Melacak Kebocoran Data Pelanggan di Platform Digital Tanah Air

Beberapa tahun terakhir setidaknya ada satu kejadian peretasan cukup besar yang muncul hampir setiap tahun. Beberapa hari yang lalu ada Tokopedia dan Bhinneka. Tahun lalu ada Bukalapak. Ada juga celah yang ditemukan di Gojek yang mengekspos data para penggunanya beberapa tahun silam.

Kejadian-kejadian tersebut tentu membuat banyak orang bertanya ada apa dengan keamanan perusahaan internet di Indonesia. Rentetan insiden ini pun menjadi sebuah momen yang tepat bagi para platform digital di Tanah Air untuk melihat kembali apa yang sudah mereka lakukan dalam mengamankan data penggunanya.

Insiden Tokopedia

Sebuah email dari Tokopedia atas nama Founder & CEO William Tanuwijaya mendarat di kotek surel pengguna Tokopedia pada 12 Mei 2020 atau sekitar 10 hari ketika pembobolan data di Tokopedia terkuak ke publik. Surat itu kurang lebih berisi ucapan William untuk meyakinkan para pengguna bahwa mereka sudah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi kasus pencurian data itu.

Surat dari William tersebut tak mengherankan karena tingkat kegawatan yang terjadi memang sebesar itu. Data dari sekitar 91 juta pengguna dijual secara ilegal oleh peretas yang mencurinya. Data itu terdiri nama lengkap, alamat email, nomor telepon, tanggal lahir, hingga kata sandi yang beruntung masih terlindungi (hashed).

“Kami memahami bahwa kejadian ini telah menimbulkan ketidaknyamanan pada seluruh pengguna. Maka dari itu, kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pengguna Tokopedia atas dukungan Anda yang tiada henti kepada kami di tengah tantangan kali ini,” pungkas William dalam surat itu.

Rentang waktu dari terkuaknya pencurian data sampai surat William memakan waktu 10 hari. Mereka mengerahkan tim internal dan eksternal serta menggandeng Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk menginvestigasi kasus ini. Namun hingga sekarang belum terdengar ada kabar lanjutan tentang investigasi tersebut ke telinga pengguna.

Melacak Sebab

Sebuah kemungkinan penyebab dari kasus Tokopedia muncul ke permukaan dari mulut Teguh Aprianto, pendiri dan ketua umum Ethical Hacker Indonesia. Dalam wawancaranya dengan Nathaniel Rayestu di Asumsi Bersuara beberapa hari lalu, Teguh menyebut program bug bounty yang tidak dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Tokopedia sebagai penyebab pembobolan data di sana.

Program bug bounty adalah semacam sayembara yang mengundang para peneliti keamanan berlomba-lomba mencari dan menemukan bug di situs web, software, atau aplikasi. Sebagian besar perusahaan internet besar di Indonesia punya program ini.

Hanya saja dalam kasus Tokopedia, Teguh mengatakan perusahaan e-commerce itu tak setia dengan program bug bounty yang mereka buat. Hal itu terjadi karena ketika ada laporan penemuan bug yang dikirim, pihak Tokopedia menyebut tim internal mereka sudah menemukannya lebih dulu.

“Misal hari ini gue lapor ke Tokopedia, nanti beberapa hari kemudian ada balasan dari Tokopedia isinya ‘kami sudah menemukan dari internal kita’. Kalau sudah ditemukan oleh internal, masa sudah berbulan-bulan enggak diatasi. Dan ini berulang kali kejadian. Mekanisme yang mereka lakukan ini tidak jelas, tidak ada tranparansinya,” ucap Teguh.

Teguh menyebut kasus pencurian data di Tokopedia sudah terjadi sekali sebelumnya. Sejak kejadian pertama itu, ia dan komunitas bug hunter sudah memperkirakan ada bom waktu yang berpotensi berdampak serupa. Penyebab di kasus Tokopedia itu disebut tak berbeda dengan kasus Bukalapak yang mencuat tahun lalu.

“Tokopedia dan Bukalapak itu dua company yang menjalankan program bug bounty. Tapi problemnya company ini sudah di-blacklist oleh peneliti atau bug hunter karena laporan yang masuk enggak ditangani secara profesional,” imbuhnya.

Kami menghubungi Tokopedia dan Bukalapak untuk menggali lebih jauh soal penyebab kebocoran data yang menimpa mereka. Hasilnya, Tokopedia menolak berkomentar. Sementara itu Bukalapak mengaku tak tahu ada pihak yang memasukkan mereka ke daftar hitam untuk urusan bug bounty.

“Kami tidak mengetahui tentang adanya blacklist pada program bug bounty komersial manapun. Kami memiliki program bug bounty dengan tingkat partisipasi luar biasa yang membantu kami meningkatkan keamanan platform,” tulis Head of Corporate Communication Bukalapak Intan Wibisono kepada DailySocial.

Kami berbicara lebih lanjut dengan Girindro Pringgo Digdo, CEO CyberArmyID, sebuah perusahaan keamanan siber yang menghubungkan bug hunter dengan perusahaan atau organisasi yang membutuhkan. Dari pengalamannya, Girindro mengatakan memang ada dilema yang kerap dihadapi oleh bug hunter dalam program bug bounty.

Dilema yang dimaksud Girindro, senada dengan narasi Teguh sebelumnya, hasil kerja bug hunter sudah diklaim ditemukan internal perusahaan lebih dulu. Girindro menegaskan hal itu sudah sering terjadi. Perkara temuannya adalah duplikasi atau tidak, menurut Girindro, hal itu keputusan sang bug hunter.

“Kalau bug hunter tidak puas atas temuan yang disebut duplikat terus, menurut saya lebih baik main di tempat lain saja. Enggak usah ikut di tempat itu lagi,” jelas Girindro.

Kendati demikian Girindro mengakui, berdasarkan pengalamannya, cukup banyak aplikasi milik perusahaan lokal yang punya banyak celah sehingga rentan dieksploitasi. Hal itu, menurut Girindro, cukup menjadi alasan bagi semua entitas di Indonesia mempersiapkan aspek sumber daya manusia, prosedur kebijakan, dan teknologi untuk mengamankan data pengguna mereka.

“Kalau bicara keamanan, apalagi yang asetnya sudah tinggi, keamanan itu harusnya sudah bukan beban, melainkan prioritas bisnis,” ungkapnya.

Sekali lagi, kita butuh UU PDP

Jika ada satu hal yang perlu dilakukan pemerintah dan wakil rakyat di parlemen dalam menyikapi rentetan kasus pembobolan data di perusahaan internet kita adalah mempercepat pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi sebagai undang-undang.

