Observing Xendit’s Plans After Series B Funding Worth of 921 Billion Rupiah

A fintech company that provides solutions to simplify payment process for businesses, Xendit, plans to focus on building a financial transaction infrastructure in Indonesia. Xendit’s Co-Founder & CEO, Moses Lo told DailySocial his hope that the product ecosystem offers can help shape the next generation of scalable businesses.

“We want startups, SMEs, and other businesses to grow rapidly without having to worry about payment infrastructure, therefore, they can fully concentrate on more important matters. We always try to give our best by listening to feedback from merchants and trying to build products that suit their needs. them,” Moses said.

In order to present relevant technology, Xendit is currently developing a new product which is claimed to be very attractive and in accordance with the company’s goal of building a reliable digital payment infrastructure in Southeast Asia. This strategic step was taken to strengthen the foundation of the business.

“Our customers trust our payments and have asked us to create new tools that can help them during the pandemic and beyond,” Moses added.

Xendit also has plans to build more tools for SMEs to be able to do online business, including online merchants.

“Our customers have requested financing to bridge their cash flow needs for the following months. We provide capital to our customers with XenCapital. We are constantly building new products and services to help our customers (both large and small businesses) excel in this new world, both in Indonesia and the Philippines,” Moses said.

In the midst of Southeast Asia’s rapid digital transformation, Xendit has now processed more than 65 million transactions with payments of $6.5 billion per year. Regarding a future consolidation with relevant parties, Moses emphasized that Xendit is always open to the possibility of collaboration to improve service and product innovation.

“We expect this step can achieve the company’s goals, to build the most reliable digital payment infrastructure in Southeast Asia,” Moses said.

Apart from Xendit, there are also several payment system providers in Indonesia for startups or SMEs. One of the most significant is Midtrans, which is now part of the Gojek group. Doku, iPaymu, Finpay, and several other players also offer similar services. With the existing competitive map, product innovation is important in order to provide complementarity for its partners.

Series B Funding

In order to accelerate business growth, Xendit has just secured a series B funding worth $64.6 million or the equivalent of 921 billion Rupiah. This funding was led by global venture capital firm Accel. Overall, the companies have raised a total funding of $88 million or IDR 1.2 trillion.

“The fresh fund will be used to scale our digital payment infrastructure and provide millions of small and medium enterprises across Southeast Asia with the path to the digital economy,” Moses said.

Accel led the funding round as supported by Y Combinator. Previously, Xendit was the first Indonesian company selected to participate in the Y Combinator accelerator program in 2015 and was named one of the top 100 companies in 2021.

“Xendit has built a modern digital payment infrastructure that is changing the way Southeast Asian businesses transact. Their combined team of deep understanding of local markets and equipped with ambitions to dominate the global market place them in a strategic position to achieve what other companies in the region can’t do,” Accel’s Partner, Ryan Sweeney said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mendalami Rencana Xendit Setelah Bukukan Pendanaan Seri B Senilai 921 Miliar Rupiah

Perusahaan teknologi keuangan yang menyediakan solusi menyederhanakan proses pembayaran untuk bisnis, Xendit, berencana untuk fokus membangun infrastruktur transaksi finansial di Indonesia. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Xendit Moses Lo mengungkapkan, harapannya dengan ekosistem produk yang ditawarkan dapat membantu membentuk generasi penerus bisnis yang scalable.

“Kami ingin startup, UKM, dan bisnis lainnya berkembang pesat tanpa harus mengkhawatirkan infrastruktur pembayaran, sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh pada hal-hal yang lebih penting. Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik dengan mendengarkan feedback dari merchant dan mencoba membangun produk yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” ujar Moses.

Guna menghadirkan teknologi yang relevan, saat ini Xendit tengah mengembangkan produk terbaru yang diklaim sangat menarik dan sesuai dengan tujuan perusahaan yaitu membangun infrastruktur pembayaran digital yang bisa diandalkan di Asia Tenggara. Langkah strategis tersebut diambil untuk menguatkan fondasi bisnis.

“Pelanggan kami mempercayai pembayaran kami dan telah meminta kami menciptakan alat baru yang bisa membantu mereka selama pandemi dan seterusnya,” kata Moses.

Xendit juga memiliki rencana untuk membangun lebih banyak alat yang ditujukan bagi para UKM untuk bisa menjalankan bisnis secara online. Termasuk untuk para pedagang online.

“Pelanggan kami telah meminta pembiayaan untuk menjembatani kebutuhan arus kas atau bulan-bulan berikutnya. Kami memberikan modal kepada pelanggan kami yang membutuhkan XenCapital. Kami terus membangun produk dan layanan baru untuk membantu pelanggan kami (baik bisnis besar hingga kecil) unggul di dunia baru ini, baik di Indonesia dan Filipina,” kata Moses.

Di tengah transformasi digital Asia Tenggara yang pesat, Xendit hingga kini telah memproses lebih dari 65 juta transaksi dengan pembayaran $6,5 miliar per tahun. Disinggung apakah ada rencana konsolidasi ke depannya dengan pihak yang dinilai relevan, Moses menegaskan Xendit selalu terbuka untuk kemungkinan kolaborasi untuk meningkatkan layanan dan inovasi produk.

“Harapannya langkah tersebut nantinya bisa mencapai tujuan perusahaan, membangun infrastruktur pembayaran digital paling andal di Asia Tenggara,” kata Moses.

