredivo. “Dengan demikian, kami berharap bisa bertumbuh dengan pesat dan melayani 10 juta pengguna dalam beberapa tahun ke depan,” ucapnya.

Pernyataan Alie memperkuat ujaran Co-Founder Kredivo Akshay Garg sebelumnya yang menyebutkan melalui lisensi multifinance maka penyaluran pinjaman Kredivo akan semakin besar dan berkembang. Lisensi ini dinilai lebih stabil karena peraturannya sudah dibentuk sejak lama. Dalam regulasi disebutkan perusahaan pembiayaan juga dimungkinkan untuk menyalurkan 30% pembiayaannya kepada fintech lending.

Pasca FinAccel, induk Kredivo, mengumumkan rampungnya akuisisi terhadap PT Swarna Niaga Finance, perusahaan tancap gas bersama Samsung untuk menyediakan layanan Samsung Financing. Penawarannya tidak jauh berbeda. Konsumen dapat mengajukan cicilan dari Kredivo saat berbelanja gawai Samsung secara online atau offline.

FinAccel tidak serta merta meninggalkan bisnis lending karena mereka memperkenalkan Kredifazz (PT FinAccel Digital Indonesia) yang fokus pada pinjaman produktif dan konsumtif. Salah satu produk pinjaman yang dirilis Kredifazz adalah Klop!, pinjaman konsumtif yang ditujukan untuk pengguna Telkomsel.

Keyakinan Induk Kredit Pintar Tawarkan Ragam Produk Keuangan Digital di Indonesia

Atome Financials, startup lending dari Singapura, resmi masuk ke Indonesia. Sebagai perusahaan holding, pihaknya akan mengakselerasi ragam produk keuangan untuk menyasar konsumen underbanked dan underserved. Indonesia menjadi ekspansi berikutnya Atome setelah membuka kantor di Tiongkok, India, Filipina dan Vietnam.

Sebelum hadir dengan brand sendiri, sebenarnya Atome sudah menginjakkan kakinya di Indonesia sejak 2017 melalui Kredit Pintar, startup lending yang khusus pada pinjaman cepat.

Kepada DailySocial, CEO Atome Indonesia Wawan Salum menjelaskan, sebagai perusahaan induk ada keleluasaan untuk mengakselerasi ragam produk, tidak hanya bertumpu pada satu produk saja. Saat ini perusahaan tengah menggodok brand baru yang melayani kartu kredit digital atau paylater bernama APayLater.

“Belum ada yang bisa kita share. Sekarang kami masih melihat di pasar seperti apa agar dapat gambaran bagaimana posisi brand kita. Konsep APayLater sudah dirilis di Singapura, mau dilihat bagian mana yang perlu diubah,” terangnya.

Wawan juga menegaskan kehadiran Atome tidak mendorong peleburan bisnis dengan Kredit Pintar. APayLater dan Kredit Pintar akan fokus pada bisnis yang berbeda, sehingga tidak saling berkompetisi satu sama lain. CEO Kredit Pintar Wisely Wijaya masih menjabat di posisi yang sama.

“Kredit Pintar fokus ke penyaluran pinjaman untuk underbanked dan underserved dengan AI dan credit scoring, sementara APayLater produknya untuk semua orang.”

Kredit Pintar diklaim memiliki 10 juta unduhan dan dinobatkan sebagai salah satu aplikasi fintech dengan rating tinggi di Google Play. Total akumulasi pinjaman yang telah disalurkan sejak 2017 sebesar Rp10 triliun untuk 2 juta peminjam.

Peluang pasar lending seperti yang disasar memang sangat besar. Dengan demografi unbankable usia dewasa yang mencapai 92 juta jiwa, produk fintech masa depan yang cukup cerah. Tak ayal per tahun 2019 sudah ada 144 fintech lending serupa Kredit Pintar yang terdaftar di OJK. Hingga tahun 2019 jumlah pinjaman yang didistribusikan juga telah capai 60,4 triliun Rupiah, fasilitasi sekitar 14,3 juta pengguna.

Sementara untuk paylater, layanan ini memang tengah dalam pertumbuhan di Indonesia. Beberapa bisnis saling bekerja sama, mengintegrasikan platform pinjaman dengan layanan consumer. Berikut beberapa produk yang beredar di Indonesia:

Produk APayLater

Perusahaan lebih dahulu meluncurkan aplikasi APayLater di Singapura. Konsepnya tidak jauh dengan layanan paylater lainnya di Indonesia. Limit kredit yang diterima dapat dipakai untuk berbelanja di merchant dengan metode pemindai QR.

Konsumen diharuskan membayar pertama sepertiga dari harga total dengan kartu debit atau kredit yang sudah disinkronkan. Pembayaran berikutnya akan ditagih setiap 30 hari kemudian dan tenor maksimal adalah tiga bulan. Secara otomatis sistem akan deduct saldo dari sumber dana setiap tagihan muncul.

