XL Axiata to Shut Down XL Tunai E-Money Service

XL Axiata (XL) cellular operator is to shut down XL Tunai e-money service after eight years of operation. This decision was taken as the difficulty to grow amid intense competition with other digital wallet players.

Regarding the shutdown, XL has conducted socialization with its customers via SMS. The written statement: “Dear Customer, your XL Tunai service will be terminated on 28/02/2020 due to your balance at Rp 0”.

Furthermore, another SMS stated: “Dear Customer, we are to re-inform you that XL Tunai-in balance / cash-in has been closed as of 12/02/2020. Your balance can still be used for transactions through *808#”.

A familiar source told DailySocial, XL Axiata’s CEO Dian Siswarini said that the service termination referred to the termination for balance top-up or cash in.

“Termination balance top-up is to stop money circulation. We really plan to shut down XL Tunai, but it can’t just be, because we have to get approval from Bank Indonesia (BI) as the issuer,” Dian said.

There are no further details regarding this shutdown. Dian said that she was still discussing with BI regarding the mechanism of closing its services.

XL Tunai was launched in 2012 and currently has 2 million users. Just like other e-money services, XL Tunai can be used to send and receive funds, pay bills, and buy tickets.

Challenging not to be agnostic

One of the biggest challenges for operators in the e-money business today was to shift banking domination. It’s getting harder when GoPay, OVO, and solutions from digital services increasingly exist.

Operators are considered to have failed to boost the users’ growth and e-money transactions due to a lack of merchant inclusiveness and ecosystem. The market share is limited to only customers.

Of the total 56 million XL customers, only 2 million are using XL Tunai. Telkomsel, with the largest customer base of 167 million, only acquired 20 million users – only half of them are active in transactions.

It’s a strategic step when T-cash decided to become an agnostic e-money platform at the end of 2018. It’s intended to become a platform that is free to use by anyone, without having to be a Telkomsel customer. T-cash and server-based e-money services run by state-owned banks have now merged into LinkAja.

Based on the 2019 Fintech Report, GoPay is currently the most used digital wallet of 83.3 percent, followed by OVO (81.4%), DANA (68.2%), and LinkAja (53%).

The fall of cellular operator’s digital business

Since 2018, XL Tunai operations have been transferred to its parent company, Axiata Digital Services. According to the latest news, the transfer was made so that XL could focus on its main business as telecommunications provider.

This is actually a strategy to remain efficient as a group, especially after XL failed to build Elevenia as an e-commerce joint venture with SK Planet. In the end, all of the blue operators’ digital businesses were left entirely to Axiata Group.

“We do not plan to substitute XL Tunai with a similar new service. The new plan [digital business] is actually there, but now it is handled in groups by the holding company,” he explained.

XL is not the only one failed to build a digital business. Indosat Ooredoo experienced the same failure. The company launched Dompetku to be merged into PayPro in the midst of 2017, also closed the Cipika marketplace because it did not want to keep burning money.

Reflecting on the issue above, telecommunications operators actually have a great opportunity to create new revenue from digital business. Operators have a large customer base and extensive network infrastructure. Its position as a telecommunications operator is advantageous because it must stay ahead of technological developments.

On the other hand, operators should move quickly in the face of competition with Over-The-Top (OTT) players. The growth of the telecommunications industry continues to fall and the cellular business is no longer expected. In other words, they must maintain profitability while continuing to build networks.

Although starting to refocus on the cellular as its core business, telecommunications operators still need to prepare themselves for the next 5-10 years to face the digitalization era.

What should be sought together is how the telecommunications industry finds the right business models and strategies in running digital businesses in the future, including finding capable talents to develop digital businesses.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

XL Axiata Segera Tutup Layanan Uang Elektronik XL Tunai

Operator seluler XL Axiata (XL) segera menutup layanan e-money XL Tunai setelah delapan tahun beroperasi. Penutupan ini menyusul semakin sulitnya ruang untuk bertumbuh di tengah ketatnya persaingan dengan pemain dompet digital.

Mengenai penutupan layanan ini, XL sudah melakukan sosialisasi kepada pelanggannya melalui SMS. Isinya tertulis: “Pelanggan Yth, layanan XL Tunai Anda akan dihentikan pada 28/02/2020 karena saldo Anda Rp0”.

Kemudian, SMS lainnya berisi: “Pelanggan Yth, kami infokan kembali bahwa pengisian saldo/cashin-in XL Tunai telah ditutup per 12/02/2020. Saldo Anda masih bisa dipakai untuk transaksi di *808#”.

Dari informasi yang diterima DailySocial, CEO XL Axiata Dian Siswarini menyebutkan penghentian layanan dimaksud saat ini adalah penghentian untuk pengisian saldo atau cash in.

“Penghentian isi saldo ini supaya tidak ada uang beredar lagi. Kita memang berencana menutup XL Tunai, tapi tidak bisa begitu saja karena harus dapat approval dari Bank Indonesia (BI) selaku pemberi lisensi,” ujar Dian.

Belum ada rincian lebih lanjut mengenai rencana penutupan ini. Dian menambahkan bahwa pihaknya masih berdiskusi dengan BI terkait mekanisme penutupan layanannya.

XL Tunai diluncurkan pada 2012 dan saat ini memiliki 2 juta pengguna. Sama seperti layanan e-money lainnya, XL Tunai dapat digunakan untuk mengirim dan menerima dana, membayar tagihan, hingga membeli tiket.

Sulit jika tidak agnostik

Salah satu tantangan terbesar operator di bisnis e-money saat itu adalah menggeser dominasi perbankan. Semakin berat kala GoPay, OVO, dan solusi dari layanan digital makin exist.

Operator dianggap gagal mendongkrak pertumbuhan pengguna dan transaksi e-money miliknya karena kurangnya inklusivitas dan ekosistem merchant. Pangsa pasarnya hanya terbatas pada orang yang menjadi pelanggannya saja.

XL punya 56 juta pelanggan, tapi cuma 2 juta yang memakai XL Tunai. Telkomsel sendiri, dengan basis pelanggan terbesar sebanyak 167 juta, cuma mengantongi 20 juta pengguna–itupun hanya setengahnya yang aktif bertransaksi.

Sebuah langkah yang tepat ketika T-cash memutuskan untuk menjadi platform e-money yang agnostik di akhir 2018. Agnostik yang dimaksud adalah menjadi platform yang bebas dipakai oleh siapapun, tanpa perlu jadi pelanggan Telkomsel. T-cash dan layanan e-money berbasis server milik bank-bank pelat merah kini melebur menjadi LinkAja.

Berdasarkan Fintech Report 2019, saat ini GoPay menjadi digital wallet paling banyak dipakai sebesar 83,3 persen, diikuti OVO (81,4%), DANA (68,2%), dan LinkAja (53%).

Keruntuhan bisnis digital operator seluler

Sejak tahun 2018, operasional XL Tunai telah dialihkan ke induk usahanya, yaitu Axiata Digital Services. Menurut pemberitaan terakhir, pengalihan ini dilakukan agar XL bisa fokus di bisnis utamanya sebagai penyelenggara telekomunikasi.