Setiap kali ada kasus pencurian data itu, pengguna yang sudah dirugikan seolah punya kuasa untuk menuntut keamanan data yang mereka amanatkan kepada penyedia layanan digital.

Berdasarkan draf per Desember 2019, RUU PDP memuat 72 pasal dan 15 bab mengatur tentang definisi data pribadi, jenis, hak kepemilikan, pemrosesan, pengecualian, pengendali dan prosesor, pengiriman, lembaga berwenang yang mengatur data pribadi, dan penyelesaian sengketa. Selain itu, mengatur kerja sama internasional hingga sanksi yang dikenakan atas penyalahgunaan data pribadi.

Ketika beleid itu sah menjadi UU, kuasa masyarakat sebagai konsumen dan warga negara atas data mereka akan lebih kuat dari sebelumnya.

“Refleksi atas pelaksanaan hukum digital perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan sanksi hukum yang tepat bagi mereka yang melakukan pelanggaran data pribadi,” tukas Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Teguh menambahkan memang ada aspek edukasi publik yang harus berjalan beriringan dengan proses legislasi RUU PDP. Namun ia menegaskan dalam situasi saat ini RUU PDP lebih dibutuhkan.

“Kalau dibanding dua-duanya, menurut gue lebih butuh UU PDP karena awareness publik itu butuh waktu lebih lama,” pungkas Teguh.

Meneropong Relasi Fintech dan UKM di Masa Pandemi

Teori dan pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa UKM kerap menjadi pelindung perekonomian Indonesia ketika musim paceklik menyergap. Contoh yang sering disertakan adalah krisis moneter pada 1998 dan resesi global pada 2008. Selama dua kejadian besar itu, UKM selalu disebut menjadi kekuatan ekonomi Indonesia yang bertahan ketika sektor lain ambruk.

Namun pandemi Covid-19 memberi pukulan yang berbeda. UKM tak bisa kebal menghadapi risiko-risiko ekonomi yang dibawa oleh wabah ini. Ketersediaan modal adalah salah satu faktor terpenting bagi bisnis UKM. Jika riwayat penjualan, arus kas, dan catatan pinjaman merupakan syarat kelayakan yang lazim berlaku bagi fintech lending sebelum menyalurkan kredit, maka itu semua mungkin tak lagi sepenuhnya berarti.

Co-founder & COO Modalku Iwan Kurniawan menjabarkan bagaimana peran fintech memperkuat eksistensi UKM dan apa saja yang terjadi pada industri ini selama pandemi berlangsung. Simak pandangan Iwan selengkapnya di edisi #SelasaStartup terbaru.

Sistem validasi anyar di masa pandemi

Situasi yang tidak pasti mengharuskan lembaga penyalur kredit termasuk fintech lebih cermat melakukan penilaian. Hal ini tak terkecuali bagi Modalku. Iwan menyebut ada perbedaan mencolok dalam mekanisme penyaluran kredit antara sebelum dan setelah Covid-19 merebak. Menurut Iwan umumnya stabilitas omzet jadi ukuran sebelum mereka memutuskan memberi kredit kepada UKM. Arus kas, aktivitas penjualan, dan riwayat kredit merupakan indikator yang mereka pegang teguh. Namun hal itu bergeser saat ini.

Ketidakpastian selama wabah menambah unsur kehati-hatian dalam melakukan scoring. Namun indikator yang dipakai pun bergeser banyak. Menurut Iwan pihaknya kini lebih mengedepankan prospek suatu bisnis terutama terkait dengan masa depan suatu sektor.

History itu jadi tidak penting, justru kita lebih ke future, apakah kami yakin di indisutri ini, prodok apa yang mereka jual, dan destinasi jualan mereka,” ucap Iwan.

Seperti yang kita ketahui sebelumnya, pandemi Covid-19 memukul banyak bisnis yang tersebar di sejumlah sektor. Manufaktur, perbankan, minyak dan gas, transportasi, serta pariwisata adalah contoh sektor-sektor yang dibuat hampir tak berdaya oleh Covid-19.

“Jadi cara penilaiannya ada pre-Covid-19 yang normal yang mana lebih fokus di cash flow daripada collateral. Tapi dengan adanya Covid-19 harus lebih hati-hati, forward looking dan sesuai dengan kondisi sekarang,” imbuhnya.

Memaksimalkan peluang yang ada

Meski ada banyak sektor yang tumbang sebagai dampak dari Covid-19, ada pula sektor yang terus tumbuh beberapa bulan terakhir. Sektor kesehatan dan e-commerce adalah dua contoh industri yang performanya meningkat. Ini juga terjadi pada Modalku.

Untuk sektor kesehatan, Modalku mengumumkan kerja sama mereka dengan BPJS Kesehatan. Menurut Iwan, kerja sama itu untuk menjembatani lebih banyak akses masyarakat ke layanan tersebut. Sementara di sektor e-commerce, mereka menggandeng dengan nama-nama besar seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, hingga Zilingo.

Dengan langkah-langkah itu, Iwan mengklaim pihaknya mengalami lonjakan permintaan Modalku. “Ada kenaikan sekitar 10 kali lipat jumlah aplikasi untuk meminjam modal kerja atau personal,” tukas Iwan.

Kendati lonjakan permintaan akan modal naik tajam, Modalku tidak lantas lebih mudah memberi persetujuannya. Iwan mengakui persetujuan untuk permintaan pinjaman itu sangat sedikit yang mereka penuhi karena ada lebih banyak tolok ukur yang dipakai.

Di saat bersamaan, Modalku punya pekerjaan rumah agar kondisi ideal bagi mereka dapat tercapai. Pertama adalah soal edukasi. Edukasi menjadi penting karena menurut Iwan masyarakat kerap salah paham dalam menilai pinjaman modal kerja. Misalnya saja ada anggapan bahwa bunga fintech lebih mahal ketimbang bunga dari bank. Padahal bunga itu menurut Iwan relatif kecil dibandingkan untung yang bisa diperoleh UKM.

Persoalan kedua adalah keterjangkauan akses. UKM di Indonesia umumnya masih banyak yang belum menyentuh transaksi online. Beban yang harus ditanggung fintech untuk menjangkau UKM yang tradisional ini biasanya lebih mahal dan memakan waktu. Namun sedikit keberuntungan bagi mereka, kondisi wabah saat ini mengharuskan banyak usaha tetap berjalan dan artinya akan lebih banyak usaha yang berjalan secara online tanpa perlu mereka dorong.

“Saya lihat selama Covid-19 ini tantangan itu makin terpecahkan. Kita bisa lebih efisien menyentuh atau support mereka [UKM].”

