Sony dan Microsoft Tawarkan Refund Cyberpunk 2077, Discord Dapat Investasi

Belum sebulan sejak Cyberpunk 2077 dirilis, muncul banyak protes tentang game itu, khususnya dari pemilik konsol lama, seperti PlayStation 4 dan Xbox One. Hal ini mendorong Sony dan Microsoft untuk menawarkan refund bagi orang-orang yang telah membeli game tersebut di PlayStation Store atau Microsoft Store. Selain itu, pada minggu lalu, Discord juga baru saja mendapatkan investasi.

Sony Tarik Cyberpunk 2077 dari PlayStation 4, Tawarkan Refund

Sony Interactive Entertainment menarik Cyberpunk 2077 dari PlayStation Store. Mereka mengumumkan hal ini melalui situs PlayStation. Walau mereka tidak menjelaskan alasan mereka, banyak orang menduga, Sony melakukan hal itu karena banyak pemain PlayStation 4 yang memprotes performa dari game tersebut.

refund cyberpunk 2077
Cyberpunk 2077 akhirnya ditarik oleh Sony karena banyak protes dari pemain.

“SIE ingin memastikan pelanggan kami puas. Karena itu, kami menawarkan refund untuk semua pemain yang telah membeli Cyberpunk 2077 melalui PlayStation Store,” kata Sony, seperti dikutip dari GamesIndustry. “SIE juga akan menarik Cyberpunk 2077 dari PlayStation Store untuk saat ini.”

Microsoft Tawarkan Refund untuk Cyberpunk 2077

Sony bukan satu-satunya pihak yang memutuskan untuk menawarkan refund. Tak lama setelah Sony membuat pengumuman tentang penarikan Cyberpunk 2077, Microsoft mengumumkan, mereka akan menawarkan refund untuk Cyberpunk 2077 yang dibeli melalui Microsoft Store.

“Kami tahu bahwa para developer di CD Projekt Red telah bekerja keras untuk merilis Cyberpunk di tengah keadaan yang sulit,” kata juru bicara Microsoft dalam pernyataan resmi pada GamesIndustry. “Namun, kami juga sadar bahwa sejumlah pemain merasa tidak puas dengan performa game ini ketika mereka bermain di konsol lama.”

Lebih lanjut, dia berkata, “Sampai saat ini, kami telah memberikan refund pada sebagian besar pelanggan yang memang ingin uang mereka kembali. Untuk memastikan bahwa semua orang bisa mendapatkan pengalaman bermain yang memuaskan di Xbox, kami menawarkan refund penuh untuk semua orang yang telah membeli Cyberpunk 2077 melalui Microsoft Store.”

Discord Dapat Investasi US$100 Juta

Sementara itu, ada kabar baik untuk Discord. Platform chatting itu baru saja mendapatkan kucuran dana sebesar US$100 juta. Dengan ini, valuasi Discord mencapai US$7 miliar. Dalam waktu enam bulan, valuasi Discord sebagai perusahaan naik dua kali lipat. Tidak heran, mengingat jumlah pengguna Discord juga terus bertambah. Saat ini, jumlah pengguna Discord mencapai 140 juta orang.

Investasi ini merupakan bagian dari pendanaan ronde H untuk Discord. Ronde pendanaan ini dipimpin oleh perusahana investasi Greenoaks Capital. Perusahaan lain yang ikut menanamkan modal kali ini adalah perusahaan venture capital, Index Ventures, lapor GamesIndustry.

Total Jam Ditonton Twitch Pada November Capai 1,7 Miliar Jam

Pada November 2020, total hours watched di Twitch mencapai 1,7 miliar jam, menurut data dari Stream Elements. Angka ini naik sedikit jika dibandingkan dengan total hours watched pada Oktober 2020. Saat ini, Just Chatting menjadi kategori paling populer. Pada November 2020, total hours watched dari kategori itu mencapai 228 juta jam, naik 246% dari tahun lalu.

Just Chatting jadi kategori paling populer di Twitch saat ini. | Sumber: The Esports Observer
Just Chatting jadi kategori paling populer di Twitch saat ini. | Sumber: The Esports Observer

Sampai saat ini, gaming memang masih jadi konten utama Twitch. Namun, platform streaming game milik Amazon itu juga berusaha untuk memperkaya konten mereka. Pada Juli 2020 lalu, mereka membuat kategori khusus untuk olahraga tradisional, seperti sepak bola. Selain itu, Twitch juga mempromosikan konten untuk perempuan, seperti kosmetik.

“Sebanyak 40 persen audiens gaming merupakan perempuan,” kata CEO StreamElements, Doron Nir, lapor VentureBeat. “Hal itu berarti, merek kosmetik akan tertarik untuk masuk ke platform livestreaming. Dalam 12 bulan belakangan, kami melihat, total hours watched kategori kecantikan di Twitch naik 260%. Beberapa merek kosmetik, seperti L’Oréal, MAC, Em, Hero, dan e.l.f. juga telah membuat kolaborasi di platform streaming game.”

Studi Kasus Daya Beli Fans Esports di Eropa

Pandemi virus corona membuat banyak orang mengisi waktu luangnya dengan bermain game atau menonton konten game dan esports. Di Eropa, sebagian fans esports mengaku bahwa mereka menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menonton turnamen esports. Semakin ketat pemerintah sebuah negara menetapkan peraturan lockdown, semakin banyak orang yang menonton kompetisi esports lebih lama. Hal ini terjadi di Spanyol, Inggris, Italia, dan Prancis.

 

Penonton Esports di Eropa

Di Eropa, jumlah penonton esports pada 2020 mencapai 92 juta orang, naik 7,4% dari tahun lalu. Dari semua penonton esports itu, sekitar 33 juta orang merupakan Esports Enthusiasts sementara 59 juta sisanya merupakan Occasional Viewers. Newzoo mendefinisikan Esports Enthusiasts sebagai mereka yang menonton kompetisi esports lebih dari satu kali dalam satu bulan selama 12 bulan terakhir. Sementara Occasional Viewers adalah orang-orang yang menonton konten esports rata-rata satu kali dalam sebulam selama satu tahun terakhir.

Jumlah penonton esports di Eropa. | Sumber: Newzoo
Jumlah penonton esports di Eropa. | Sumber: Newzoo

Banyak orang yang mengira, penonton esports adalah remaja. Namun, para Esports Enthusiasts ternyata tidak semuda yang dikira. Menurut laporan Newzoo, kebanyakan penonton esports di Eropa ada di rentang umur 21-25 tahun. Sementara jumlah penonton esports di rentang umur 18-20 tahun hanya mencapai 33%. Tentu saja, demografi penonton esports di masing-masing negara Eropa berbeda-beda. Misalnya, di Finlandia, 52% Esports Enthusiasts ada di rentang umur 18-20 tahun. Sementara di Inggris, hanya ada 21% Esports Enthusiasts yang ada di rentang umur tersebut.

 

Siapa yang Membeli Produk Esports?

Fans esports sering diidentikkan dengan remaja, yang dianggap belum memiliki daya beli yang kuat. Namun, anggapan ini ternyata salah, setidaknya untuk kawasan Eropa. Berdasarkan survei Newzoo dengan PayPal, sebanyak 44% orang yang membeli produk esports di Eropa berumur 21-30 tahun. Sekitar 67% dari mereka punya pekerjaan tetap, 48% sudah menikah dan memiliki anak, dan 22% dari mereka memiliki penghasilan besar. Jadi, asumsi bahwa penonton esports adalah orang-orang tak berduit terbukti tidak benar.

Asumsi lain tentang penonton esports adalah kebanyakan dari fans esports merupakan laki-laki. Dan memang benar, saat ini, 68% penonton esports di Eropa merupakan pria, dan jumlah penonton esports perempuan hanya mencapai 32%. Namun, sama seperti fans laki-laki, fans perempuan juga senang membeli produk esports. Sekitar 48% fans esports perempuan di Eropa membeli produk esports dalam satu tahun terakhir. Sebagai perbandingan, hanya 46% fans esports laki-laki yang menghabiskan uangnya untuk membeli produk esports.

Penonton esports di Eropa berdasarkan gender. | Sumber: Newzoo
Penonton esports di Eropa berdasarkan gender. | Sumber: Newzoo

Hanya saja, jenis produk yang dibeli oleh fans esports perempuan berbeda dengan fans laki-laki. Sebanyak 48% fans esports perempuan memilih untuk menghabiskan uangnya untuk membeli merchandise fisik, seperti baju dan jaket dari tim esports. Sementara itu, hanya 38% fans laki-laki membeli merchandise fisik. Kebanyakan fans pria lebih suka untuk membeli merchandise digital, seperti skin atau stiker.

Dari segi jumlah, Esports Enthusiasts memang lebih sedikit daripada Occasional Viewers. Namun, Esports Enthusiasts punya kecenderungan lebih tinggi untuk membeli produk esports. Sekitar 58% Esports Enthusiasts pernah membeli produk terkait esports. Sementara hanya 37% Occasional Viewers yang pernah menghabiskan uang untuk mendapatkan produk esports.

Kebanyakan Esports Enthusiasts — sekitar 48% — membeli merchandise digital dari sebuah tim esports, skin, banner, atau item kosmetik. Tampaknya, mereka lebih memedulikan penampilan karakter dalam game daripada fungsi dari item yang mereka beli. Selain merchandise digital, para Esports Enthusiasts juga tertarik untuk membeli merchandise fisik. Sebanyak 44% dari mereka memilih untuk membeli merch, seperti pakaian dan aksesori. Namun, hanya 27% Esports Enthusiasts yang tertarik untuk mendapatkan content pass khusus.

Sekitar 55% dari Esports Enthusiasts membeli produk esports untuk diri mereka sendiri. Sementara 45% lainnya membeli produk untuk orang lain. Ketika mereka membeli produk esports untuk orang lain, biasanya, mereka akan memberikan hadiah tersebut pada kekasih mereka. Sekitar 19% Esports Enthusiasts menghadiahkan produk esports untuk kekasih mereka.

 

Alasan Membeli Produk Esports

Setiap orang punya alasan tersendiri untuk membeli produk esports. Bagi fans esports di Eropa, salah satu alasan utama untuk membeli produk esports — baik fisik atau digital — adalah desain atau kualitas yang bagus. Di Inggris, sebanyak 40% fans esports yang membeli merchandise fisik mengaku, alasan mereka  membeli adalah karena kualitas yang baik. Angka ini naik menjadi 44% untuk pembelian produk digital. Kualitas juga menjadi salah satu pertimbangan utama bagi fans esports di negara-negara Eropa lain selain Inggris, seperti Prancis, Jerman, Spanyol, dan Finlandia.

