OCBC NISP Gandeng DailySocial.id Gelar Kegiatan “Hack@ON”

PT Bank OCBC NISP Tbk (IDX: NISP) berkolaborasi dengan DailySocial.id menggelar program Hack@ON. Kegiatan ini bertujuan untuk mengeksplorasi ide dan talenta baru dalam rangka meningkatkan pengalaman perbankan di Indonesia.

Dalam sesi talkshow peluncuran acara, IT Division Head Bank OCBC NISP Komang Arthayasa mengungkap bahwa banyak peluang untuk mengakselerasi inovasi di era open banking yang tengah berkembang di Indonesia. Kegiatan hackathon ini diyakini dapat menjadi salah satu cara meningkatkan kapabilitas layanan OCBC NISP ke depan.

Sekadar informasi, OCBC NISP telah memulai transformasi digital sejak beberapa tahun terakhir. Salah satu realisasinya adalah bermitra dengan startup lending Indodana untuk menyalurkan pendanaan dengan skema channeling.

“Hack@ON menjadi ajang berdiskusi dengan para inovator untuk menghadirkan solusi kreatif dan alternatif untuk memberikan pengalaman perbankan yang berbeda. Sesuatu yang telah embedded dalam kehidupan sehari-hari. Nah, produk dan sistem kami sudah siap,” ujar Komang.

Open banking dapat didefinisikan sebagai mekanisme penyediaan akses data nasabah yang terbuka dan aman dengan mengimplementasi Open Application Programming  Interface (API). Teknologi ini memungkinkan pihak ketiga mengakses data yang dibutuhkan nasabah dengan sambungan tersedia. Open banking memiliki ruang eksplorasi besar yang dapat dikembangkan sesuai kebutuhan nasabah secara personal.

Founder & CEO DailySocial.id Rama Mamuaya menambahkan, sebelum ekosistem digital Indonesia tumbuh matang seperti sekarang, ia menilai banyak startup kesulitan untuk men-deliver produknya ke pasar. Kini, tren open banking dapat membuka akses luas bagi startup untuk mengakses pasar melalui kolaborasi.

“Bank merupakan industri berbasis integritas dan kepercayaan yang telah berdiri ratusan tahun. Sementara, startup umumnya lebih berfokus mengatasi suatu masalah dengan menciptakan produk. Saat ini, kolaborasi antar startup-korporasi telah terjadi di mana-mana. Startup punya ide, korporasi punya basis pengguna. Mereka bisa berkolaborasi untuk go-to market,” papar Rama.

Ekosistem terbuka

Dalam kesempatan sama, Country Manager IDC Indonesia Mevira Munindra mengatakan bahwa Indonesia baru memasuki fase emerging pada implementasi open banking dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ini tak lepas dari upaya pemerintah mendorong pemanfaatan Open API dengan menerbitkan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP).

Open banking diharapkan dapat mendorong open ecosystem mengingat perubahan perilaku masyarakat juga mendorong open ecosystem di Indonesia. Akan ada banyak model bisnis berbasis ekosistem di masa depan. Ini akan menjadi enabler terhadap digitalisasi,” ucapnya.

Mengacu laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika, sektor informasi dan komunikasi di 2021 tumbuh positif berturut-turut sebesar 8,72%, 6,87%, dan 5,51% (Year-on-Year). Pertumbuhan ini dipicu oleh akselerasi digital yang mendorong perubahan perilaku masyarakat dari offline ke online selama pandemi.

Adapun, pendaftaran program Hack@ON telah dibuka pada 12 Juli hingga 4 September 2022. Untuk menjaring para inovator berbakat, Hack@ON akan mengadakan roadshow di empat kota, yakni Bandung, Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya.

Dari total peserta, Hack@ON akan menjaring sebanyak 20 peserta untuk mengikuti kompetisi Hack Day pada 24-25 September 2022 di ON Space, BSD City.

Ajang kompetisi Hack@ON juga sudah semakin dekat, dengan sisa waktu kurang lebih dua bulan, panitia Hack@ON akan menutup registrasi dan pengumpulan ide pada 4 September 2022. Agar tidak terlewat, langsung daftarkan diri kamu di sini sekarang!

Bank Raya: Kami Ingin Dorong Pekerja “Gig Economy” Naik Kelas

Dalam wawancara eksklusif DailySocial, Direktur Utama Kaspar Situmorang cukup banyak menyoroti manajemen aset dan liabilitas sebagai manifestasi untuk bertransformasi melayani pekerja gig economy atau pekerja informal. Ia punya misi jangka panjang, yakni menaikkelaskan pelaku gig economy, baik itu pemilik warung makan, pedagang, atau pekerja salon.

Kaspar, yang sebelumnya menjabat EVP Digital Banking BRI, berupaya memanfaatkan kekuatan ekosistem milik induk usaha untuk mencapai misi tersebut.

Bagaimana strategi dan pengembangan produk usai berganti identitas menjadi Bank Raya?

Bagaimana proses transformasi Bank Agro ke Bank Raya?

Jawab: Transformasi ini berawal dari buah pikiran Sunarso, Direktur Utama BRI, untuk melakukan transformasi digital BRIvolution. Goal-nya adalah go smaller, go faster, go shorter, dan go cheaper. Melayani sebanyak mungkin dengan biaya sekecil mungkin.

Ada dua objek transformasi [BRI Agro], yakni digital dan work culture. Kedua hal ini telah dirancang Pak Sunarso sejak 2017, di mana saat itu eksekusinya dilakukan bersama Pak Indra Utoyo sebagai Direktur Operasi dan Teknologi Informasi dan Digital Center of Excellence (DCE). Kami siapkan SDM, teknologi, dan data. Pak Sunarso tanya apakah kita sudah siap, karena saat itu kompetitor sudah mulai jalan. Karena Pak Indra Utoyo bilang sudah siap, keputusan diambil pada April 2021 untuk pivot Agro menjadi bank digital BRI.