Kondisi ideal setelah pandemi

Modalku saat ini masih salah satu fintech lending terbesar di Indonesia. Total kredit yang sudah mereka salurkan sejauh ini mencapai Rp14 triliun. Belum lama mereka juga mengumumkan penggalangan dana seri C senilai US$40 juta atau sekitar Rp625 miliar.

Dengan segala bentuk adaptasi yang terjadi selama wabah Covid-19 berlangsung, Iwan menuturkan pihaknya sedang bersiap segala bentuk normal baru yang akan terjadi. Ini meliputi menyaring sektor-sektor mana saja yang akan menguat di masa depan dan mencari mitigasi risiko yang paling tepat.

Industri kesehatan, online commerce, serta supply chain tampak akan menjadi sektor yang menjadi fokus Modalku mulai saat ini. Iwan menegaskan Modalku harus bersiap sejak sekarang untuk memenuhi kebutuhan modal UKM di sektor-sektor tersebut. Sementara dari manajemen risiko, mereka melakukan perombakan peran di tubuh perusahaan. Contoh perombakan peran itu adalah memindahkan sejumlah anggota tim sales dan marketing untuk membantu tim manajemen risiko untuk melayani kebutuhan layanan-layanan seperti memperpanjang tenor pinjaman ataupun mempercepat masa pelunasan.

“Kita sudah ada SOP yang jelas dengan UKM ketika di masa depan ada kebutuhan untuk bantu adjustment, kita bisa siap manajemen risikonya,” pungkas Iwan.

Bagirata as Crowdfunding-based Solidarity Platform for Employees

The current pandemic situation has shown new sides of the country’s economy. Business shut down, employees laid off, and informal sector workers struggled to survive. Bagirata, an initiative as a technology platform emerged with a mission to mitigate the impact of Covid-19 on workers in this pandemic season.

On its official website, Bagirata claims to be a peer-to-peer redistribution of wealth. The Bagirata Platform facilitates the collection of funds from workers who are still earning to those who are no longer income due to Covid-19.

However, Bagirata focused its support on workers in specific sectors, such as the service sector, tourism, hospitality, creative industries, arts & culture, and workers in the gig economy. These are the main criteria for those who want to use Bagirata facilities.

“In fact, I myself am a hospitality worker who was forced to take unpaid leave because of this pandemic, while some of our friends can still earn a living while working from home. Then, why don’t we try to bridge this situation to the wider community. We started from this concern and what is happening around us,” Ivy Vania, one of the Bagirata initiators told DailySocial.

Halaman utama situs web platform Bagirata.
Bagirata website’s main page

Bagirata works somehow resembles another crowdfunding platform, such as Kitabisa. The difference is, this initiative is purely acting as a means of mutual support between workers. The way this platform works is simple. Bagirata, which is optimized for mobile web display, provides two options, participating as a fund donor or recipient. When you choose as the first, Bagirata offered ten potential fund recipients. After choosing, users can directly send their donations through Gopay, DANA, and Jenius, therefore, the money will not flow through this platform. Bagirata also does not limit the nominal submitted by the recipient or donor.

“The greater the minimum funds raised, the longer the time needed. Unless there is a certain level of compatibility between the fund donor and the recipient making it possible to send a larger amount of funds,” Ivy added.

On Monday (4/5), there were more than 1500 people applying as fund recipients, 950 of whom passed verification, and 95 people successfully met their needs through this platform. Regarding the eligibility of prospective recipients, Bagirata applied three layers of verification. First, the data and information, synchronized with Bagirata, and eligibility evaluation using a scoring system. These three steps come with a ‘Report’ button for those who want to do the eligibility test for the recipient.

During this pandemic, economic inequality was increasingly rising. Without a steady income, workers who qualify in Bagirata are in a very vulnerable position. The Ministry of Manpower said there were more than 2 million experienced layoffs (PHK) due to Covid-19. The Indonesian Chamber of Commerce (Kadin) even estimates that the number of people laid off during the pandemic has reached 15 million. The number was figured as we include those workers in the MSME sector.

The government as the highest authority is considered not strong enough to overcome this alone. The pre-employment card program for example. Previously, the program was aimed at providing skills to prospective young workers but the plague forced the government to turn it into a semi-social assistance program. The program was deemed improper because the public needed more cash to make a living.

Solidarity is a keyword as Ivy, Lody Andrian, Rheza Boge, and Elham Arrazag used when creating this platform. The principle of helping others, she said, is more common abroad because there are trade unions almost in every industry. “However, in Indonesia, not all workers have a union, and usually the union is more focused on advocacy. Therefore, we want all employees registered in Bagirata can help each other even though it is cross-industry,” she said.

To date, the number of fund donors and recipients in Bagirata continues to grow. In order to reach more employees, Bagirata is now developing an organization-to-organization system. This is exemplified by their collaboration with the Media Workers and Creative Industries Union (Sindikasi). Later, Bagirata is to create sub-domains for registered organizations, therefore, they can replicate the Bagirata system as a temporary safety net for their members.

“However, we’ve also been in contact with several other organizations, such as the Indonesian Art Coalition and M Bloc, which indeed have previously operated and have their own databases,” Ivy said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bagirata, Solidaritas Sesama Pekerja dengan Model “Crowdfunding”

Masa pandemi ini mengekspos banyak hal dalam perekonomian negeri ini. Bisnis berguguran, banyak perusahaan merumahkan buruhnya, dan pekerja sektor informal berjibaku menyambung hidup sehari-hari. Bagirata, sebuah inisiatif berupa platform teknologi muncul dengan misi meringankan dampak yang ditanggung para pekerja di musim wabah ini.

Di situs resminya, Bagirata menyatakan diri sebagai alat redistribusi kekayaan secara peer-to-peer. Platform Bagirata memfasilitasi kegiatan urun dana dari pekerja yang masih berpenghasilan kepada mereka yang sudah tidak berpenghasilan akibat Covid-19.

Meski begitu, Bagirata memfokuskan dukungannya ke pekerja di beberapa sektor saja, seperti sektor jasa, pariwisata, hospitality, industri kreatif, seni & budaya, serta pekerja di gig economy. Sektor-sektor ini adalah kriteria utama bagi mereka yang dapat menggunakan fasilitas Bagirata.

“Kebetulan, saya sendiri pekerja di hospitality yang terpaksa ambil unpaid leave karena pandemi ini, sementara beberapa teman kami masih bisa berpenghasilan tetap selagi work from home. Setelah berdiskusi, kenapa enggak kita coba buat menjembatani situasi ini ke masyarakat yang lebih luas. Kita berangkat dari keresahan ini dan yang terjadi dari sekitar kita,” ucap Ivy Vania, salah satu inisiator Bagirata kepada DailySocial.