Selain Xendit, di Indonesia juga sudah ada beberapa penyedia sistem pembayaran yang bisa digunakan oleh startup atau UKM. Salah satu yang paling signifikan adalah Midtrans, yang kini sudah menjadi bagian dari grup Gojek. Doku, iPaymu, Finpay, dan beberapa pemain lain juga jajakan layanan serupa. Dengan peta persaingan yang ada, maka inovasi produk menjadi penting guna memberikan komplementer bagi para mitranya.

Pendanaan seri B

Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, Xendit baru merampungkan penggalangan dana seri B senilai $64,6 juta atau setara 921 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh firma modal ventura global Accel. Secara keseluruhan, perusahaan telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $88 juta atau senilai 1,2 triliun Rupiah.

“Dana segar ini selanjutnya akan kita gunakan untuk scale infrastruktur pembayaran digital kami dengan cepat dan menyediakan jutaan usaha kecil dan menengah di seluruh Asia Tenggara dengan jalan menuju ekonomi digital,” kata Moses.

Accel memimpin putaran pendanaan tersebut dengan dukungan tambahan dari Y Combinator. Sebelumnya Xendit adalah perusahaan Indonesia pertama yang terpilih untuk mengikuti program akselerator Y Combinator pada tahun 2015 dan dinobatkan sebagai salah satu dari 100 perusahaan teratas pada tahun 2021.

“Xendit telah membangun infrastruktur pembayaran digital modern yang mengubah cara bisnis Asia Tenggara bertransaksi. Kombinasi tim mereka yang terdiri dari pemahaman terhadap pasar lokal yang mendalam dan dilengkapi oleh ambisi untuk menguasai pasar global membuat mereka berada di posisi strategis untuk mendapatkan apa yang tidak dapat dilakukan oleh perusahaan lain di wilayah ini,” kata Partner Accel Ryan Sweeney.

Perluas Cakupan Pasar, Xendit Gencarkan Pengembangan Fitur Baru

Pergeseran perilaku masyarakat ke arah digital mendorong Xendit, startup fintech yang menyediakan infrastruktur pembayaran asal Indonesia, untuk menambah saluran pembayaran digital menggandeng ShopeePay.

Integrasi ini diharapkan bisa menjangkau lebih banyak merchant rekanan Xendit dari berbagai lini bisnis serta para pelanggan setianya untuk mengakselerasi adopsi pembayaran digital.

“Dengan bertambahnya saluran pembayaran yang bisa kami sediakan untuk merchant saat ini. Kami harap ini bisa melengkapi ekosistem pembayaran serta membantu ShopeePay berkembang, juga mitra merchant kami ke depannya,” ujar Mikiko Steven Head of Customer Solutions Xendit.

Di masa pandemi ini, tren belanja masyarakat sudah mulai beradaptasi dengan marketplace daring serta pembayaran secara digital. Dari data Xendit sendiri mencatat kenaikan signifikan pada jumlah transaksi secara digital di bulan April-September 2020 sekitar 3x lipat.

Survei MarkPlus memperlihatkan ShopeePay sebagai aplikasi uang elektronik yang paling populer di Indonesia selama pandemi. Lebih jauh dipaparkan, ShopeePay unggul dengan pangsa pasar sebesar 26% dari total volume transaksi uang elektronik di Indonesia. Kemudian disusul Ovo (24%), Gopay (23%), Dana (19%), dan LinkAja (8%).

Head of Strategic Merchant Acquisition ShopeePay Eka Nilam Dari turut menyampaikan, “Dengan adanya kolaborasi strategis antara ShopeePay dan Xendit, kami berharap bisa membuka peluang yang lebih besar lagi baik untuk kedua belah pihak, juga para mitra usaha untuk semakin mendorong inklusi keuangan melalui pembayaran digital.”

Para pelaku digital yang saat ini berada di bawah naungan Xendit memiliki kesempatan untuk menjangkau lebih luas lagi para pengguna ShopeePay di tengah situasi yang sulit. Saat ini, lebih dari 100 merchant Xendit sudah mulai terintegrasi dengan kanal ShopeePay dan menambah use case baru ke dalam ShopeePay termasuk IT, Saas, Travel & Hotel Booking Platform, Education, Beauty, NPO dan Donation platform.

Kembangkan inisiatif baru

Belum lama ini, Xendit juga telah meresmikan kehadirannya di pasar Filipina. Peluncuran yang dilakukan secara virtual pada tanggal 4 Desember 2020 tersebut diharapkan bisa mendorong peningkatan transaksi digital bisnis di Filipina melalui pembangunan infrastruktur digital, juga mengukuhkan Xendit sebagai payment gateway terbaik di Asia Tenggara.

Sejak beroperasi di tahun 2017, Xendit telah memproses US$1,5M transaksi, setara dengan 20 triliun per tahunnya. Selain fitur pembayaran utama, Xendit turut mengembangkan layanan tambahan untuk pemenuhan pajak serta penyediaan modal tambahan bagi merchant melalui XenTax dan XenCapital.

XenTax merupakan produk yang dibuat oleh Xendit untuk menyederhanakan proses klien dalam mengelola pajak, sehingga mereka dapat fokus pada bisnis mereka dan mendorong pertumbuhan. Untuk menyediakan layanan ini, Xendit terkoneksi dengan salah satu Bank Persepsi dan PJAP (Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan) yang telah berizin dan resmi bermitra dengan DJP.

Untuk XenCapital, Xendit bekerja secara eksklusif dengan mitra yang memiliki lisensi dari OJK di MultiFinance untuk menyediakan modal bagi produk pinjamannya. Limit untuk setiap merchant yang mengajukan produk ini akan berbeda tergantung pada review penilaian kredit dari tim evaluasi. Semua produk Xendit tersedia untuk merchant yang sudah terdaftar dan terintegrasi.