Pengalihan ini sebetulnya adalah strategi untuk tetap efisien secara grup, terutama pasca kegagalan XL membangun bisnis patungan e-commerce Elevenia bersama SK Planet. Pada akhirnya, seluruh bisnis digital operator biru ini diserahkan sepenuhnya kepada Axiata Group.

“Kami belum berencana untuk menyubstitusi XL Tunai dengan layanan baru yang serupa. Plan baru [bisnis digital] sebetulnya masih ada, tapi sekarang ditangani secara grup oleh induk usaha,” paparnya.

Tak cuma XL yang gagal membangun bisnis digital. Indosat Ooredoo juga punya pengalaman yang sama. Perusahaan melepas bisnis Dompetku untuk dilebur menjadi PayPro di paruh 2017, lalu menutup marketplace Cipika karena tak ingin terus-terusan “bakar uang”.

Berkaca dari hal di atas, operator telekomunikasi sebetulnya punya peluang besar untuk menciptakan pendapatan baru dari bisnis digital. Operator punya basis pelanggan yang besar dan infrastruktur jaringan yang luas. Posisinya sebagai operator telekomunikasi menguntungkan karena mereka harus tetap terdepan terhadap perkembangan teknologi.

Di sisi lain, operator harus bergerak cepat dalam menghadapi persaingan dengan pemain Over-The-Top (OTT). Pertumbuhan industri telekomunikasi terus tergerus dan bisnis seluler tidak lagi selamanya diharapkan. Dengan kata lain, mereka harus menjaga profitabilitas sambil terus membangun jaringan.

Meski mulai kembali fokus ke bisnis seluler sebagai bisnis utamanya, tetap saja operator telekomunikasi perlu mempersiapkan diri 5-10 tahun mendatang dalam menghadapi era digitalisasi.

Yang perlu dicari bersama adalah bagaimana industri telekomunikasi menemukan model bisnis dan strategi yang tepat dalam menjalankan bisnis digital di masa depan, termasuk menemukan talenta yang mampu mengembangkan bisnis digital.

Saturdays Garap Fitur “Seamless Experience”, Optimalkan Penjualan Kacamata Lewat Skema O2O

Tahun lalu, merek lifestyle Saturdays belum bicara bagaimana teknologi canggih yang berkembang dapat segera dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan bisnis utamanya saat ini, yakni produk kacamata.

Saat itu diwawancarai DailySocial, CEO dan Co-founder Saturdays Rama Suparta mengaku masih mencermati berbagai perkembangan teknologi yang lagi happening di Indonesia, misalnya Artificial Intelligence (AI) atau Augmented Reality (AR).

Di tahun ini, Rama mengungkap rencana besarnya untuk memperkuat konsep Online-to-Offline (O2O) yang sejak awal diusung Saturdays. Strateginya adalah menghadirkan konsep seamless experience. 

Belum banyak informasi yang dapat dibagikan mengenai rencana ini. Yang pasti, bentuk pengembangan dari konsep tersebut adalah aplikasi mobile, memungkinkan konsumen tak perlu merasakan pengalaman berbelanja yang berbeda, baik melalui online maupun offline.

Kemudian, aplikasi ini rencananya akan memberikan pengalaman yang optimal bagi konsumen untuk menjajal kacamata melalui aplikasi, tanpa harus datang ke toko.

Basically, idenya adalah konsumen akan merasakan experience dan value yang sama saat berbelanja di online atau offline. I can’t tell you now, tapi kami lagi development,” ungkap Rama kepada DailySocial.

Sebetulnya saat ini, Saturdays sudah melakukan pemasaran digital dengan memanfaatkan channel media sosial dan penjualan O2O. Artinya, pembeli dapat bertransaksi online melalui website atau datang ke toko offline miliknya.

Akan tetapi, Rama mengaku masih banyak konsumennya yang lebih nyaman untuk datang ke toko offline, baik untuk membeli kacamata atau sekadar mencoba.

“Yang belanja di online biasanya retain customer atau mereka yang sudah pernah berbelanja. Kami harap [pertumbuhan transaksi] online terus bertumbuh, tidak hanya dari toko offline saja,” tuturnya.

Tantangan pengembangan teknologi hingga rencana ekspansi

Untuk menghadirkan seamless experience ini, Rama mengaku masih melakukan riset terkait teknologi yang tepat. Apalagi, bicara pengembangan O2O, konsepnya dapat memanfaatkan teknologi canggih, seperti AR dan AI.

Namun, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, ekosistem perangkat yang mendukung AR dinilai masih sangat minim.

Sedangkan, menurutnya, smartphone yang betul-betul sudah mendukung pengalaman AR yang optimal baru iPhone X dan seri di atasnya.

Hal lain yang tak kalah penting adalah orang-orang yang akan akan mengembangkannya. Untuk saat ini, ia mengungkap tengah membangun tim yang akan melakukan riset untuk teknologi yang tepat.

“Kita sudah get some channel to help support our technology dan sudah ada core team juga. Tapi tidak mudah build teknologi, apalagi di Indonesia lack of talent juga. Untuk sekarang, kami masih mencari talent untuk mengembangkan konsep ini,” ujar Rama.

Di luar pengembangan besar Saturdays di atas, Rama menuturkan sejumlah rencana strategis lainnya tahun ini yang tetap berfokus pada peningkatan customer experience.

Untuk ekspansi toko, ia menyebut ada penambahan toko, baik flagship ataupun shop-in-shop. Saturdays saat ini sudah memiliki dua toko flagship dan tiga shop-in-shop di Jakarta.

Kemudian, pengembangan baru fitur Personal Stylist di website. Fitur ini sebetulnya sudah ada sejak awal Saturdays berbisnis, konsumen dapat memperoleh rekomendasi frame kacamata dari referensi data pengguna.

“Fitur ini belum optimal berjalan. Nah, kami punya ide lain tentang bagaimana memberikan rekomendasi kacamata ke konsumen. Kami bakal packaging fitur ini dengan cara yang lain nanti. Tunggu saja,” ungkapnya.

Sebagai informasi, Saturdays menawarkan produk eyewear berkualitas dengan harga terjangkau. Produksi lensa dan frame dilakukan sendiri mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen.

Potensi O2O di pasar retail

Pertumbuhan ekonomi digital menjadi wajah baru perekonomian Indonesia. Sebagaimana disebutkan Asisten Deputi Humas Kemensetneg Eddy Cahyono Sugiarto, ekonomi digital mampu mentransformasikan perekonomian yang diprediksi menjadi prime mover ekonomi Indonesia.

Disampaikan Eddy, mengutip riset McKinsey, posisi ekonomi digital Indonesia saat ini sudah hampir sama dengan Tiongkok di 2010. Hal ini berdasarkan sejumlah indikator, seperti penetrasi e-retail, GDP per kapita, penetrasi internet, dan pengeluaran ritel.