Alasan lain seorang fan membeli produk esports adalah karena produk itu terlihat keren. Di Norwergia, sekitar 39% pembeli merchandise digital dan 35% pembeli merchandise fisik memutuskan untuk membeli karena alasan ini. Beberapa alasan lain para fans esports membeli produk esports antara lain untuk mendukung liga esports, mendukung tim favorit mereka, pamer ke fans lain, dan karena teman-teman mereka telah membeli produk itu terlebih dulu.

Alasan fans esports membeli produk esports di Spanyol. | Sumber: Newzoo
Alasan fans esports membeli produk esports di Spanyol. | Sumber: Newzoo

Satu hal yang harus diingat, di Eropa, masih ada berbagai kendala terkait prosess pembelian produk esports. Di 12 negara Eropa yang Newzoo survei, setidaknya 40% responden di masing-masing negara mengaku pernah membatalkan transaksi saat hendak membeli produk esports. Di Swedia, tingkat pembatalan transaksi bahkan mencapai 73%. Sementara di Spanyol, tingkat pembatalan transaksi mencapai 41%, yang merupakan angka paling rendah.

Ada beberapa alasan mengapa seseorang memutuskan untuk batal membeli produk esports. Salah satu alasan yang paling sering disebutkan oleh responden adalah mereka tidak puas dengan harga akhir dari merchandise yang hendak mereka beli. Alasan lain yang banyak ditemukan adalah adanya ongkos tersembunyi. Situs yang tidak responsif atau tidak terpercaya juga menjadi alasan lain mengapa para fans esports memutuskan untuk membatalkan pembelian produk esports. Di Inggris, keamanan data pribadi juga menjadi kendala. Sekitar 27% fans esports mengaku, mereka membatalkan transaksi karena khawatir akan keamanan data pribadi mereka.

Hal ini menunjukkan, dalam penjualan merchandise esports, baik dalam bentuk fisik atau digital, proses pembayaran yang aman dan nyaman juga tidak kalah penting dari kualitas barang yang dijual.

Sumber: Newzoo

Sumber header: Inside the Games

Mayoritas Mobile Gamer Habiskan Waktu 1-10 Jam untuk Bermain Game

Tahun 2020 merupakan tahun penting bagi industri game dan esports. Karena pandemi memaksa orang-orang untuk tetap di rumah, banyak dari mereka yang mengisi waktu luangnya dengan bermain game. Menurut laporan YouGov, 4 dari 10 gamer mengaku, mereka menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game sepanjang 2020 dari tahun lalu. Sementara itu, viewership turnamen esports melonjak naik, walau pandemi juga menyebabkan sejumlah pelaku industri esports gulung tikar.

 

Kondisi Industri Gaming Sepanjang 2020

Pada 2020, jumlah mobile gamer masih mengalahkan jumlah pemain PC dan konsol, berdasarkan studi yang YouGov lakukan di 24 negara. Hal ini tidak aneh, mengingat tingginya penetrasi smartphone di dunia. Di beberapa kawasan, seperti Asia Tenggara dan Asia Selatan, mobile game sangat mendominasi. Misalnya, di Indonesia, sekitar 77% orang merupakan gamer. Dari semua gamer itu, sebanyak 72% merupakan mobile gamer, 37% PC gamer, dan hanya 15% yang bermain di konsol. Satu hal yang harus diingat, seseorang bisa bermain game di lebih dari satu platform. Saya sendiri biasanya bermain di PC dan di smartphone.

Persentase dari platform yang dimainkan oleh para gamer di berbagai negara. | Sumber: YouGov
Persentase dari platform yang dimainkan oleh para gamer di berbagai negara. | Sumber: YouGov

Dalam laporannya, YouGov juga membahas tentang durasi waktu yang dihabiskan oleh para mobile gamer untuk bermain game setiap minggu. Mereka membagi para gamer ke dalam empat kategori:

  • light gamer, pemain yang menghabiskan waktu kurang dari 1 jam setiap minggu
  • moderate gamer, pemain yang menghabiskan waktu sekitar 1-10 jam setiap minggu
  • heavy gamer, pemain yang menghabiskan waktu sekitar 10-25 jam setiap minggu
  • heavy+ gamer, pemain yang menghabiskan waktu lebih dari 25 jam setiap minggu

Di semua negara yang YouGov survei, lebih dari setengah mobile gamer merupakan moderate gamer. Di kebanyakan negara, jumlah heavy+ gamer kurang dari 10% dari populasi gamer. Faktanya, hanya ada tiga negara yang memiliki heavy+ gamer lebih dari 10%, yaitu Tiongkok (15%), Taiwan (15%), dan Filipina (12%). Di Indonesia, jumlah moderate gamers mencapai 63%, sementara light gamer 13%, heavy gamer 16%, dan heavy+ gamers 6%.

Jumlah persentase tipe gamer di Indonesia. | Sumber: YouGov
Jumlah persentase tipe gamer di Indonesia. | Sumber: YouGov

Setelah mobile, PC menjadi platform favorit kedua. Hampir di semua negara yang YouGov survei, jumlah pemain PC mengalahkan pemain konsol. Salah satu alasannya adalah karena game PC lebih bermacam-macam. Dengan genre yang lebih beragam, game PC bisa menyasar audiens yang lebih luas. Tak hanya itu, jika seorang gamer bisa mendapatkan PC dengan spesifikasi tinggi, mereka bisa memainkan game-game berat dengan grafik menawan seperti Red Dead Redemption II. Selain itu, PC juga menawarkan sejumlah game kompetitif seperti, Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, dan League of Legends.

Namun, hal itu bukan berarti konsol tidak lagi menarik bagi para gamer. Di beberapa negara, jumlah pemain konsol cukup banyak. Salah satunya di Hong Kong. Di sana, sekitar 32% gamer menggunakan konsol untuk bermain game. Sementara di Spanyol, jumlah pemain konsol mencapai 29% dari total gamer, AS dan Inggris 28%, dan Australia 27%.

 

Popularitas Konten Video Game

Selain bermain game, banyak orang menghabiskan waktu untuk menonton konten tentang game sepanjang 2020 karena pandemi virus corona. Hanya saja, tidak semua gamer menonton konten game atau merupakan fans dari esports. Faktanya, banyak gamer yang tidak menonton konten tentang game atau turnamen esports. Sementara orang-orang yang menonton konten terkait game belum tentu senang menonton kompetisi esports.

Di Amerika Serikat, sekitar 74% warganya merupakan gamer, menurut studi YouGov. Namun, sekitar 47% dari mereka mengaku tidak menonton video terkait game ataupun esports. Hanya 25% gamer di AS yang menonton video terkait game. Uniknya, ada 2% orang yang senang menonton konten terkait game, tapi tidak suka bermain game.  Sementara itu, jumlah penonton esports di AS hanya mencapai 7% dari total gamer di negara tersebut.

Jumlah gamer, penonton konten gaming, dan fans esports di AS. | Sumber: YouGov
Jumlah gamer, penonton konten gaming, dan fans esports di AS. | Sumber: YouGov

Konten game dan esports biasanya disiarkan di platform streaming game, seperti Twitch, YouTube Gaming, dan Facebook Gaming. Di dunia, Twitch masih menjadi platform streaming game nomor satu. Dan memang, Twitch sangat populer di negara-negara Barat, seperti AS dan Inggris. Namun, di sejumlah kawasan lain, seperti Asia Tenggara, Twitch justru kalah populer dari YouTube Gaming atau Facebook Gaming. Di Indonesia, platform streaming game yang paling populer adalah YouTube Gaming.

Berdasarkan survei YouGov, sekitar 72% gamer Indonesia tahu tentang YouTube Gaming dan 46% mengenal Facebook Gaming. Sebagai perbandingan, hanya 21% gamer yang tahu tentang Twitch. Di negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand, Twitch juga kalah populer. Sama seperti Indonesia, di kalangan gamer Thailand, YouTube Gaming merupakan platform streaming game nomor satu. Sekitar 68% gamer di Thailand mengenal YouTube Gaming. Sementara di Malaysia, platform streaming game paling populer adalah Facebook Gaming, yang keberadaannya diketahui oleh 64% gamer di sana.

Sementara dari tingkat engagement, YouTube Gaming berhasil menjadi platform streaming game nomor satu, mengalahkan Twitch. Negara-negara Asia Tenggara memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan tingkat interaksi di platform YouTube Gaming. Faktanya, empat negara dengan tingkat engagement paling tinggi untuk YouTube Gaming merupakan negara Asia Tenggara. Keempat negara itu adalah Vietnam, dengan tingkat engagement 64%, Indonesia 58%, Thailand 49%, dan Malaysia 48%.

 

Tingkat Kesadaran Masyarakat akan Esports

Esports kini telah menjadi industri bernilai ratusan juta dollar. Jumlah penonton esports juga terus naik dari tahun ke tahun. Meskipun begitu, di kawasan tertentu, masih banyak orang memiliki pengertian yang salah tentang esports atau bahkan tidak tahu akan competitive gaming sama sekali.

Timur Tengah merupakan salah satu kawasan yang masyarakatnya kurang familier dengan esports. Misalnya, di Arab Saudi, hanya 31% gamer tahu arti esports. Angka ini turun menjadi 26% di Uni Emirat Arab dan Irak. Sebaliknya, tingkat kesadaran gamer akan esports cukup tinggi di negara-negara di Asia Timur, seperti Tiongkok, Taiwan, dan Hong Kong. Di ketiga negara tersebut, setidaknya 70% gamer tahu apa itu esports.

Di Indonesia, tingkat kesadaran masyarakat akan esports cukup tinggi. Sekitar 57% gamer di Indonesia tahu apa itu esports. Negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura, juga cukup familier dengan competitive gaming. Di Thailand, tingkat kesadaran gamer akan esports mencapai 54%, Malaysia 52%, Filipina 48%, dan Singapura 46%.

Jumlah gamer yang familier dengan esports. | Sumber: YouGov
Jumlah gamer yang familier dengan esports. | Sumber: YouGov

Tingkat interaksi fans esports biasanya berbanding lurus dengan tingkat kesadaran masyarakat. Semakin banyak gamer yang paham akan esports, semakin banyak pula orang-orang yang aktif berinteraksi di dunia esports. Hal ini terjadi di Tiongkok. Di negara Tirai Bambu tersebut, sebanyak 79% gamer sudah mengerti esports. Jadi, tidak heran jika tingkat engagement di sana mencapai 49%.