Identitas Agro berganti menjadi Raya pada April 2021. Fokusnya menjadi digital attacker Grup BRI agar dapat mengamplifikasi layanan perbankan digital secara maksimal. Pembukaan [rekening], pinjaman dilakukan secara digital. Tidak ada manusia di tengah-tengah.

Bagaimana transisi leadership Anda dari BRI ke Bank Raya?

J: Saya banyak belajar kepemimpinan dari Pak Sunarso dan Pak Indra Utoyo. Mereka mengajarkan leadership itu harus by example, memiliki framework, dan kerangka berpikir. Jadi tidak mengarang. Kepemimpinan harus memiliki kompetensi pada pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Tanpa ketiganya tidak bisa. Jadi, kita harus bisa fit karakter dan model kepemimpinan sesuai perusahaan dan ekosistemnya. Saya merasa fit dengan ekosistem karena belajar dari mereka.

Pak Sunarso juga menciptakan ruang kepemimpinan bagi generasi muda yang bekerja di Grup BRI di anak-anak usaha, baik itu Raya, Pegadaian, atau PNM. Mereka ditempatkan di sana untuk mengasah problem solving, strategic thinking, maupun eksekusi.

Bagaimana framework transformasi Raya?

J: BRI punya framework transformasi digital yang fokus pada pilar eksploitasi dan eksplorasi. Di sisi eksplorasi, bank digital adalah outcome sebagai potensi bisnis dan revenue stream baru bagi Grup BRI. Dengan begitu kami tidak didisrupsi. BRI juga mengirimkan beberapa puluh orang dari divisi Digital Center of Excellence (DCE) ke Raya, termasuk saya, untuk membangun produk, IT, basis data, dan keamanan lebih cepat.

Setelah Bank Raya berdiri, kami menyederhanakan framework ke dalam tiga pilar; digital, digitize, dan revamp. Pilar digital fokus pada pengembangan produk keuangan, tabungan atau pinjaman, secara end-to-end. Pilar digitize fokus pada business process karena sebelumnya masih terbilang toxic. Kami perbaiki semua agar model bisnis digital ini dapat berjalan lancar. Banyak proses di perbankan yang harus didigitasi agar bisa align dengan pilar pertama.

Pilar revamp adalah menata kembali business legacy. Bank Raya bukan barang baru yang [setelah transformasi] lalu siap lari. Sebelumnya Agro bermain di sektor sawit. Kemudian, kami hentikan kredit korporasi dan tata ulang. Ada beberapa cabang ditutup, ada juga yang dialihfungsikan supaya biaya lebih optimal. Utamanya, supaya [transformasi] pada aspek people dan work culture bisa maksimal.

Aspek keuangan itu adalah outcome, tapi di bawahnya ada customer, business process, dan people. Kalau sudah di-retrain, rescale, mereka bisa melayani customer, karena ini adalah bisnis jasa.

Mengapa mengincar pasar gig economy?

J: Visi-misi Raya adalah menjadi house of fintech dan home for gig economy. Mengapa? Dengan memiliki manajemen aset dan liabilitas yang lebih baik, gig economy akan semakin bertumbuh. Data BPS di 2020 menunjukkan bahwa ada sekitar 46 juta pekerja informal tanpa slip gaji. Proyeksinya bertambah menjadi 74 juta pada 2024. Ini menjadi hipotesis kami melayani pekerja gig economy.

Untuk memahami perbankan, kita harus belajar pohon ilmunya, yakni manajemen aset dan liabilitas. Apapun banknya, baik itu bank digital, bank hybrid, atau bank syariah, semua akan fokus pada kedua hal itu.

Dulu Agro memiliki dana dan simpanan dalam jangka pendek, tetapi kreditnya jangka panjang. Kredit korporasi punya tenor 5-10 tahun. Namun, sumber pendanaan berjangka pendek semua, 3 bulan. Ini sulit. Makanya, kami transformasi Raya dengan mengubah manajemen aset dan liabilitasnya. Pinjaman jangka panjang diubah menjadi harian dengan sumber pendanaan bulanan.

Kami survei untuk validasi masalah. Pekerja ini butuh kasbon dengan kredit pendek-pendek. Pembayaran dipotong ketika gajian. Jadi, [kebutuhan] kredit harian dan sumber dana bulanan match dengan pasar pekerja gig economy yang kami bidik melalui produk tabungan dan pinjaman digital kami. Ini hal menarik yang terjadi di era kita. Tanpa validasi pasar, kebutuhan, dan user experience, mengembangkan sesuatu tidak akan ada fokusnya.

Lalu, mengapa house of fintech? Sewaktu menjadi EVP di BRI, kami mendapat amanah untuk membangun BRI Ventures dengan modal awal Rp1,5 triliun. Kami mulai investasi di startup tahap awal hingga unicorn karena kami lihat disrupsi akan datang dari non-bank. Jadi kami harus menyelami cara berpikir.

Dari sini kami melihat bagaimana Raya bermetamorfosis menjadi platform. Apapun layanan di Raya, itu harus bisa bermetamorfosis menjadi platform yang kami sebut Raya API. Kami percaya melalui open API, kami dapat mengintegrasikan ekosistem. Raya bekerja sama dengan BRI, itulah cara kami merajut ekosistem.

Bagaimana memanfaatkan ekosistem milik BRI?

J: Kami belajar dari WeBank dan KakaoBank, yang sudah profit, bahwa ekosistem merupakan kunci keberhasilan. Tanpa itu, tidak mungkin main di bank digital. Kalau menjadi bank hybrid, cost of acquisition tinggi dan customer lifetime tidak lama. Jadi, ekosistem adalah harga mati. Makanya, BRI mengamanahkan ekosistem BRILink agar dapat dikelola Raya, baik dari sisi manajemen aset maupun liabilitas.