Menyoal tren O2O, konsep ini diprediksi menjadi masa depan industri ritel di Indonesia. Riset Statistita 2018 mengestimasi penjualan ritel e-commerce di Indonesia pada 2020 mencapai $12,3 miliar dan bakal naik menjadi $16,5 miliar pada 2022.

Konsep O2O memberikan prospek cerah bagi industri yang sejalan dengan semakin berkembangnya ekosistem digital dan pergeseran perilaku konsumen. Di sisi lain, inovasi di bidang O2O juga dapat mendongkrak sektor UKM yang selama ini menjadi penopang ekonomi di Tanah Air.

Mbiz Galang Pendanaan Seri B 278 Miliar Rupiah

Platform e-procurement untuk B2B, Mbiz, tengah menggalang pendanaan seri B senilai $20 juta atau setara 278 miliar Rupiah. Ini kali pertama Mbiz mencari pendanaan baru setelah terakhir memperoleh investasi seri A dari Tokyo Century Corporation di 2017.

Menurut CEO Mbiz Rizal Paramarta, pihaknya saat ini masih melakukan penjajakan dengan sejumlah investor. “Kami dapat mandat dari shareholder untuk membuka peluang terhadap investor-investor baru. Jadi investor lama nanti hanya ‘top up‘ saja,” katanya.

Dari penjajakan tersebut, ia mengaku juga mengincar strategic partnership yang beneficial bagi kedua belah pihak. Misalnya, bersinergi dengan pihak yang memiliki ekosistem e-commerce lain.

“Ini useful buat kami karena dapat bersinergi dan mengangkat valuasi kedua belah pihak. Kalau venture fund itu terbatas di capital saja,” papar Rizal ditemui usai Media Briefing di Jakarta.

Skema lain yang diincar Mbiz adalah co-branding. Dengan bersinergi dengan pihak yang sudah memiliki brand awareness lebih besar, ini akan mengakselerasi bisnis ke depannya.

Sementara itu, Co-founder dan COO Mbiz Ryn Hermawan mengungkap bahwa sudah ada beberapa investor lokal yang secara spesifik berminat investasi di pasar B2B.

“Sudah ada advisor yang engage dengan kami untuk bawa investor yang interested ke B2B. Intinya kami masih penjajakan, mudah-mudahan finalisasinya bisa di kuartal kedua tahun ini,” ujarnya kepada DailySocial.

Di segmen serupa, Mbiz saat ini berkompetisi dengan beberapa pemain lokal seperti Bhinneka Bisnis dan Bizzy. Pemain marketplace C2C Bukalapak juga mulai menjajaki segmen B2B dengan meluncurkan layanan e-procurement BukaPengadaan.

Salah satu keunggulan layanan B2B Commerce seperti yang disajikan Mbiz adalah digitalisasi sistem pengadaan untuk bisnis (e-procurement). Seperti diketahui, dalam perusahaan skala besar, pembelian atau pengadaan barang harus dilakukan melalui serangkaian proses, bahkan harus melakukan tender terlebih dulu. Belum lagi saat berbicara soal pelaporan terkait potongan pajak, pembukuan dan lain-lain. Hal-hal seperti itu yang coba diselesaikan para pemain di B2B Commerce.

Menurut laporan dari McKinsey & Co, potensi e-procurement di Indonesia mencapai $125 miliar pada 2025. Estimasi ini gabungan dari global corporate services ($18 miliar), b2b marketplace ($76 miliar) dan b2b services ($36 miliar).

Tingkat brand awareness pemain di segmen ini, memang tidak sekencang dengan produk konsumer. Kendati begitu, menurut riset DSResearch pada 2018, mengungkapkan beberapa pemain yang sering didengar responden adalah Bhinneka Bisnis, Bizzy dan Mbiz.

Pertimbangan ekspansi ke pasar regional

Lebih lanjut, Rizal mengungkap bahwa pihaknya mendapat tawaran dari investor untuk ekspansi ke pasar regional. Menurutnya, investor tersebut sudah memiliki jaringan B2B yang kuat meskipun bukan di bidang e-procurement.

Akan tetapi, ekspansi di Asia Tenggara belum menjadi prioritas perusahaan saat ini karena ruang pertumbuhan di Indonesia masih sangat besar. Terutama jika melihat masih rendahnya awareness terhadap solusi e-procurement.

“Nah, [rencana] pendanaan baru ini untuk dua tahun ke depan karena saat ini kami masih fokus di Indonesia. Tapi, dalam tiga tahun ke depan, kami bisa fokus ke mancanegara mengingat potensi pasarnya sangat besar,” tuturnya.

Sementara itu, Ryn menyebutkan sejumlah tantangan yang dihadapi di bisnis e-procurement. Selain awareness dan engagement yang masih rendah, ia menyebut pasar marketplace B2B di Indonesia juga belum siap dalam melihat e-procurement sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.

“B2C itu distimulus oleh promo atau diskon. Artinya startup harus bakar uang untuk akuisisi pelanggan. B2B tidak demikian, pendekatannya berbeda. Kita tidak punya benchmark untuk [model bisnis] ini. Untuk akuisisi pembeli juga tidak mudah. Ada perusahaan yang, misalnya, ketergantungan dengan vendor lama. Ini jadi challenge juga bagi kami untuk engage dengan mereka,” jelasnya.

Menuju profitabilitas dan pengembangan super ecosystem

Dari sisi bisnis, Rizal mengungkap pendanaan baru akan digunakan untuk mengembangkan platform dan timnya. Rencana pengembangan ini untuk menuju target pertumbuhan sebesar empat kali lipat di 2020.

Di samping itu, perusahaan telah memprediksi dapat mengantongi keuntungan hingga 2021 karena konsisten untuk tidak melakukan strategi ‘bakar uang’ untuk mengakuisisi pelanggan.

“Selama tiga tahun terakhir, kami tidak raising dana baru karena bisnis kami efisien. Kami tidak ‘bakar uang’ atau subsidi. Profitabilitas kami jelas makanya kami optimistis di 2021 positif. Kemungkinan ini equity terakhir sampai 2021 untuk mencapai profitabilitas positif,” papar Rizal.

Adapun pengembangan platform ini, ujar Rizal, adalah bagian dari strategi Mbiz untuk menjadi super ecosystem di masa depan. Dalam hal ini, Mbiz berupaya memperkuat ekosistem platform dengan mengajak pihak-pihak terkait ke dalam transaksi e-procurement.

“Ke depan kami tidak ingin hanya buyer dan seller saja yang terlibat dalam transaksi, tetapi juga pihak-pihak lainnya, seperti fintech, asuransi, dan logistik,” tambahnya.

Berdasarkan data perusahaan, kategori jasa dan solusi berkontribusi lebih dari 50 persen dibandingkan kategori layanan. Dari segmen pembeli, kontributor transaksi terbesar berasal dari FMCG dan retail (50%), property and real estate (25%), pharmaceutical (15%), dan startup atau perusahaan teknologi (5%).