Halaman utama situs web platform Bagirata.
Halaman utama situs web platform Bagirata.

Sekilas cara kerja Bagirata menyerupai platform crowdfunding seperti Kitabisa. Bedanya, inisiatif ini murni berlakon sebagai alat saling dukung antarpekerja. Cara kerja platform ini sederhana. Bagirata, yang dioptimasi untuk tampilan mobile web, menyediakan dua pilihan yakni masuk sebagai donor atau penerima dana. Jika masuk sebagai yang pertama, Bagirata menyodorkan sepuluh calon penerima dana. Setelah memilih, pengguna dapat langsung mengirim donasinya melalui Gopay, DANA, dan Jenius sehingga tak ada uang yang mengalir melalui platform ini. Bagirata juga tidak membatasi nominal yang diajukan oleh penerima ataupun yang boleh diberikan donor.

“Semakin besar dana minimum yang diajukan, semakin lama juga waktu yang dibutuhkan. Kecuali ada level relatibilitas tertentu antara pengirim dana dan penerima dana sehingga memungkinkan untuk mengirim jumlah dana yang lebih besar,” imbuh Ivy.

Pada Senin (4/5) lalu, sudah lebih 1500 orang mengajukan sebagai penerima dana, 950 di antaranya lolos verifikasi, dan 95 orang berhasil dipenuhi kebutuhannya lewat platform ini. Perihal menguji kelayakan calon penerima dana, Bagirata memberlakukan tiga lapis verifikasi. Pertama adalah kelengkapan data dan informasi, kesesuaian dengan kriteria Bagirata, dan evaluasi kelayakan dengan scoring system. Ketiga langkah tersebut juga ditambah dengan tombol ‘Laporkan’ yang ditujukan bagi mereka yang hendak menguji kelayakan seorang penerima dana.

Selama masa pandemi ini, ketimpangan ekonomi kian menjadi. Tanpa penghasilan tetap, para pekerja yang masuk dalam kualifikasi Bagirata berada di posisi sangat rentan. Kementerian Ketenagakerjaan menyebut ada lebih dari 2 juta mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat Covid-19. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) bahkan mengestimasi orang yang dirumahkan selama pandemi ini mencapai 15 juta orang. Angka itu diperoleh Kadin karena turut memperhitungkan pekerja di sektor UMKM.

Pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi pun dinilai tak cukup kuat mengatasi hal ini sendiri. Program kartu prakerja misalnya. Sebelumnya program ini ditujukan untuk pembekalan keahlian calon pekerja usia muda namun wabah memaksa pemerintah mengubahnya menjadi program semi-bansos. Program itu dinilai tidak tepat karena masyarakat lebih membutuhkan uang tunai untuk menyambung hidup.

Solidaritas menjadi kata kunci yang dipakai Ivy, Lody Andrian, Rheza Boge, dan Elham Arrazag saat menciptakan platform ini. Prinsip membantu sesama ini, menurut Ivy, lebih umum di luar negeri karena serikat buruh di tiap industri hampir selalu ada. “Namun, di Indonesia tidak semua pekerja memiliki serikat, dan biasanya perserikatan lebih fokus untuk advokasi. Karena itu, kita ingin di Bagirata semua pekerja bisa saling membantu meskipun lintas industri,” tukasnya.

Saat ini jumlah donor dan penerima dana di Bagirata terus bertambah. Untuk menjangkau lebih banyak pekerja, Bagirata kini mengembangkan sistem organisasi ke organisasi. Hal ini dicontohkan dari kerja sama mereka dengan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (Sindikasi). Nantinya Bagirata membuat sub-domain untuk organisasi yang bekerja sama dengan mereka agar mereka dapat mereplikasi sistem Bagirata sebagai jaring pengaman sementara bagi para anggotanya.

“Tapi kami juga sudah ada kontak dengan beberapa organisasi lain, seperti Koalisi Seni Indonesia dan M Bloc, yang memang sebelumnya mereka sudah bergerak dan memiliki database sendiri,” pungkas Ivy.

Mempertanyakan Efektivitas Kelas-kelas Daring Program Kartu Prakerja

Program kartu prakerja adalah salah satu kebijakan pemerintah yang paling mencuat selama pandemi Covid-19 berlangsung. Program ini awalnya dibuat murni untuk penduduk usia muda yang butuh kemampuan tambahan agar sesuai kebutuhan kerja. Komposisi pelatihan ini awalnya dirancang dilakukan secara tatap muka dan daring.

Namun wabah menempatkan pemerintah ke posisi dilematis sehingga mengubah komposisi tersebut menjadi sepenuhnya pelatihan daring dengan tambahan insentif tunai kepada peserta. Sejak program berlangsung, kritik meluncur deras terhadapnya. Selain dianggap tak tepat secara momentum, efektivitas program ini pun dipertanyakan.

Program kartu prakerja ini menggandeng sejumlah perusahaan digital mulai dari Ruangguru, MauBelajarApa, Sisnaker, Tokopedia, Bukalapak, HarukaEdu, PijarMahir, dan Sekolah.mu. Dari delapan mitra itu, hanya Sisnaker dan PijarMahir yang tercatat sebagai penyelenggara pelatihan dari pemerintah. Keberadaan nama-nama perusahaan teknologi sebagai penyelenggara lantas tak otomatis membuat seluruh konten di dalam program tersebut berkualitas.

Konten-konten ganjil

Ada beberapa konten pelatihan yang dinilai cukup absurd oleh banyak orang. Kesampingkan dulu soal urgensi program ini, sejumlah kelas pelatihan malah cenderung memperlihatkan program ini hanya hanya untuk mencari cuan semata.

Kita bisa menengok paket pelatihan ojek online yang dihargai Rp1 juta oleh SkillAcademy milik Ruangguru. Paket ini mencakup kelas perencanaan keuangan, teknik pelayanan, percakapan bahasa Inggris, teknik mengelola stres, hingga manajemen waktu agar lebih produktif dalam bekerja. Kelas-kelas tersebut dinilai mengada-ada ketika mayoritas gig worker seperti pengemudi transportasi online tak bisa lagi mengaspal karena minimnya permintaan.

Pelatihan lain yang tak kalah absurd seperti kelas membuat kroket ayam keju dari MauBelajarApa. Kelas seperti ini dihargai Rp400 ribu. Yang satu ini begitu absurd sehingga konten-konten memasak gratis ala Sobat Dapur dan William Gozali di YouTube seakan tak pernah ada.

