Podcast On-Demand Inspigo Bisa Dinikmati Secara Offline

Pengguna Inspigo kini dapat menikmati konten-konten audio atau podcast secara offline. Artinya, konten podcast Inspigo dapat didengarkan tanpa perlu terhubung koneksi internet.

“Kami umumkan bahwa kini Inspigo punya fitur download sehingga konten podcast kami dapat dinikmati secara offline,” ujar CEO Inspigo Tyo Guritno di Press Conference Inspigo di Jakarta, Selasa (4/9).

Tyo menuturkan fitur download ini dikembangkan untuk menyasar segmen pengguna yang tinggal di kawasan minim atau yang tak terjangkau internet sama sekali.

“Kami selalu percaya bahwa inspirasi itu tak hanya untuk segelintir orang, dan (kami ingin) konten ini bisa dikonsumsi di mana saja dan kapan saja,” tambah Tyo.

Ada segmen pengguna Inspigo yang berasal dari Papua di mana akses internet sangat terbatas. Menurut pengakuan mereka kepada Tyo, pengguna tersebut harus pergi ke kota mencari akses internet agar bisa terhubung dengan layanan podcast Inspigo.

”Sesuai visi Inspigo, kami ingin empower masyarakat, terutama anak-anak muda, untuk dapat topik inspiratif dengan mudah. Kalau tidak cepat mengikuti perubahan di era sekarang, kita akan terlambat,” tuturnya.

Inspigo merupakan platform penyedia podcast on-demand yang menyajikan ragam topik, mulai dari kesehatan, keuangan, musik, hingga gaya hidup. Inspigo diinisiasi oleh Tyo Guritno, Yoris Sebastian, dan Eva Ditasari. Saat ini versi public beta Inspigo telah meluncur di Android dan iOS.

Podcast di dalam Inspigo disajikan dalam bentuk talkshow berdurasi sekitar 6-7 menit yang diisi narasumber dari berbagai latar belakang dan dipandu oleh host. Inspigo juga menghadirkan konten tips berdurasi 2-3 menit dengan gaya monolog.

Meski belum bisa menunjukkan data pengguna, Tyo menyebutkan bahwa Inspigo telah didengar luas mulai dari Sabang hingga Merauke dengan segmen usia sebagian besar di rentang usia 18-34 tahun.

Fokus pada kurasi konten

Saat ini, Inspigo masih dikembangkan dengan kocek sendiri alias bootstrapping. Meski berminat mencari pendanaan dari venture capital (VC), Tyo mengungkap saat ini ia lebih fokus mengembangkan konten lebih beragam agar Inspigo dapat dipakai lebih luas lagi.

“Sekarang ini kami mau kembangkan konten lebih banyak supaya lebih banyak yang pakai. Kalau nanti sudah mau scale up, dan jelas model bisnisnya, barulah kami ke arah sana [cari pendanaan],” ujar Tyo.

Dapat dikatakan Inspigo belum mematok model bisnis yang pasti mengingat layanan podcast tidak memiliki slot iklan, berbeda dengan layanan streaming musik. “Saat ini, kami kerja sama dengan untuk buat branded content, termasuk main ke offline dan online event,” jelasnya lagi.

Co-founder Inspigo Yoris Sebastian menambahkan, penguatan variasi konten menjadi fokus mereka saat ini mengingat layanan Inspigo menargetkan segmen pengguna milenial yang bekerja.

“Kami sebetulnya dapat permintaan banyak untuk jadi narasumber, tetapi kami lebih memilih untuk kurasi dari pengguna bukan speaker-nya. Kami cari topik sesuai relevansi, yang cocok dengan working millenial.”

Application Information Will Show Up Here

Tiga Hal yang Perlu Diketahui Seputar Perekrutan Talenta

Perusahaan rintisan atau startup biasanya identik dengan lingkungan kerja yang fleksibel, gaya berpakaian yang santai, dan punya fasilitas yang tak dimiliki perusahaan. Misalnya, fasilitas gym dan ruang bermain game. Kedengarannya sangat seru.

Berbagai keuntungan di atas pula yang biasanya diasumsikan sebagai salah satu alasan mengapa sebagian orang merasa nyaman bekerja di startup dan hijrah dari pekerjaan lamanya sebagai karyawan kantoran.

Selain itu itu, ada pula stigma budaya startup yang dianggap menyenangkan karena mewakili “kebebasan” karyawan dalam bekerja. Tak heran, kebanyakan startup berisikan talent-talent anak muda.

Untuk mematahkan stigma di atas, Head of Talent Journey Bukalapak Engelbertus Panggalo berbagi cerita seputar perekrutan talenta atau sumber daya manusia (SDM) di startup pada sesi #SelasaStartup kali ini.

Memberikan ruang untuk berkembang

Menurut Engel, sapaan akrabnya, setiap talent memiliki goal berbeda dalam bekerja. Termasuk di antaranya adalah mengembangkan kemampuan di dalam perusahaan.

Apabila talent ingin berpindah ke startup lain, ia menilai hal itu tidak semata-mata dapat diselesaikan dengan menaikkan gaji atau memberikan fasilitas mewah lain.

It’s beyond money dan fasilitas-fasilitas yang ada. Tetapi, apa yang mereka cari. Kalau talent merasa tidak berkembang di perusahaan, mereka bisa saja keluar,” ungkapnya.

Untuk menghindari potensi di atas terjadi, di Bukalapak sendiri, perusahaan memiliki tim khusus yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan setiap talent.

Pihaknya juga membudayakan “coaching each other” di mana setiap talent dapat saling berbagi pengetahuan meskipun berada di divisi yang berbeda.

“Fasilitas dan kultur kerja bukan satu-satunya hal untuk mempertahankan talent, tetapi bagaimana mereka dapat saling berkembang dan berbagi pengetahuan. Kita membangun organisasi yang knowledge sharing,”

Startup bukan sekadar fasilitas dan budaya kerja

Engel melanjutkan, bekerja di startup ternyata juga memiliki motivasi lain, yaitu menumbuhkan nasionalisme. Hal ini berlaku bagi mereka yang bekerja di startup dalam negeri, seperti Bukalapak.