“Rangkaian layanan Xendit dirancang untuk membuat pembayaran menjadi sederhana, aman, dan mudah bagi pelanggan sekaligus memungkinkan bisnis tumbuh secara eksponensial. Sebagai platform yang berakar kuat di Asia Tenggara, kami terus mendengarkan untuk lebih mengenali kebutuhan dan keinginan spesifik dari setiap bisnis di pasar,” ujar Moses Lo, CEO & Founder Xendit Group pada kesempatan berbeda.

Saat ini Xendit sudah memiliki total tim lebih dari 300 orang yang berkantor pusat di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. “Tujuan kami adalah untuk lebih agresif dalam menemukan solusi serta apa yang dapat kami bantu sementara sebagian besar dunia berpikir untuk menyerah,” tambahnya.

Berada di Bawah Naungan Xendit Group, Instamoney Sediakan Layanan API untuk Remitansi

Instamoney adalah penyedia layanan API (Application Programming Interface) untuk membantu suatu perusahaan menghadirkan layanan fintech berupa remitansi melalui Remittance API, pinjaman melalui Escrow API, dan investasi melalui RDL (Rekening Dana Lender) API. Secara bisnis, startup tersebut merupakan bagian dari pengembang platform payment gateway Xendit Group.

Saat ini layanan Instamoney telah menggenggam lisensi Bank Indonesia melalui PT Syaftraco. Diketahui, sebelumnya CV Syaftraco merupakan perusahaan transfer dana yang terdaftar di BI dengan nomor 11/5/DASP/2 tertanggal 4 Maret 2013. Kemudian di tahun 2018, perusahaan tersebut diakuisisi Instamoney dan berubah menjadi perseroan terbatas di bawah Xendit.

Resminya Instamoney terbentuk pada 7 Februari 2018 dengan Tessa Wijaya sebagai Founder & CEO. Diketahui saat ini ia juga menjabat sebagai COO Xendit sejak 2016. Sebelum bernaung di bisnis fintech, Tessa memiliki pengalaman karier di berbagai firma ekuitas swasta selama 7 tahun, di antaranya di QUVAT, Fairways, dan Mizuho.

“Xendit Group memahami bahwa agar bisnis dapat bertumbuh, mereka membutuhkan lebih dari sekadar platform untuk menerima pembayaran. Bertujuan untuk memberikan solusi pembayaran holistik, perusahaan-perusahaan dalam Xendit Group membangun produk berbasis teknologi dan menciptakan solusi satu atap untuk kebutuhan keuangan perusahaan,” ujar Tessa.

CEO & Founder Instamoney, Tessa Wijaya / Instamoney
CEO & Founder Instamoney, Tessa Wijaya / Instamoney

Value proposition

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penyedia API fintech dengan berbagai spesialisasinya. Misalnya Ayoconnect, fokus menghadirkan berbagai modul transaksi pembayaran. Terbaru juga ada Finantier, menghadirkan modul pengelolaan identitas dan pembayaran. Sementara yang fokus menyediakan API untuk remitansi ada Wallex Technologies.

Disinggung soal keunikan yang coba dibawa, Tessa mengatakan bahwa API yang mereka hadirkan memiliki proses yang relatif real-time. Misalnya untuk remitansi, hanya di bawah 60 detik — sehingga memungkinkan implementator melakukan efisiensi operasional dan biaya. Mereka juga mengupayakan untuk menyesuaikan standardisasi global untuk sistem API mereka, kiblatnya ke Silicon Valley, diharapkan jadi lebih mudah dalam proses integrasi.

Layanan API Instamoney ditargetkan kepada tiga segmen. Pertama untuk perusahaan-perusahaan remitansi di Indonesia yang sudah memiliki izin dari BI dan menginginkan proses transfer dana melalui sentuhan digital. Kedua, perusahaan remitansi di luar negeri yang mencari mitra lokal. Dan yang ketiga, perusahaan pada umumnya yang memerlukan proses transfer dana dalam model bisnisnya.

Kerja sama dengan TransferWise

Belum lama ini platform remitansi asal London “TransferWise” meresmikan kehadirannya di Indonesia. Memungkinkan pengguna untuk mengirim/menerima dana dari/ke luar negeri dalam bentuk Rupiah. Dalam sistemnya, mereka mengaplikasikan API yang disediakan Instamoney, sekaligus menggandeng mereka sebagai mitra strategis lantaran TransferWise tidak memiliki lisensi dari BI.

“Instamoney bekerja sama dengan Transferwise untuk menyediakan layanan transfer dana melalui aplikasi digital yang cepat, aman dan mudah dengan biaya yang lebih terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Sebagai perusahaan penyelenggara transfer dana yang berizin di Indonesia, Instamoney menyediakan API dan teknologi remitansi kelas dunia yang terhubung dengan partner bank agar proses transfer dana dapat berlangsung dengan lancar,” ujar Tessa.

Dalam operasionalnya Instamoney menggandeng bank lokal dan lembaga keuangan lainnya sebagai mitra strategis. Sehingga memungkinkan banyak transaksi dilakukan pada saat yang bersamaan, dilengkapi dengan sistem pencegahan/mitigasi risiko, dengan mengenal pola-pola saat melakukan transfer dana.

“Banyak sekali aktivitas remitansi dan transfer dana di Indonesia, tetapi sebagian besar masih dianggap konvensional. Kami ingin membantu mengubahnya dengan produk dan teknologi terkini kami,” imbuh Tessa.

Disampaikan, setiap bulannya Instamoney telah melayani ratusan ribu transaksi dari perusahaan-perusahaan finansial yang menjadi kliennya. Pun saat pandemi, dari data yang ada terlihat adanya peningkatan akibat adopsi digital yang makin masif.