Handini (25) merupakan salah satu peserta yang berhasil diterima dalam kebijakan kartu prakerja ini. Ia memilih paket sukses kerja sampingan dari SkillAcademy senilai Rp1 juta. Handini mengaku kecewa akan materi pelatihannya karena levelnya sangat basic. Hal itu jauh dari harapannya dari video pelatihan dengan banderol sebesar itu.

“Pelatihannya basic banget. Sepertinya saya bisa banyak menemukannya juga di beberapa situs lain secara gratis,” aku Handini.

Kedangkalan materi juga dirasakan oleh Anjas (21). Pemuda asal Depok ini mengambil paket pelatihan bahasa Inggris untuk menambah modal keahliannya ketika nanti kembali bekerja di industri perhotelan. Meskipun kualitas konten cukup baik, Anjas merasa jumlahnya jauh dari cukup. Ia pun berharap jumlah bantuan tunai dari program ini dapat lebih besar dari Rp600.000.

“Karena kalau lagi seperti ini yang lebih dibutuhkan tunainya dan skema jadwal pencairan dana insentifnya jangan terlalu lama,” tukas Anjas.

Aplikator terlalu diuntungkan

Kritik atas kebijakan kartu prakerja ini memang banyak. Namun sedikit yang dapat menerjemahkannya sebagai solusi alternatif. Muhammad Faiz Ghifari mungkin salah satunya. Pendiri startup Bubays ini punya tiga alasan mengkritik keberadaan kebijakan kartu prakerja. Pertama karena dana Rp5,6 triliun dari APBN untuk program ini kurang tepat ketika banyak kebutuhan lebih mendesak selama pandemi berlangsung.

Kritik kedua Faiz adalah label harga pelatihan di program ini. Faiz membandingkan program ini dengan kelas-kelas daring dari Coursera, edX, hingga Udacity yang sama sekali tak memungut biaya alias gratis. Ia ragu kualitas konten berbayar seperti di program kartu prakerja lebih baik dari kelas-kelas daring yang ia sebut tadi. “Saya pernah ambil course di beberapa startup platform yang bekerja sama dengan prakerja dan jujur cukup kecewa, materinya benar-benar seperti satu arah dan ceramah, padahal di edX/Coursera/Udacity forumnya sangat hidup,” ujar Faiz.

Kedua poin kritik di atas kemudian berujung pada timpangnya insentif yang diperoleh yang diterima oleh mitra penyelenggara dengan para peserta. Berbekal produksi video rekaman yang ia yakini sekitar Rp20 jutaan saja, Faiz meyakini mitra platform digital terlalu diuntungkan dalam kasus ini. Maka dari itu, Faiz dan seorang kawannya menciptakan inisiatif Gratisin Belajar. Padahal menurutnya tujuan kartu prakerja adalah mempersiapkan pekerja hingga benar-benar diterima industri, yang mana tak dilakukan oleh para mitra penyelenggara.

“Jadi di Gratisin Belajar kami coba cover tiga poin tersebut. Kita buat gratis, berkualitas, dan align antara kami sebagai platform dan industri,” ujar Faiz.

Tiba di momen yang salah

Meski menuai banyak kritik, kebijakan kartu prakerja bukannya sama sekali salah. Baik Anjas, Handini, maupun Faiz sama-sama menangkap niat baik dari program ini. Hanya saja eksekusi yang diburu-buru dan sensitivitas akan urgensi yang keliru membuat citra program ini lebih seakan blunder semata.

Jumlah pendaftar yang sudah lebih dari 9 juta orang mencerminkan sambutan masyarakat terhadap kebijakan ini. Anggaran pemerintah yang disedot pun membengkak pun membengkak menjadi Rp20 triliun untuk mengakomodasi jutaan peserta.

Kebijakan kartu prakerja ini memang salah satu agenda besar Presiden Joko Widodo di periode kedua menjabat. Kondisi darurat membuat pemerintah mengutak-atik program ini agar penyaluran insentif tunai bisa lebih besar dari rencana awal yang hanya Rp550.000.

Hal ini tak bisa menjadi alasan bagi pemerintah dan penyelenggara atas buruknya kualitas konten pelatihan serta nihilnya tolok ukur keberhasilan program ini.

“Bagaimana bisa mengukur program ini efektif atau enggak? Misalnya dari 160 ribu orang yang lolos tahap pertama, berapa persen yang bisa mendapatkan kesempatan kerja karena skill-nya ter-update?” ucap Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda (Hipmi) Ajib Hamdani seperti dikutip dari Tempo.

Shooper App to Facilitate Users Comparing Prices from Various Stores

Frugal becomes one of the most basic economic principles. That principle is increasingly relevant in such crisis as the current situation. A brand-new startup named Shooper offers a solution that fits the condition by creating a platform to find the cheapest food ingredients. The platform allows users to compare prices in many stores at once to find the most affordable.

Shooper’s Founder & CEO, Oka Simanjuntak said the platform was a community sharing application. This cannot be separated from the establishment of Shooper who was inspired by a group of housewives in Bintaro, South Tangerang, who often shared information about the prices of household needs in the shops around their homes. Simanjuntak, who also had difficulty comparing prices, took the idea and applied it to Shooper.

Shopping receipt as the key

With the crowdsourcing method, Shooper began operating since January this year as an application on Android. The main ability of this platform is how they collect data from shopping receipts. Shooper uses artificial intelligence to read receipts and then analyze the data to see consumer behavior. Analysis of the data then becomes a way of monetization for Shooper.

“Almost all companies successful with analytics, mind to share user data, but they find user patterns interacting on the platform. Therefore, it’s not personal data, but behavior pattern data,” Simanjuntak said via an online press conference.

The other monetization strategy is by using specific target ads. With so many shopping receipts uploaded by users, Shooper can find the characteristics of each user that associate ads to their behavior.

User acquisition target

With these capabilities, Shooper offers a number of features for its users ranging from the lowest price comparison in many supermarkets, making shopping lists, loyalty programs, to shopping report features within a month. All are connected with the Shooper algorithm which helps users get the best price for their basic daily needs.

About three months into operation, he claims the platform has partnered with 1300 stores consisting of supermarkets, minimarkets, or other non-supermarket stores, the majority of which are in South Jakarta and South Tangerang. However, some shops in South Sumatra, Jambi, Papua, Kalimantan and Bali have already covered by them. They chose the offline store because the number of people who shop there is still far greater than in online stores.

Simanjuntak said, the price of household items in online stores is indeed cheaper, but shipping costs make it more expensive than offline stores. He also added that food expenditure could reach 50% of the total expenditure of a household.