Kemudian, Gross Merchandise Value (GMV) pada 2019 tercatat tumbuh empat kali lipat (Year-on-Year/YoY). Jumlah mitra vendor yang tergabung sebesar 4.000 dengan 100.000 SKU produk.

Memahami Metrik “Customer Lifetime Value” dalam Startup

Membangun startup tidak hanya mengandalkan metrik traction untuk validasi bisnis. Pada perjalanannya, founder juga perlu memikirkan metrik lainnya untuk memastikan kelangsungan bisnis.

Salah satu metrik utama adalah Customer Lifetime Value (CLV) atau nilai umur pelanggan, tentang bagaimana pelanggan dapat memberikan pengaruh besar terhadap bisnis startup.

Metrik ini acapkali dilupakan. Padahal CLV dapat membantu startup untuk mengukur pendapatan dan investasi yang dihabiskan untuk memperoleh pelanggan.

Apa saja hal-hal penting lainnya yang bersinggungan dengan CLV dan bagaimana cara menghitung metrik ini? Selengkapnya simak paparan Co-founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi pada sesi #SelasaStartup berikut ini:

Strategi navigasi P2P lending

Adrian menekankan pentingnya memetakan strategi bernavigasi. Pasalnya, industri fintech sangat teregulasi dan diawasi ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketika bicara soal ‘bakar uang’ dan regulasi, kedua hal ini tentu sangat bertolak belakang.

Yang perlu ditekankan adalah bagaimana pemain Peer-to-Peer (P2P) lending dapat bernavigasi dan tetap menyeimbangkan posisinya pada industri yang memiliki regulasi ketat.

Sejalan dengan perkembangan bisnis, startup harus mempertahankan keseimbangan saat melakukan ‘bakar uang’ dan menjaga pendapatan tetap naik.

“Karakter dan tantangan pada startup adalah mereka harus tumbuh dan scale dengan cepat. Makanya strategi navigasi ini penting karena kedua poin tersebut sering dikaitkan dengan ‘bakar uang’ dan regulasi,” sebutnya.

Eksplorasi pasar B2B

Bagi sejumlah pemain P2P lending, pasar Business-to-Business (B2B) dianggap lebih menarik dibandingkan Business-to-Consumer (B2C). Tentu saja, mencari traction pada segmen B2C lebih mudah. Namun, bukan itu.

Pentingnya menentukan target pasar akan sangat berkaitan dengan bagaimana sebuah startup melakukan bakar uang. Bagi Adrian, B2B menjadi lebih menarik karena biaya akuisisi pelanggan jauh lebih rendah dibandingkan B2C.

Berdasarkan riset Roland Berger di 2016, sebagaimana dikutip Adrian, alasan mayoritas pemain fintech di Eropa memilih segmen B2B adalah dapat menghasilkan pendapatan lebih maksimal.

“Sejak awal Investree tidak bermain di ranah B2C karena impact B2B terhadap pendapatan akan lebih tinggi. Ini patut menjadi pertimbangan bagi startup. Lagipula, semakin startup berkembang, investor tidak hanya akan melihat growth, tetapi juga profitabilitas,” paparnya.

Di sisi lain, pasar B2B juga dapat dieksplorasi lebih lanjut, seperti e-procurement. Sebagai startup yang juga masu ke ranah ini, Adrian menilai e-procurement berpotensi besar bagi P2P lending, terutama dapat mendorong lebih banyak borrower.

Ia mencontohkan bagaimana Investree mengakuisisi platform e-procurement Mbiz dan melakukan pendekatan ke Telkom dan Unilever. Yang diincar bukan mereka sebagai korporasi besar, tetapi vendor atau pihak ketiga yang menangani iklan dan event perusahaan ini.

Vendor-vendor ini kebanyakan berada di skala UKM yang membutuhkan cashflow yang jelas. Dengan e-procurement, Investree dapat membantu vendor Unilever maupun Telkom supaya dibayar lebih cepat.

“Kita tahu rata-rata pembayaran procurement vendor itu 90-120 hari. Bahkan ada yang 150 hari. Dengan melebarkan solusi ke ranah ini, ini bisa memudahkan pembayaran vendor,” jelas Adrian.

Menghitung CLV dan timing tepat menyetop ‘bakar uang’

Disebutkan sebelumnya bahwa penentuan target pasar akan berkaitan erat dengan bagaimana startup menentukan strategi bakar uang.

Jika sebuah startup mulai bicara tentang Customer Lifetime Value, pertanyaannya adalah sampai kapan harus melakukan strategi ‘bakar uang’ demi mengakuisisi pelanggan?

Sebagai pelaku P2P lending, Adrian memiliki perhitungan CLV sendiri, yakni pendapatan yang diperoleh borrower selama menjadi borrower di Investree. Jika hanya meminjam dana satu kali, artinya CLV juga hanya satu kali.

Kemudian, biaya untuk akuisisi pelanggan. Investree memperhitungkan beberapa komponen biaya, mulai dari biaya promosi, biaya tenaga kerja yang dipakai untuk memperoleh pengguna, hingga biaya processing. 

“Bobot setiap komponen berbeda. Akan tetapi, cost harus dihitung sampai borrower memberikan pendapatan ke Investree. Begitu ada opex dan gaji yang harus dibayarkan, startup sudah harus menghitung [CLV] karena growth tanpa pendapatan tidak sustain,” ucapnya.

Umumnya setelah tahun pertama, startup perlu menghitung metrik untuk memastikan bahwa penggunaan investasi untuk ‘bakar uang’ tidak lebih tinggi dari pendapatan yang diterima.

“Perhitungannya adalah CLV dibagi [biaya] akuisisi pelanggan. Di industri B2B, yang dianggap bagus anything above dua kali. Kalau Investree, average empat kali karena kita ada ekosistem yang mendukung sehingga faktor pembilangnya jauh lebih besar,” papar Adrian.

Pentingnya melakukan kolaborasi

Pada dasarnya, eksklusivitas bukan lagi yang utama dalam berbisnis. Adrian juga menekankan pentingnya berkolaborasi dengan ekosistem inti dan pendukung di industri P2P lending untuk menciptakan nilai lebih.

“Daripada mengajukan lisensi [bisnis tertentu], misalnya, lebih baik kita kerja sama dan menciptakan nilai masing-masing bagi bisnis,” katanya.

Adrian kembali mencontohkan bagaimana Investree menghadapi tantangan dalam meningkatkan konversi pada retail lender-nya. Menurutnya, retail lender cenderung menarik dana investasinya lebih cepat, apalagi untuk kebutuhan seasonal seperti hari raya dan liburan.

Retail lender itu tidak sticky ya. Kalau kita ingin masuk ke Telkom [untuk e-procurement], Telkom sebagai anchor partner tentu butuh kepastian bahwa Investree bisa mendukung,” ujarnya.

Hal ini membuat Investree tidak dapat mengukur sustainability fund dan harus mengeluarkan biaya lagi. Untuk mengatasi hal ini, Investree akhirnya melakukan pendekatan ke institutional lender untuk menyeimbangkan segmen pemberi pinjaman dengan retail lender.