Hanya saja, tren ini tidak berlaku di semua negara. Ada beberapa negara yang memiliki tingkat awareness tinggi tapi tingkat engagement rendah. Contohnya adalah Denmark dan Swedia. Dua negara itu memiliki tingkat awareness tertinggi untuk kawasan Eropa — Denmark memiliki tingkat awareness 67% dan Swedia 51% — tapi, tingkat engagement fans esports di dua negara itu sangat rendah, hanya 10% di Denmark dan 8% di Swedia.

Di Indonesia, tingkat engagement fans esports cukup tinggi, mencapai 40%. Mengingat tingkat awareness di Indonesia adalah 57%, hal ini menjadi bukti bahwa fans esports di Indonesia sangat aktif berinteraksi dengan para pelaku esports.

Sumber: YouGovGambar header: Depositphotos.

Monas dan Petronas Muncul di Wild Rift, Jumlah Pemain Cyberpunk 2077 Tembus 1 Juta Orang

Cyberpunk 2077 dari CD Projekt menjadi salah satu topik perbincangan hangat pada minggu lalu. Tak hanya itu, ada sejumlah pengumuman penting dalam The Game Awards, termasuk peluncuran trailer dari Dragon Age 4 oleh BioWare dan pengumuman Nintendo untuk memasukkan Sepiroth ke Super Smash Bros. Ultimate.

Monas dan Petronas Muncul di Wild Rift

Riot Games tampaknya serius dalam memasarkan Wild Rift di Asia Tenggara. Sejauh ini, mereka telah mengadakan turnamen dari mobile game itu dan menggandeng sejumlah influencer untuk memenangkan hati para gamer di Asia Tenggara. Tak sampai di situ, mereka juga menampilkan bangunan yang menyerupai Monas dan Petronas Twin Towers di halaman Launch Celebration Rift Rewards. Dengan ini, Riot tampaknya ingin menggubah rasa nasionalisme dari gamer di Indonesia dan Malaysia, menurut laporan Egg Network.

Monas dan Petronas Twin Towers di Wild Rift. | Sumber: Egg Network
Monas dan Petronas Twin Towers di Wild Rift. | Sumber: Egg Network

Among Us Diunduh Lebih dari 50 Juta Kali Selama November 2020

Selama tiga bulan berturut-turut, Among Us menjadi game dengan jumlah download paling banyak, baik di perangkat iOS maupun Android, menurut Sensor Tower. Pada November 2020, game buatan InnerSloth ini telah diunduh sebanyak 53,2 juta kali. Amerika Serikat menjadi negara kontributor paling besar, dengan kontribusi sebesar 15,8% dari total download. Sementara itu, Brasil menyumbangkan 9% dari total download.

Jika dibandingkan dengan total download pada Oktober 2020 — yang mencapai 74,8 juta — total download Among Us pada bulan lalu memang mengalami penurunan. Namun, sepreti yang disebutkan oleh Dot Esports, game ini telah memecahkan sejumlah rekor, termasuk memenangkan dua kategori di The Game Awards, yaitu Best Multiplayer Game dan Best Mobile Game.

Concurrent Players Cyberpunk 2077 Tembus 1 Juta Orang

Jumlah concurrent players dari Cyberpunk 2077 sempat mencapai lebih dari 1 juta orang pada minggu lalu. Dengan begitu, game buatan CD Projekt menjadi game ke-4 yang berhasil mencapai rekor itu. Satu hal yang menarik, Cyberpunk 2077 merupakan game pertama yang dapat meraih rekor itu pada hari pertama peluncuran, menurut laporan PCGamesN.

Berdasarkan SteamDB, pada puncaknya, jumlah pemain Cyberpunk 2077 mencapai 1.054.388 orang. Satu hal yang harus diingat, jumlah pemain ini hanyalah gamer yang menggunakan Steam. Sementara Cyberpunk 2077 juga bisa dibeli via Epic Store dan GOG.

Jumlah pemain Cyberpunk 2077 tembus 1 juta orang.
Jumlah pemain Cyberpunk 2077 tembus 1 juta orang.

BioWare Pamer Trailer Dragon Age 4

BioWare telah mengumumkan, mereka tidak akan menghentikan pengembangan Dragon Age 4, meski dua eksekutif mereka memutuskan untuk mengundurkan diri. Untuk membuktikan keseriusan mereka, mereka merilis trailer dari game Dragon Age terbaru di The Game Awards. Sayangnya, trailer itu hanya menunjukkan sekilas dari dunia Dragon Age 4, dan sama sekali tidak gameplay dari game tersebut, seperti yang disebutkan oleh VentureBeat.

Nintendo Masukkan Sepiroth ke Super Smash Bros. Ultimate

Di The Game Awards, Nintendo mengumumkan bahwa Sepiroth, salah satu villain di Final Fantasy, akan tampil di Super Smash Bros. Ultimate. Sebelum ini, Nintendo telah memasukkan Min Min dari ARMS dan Steve dari Minecraft. Seperti yang disebutkan oleh Kotaku, Nintendo tampaknya meramaikan Super Smash Bros. Ultimate dengan memasukkan banyak karakter dari berbagai game.

Malaysia Punya Fasilitas Esports Baru, SS Lazio Ikut Bertanding di eFootball PES

Minggu lalu, ada beberapa kejadian menarik di industri esports. Salah satunya adalah pembukaan fasilitas esports seluas 65 ribu kaki di Kuala Lumpur Malaysia. Selain itu, SS Lazio juga mengumumkan bahwa mereka akan ikut bertanding dalam eFootball PES.

SS Lazio akan Ikuti eFootball PES

SS Lazio bakal ikut bertanding dalam eFootball PES dari Konami. Dengan ini, Konami akan mendapatkan hak untuk menggunakan nama dan lambang dari SS Lazio, serta para pemain legendaris dari klub asal Italia tersebut. President, Konami Digital Entertainment B.V., Naoki Morita percaya, melalui kerja sama ini, Konami akan bisa menjangkau lebih banyak fans sepak bola, menurut laporan Esports Insider. Sebelum ini, Konami menggandeng Federasi Sepak bola Italia, memungkinkan developer Jepang itu untuk menampilkan federasi tersebut dalam game mereka.

EBN Esports City Dibuka di Malaysia

Esports Business Network (EBN), organisasi esports asal Asia Tenggara, mengumumkan peresmian EBM Esports City di Kuala Lumpur, Malaysia pada minggu lalu. Esports City itu merupakan fasilitas seluas 65 ribu kaki yang akan digunakan untuk menyelenggarakan berbagai turnamen dan kegiatan esports. Dengan dibangunnya fasilitas ini, diharapkan ekosistem esports di Malaysia dan Asia Tenggara akan bisa berkembang.

EBN Esports City juga akan jadi markas dari Orange Esports.
EBN Esports City juga akan jadi markas dari Orange Esports.

Terletak di lantai paling atas dari Quill City Mall, EBN Esports City dilengkapi dengan teknologi untuk mengadakan turnamen dan konferensi esports. Di sini, Anda akan menemukan EB Esports Arena, Orange Esports Club, EBN Headquarters, kafe internet, dan tiga studio yang bisa digunakan untuk melakukan siaran live, lapor Esports Insider.

Fnatic Dapat GBP2 Juta dari Crowdfunding

Fnatic berhasil mendapatkan GBP2 juta (sekitar Rp37,9 miliar) dari kampanye crowdfunding yang mereka lakukan di Crowdcube. Pada awalnya, mereka hanya menargetkan untuk mendapatkan GBP1 juta (sekitar Rp19 miliar). Pendanaan ini diikuti oleh lebih dari 4.000 orang. Dana yang Fnatic dapatkan dari kampanye ini akan digunakan untuk mengembangkan merek mereka di dunia. Selain itu, mereka juga akan menggunakan investasi itu untuk membuat tim esports yang kuat, lapor GamesIndustry.

Di Ulang Tahune ke-26, DreamHack Lakukan Rebranding

Dalam DreamHack Day, penyelenggara turnamen esports dan festival gaming, DreamHack mengungkap bahwa mereka akan mengubah identitas brand mereka. Untuk itu, mereka bekerja sama dengan brand agency, Superunion. Dalam DreamHack Day, DreamHack juga merayakan ulang tahun mereka yang ke-26. Pada awalnya, DreamHack tidak lebih dari turnamen esports LAN. Sekarang, perusahaan asal Swedia itu telah beroperasi di berbagai negara di dunia, lapor Esports Insider.

Logo baru DreamHack.
Logo baru DreamHack.

Metafy Dapat Investasi Sebesar US$3 Juta

Platform pelatihan game, Metafy, mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan kucuran dana sebesar US$3 juta (sekitar Rp42,5 miliar). Ronde pendanaan tahap awal ini dipimpin oleh Forerunner Ventures. Beberapa investor lain yang ikut serta dalam ronde investasi ini antara lain Tekton Ventures, M25, beberapa eksekutif Facebook dan Microsoft, serta pendiri dari Tempo Storm dan Tribe Gaming, menurut laporan Esports Observer.

Metafy, yang didirikan oleh Josh Fabian dan Thomas McNiven pada Agustus 2020, mengungkap bahwa mereka akan menggunakan investasi ini untuk mengembangkan produk mereka. Tujuan mereka adalah untuk “memudahkan transisi dari pemain hebat menjadi guru hebat.”

Esports ke Olimpiade, Seberapa Perlu?

Diikuti oleh lebih dari 200 negara, Olimpiade adalah salah satu kompetisi olahraga paling bergengsi di dunia. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, minat masyarakat untuk menonton Olimpiade semakin menurun. Seolah itu tidak cukup buruk, umur rata-rata dari penonton Olimpiade pun menunjukkan tren yang semakin tua. Esports — yang digandrungi oleh generasi Milenial dan Gen Z — bisa memecahkan masalah ini. Hanya saja, memasukkan esports ke Olimpiade bukanlah masalah gampang.

 

Jumlah Penonton Olimpiade yang Terus Turun

Di Amerika Serikat, Olimpiade Musim Dingin 2018 disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Menurut data dari Sports Media Watch, jumlah rata-rata penonton Olimpiade pada prime time hanya mencapai 22,2 juta, turun 6% jika dibandingkan dengan jumlah rata-rata penonton dari Olimpiade Musim Dingin 2014. Sementara itu, jumlah rata-rata penonton Olimpiade Musim Dingin 2018 justru lebih rendah, hanya 19,9 juta orang, yang merupakan rekor jumlah rata-rata penonton paling rendah sejak 1992, menurut laporan Forbes.

Memang, beberapa tahun belakangan, rating siaran pertandingan Olimpiade terus turun, membuktikan bahwa jumlah orang-orang yang tertarik menonton kompetisi olahraga itu terus berkurang. Sebaliknya, umur rata-rata penonton Olimpiade terus naik, menurut survei yang diadakan oleh Nielsen pada 24 televisi olahraga. Pada 2000, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 45 tahun. Angka ini naik menjadi 50 tahun pada 2006 dan menjadi 53 tahun pada 2016. Seiring dengan turunnya jumlah penonton Olimpiade, begitu juga dengan daya tarik siaran Olimpiade di mata pengiklan atau sponsor.