Hal ini pula yang ingin ditekankan perusahaannya saat mencari talent baru. Bahkan tak sedikit, talent-talent yang bekerja di startup memiliki latar belakang sebagai pekerja korporat atau pegawai negeri sipil (PNS).

“Ketika kita mau engage dengan talent, justru yang kita tekankan adalah bukan mencari tempat kerja yang keren, tetapi apa yang bisa kita lakukan untuk negara, a place they can contribute,” paparnya.

Memahami generasi milenial

Generasi milenial bekerja industri startup bukanlah hal baru. Kebanyakan industri ini memang diisi oleh anak-anak muda yang dianggap sesuai deng. Sayang, anak-anak muda justru diidentikkan sebagai pribadi yang cepat bosan dan mudah berpindah kerja.

Hal tersebut justru membentuk stigma bahwa generasi milenial merupakan generasi yang suka bereksperimen, namun mudah bosan dalam lingkungan pekerjaan.

Secara personal, Enggel melihat hal ini dari perspektif berbeda. Mengutip riset Harvard Business Review, generasi milenial justru sering berpindah-pindah sebagai efek terpaparnya teknologi begitu cepat, seperti internet.

Menurutnya, generasi milenial juga merupakan generasi yang paling cepat mengadopsi teknologi. Maka tak heran, sumber informasi kini mudah didapat berkat kehadiran media sosial, seperti LinkedIn, Facebook, dan Twitter.

“Meskipun generasi ini melek teknologi, sebetulnya yang mereka inginkan sama saja (di perusahaan), yaitu gaji, kompensasi, work-life balance, dan ada purpose-nya,” ungkap Engel.

Bisnis E-commerce Tumbuh, Belanja Pangan Online Mulai Diminati di Jakarta

Tren belanja pangan secara online atau e-grocery mulai diminati oleh konsumen di Jakarta. Hal ini berdasarkan riset terbaru dari Tetra Pax Index 2018 yang memprediksi konsumen e-grocery di Jakarta naik dari 1,2 persen di 2016 menjadi 5,4 persen di 2030.

Seiring peningkatan di atas, tren konsumen yang berbelanja di pasar tradisional di Jakarta diprediksi menyusut dari 56,3 persen di 2016 menjadi 46,6 persen di 2030.

“Pertumbuhan e-grocery akan naik cukup signifikan. Meski jumlah belanja ritel modern dan tradisional di Indonesia tetap tinggi, e-grocery menawarkan peluang baru. Saat ini banyak pasar modern dan tradisional menyediakan fasilitas belanja online,” ujar Communication Manager Tetra Pak Indonesia, Gabrielle Angriani saat dihubungi DailySocial.

Diungkapkan Gabrielle, peningkatan tren tersebut turut dipicu sejumlah hal, di antaranya kemajuan teknologi (seperti infrastruktur internet) dan keinginan mendapatkan barang lebih efisien dan ramah lingkungan.

Selain itu, konsumen di era digital kini juga mulai memerhatikan kecepatan pengiriman dan kekuatan kemasan barang. Sebagai contoh, minuman yang dikemas dalam kemasan karton aseptik lebih efisien sehingga memudahkan pengiriman barang. Hasil riset menunjukkan kemasan efisien, baik berat maupun ruang, dapat mengurangi volume transportasi sebesar 30-50 persen.

“Tak hanya itu, para pemain e-grocery juga harus memperhatikan apakah aplikasi mereka mudah digunakan atau tidak. Kebanyakan pembeli ingin agar proses pembelian terjadi secara singkat, tanpa membutuhkan banyak proses di dalam aplikasi,” tuturnya.

Saat ini Tetra Pak Index belum memiliki data mengenai persentase konsumen e-grocery di Indonesia. Sebagai pembanding, menurut Gabrielle, negara di kawasan Asia yang memiliki adopsi pembelanjaan e-grocery sangat tinggi, yakni Tiongkok dan Korea Selatan.

Riset Google and Temasek pada 2016, sepert dikutip Tetra Pak, menyebutkan pertumbuhan bisnis e-commerce di Indonesia meroket signifikan. Di 2015, tercatat 18 juta konsumen Indonesia berbelanja online. Jumlah tersebut diestimasi meroket menjadi 119 juta konsumen pada 2020 seiring bertambahnya populasi anak muda dan penetrasi perangkat mobile.

Bersaing di era omnichannel

Lebih lanjut, riset Tetra Pax Index 2018 yang dilakukan di sejumlah negara termasuk Indonesia, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana tren e-grocery dapat dimaksimalkan dan lebih bersaing di era omnichannel.

“Semua jenis channel ini akan menjadi satu dalam omnichannel di mana seharusnya chanel ini menawarkan pengalaman berbelanja yang sama bagi pembeli, baik online maupun offline,” ungkap Gabrielle.

Menurutnya, e-grocery kini dipandang sebagai katalis untuk transformasi e-commerce yang lebih luas. Untuk bersaing di era omnichannel, pelaku usaha perlu menawarkan pengalaman belanja online yang dipersonalisasi untuk konsumennya.

Tetra Pak sendiri sebagai perusahaan terkemuka di bidang pemprosesan dan pengemasan makanan dan minuman, menawarkan inovasi terbaru di era omnichannel, yakni teknologi kemasan berbasis QR Code unik dan Radio-Frequency Identification (RFID) untuk meningkatkan pengalaman belanja lebih personal.

“Personal dan unik menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi pasar e-grocery. Dengan personalisasi produk bagi pembeli sebagai pembeda dari produk lain, ini dapat meningkatkan loyalitas dan penjualan,” tutur Gabrielle.