Selain itu, bank, khususnya bank digital, jika ingin survive harus memiliki strategi yang spesifik pada manajemen aset dan liabilitas. Dari sudut pandang bankir, bank tanpa kedua hal ini pasti gagal. Prinsip ini kami terapkan di internal untuk menciptakan keunggulan produk. Saya melihat banyak bank di Indonesia yang [menawarkan] pinjaman dengan tenor tahunan, tetapi sumber pendanaan jangka pendek. Belum ada yang harian seperti kami.

Kami diberi amanah oleh BRI untuk menyelesaikan isu likuiditas yang dialami agen BRILink melalui pinjaman PINANG. Mereka punya uang kas banyak, tetapi saldo BRILink sedikit. Jadi, sulit untuk bertransaksi karena tidak ada saldo. Ketika mau setor uang, bank sudah keburu tutup. Makanya, dana talangan ini dapat dipakai untuk kebutuhan cepat. Kira-kira ada sekitar setengah juta agen BRILink di Indonesia.

Bank Raya sudah menyalurkan hampir setengah triliun disbursement ke 12.000 agen BRILink. Target kami dapat mengakuisisi 50.000 agen BRILink. Integrasinya sudah seamless sehingga agen BRILink tidak perlu ganti aplikasi karena PINANG sudah embed di dalam aplikasinya. Model transformasi manajemen aset dan liabilitas ini diterjemahkan ke dalam bentuk API dan web view dengan BRILink sebagai salah satu mitra kami.

Bagaimana profil pengguna Bank Raya? Fitur apa saja yang akan disiapkan?

J: Kami melihat profil pengguna tabungan Raya sudah melek digital. Pada 2020 ada banyak lay off pekerja karena pandemi. Menurut data BPS, mereka yang terkena lay off memanfaatkan banyak aplikasi di smartphone untuk mencari penghasilan. Misalnya, ojek online atau berjualan online. Artinya, pekerja gig economy ini adalah pekerja produktif yang memanfaatkan smartphone.

Gig economy sangat luas sekali. Kami membagi target pasar kami ke dalam tiga kategori, yakni F&B, retail, dan jasa. Dari ketiga sektor ini, kami coba garap fitur sesuai kebutuhan mereka. Semoga bisa kami rilis tahun ini. Kami belum bisa share banyak, tetapi fitur ini berkaitan dengan payroll. Kami ingin bantu pekerja gig supaya naik kelas. Sayang kalau mereka tidak bisa ajukan kredit motor atau KPR hanya karena tidak ada slip gaji. Ini yang bakal mentransformasikan pasar gig economy di Indonesia.

Raya juga bersinergi dengan aplikasi BRImo untuk pembukaan rekening. Kami mendapat izin yang memampukan pengguna memiliki simpanan yang di-embed di aplikasi BRImo. Jadi, customer tidak perlu keluar dari ekosistem BRI. Inilah mengapa kami diminta menjadi digital attacker BRI sehingga dapat leverage kekuatan sendiri.

Kami juga sinergi untuk tarik/setor tunai di seluruh ATM milik BRI tanpa kartu yang [meluncur] Agustus nanti. Transaksinya hanya menggunakan aplikasi dan memakai token. Raya akan kami arahkan untuk cardless dan cashless dengan pembayaran menggunakan QRIS. Selain itu, kami berencana masuk ke produk pinjaman dengan BRI secara cardless. Kami tidak mengajukan izin sebagai issuer sehingga kami pakai [lisensi] BRI sebagai issuer.

Semua ini menjadi pintu masuk ke BRI. Apabila basis pengguna tabungan Raya sudah terbentuk, mereka bisa naik kelas ke pinjaman di atas Rp1 miliar misalnya. Ini akan kami refer ke BRI.

Bagaimana Anda melihat kompetisi bank digital saat ini?

J: Setiap bank memiliki keunggulan dan ekosistem masing-masing. PR kami adalah bagaimana mentransformasi manajamen aset dan liabilitas dengan disipilin pada eksekusinya. Kata kunci keberhasilannya adalah mereka yang paling disiplin, paling cepat, dan paling konsisten dalam menciptakan keunggulan yang berkesinambungan. Dalam perbankan ini artinya cost of acquisition paling rendah dengan customer lifetime value paling tinggi.

Termasuk juga bagaimana media dapat mengedukasi pasar bahwa bank digital tidak hanya bicara soal valuasi, tetapi menciptakan nilai tambah dari ekosistem yang diamanahkan kepada kami.

Application Information Will Show Up Here

Lightspeed Umumkan Dana Kelolaan 7,5 Triliun Rupiah untuk Startup di Asia Tenggara dan India

Lightspeed India Partners mengumumkan dana kelolaan tahap awal (early stage) LSIP Fund IV sebesar $500 juta atau sekitar 7,5 triliun Rupiah. Dana ini akan digunakan untuk melanjutkan investasinya di India dan Asia Tenggara.

Dalam keterangan resminya, penggalangan dana tersebut merefleksikan komitmen mendalam terhadap pasar India dan Asia Tenggara sejak investasi pertama mereka pada 2007.

“Kami akan akan terus memperluas dan mendalami peluang di kawasan ini. Dipimpin oleh para founder kelas dunia dan cakupan teknologi yang terus berkembang untuk membentuk kembali ekonomi di India dan Asia Tenggara,” demikian disampaikan dalam keterangan resminya.

Dalam lima tahun terakhir, Lightspeed India Partners telah memiliki 28 partners yang bermarkas di Bengaluru, Delhi, Mumbai, dan Singapura. Adapun, investasi pada startup growth stage di India dan Asia Tenggara melalui dana kelolaan Select Fund dan Opportunity Fund.