“When being compared, transportation spending is only around 9% but there are already two large unicorns from the transportation sector,” he added.

Currently, there are around 1200 Shooper users with 60% actively using it. The products they have recorded has reached more than 10,000 items. Shooper funding status is still running in bootstrap with the help of angel investors. “We hope there will be 100 users at the end of the year and within 2-3 years we can reach 1 million users,” Simanjuntak said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi Shooper Mudahkan Pengguna Bandingkan Harga Barang Antartoko

Berhemat merupakan salah satu prinsip ekonomi paling dasar. Prinsip itu kian relevan di situasi paceklik seperti sekarang. Sebuah startup anyar bernama Shooper menawarkan solusi yang sesuai dengan kondisi itu dengan menciptakan platform guna menemukan bahan makanan yang termurah. Platform tersebut memungkinkan pengguna membandingkan harga di banyak toko sekaligus untuk mencari yang paling terjangkau.

Founder & CEO Shooper Oka Simanjuntak menyebut, platformnya sebagai aplikasi community sharing. Ini tak lepas dari berdirinya Shooper yang terinspirasi dari sekumpulan ibu rumah tangga di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, yang kerap berbagi informasi mengenai harga kebutuhan rumah tangga di toko-toko sekitar rumah mereka. Oka yang juga mengalami kesulitan untuk membandingkan harga, mengambil ide tersebut dan menerapkannya ke Shooper.

Struk belanja jadi kunci

Dengan metode crowdsource tersebut, Shooper mulai beroperasi sejak Januari tahun ini dalam bentuk aplikasi di Android. Kemampuan utama dari platform ini adalah cara meeka mengumpulkan data dari struk belanja. Shooper menggunakan kecerdasan buatan untuk membaca struk lalu menganalisis data tersebut untuk melihat perilaku konsumen. Analisis data itu kemudian menjadi salah satu cara monetisasi bagi Shooper.

“Hampir semua perusahaan yang sukses melakukan analytics, bukan share data pengguna, tapi mereka menemukan pola-pola pegguna berinteraksi di platform. Jadi bukan data pribadi, tapi data pola perilaku,” ujar Oka lewat konferensi pers secara daring.

Monetisasi lain yang diterapkan oleh iklan dengan target spesifik. Dengan banyaknya struk belanja yang diunggah oleh para pengguna, Shooper bisa menemukan karakteristik tiap pengguna sehingga iklan yang mereka hubungkan sesuai perilaku mereka.

Target jumlah pengguna

Dengan kemampuan tersebut, Shooper menawarkan sejumlah fitur bagi para penggunanya mulai dari perbandingan harga termurah di banyak supermarket, membuat daftar belanja, program loyalti, hingga fitur laporan belanja dalam kurun sebulan. Semua terhubung dengan algoritme Shooper yang membantu pengguna mendapatkan harga terbaik kebutuhan pokok sehari-hari mereka.

Sekitar tiga bulan beroperasi, Oka mengklaim platoformnya sudah memuat informasi dari 1300 toko offline yang terdiri dari supermarket, minimarket, ataupun toko non-swalayan lain yang mayoritas berada di Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan. Namun beberapa toko di Sumatera Selatan, Jambi, Papua, Kalimantan, dan Bali sudah ada beberapa yang terjamah oleh mereka. Alasan mereka memilih toko offline adalah jumlah orang yang belanja di sana masih jauh lebih besar ketimbang di toko daring.

Harga bahan pokok di toko daring menurut Oka memang lebih murah, namun ongkos kirim membuatnya lebih mahal dari toko offline. Ia pun menambahkan belanja bahan pangan bisa mencapai 50% dari total pengeluaran sebuah rumah tangga.

“Jika dibandingkan, kebutuhan transportasi spending-nya hanya sekitar 9% tapi dari itu saja sudah ada dua unicorn yang besar dari sektor transportasi itu,” ucap Oka.

Saat ini total pengguna Shooper sekitar 1200 saja dengan 60% aktif menggunakannya. Jumlah produk yang sudah mereka data sejauh ini sudah lebih dari 10 ribu item. Status pendanaan Shooper pun masih berjalan secara boostrap dengan bantuan angel investor. “Kita berharap di akhir tahun ada 100 pengguna dan dalam 2-3 tahun kita dapat mencapai 1 juta pengguna,” pungkas Oka.

Application Information Will Show Up Here

Stoqo’s Shutdown and Survival Strategy for B2B Commerce

The corona pandemic has severed some culinary businesses in the country. The declining situation is inevitable due to the susceptive character of coronavirus disease 2019 (Covid-19) that forces people to do most activities at home.

Since the first Covid-19 case emerged in early March, the food business has reportedly continued to shrink. The loss has affected such players as the upper-middle-class restaurants and micro and small culinary enterprises. Digital platforms providing culinary business needs will also be affected. It happens to Stoqo.

Stoqo officially announced an operational shutdown. A few days before, the startup, which was led by Aswin Andrison as a Co-Founder & CEO, only announced that it had temporarily stopped operating. However, the pandemic finally forced them out of business.

“Since 2017, we have built STOQO to serve and empower SMEs in the culinary field in Indonesia. However, the situation triggered by the COVID-19 pandemic has caused a drastic reduction in revenue for us,” Stoqo wrote on their website.

Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.
Shutdown operation announcement

Upcoming Hazard

Stoqo is a platform that focuses on providing basic food needs for places to eat, especially restaurants, catering cafes, and home-based culinary businesses. Stoqo supplies a variety of foods ranging from meat, vegetables, flour, coffee, and others.

Aswin stated that Stoqo was focused on playing in the B2B segment ever since. They realize the platform as a hub to meet the needs of culinary businesses. With the prospect of being considered quite brilliant, it’s no wonder Stoqo won series A funding from Monk’s Hill Partners and Accel Partners India at the end of December 2018.

However, the reality ended bitterly for Stoqo. The number of restaurants, cafes, and restaurants that stopped operating claimed their income. The Indonesian Hotel and Restaurant Association said that at least thousands of restaurants were closed due to the Covid-19 outbreak.

The unfortunate events of B2B commerce business like Stoqo also happen to Eden Farm and Wahyoo. Although, the scale is yet to worrying. Eden Farm Founder & CEO, David Gunawan said there were two segments they generally served, namely restaurants and grocery stalls. Of the two, David said that the restaurant was hit by the bigger impact.

“It’s true that high-end restaurants and those in the mall are closed or shifting to delivery, half of our clients in the segment are closed,” David told DailySocial.