“Dalam satu tahun ke depan, kami masih akan melakukan fokus untuk memahami lebih dalam akan kebutuhan transfer dana dan meningkatkan kualitas produk yang relevan bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia. Kami juga ingin menjalin hubungan yang lebih baik lagi dengan regulator dan mendukung program-program dan kebijakan mereka untuk meningkatkan industri transfer dana di Indonesia,” tutup Tessa.

Gambar header: Depositphotos.com

Lika-Liku Proses Pencarian Pendanaan Seri A

Dalam proses membangun startup yang berkelanjutan, ada banyak tahapan yang harus dilalui, pendanaan menjadi salah satu yang signifikan dan tidak bisa dipisahkan dari metrik pertumbuhan bisnis sebuah perusahaan. Dalam artikel ini, DailySocial akan membahas lebih lanjut mengenai pendanaan eksternal pada tahapan Seri A atau sering disebut putaran Seri A. Tahapan ini adalah lanjutan dari  pendanaan tahap awal atau seed round. 

Startup yang sampai pada tahapan ini umumnya sudah memiliki beberapa produk yang matang dan mendapat beberapa klien / income yang lumayan, namun masih membutuhkan inovasi untuk terus growth. Hal ini juga yang membuat peran investor pada tahapan Seri A menjadi esensial, karena dapat menentukan keberlangsungan bisnis perusahaan.

Di Startup Report 2019 bertajuk “Scaling Through Technology Democratization” yang diterbitkan DSResearch, setidaknya ada 31 startup di Indonesia telah mendapatkan pendanaan Seri A di tahun 2019. Y Combinator juga telah merilis sebuah panduan lengkap bagi perusahaan yang sedang atau akan melanjutkan pendanaan ke tahapan Seri A.

Berikut ini beberapa tips bagi para pemain industri yang berencana menggalang pendanaan Seri A. Sebagai catatan, tips ini tidak disusun berdasarkan urutan langkah yang harus dilakukan pertama kali.

Apa saja yang harus “disajikan”?

Sebagaimana lanjutan dari pendanaan tahap awal, fokus pendanaan Seri A berkembang dari sekedar mengukur potensi produk serta mengidentifikasi calon pengguna. Hal-hal yang ditawarkan bukan lagi sekedar impian dan dramatisasi kreasi perusahaan. Pada tahap ini, perusahaan harus sudah memiliki traksidata-data pendukung cerita, dan target-target ke depannya.

pendanaan seri A
Ilustrasi timeline pendanaan seri A dari Y Combinator

Metrik menjadi kunci dari persiapan pendanaan Seri A. Dalam hal ini, Y Combinator mematok standar pertumbuhan 30% setiap bulan (month over month) untuk tahap awal. Dari sini dapat terlihat bahwa perusahaan telah menemukan product market fit dengan potensi pertumbuhan eksponensial. Masing-masing perusahaan bisa memiliki metrik yang berbeda-beda. Salah satu contoh adalah Xendit, sebagai bisnis pembayaran, metrik mereka adalah TPV (total payment value).

Metrik yang jelas serta dibuktikan dengan angka-angka yang tepat akan sangat membantu dalam membangun narasi yang bisa meyakinkan investor untuk berinvestasi pada perusahaan Anda.

“Ketika Anda telah menemukan pasar-produk yang sesuai dan Anda siap untuk memulai mengembangkan skala bisnis. VC hanya akan mendukung gagasan yang dapat berkembang,” ujar Founder dan CEO Xendit, Moses Lo.

The dos and don’ts

Jika Anda ingin berhasil dengan pendanaan Seri A ini, buatlah target yang terukur dan transparan. Misalnya dalam hal jumlah, daripada memberikan rentang, lebih baik langsung menentukan digit angka. Semakin rinci sebuah financial plan menunjukkan kematangan perusahaan.

Meskipun demikian, kejujuran dan transparansi tetap harus jadi prioritas. Investor sendiri punya tim khusus untuk melakukan background check serta perhitungan finansial perusahaan. Jadi hindari resiko fraud atau manipulasi, karena akan terlihat buruk dalam sejarah perusahaan.

Ketika Anda sudah yakin dengan semua perhitungan yang ada dan menyampaikan narasi dengan percaya diri, tapi kemudian mendapat penolakan, Anda tidak perlu berpikir terlalu dalam. Penggalangan dana, layaknya penjualan, adalah permainan angka dengan berbagai risiko penolakan. VC pun terkadang menggunakan strategi “tarik-ulur” dalam menentukan portfolio mereka.

“Jangan biarkan penolakan membuatmu patah semangat. Kami pun berkali-kali ditolak oleh VC. Namun, hal itu tidak jadi personal. Terkadang VC akan menolak dulu sebelum mengatakan ‘Ya’ untuk berinvestasi,” ujar Moses.

Memang membutuhkan lebih banyak ketekunan, waktu dan usaha, namun ketika Anda telah mengerahkan seluruh energi untuk membuat produk ini layak dan dicintai masyarakat, mengapa perlu patah semangat?

Mengenal investor yang tepat

Tidak sedikit founder yang menganalogikan pendanaan dengan pernikahan. Memang keduanya melibatkan komitmen yang tidak dangkal, serta rasa saling percaya bahwa masing-masing punya tanggung jawab dan bisa melaksanakan dengan baik. Karena itu, muncul pertimbangan lain ketika perusahaan dan investor memutuskan untuk mengikat janji dalam sebuah term sheet. 