Lightspeed Venture Partners telah berinvestasi di Tiongkok, India, Israel, Eropa, dan Asia Tenggara. Total portofolionya mencapai lebih dari 500 di berbagai sektor, seperti consumer, healthtech, dan fintech.

Di Indonesia, Lightspeed telah berinvestasi ke Pintu, Astro, Shipper, Chilibeli, dan Ula.

Adapun, sekitar seperempat dari total portofolio globalnya telah diakuisisi atau go-public dengan 33 IPO dalam beberapa tahun terakhir. Lightspeed juga telah memiliki 70 investor yang berlokasi di 12 kota di dunia.

Penggalangan dana multi-stage

Secara terpisah, Lightspeed Venture Partners mengumumkan telah menutup penggalangan dana sebesar $7 miliar atau sekitar 104,7 triliun Rupiah. Total pendanaan multi-stage ini dibagi dalam tiga dana kelolaan, antara lain Fund XIV sebesar $1,98 miliar, Select Fund V sebesar $2,26 miliar, dan Opportunity Fund II dengan $2,36 miliar.

Singkat informasi, Lightspeed Venture Partners XIV-A/B, L. P atau Fund XIV difokuskan untuk investasi tahap awal, seed, hingga seri B di sektor enterprise, consumer, health, dan fintech. Kemudian, Lightspeed Venture Partners Select V, L. P atau Select Fund V diperuntukkan bagi startup yang mulai melakukan scale up bisnisnya. Sementara, Lightspeed Opportunity Fund II, L.P. untuk mendukung investasi pada breakout companies.

“Sejak awal 2000-an, Lightspeed mulai membangun jejak global dengan keyakinan kami bahwa masa depan teknologi dan kewirausahaan akan mendunia. Kami membangun cross-border team sehingga dapat memberikan pemahaman terhadap pasar lokal yang mendalam kepada founder. Dengan demikian, kami dapat melihat dan belajar dari inovasi yang ada di dunia,” ungkap Partner di Lightspeed Bejul Somaia.

Proyeksi sektor investasi

Dalam wawancara terakhir dengan DailySocial pada 2020, Partner & Regional Head Lightspeed Venture Partners Akshay Bhushan mengatakan, Indonesia merupakan pasar yang bagus bagi pendekatan investasi Lightspeed. Hal ini karena Indonesia memiliki populasi muda yang melek digital dan ekosistem startup yang tumbuh cepat.

Berdasarkan laporan Startup Report 2021-2022Q1 yang diterbitkan DSInnovate, ada tiga sektor yang diproyeksi berkembang di Indonesia pada tahun ini, yakni Direct-to-Consumer (D2C), embedded finance, dan Web3.

Laporan ini juga menyoroti tren investor yang kini tak lagi tertarik pada sektor mainstream, tetapi yang punya dampak langsung ke aspek sosial-ekonomi masyarakat. Misalnya, social commerce, agrikultur, dan renewable energy.

The Manufacture Hub Startup Imajin Receives Pre Series A Funding from Init-6

The manufacturing hub startup Imajin received pre-seed funding from Init-6 with an undisclosed amount. This funding  will be used to accelerate digitization in the manufacturing industry through market expansion and new product development.

In a short discussion with DailySocial.id, Imajin‘s Co-founder & CEO, Chendy Jaya said that Init-6 is currently the sole investor for this round. However, the Global Fund is said to participate in this funding.

In Indonesia, Imajin plans to expand to several cities in Java and Batam. In addition, the company is strongly considering an expansion to Japan. After his recent visit to Japan, he implied to gain a positive response from the local companies.

“I think we’ll need representatives in the country, in order [prospective customers] to be onboard at Imajin,” he added.

Imajin is a platform that bridges demand and supply in the manufacturing industry. By positioning itself as a manufacturing hub, Imajin offers three business models, (1) a platform to gather business players in the manufacturing industry, (2) project financing, and (3) a marketplace to supply raw materials.

Throughout the first semester of 2022, he continued, Imajin has recorder an Annual Recurring Revenue (ARR) contract of almost ten times growth compared to two years ago. The company has just started its expansion in East Java, and released an AI-based Quick Note feature to detect 3D files and instantly determine the price range of the goods.

On his LinkedIn page, Init-6’s Venture Partner, Rexi Christopher believes that Imajin will have a significant role to play in revolutionizing the manufacturing industry in Indonesia. Moreover, 20% of Indonesia’s total GDP is projected to come from manufacturing. Its growth is also predicted to be faster due to the adoption of new technologies.

In addition, he believes that Imajin is backed by know-how founders in this sector. “We believe that Imajin can accelerate digitization in manufacturing so as to make its industry in Indonesia more competitive in the global market,” he said.

In fact, Init-6 was founded by Bukalapak’s Co-founders, Achmad Zaky and Nugroho Herucahyono with a focus on investing in early-stage startups. Recently, Init-6 has channeled funding to the “Dibimbing” edtech platform.

Manufacturing digitization

On a separate occasion, Imajin works closely with the Sole Agents of Brand Holders (ATPM) in the automotive and other sectors and cooperates with the Ministry of Industry to accelerate the digitization of manufacturing in the country.

In its efforts to enter the Japanese market, Chendy said that the automotive industry in Indonesia has great potential. Moreover, some high technology for automotive products, such as servo-brakes, gear boxes, and drive-axles, are still imported from Japan. According to a report by the Indonesian Embassy in Tokyo with Mizuho Bank, the import value reached $1 billion.

Meanwhile, the Indonesian government is aggressively encouraging domestic digitalization in order to meet the regulation of the Domestic Content Level (TKDN) of at least 35% and increase to 80% in 2026, especially in electric vehicles.

“We found a classic problem that often occurs in the manufacturing sector, which is finding trusted vendors. We want to digitize the procurement process to production, therefore, the Indonesian market can compete with other countries,” he said.