DycodeX Cari Pendanaan Baru Seri A dan “Scale Up” SMARTernak

DycodeX, startup pengembang hardware berbasis Internet of Things (IoT), tengah mencari pendanaan baru untuk mendukung rencana pengembangan bisnisnya di tahun depan.

Hal ini diungkapkan CEO DycodeX Andri Yadi saat DailySocial menyambangi kantornya di Bandung beberapa waktu lalu. Ia mengungkapkan bahwa pendanaan baru ini nantinya akan mendukung segala fokus bisnis DycodeX ke depan.

“Akhir tahun ini kami mau raise (pendanaan) lagi dari venture capital. Investor potensial sudah ada, dari lokal. Dengan (rencana cari pendanaan) ini, kami mencari fokus produk dan thankfully sudah ada,” ujar Andri.

Fokus produk yang dimaksud adalah pengembangan produk IoT untuk lima kategori, antara lain Asset Tracking, Agriculture Livestock Farming, Safety and Security, Custom Hardware Design, dan Industrial.

Sebelumnya DycodeX telah mengantongi pendanaan dengan nilai yang tidak diketahui dari angel investor bernama Edo Okandar. Di awal tahun ini, startup bermarkas di Bandung ini kembali memperoleh pendanaan dari angel investor berbeda.

“Pendanaan awal tahun ini tidak bisa saya sebutkan nilainya, tetapi valuasinya sampai satu juta dollar (per Januari 2018). Bisa dikatakan pendanaan ini pra-seri A,” ujarnya.

Incar nilai pasar 233 miliar Rupiah

Andri mengungkap sejumlah pengembangan produk baru di masa depan. Namun, rencana tersebut belum dapat dirilis kepada publik. Untuk saat ini, SMARTernak menjadi salah satu fokus pengembangannya di masa depan.

Solusi peternakan SMARTernak sendiri telah mendapat dukungan penuh dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Pertanian.

SMARTernak menawarkan solusi peternakan berbasis IoT secara end-to-end. Tak sekadar hardware, SMARTernak menyediakan layanan untuk memantau hewan ternak, mulai dari melacak, mendeteksi aktivitas hewan ternak, estimasi kesehatan.

“Model bisnisnya sudah jelas, pasarnya ada, dan mau scale up juga. Bahkan kami sudah siapkan target yang ingin kami incar. Saat ini ada sekitar 16 juta sapi di Indonesia, kami mau incar 1 persen atau 160 ribu sapi dalam dua tahun. Nilai dari 160 ribu itu sebesar 16 juta dollar (Rp233 miliar),” ungkap Andri.

Menurut Andri, nilai bisnis yang dipatok cukup besar karena produk yang ditawarkan DycodeX tak hanya berupa perangkatnya saja, tetapi layanan secara end-to-end.

Ia mengaku optimistis dapat mencapai target karena hingga akhir tahun ini SMARTernak bakal mendapat 10.000 sapi. Diungkapkan Andri, 10.000 sapi ini diperoleh dari peternakan milik anak usaha Astra Group.

“Hingga akhir tahun kita sudah dapat 10.000, itu saja tanpa marketing dan funding baru. Artinya dengan effort lebih banyak, dengan funding dan marketing bagus, sebetulnya target 160.000 sapi itu sudah di depan mata,” katanya.

Andri menambahkan, peternakan sapi yang dikelola korporasi itu hanya 1,6 juta atau 10 persen dari total 16 juta sapi di Indonesia. Bicara perusahaan berskala menengah hingga besar, ada belasan ribu sapi yang dikelola. Artinya, masih ada peluang besar di level peternakan daerah.

“Makanya, kami nanti mau tambah resource lagi untuk fokus pada pengembangan ini,” katanya.

Empat Penemuan Menarik saat Membangun Platform Crowdfunding

Fenomena digital kini tak dapat dihindari. Meski demikian, tak berarti masyarakat harus kehilangan nilai-nilai kearifan lokalnya. Di Indonesia, budaya gotong-royong telah mendarah daging dalam kehidupan bermasyarakat. 

Konsep gotong-royong inilah yang ingin terjemahkan secara digital lewat platform Kitabisa.com, sebuah platform crowdfunding (penggalangan dana) yang menghubungkan seluruh masyarakat di Indonesia.

Sesi #SelasaStartup kali ini berbagi seputar pengalaman dalam membangun platform yang berdiri pada 2014 ini. Kitabisa.com telah mengampanyekan puluhan ribu campaign penggalangan dana, di mana sekitar 12.000 campaign sukses. 

Satu hal yang pasti, mendirikan platform crowdfunding tak berarti langsung mengalami kesuksesan instan. Dalam perjalanannya hingga pada pencapaiannya saat ini, banyak penemuan menarik yang juga dapat menginspirasi khalayak dalam mengembangkan platform serupa.

Berikut ini pengalaman yang diperoleh Co-Founder dan Chief Product Officer Kitabisa.com Vikra Ijas di sesi #SelasaStartup.

Pendekatan melalui influencer dan komunitas

Faktanya menyukseskan sebuah kampanye donasi digital ternyata memerlukan dorongan lebih untuk menggerakan masyarakat. Di tahun-tahun pertamanya, Vikra mengaku memanfaatkan strategi publik figur untuk mendorong pertumbuhan Kitabisa.com.

Fokus utamanya saat itu adalah pendekatan melalui sosok atau figur yang populer untuk menyebarkan pesan atau informasi dari campaign tertentu.

“Pada suatu kampanye, ada selebriti yang ikut meramaikan. Ini menjadi pendekatan sukses, terutama apabila selebriti tersebut punya passion di situ. Jadi sebetulnya (campaign ini) jangan sekadar bawa jargon saja,” ungkapnya.

Selain artis, komunitas juga memiliki pengaruh sangat kuat dalam menyukseskan sebuah campaign penggalangan dana. Partisipasi komunitas akan menggerakan lebih banyak orang untuk ikut berdonasi.