Umur rata-rata penonton Olimpiade. | Sumber: Lanxiong Sport, via core.ac.uk
Umur rata-rata penonton Olimpiade. | Sumber: Lanxiong Sport, via core.ac.uk

Sebenarnya, umur rata-rata penonton yang terus naik, hal ini juga terjadi di semua kompetisi olahraga tradisional. Sepak bola, salah satu olahraga terpopuler di dunia, pun mengalami masalah ini. Satu-satunya olahraga yang umur rata-rata penontonnya justru turun dalam 10 tahun terakhir adalah tennis perempuan, menurut laporan TechCrunch. Meskipun begitu, umur rata-rata penonton pertandingan tennis di Amerika Serikat tetap tinggi, yaitu 55 tahun. Sebagai perbandingan, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Hal ini menunjukkan bagaimana generasi muda lebih suka untuk menonton esports daripada olahraga tradisional.

Seorang artis bisa menjadi figur publik karena dia punya banyak fans. Olimpiade menjadi salah satu ajang olahraga paling bergengsi karena ada banyak orang yang menonton kompetisi tersebut. Jika tidak ada lagi orang yang menonton Olimpiade, maka prestise dari kompetisi itu pun akan hilang. Dan tanpa prestise, siapa yang akan tertarik untuk menyiarkan pertandingan Olimpiade? Atau menjadi sponsor dari acara olahraga tersebut?

Untungnya, International Olympic Comittee (IOC) menyadari masalah ini. Mereka juga telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah dengan menambahkan beberapa olahraga baru yang dianggap disukai anak muda, seperti sport climbing, surfing, skateboarding, karate, dan baseball. Jika dibandingkan dengan olahraga tradisional lainnya — seperti anggar, lempar lembing, atau loncat indah — olahraga-olahraga ini mungkin memang lebih populer di kalangan generasi muda. Hanya saja, jika dibandingkan dengan pertandingan esports, seperti League of Legends atau Counter-Strike: Global Offensive, pertandingan esports masih menang jauh.

 

Bagaimana Esports Bisa Membantu

Pada 2018, ada 737 kompetisi esports besar yang diadakan dengan total penjualan tiket mencapai US$54,7 juta. Sementara itu, pada 2019, jumlah penonton esports mencapai 443 juta orang, menurut Newzoo dan mencapai 454 juta, berdasarkan Statista. Dan seperti yang dapat Anda lihat pada gambar di bawah, jumlah penonton esports menunjukkan tren naik dari tahun ke tahun.

 

Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo
Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

 

Selain itu, penonton esports biasanya datang dari kalangan Milenial dan Gen Z. Mari kita berkaca ke Tiongkok, salah satu negara yang ekosistem esports-nya berkembang pesat. Tiongkok tidak hanya menelurkan banyak atlet esports di berbagai game — mulai dari mobile game seperti Clash Royale sampai League of Legends — pemerintah di Beijing pun sudah mulai mengakui atlet esports sebagai profesi resmi.

Berdasarkan data dari Statista tentang demografi penonton esports di Tiongkok pada 2019, penonton esports paling banyak ada di rentang usia 18-24 tahun. Sekitar 26,2% penonton esports di Tiongkok ada di rentang umur tersebut. Sementara itu, sekitar 21,9% audiens esports memiliki usia di bawah 18 tahun, 23,8% ada di rentang umur 24-30 tahun, 18,6% penonton di rentang umur 30-35 tahun, dan 9,5% ada di rentang umur di atas umur 35 tahun.

Demografi penonton esports di Tiongkok. | Sumber: Statista via core.ac.uk
Demografi penonton esports di Tiongkok. | Sumber: Statista via core.ac.uk

Jika esports masuk dalam Olimpiade, hal ini akan menarik perhatian para penonton muda. Semakin banyak orang yang tertarik untuk menonton Olimpiade, maka semakin menarik ajang olahraga itu di mata sponsor. Namun, yang paling penting, memenangkan hati penonton muda berarti Olimpiade akan tetap relevan di masa depan. Sayangnya, menjadikan esports sebagai cabang olahraga dalam Olimpiade tidak semudah membalikkan telapak tangan.

 

Kenapa Esports Tidak Masuk Olimpiade?

Sebelum sebuah olahraga menjadi bagian dari Olimpiade, maka olahraga itu harus dipatikan memiliki nilai-nilai yang sama dengan Olimpiade, yaitu Excellence, Respect, dan Friendship. Hal ini menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh pelaku esports jika mereka ingin menjadikan esports sebagai bagian dari Olimpiade.

Dalam wawancara menjelang Asian Games 2018 di Jakarta, Thomas Bach, Presiden dari IOC mengungkap, salah satu alasan mengapa esports tidak masuk dalam Olimpiade adalah karena game esports mendukung kekerasan dan diskriminasi, yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Olimpiade. Memang, ada game esports yang tidak menampilkan kekerasan, seperti FIFA atau PES, yang merupakan game sepak bola. Namun, game esports yang populer biasanya memiliki aspek kekerasan, sebut saja Dota 2, CS:GO, dan Mobile Legends.

Meskipun begitu, hal itu bukan berarti esports tidak punya kesempatan sama sekali untuk masuk Olimpiade. Pasalnya, di Olimpiade, ada beberapa olahraga yang mengandung kekerasan, seperti menembak, panahan, tinju, dan taekwondo. Terkait hal ini, Presiden IOC, Bach menjelaskan, olahraga-olahraga itu memang didasarkan pada pertarungan yang nyata. Tapi, semua olahraga tersebut telah diregulasi sedemikian rupa sehingga mereka menjadi “civilized expression” dari pertarungan antar manusia. Jadi, selama pertarungan dalam game esports bisa dibuat agar tidak terlihat seperti senseless killing, maka esports tidak akan melanggar nilai Olimpiade.

Presiden IOC, Thomas Bach.
Presiden IOC, Thomas Bach.

Namun, ada alasan lain mengapa esports tidak bisa masuk ke Olimpiade, setidaknya saat ini, yaitu karena game merupakan produk komersil. Padahal, Olympic Charter dengan tegas melarang untuk menjadikan olahraga atau atlet sebagai alat demi kepentingan politik dan komersil. Memang, ada olahraga yang memiliki nilai komersil tinggi, seperti sepak bola dan basket. Namun, berbeda dengan game, sebuah olahraga tidak memiliki “pemilik”. Sementara dalam esportsgame yang menjadi media pertandingan merupakan produk komersil. Pembuatan, pengoperasian, dan peraturan bermain dari sebuah game sepenuhnya ada di tangan developer dan publisher.

Sama seperti olahraga tradisional kebanyakan, esports memang punya badan organisasi internasional sendiri. Salah satunya adalah International Esports Federation (IeSF), yang didirikan di Korea Selatan pada 2008. Selain itu, juga ada Global Esports Federation (GEF) yang didirikan pada 2019 dengan sokongan dari Tencent. Dan IeSF bisa menghubungi pihak developer terkait game mereka, tapi badan esports itu tidak punya hak untuk mengubah peraturan dalam pertandingan game esports.

Esports juga sudah punya kompetisi sendiri. Dan hal ini bisa menyebabkan tabrakan jadwal. Hal ini terjadi ketika League of Legends menjadi salah satu cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018. Pertandingan Asian Games ketika itu berbarengan dengan babak final dari League of Legends World Championship. Memang, IOC bisa saja mendiskusikan masalah ini dengan pihak developer. Toh masalah ini juga terjadi di sepak bola dan bisa diselesaikan. Satu hal yang harus diingat, setiap game esports biasanya punya developer yang berbeda. Dengan kata lain, jika ada tiga game esports yang masuk Olimpiade, IOC harus membahas masalah ini dengan tiga developer yang berbeda.

Alasan terakhir mengapa esports tak bisa masuk Olimpiade adalah terkait umur hidup sebuah game esports. Berdasarkan regulasi IOC, proses untuk memasukkan cabang olahraga baru akan memakan waktu tiga tahun. Sementara skena esports berubah dengan cepat. Game esports yang tengah populer saat ini mungkin tak lagi populer beberapa tahun ke depan.

Berikut grafik dari popularitas PUBG, CS:GO, dan Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.

Jumlah peak concurrent players CS:GO dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players CS:GO dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players PUBG dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players PUBG dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.

Tiga grafik di atas menunjukkan bagaimana popularitas sebuah game bisa meningkat atau menurun secara drastis dalam waktu singkat. Karena itu, menentukan game esports yang pantas masuk Olimpiade akan jadi hal yang sangat sulit.

Yohannes Siagian, Wakil Ketua Bidang Atlet, Prestasi, dan IT, Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) memiliki pendapat yang sama. “Game esports belum tentu akan bertahan selama lebih dari 1-2 masa Olimpiade, yang memiliki siklus 4 tahunan. Sehingga sulit untuk membangun konsistensi jangka panjang sebagai event,” kata pria yang akrab dengan panggilan Joey ini ketika dihubungi oleh Hybrid.

“Komunitas esports kadang terlalu sibuk mencari pengakuan dari pihak yang dianggap lebih berwenang atau berwibawa, seperti Olimpiade, sehingga tidak sadar bahwa esports sudah memiliki status yang cukup untuk membuat event sendiri,” jelas Joey lebih lanjut. “Misalnya, Olimpiade ada Olimpiade Musim Panas, Musim Dingin, dan seterusnya. Jika esports memang merasa harus menggandeng Olimpiade, mereka bisa membuat Olimpiade versi esports saja, tidak perlu digabung dengan cabang-cabang lain.” Namun, dia menekankan, jika kegiatan Olimpiade untuk esports digelar, maka pihak penyelenggara harus menentukan regulasi terkait gelar, persyaratan, dan lain sebagainya dengan sangat hati-hati.

Jadi…

 

Perlukah Esports ke Olimpiade?

“Ini perdebatan yang berjalan intens di berbagai tingkat dunia esports. Kalau menurut saya pribadi, tidak penting bagi esports untuk masuk ke SEA Games, Asian Games, atau Olimpiade,” jawab Joey. “Kalau memang masuk, ya bagus. Nilai-nilai dasar Olimpiade memang berlaku di esports, tapi di sisi lain, ada hal-hal fundamental dari esports yang terlalu berbeda.” Salah satunya adalah fakta bahwa game esports merupakan intellectual property dari developer.