Para investor pun punya metrik sendiri untuk menilai founder di luar perhitungan-perhitungan yang mereka buat. Anda juga perlu menciptakan sebuah proses di mana kurva permintaan dan penawaran sesuai dengan target valuasi. Dengan begitu, Anda bisa menilai investor mana yang menawarkan tidak hanya kuantitas namun juga kualitas.

Willson Cuaca, Managing Partner East Ventures, selalu menekankan, “Kuncinya adalah berinvestasi pada individu. Setelah Anda menemukan seseorang yang tepat dan klik, Anda akan percaya sepenuhnya pada kemampuan mereka untuk berjalan secara independen dan membawa hasil terbaik melalui kesepakatan [term sheet] ini.”

Dalam hal ini, penting sekali untuk memastikan bahwa investor memiliki value yang sejalan dengan visi dan misi perusahaan. Hal ini semata-mata demi menghindari adanya clash of understanding di tengah perjalanan.

Seperti dikutip dari Series A Guide by Y Combinator, “Sederhananya adalah seperti ini: dalam proses evaluasi, cobalah pahami setiap bagian dari kualifikasi dan kondisi yang bisa menciptakan efek domino jangka panjang. Ekonomi bersifat sementara, tetapi kontrol berjalan selamanya.”

Strategi bisnis ke depan

Berbicara pendanaan, bukan hanya tentang persiapan pelaksanaan namun juga berkaitan dengan rencana masa depan. Dalam kasus ini, pendanaan Seri A merupakan goal, namun bukan hasil akhir. Dana yang didapat hanya berlaku sebagai alat. Alat yang bisa dipakai untuk membangun perusahaan atau malah menjatuhkannya.

Beberapa founder memanfaatkan kesempatan ini untuk strategi burn money. Tidak ada yang salah dengan hal itu, selama masing-masing bertanggung jawab dengan keputusannya. Para pendiri yang sukses dengan pendanaan Seri A tidak lantas bisa beristirahat dengan tenang, karena jalanan di depan akan jauh lebih terjal.

Dengan demikian, menghabiskan waktu dengan menyusun strategi selanjutnya seperti rencana rekrutmen, pengembangan produk, manajemen para investor, serta bagaimana bertumbuh secara individu menjadi sebuah keputusan bijak.

Formula ini berlaku pada beberapa perusahaan dari berbagai sektor industri. Tidak bisa dipungkiri, akan ada anomali dalam beberapa kasus. Namun, selama Anda berinvestasi pada diri sendiri dan percaya dengan produk yang ditawarkan, panduan ini akan membantu dalam melancarkan proses serta mewujudkan target jangka panjang tersebut.

Xendit Klaim Pertumbuhan Perusahaan Terus Sajikan Angka Positif

Penyedia jasa infrastruktur teknologi finansial Xendit menginformasikan sejumlah pencapaian dan target yang ingin dicapai tahun ini. Kepada DailySocial, COO Tessa Wijaya mengungkapkan, “Sampai saat ini, kami bertumbuh lebih dari 1000% CAGR setiap tahunnya. Pertumbuhan ini menurut kami sangat sehat melihat perkembangan ekonomi dan industri pembayaran digital di Indonesia. Kami yakin dapat mempertahankan tren positif ini setiap tahunnya.”

Tahun ini perusahaan sudah menambah beberapa kemitraan baru, baik dengan berbagai jenis startup maupun mitra-mitra dari berbagai pihak. Xendit mengklaim solusi pembayaran yang disajikannya, setelah beberapa kali pivot, saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan pasar dan sesuai dengan infrastruktur yang ada di Indonesia saat ini.

“Pada dasarnya setiap usaha yang memiliki potensi untuk menjual barang maupun jasa secara digital merupakan target pasar kami. Jenis-jenis usaha tersebut adalah [pemain] e-commerce seperti Tiket, Moka POS, BookMyShow, Style Theory, Lemonilo dan beragam UKM yang merupakan salah satu target pasar utama Xendit,” kata Tessa.

Perusahaan sendiri menyatakan belum akan menggalang dana baru dalam waktu dekat. Meskipun demikian, ia tidak memungkiri dana segar bisa mendukung implementasi strategi pengembangan bisnis startup. Xendit juga tidak menutup potensi berekspansi ke negara-negara tetangga.

“Kami berambisi untuk menjadi mitra bisnis solusi pembayaran digital terbaik. Tentunya hal ini akan didukung dengan pengembangan produk-produk yang dapat memenuhi product market fit yang terus berevolusi dan menjadi penyokong untuk memajukan infrastruktur sistem pembayaran di Indonesia,” kata Tessa.

Beberapa pesaing terdekat Xendit antara lain Midtrans dan Doku.

Mempermudah pembayaran digital

Ekosistem industri startup di Indonesia menurut Tessa masih dalam tahap perkembangan awal. Fokus pelaku industri startup di Indonesia saat ini masih ke pasar B2C yang sarat kompetisi. Diklaim belum banyak jenis bisnis yang menjamah ranah B2B maupun open API based seperti Xendit.

Masih rendahnya keterbukaan informasi juga menjadi perhatian perusahaan. Komunitas startup di Asia, termasuk Indonesia, cenderung lebih tertutup dalam berbagi ilmu pengetahuan, terutama mengenai ide, pengalaman dan strategi bisnis. Sedangkan di negara-negara maju, knowledge sharing dilakukan dengan sangat terbuka sehingga dapat memicu perkembangan industri secara signifikan.

Xendit ingin menjadi pelopor keterbukaan informasi tersebut. Ini dapat dilihat dari terbukanya akses desain open API based produk Xendit untuk umum di website kami dan forum terbuka bagi pelanggan kami untuk bertukar pikiran terkait untuk pelanggan-pelanggan startup kami,” kata Tessa.