Vikra mencontohkan sebuah kasus di mana saat bencana asap di Riau terjadi, campaign penggalangan dana justru datang dari sebuah komunitas suporter sepakbola.

Peran media sosial pertemukan audiensi yang tepat

Media sosial memiliki peran begitu besar dalam memviralkan sebuah cerita di dunia maya. Hal ini turut berlaku dalam penggalangan dana yang dilakukan secara online. Menurut Vikra, campaign yang diiklankan melalui media sosial dapat sukses apabila bertemu dengan audiensi yang tepat.

“Ketika story needs the right audience, media sosial menjadi channel yang tepat. Return on Investement sangat bagus dan jelas. Budget juga lebih efisien karena tidak seberapa (yang dihabiskan). Dan di sini tidak ada kompetisi,” ungkap Vikra.

Kendati demikian, dalam kasus ini, tidak semua campaign perlu diiklankan melalui channel media sosial. Hal ini bergantung pada kekuatan kampanye itu sendiri dan kategori yang diiklankan, misalnya pendidikan atau pertolongan medis.

Ia mencontohkan, di Kitabisa.com, pihaknya baru mengeluarkan budget untuk campaign di media sosial pada tahun 2016. Budget yang dikeluarkan berkisar Rp 1-2 juta dan hanya untuk beberapa campaign yang perlu diangkat ke media.

Peningkatan layanan dan eksperimen melalui aplikasi

Disadari atau tidak, tampaknya tak semua platform penggalangan dana menghadirkan layanannya dalam bentuk aplikasi. Pada dasarnya, layanan crowdfunding sebetulnya tidak begitu membutuhkan aplikasi yang mengikat pengguna.

Hal ini diakui Vikra di tahun ketiganya mengembangkan Kitabisa.com. Ia tak yakin ada pengguna yang memakai aplikasi hanya sekadar untuk berdonasi. Namun, setelah mempelajari perilaku penggunanya, Vikra mendapat penemuan menarik.

“Dari proper research yang kami lakukan, ternyata ada donatur yang sering berdonasi. Setelah perdebatan tiga tahun, kami memutuskan untuk bikin aplikasi,” katanya.

Dengan aplikasi, banyak hal yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan sebuah layanan. Vikra mengungkap pihaknya dapat melakukan eksperimen layanan untuk pengguna aplikasi. Sementara, pengguna yang tidak memakai aplikasi dapat difokuskan pada content marketing.

Tetapkan fokus pada kategori kampanye tertentu

Platform crowdfunding semacam Kitabisa.com mengampanyekan berbagai macam kategori, mulai dari pendidikan, medical emergency, hingga anak-anak. Semua kategori memang terbilang penting, namun tetap ada prioritas yang membutuhkan dorongan lebih.

Medical emergency selalu menjadi kategori terbesar. Tanpa perlu pasang iklan dan billboard, kategori ini akan growing dengan sendirinya. Bukan karena kategori lain tidak penting, tetapi biasanya untuk kategori semacam ini lebih cepat karena sangat dibutuhkan cepat,” ungkap Vikra.

Menurut Vikra, mengembangkan platform ini tak sekadar hanya membuat produk yang tepat sasaran, tetapi juga fokus pada kategori campaign tertentu dinilai cukup penting. Hal ini ternya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan platform Kitabisa.com

“Ide utamanya adalah bantuan kemanusiaan dan kami ingin memberikan contoh yang baik tentang bagaimana bergotong-royong secara digital.”

Aplikasi Dompet Digital DANA Siap Meluncur

PT Espay Debit Indonesia Koe, lewat layanan dompet digital DANA, siap meluncurkan aplikasi dalam waktu dekat. Kehadiran aplikasi ini diharapkan dapat mempermudah akses layanan kepada masyarakat.

Kepada DailySocial, Chief Communications Officer DANA Chrisma Albandjar mengungkapkan, pihaknya berupaya mendorong pengalaman bertransaksi nontunai dan non-kartu di masa depan sehingga inklusi keuangan di Indonesia dapat meningkat secara signifikan.

Dengan menghadirkan aplikasi sendiri, masyarakat dapat lebih mudah mendaftar tanpa harus menjadi pelanggan merchant terlebih dahulu. Perlu diketahui, saat ini DANA baru dapat dinikmati di merchant yang menjadi mitranya.

“Saat ini, opsi untuk mendaftar sebagai pengguna DANA masih lewat aplikasi layanan mitra. Dalam waktu dekat kami akan merilis aplikasi DANA. Tunggu saja update dari kami,” ungkap Chrisma.

Ia berujar, nantinya meski sudah memiliki aplikasi sendiri, layanan DANA akan tetap hadir dalam bentuk widget di sejumlah mitra merchant online. Merchant online apapun tetap bisa menjadi mitra DANA sebagai solusi pembayaran.

“Pelanggan tetap bisa bertransaksi meskipun mereka tidak menginstal aplikasi DANA di ponselnya, karena pilihan pembayaran itu tetap ada di dalam aplikasi atau website merchant yang bersangkutan.”

Selain itu, perusahaan yang bernaung di bawah EMTEK Group ini terus memperkuat strateginya dengan memperluas jaringan merchant online dan offline. Layanan DANA kini tersedia di merchant online dan offline, antara lain BlackBerry Messenger (BBM), Bukalapak, Ramayana, dan TIX.

Menurutnya, layanan DANA masih terintegrasi di platform merchant agar proses pembayaran menggunakan DANA lebih mudah dan aman. Pengguna juga tak perlu keluar dari platform merchant karena akunnya tersinkronisasi secara otomatis di berbagai merchant DANA.

Secara teknis, data pengguna tetap dimiliki masing-masing layanan meskipun DANA saat ini merupakan in-app service yang terintegrasi di merchant. Artinya, baik mitra merchant dan DANA memiliki database pelanggan sendiri.