Soal penonton, esports telah berhasil mengumpulkan ratusan juta audiens tanpa menjadi bagian dari Olimpiade. Dan ke depan, jumlah penonton esports diperkirakan masih akan naik. Pandemi virus corona tahun ini juga membuat esports menjadi booming. Sementara jumlah penonton Olimpiade terus turun. Namun, bukan berarti tidak ada keuntungan yang didapat oleh industri esports jika competitive gaming menjadi cabang olahraga di Olimpiade.

Salah satu keuntungan yang akan didapatkan oleh esports jika ia masuk ke dalam Olimpiade adalah publikasi. Misalnya, ketika tim League of Legends Tiongkok memenangkan medali emas di Asian Games 2018, kabar ini disiarkan oleh stasiun televisi nasional, mengenalkan esports pada masyarakat yang sebelumnya tak pernah mendengar tentang competitive gaming. Di Indonesia, pencarian akan esports di Google juga melunjak ketika esports menjadi bagian dari Piala Presiden.

Tak hanya itu, masuknya esports dalam Olimpiade atau ajang olahraga bergengsi lainnya akan memberikan citra positif pada esports. Memang, esports kini sudah jadi industri yang besar. Tapi, tak bisa dipungkiri, stigma negatif yang melekat pada esports dan gaming secara umum pun susah hilang. Jika esports menjadi bagian dari Olimpiade, hal ini akan membuat esports bisa diterima oleh masyarakat luas, khususnya oleh orang-orang yang lebih berumur alias generasi Boomers dan Gen X.

Joey setuju dengan hal ini: masuknya esports ke Olimpiade bisa membuat esports diakui oleh generasi Boomers dan Gen X. Hanya saja, dia mengingatkan, saat ini, sebagian besar masyarakat sudah sangat dekat dengan dunia digital. “Orang-orang sudah terbiasa mendengar esports jadi acara khusus, yang jika diiringi dengan promosi dan marketing yang benar, maka akan menjadi acara yang sukses,” ujarnya. “Apalagi, tim esports dan perusahaan/brand yang masuk ke esports sudah sangat ahli dalam marketing dan promosi terkait esports. Pastinya, mereka akan membuat event esports menjadi acara yang besar.”

 

Kesimpulan

Setiap orang pasti punya kelebihan dan kelemahan. Ada orang yang cerdas secara akademis, tapi tidak kuat dalam berolahraga. Atau, ada orang yang memiliki bakat seni, tapi sulit paham pelajaran eksakta. Namun, hal ini tidak menghentikan sebagian orang untuk bisa menguasai semua hal. Saya merasa, esports seperti itu.

Esports telah berhasil menciptakan ekosistemnya sendiri. Saat ini, ada ratusan turnamen esports yang diadakan setiap tahunnya, sementara jumlah penonton esports di global telah mencapai ratusan juta orang. Namun, hal itu tidak menghentikan pelaku esports untuk mencoba masuk ke ajang olahraga campuran, seperti SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade.

Memang, masuknya esports ke SEA Games dan Asian Games membuat esports bisa diterima oleh masyarakat luas. Walaupun begitu, jia esports tak masuk Olimpiade, hal ini tidak akan mematikan esports. Seperti yang disebutkan oleh Joey, tidak semua atlet esports menginginkan kehormatan untuk membawa pulang medali di Olimpiade. Sama seperti tim sepak bola yang lebih ingin memenangkan Liga Champions atau Piala Dunia, tim Dota 2 mungkin lebih ingin memenangkan The International daripada Olimpiade.

Sumber: Forbes, TechCrunch, The Possibility Analysis of Esports Becoming an Olympic Sport, Hybrid, Round Hill Investment

Daftar Investasi di Industri Esports Sepanjang November 2020

Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak pihak yang tertarik untuk menanamkan investasi di ekosistem esports, termasuk perusahaan venture capital. Bahkan di tengah pandemi, investasi di ranah game dan esports tetap mengalir. Berikut beberapa investasi dan akuisisi yang terjadi sepanjang November 2020.

 

Fnatic Mendapatkan US$10 Juta dan Adakan Crowdfunding

Fnatic, organisasi esports asal Eropa, mendapatkan investasi sebesar US$10 juta pada bulan lalu. Ronde pendanaan internal itu dipimpin oleh Beringea, perusahaan venture capital yang beroperasi di Inggris dan Amerika Serikat. Beberapa investor lain yang ikut menanamkan modal di ronde pendanaan tersebut antara lain Unbound, LVL1 Global, dan JHD. Fnatic mengungkap, investasi yang mereka dapatkan akan digunakan untuk memperkuat brand dan tim esports mereka. Selain itu, mereka juga akan menggunakan dana tersebut untuk melakukan ekspansi global.

Selain pendanaan internal, bulan lalu, Fnatic juga mengadakan kampanye crowdfunding melalui Crowdcube. Ketika itu, mereka memasang target untuk mendapatkan GBP1 juta (sekitar Rp18,9 miliar) dengan menjual 0,99% saham mereka. Sebelum mereka menawarkan saham mereka ke masyarakat umum, telah ada investor yang membeli saham mereka. Jadi, tidak heran jika Fnatic berhasil mengumpulkan dana sebesar GBP945 ribu (sekitar Rp17,8 miliar) bahkan sebelum mereka menjual saham mereka ke publik.

Setelah mendapatkan investasi, Fnatic juga melakukan crowdfunding. | Sumber: The Esports Observer
Setelah mendapatkan investasi, Fnatic juga melakukan crowdfunding. | Sumber: The Esports Observer

Fnatic berencana untuk menggunakan dana dari crowdfunding ini untuk merealisasikan rencana jangka pendek mereka. Mereka memperkirakan, mereka akan mulai mendapatkan untung pada 2023. Menurut prediksi mereka, pada 2023, mereka akan mendapatkan pemasukan sebesar US$73 juta (sekitar Rp1 triliun) dan EBITDA (Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) sebesar US$3 juta (sekitar Rp42,4 miliar).

Immortal Gaming Club Dapatkan Investasi

Pada bulan lalu, Immortals Gaming Club (IGC), organisasi esports asal Amerika Utara, juga mendapatkan kucuran dana sebesar US$26 juta (sekitar Rp367,6 miliar). Pendanaan itu dipimpin oleh Meg Whitman, salah satu anggota dewan IGC. Dua investor lain yang ikut menanamkan modal dalam ronde pendanaan itu antara lain Anschutz Entertainment Group (AEG) dan March Capital Partners. Keduanya telah menanamkan investasi di IGC sebelum ini.

IGC menyebutkan, mereka berencana untuk menggunakan dana ini untuk mengembangkan brand tim esports mereka. Selain itu, mereka juga akan menyalurkan sebagaian investasi itu ke Gamers Club dengan tujuan untuk memperkaya portofolio game mereka dan memperluas jangkauan mereka.

 

Griffin Gaming Partners Kumpulkan US$235 Juta untuk Dana Gaming dan Teknologi

Pada November 2020, Griffin Gaming Partners berhasil mengumpulkan investasi sebesar US$235 juta (sekitar Rp3,3 triliun) untuk dialokasikan pada ranah game dan teknologi. Mereka berencana untuk menginvestasikan setidaknya setengah dari dana ini di perusahaan yang fokus pada platform dan infrastruktur gaming. Dana yang tersisa lalu akan diinvestasikan ke studio game dan pembuatan konten.

Sebagai perusahaan venture capital, Griffin Gaming Patners telah menanamkan investasi di berbagai perusahaan game dan teknologi, termasuk Discord. Belum lama ini, mereka juga memberikan modal pada game developer Frost Giant Studios.

 

BLAST Dapatkan Dana dari Edge Investments

Penyelenggara turnamen esports asal Denmark, BLAST, mendapatkan investasi sebesar GBP1,7 juta (sekitar Rp32,1 miliar) dari perusahaan Inggris, Edge Investments. BLAST menyebutkan, dana ini akan mereka gunakan untuk mengokohkan operasi mereka di Inggris serta melakukan ekspansi global. Selain modal, BLAST juga akan memanfaatkan keahlian dan jaringan Edge untuk mengoptimalkan kemampuan mereka dalam mengadakan turnamen esports.

“Keputusan Edge untuk menanamkan investasi di kami merupakan bukti bahwa industri esports tengah berkembang, walau muncul berbagai masalah bagi banyak orang pada tahun ini,” kata Robbie Douek, CEO Blast, dikutip dari Esports Insider. “Kami memilih Edge agar kami bisa memanfaatkan keahlian dan jaringan mereka dalam distribusi konten, promosi media, dan penyelenggaraan event.”

 

ReKTGlobal Gandeng Vikkstar

Perusahaan esports, ReKT Global menjadikan Vikram “Vikkstar” Singh Barn sebagai co-owner dari tim Call of Duty League mereka, London Royal Ravens. Vikkstar adalah gaming influencer asal Inggris. Sebagai co-owner London Royal Ravens, Singh Barn akan membuat format konten baru. Selain itu, dia juga berencana untuk membuat merchandise, kegiatan promosi, dan turnamen esports secara mandiri, terlepas dari turnamen yang diselenggarakan ReKT Global.

Vikram "Vikkstar" Singh Barn jadi salah satu pemilik London Royal Ravens.
Vikram “Vikkstar” Singh Barn jadi salah satu pemilik London Royal Ravens.

Queens Gaming Collective Dapatkan Pendanaan Tahap Awal

Queens Gaming Collective, perusahaan gaya hidup gaming yang fokus pada perempuan, berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal senilai US$1,5 juta (sekitar Rp21,2 miliar). Pendanaan itu dipimpin oleh BITKRAFT Ventures. Selain itu, ada 12 investor lain yang ikut mendukung Queens Gaming Collective, termasuk para pengusaha dan pemimpin bisnis perempuan. Dana ini akan digunakan oleh Queens Gaming Collective untuk mencari pekerja yang mumpuni, membuat konten, dan mendukung pertumbuhan karir kreator dan streamer perempuan di dunia game dan esports.

 

Investasi dan Pendanaan Lain

Pada bulan lalu, Edge Esports Ltd, startup yang membuat solusi pembayaran dan kontrak untuk pemain esports, mendapatkan investasi sebesar US$1,5 juta (sekitar Rp21,2 miliar). Dipimpin oleh Blake Picquet, ronde investasi itu juga diikuti oleh Green Egg Ventures, Game Tech Ventures, dan Robert Reeg. Dana investasi itu akan digunakan oleh Edge untuk memperkuat tim internal mereka.