Currently, Imagin has more than 400 local manufacturing partners and 80 customers including Japanese companies in Indonesia. Imajin strives to provide dozens of customers from leading companies, such as Tom’s Racing, Toyota Motor Corporation, Mitsubishi Motor Corporation, so that they comply with product standards owned in Japan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pintarnya Bicara Validasi Masalah dan Tantangan Pengembangan “Job Marketplace” Pekerja Kerah Biru

Pekerja kerah biru (blue collar) termasuk golongan yang cukup terdampak karena Covid-19. Karena memiliki keterbatasan akses untuk mendapat peluang pekerjaan, terutama berjangka panjang, mereka menjadi terpinggirkan secara ekonomi. Padahal, jumlah pekerja kerah biru di Indonesia berkisar lebih dari 60 juta, di mana sekitar 20% menyumbangkan PDB.

Berbagai pelaku startup berupaya mengatasi masalah keterbatasan akses melalui produk digital. Pintarnya adalah salah satunya yang punya misi untuk mendemokratisasi perekrutan pekerja kerah biru melalui job marketplace. Pada #SelasaStartup kali ini, Co-founder dan CEO Nelly Nurmalasari memaparkan sejumlah catatan menarik di balik dapur pengembangan Pintarnya.

Pain point pekerja kerah biru

Validasi masalah merupakan hal paling utama dilakukan pelaku startup sebelum terjun ke pengembangan produk. Bagi Nelly, menunggu pengembangan produk sampai jadi akan memakan waktu lama. Alih-alih demikian, ia pun melakukan eksperimen tahap awal di Telegram untuk mengetahui apakah produknya worth solving.

Dari eksperimen ini, ia mendapat sejumlah pembelajaran penting berdasarkan pengalaman para pencari pekerja. Pertama, isu penemuan (discoverability). Menurutnya, sebanyak apa pun lowongan kerja yang ditampilkan, pencari kerja akan tetap bertanya. Dari sini, ia melihat bahwa yang mereka butuhkan adalah simplicity untuk melamar dan mengakses lowongan yang mereka cari.

Kemudian, aspek keamanan. Beberapa orang yang disurvei mengaku pernah mengalami penipuan saat melamar kerja atau mendapat lowongan bodong. Misalnya, meminta bayaran atau tawaran gaji yang tidak wajar. “Ini semua menjadi learning dan landasan kami untuk membuat MVP beberapa bulan lalu,” tutur Nelly.

Pain point pemberi kerja

Tak hanya dari sudut pandang pencari kerja, keamanan juga menjadi aspek penting bagi para pemberi kerja (employer). Hal ini untuk memastikan bahwa pelamar sudah terverifikasi dan punya pengalaman yang real.

“Ini penting karena prinsipal ingin merasa aman untuk hire sehingga tidak mendapat pegawai salah. Bisa saja pelamar punya rekam jejak kredit macet. Ini akan mengganggu di bagian HR dan berpengaruh ke pekerjaan. Contoh lain, mempekerjakan driver tapi tidak bisa bertanggung jawab dengan mobil yang dikendarai,” ungkapnya.

Tak kalah penting, ia menilai efisiensi pada screening sangat dibutuhkan oleh employer. Sejumlah HR yang diwawancara mengaku sulit untuk melakukan seleksi pelamar tanpa perlu mengecek aplikasi satu per satu. Speed to hire menjadi penting karena mereka harus tetap menjalankan bisnis.

Semua pain point ini tercermin dari produk/fitur yang dikembangkan. Misalnya, tidak perlu buat CV, track status lamaran, hingga label verifikasi. Platform lain mungkin saja menawarkan hal yang sama, tetapi ‘how to‘ harus berbeda.

Tantangan selanjutnya

Product-market fit tentu menjadi metrik utama untuk memastikan produk worth solving. Kendati demikian, Nelly menilai bahwa saat sini solusi digital yang sesungguhnya belum ada mengingat konsep job marketplace di Indonesia masih berkembang.

Apabila dibandingkan dengan marketplace/e-commerce secara umum, tentu akan berbeda. Saat ini e-commerce memang sudah berada di fase matang. Namun, sektor ini dulu sempat mendapat keraguan di pasar karena orang belum terbiasa belanja online. Penetrasi digital juga belum seperti sekarang.

Nelly juga menyoroti bahwa pengembangan job marketplace harus sejalan dengan upaya monetisasi. Misalnya, menghubungkan layanan pencarian kerja dengan layanan keuangan.

“Nah kita di fase sama. Kita perlu lihat natural pathway dari pekerja kerah biru. Bagaimana mereka mencari kerja? Apakah experience-nya akan sama atau berbeda dengan [pengguna] e-commerce? Tantangan terbesar adalah mengetahui the right formula. Tim kami masih kecil makanya kami selalu eksperimen dengan cepat untuk mencari tahu,” jelasnya.

Leadership

Nelly juga menyampaikan catatan penting untuk mendorong female leader/founder lain di industri startup. Menurutnya, jangan terpaku pada standar tertentu untuk menuju kesuksesan. Apalagi, ada anggapan bahwa mereka tidak dapat menunjukkan kekuatannya karena posisinya sebagai female leader.

“Ada perspektif yang tidak pas karena mungkin melihat perempuan punya more emotional maturity dan motherly instinct. Justru jangan shy away, jangan melihat template menjadi leader harus begini. Kita bisa create lebih banyak dan menemukan kesuksesan kita sendiri.” Tutupnya.

Imajin Memperoleh Pendanaan Tahap Pra-Awal dari Init-6

Startup manufactur hub Imajin memperoleh pendanaan pre-seed atau pra-awal dari Init-6 dengan nominal yang dirahasiakan. Pendanaan ini akan digunakan untuk mengakselerasi digitalisasi di industri manufaktur melalui ekspansi pasar dan pengembangan produk baru.