Literally, Indonesia Is Yet to Welcome the 5G Era

Five years ago, the Indonesian government expected to start implementing the 5G network in 2020. Today, weeks after 2020 started, commercializing is yet to happen. In some countries, such as the United States and South Korea, 5G is now available.

Before we get into commercializing, even the regulation is not ready. What the public aware is, the Ministry of Communication and Informatics (Kominfo) is currently preparing the regulation and its derivatives. 5G technology is projected to run five years later.

One thing that is on progress is the frequency that will be used to implement the 5G network. The 700MHz band as said to be the key spectrum is not yet discharged from analog TV. Meanwhile, the migration of analog TV to digital is to be carried out in 2024.

In terms of timeline, this plan is quite realistic. Reasonably, there is no ecosystem to support the development of 5G technology in Indonesia. In fact, there is still a long journey to get there.

The Minister of Communication and Information, Johnny G. Plate even told us not to rush for 5G technology to be immediately commercialized. “The trial isn’t even finished,” he said as quoted by Detik.

Do we really need 5G?

In more developed countries, such as the US and South Korea, the 5g technology is now available / Unsplash
In more developed countries, such as the US and South Korea, the 5g technology is now available / Unsplash

Five years can be a short period of time in the global dynamic competition and massive technology development. Not mentioning the industrial revolution of 4.0. If we get loose for a minute, there’s a chance we can get far left behind from the neighbor countries.

Moreover, 5G is no longer about how we can stream without buffering or downloading movies faster than a day. This fifth-generation cellular technology can be a game-changer for human life, industry and the country’s economy.

5G guarantees extraordinary speeds – though not yet proven – one of which is to transfer data at 800 Gbps. 5G can also handle thousands of devices and sensors simultaneously. Therefore, it’s not surprising 5G is called the fastest telecommunications protocol.

The people who benefit most from the implementation of 5G are not data and cellular customers, but the industry. Moreover, the manufacturing sector is the main pillar of the country’s economy.

The use of the Internet of Things (IoT), automation, big data to real-time analysis in the manufacturing industry is said to be able to increase productivity and great efficiency. Layers of business processes that used to be done manually will be run with automation.

A T Kearney consulting firm, as quoted by Business Times, predicts the adoption of 5G has a devastating impact on the industrial sector in Southeast Asia of US$ 147 billion in 2025.

A total of US $ 81 billion of the previous number mentioned will be contributed by the trade, transportation and financial industries. Then the value is to increase by another US$ 59 billion if the manufacturing sector utilizes the Internet of Things (IoT).

In reality, Indonesia is yet to call for 5G. First, the circulation of our telecommunications infrastructure is still uneven. Internet penetration alone is not 100 percent. There are thousands of populations still using 2G mobile phones.

Second, supporting ecosystems, such as assemblers company and its equipment, are not ready. When it’s time to generate the domestic industry, we have to think about people who develop it – it is impossible to depend on foreign countries.

Third, we have no examples of appropriate cases or use cases to be implemented. Thus, why bother implementing technology with very expensive switching costs.

Not to mention the literacy and technology adoption issue. What should be a concern – when targeting the industrial sector – is how they perceive the importance of technology implementation in business processes.

The government alone cannot assure the ideal time when the 5G technology can be implemented in Indonesia. The Director-General of Resources and Equipment of Post and Information Technology (SDPPI) Kominfo Ismail revealed that there are many technical issues should be discussed further.

Ismail said the implementation of 5G is not only a matter of frequency availability but also the readiness of the ecosystem and monetization of the 5G infrastructure that was built. “Therefore, we are still focusing on trials with operators now,” he told DailySocial.

The explosion of data consumption

Adoption and Consumption of digital content in Indonesia is increasing / Unsplash
Adoption and Consumption of digital content in Indonesia is increasing / Unsplash

As previously mentioned, 5G is an investment to compete in the global market. We don’t need to re-evaluate when 3G enters the Indonesian market and it takes more than 10 years to encourage its penetration.

Ecosystem development should be the government’s priority as the first step to remaining consistent with its digital economic vision. And the industrial sector can make a contribution to drive digital economic growth, not just startups and corporates.

In addition, the urgency to implement 5G technology is getting inevitable given the increasing consumption of internet data in Indonesia. With a total population exceeds 250 million, a data explosion can occur along with the massive trends in the use of video-based services.

In an era where mobile content is getting very popular, dozens of people are streaming video and music simultaneously. The highly cited increase in data consumption can disrupt the dense spectrum.

The Chairperson of the Indonesian IoT Association Teguh Prasetya agreed on this when highlighting the urgency of implementing 5G. He said, user demand for applications that require high bandwidth, low latency, and high speed will increase in the next three years. It is not limited in a residential area but also in industrial estates and big cities.

Another thing to be highlighted is the readiness of related ecosystem, starting from the providers of devices, networks, applications, and content. It is related to the investment side, both from capital expenditure, operational costs and human resources.

Therefore, Teguh continued, the government needs to consider the growth of domestic supporting ecosystems, starting from technology providers, system integrators, communities and domestic producers who can play a role in the development of 5G in the country.

“As to judge from the three things above, our concentration and priority at the moment are to focus on the distribution of broadband to all levels of society in Indonesia by optimizing the existing 4G technology in addition to other fixed broadband,” he said.

Use case optimization

Meanwhile, MDI Ventures’ Head of Investor Relations & Capital Raising, Kenneth Li discussed the importance of using the right case for the 5G implementation. He emphasized on the use case that is not easily replaced by 4G or its predecessor technology.

As an example, streaming activity. 3G technology was developed to allow streaming activities, while 2G technology can hardly do this.

However, in the context of developing IoT, he said that there are still many developers who embrace the concept of product development that can be substituted with technology.

“They still apply the concept ‘best with 5G but work on 4G or 3G‘. In fact, if they thought about creating technology that only works for 5G, the market penetration will be very slow, “Kenneth told DailySocial.

The above concept is considered possible to slow the growth of 5G technology, particularly with use cases related to IoT. Thus, he emphasized on developing use cases that also applies to the use of the current technology.

“With more and more use case primary, in the future [development of use cases] I think all is good,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Sesungguhnya Indonesia Belum Menyambut Era 5G

Lima tahun lalu, pemerintah Indonesia pernah menargetkan penerapan jaringan 5G di 2020. Sekarang sudah memasuki 2020, tapi komersialisasi ini belum juga terjadi. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, layanan 5G kini sudah mengudara.

Jangankan komersialisasi, regulasinya pun belum ada. Yang publik tahu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saat ini masih menggodok aturan dan turunannya. 5G diestimasi meluncur lima tahun dari sekarang.

Salah satu yang masih digodok adalah frekuensi yang akan digunakan untuk mengimplementasi jaringan 5G. Pita 700MHz yang digadang menjadi spektrum kunci, belum terbebas dari TV analog. Sementara, migrasi TV analog ke digital baru akan dilaksanakan di 2024.