Kolaborasi DANA dan Dukcapil

Salah satu komitmen DANA di Tanah Air adalah mendorong pengalaman bertransaksi nontunai dan nonkartu adalah berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).

Kolaborasi ini berbentuk uji coba verifikasi data pengguna dan validasi layanan. DANA akan mendapat konfirmasi validitas data pengguna dari Dukcapil untuk menghindari potensi penyalahgunaan data oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Dengan mengandalkan verifikasi dari Dukcapil, segala prosesnya dapat diselesaikan lebih cepat dalam kurun waktu 24 jam dan efisien karena mengandalkan sistem komputer.

Sebetulnya, proses integrasi dengan Dukcapil sudah selesai. Untuk memastikan kualitas layanan tidak terganggu, pihaknya akan melakukan uji coba kepada 1.000 pengguna dulu. Artinya roll out verifikasi ke Dukcapil akan dilakukan bertahap.

“Secara teknis, kami akan melakukan Know Your Customer (KYC) di mana nanti verifikasinya dilakukan Dukcapil. Setelah itu, Dukcapil tinggal mengonfirmasi datanya benar atau tidak. Kami tidak ada pembagian atau perpindahan data (dari dan ke Dukcapil atau mitra merchant),” tutur Chrisma.

Bagi DANA, lanjut Chrisma, pemanfaatan data kependudukan Dukcapil untuk verifikasi ini berdampak signifikan dalam mempercepat layanan dan menghindari potensi pemalsuan data.

“Kerja sama ini juga merupakan upaya kami dan pemerintah untuk melindungi kerahasiaan data masyarakat. Ini untuk memastikan terpenuhinya verifikasi data pelanggan dan validasi secara aman dan akurat,” tuturnya.

Dijelaskan Head of Products DANA Rangga Wiseno, proses verifikasi layanan DANA dilakukan dengan dua cara, yakni menggunakan video call dan data Dukcapil. Saat ini, verifikasi dengan kedua opsi tersebut masih dalam tahap roll out.

“Namun, nantinya kami bakal fully roll out ke (data) Dukcapil sehingga tidak perlu video call lagi karena itu bisa bottleneck. Pengguna dan tim harus cocokkan jadwal, dan belum tentu mereka mau ditelepon,” ungkapnya.

 

Kolaborasi Startup dan Korporasi Bisa Buka Peluang Baru

Tren bekerja di startup kini memang tengah naik daun di Indonesia. Startup bahkan menjadi salah satu pilihan utama untuk berkarier bagi anak muda masa kini. Sebut saja Go-Jek dan Tokopedia yang kini telah menjadi salah satu tujuan utama.

Ada banyak privilege yang dapat dinikmati saat bekerja di startup dibandingkan di korporasi. Selain fleksibel, startup juga membuka banyak peluang dan kreativitas untuk bisa menciptakan solusi atas berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Kendati demikian, baik startup dan korporasi juga memiliki tantangannya masing-masing. Bagi startup, tantangan untuk masuk ke pasar dirasa sulit karena berbagai keterbatasan. Sedangkan korporasi juga dituntut untuk selalu berinovasi dan mengikuti tren bisnis yang terus berubah.

Lalu, apa yang menjadi benang merah bagi keduanya?

Pada diskusi bertajuk “The Possibility of Collaboration Between Established Company and Startup”, CEO Bizcom Indonesia, Sendra Wong, mengungkapkan bahwa kolaborasi antara startup dan korporasi sangat diperlukan saat ini. Para pelaku bisnis perlu melihat kolaborasi sebagai perspektif baru dalam mendorong perusahaannya.

“Bekerja di startup dan korporasi sama-sama punya tantangan. Kalau berkolaborasi, keduanya bisa saling melengkapi dan memperoleh keuntungan,” ujar Sendra ditemui saat diskusi di Investor Gathering ke-17 yang dihelat Bizcom Indonesia di Jakarta, Kamis (26/7/).

Bentuk kolaborasi ini dapat mengacu pada keuntungan bersama atau mutual benefit. Ia mencontohkan bagaimana akhirnya transportasi konvensional berkolaborasi dengan penyedia layanan ride-sharing setelah sebelumnya sempat berkonflik panjang.

Lewat kolaborasi, startup penyedia ride-sharing dapat memperoleh keuntungan dari sisi reputasi hingga data milik perusahaan transportasi konvensional. Sebaliknya, perusahaan konvensional dapat memanfaatkan teknologi startup untuk mengoptimalkan bisnis mereka.

Lebih lanjut, sebetulnya ada banyak opsi bagi perusahaan korporasi untuk meningkatkan bisnisnya, misalnya merger atau akuisisi perusahaan lain sebagai strategi tepat ketimbang harus membentuk perusahaan baru dari nol.

Namun, Direksi Holding Jababeka Group, Sutedja Sidarta Darmono justru menilai berkolaborasi dengan startup membuka potensi lebih besar ketimbang memilih strategi merger atau akuisisi. Selain lebih efisien karena menghemat biaya, kolaborasi ini dapat menciptakan ekosistem baru.

“Contoh saja, kami sedang membangun township, banyak effort yang kami taruh pada proyek ini dengan high technology. Tapi ini bisa jadi ekosistem bagus untuk startup, karena bisa berkolaborasi dan mereka bisa berkembang,” ungkapnya pada kesempatan sama.

Menurut Division Head E2Pay, Ariyo Nugroho, kolaborasi ini dapat menguntungkan startup dari sisi SDM. Pasalnya, korporasi memiliki sumber daya manusia (SDM) dan modal yang lebih memadai.

“Sebagai startup, kita sebetulnya tidak punya luxury seperti perusahaan. Kita bahkan tidak bisa compete dengan salary. Ini menekankan pentingnya kolaborasi,” ujar Ariyo.

Sementara, Principal Alpha JWC, Erika Dianasari menambahkan, ketimbang menggunakan strategi build or buy, kolaborasi bisa menjadi langkah krusial bagi bisnis meski akan ada banyak distraksi.