Dihubungi oleh DailySocial.id, Co-founder & CEO Imajin Chendy Jaya mengungkap bahwa saat ini Init-6 masih menjadi investor tunggal dalam pendanaan tahap awalnya. Namun, Global Fund juga tengah dalam proses untuk berpartisipasi pada pendanaan ini.

Di Indonesia, Imajin akan melakukan ekspansi ke sejumlah kota di Pulau Jawa dan Batam. Selain itu, Imajin juga tengah mempertimbangkan kuat untuk ekspansi ke Jepang. Berdasarkan hasil kunjungannya ke Jepang, ia mengaku mendapatkan respons positif dari perusahaan-perusahaan di sana.

“Sepertinya kami butuh representatif di sana supaya [calon customer] bisa onboard di Imajin,” tambahnya.

Imajin merupakan startup penyedia platform yang mempertemukan demand dan supply di industri manufaktur. Dengan memosisikan diri sebagai manufactur hub, Imajin menawarkan tiga model bisnis, yakni (1) platform untuk mempertemukan pelaku usaha di industri manufaktur, (2) pembiayaan proyek (project financing), dan (3) marketplace untuk menyuplai raw material.

Di sepanjang semester I 2022, lanjutnya, Imajin telah mengantongi kontrak Annual Recurring Revenue (ARR) hampir sepuluh kali pertumbuhan dibandingkan dua tahun lalu. Perusahaan juga baru memulai ekspansinya di Jawa Timur, dan merilis fitur Quick Note berbasis AI untuk mendeteksi file 3D dan menentukan kisaran harga barang secara instan.

Dalam laman LinkedIn-nya, Venture Partner Init-6 Rexi Christoper meyakini bahwa Imajin akan memiliki peran signifikan untuk merevolusi industri manufaktur di Indonesia. Apalagi, 20% dari total PDB Indonesia diproyeksi berasal dari manufaktur. Pertumbuhannya juga diprediksi lebih cepat berkat adopsi teknologi-teknologi baru.

Selain itu, ia menilai Imajin didukung oleh para founder yang memiliki know-how di sektor ini. “Kami meyakini Imajin dapat mengakselerasi digitalisasi di manufaktur sehingga membuat industrinya di Indonesia menjadi lebih kompetitif di pasar global,” tuturnya.

Sebagai informasi, Init-6 didirikan oleh Co-founder Bukalapak Achmad Zaky dan Nugroho Herucahyono dengan fokus investasi pada startup tahap awal. Terakhir Init 6 memberikan pendanaan ke platform edtech “Dibimbing”.

Digitalisasi manufaktur

Disampaikan dalam keterangan resmi terpisah, Imajin bekerja sama erat dengan Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) di sektor otomotif dan lainnya dan menggandeng Kementerian Perindustrian untuk mempercepat digitalisasi manufaktur di Tanah Air.

Dalam upayanya masuk ke pasar Jepang, Chendy mengatakan bahwa industri otomotif di Indonesia sangat potensial. Apalagi saat ini beberapa teknologi tinggi untuk produk otomotif, seperti servo-brake, gear box, dan drive-axles, masih diimpor dari Jepang. Menurut laporan KBRI Indonesia di Tokyo bersama Mizuho Bank, nilai impor tersebut mencapai $1 miliar.

Adapun, pemerintah Indonesia tengah gencar mendorong digitalisasi dalam negeri demi memenuhi peraturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) minimal 35% dan meningkat menjadi 80% di 2026, terutama pada kendaraan listrik.

“Kami menemukan masalah klasik yang sering terjadi di sektor manufaktur, yakni mencari vendor terpercaya secara manual. Kami ingin mendigitalisasi proses pengadaan hingga produksi sehingga pasar Indonesia dapat bersaing dengan negara lain,” ucapnya.

Saat ini, Imajin memiliki lebih dari 400 mitra pabrikan lokal dan 80 pelanggan termasuk perusahaan Jepang di Indonesia. Imajin berupaya memenuhi kebutuhan sejumlah pelanggan dari perusahaan terkemuka, seperti Tom’s Racing, Toyota Motor Corporation, Mitsubishi Motor Corporation, sehingga sesuai dengan standar produk yang dimiliki di Jepang.

Crypto Asset Platform Blocknom Temporarily Terminate its Services due to License Issue

Crypto-asset earning platform Blocknom announced to temporarily halt its services from July 1, 2022. Blocknom did not specify the reason, however, it is said to consider the market situation and government regulations. On the other hand, the company is yet to have an operational permit or authority license, in this case from CoFTRA.

In its blog post, Blocknom’s management said to discontinue support for Decentralized Finance (DeFi), for which daily interest on USDT, USDC, and XIDR will also stop accruing.

“At this time, we advise you to withdraw your assets from the platform as soon as possible. You need not worry because your assets are safe. Please withdraw all your assets before July 31, 2022,” stated on the post.

According to management, the platform has stopped accepting new users and deposits since June 20, 2022. In order to simplify the asset withdrawal process, it appeals to users to immediately withdraw assets before July 31, 2022. After that, it is most likely that withdrawals will only be made via offline CS.

“We will come back stronger with more services as soon as we get our license. Please wish us luck.” Blocknom team stated.

Recently, crypto asset management services have risen in Indonesia. This is in line with the increasing number of people diversifying into this virtual currency. According to CoFTRA, as of February 2022, there are an estimated 12.4 crypto investors.

Aside from Blocknom, with a unique mechanism, several startups also offer crypto-earn services, including NOBI and Finblox. Both have received equity funding support from venture capitalists.

Recently secured funding

For a general note, Blocknom was initiated in January 2022 by former Gojek & Shopee employee Fransiskus Raymond and former engineer Ritasi Ghuniyu Fattah Rozaq. Blocknom is known to be one of the incubation startups in the Y Combinator batch Winter 2022.