Secara timeline, rencana ini terdengar cukup realistis. Pasalnya, ekosistem untuk mendukung pengembangan teknologi 5G di Indonesia belum ada. Intinya, masih sangat panjang perjalanan untuk menuju ke sana.

Menkominfo Johnny G. Plate bahkan meminta agar kita tidak usah terburu-buru meminta 5G untuk segera dikomersialisasikan. “Trial-nya saja belum selesai,” begitu katanya sebagaimana dikutip Detik.

Sudah perlukah kita 5G?

Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, layanan 5G kini sudah mengudara / Unsplash
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, layanan 5G kini sudah mengudara / Unsplash

Tapi bisa jadi lima tahun bukan waktu yang lama di era persaingan global dan masifnya perkembangan teknologi. Belum lagi bicara revolusi Industri 4.0. Jika kita lengah sedikit, kita akan jauh tertinggal–setidaknya dari negara tetangga.

Lagipula, 5G bukan lagi bicara soal bagaimana kita bisa streaming tanpa buffering atau mengunduh film tanpa perlu ditinggal pulang seharian. Teknologi seluler generasi kelima ini dapat menjadi game changer bagi kehidupan manusia, industri dan perekonomian negara.

5G menjanjikan kecepatan luar biasa–meski belum terbukti–yang salah satunya adalah melakukan transfer data sebesar 800 Gbps. 5G juga dapat menangani ribuan perangkat dan sensor secara bersamaan. Maka tak heran 5G disebut sebagai protokol telekomunikasi tercepat.

Yang paling diuntungkan dengan implementasi 5G bukanlah kita pelanggan data dan seluler, melainkan industri. Lebih lagi, sektor manufaktur sebagai penopang utama ekonomi negara.

Pemanfaatan Internet of Things (IoT), automasi, big data hingga analisis secara real time pada industri manufaktur disebut dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi yang besar. Berlapis-lapis proses bisnis yang biasanya dilakukan secara manual dapat sepenuhnya dijalankan dengan automasi.

Firma konsultan A T Kearney, seperti dikutip dari Business Times, memprediksi bahwa penerapan 5G membawa dampak dahsyat terhadap sektor industri di Asia tenggara sebesar US$147 miliar pada 2025.

Dari angka tersebut, senilai US$81 miliar bakal disumbang oleh industri perdagangan, transportasi dan keuangan. Kemudian nilai tersebut bakal bertambah lagi US$59 miliar jika sektor manufaktur memanfaatkan Internet of Things (IoT).

Secara realistis, Indonesia memang belum membutuhkan 5G. Pertama, penyebaran infrastruktur telekomunikasi kita masih belum merata. Penetrasi internet saja belum 100 persen. Masih banyak yang sampai sekarang menggunakan ponsel 2G.

Kedua, ekosistem pendukung, seperti pabrik perakit dan perangkatnya, belum siap. Kalau memang ingin membangkitkan industri dalam negeri, kita harus pikirkan siapa yang akan mengembangkannya–tak mungkin bergantung pada luar negeri.

Ketiga, kita belum memiliki contoh kasus atau use case yang tepat untuk diimplementasikan. Jadi buat apa repot implementasi yang biaya switching teknologinya saja sudah mahal.

Belum lagi soal literasi dan adopsi teknologi. Yang patut menjadi concern–kalau memang sasarannya sektor industri–adalah bagaimana mereka memandang pentingnya implementasi teknologi dalam proses bisnis.

Pemerintah bahkan belum dapat memastikan kapan idealnya 5G diterapkan di Indonesia. Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo Ismail mengungkapkan ada banyak masalah teknis yang perlu dibahas lebih dalam.

Menurut Ismail, implementasi 5G bukan hanya masalah ketersediaan frekuensi, tetapi juga kesiapan ekosistem dan monetisasi infrastruktur 5G yang dibangun. “Jadi saat ini kita masih fokus pada uji coba bersama para operator,” tuturnya kepada DailySocial.

Ledakan konsumsi data

Adopsi dan konsumsi konten digital di Indonesia terpantau tinggi dan terus meningkat / Unsplash
Adopsi dan konsumsi konten digital di Indonesia terpantau tinggi dan terus meningkat / Unsplash

Sebagaimana disampaikan di awal, 5G merupakan investasi untuk bersaing di pasar global. Kita tidak perlu mengulang ketika 3G masuk Indonesia dan butuh waktu lebih dari 10 tahun untuk mendorong penetrasinya.

Pembangunan ekosistem sebagai langkah awal layak menjadi prioritas pemerintah jika ingin tetap konsisten dengan visi ekonomi digitalnya. Dan sektor industri dapat dilibatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital, tak hanya startup dan korporat saja.

Di sisi lain, urgensi untuk menerapkan 5G semakin tak terelakkan mengingat konsumsi data internet di Indonesia terus meningkat. Dengan populasi mencapai lebih dari 250 juta, ledakan data dapat terjadi sejalan dengan semakin masifnya tren penggunaan layanan berbasis video.

Di era di mana konten bergerak menjadi primadona, ratusan juta orang streaming video dan musik secara bersamaan. Peningkatan konsumsi data yang sangat masih disebut dapat mengganggu pita spektrum yang semakin padat.

Hal ini diamini oleh Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia Teguh Prasetya saat menyoroti urgensi implementasi 5G. Menurutnya, permintaan pengguna terhadap aplikasi yang membutuhkan bandwidth tinggi, latensi rendah dan kecepatan tinggi akan meningkat dalam tiga tahun ke depan. Ini tak hanya di lingkungan perumahan saja, tetapi juga kawasan industri dan kota besar.

Hal lain yang disoroti adalah kesiapan dari ekosistem terkait, mulai dari penyedia perangkat, jaringan, aplikasi, maupun konten. Kesiapan ini berkaitan dari sisi investasi, baik dari belanja modal, biaya operasional dan SDM.

Maka itu, lanjut Teguh, pemerintah perlu mempertimbangkan penumbuhan ekosistem pendukung dalam negeri, mulai dari penyedia teknologi, sistem integrator, komunitas dan produsen dalam negeri yang dapat berperan dalam pengembangan 5G di Tanah Air.

“Menilik dari tiga hal di atas, saat ini tentunya konsentrasi dan prioritas utama kita adalah penyebarluasan broadband hingga semua lapisan masyarakat di Indonesia dengan mengoptimalkan teknologi 4G yang sudah ada di samping juga fixed broadband lainnya,” ungkapnya.

Optimalisasi use case

Sementara itu, Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li menyoroti pentingnya use case yang tepat pada implementasi 5G. Ia menekankan penciptaan use case yang tidak mudah digantikan 4G atau teknologi pendahulunya.

Sebagai contoh, aktivitas streaming. Teknologi 3G dikembangkan untuk bisa menjalankan streaming, sedangkan teknologi 2G hampir tidak untuk melakukan hal ini.

Namun, dalam konteks pengembangan IoT, ia menilai masih banyak developer yang menganut konsep pengembangan produk yang teknologinya dapat tersubtitusi.