Sementara itu, perusahaan analisa performa gamer, Statespace berhasil mengumpulkan US$29 juta (sekitar Rp410 miliar) dalam pendanaan Seri B, yang dipimpin oleh Khosla Ventures. Mereka mendapatkan kucuran modal ini enam bulan setelah mereka menutup ronde investasi Seri A, yang bernilai US$15 juta (sekitar Rp212 juta) pada Mei 2020. Ketika itu, ronde pendanaan tersebut juga dipimpin oleh Khosla Ventures. CEO Statespace, Wayne Mackey mengungkap, prioritas utama mereka saat ini adalah untuk menumbuhkan platform mereka.

StreamHERO, jaringan iklan untuk streamer, mendapatkan investasi pre-seed sebesar US$550 ribu (sekitar Rp7,8 miliar). Ronde investasi itu dipimpin oleh Adventures Lab. StreamHERO akan menggunakan dana ini untuk membuat tools monetisasi baru bagi para streamer dan sistem analitik baru. Sementara itu, pada November 2020, Hitmarker, platform pencarian lowongan pekerjaan di dunia gaming dan esports, mengadakan kampanye crowdfunding di Crowdcube. Mereka menjual 4% saham mereka demi mendapatkan modal ekstra. Target mereka dari kampanye crowdfunding itu adalah GBP200 ribu (sekitar Rp3,8 miliar).

Gamer Sensei adalah platform latihan gaming. | Sumber: The Esports Observer
Gamer Sensei adalah platform latihan gaming. | Sumber: The Esports Observer

GAMURS Group, perusahaan induk Dot Esports, baru saja mengakuisisi platform Pro Game Guides. Untuk melakukan itu, mereka menggunakan dana dari investor mereka, termasuk Aura Group. Tahun depan, GAMURS berencana untuk membeli beberapa perusahaan lain di ranah gaming.

GAMURS bukan satu-satunya perusahaan yang melakukan akuisisi pada bulan lalu. Corsair Gaming juga baru saja membeli Gamer Sensei, platform pelatihan esports. Dengan ini, Gamer Sensei akan menjadi salah satu divisi Corsair. Selain itu, Take-Two Interactive juga menandatangnai kontrak perjanjian untuk mengakuisisi Codemasters senilai US$980 juta (sekitar Rp13,9 triliun). Jika perjanjian itu disetujui oleh para pemegang saham dan regulator, akuisisi ini diperkirakan akan selesai pada Q1 2021.

Secara keseluruhan, sepanjang November 2020, total investasi di ranah game dan esports mencapai US$306 juta (sekitar Rp4,3 triliun). Sebagai perbandingan, total investasi di dunia game dan esports sepanjang 2020 telah menembus US$6,44 miliar (sekitar Rp91,1 triliun).

Sumber: The Esports Observer, Esports Insider

Cristiano Ronaldo Jadi Karakter di Free Fire, Microsoft Akuisisi Smash.gg

Dalam satu minggu terakhir, ada beberapa kabar menarik di dunia game dan esports. Misalnya, Microsoft yang memutuskan untuk membeli platform turnamen esports, Smash.gg atau keputusan Cristiano Ronaldo untuk bekerja sama dengan Garena sebagai Global Brand Ambassador dari Free Fire.

CR7 Jadi Global Brand Ambassador Free Fire

Cristiano Ronaldo menjadi Global Brand Ambassador dari Free Fire, game buatan Garena. Sebagai bagian dari kerja sama ini, Garena akan membuat karakter baru yang didasarkan pada Ronaldo, bernama Chrono. Karakter itu berasal dari universe baru dengan tema metropolis futuristik. Walau dunia itu penuh dengan teknologi canggih, tatanan masyarakat di sana kacau balau. Chrono hadir sebagai seorang pahlawan dan juga inspirasi bagi masyarakat untuk tetap hidup.

Microsoft Akuisisi Smash.gg

Microsoft mengakuisisi platform turnamen esports, Smash.gg minggu lalu. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai akuisisi tersebut. Smash.gg didirikan pada lima tahun lalu. Pada awalnya, platform tersebut fokus pada turnamen esports dari Smash Bros. Namun, sekarang, mereka juga bisa digunakan untuk mengadakan turnamen esports dari game-game lain.

Melalui Twitter, Smash.gg menjelaskan, saat ini, mereka akan beroperasi seperti biasa. Ke depan, mereka berharap akan bisa menggunakan sumber daya dari tim Microsoft Content Services untuk mengembangkan platform turnamen esports mereka, lapor Reuters.

Dalam 2 Bulan, Pemasukan Genshin Impact dari Pemain Mobile Hampir Capai US$400 Juta

Berdasarkan data dari perusahaan analitik mobile, Sensor Tower, dalam waktu dua bulan sejak peluncuran, Genshin Impact telah mendapatkan pemasukan sekitar US$393 juta dari para pemain mobile. Hal itu berarti, sejak diluncurkan pada 28 September 2020, game buatan MiHoYo ini menghasilkan US$6 juta per hari, menurut laporan GamesIndustry.

Pemasukan Genshin Impact dari mobile hampir mencapai US$400 juta dalam 2 bulan. | Sumber One Esports
Pemasukan Genshin Impact dari mobile hampir mencapai US$400 juta dalam 2 bulan. | Sumber One Esports

Berdasarkan data Sensor Tower, satu-satunya game yang memiliki pemasukan lebih besar dari Genshin Impact pada awal peluncurannya adalah Honor of Kings dari Tencent, yang mendapatkan US$467 juta. Namun, Sensor Data juga menyebutkan, pemasukan Genshin Impact pada bulan kedua lebih kecil daripada pemasukan mereka pada bulan pertama, yang mencapai US$245 juta.

Sepanjang 2020, Pemasukan Franchise Call of Duty Tembus US$3 Miliar

Setelah peluncuran Call of Duty: Black Ops Cold War, Activision mengungkap bahwa total net bookings dari franchise Call of Duty telah menembus US$3 miliar dalam 12 bulan belakangan. Menurut Activision, net bookings merupakan total penjualan secara fisik dan digital, termasuk biaya lisensi, merchandise, dan insenstif untuk publisher game dalam periode tertentu.

Pada 2020, nilai net bookings dari franchise Call of Duty naik 80% dari tahun lalu. Sementara jumlah unit game yang terjual naik 40%. Activision menyebutkan, ada 200 juta orang yang memainkan game Call of Duty pada tahun ini, menurut laporan IGN.

Dua Eksekutif BioWare Keluar, Pengembangan Mass Effect dan Dragon Age Tetap Berjalan

Dua eksekutif BioWare, Casey Hudson dan Mark Darrah memutuskan untuk keluar dari studio game tersebut. Di BioWare, Hudson menjabat sebagai General Manager, sementara Darrah adalah Executive Producer untuk Dragon Age.

BioWare akan tetap mengembangkan Dragon Age 4.
BioWare akan tetap mengembangkan Dragon Age 4.

Namun, BioWare dan publisher Electronic Arts meyakinkan para fans bahwa keputusan Hudson dan Darrah untuk mengundurkan diri tidak akan mengganggu proses pengembangan game-game baru BioWare, seperti Mass Effect: Legendary Edition, Dragon Age 4, dan Anthem Next, menurut laporan VentureBeat.

EXP Esports Menangkan Free Fire Continental Series 2020, PUBG Mobile Kolaborasi dengan Rich Brian

Pekan lalu, ada beberapa berita menarik terkait esports. Salah satunya, EXP Esports berhasil memenangkan Free Fire Continental Series 2020 dan membawa pulang US$80 ribu (sekitar Rp1,1 miliar). Selain itu, Duracell menjadi sponsor dari Ellevens Esports milik Gareth Bale, sementara Red Bull bekerja sama dengan T1 dari Korea Selatan.

PUBG Mobile Kerja Sama dengan Rich Brian

PUBG Mobile akan berkolaborasi dengan rapper Indonesia, Rich Brian. Salah satu bentuk kerja sama itu adalah Brian akan memiliki voice pack dan mengisi suara dalam game battle royale tersebut. Selain itu, single dari Brian, Love in My Pocket, juga akan dirilis dalam PUBG Mobile. Sebelum ini, Brian juga ikut memeriahkan turnamen PMPL SEA Finals Season 2 pada Oktober 2020, seperti dikutip dari Antara. Kali ini bukan pertama kalinya PUBG Mobile menggandeng musisi sebagai rekan. PUBG Mobile juga pernah berkolaborasi dengan BlackPink.

EXP Esports Menangkan Free Fire Continental Series 2020

EXP Esports berhasil membawa pulang trofi dari Free Fire Continental Series (FFCS) 2020. Di awal babak final, performa tim asal Thailand itu tidak begitu baik. Mereka hanya dapat duduk di peringkat enam walau mereka berhasil membunuh tujuh pemain lain, menjadikan mereka sebagai tim dengan jumlah kill terbanyak kedua. Namun, perlahan, performa mereka membaik dan mereka berhasil mendapatkan satu BOOYAH!

EXP Esports menangkan FFCS
EXP Esports berhasil memenangkan FFCS 2020. | Sumber: Egg Network

EXP Esports sempat kesulitan untuk menghadapi King of Gamers Club, yang juga berasal dari Thailand, menurut Egg Network. Namun, kekukuhan mereka berhasil membuat mereka unggul walau hanya dengan selisih satu poin pada pertandingan terakhir. Dengan begitu, mereka berhasil keluar sebagai juara FFCS 2020 dan membawa pulang US$80 ribu (sekitar Rp1,1 miliar). King of Gamers Club membawa pulang US$ 50 ribu (sekitar Rp707 juta) sebagai juara dua sementara RRQ Hades US$30 ribu (sekitar Rp424 juta) sebagai juara tiga.

Duracell Jadi Sponsor dari Ellevens Esports Milik Gareth Bale

Duracell menjadi sponsor pertama dari Ellevens Esports, organisasi esports milik pesepak bola Gareth Bale. Melalui sponsorship ini, tim Ellevens akan menampilkan logo Duracell dalam seragam mereka. Tak hanya itu, mereka juga akan mempromosikan Duracell melalui berbagai program digital dan kegiatan dalam game FIFA.

“Kami tahu bahwa gaming dengan cepat menjadi hiburan yang paling digemari, tidak hanya di Inggris Raya, tapi di seluruh dunia,” kata Luke Anderson, Marketing Manager, Duracell Inggris & Irlandia, menurut laporan Game Reactor. “Data kami pada tahun ini menunjukkan meningkatnya pembelian baterai, untuk digunakan pada game controller. Hal ini menunjukkan peran Duracell dalam memberikan pengalaman bermain yang baik pada para gamer.”