Blocknom has recently secured seed funding of $500,000 or over IDR 7 billion from three investors, including Y Combinator, Number Capital, and Magic Fund last March.

In increasing the added value to its platform, Blocknom offers deposit yields on stablecoin-based crypto assets, namely USDT (Tether), USDC (Circle), and XIDR (StraitsX).

In addition, Blocknom applies transparency to the fund management process and has proof of a community system in the DeFi selection process for managing investor funds, and unlimited incentive programs for its community.

Since the last few months, Indonesia’s digital ecosystem has been hit by a bubble burst phenomenon due to global situations and conflicts. Crypto asset prices are also reported to continue to fall, including Bitcoin and Ethereum.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Good Doctor to Strengthen Its Position as a Holistic Health Ecosystem in Southeast Asia

This year marks Good Doctor’s third year operation in Indonesia. Since its debut in 2019, Good Doctor is said to record various significant achievements, including 14.2 million users with up to 40 times growth in the country.

In addition, Good Doctor has partnered with more than 45 insurance companies, 500 corporate partners and a major network of third-party administrators (TPA), more than 1,000 hospitals and laboratories, and 2,500 pharmacies throughout Indonesia. The rapid growth of Good Doctor’s network in Indonesia is said to have driven annual business growth up to 864%.

According to the Managing Director of Good Doctor Technology Indonesia, Danu Wicaksana, his team is exploring a Health-as-a-Service partnership, one of the focuses in the pipeline. “We don’t want to offer just a solution, but to create an ecosystem of various stakeholders including the government, laboratories, and clinics,” he told DailySocial.

Good Doctor Technology (GDT) is a joint venture of Ping An Healthcare and Technology (formerly Ping An Good Doctor), Grab, and SoftBank. Initially, Good Doctor was present in Indonesia as a feature called GrabHealth which was embedded into the Grab application in 2019. Then, this service officially became a separate platform in March 2021. Currently, Good Doctor is present in Indonesia and Thailand with regional operations based in Singapore.

In an exclusive interview with DailySocial, Regional CEO of Good Doctor Technology, Melvin Vu said that the platform is currently preparing to become a telehealth provider with a holistic ecosystem in Southeast Asia. The momentum of digital acceleration is fully utilized to develop various health services, therefore, they can accommodate a wider network.

What are Good Doctor’s next steps and strategies?

B2B and Health as a Service

Based on Dukcapil data as of the end of 2021, the number of health workers (nakes) in Indonesia was recorded at 567,910 people, or 0.21% of the total population of 273.87 million people. Meanwhile, health spending through digital platforms in Indonesia is predicted to be $973 million (around Rp. 14.4 trillion) in 2023.

With the uneven distribution of doctors, Melvin believes that telehealth can overcome challenges for a market like Indonesia with large population and geographical condition. He also believes that telehealth can balance the health ecosystem in Indonesia.

In order to stay at the forefront of the telehealth sector, Good Doctor has two main strategies. First, to reach more people by expanding services to the B2B segment. Second, offering Health-as-a-Service (HaaS) solutions by leveraging the strong support for technology, ecosystem, and partners of Good Doctor.

Technology leverage and localization

In the healthcare industry, including virtual health, technology allows wider exploration. Melvin said that Good Doctor has a strong position to execute it due to the technology and experience built by the parent company over the last seven years. For example, the implementation of AI to help doctors in Indonesia understand symptoms, provide diagnoses, and issue drug prescriptions for their patients.

In addition, Melvin said Good Doctor has another added value as it has an in-house doctor whose expertise can be used to carry out quality control services. One of them is developing clinical pathways. For your information, a clinical pathway is a guideline used to carry out evidence-based clinical actions in health care facilities. Every disease has different guidelines.

In general, health service demand is almost the same in all countries in the Southeast Asian region. In this case, Good Doctor developed a solution from Thailand, then customized it for the Indonesian market.

“We are fortunate that Ping An has been in this field for a long time, therefore, we can leverage its proven technology in China. Being a regional player allows us to understand healthcare issues in different markets, learning from each other. With our technology, everything is conceived on how we deliver healthcare virtually,” he said.

However, Melvin also highlighted the essence of being integrated with various stakeholders. Collaborations will enable Good Doctor to deliver a variety of services and create a holistic health ecosystem in the future, whether through hospitals, clinics, companies, or digital platforms.

“Leveraging technology is one thing, it is also important that we customize to localize. We can have different points of view with service integration. Furthermore, this allows us to minimize fault for every integration, every platform is different. Therefore, we can integrate fast. We can deliver a better customer journey to our clients,” he said.

Transition to endemic

Responding to Good Doctor’s move in welcoming endemic, Melvin said that telemedicine or other virtual health services will continue to play a significant role. He said, services for sick care will always be available, but preventive care is no less important.

“We want [Good Doctor] to transcend sick care services to preventive care in order to keep people healthy. We also want to help control and treat chronic diseases. Related products and services that will be developed, also allow them to be connected to IoT devices. Good Doctor has We are in a strong position to do this because we have the technology and understand how to deliver products,” he said.

Furthermore, Melvin ensures that his team will explore new expansions while focusing on working on existing markets in Singapore, Thailand, and Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

IFC akan Berinvestasi ke Kitabisa Senilai 75 Miliar Rupiah

International Finance Corporation (IFC) mengajukan usulan investasi ke startup crowdfunding Kitabisa senilai $5 juta atau sebesar Rp74,8 miliar. Dalam laman resmi IFC, status pengajuan investasi ini tercatat masih menunggu persetujuan (pending approval).

“IFC mengusulkan investasi dalam bentuk ekuitas hingga $5 juta di perusahaan melalui pembelian saham preferen,” demikian disampaikan dalam Summary Investment Information (SII). Adapun, projected board date ditargetkan pada 23 Agustus 2021.

