Nicko Widjaja dari BRI Ventures Mengimbau VC untuk Tidak Gegabah Masuk ke Pasar Sekunder

Bagi sebagian besar startup, pendanaan diperkirakan akan mengering selama krisis COVID-19. Valuasi akan menurun serta investor akan mulai membatasi diri.

Nicko Widjaja, selaku CEO dari BRI Ventures, sebuah perpanjangan tangan investasi dari perusahaan BUMN pemberi pinjaman terbesar di Indonesia, mengatakan kepada KrASIA bahwa mereka tidak akan menunda investasinya. Dia melihat celah keuntungan bagi perusahaan dengan uang kas (dry powder) seperti yang ia kelola – mereka dapat membeli dengan harga lebih rendah.

Nicko mengatakan bahwa untuk dana yang saat ini ia kelola, sekarang adalah “waktunya membeli”, dan bahwa VC tidak perlu terburu-buru exit, karena akan mengurangi profit. Sebagaimana KrASIA berbicara dengannya melalui WhatsApp.

KrASIA (Kr): Terkait penyebaran virus COVID-19 di Indonesia, apakah hal ini mempengaruhi BRI untuk menunda investasi? Berapa banyak startup yang akan di-invest tahun ini?

Nicko Widjaja (NW): Tidak ada penundaan dalam rencana investasi. Kami percaya ekosistem akan membaik seiring berjalannya waktu. Lagipula, BVI baru dibentuk tahun lalu dan telah mengikat beberapa deals jauh sebelum kasus COVID-19 melanda. Dari awal, BVI bukan semata-mata investor yang impulsif.

Namun, dalam masa ketidakpastian ini, kami akan menerapkan skenario stress test yang lebih hati-hati kendati pertumbuhan semua startup — termasuk unicorn — akan terhalang dan proyeksi akan tertunda. Kami akan terus membangun bisnis dan koneksi. Secara pribadi, saya percaya tahun ini akan menjadi tahun sinergi, di mana startup dan perusahaan bekerja sama lebih erat untuk kembali pada situasi sebelum COVID-19 mewabah.

Dalam hal berinvestasi, kondisi ini adalah sebuah keuntungan untuk perusahaan dengan uang kas (dry powder) seperti kami, ketika valuasi menurun serta kompetisi merenggang. Namun, hal ini tidak berlaku pada para pendahulu di masa 2015/16 di mana mereka seharusnya menuai hasil di masa sekarang. Bagaimanapun, likuiditas harus tercapai. Jika tidak, akan sulit untuk meyakinkan calon LP maupun yang sudah ada.

Kr: Bagaimana Anda melihat proses exit pada umumnya, secara khusus IPO dan M&A?

NW: Dalam hal exit, ticket size serta kegiatan pendukungnya sedang menurun. Sebagian besar valuasi berkurang secara signifikan karena target tengah terkena dampak setidaknya untuk dua kuartal berikutnya. Mereka yang menggalang Seri D sekarang menjadi Seri C2, Seri C kini menjadi Seri B2, hingga seterusnya. Startup tahap awal adalah yang paling terdampak karena memiliki jenjang yang lebih pendek, pada masa pertumbuhan startup perlu menyesuaikan cash-burn untuk meneruskan operasional, dan rencana likuiditas startup tahap akhir, baik IPO maupun M&A, akan ditunda.

Dana dari tahun terdahulu, 2017/18 — yang berada di pertengahan atau akhir periode penyebarannya — sekarang memasuki masa ketidakpastian, di mana mereka mencoba menyesuaikan rencana semula dengan situasi terkini, terutama ketika mereka mengikat komitmen besar di wilayah ASEAN. Saya tahu beberapa dana kelolaan yang memiliki rencana investasi dalam waktu dekat. Saat ini, mereka baru mendistribusikan sepertiga atau seperempat dari komitmen mereka karena situasi yang tidak pasti.

Tidak diragukan lagi bahkan dana kelolaan pertama kami di MDI Ventures (termasuk yang terdahulu di 2016), yang berhasil mencapai lima exit tahun lalu serta dua exit sebelumnya — yang terakhir adalah ObserveIT, sebuah perusahaan keamanan siber AS-Israel — akan menghadapi tantangan lebih keras untuk bisa exit tahun ini, meskipun likuiditas masih utuh dari aksi sebelumnya.

Kr: Apa yang sekiranya menjadi strategi terbaik untuk VC dalam situasi seperti ini?

NW: Dalam konteks dana kelolaan seperti kami atau Tanglin Venture Partners—menurut sebuah tulisan yang berjudul “COVID-19 Tantangan & Pertanyaan” oleh Pendiri SEA – ini adalah waktu pembelian, terutama bagi mereka yang baru saja mengumpulkan uang dan memiliki cukup uang kas untuk digunakan.

Bagi mereka yang mencari likuiditas, strategi terbaik adalah untuk masuk ke pasar sekunder, meskipun hal ini akan memberikan nilai tawar paling rendah, karena likuiditas terjadi dalam jangka waktu yang sangat singkat. Hal ini berlaku, terutama untuk dana kelolaan terdahulu di 2015/16, atau mereka tidak akan bisa menggalang dana di putaran berikutnya.

Penjualan di pasar sekunder bukanlah sesuatu yang ideal untuk VC. Hal ini akan menunjukkan kurangnya manuver general partner di masa pergolakan, karena tidak menyanggupi pengembalian modal yang paling diinginkan. Jika kita menganggap bencana COVID-19 hanya sementara, mengapa harus gegabah menjual di pasar sekunder pada masa ketidakpastian ini?