“Bagi saya, talent atau human capital itu penting dan jadi aset bagi perusahaan. Startup pasti menemui challenge dan task untuk bisa menguasai pasar. Kolaborasi antar SDM bisa saling menguntungkan dan menghasilkan karya yang bagus.”

Memboyong Kiblat Blockchain dari Eropa ke Asia

Belum semua sepakat bahwa teknologi blockchain mampu merevolusi dunia di masa depan. Sejumlah negara masih apatis terhadap blockchainkarena minimnya pengetahuan dan belum adanya keterbukaan terhadap teknologi baru.

Eropa mengambil langkah penting demi memastikan teknologi blockchain dapat dinikmati di seluruh dunia. Maka dari itu, April lalu 22 negara di Eropa kompak menandatangani deklarasi European Blockchain Partnership sebagai medium pertukaran ilmu pengetahuan dan pengalaman.

Kolaborasi awal mereka diwujudkan dengan meluncurkan Asia Blockchain Hub untuk mengeksplorasi berbagai potensi di kawasan ini. Asia Blockchain Hub diresmikan di Kuala Lumpur, Malaysia, dan berada di bawah naungan European Blockchain Hub yang dibentuk pada 22 Mei 2018.

Dalam konferensi pers yang dihadiri DailySocial di Kuala Lumpur, Malaysia, Sabtu (21/7), Advisory Member European Blockchain Hub dan perwakilan Asia Blockchain Hub, Rex Yeap menyebutkan Malaysia dipilih sebagai hub Asia karena potensinya saat ini dinilai mengungguli negara-negara lain di kawasan Asia, termasuk Asia Tenggara.

“Asia Blockchain Hub menjadi medium untuk mempertemukan startup, investor, dan pemerintah; serta mempromosikan dan mentransfer pengetahuan dari pelaku blockchain di Eropa, dan mendorong penggunaan aset digital hingga ke seluruh dunia,” tutur Yeap.

Pihaknya akan mengeksplorasi negara-negara di Asia dan bertatap muka dengan para multi stakeholder, tak terkecuali di Indonesia. “Indonesia termasuk dalam roadmap kami. Memang belum ada rencana konkret, tapi saat ini kami sedang set up untuk bertemu dengan pemerintah setempat,” ujarnya.

Sesuai misinya di awal, ujar Yeap, pihaknya akan menyambangi negara-negara di kawasan Asia untuk menggelar konferensi, training, atau workshop. Negara yang akan menjadi lawatan pertama Asia Blockchain Hub adalah Bangkok, Thailand, pada 28-29 Juli 2018.

Sementara, President of European Blockchain Hub, Blaz Golub menambahkan, ide utama dari eksplorasi negara ini tak hanya sebatas berbagi informasi dan pengalaman seputar blockchain, tetapi mengidentifikasi use case menarik yang memungkinkan untuk diimplementasikan di masa depan.

“Niat kami menggelar konferensi blockchain di Eropa, makanya kami ingin sekali membawa perwakilan di Asia untuk hadir. Saya melihat 22 negara ini mau bersatu untuk duduk bersama untuk cari tahu apa yang ingin dilakukan selanjutnya,” jelas Golub.

Dalam hal ini, hub yang dimaksud adalah platform yang nantinya akan melibatkan banyak pemangku kepentingan, mulai dari Non-governmental Organization (NGO), pelaku usaha, korporat hingga akademisi.

Asia Blockchain Hub membawa segudang misi untuk memastikan teknologi blockchain dapat diimplementasikan secara merata di seluruh dunia, dan setiap negara dapat saling berkolaborasi di masa depan.

Selain sebagai moda edukasi, Asia Blockhain Hub juga bertujuan untuk membuka wawasan pasar terhadap manfaat teknologi ini. Golub menyayangkan selama ini teknologi ini masih diasosiasikan sebagai produk cryptocurrency saja.

“Blockchain akan membantu banyak kaum milenial untuk mengembangkan produk dan goal-nya, termasuk mencari model bisnis baru. Banyak tantangan industri yang masalahnya dapat diselesaikan dengan teknologi ini, dengan menghasilkan sebuah transparansi,” katanya.

Untuk saat ini, Eropa dapat dikatakan sebagai kiblat industri blockchain mengingat sebagian besar negaranya telah mengadopsi blockchain untuk kebutuhan bisnis hingga pemerintahan. Beberapa negara seperti, Slovenia, Swiss, dan Estonia termasuk negara yang menjadi pionir di industri blockchain.

“European Blockchain Hub bertujuan juga untuk membawa proyek-proyek yang bagus ke dan dari Eropa hingga ke seluruh dunia. Swiss, misalnya, saat ini melakukan berbagai hal dengan meng-enable environment untuk menarik proyek ICO dari luar negeri,” jelas Golub.

Standar internasional blockchain masih sulit terealisasi

Dalam paparannya, Yeap dan Golub mengungkapkan tantangan yang kerap dihadapi di industri yang masih baru ini, baik di Eropa maupun Asia. Hal ini juga menyulitkan dalam membuat standar regulasi blockchain.

Yeap berujar bahwa kurangnya edukasi terhadap teknologi blockchain juga menghambat pertumbuhan perkembangannya. Ia mencontohkan, siapapun kini dapat mengklaim sebagai ahli blockchain tanpa tahu benar atau tidak.

“Ini alasan hub memiliki peran penting. Kami tidak mengklaim sebagai ahlinya, namun kami mengumpulkan orang berpengalaman untuk berbagi pengetahuan dan berdiskusi dengan pemerintahan,” kata Yeap.

Menurutnya, hal ini juga yang menjadi alasan mengapa kawasan Asia dipilih sebagai perhentian berikutnya setelah Eropa. “Karena pasar dan orang-orangnya sangat passionate dengan blockchain. Kita tahu blockchain kini menciptakan banyak lapangan pekerjaan, generasi muda mendominasi.”