Tentang strategi burn rate yang selama ini lazim dilakukan startup untuk menguasai pasar, Tessa menyebut burn rate tidak selalu berarti hal negatif. Ia memberi contoh Xendit berinvestasi untuk pertumbuhan Indonesia antara lain dengan cara merekrut tim teknis terbaik untuk melakukan pengembangan produk dan infrastruktur pembayaran kelas dunia.

Burn rate yang dilakukan saat ini juga termasuk dari bagian riset untuk menemukan product-market fit terbaik untuk pasar Indonesia, sehingga pelanggan, termasuk calon-calon startup unicorn dapat memusatkan perhatian mereka ke pengembangan bisnis masing-masing dan dapat membebankan tanggung jawab pemrosesan transaksi dan rekonsiliasi pembayaran digital.

“Tahun ini Xendit ingin fokus kepada kenyamanan bertransaksi, keamanan bertransaksi, dan keandalan sistem infrastruktur. Kami percaya jika klien-klien kami berkembang, sistem pembayaran di Indonesia berkembang, Xendit akan bertumbuh bersama mereka,” kata Tessa.

Jalin Kerja Sama dengan Xendit, Jurnal.id Hadirkan Fitur Jurnal Pay

Pengembang perangkat akuntansi online Jurnal.id baru-baru ini memperkenalkan fitur barunya yang diberi nama Jurnal Pay. Fitur ini diperuntukkan untuk membantu pengusaha UKM melakukan pembayaran akun melalui virtual account, baik berupa bank transfer ataupun kartu kredit. Sehingga kini para UKM dapat memproses penagihan agar pelanggan mereka melakukan pembayaran online dari setiap invoice yang dikirim.

Selain itu, melalui Jurnal Pay, pelaku UKM dapat mengelola dan merangkai rencana keuangan dengan memberikan pilihan proses pembayaran serta menerima pembayaran dengan cepat, di mana pun dan kapan pun. Pengembangan Jurnal Pay sendiri dilakukan bekerja sama dengan Xendit, yang merupakan penyedia jasa infrastruktur teknologi finansial di Asia Tenggara. Xendit menyediakan Payment Gateway Portal untuk pemrosesan transaksi melalui virtual account tadi.

Melalui fitur ini, pengguna Jurnal.id tidak perlu repot lagi untuk mendaftarkan virtual account sendiri. Dengan memasukkan beberapa informasi seperti nama perusahaan, email, nama bank, nama akun, rekening Jurnal.id, serta akun biaya pada Jurnal Pay, pengguna dapat menerima pembayaran melalui bank-bank terpilih meliputi Mandiri, BRI, BCA, dan BNI. Pencatatan transaksi penerimaan dan pencairan dana terverifikasi secara otomatis, sehingga pengguna Jurnal Pay tidak perlu melakukan pengecekan pembayaran secara manual karena semua telah tercatat pada sistem Jurnal.id.

“Mengamati bahwa pelaku UKM cenderung terpengaruh faktor eksternal sehingga mereka melewatkan faktur wajib untuk dibayarkan dan masih melakukan konfirmasi penerimaan uang secara manual, mendorong kami untuk berinovasi dengan menyediakan layanan praktis bagi UKM. Dengan menggandeng Xendit, kami memberikan solusi praktis agar pengguna dapat menerima pembayaran secara langsung dan mendapatkan notifikasi konfirmasi pembayaran serta pencatatan invoice yang telah dibayar secara otomatis sehingga para pelaku UKM tidak lagi khawatir melewatkan faktur wajib yang harus dibayarkan,” ujar Chief Executive Officer Jurnal.id Daniel Witono.

Terintegrasi dari Xendit memudahkan Jurnal.id mengakomodasi kebutuhan transaksi beragam tipe perusahaan untuk menerima pembayaran transfer bank dan kartu kredit, mengelola dana dengan sistem escrow, serta mengirim pembayaran skala besar.

Sementara itu Moses Lo selaku Founder & CEO Xendit mengungkapkan, “Hal ini sejalan dengan misi kami yang bertujuan membantu para pebisnis untuk menerima pembayaran secara mudah dan terkendali. Sebaliknya dari sisi pembayar dipermudah pada segi waktu dalam melakukan pembayaran melalui pilihan virtual account (bank transfer) atau kartu kredit. Kami harap kontribusi ini menuai respons positif dari pengguna Jurnal.id dan menguatkan posisi Jurnal.id sebagai software akuntansi.”

Application Information Will Show Up Here

Transformasi Layanan Pembayaran Xendit

Layanan pembayaran peer-to-peer (P2P) Xendit, yang hadir di Indonesia sejak tahun 2015 lalu, telah melakukan transformasi dalam hal layanan. Xendit kini fokus menjadi layanan infrastruktur pembayaran atau yang banyak dikenal sebagai payment gateway.

Berawal dari obrolan sederhana, ide memperluas bisnis dengan mengubah sedikit model bisnis secara spontan muncul dari Co-founder Xendit Moses Lo. Kepada DailySocial, Moses mengungkapkan momen tersebut sebagai pencerahan untuk perkembangan bisnis Xendit.

“Sekitar 16 bulan yang lalu saya sedang berbincang dengan rekan seputar infrastruktur yang mampu membuat aplikasi P2P bekerja dengan baik di Xendit, di akhir perbincangan tersebut rekan kami cukup antusias dengan ide yang kami miliki dan mengatakan bersedia untuk membayar ide yang kami miliki, dari situlah akhirnya kami memutuskan untuk membuat sistem pembayaran yang bernilai,” kata Moses.