Apabila ada kredit macet, APayLater akan membekukan akun dan ditambah dengan biaya admin sebesar SG$20. Jika dalam tujuh hari tidak dibayar, ada tambahan biaya SG$10. Di sana, pemerintah menetapkan batas maksimum biaya admin yang dikenakan adalah SG$60 per transaksi.

Wawan menyebut pilot project dari APayLater akan hadir di Indonesia setidaknya dalam kuartal kedua tahun ini, sebelum merilis versi penuhnya. Menurutnya iterasi sangat dibutuhkan startup untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.

“Banyak hal yang mau kita lihat, tapi kita ingin selalu memastikan consumer journey-nya harus bagus. Makanya kami pilih pilot dulu selama beberapa waktu, sambil terus monitor dan diskusi internal.”

Dia melihat meski di industri berbagai pemain sudah merilis produk paylater-nya, masih ada ceruk bisnis yang besar di segmen ini. Asalkan perusahaan paham dengan kondisi pasar, letak peluang ada di mana, dan bagaimana memosisikan produknya pasti akan bisa bersaing dengan pasar.

“Saat Kredit Pintar mulai di 2017 dan perkembangannya hingga sekarang sangat pesat, meski pada saat itu pemainnya tidak hanya dia saja di industri. Jadi ini bukan masalah pemain lama dan baru, asalkan kita paham dengan industri dan proses pengembangannya, pasti bisa bersaing.”

Rencana Atome di bawah kepemimpinan Wawan Salum

Di bawah kepemimpinan Wawan, ia akan fokus pada pengembangan klien dan partner untuk Atome dari bank, fintech, e-commerce, ride sharing, termasuk akuisisi taleta, ekspansi pasar dan pengembangan produk.

Wawan Salum menambah jajaran bankir senior yang terjun ke startup. Sebelumnya dia adalah bankir di DBS Indonesia sebagai Head of Consumer Banking Group dan enam tahun di HSBC dengan berbagai jabatan. Perjalanannya sebagai bankir dimulai dari Citibank selama tujuh tahun dan posisi lainnya di General Motors dan ABN Amro Bank N.V.

Ia terjun ke startup karena menurut pandangannya perkembangan digital, khususnya fintech pada beberapa tahun ke depan, akan masuk ke posisi mature, menyusul perbankan. Kondisi tersebut ditandai dengan pertumbuhan tahunan yang tidak lagi eksponensial dan kue bisnis yang sudah ramai-ramai digarap yang lambat laun ukurannya mengecil.

“Saya tidak mau ketinggalan kereta. Bank sudah mature karena growth opportunity-nya sudah enggak bisa 100% lagi. Beda dengan fintech dengan kondisi sekarang [growth-nya eksponensial], tapi prediksi saya growth-nya tidak akan sekencang tahun-tahun sebelumnya karena segera masuk posisi mature.”

Dengan pengalamannya yang kuat di finansial, ia akan mengombinasikan framework dan struktur yang kuat di bank tanpa menghilangkan unsur agility yang melekat di tubuh startup. “Ketika semua di-combine, ini akan membuat startup jadi sangat powerful. Agility itu harus tetap dijaga karena pasar dan teknologi cepat berubah,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

DBS Bank Joins Founder Institute as Mentor, Aiming to Create High-Quality Startup Founder

DBS Bank is now a mentor for the entrepreneurship training program by Founder Institute. It is initiated to support DBS Bank transformation from conventional into a digital bank with startup mindset and innovation-oriented.

As a mentor performing its duties, DBS Bank together with the experts engaged in innovation and digitization segment will train all participants of the Founder Institute during the program.

“Through the Founder Institute, we want to gain startup founders to share various trends and the supporting ecosystem. We expect DBS to contribute and play a part in the startup development through various innovations offered, including digibank.” DBS Bank’s Director of Consumer Banking Wawan Salum explained in an official statement.

On a global scale, DBS Bank has built DBS Innovation Center in Singapore as the innovation project center and platform for 22 thousand employees in research and development of dynamic innovation. DBS Bank partners with global fintech to develop startup ecosystems such as Kasisto, SoftToken and local fintech (E2B).

Founder Institute’s 7th batch focus

Separately, Founder Institute’s Director Richie Wirjan said that DBS Bank is now a mentor for the 7th batch of the program which already executed since 2010. This batch received 1200 applicants. There are 81 people from various fields pass the selection.

“Currently [eliminated from 81 people] there are 21 startup founders, because of weekly evaluation. Those [startup founders] not performing, will drop out automatically. The batch will be finished in mid-March 2018,” he explained to DailySocial.

To join as Founder Institute participants, everyone involved should have passed the screening through Entrepreneurial DNA Test. This program focused on the founder’s personality.

All participants come from different startup companies, some have ideas but not 100% sure. There are startups which already run for 1-2 years but still need more guidance. Many of them joined with no idea at all. They run a paid training program for four months approximately.

“Ideas can change, but not the character and attitude of the founder we’ve built. Our focus remains the same, to ensure the rise of high-quality founders and create impactful startups for the public.”