Meanwhile, Wahyoo Founder & CEO Peter Shearer shared a similar experience. A number of stalls affiliated with Wahyoo have stopped operating, especially those located in office areas. Peter also did not mention the exact number. But he made sure other stalls were not seriously affected by this outbreak, especially those located in residential and settlement areas.

Survival strategy

Although the impact is not as severe as Stoqo’s experience, a prolonged pandemic can be a scourge for the sustainability of the Wahyoo and Eden Farm businesses. Special strategies are needed so that they avoid the same fate of Stoqo.

Peter mentioned the problem is to keep the request ongoing. The trick to Wahyoo’s demand has been to help stalls sell on digital platforms such as Go-Food. At the same time, the implementation of large-scale social restrictions (PSBB) in many regions has shifted shopping patterns in Wahyoo.

“The positive impact is that the PSBB and Covid-19 have forced the food stall owners to adapt faster,” he added.

On the other hand, Eden Farm, which clients are mostly grocery stores, has another strategy to stay afloat during this pandemic. David said they now rely on the agency system to reach buyers who are reluctant to leave the house.

David rejects this new system as B2C. He said that his party only reactivated the group purchasing model, which actually existed since last year but was only revived three weeks ago.

Changes in segment composition also helped Eden Farm from the majority of their clients, restaurants and middle-up restaurants to the majority of SMEs. David said that currently 80% of their clients are middle-to-lower business people.

“We’re still getting new customers, the customer purchase growth is ongoing. Indeed, it was reducing in the early days [the pandemic], but it was back [normal] again after a few weeks,” said David.

PHRI Deputy Chairman for the Restaurant Sector Emil Arifin said there were already thousands of restaurants that had stopped operating throughout Indonesia. The estimated figure comes from the number of restaurants scattered in 327 malls that have been closed out of a total of 700 malls. In other words, more than 8,000 restaurants have closed.

“That does not include restaurants in office buildings, stand alone, in tourist parks and other facilities outside the mall. If you want to add up all of them, I think twice,” Emil explained to DailySocial.

Under this situation, Emil estimates that the culinary business in the country has lost around Rp2.5 trillion per month with 200 thousand people losing their jobs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tutupnya Stoqo dan Siasat Bertahan Pelaku B2B Commerce

Pandemi virus korona memukul bisnis kuliner Tanah Air. Redupnya bisnis ini tak terhindarkan lantaran bahaya penyebaran corona virus disease 2019 (Covid-19) yang sangat mudah sehingga memaksa sebagian besar orang hanya bisa beraktivitas dari rumah.

Sejak kasus Covid-19 pertama muncul pada awal Maret lalu, bisnis makanan dilaporkan terus menyusut. Kerugian tak hanya ditanggung para pelaku seperti restoran menengah ke atas dan pengusaha kuliner kelas mikro dan kecil. Platform digital penyedia kebutuhan bisnis kuliner pun kena imbasnya. Hal ini sudah terjadi pada Stoqo.

Stoqo resmi mengumumkan mereka berhenti beroperasi. Beberapa hari sebelumnya, startup yang dinahkodai Co-Founder & CEO Aswin Andrison ini hanya mengumumkan berhenti beroperasi untuk sementara waktu. Namun pandemi akhirnya memaksa mereka gulung tikar.

“Sejak tahun 2017, kami membangun STOQO untuk melayani dan memberdayakan UKM dalam bidang kuliner di Indonesia. Namun, situasi yang dipicu oleh pandemi COVID-19 telah menyebabkan penurunan pendapatan secara drastis bagi kami,” tulis Stoqo dalam situs mereka.

Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.
Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.

Ancaman yang membayangi

Stoqo adalah platform yang fokus menyediakan kebutuhan bahan pokok bagi tempat makan, khususnya restoran, kafe katering, dan usaha kuliner rumahan. Stoqo menyuplai berbagai bahan makanan mulai dari daging, sayur-mayur, tepung, kopi, dan lain-lain.

Sedari awal Aswin memang menyatakan Stoqo fokus bermain di segmen B2B. Mereka mewujudkan platformnya sebagai hub pemenuh kebutuhan pebisnis kuliner. Dengan prospek yang dianggap cukup cemerlang maka tak heran Stoqo berhasil meraih pendanaan seri A dari Monk’s Hill Partners dan Accel Partners India pada akhir Desember 2018.

Namun kenyataan berakhir pahit untuk Stoqo. Banyaknya restoran, kafe, dan rumah makan yang berhenti beroperasi merenggut pendapatan mereka. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia mengatakan bahwa setidaknya ada ribuan restoran yang tutup akibat wabah Covid-19.

Pahitnya bisnis B2B commerce seperti Stoqo ini juga dirasakan oleh Eden Farm dan Wahyoo. Kendati begitu mereka mengklaim skalanya masih belum mengkhawatirkan. Founder & CEO Eden Farm David Gunawan mengatakan ada dua segmen yang umumnya mereka layani yakni restoran dan warung kelontong. Dari keduanya, David menyebut restoran lah yang kena imbas lebih besar.

“Memang benar restoran mewah dan yang di mal itu pada tutup atau setidaknya jadi delivery, setengah klien kita di segmen itu tutup,” ungkap David kepada DailySocial.

Sementara itu Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer bercerita pengalaman serupa. Sejumlah warung yang berafiliasi dengan Wahyoo sudah berhenti beroperasi terutama yang berlokasi di area perkantoran. Peter juga tak menyebut berapa jumlah pastinya. Namun ia memastikan warung-warung lain tak terkena dampak serius dari wabah ini, terutama yang berlokasi di area perumahan dan perkampungan.

Siasat bertahan

Meskipun dampaknya tak separah Stoqo, pandemi berkepanjangan dapat menjadi momok bagi keberlangsungan bisnis Wahyoo dan Eden Farm. Strategi khusus pun diperlukan agar mereka terhindar dari nasib serupa Stoqo.

Peter menjelaskan bahwa masalah yang ada sekarang adalah menjaga permintaan terjaga. Kiat menjaga permintaan dari Wahyoo sejauh ini adalah membantu warung-warung agar dapat berjualan di platform digital seperti Go-Food. Di saat yang bersamaan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di banyak daerah sudah mengeser pola belanja di Wahyoo.

“Positifnya secara tidak langsung dengan adanya PSBB dan Covid-19 ini memaksa adaptasi pemilik warung makan terhadap digital jadi lebih cepat,” imbuhnya.

Di lain tempat, Eden Farm yang kliennya sebagian besar adalah toko kelontong punya siasat lain untuk tetap bertahan selama pandemi ini. David mengatakan mereka kini mengandalkan sistem keagenan untuk menjangkau pembeli yang enggan keluar rumah.