Melalui investasi ini, IFC memproyeksikan adanya peningkatan akses layanan asuransi ke segmen yang kurang terlayani di Indonesia. Kitabisa diharapkan dapat masuk ke segmen ini melalui pendekatan direct-to-consumer (D2C) dan digital native lewat produk asuransi syariah berbasis on-demand. 

Kitabisa juga diyakini dapat mengatasi hambatan tersebut di Indonesia berkat model bisnis berbasis digital secara end-to-end, pengembangan produk unik dan terjangkau, dan upayanya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya produk asuransi.

Sebagai informasi, Kitabisa mengoperasikan layanan donasi dan pengumpulan dana berbasis digital untuk melayani segmen berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara, IFC merupakan konsorsium di bawah naungan World Bank yang telah berinvestasi ke sejumlah startup di Indonesia, yakni eFishery, AnterAja, dan PasarPolis.

Ekspansi bisnis

Dalam SII-nya, Kitabisa tercatat berencana ekspansi bisnis ke layanan syariah dan asuransi. Diketahui sebelumnya Kitabisa sempat mengoperasikan platform crowdinsurance bernama Saling Jaga pada April 2021. Namun, Saling Jaga terpaksa dihentikan operasionalnya pada 31 Agustus 2021 karena terkendala perizinan.

Berdasarkan pemberitaan tahun lalu, Kitabisa sebelumnya telah mendaftarkan Saling Jaga ke regulatory sandbox OJK. Menurut pihak OJK, salah satu concern dari platform ini adalah konsep crowdinsurance Saling Jaga yang melibatkan banyak orang untuk berdonasi gotong royong.

Pada Oktober 2021, Kitabisa melakukan pivot layanan insurtech dengan menyiapkan kanal Kitajaga. Melalui platform ini, masyarakat dapat membeli produk asuransi jiwa melalui aplikasi Kitabisa.

Sejak berdiri di 2013, Kitabisa telah memiliki 6 juta donatur, melakukan 100 ribu penggalangan dana, serta didukung 3000 NGO/yayasan/lembaga dan 250 program CSR/brand/perusahaan. Berdasarkan laporan audit Ernst & Young (EY) di 2020, total jumlah penerimaan donasi di Yayasan Kita Bisa telah mencapai Rp835 miliar.

Application Information Will Show Up Here

Bank Raya Luncurkan Pembukaan Rekening Online Melalui Aplikasi BRImo

PT Bank Raya Indonesia Tbk (IDX: AGRO) mengumumkan sinergi dengan induk usaha PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (IDX: BBRI) untuk mengintegrasikan layanan digital saving. Melalui sinergi ini, calon nasabah Raya dapat membuka rekening baru pada aplikasi BRImo.

Dalam acara peresmiannya, Direktur Bisnis Kecil dan Menengah BRI Amam Sukriyanto mengungkap bahwa ini menjadi langkah tahap awal dari transformasi digital di lingkup BRI Group yang mengacu pada cetak biru BRIVolution 2.0. “Kami terus berupaya menghadirkan layanan keuangan holistik bagi nasabah,” tutur Amam.

Sementara, Direktur Utama Bank Raya Kaspar Situmorang mengatakan bahwa sinergi ini memampukan Bank Raya untuk menuju posisinya sebagai end-to-end digital provider dan mengakselerasi pertumbuhan jumlah nasabahnya dengan cepat.

“Sejak hari pertama Bank Raya berdiri, transformasi aset dan liabilitas yang dilakukan BRI juga kami terapkan di sini. Maka itu, produk yang kami kembangkan disesuaikan dengan pasar yang kami serve, yakni pekerja gig economy,” ungkap Kaspar.

Aplikasi Raya meluncur sejak Februari 2022 dan mengantongi sebanyak 713 ribu pengguna per Juni 2022. Perusahaan membidik satu juta pengguna aplikasi Raya pada tahun ini. Sementara itu, BRImo telah dipakai 18,3 juta pengguna, di mana sinergi ini diharapkan dapat menggeser 2 juta pengguna ke aplikasi Raya.

Fitur digital saving Raya telah tersedia pada aplikasi BRimo sejak 31 Mei 2022 dan diklaim telah menghasilkan 1.008 rekening baru. Pembukaan rekening Raya juga sudah menggunakan teknologi e-KYC, bebas biaya administrasi, dan tidak ada minimal saldo.

Sebelum ini, induk usahanya BRI juga menggandeng sejumlah platform digital untuk mengintegrasikan pembukaan rekening online. BRI tercatat sudah menggaet aplikasi yang memiliki ekosistem dan basis pengguna besar, seperti Grab dan Tokopedia (BRI Ceria). Namun, strategi frond-end channel ini juga sudah banyak dilakukan oleh sejumlah bank, seperti CIMB Niaga, Mandiri, dan Permata Bank.

Pekerja informal

Sebagai informasi, Bank Raya sebelumnya bernama Bank Agro yang rebranding sejak September 2021. Berbeda dengan induk usaha yang bermain pada segmen mikro dan ultra mikro, Bank Raya membidik segmen pekerja informal atau gig worker.

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pelaku gig economy pada 2020 mencapai 46,4 juta orang. Sementara, survei internal BRI Agro memproyeksikan gig worker mencapai 74,8 juta pekerja dalam lima tahun ke depan dengan memperhitungkan akselerasi digital di Indonesia.

Menurut survei, proyeksi pertumbuhan ini dipicu oleh pandemi Covid-19 (27% YoY) dan penurunan jumlah karyawan full time (8,84% YoY). Adapun, Bank Raya mengincar 10% atau 6-7 juta pekerja informal dari total proyeksi tersebut.

Bank Raya telah mengelola Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp10,15 triliun pada kuartal I 2022 dengan Rasio CASA 45,20% terhadap DPK. Transformasinya menjadi bank digital diharapkan dapat mendongkrak porsi CASA secara bertahap.