In the meantime, there are 5 high-rate startups as follows:

1. Marcopolo.id, a B2B Marketplace for helping suppliers sell their products in large amount by Group Buying System

2. SmartBee, a mobile app for helping the pre-school teacher to focus on student development by allowing teachers to share analysis, report, assessment, and picture with parents in real time.

3. Ayoslide, an Android advertising app to help online brands interact with smartphone users from the lock screen using incentives (virtual cash) and rewards.

4. Eddemy, a B2B SaaS company which provides learning management system for schools and improves parent-teacher collaboration with the student in a platform using website and cellular application.

5. Napro (Nabung Properti), a crowdfunding platform for joint venture investment in property.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ingin Ciptakan Founder Startup Berkualitas, Bank DBS Bergabung sebagai Mentor Founder Institute

Bank DBS kini menjadi mentor untuk program pelatihan entrepreneurship Founder Institute. Inisiasi ini dipilih lantaran untuk dukung fokus Bank DBS bertransformasi dari bank konvensional menjadi bank digital bermindset startup yang berorientasi pada inovasi.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai mentor, Bank DBS bersama dengan tim ahlinya yang bergerak di bidang inovasi dan digitalisasi akan memberikan pengarahan kepada seluruh peserta Founder Institute selama program berlangsung hingga berakhir.

“Melalui Founder Institute, kami ingin gandeng para pendiri startup untuk saling berbagi mengenai berbagai trends startup serta ekosistem pendukungnya. Kami berharap DBS dapat menjadi bagian dan berkontribusi pada perkembangan startup ini melalui berbagai inovasi yang ditawarkan termasuk digibank,” terang Director of Consumer Banking Bank DBS Indonesia Wawan Salum dalam keterangan resmi.

Di skala global, Bank DBS telah mendirikan DBS Innovation Center di Singapura sebagai pusat proyek inovasi DBS dan wadah bagi 22 ribu karyawan DBS dalam melakukan riset dan pengembangan inovasi yang dinamis. Bank DBS juga bekerja sama dengan fintech global untuk mengembangkan ekosistem startup, yaitu Kasisto, SoftToken, lokal fintech (E2B).

Fokus Founder Institute batch ketujuh

Secara terpisah, Director Founder Institute Richie Wirjan mengatakan Bank DBS kini bergabung sebagai mentor untuk batch ketujuh dari program yang sudah dijalankan sejak 2010. Untuk batch kali ini, pihaknya menerima 1200 aplikasi pendaftaran. Yang lolos sejauh ini berjumlah 81 orang yang berasal dari berbagai bidang.

“Sekarang [yang tersisa dari 81 orang yang lolos] tinggal 21 founder startup karena setiap minggu itu ada evaluasi. [Founder startup] yang enggak perform, biasanya mereka akan drop out sendiri. Batch akan selesai di pertengahan Maret 2018,” terang Richie kepada DailySocial.

Untuk masuk sebagai peserta Founder Institute, lanjut Richie, seluruh partisipan yang bergabung diharuskan telah lolos screening melalui Entrepreneurial DNA Test. Fokus program ini adalah diri founder startup itu sendiri.

Partisipan berasal dari berbagai perusahaan startup, ada yang sudah punya ide tapi belum 100% yakin. Ada juga yang sudah jalan selama 1-2 tahun tapi masih butuh tuntunan yang lebih mendalam. Bahkan banyak juga yang bergabung tapi belum punya ide sama sekali. Mereka menjalani program pelatihan berbayar yang berjalan selama kurang lebih empat bulan.

“Ide bisa berubah-ubah, tetapi karakter dan attitude dari para founder yang kami bangun. Fokus kami tetap sama dari dulu, ingin memastikan munculnya para founder berkualitas yang tahan uji dan menciptakan startup yang berdampak buat masyarakat banyak.”

Untuk sementara ini, ada lima startup yang memiliki penilaian paling tinggi dibandingkan partisipan lain. Kelima startup itu adalah sebagai berikut:

1. Marcopolo.id, situs B2B Marketplace yang membantu pemasok menjual produk kepada pembeli dalam jumlah banyak dengan Group Buying System

2. SmartBee, aplikasi mobile yang membantu guru prasekolah untuk fokus pada pengembangan siswa dengan memungkinkan para guru berbagi analisis, laporan, penilaian, dan gambar dengan banyak orang tua secara real time

3. Ayoslide, aplikasi iklan Android yang membantu brand online berinteraksi dengan pengguna ponsel secara langsung dari layar kunci smartphone dengan insentif (virtual cash) dan hadiah mengejutkan

4. Eddemy, perusahaan SaaS B2B yang menyediakan sistem manajemen pembelajaran untuk sekolah dan meningkatkan kolaborasi antara orang tua, guru, dan siswa dalam satu platform menggunakan aplikasi situs web dan seluler

5. Napro (Nabung Properti), platform crowdfunding untuk berinvestasi secara patungan di properti.