David menolak sistem baru ini sebagai B2C. Ia menyebut pihaknya hanya mereaktivasi model pembelian secara berkelompok yang sejatinya sudah ada sejak tahun lalu namun baru dihidupkan kembali tiga pekan lalu.

Perubahan komposisi segmen juga membantu Eden Farm dari mayoritas klien mereka restoran dan rumah makan menengah ke atas menjadi mayoritas UKM. David menyebut saat ini klien mereka 80% berasal dari pebisnis menengah ke bawah.

“Kita tetap dapat customer baru, pertumbuhan pembelian customer pun masih berjalan. Memang di awal-awal [pandemi] berkurang, tapi lewat seminggu balik [normal] lagi,” ucap David.

Wakil Ketua Umum PHRI Bidang Restoran Emil Arifin menyebut sudah ada ribuan restoran yang berhenti beroperasi di seluruh Indonesia. Perkiraan angka itu berasal dari jumlah restoran yang tersebar di 327 mal yang sudah tutup dari total 700-an mal. Dengan kata lain sudah 8.000 lebih restoran yang tutup.

“Itu belum termasuk resto di gedung perkantoran, stand alone, di taman wisata dan di fasilitas lainnya di luar mal. Kalau mau ditotal semua, saya kira dua kalinya,” terang Emil kepada DailySocial.

Dengan keadaan itu, Emil memperkirakan bisnis kuliner di Tanah Air sudah merugi sekitar Rp2,5 triliun per bulan dengan 200 ribu orang yang kehilangan pekerjaannya.

Layanan Konseling Digital Kian Dibutuhkan di Masa Pandemi

Pandemi yang berlangsung saat ini merupakan ancaman kesehatan terbesar di abad ke-21. Hingga tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 2,7 juta kasus dengan total kematian 191.176 jiwa terjadi di seluruh dunia. Beraktivitas sepenuhnya di rumah merupakan cara utama memutus rantai corona virus disease 2019 (Covid-19) ini.

Namun virus ini nyatanya tak hanya mengancam kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental. Gempuran kabar buruk sepanjang pandemi dan minimnya pilihan kegiatan dapat meningkatankan ancaman terhadap kesehatan mental. Layanan konseling digital merupakan alternatif untuk mendapatkan konseling sembari menerapkan social distancing.

Psikologimu dan KALM merupakan dua dari sekian penyedia layanan konseling digital. Mereka berbagi cerita mengenai perubahan yang dibawa oleh pandemi terhadap layanan mereka masing-masing.

Meningkatnya jumlah pengguna

Situasi kesehatan dan ekonomi yang memburuk saat ini adalah kombinasi maut penyebab stres. Hal ini sudah diperkirakan oleh pakar kesehatan sebagai dampak tak langsung dari Covid-19. Tak heran apabila jumlah pengguna layanan konseling digital melonjak.

CEO Psikologimu Nova Ariyanto Jono menyebut platform mereka mengalami pertambahan pengguna hingga 8-10% selama pandemi ini berlangsung. Menurut Jono layanan konsultasi mereka yang kian populer adalah konsultasi perihal keluarga dan asmara. Sedangkan untuk pertambahan pengguna untuk konsultasi mengenai rasa cemas disebut masih sedang-sedang saja.

“Memang terjadi peningkatan users yang merasa cemas dan khawatir, namun peningkatannya tidak terlalu signifikan,” ujar Jono.

Perlu dicatat meski terjadi kenaikan pelanggan, Psikologimu belum menarik keuntungan atas layanan mereka. Jono menekankan Psikologimu yang masih berstatus bootstrap bertekad meningkatkan produk dan layanan mereka terlebih dahulu.

Hal serupa terjadi pada KALM. CMO & Co-Founder KALM Lukas Limanjaya menceritakan ada pergeseran yang tak terelakkan oleh pengguna layanan konseling tatap muka ke layanan digital. Hal ini terlihat dari pembelian paket konseling mereka yang terus bertambah.

Menurut Lukas layanan konseling mereka baik yang berupa chat, video, serta teks jadi favorit para pengguna untuk melewati keseharian mereka. “Kami juga melihat banyak perusahaan-perusahaan yang mencari layanan konseling untuk karyawan mereka,” ucap Lukas.

Model bisnis KALM menerapkan sistem berlangganan yang dibagi per paket berdasarkan durasi. Didukung oleh 160 konselor, KALM menjual paket termurahnya senilai Rp99.000 untuk konsultasi selama tiga hari. Sementara paket termahal berkisar Rp2 juta dengan masa konsultasi selama 12 pekan. KALM juga menawarkan layanannya kepada korporasi yang memerlukan dukungan kesehatan mental atau emosional bagi pegawainya.

Sudah diantisipasi

Beruntung mereka cepat mengantisipasi lonjakan di atas. KALM menggunakan momen ini untuk mengembangkan aplikasinya. Lukas bercerita mereka menambah konten-konten edukasi dan menggelar lokakarya yang tentu saja secara online. Di samping itu, mereka juga mempersiapkan sistem konseling video.

Pendekatan berbeda dilakukan oleh Psikologimu. Jono mengatakan pihaknya lebih giat menambah tenaga psikolog untuk bergabung dengan mereka. Ia mengklaim telah berhasil mengajak sedikitnya enam psikolog ikut melayani di Psikologimu, menambah 100 lebih psikolog yang sudah ada di platform. Tak hanya itu, Jono berniat menggandeng organisasi sosial untuk menyediakan dukungan kesehatan mental masyarakat yang terdampak pandemi.

“Dengan maraknya dukungan sehat mental dari Himpunan Psikologi Indonesia – HIMPSI (HIMPSI pusat maupun Daerah), kami masih akan terus meng-onboard serta menjalin kerjasama, sehingga users serta masyarakat Indonesia lebih mudah mendapatkan bantuan sehat mental oleh Psikolog tersertifikasi,” imbuh Jono.

Sektor layanan kesehatan memang menjadi satu dari sedikit sektor yang bisnisnya yang tak hanya bertahan tapi juga tumbuh di tengah terjangan wabah Covid-19. Hal ini menjadikan mereka sebagai salah satu jenis bisnis yang diprediksi akan kian cemerlang selepas pandemi berakhir.

World Health Organization (WHO) sendiri sudah memberi peringatan bahwa wabah Covid-19 ini akan berdampak besar terhadap kesehatan mental banyak orang. Potensi serupa juga dihadapi oleh para tenaga kesehatan yang menangani langsung wabah Covid-19. Beberapa kasus bunuh diri akibat menanggung dampak wabah sudah tercatat di beberapa negara termasuk di Indonesia.