Red Bull Tanda Tangani Kerja Sama dengan T1

Red Bull mengumumkan kerja samanya dengan T1 Entertainment & Sports, organisasi esports asal Korea Selatan yang paling dikenal dengan tim League of Legends mereka. Kerja sama yang akan berlangsung selama lebih dari satu tahun ini akan mencakup semua tim T1, termasuk VALORANT, Fortnite, PUBG Mobile, Super Smash Bros. Ultimate, dan lain-lain. Dengan ini, para pemain T1 akan bisa menggunakan fasilitas pelatihan milik Red Bull yang terletak di Austria dan California, Amerika Serikat.

Red Bull bekerja sama dengan T1. | Sumber: Esports Insider
Red Bull bekerja sama dengan T1. | Sumber: Esports Insider

“Sebagai gamer profesional, saya minum energy drink selama latihan dan sebelum pertandingan,” kata Lee “Faker” Sang-hyeok, mid-laner League of Legends T1, seperti dikutip dari Esports Insider. “Kami semua di T1 senang dengan kerja sama baru kami bersama Red Bull.”

ESPN Beli Hak Siar Turnamen VALORANT First Strike di Brasil

ESPN mendapatkan hak siar atas turnamen esports VALORANT First Strike di Brasil. Melalui kolaborasi dengan Riot Games itu, ESPN juga mengamankan kontrak dengan caster VALORANT, Bernardo “BiDa” Moura dan Nicolas “Nicolino” Emerenciano serta tiga analis, yaitu Guilherme ‘Tixinha’ Cheida, Gustavo ‘Melão’ Ruzza, dan Leticia Motta. ESPN akan menyiarkan turnamen First Strike di aplikasi dan channel berbayar mereka.

Menurut laporan The Esports Oberver, ESPN mengungkap bahwa mereka akan menutup divisi esports mereka. Namun, di cabang Brasil, divisi esports ESPN tampaknya masih akan beroperasi. Biasanya, ESPN membahas berita esports di channel dan situs lokal mereka.

Ninjas in Pyjamas Berkolaborasi dengan Leeds United

Organisasi asal Swedia, Ninjas in Pyjamas (NiP), baru saja mengumumkan kerja sama mereka dengan Leeds United, klub sepak bola asal Inggris. Bersama Leeds United, NiP akan mempromosikan esports FIFA dan ikut serta dalam ePremier League Season 3, yang baru diumumkan beberapa waktu lalu. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai dari kerja sama ini. Satu hal yang pasti, NiP dan Leeds United akan saling mempromosikan satu sama lain, lapor The Esports Observer.

Irisan Antara Organisasi Esports dan Klub Sepak Bola

Dalam bahasa Inggris, ada ungkapan: if you can’t beat them, join them. Hal inilah yang dilakukan oleh klub sepak bola pada esports. Walau pada awalnya dipandang sebelah mata, esports kini telah menjadi industri yang besar. Melihat hal ini sebagai kesempatan, klub-klub sepak bola pun mulai terjun ke dunia esports, baik dengan menggaet pemain profesional, bekerja sama dengan organisasi esports, atau bahkan membuat divisi esports sendiri. Dan fenomena ini juga terjadi di Indonesia.

 

Klub Sepak Bola Mana Saja yang Telah Menjajaki Esports?

Klub sepak bola pertama yang menjajaki dunia esports, menurut laporan The Esports Observer, adalah Besiktas Istanbul dari Turki. Mereka membuat Besiktas e-Sports Club pada Januari 2015. Sayangnya, tim esports itu tidak bertahan lama. Pada Januari 2016, divisi esports Besiktas dibubarkan. Namun, hal itu tidak mengurungkan niat dari klub sepak bola lain untuk masuk ke dunia esports.

Sejak 2015, ada banyak klub sepak bola yang masuk ke dunia esports. Dan masing-masing klub sepak bola punya pendekatan yang berbeda-beda. Misalnya, ketika memasuki dunia esports pada 2015, VFL Wolfsburg —  klub sepak bola yang berlaga di Bundesliga, Jerman  — memilih untuk menggandeng pemain FIFA, Benedikt “Salz0r” Saltzer. Wolfsburg bukan satu-satunya klub sepak bola yang memilih pendekatan ini. Pada Mei 2016, West ham United juga bekerja sama dengan Sean “Dragonn” Allen. Pada tahun yang sama, Manchester City juga menarik pemain FIFA profesional Kieran “Kez” Brown 

Di Indonesia, kebanyakan klub sepak bola yang masuk ke esports mengambil pendekatan ini. Sebut saja PERSIJA dan klub-klub sepak bola lain yang ikut serta dalam Indonesia Football e-League (IFeL), Liga 1 versi virtual. Para gamer profesional yang digaet oleh klub-klub sepak bola ini juga bukan pemain sembarangan. Kebanyakan dari mereka sudah berhasil menorehkan prestasi di skena esports PES, seperti Rizal “Ivander” Danyarta yang mewakili PERSIJA, Rizky Faidan yang membawa nama PSS Sleman, atau LuckyMaarif yang mewakili PERSIK Kediri.

Rizky Faidan berhasil lolos ke World Finals PSE 2019. | Sumber: Bola
Rizky Faidan berhasil lolos ke World Finals PSE 2019. | Sumber: Liga1PES

Pendekatan lain yang biasa klub sepak bola lakukan ketika mereka hendak masuk ke dunia esports adalah dengan menggandeng organisasi esports. Strategi ini masuk akal. Jika Anda hendak terjun ke industri baru yang tidak terlalu dipahami, daripada harus belajar dari nol dan melakukan segala sesuatunya sendiri, lebih mudah untuk bekerja sama dengan pihak yang sudah berkecimpung di industri tersebut.

Klub sepak bola pertama yang menggunakan strategi ini adalah Santos FC. Pada Agustus 2015, klub asal Brasil itu menggandeng Dexterity Team, yang memiliki roster di League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, Battlefield 4, dan Heroes of the Storm. Pada tahun berikutnya, Clube do Remo, yang juga berasal dari Brasil, menggaet Brave e-Sports, yang berlaga di Hearthstone, Heroes of the Storm, dan SMITE.

Belum lama ini, pada November 2020, AC Milan mengumumkan kerja sama mereka dengan tim esports lokal Qlash. Sementara itu, Juventus menunjuk Astralis — yang dikenal dengan tim CS:GO mereka — untuk mewakili mereka di liga PES eFootball musim 2019/2020.

Ada juga klub sepak bola yang memilih untuk membentuk divisi esports sendiri, seperti Arsenal. Namun, mereka tidak memegang manajemen dari divisi tersebut. Arsenal menyerahkan tanggung jawab penuh atas divisi esports mereka Esports Gaming League, mulai dari pencarian talenta, wawancara dengan calon pemain, sampai tanda tangan kontrak.

Menariknya, kesertaan klub sepak bola di industri esports tidak terbatas pada liga sepak bola virtual. Ada beberapa klub sepak bola yang membuat tim yang berlaga di game esports lain selain FIFA dan PES. Contohhnya adalah Schalke 04. Tim sepak bola Jerman itu membeli slot liga League of Legends Eropa dari tim esports Elemenets pada 2016. Sampai sekarang, tim esports Schalke masih berlaga di League of Legends European Championship. Pada LEC Summer 2020, mereka berhasil duduk di peringkat lima dan memenangkan US$14.802.

Schalke 04 punya tim League of Legends.
Schalke 04 punya tim League of Legends.

Contoh lainnya adalah Paris Saint-Germain. Saat ini, mereka punya tim yang bertanding di tiga game esports, yaitu Dota 2, League of Legends, dan Brawl Stars. Sebelum ini, PSG juga pernah mencoba masuk ke Mobile Legends dengan menjalin kerja sama dengan RRQ. Sayangnya, kerja sama itu hanya bertahan selama satu setengah tahun.

 

Kenapa Klub Sepak Bola Tertarik Masuk ke Esports?

Sebelum ini, Hybrid pernah membahas betapa pentingnya regenerasi pemain di dunia esports. Saya percaya, di dunia sepak bola, regerasi juga sama pentingnya, baik regenerasi pemain maupun fans. Menurut data perusahaan marketing, CSM Sport & Entertainment, umur rata-rata fans Premier League adalah 42 tahun. Sebagai perbandingan, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Paper Money Grading pada 2018. Jadi, jika ditanya apa alasan klub sepak bola berbondong-bondong masuk ke dunia esports, salah satu jawabannya adalah darah muda.

“Fakta bahwa umur rata-rata fans sepak bola terus naik memaksa tim-tim sepak bola untuk memikirkan cara agar mereka bisa bertahan dan tetap relevan bagi fans generasi berikutnya. Apa yang harus klub sepak bola lakukan untuk memastikan mereka tetap menarik bagi para sponsor?” ujar Corporate Strategy Director, CSM Sport & Entertainment James Gallagher-Powell dalam ESI Digital Summer, seperti dikutip dari Insider Sport. “Melalui esports, klub sepak bola bisa membuat fans muda tertarik untuk menonton pertandingan sepak bola, yang merupakan bisnis utama mereka. Jadi, mereka bisa memastikan bahwa mereka tetap populer di generasi muda sehingga mereka tetap bisa mendapatkan untung di masa depan.”

Hal serupa diungkapkan oleh Chairman dari European Club Association dan Chairman dari Juventus, Andrea Agnelli. Tahun lalu, dia mewanti-wanti, industri sepak bola harus siap bersaing dengan industri game dan esports dalam memperebutkan hati penonton.

“Sekarang, kebiasaan para fans mulai berubah,” ujar Agnelli, lapor Goal. “Kita kini menghadapi ‘Gen Z’, digital natives yang kini mulai beranjak dewasa. Kita harus tahu bagaimana kebiasaan mereka. Kita harus sadar, kita tidak hanya bersaing dengan klub sepak bola lain, tapi juga esports, League of Legends, dan Fortnite. Ke depan, merekalah yang harus kita hadapi.”

 

PENONTON

Penonton bukan satu-satunya keuntungan yang bisa didapatkan oleh klub sepak bola ketika mereka masuk ke dunia esports. Menurut Gallagher-Powell, esports bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi klub sepak bola di masa depan. Dia menyadari, biaya franchise liga esports besar kini ada di rentang harga US$10-50 juta, sama seperti nilai liga sepak bola Eropa sekitar 20 tahun lalu.

Memang, pada 2018, slot di League of Legends European Championship dihargai US$13 juta. Di tahun yang sama, Activision Blizzard mematok harga slot Overwatch League di US$20 juta untuk 12 tim pertama. Mereka kemudian menawarkan slot ekstra yang dihargai sekitar US$30-60 juta.