Moses juga menambahkan setelah sistem telah dirampungkan, Moses dan tim mulai menawarkan produk terbaru tersebut, dan secara perlahan telah memberikan kontribusi lebih untuk Xendit. Tidak lama kemudian Xendit memutuskan untuk melakukan transformasi bisnis fokus kepada infrastruktur pembayaran.

Guna memberikan layanan terbaik kepada kliennya, Xendit berusaha untuk mengenali kebutuhan paling krusial dari semua klien yang ada. Setelah melihat dan mencermati kendala yang mereka hadapi, tim Xendit berusaha untuk menghadirkan solusi tersebut, kemudian menjualnya kembali kepada klien yang lain.

“Yang kami temukan adalah saat ini masih banyak pembayaran paling dasar yang masih belum tersedia di Indonesia. Contohnya, kami menghadirkan transfer secara instan tanpa batas ke semua bank di Indonesia setiap saat melalui API. Layanan ini sebelumnya belum ada di Indonesia,” kata Moses.

Hingga kini Xendit mengklaim telah memiliki ratusan merchant dan partner yang berasal dari startup hingga layanan e-commerce yang memanfaatkan Xendit untuk pembayaran. Berdasarkan kategori, klien Xendit adalah layanan e-commerce, P2P lending, dan perusahaan asing yang mencari teknologi pembayaran standar kelas dunia.

Target Xendit tahun 2017

Saat ini Xendit disebut telah mengalami pertumbuhan sebesar 20% setiap bulannya dalam waktu 16 bulan terakhir. Pencapaian tersebut seiring dengan tumbuhnya industri startup di Indonesia. Xendit menyematkan API atau interface dengan kualitas terbaik dan sederhana, menjadikan integrasi semakin mudah.

“Dari sisi produk kami menyediakan layanan yang berfungsi dengan baik dan Service Level Agreement (SLA) yang tidak diberikan oleh layanan lainnya, yaitu menyediakan transfer secara instan ke lebih dari 130 bank melalui API. Bukan hanya klien Indonesia yang menyukai layanan kami, namun juga pelanggan asing yang merasa puas dengan kecepatan layanan dari tim layanan pelanggan kami,” kata Moses.

“Tujuan kami adalah menemukan dan mendukung startup unicorn dari Indonesia selanjutnya, terutama yang menghadirkan inovasi layanan seperti kartu kredit yang bisa dinikmati secara langsung dalam waktu beberapa jam saja dan bisa menerima kartu kredit asing. Target kami lainnya adalah menambah jumlah kapasitas hingga 10 kali lipat untuk memenuhi permintaan yang ada saat ini,” tutup Moses.

Justin Kan dan Pengalamannya Sebagai Entrepreneur Kelas Dunia

Akhir pekan lalu (30/01), entrepreneur kelas dunia asal Amerika Serikat yang sebelumnya telah sukses mendirikan Justin TV, Twitch, dan saat ini memegang posisi sebagai Partner di venture capital Y Combinator Justin Kan hadir di Jakarta dalam suatu sesi Ask Me Anything yang digelar layanan fintech Xendit dan @America. DailySocial turut hadir dalam acara tersebut dan mencermati beberapa poin penting tentang pengalamannya sebagai seorang entrepreneur.

Nama Justin Kan tentunya sudah tidak asing lagi dikalangan pelaku dan penggiat startup. Kesuksesannya meniti karir sebagai entrepreneur telah dimulai sejak pertama kali ia membuat Kiko, sebuah AJAX web calendar bersama rekannya Emmet Shear. Dengan model bisnis yang sederhana, Justin berhasil menjual idenya tersebut kepada investor untuk mendapatkan pendanaan.

“Ketika melakukan penggalangan dana pastikan Anda selaku pendiri startup meninggalkan kesan kepada investor jika mereka tidak menginvestasikan kepada startup Anda akan rugi besar dan kehilangan momen yang berharga,” kata Justin.

Namun demikian, setelah mulai berjalan, web calendar miliknya tidak terlalu banyak digunakan oleh masyarakat. Untuk bisa mengembalikan pendanaan yang diberikan oleh investor, Justin dan rekan akhirnya menjual perusahaan miliknya melalui eBay ke Tucows.

“Pengalaman tersebut tentunya membuat saya lebih percaya diri dan belajar dari kesalahan yang telah dibuat. Ternyata salah satu kunci kesuksesan untuk menjadi entrepreneur yang sukses adalah buat produk yang baik, lemparkan ide tersebut ke publik,” kata Justin

Cara unik yang ditempuh oleh Justin untuk menjual perusahaan melalui eBay ternyata membuahkan hasil. Tidak lama kemudian perusahaan pertama miliknya telah resmi terjual.

Setelah gagal membangun usahanya yang pertama, Justin kemudian mulai mengembangkan ide untuk membangun usaha yang baru. Munculah ide untuk membuat live streaming reality show Justin.TV. Ide unik dan tergolong segar tersebut ternyata disambut dengan baik oleh Paul Graham dari Y Combinator, yang kemudian bersedia untuk memberikan investasi kepada Justin untuk mengembangkan Justin.TV.

Kehadiran Justin.TV kemudian melahirkan ide untuk membuat Twitch, platform video dan komunitas untuk para gamer. Para gamer dari seluruh dunia bisa terhubung dengan sistem dari Twitch, mereka bisa menyiarkan, menonton dan chatting dengan siapa dan darimana pun ketika bermain.