“Mereka masih menerapkan konsep ‘best with 5G but work over 4G or 3G‘. Karena apabila mereka cuma memikirkan menciptakan teknologi yang dapat digunakan 5G, maka penetrasi pasar akan sangat lambat,” ucap Kenneth kepada DailySocial.

Konsep di atas yang menurutnya dinilai dapat memperlambat pertumbuhan 5G, terutama yang use case-nya berkaitan dengan IoT. Maka itu, ia menekankan untuk mengembangkan use case sesuai dengan kegunaan teknologi pada zamannya.

“Dengan semakin banyak use case primary seperti tadi, ke depannya [pengembangan use case] saya rasa akan baik,” tambahnya.

BRI Ventures Sets a New Managed Funds to Non-Fintech Startup in Jakarta and Singapore

BRI Ventures, a corporate venture capital under BRI, is preparing new managed funds as an investment vehicle for non-fintech startups in 2020.

BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo ensured the license to invest in non-fintech (Special Purpose Vehicle / SPV) is on progress by the Financial Services Authority (OJK).

“It is under BRI Ventures authority, yet named a venture fund because it is to be used to any [investment] including non-fintech. [For funding] We have our Limited Partner overseas,” Utoyo said to DailySocial.

In a recent interview, BRI’s VP of Investor Relation and Strategy, Markus Liman has mentioned the managed funds is to be finalized by February.

There are seven non-fintech ecosystems to be targeted for investment, including agro-maritime, health, education, tourism and travel, transportation, as well as retail and creative industries.

“We are opportunistic in number, therefore, we are not targeting quantity. Instead, we already have 6-8 deals in a pipeline for a year seeing the existing bandwidth and opportunities, “he said.

Based on the latest information Markus told DailySocial, the team is currently preparing an SPV license not only in Indonesia but also in Singapore.

“There will be an entity in Singapore to acquire a license to the Monetary Authority of Singapore. However, the fund remains as an investment vehicle, “Markus said.

Meanwhile, as noted in BRI’s financial statements in 2019, BRI Ventures is said to aim at the retail and creative industries as its main focus of investment in 2020.

Markus said the retail and creative industries either in Indonesia or overseas have a more mature market. He thought other business verticals require longer effort to run.

“This sector is more mature, both from [business] actors and their supporting ecosystems,” he added.

BRI Ventures, which was founded in 2019, has received fund injection up to Rp1.5 trillion from its parent company. The financial report noted these funds have been distributed in three phases, Rp 200 billion (March), Rp 800 billion (July), and Rp 500 billion (December).

In 2019, BRI Ventures has just invested a total Rp278.11 billion through 17 percent investment in the LinkAja e-money platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures Siapkan Dana Kelolaan untuk Startup Non-Fintech di Jakarta dan Singapura

BRI Ventures, corporate venture capital milik BRI, tengah menyiapkan dana kelolaan baru sebagai kendaraan investasi untuk startup non-fintech di 2020.

Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI Indra Utoyo memastikan izin untuk berinvestasi di non-fintech (Special Purpose Vehicle/SPV) tengah diurus di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Ini masih dalam kendali BRI Ventures, tapi disebut venture fund karena bisa untuk [investasi] apa saja termasuk non-fintech. [Untuk funding] ada Limited Partner kami dari luar,” ujar Indra kepada DailySocial.

Dalam wawancara beberapa waktu lalu, VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman sempat menyebut bahwa persiapan dana kelolaan ini ditargetkan rampung pada Februari ini.

Ada tujuh ekosistem non-fintech yang menjadi target investasi, antara lain agro-maritim, kesehatan, pendidikan, pariwisata dan perjalanan, transportasi, serta retail dan industri kreatif.

“Kami oportunis secara jumlah, jadi kami tidak mengincar harus berapa deal. Tapi di pipeline, kami sudah ada 6-8 deal dalam setahun jika melihat bandwith dan opportunity yang ada,” tuturnya.

Berdasarkan informasi terbaru kepada DailySocial, Markus juga mengungkap bahwa pihaknya saat ini sedang menyiapkan izin SPV tak hanya Indonesia, tetapi juga di Singapura.

Entity akan dibentuk di Singapura untuk acquire license ke Monetary Authority of Singapore. Namun, kendaraan investasi tetap fund,” ungkap Markus.

Sementara, sebagaimana tercatat dalam laporan keuangan BRI di 2019, BRI Ventures disebutkan akan membidik industri retail dan kreatif sebagai fokus utama investasi di 2020.

Menurut Markus, industri retail dan kreatif di Indonesia maupun di luar memiliki pasar yang lebih siap. Ia menilai vertikal bisnis lainnya membutuhkan effort yang lebih panjang untuk bisa jalan.

“Sektor ini lebih siap, baik dari para pelaku [bisnis] maupun ekosistem pendukungnya,” tambahnya.

BRI Ventures yang baru berdiri di 2019, telah mendapatkan suntikan dana sebesar Rp1,5 triliun dari induk usahanya. Laporan keuangan mencatat dana ini telah disalurkan dalam tiga tahap, yakni Rp200 miliar (Maret), Rp800 miliar (Juli), dan Rp500 miliar (Desember).

Total investasi yang disalurkan BRI Ventures di 2019 baru sebesar Rp278,11 miliar dalam bentuk penyertaan saham 17 persen ke platform e-money LinkAja.

5 Strategi Memulai Pivot Startup Ala Akseleran, Moselo, dan Kata.ai

Membangun startup bukan sekadar perkara menciptakan traction dan mendulang pengguna sebanyak-banyaknya. Startup sejatinya kental dengan kultur bertahan lewat konsep “fail fast, learn fast”.

Lalu, apa jadinya kalau bisnis startup yang Anda kembangkan tidak kunjung mendapatkan traction yang diharapkan? Salah satu jawabannya adalah pivot.

Mengubah model bisnis, bertransisi ke layanan berbeda, atau disebut pivot bukan lagi cara baru dalam industri startup. Beberapa startup di Indonesia sudah melakukan ini, mulai dari pivot 100 persen dengan mengganti brand perusahaan dan platform sampai mengubah jenis layanannya.

Saat Anda memutuskan untuk pivot, banyak pertanyaan yang akan muncul. Dimulai dari apa saja yang perlu dipersiapkan, hal-hal yang perlu dihindari, hingga bagaimana mengawalinya.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, DailySocial merangkum berbagai tips dan strategi untuk pivot berdasarkan hasil wawancara kami dengan Kata.ai (pivot 2016), Akseleran (pivot 2017), dan Moselo (pivot 2018).

Sebagai catatan, tips ini tidak disusun berdasarkan urutan langkah yang harus dilakukan pertama kali.

Berkomunikasi dengan stakeholder

Semua sepakat bahwa startup wajib berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan apabila ingin melakukan pivot. Tentu yang utama adalah para investor dan tim di perusahaan.