Klub sepak bola juga bisa menjadikan esports sebagai alat marketing, menurut Co-founder dan Managing Director Esports Insider, Sam Cooke. Klub yang berhasil melakukan ini adalah Manchester City. Pada September 2019, Manchester City mengumumkan kerja samanya dengan FaZe Clan. Melalui kerja sama ini, keduanya akan membuat merchandise co-branded edisi terbatas. Tak hanya itu, Manchester City juga punya pemain profesional yang mewakili mereka dalam pertandingan FIFA. Dengan begitu, para fans esports akan menjadi familier dengan nama Manchester City.

Hanya saja, esports dari game olahraga seperti FIFA dan PES masih kalah populer dari game esports MOBA dan FPS, seperti Dota 2 atau CS:GO. Menurut Remer Rietkerk, Head of Esports at Newzoo, tiga game esports yang paling populer adalah League of Legends, CS:GO, dan Dota 2. Di YouTube dan Twitch, total watched hours dari ketiga game itu mencapai 845 juta jam pada 2019. Sebagai perbandingan, total watched hours FIFA 19 hanya mencapai 8 juta jam dan FIFA 20 hanya 3 juta jam.

“FIFA adalah game yang bagus dan banyak orang yang memainkan game itu. Tapi, tidak ada fans hardcore esports yang akan setia menonton game itu selama bertahun-tahun,” kata Carlos Rodriguez, pendiri G2 Esports, dikutip dari Financial Time.

Hal yang sama diungkapkan oleh Account Director, CSM Sport & Entertainment, Debs Scott-Bowden. Aktif dalam skena esports FIFA dan PES memang bukan langkah yang buruk bagi klub sepak bola, karena mereka dapat memberikan eksposur ekstra pada sponsor. Namun, jumlah penonton game esports bola memang tidak sebanyak game esports MOBA dan FPS.

Jadi, bagi klub sepak bola yang terjun ke esports demi menjangkau audiens lebih luas, mereka sebaiknya menyeburkan diri ke skena esports dari game yang lebih populer, seperti League of Legends dan CS:GO. Dan saat ini, sudah ada beberapa klub sepak bola yang telah melakukan hal ini, seperti Schalke 04, PSG, dan FC Copenhagen. Di Indonesia, contoh tim sepak bola yang melakukan ini adalah Bali United (IOG Esports), yang memiliki tim Free Fire dan Mobile Legends.

“Strategi ini memiliki risiko yang lebih tinggi daripada sekadar masuk ke esports game olahraga, tapi keuntungan yang ditawarkan juga lebih besar,” kata Gallagher-Powell. “Game esports non-sepak bola memiliki jumlah fans yang jauh lebih banyak dari fans esports dari FIFA dan Rocket League. Jika sebuah klub ingin menjangkau audiens baru, mereka sebaiknya membuat divisi esports dari game-game yang lebih populer.”

Biaya besar jadi salah satu kendala yang harus dihadapi oleh klub sepak bola jika mereka ingin membuat tim esports dari game yang populer. Ketika tim sepak bola ingin ikut masuk dalam liga esports dengan sistem franchise — seperti yang dilakukan oleh Schalke 04 — maka mereka harus membayar biaya yang tidak kecil. Tak hanya itu, gaji dari para pemain esports League of Legends, Dota 2, atau CS:GO juga lebih mahal dari pemain FIFA atau PES. Gallagher-Powell memperkirakan, gaji seorang pemain League of Legends kelas atas bisa digunakan untuk membiayai keseluruhan tim esports FIFA.

 

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, klub sepak bola dan pemain esports profesional dipertemukan dalam Indonesia Football e-League (IFeL). Putra Sutopo, Head of IFeL bercerita, “Ide awal untuk IFeL itu sebenarnya karena iri dengan negara tetangga yang punya Liga 1 virtual sendiri, sementara di Indonesia belum ada. Padahal, Liga 1 di Thailand itu diikuti oleh pemain-pemain dari Indonesia. Peringkat satu sampai lima saja rata-rata didominasi oleh pemain Indonesia.”

Putra mengaku heran dengan fenomena ini. Pasalnya, dia merasa, fans sepak bola di Indonesia tidak hanya banyak, tapi juga fanatik. Dari sana, dia lalu mengambil inisiatif untuk mengajak klub-klub sepak bola Liga 1 untuk ikut serta dalam IFeL. “Respons dan hasilnya di luar ekspektasi kita,” ujarnya. “Viewers-nya banyak banget, bahkan liga tetangga saja nggak seramai itu.”

Baik tim sepak bola maupun pemain profesional tentunya memiliki fans sendiri-sendiri. Putra mengungkap, penonton IFeL adalah gabungan dari keduanya. Dia juga yakin, liga sepak bola dan liga esports bisa berjalan berdampingan, tanpa harus khawatir akan saling berebut penonton. “Kita justru bakal jadi pre-event-nya,” ujar Putra. “Misalnya, pertandingan jam 7 malam, kita bakal tanding di jam 5.”

Fans sepak bola di Indonesia cenderung fanatik.
Fans sepak bola di Indonesia cenderung fanatik.

Menurut Putra, kerja sama antara tim sepak bola dengan pemain profesional merupakan simbiosis mutualisme. Industri esports akan diuntungkan karena semakin banyak pihak yang ikut serta dalam mengembangkan industri itu, khususnya skena sepak bola virtual.

“Selain itu, karena semakin banyak klub bola yang terjun ke industri esports, hal ini juga bakal buat PSSI melek akan industri sepak bola virtual,” ungkapnya. “Menurutku, ini langkah awal yang baik untuk industri sepak bola virtual, mengingat negara kita sebenarnya masih ketinggalan sama negara tetangga dalam hal pengembangan industri esports sepak bola virtual.”

Bagi pelaku industri esports, khususnya game sepak bola, ada keuntungan lain yang bisa didapat dengan melibatkan klub sepak bola dalam liga esports, ungkap Rizki Darmawan, CEO dan Founder dari IVPL. Keuntungan itu adalah ikatan emosional. Saat ini, dia menjelaskan, alasan kebanyakan orang menonton konten game atau pertandingan esports sepak bola adalah karena mereka ingin tahu tentang tips dan trik dalam bermain atau karena mereka tertarik dengan sang pembuat konten atau pemain yang bertanding. Mereka kurang tertarik pada konten esports sepak bola itu sendiri.

Lain halnya dengan fans klub sepak bola, ujar Rizki. Mereka biasanya punya ikatan emosi yang kuat pada klub, sehingga mereka akan tetap setia mendukung tim favoritnya, tak peduli apakah tim itu menang atau kalah. Dengan melibatkan klub sepak bola di liga sepak bola virtual, diharapkan, para penonton juga menjadi lebih setia pada game sepak bola virtual itu sendiri. Karena itulah, IVPL berencana untuk bekerja sama dengan tim-tim Liga 2.

“Kami ingin tap in ke Liga 2 agar muncul emotional bond. Karena kalau sudah suka, meskipun klubnya papan bawah, seorang fan akan tetap dukung klub itu. Kami ingin memanfaatkan kedekatan emosi ini untuk sesuatu yang berbeda,” ujar Rizki. Dia membandingkan ikatan emosi antara fans klub sepak bola dengan fans seorang artis. “Apapun yang sang artis lakukan, para fans akan mau tahu. Itu formula yang ingin kami gunakan.”

Satu hal yang membedakan IFeL dan IVPL adalah IFeL fokus pada pertandingan 1v1 di PES, sementara IVPL fokus pada laga 11v11 di FIFA. Rizki mengungkap, tujuan jangka panjangnya adalah untuk membuat tim nasional sepak bola virtual.

Ketika ditanya apa keuntungan yang didapatkan oleh klub sepak bola jika mereka terjun ke esports, Rizki mengungkap, “Mereka akan mendapatkan fans baru, sumber pemasukan baru, dan bisa jual merchandise baru.” Dia menambahkan, mengurus liga virtual juga relatif lebih mudah. Alasannya, pertandingan bisa dijalankan dan ditonton dari rumah. “Jadi, Anda tidak harus datang ke kota tempat pertandingan diadakan. Hal ini akan menghemat biaya. Nanti, tinggal bagaimana cara me-manage turnamen,” ujarnya.

Senada dengan Rizki, Putra menyebutkan, masuk ke esports akan memungkinkan klub sepak bola untuk memperluas pasar mereka dan menjangkau generasi milenial. “Kalau mereka bisa memanfaatkan ini dengan baik, esports bisa jadi metode bisnis baru yang mengguntungkan untuk para klub bola,” ungkapnya. “Sayangnya, belum banyak klub-klub sepak bola di Indonesia yang mengerti bisnis model esports.”

Lebih lanjut Putra menjelaskan, ketika klub sepak bola membuat tim esports dan merekrut pemain profesional, mereka akan bisa membuat tim tersebut untuk ikut dalam pertandingan esports. “Hal ini bisa jadi pemasukan untuk klub,” katanya. “Sponsor? Karena merek mereka sudah besar, tidak begitu sulit bagi mereka untuk mendapatkan sponsor demi manajemen esports.” Dia menambahkan, klub juga bisa mendapatkan untung dari penjualan atau peminjaman pemain profesionalnya.

Untuk masalah ketidaktahuan klub sepak bola akan esports, Putra merasa, masalah ini bisa diselesaikan dengan membuka wawasan tim-tim sepak bola tentang industri esports. “Mereka seperti itu karena belum tahu bagaimana sistem bisnisnya. Makanya, perlahan dengan adanya IFeL, terbukti ada beberapa klub yang buka tim esports, seperti PERSITA,” ungkap Putra.

 

Kesimpulan

Ada beberapa alasan kenapa sepak bola bisa menjadi salah satu olahraga paling populer di dunia. Salah satunya adalah peraturan yang mudah. Alasan lainnya adalah karena bermain bola tidak memerlukan peralatan khusus. Anda hanya memerlukan bola, tempat yang cukup luas, dan tentu saja, teman bermain. Namun, sekarang, hal-hal tersebut semakin sulit untuk didapatkan. Sebaliknya, smartphone justru semakin mudah didapatkan. Tak hanya itu, ada banyak game yang bisa dimainkan dengan gratis. Jadi, jangan heran jika sebagian orang lebih memilih untuk bermain game daripada sepak bola.

Kabar baiknya, sepak bola dan game serta esports, sebenarnya tidak harus saling bermusuhan. Keduanya bisa berdiri berdampingan. Buktinya, selama pandemi virus corona, berbagai liga sepak bola dialihkan menjadi pertandingan sepak bola virtual, seperti liga di Singapura dan Malaysia.

Kolaborasi antara klub sepak bola dengan pemain esports juga terbukti menguntungkan kedua belah pihak. Jadi, daripada saling menyerang satu sama lain dan membuat perebutan penonton sebagai zero-sum game, tidak ada salahnya jika pelaku industri esports dan sepak bola justru saling membantu satu sama lain.

Feat Image: Deposit Photos