Sementara Golub berujar bahwa industri blockchain masih di fase awal sehingga belum semuanya diregulasi. Hal ini juga yang memunculkan banyak scam pada bisnis blockchain.

Namun di sisi lain, sejumlah negara di Eropa justru memanfaatkan hal ini untuk menarik minat dan proyek sebesar-sebesarnya dari investor luar. Misalnya, lewat proyek Initial Coin Offerings (ICO). Akan tetapi, setiap negara akan memiliki pendekatan berbeda-beda.

“Kalau bicara soal standar internasional untuk blockchain sepertinya sulit, karena situasi saat ini sedang ada big crisis. Saya rasa akan susah untuk mau duduk bersama. Justru bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Tiongkok, dan India bisa secure environment untuk (buat) standar internasional.”

Menuju Revolusi Indonesia 4.0 Lewat Pusat Inovasi IoT

Menteri Perindustrian, Airlangga Hartanto membuka sambutannya pada ajang Telkomsel Innovation Center (TINC) Conference & Exhibition di Balai Kartini Rabu (25/7), lewat paparan bertajuk “Making Indonesia 4.0”. Sebuah visi masa depan pemerintah untuk mewujudkan revolusi digital industri 4.0.

Dalam paparan tersebut, ia menyebutkan industri 4.0 dapat menjadi enabler untuk mendorong kemajuan bangsa dan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global. “Bangsa kita adalah negara terbesar di Asia dan demografi kita luas. Teknologi dapat jadi enabler agar negara kita lebih maju,” ungkapnya.

Maka itu, lanjut Airlangga, pemerintah mengajak setiap stakeholder terkait untuk berpartisipasi dalam mendorong pengembangan dan ekosistem Internet of Things (IoT) di Indonesia sebagai pilar industri 4.0.

Salah satunya melalui Telkomsel Innovation Center (TINC) yang menjadi upaya Telkomsel untuk fokus di industri IoT. TINC merupakan serangkaian program yang akan mempertemukan para startup, developer, hingga investor di industri IoT.

Program ini merangkum berbagai kegiatan untuk membentuk ekosistem IoT di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah fasilitas laboratorium IoT, kegiatan mentoring dan bootcamp, hingga akses networking bagi para startup, developer, maupun system integrator dengan pelaku bisnis terkait.

Tak hanya itu, anak usaha Telkom ini juga memperkenalkan Narrowband Internet of Things (NB-IoT) Lab pertama di Indonesia yang dapat dimanfaatkan para inovator TINC untuk melakukan uji coba produk IoT yang dikembangkannya. Lab ini berlokasi di Bandung, Jawa Barat.

Direktur Utama Telkomsel, Ririek Adriansyah menyebutkan dorongan untuk memperkuat komitmennya di ranah IoT muncul karena banyak sekali masalah unik yang terjadi di Indonesia dan tak dapat diselesaikan dengan mengandalkan bantuan pihak luar. Ia menilai Indonesia harus mengembangkan ekosistem IoT sendiri.

“Implementasi aplikasi IoT itu sangat luas. Untuk membatasi imajinasi, makanya kita harus (mewujudkannya) lewat kolaborasi. Kita bisa dorong pengembangan IoT lebih luas lagi, tak hanya untuk pelaku usaha tetapi juga untuk negara,” ungkap Ririek dalam sambutannya.

Ririek berharap dalam beberapa tahun mendatang bisa mengantongi 1 miliar pelanggan produk IoT. Untuk saat ini, Telkomsel lebih fokus terhadap penyediaan solusi untuk kegiatan sehari-hari.

Diharapkan pula, TINC dapat kembali melahirkan lebih banyak solusi IoT dan kolaborasi lainnya dengan para inovator. Beberapa layanan IoT yang sudah melewati masa inkubasi antara lain kolaborasi dengan Banopolis (bike sharing di Universitas Indonesia) dan kolaborasi dengan eFishery (pemberi makan otomatis ternak ikan).

5G optimalkan adopsi IoT

Selain merangkul multi stakeholder untuk membentuk ekosistem, Telkomsel juga akan membangun jaringan 5G di masa depan untuk memperkuat adopsi IoT lebih masif lagi. Saat ini teknologi seluler generasi ke-5 ini belum komersial di dunia, namun akan diuji coba di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Dalam presentasinya, Director Planning & Transformation Telkomsel, Edward Ying mengatakan pemanfaatan IoT akan lebih optimal dengan mengandalkan koneksi 5G karena jaringannya mampu menghadirkan kecepatan 100 kali lebih tinggi dari 4G dengan latensi rendah.

“5G bagus untuk major improvement karena punya kecepatan tinggi dan lebih efisien. Kami yakin ini dapat menciptakan tools paling powerful untuk industri telekomunikasi di masa depan. Ekosistem bisa support banyak hal, seperti smart city,” ujar Ying.

Pihaknya juga akan meningkatkan jangkauan jaringan LTE dengan NB-IoT di sejumlah area pada 2019. Saat ini, jaringan Telkomsel telah didukung sebanyak 167 ribu unit BTS dengan 80 persen merupakan BTS di jaringan 4G.

IoT Forum sebagai katalisator

Tahun 2020, menurut riset Cisco, diprediksi ada 7,6 miliar orang yang menggunakan sebanyak 50 miliar perangkat yang saling terhubung dengan jaringan internet.

Sementara, riset McKinsey mengestimasi potensi pasar IoT di Indonesia mencapai $3 miliar pada 2020. Dari nilai tersebut, ada empat kategori yang bakal mendominasi pasar IoT di Indonesia, yakni kendaraan, industri, smart city, dan ritel.

Di balik potensi pasar yang sedemikian besar, masih ada sejumlah hal yang menghambat pertumbuhan industri IoT di Indonesia. Padahal ekosistem IoT di Indonesia dinilai mulai berkembang dan cukup siap untuk menghadapi tren IoT di global.