Menurut Co-founder dan CEO Kata.ai Irzan Raditya, komunikasi menjadi penting untuk memberikan pemahaman dan kesiapan terhadap investor dan tim. Bahkan sebaiknya ada waktu jeda antara membuat rencana dan memulai pivot kepada karyawan.

“Do the right communication, terutama investor to make sure you get the support from the shareholder to support and give clear understanding why you pivot,” papar Irzan.

Sementara bagi CEO Moselo Richard Fang, sebaiknya startup menghindari komunikasi satu arah tentang alasan dan tujuan pivot. Artinya, setiap karyawan berhak untuk menyampaikan perspektif dan concern mereka terhadap pivot ini.

Rencana bisnis yang jelas dan berkelanjutan

Melakukan transisi bisnis merupakan langkah besar yang sangat membutuhkan komitmen penuh, baik dari organisasi maupun pemangku kepentingan lainnya.

Kembali lagi, bagi Irzan, sebelum bertemu investor, startup idealnya merencanakan bisnis secara jelas dan berkelanjutan untuk memastikan model bisnis baru ini dapat bertahan di masa depan.

“Kami riset dulu sebelum bertemu investor. [Setelah itu], kami justru dibantu oleh salah satu investor kami untuk menggarap arah strateginya. Perlu ditekankan bahwa ketika bertemu investor, rencana yang kami miliki harus clear dan punya opsi mau pivot ke mana,” ungkap Irzan.

Sebagai gambaran, Kata.ai yang sebelumnya bernama Yesboss di 2015, menawarkan layanan asisten virtual pribadi dengan konsep conversational commerce. Dalam perjalanannya, model bisnis ini dinilai kurang scalable dan memberikan impact luas.

Maka itu, perusahaan kemudian memanuver bisnisnya di tahun berikutnya dengan menjadi enabler Artificial Intelligence (AI) yang fokus pada teknologi Natural Language Processing (NLP).

Product-market fit menjadi fundamental

Alasan yang paling sering kami temui kala mewawancarai startup yang pivot: produk dan layanan tidak berkembang, atau pertumbuhan traction-nya lambat.

Hal di atas menjadi pelajaran berharga bagi Akseleran bahwa product-market-fit merupakan poin yang sangat fundamental terhadap kelangsungan bisnis startup.

Akseleran memulai bisnisnya sebagai solusi penyalur pinjaman ke UKM dalam bentuk penyertaan ekuitas. Setelah enam bulan dirilis, Akseleran memutuskan pivot menjadi P2P lending karena lambatnya pertumbuhan penyaluran pinjaman. Setelah pivot, Akseleran tetap bertahan pada target pasar yang sama, yaitu UKM.

Co-founder dan CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengungkap bahwa ternyata pasar Indonesia reseptif terhadap pendanaan berbasis ekuitas. Dengan lambatnya penyaluran pinjaman di awal, ini membuat produk Akseleran menjadi kurang scalable dan tidak market-fit.

Ivan juga menambahkan, apabila produk yang dikembangkan belum tervalidasi di pasar saat menjalankan proses pivot, sebaiknya startup menahan diri untuk tidak menambah SDM baru.

“Sejak awal, kita harus kasih informasi penuh tentang roadmap produk dan model bisnisnya. Jadi mereka paham akan perubahan yang dilakukan. Nah, untuk memudahkan motivasi dan supaya tetap satu arah, baiknya [timnya] start small saja,” tuturnya.

Fokus pada target pasar, bukan fitur

Poin lain yang patut menjadi catatan bagi siapapun yang sedang membangun startup adalah betapa pentingnya fokus terhadap apa yang dibutuhkan pasar, bukan apa yang diinginkan perusahaan.

Tak peduli seberapa keren atau canggihnya sebuah produk atau layanan, hal tersebut akan percuma jika konsumen enggan menggunakannya.

Pengalaman ini dialami oleh Moselo yang awalnya merupakan startup penyedia chat commerce untuk produk kreatif. Richard Fang menilai hal ini umumnya acapkali terjadi pada startup-startup yang baru merintis.

Ia mengaku bahwa awalnya pihaknya terlalu fokus pada pengembangan fitur sehingga melupakan target yang ingin dituju. Ketika ingin pivot menjadi marketplace yang menawarkan produk kreatif, perusahaan akhirnya mulai fokus untuk mengenali target pasar lebih dalam.

Di samping itu, ujarnya, pivot yang dilakukan sejak Agustus-Desember 2018 ini justru akan membuat perusahaan menjadi lebih relevan terhadap konsumen dan bisnis dapat profitable.

“Maka yang kami lakukan [saat pivot] adalah mempertajam target audience Moselo. Dari data yang kami himpun, kami mencari solusi yang sesuai buat mereka. Kenali juga pain-point dari target karena ini dapat menjadi sumber pendapatan bagi bisnis,” ungkap Richard.

Mengukur batasan keberhasilan pivot

Jangan tanya berapa banyak startup yang gagal melakukan pivot. Banyak.

Nah, sebagai pelaku startup, penting sekali mengetahui sampai mana batasan kita untuk memastikan bahwa pivot yang dijalankan berhasil atau sebaliknya.

Dari wawancara kami dengan ketiga startup di atas, masing-masing mengandalkan parameter untuk mengukur keberhasilan pivot ini. Umumnya yang menjadi parameter adalah jumlah pengguna atau Gross Merchandise Value/Volume (GMV).

Untuk Kata.ai, Irzan mengungkap bahwa pasca pivot di 2016 lalu, perusahaan telah mengalami pertumbuhan bisnis tiga hingga lima kali lipat, bahkan sudah mengantongi untung di 2019. Selain itu, Kata.ai juga telah memiliki pelanggan korporasi dari perusahaan berskala besar.

”Bicara startup, bicara surviving. Kami punya data dan lihat parameter apa yang bisa ditingkatkan. Sebagai startup conversational AI, kami lihat engagement user-nya. Dulu cuma puluhan ribu pengguna, sekarang jutaan. Pendapatan juga naik,” ungkapnya.

Sementara Moselo sejak awal melakukan pivot untuk mendapatkan traction yang signifikan. Maka itu, jumlah transaksi, jumlah pelanggan, dan GMV akan menjadi paratemer utama.

“Sejak pivot, kami telah mengantongi pertumbuhan GMV sebesar 320 persen dengan jumlah pengguna mencapai 50 ribu. Kami terus track parameternya agar tahu apakah inisiatif ini berhasil atau gagal,” ujar Richard.

Senada dengan Moselo, Akseleran memvalidasi aksi pivot ini dengan traction. Berdasarkan data perusahaan, Akseleran hanya mampu menyalurkan Rp2 miliar pendanaan saat masih menjadi platform pinjaman berbasis ekuitas.

“Agar punya product-market fit, kami memvalidasinya dengan traction. Setelah berubah menjadi P2P lending, kami menyalurkan lebih dari Rp1 miliar di bulan pertama. Kemudian meningkat menjadi Rp30 miliar dalam enam bulan. Ini memvalidasi apakah pivot berjalan baik atau tidak.” Kata Ivan.