“Twitch dibangun berdasarkan feedback yang kami terima dari para pengguna Justin.TV. Mereka melemparkan ide alangkah baiknya jika mereka bisa melihat para gamer profesional sedang bermain dan ditayangkan secara live stream online, kami akhirnya mulai merubah platform dan membuat Twitch,” kata Justin.

Justin mengklaim saat ini pengguna Twitch di seluruh dunia sudah mencapai 100 juta orang setiap bulannya. Pada tahun 2014 perusahaan raksasa Amazon membeli Twitch  dengan nilai $970 juta (atau sekitar Rp 13 triliun). Video-video Twitch sudah menjangkau lebih dari 55 juta gamer. Rata-rata, menurut Justin, pengguna menonton 106 menit per hari.

Ciptakan ide bisnis yang unik dan tentunya bersifat ‘niche’ untuk memulai startup, tahap selanjutnya, ketika ide sudah ditentukan, buat produk yang menarik dan langsung lemparkan produk tersebut ke publik,” kata Justin.

Asia Tenggara dan potensinya menjadi kawasan startup terpadu

Saat ini Justin Kan menjabat sebagai Partner di Y Combinator. Salah satu tugas yang dibebankan kepadanya adalah mencari startup-startup baru yang yang berpotensi untuk diberikan investasi oleh Y Combinator.

Selama ini Y Combinator mencatat dari 12 ribu startup yang mengirimkan pitch deck-nya, hanya sekitar 100 startup yang kemudian dilirik oleh Y Combinator (0,8%). Saat ini Y Combinator telah menghasilkan 800 startup, 1600 founder dengan nilai total valuasi keseluruhan berjumlah $65 miliar (sekitar Rp 890 triliun).

Startup yang telah mendapatkan pendanaan dari Y Combinator di antaranya adalah airbnb, Dropbox, Twitch, Xendit, wepay, 9gag, reddit, codeacademy dan masih banyak lagi. Selain Amerika Serikat, saat ini Y Combinator telah melakukan investasi di negara-negara seperti India, Indonesia, Tiongkok, Singapura Amerika Latin hingga Afrika.

“Kami selalu memilih ragam startup untuk didanai mulai dari e-commerce, fintech dan lainnya. Pastikan dengan jelas Anda mengetahui bisnis yang anda jalankan dan seorang Founder harus memiliki insight serta skill yang baik untuk mengembangkan startup mereka,” kata Justin.

Asia Tenggara merupakan pasar yang dibidik secara khusus oleh Y Combinator saat ini, meskipun belum banyak startup yang didanai (kurang lebih hanya sekitar 1% jumlahnya). Justin melihat Indonesia memiliki potensi yang besar untuk investasi.

“Masyarakat indonesia banyak jumlahnya dan sebagian besar dari mereka menggunakan smartphone secara rutin. Pasar tersebut yang tentunya kami bidik sebagai pasar yang luar biasa,” ungkap Justin.

Kerika ditanya startup seperti apa yang berpotensi besar di Indonesia, Justin menyebutkan fintech merupakan sektor yang cukup menjanjikan. Faktanya adalah saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang belum bankable, merupakan pasar yang memiliki potensi besar untuk dibidik.

Sektor lain yang juga menarik perhatian Justin adalah layanan on-demand seperti yang telah dilakukan oleh Go-Jek, Uber dan Grab.

“Di Amerika Serikat mahal sekali untuk mempekerjakan pegawai, sehingga sulit untuk mengembangkan model bisnis seperti Go-Jek yaitu dengan kemitraan. Tidak heran ketika layanan on-demand seperti Go-Jek cukup populer dan disukai oleh publik dan tentunya digunakan setiap harinya,” ungkap Justin.

Dalam kesempatan tersebut Justin juga melihat layanan Go-Massage yang dihadirkan oleh Go-Jek cukup menarik dan berpotensi menjadi besar untuk ke depannya.

Good growth vs bad growth

Salah satu poin penting yang juga dibagikan Justin adalah bagaiamana mendiferensiasi antara pertumbuhan yang baik atau buruk pada startup. Pertumbuhan yang baik atau good growth tentunya adalah ketika produk startup disukai oleh pengguna dan memiliki jumlah pengguna yang aktif setiap harinya. Namun demikian jika saat ini produk yang Anda miliki belum memiliki traksi yang cukup signifikan, tidak ada salahnya untuk mempertahankannya.

“Apakah buruk membuat sesuatu yang tidak menghasilkan uang? Jika produk tersebut terbukti bermanfaat dan digunakan oleh beberapa pengguna saja, carilah investor yang memiliki visi dan misi yang sama untuk mengembangkan. Jika saat ini belum banyak traksi, kemungkinan besar suatu hari nanti akan berpotensi untuk sukses,” tuntas Justin.

Setelah Xendit, Startup Lokal Harus Siap Bersaing dengan Startup Jebolan Y Combinator yang Lain

shutterstock_302443847

Tiga hari yang lalu layanan pembayaran peer-to-peer Xendit diluncurkan di Indonesia. Banyak yang mengira Xendit berasal dari kawasan Asia Tenggara, padahal Xendit sendiri didirikan oleh empat mahasiswa UC Berkeley — satu orang memiliki darah keturunan Indonesia — yang berhasil mengikuti program inkubator Y Combinator. Dengan Y Combinator secara eksplisit mencantumkan nama Asia Tenggara, selain Tiongkok dan India, sebagai salah satu kategori segmen startup yang dibidiknya, startup tanah air mau tak mau harus siap berkompetisi dengan mereka yang dari awal memiliki jaringan global.

Continue reading Setelah Xendit, Startup Lokal Harus Siap Bersaing dengan Startup Jebolan Y Combinator yang Lain