“Ekonomi akan jalan kalau ada demand dan supply. Kita menjadi katalisator supaya kita bisa menggerakkan pihak supply. Tetapi, belum tentu pihak demand tahu produk ini ada. Makanya, kedua pihak harus dipertemukan dalam satu komunitas,” ungkap Founder Indonesia IoT Forum, Teguh Prasetya pada kesempatan sama.

Teguh menilai IoT Forum berperan penting dalam mempertemukan dan mengenali kebutuhan dengan end user. Dengan begitu, pengguna jaringan dan produsen perangkat dapat saling terhubung untuk menentukan siapa yang menciptakan layanannya.

Sementara itu, CEO eFishery, Gibran Huzaifah justru menilai salah satu penghambat industri IoT di Indonesia adalah kurangnya relevansi use case yang diterapkan dengan masalah yang dihadapi di Indonesia. Contohnya adalah produk smart home. Padahal, kebutuhan smart home di Indonesia belum terlalu besar.

“Relevansi pada use case itu penting karena tidak semua yang dikembangkan di barat berkaitan dengan masalah yang ada di Indonesia. Intinya, di barat belum tentu paham masalah yang ada di sini,” tutur Gibran yang juga menjadi pembicara di TINC Conference & Exhibition.

Di eFishery, Gibran menerapkan use case berdasarkan hal-hal yang terjadi pada budidaya peternak ikan, yakni pemberian makanan ikan. Ia kemudian menciptakan mesin pemberi makan ikan secara otomatis.

Disclosure: DailySocial adalah media partner untuk kegiatan Telkomsel Innovation Center IoT Forum 2018 Convention & Exhibition.

Memanfaatkan Interaksi Offline untuk Ciptakan Transaksi Online

Sejatinya, teknologi ada untuk memudahkan manusia dalam melakukan berbagai hal. Pada produk digital, sebuah fitur dan layanan dibuat sedemikian rupa agar penggunanya mendapat kenyamanan saat berinteraksi.

Ini yang menjadi pekerjaan rumah bagi mereka yang bergelut pada pengembangan User Interface (UI) dan User Experience (UX) pada sebuah aplikasi. Bagaimana mereka menyediakan ‘kemudahan’ dan ‘kenyamanan’ bagi para penggunanya.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial.id kedatangan Chief Technology Officer Digiroin Teguh Hadriansyah dan Lead UI/UX Designer Digiroin Fayza Firdaus yang membahas seputar pentingnya fitur offline demi menciptakan transaksi online.

Fayza membuka diskusi dengan menyebutkan bahwa aktivitas offline menjadi pelatuk (trigger) bagi pengguna untuk melakukan aktivitas online. Menurutnya, aktivitas offline menjadi penting karena bagaimana pun juga masih ada segmen pasar yang belum terkoneksi internet.

Ada banyak tools pada aplikasi yang dapat dipakai untuk menciptakan offline interaction, misalnya QR Code dan voice note. Tools ini banyak dipakai untuk menyambungkan interaksi pengguna tanpa koneksi internet.

“Kami ingin menciptakan online interaction seperti offline interation. Online dan offline itu harus berjalan paralel,” ujar Fayza.

Dalam kaitannya dengan design, pengembang menciptakan User Interface (UI) dan User Experience (UX) agar pengguna nyaman saat memakainya. Informasi yang dipaparkan harus cukup untuk membangun kepercayaan.

Bertransaksi online tanpa ubah kebiasaan pengguna

Lalu, apa saja yang dapat dikembangkan untuk menciptakan transaksi online dengan mengandalkan interaksi offline? Chief Technology Officer Digiroin Teguh Hadriansyah mengambil contoh kasus pada fitur yang tengah dikembangkannya di layanan Digiroin. Fitur bernama Sound QR ini memampukan proses verifikasi/autentikasi sebuah transaksi pembayaran secara offline karena berbasis suara pengguna. 

“Inti dari teknologi ini adalah membawa transaksi online kepada pelanggan tanpa memerlukan koneksi internet. Interaksi itu tetap ada tapi meniadakan kebutuhan interaksi di layar smartphone,” tambah Teguh.

Menurutnya, offline interaction tidak bisa diabaikan begitu saja karena banyak sekali ragam segmen pengguna yang dapat disasar, mulai dari mereka yang gagap teknologi, sudah berumur, atau buta warna. Ini dapat membuka peluang besar bagi bisnis dengan merangkul berbagai segmen usia.

Sebetulnya, ungkap Teguh, pengembang memiliki banyak opsi untuk memilih teknologi yang tepat untuk fitur offline interaction, misalnya NFC, inframerah, hingga pemindai wajah. Namun, verifikasi berbasis suara (Sound QR) dinilai lebih tepat karena setidaknya setiap ponsel dibekali dengan mic dan speaker berkualitas standar.

“Tidak semua orang punya perangkat canggih dan kualitas kameranya bagus. Idenya adalah siapapun bisa melakukan autentikasi tanpa layar. Ini yang akan dibawa ke segmen pasar yang gagap teknologi tanpa harus mengubah kebiasaan mereka,” tuturnya.

Digiroin merupakan layanan pembayaran yang berjalan di atas teknologi blockchain. Digiroin juga merupakan sebuah platform terbuka yang memungkinkan siapapun dapat mengembangkan micro app atau aplikasi yang berjalan di platform Digiroin. Saat ini, Digiroin sudah bekerja sama dengan PT POS Indonesia.

Meski demikian, menurut Teguh, membangun offline interaction juga punya barrier tersendiri. Yang paling sulit adalah bagaimana membangun kepercayaan terhadap pengguna bahwa transaksi tanpa pihak ketiga merupakan legal tender. 

“Teknologinya (dalam mengembangkan Sound QR) itu tidak rumit. Bahkan lebih mudah karena berbasis suara. Tapi, sulit untuk membuat pelanggan percaya bahwa transaksi ini sah.”