Namun, kita telah memasuki situasi normal yang baru sekarang, dan pasar sudah terlalu kaya sangat lama. Saya percaya mereka sudah mengetahui hal ini.

Jika bisa berkata, sejujurnya, saya percaya pemulihan pasar pada sektor teknologi di region ini menjadi harapan kita semua, memisahkan yang serius dan yang hanya berpura-pura. Saya menaruh harapan pada ekosistem VC, dan inilah saatnya kita memperkuat bisnis dengan lebih lagi.

Kr: Berapa banyak VC yang seharusnya menuai hasil namun pada akhirnya gagal?

NW: Mereka yang menutup penggalangan dana pada 2015/2016. MDI Ventures menjadi salah satunya tetapi telah terbukti solid, setelah membukukan tujuh exit dari 30 portofolio pada tahun 2018 dan 2019, dengan pengembalian rata-rata 300-700%.

Dana kelolaan dari tahun terdahulu di 2015/16 yang belum menutup putaran kedua yang signifikan hampir dpastikan akan hancur. Ketika saya memimpin MDI Ventures, kami menyadari bahwa likuiditas amatlah penting, bahkan untuk usaha korporasi seperti saat itu.

Kita telah menikmati hidup di dunia dongeng bersama para unicorn dan centaur namun dengan dana 20 kali lipat saja kini tidak lagi bisa disebut layak.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Dana Konglomerat Terus Mengalir untuk Industri Teknologi Indonesia

Sejak awal tahun 2000-an, ekonomi internet Indonesia yang terus berkembang telah menjadikan negara ini salah satu pasar paling menguntungkan di Asia Tenggara. Hal ini banyak menarik perhatian keluarga konglomerat di tanah air, yang melihat peluang untuk membuka pintu baru bagi bisnis mereka.

Sebagai pasar yang terhubung secara digital dengan 171,1 juta pengguna internet serta masih banyak ruang untuk bertumbuh, kancah teknologi Indonesia akan terus berkembang. Sebuah laporan kolaborasi dari Google, Temasek, dan Bain & Company memperkirakan bahwa ekonomi digital Indonesia akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, dengan nilai pasar USD 130 miliar pada tahun 2025. Perusahaan teknologi di negara ini menarik perhatian dari seluruh dunia, dengan investor dari Jepang, Cina, dan India semuanya menaruh uang mereka di startup lokal.

Para taipan lokal pun tidak mau ketinggalan. Ketika generasi kedua dan ketiga dari keluarga terkaya di Indonesia memperoleh keunggulan dan mengambil posisi penting di perusahaan milik keluarga, mereka juga menciptakan perubahan dalam bisnis tersebut.

Muda dan ingin mengukir nama dalam sejarah, mereka mencoba peruntungan dengan berinvestasi di pasar digital, menciptakan senjata baru dalam bisnis keluarga mereka. Setelah tumbuh dalam lingkungan digital, mereka mungkin melihat peluang yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh orang tua mereka. Mereka juga cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik tentang risiko dan peluang yang diwujudkan oleh startup teknologi.

KrASIA telah membuat profil lima konglomerat terkemuka Indonesia yang aktif terlibat dalam dunia startup lokal. Beberapa dari mereka telah mencoba meluncurkan usaha teknologi mereka sendiri, sementara yang lain memilih untuk tetap berada di belakang layar sebagai pemodal.

Keluarga Riady

riady family

Berawal dari Mochtar Riady, keluarga memulai bisnis mereka dengan mendirikan Bank Lippo pada tahun 1948. Mereka kemudian menggunakan platform ini untuk proyek pengembangan properti, yang akhirnya menjadi sumber pendapatan terbesar mereka. Keluarga ini memiliki berbagai lini bisnis, mulai dari perhotelan, ritel, perawatan kesehatan, pendidikan, media, telekomunikasi, jasa keuangan dan investasi, serta teknologi digital.

Usaha mereka ke dalam industri teknologi dipimpin oleh direktur Lippo Group saat ini, John Riady, yang terlibat dalam sebagian besar transaksi terkait teknologi yang dilakukan oleh Lippo Group. Tanpa ragu, John adalah wajah dari kerajaan digital keluarga.

Salah satu dari tiga mitra pengelola Venturra Capital adalah lulusan muda Ivy League— yang sebelumnya dikenal sebagai Lippo Digital Ventures. Firma modal ventura sektor-agnostik ini berhasil mengumpulkan USD150 juta pada tahun pertama mereka dan melakukan investasi di berbagai perusahaan baru. Portofolio mereka diantaranya adalah startup teknologi pendidikan yang berbasis di Indonesia, Ruangguru dan platform e-commerce fesyen Zilingo.

Pada bulan September 2018, Venturra Capital meluncurkan lengan benih baru yang disebut Venturra Discovery, dengan USD 15 juta yang diperoleh semata-mata dari Lippo Group. Perusahaan ini bertujuan untuk melakukan investasi 30-40 sebelum 2022, dengan ukuran tiket antara USD 200.000 dan USD 500.000.

Termasuk salah satu usaha investasi mereka adalah kemitraan strategis dengan Grab super-app yang berbasis di Singapura pada Maret 2016, di mana John Riady mengklaim kelompok itu adalah “salah satu investor awal” melalui Venturra Capital.

Grup ini juga pernah meluncurkan platform e-commerce mereka sendiri, Matahari Mall — versi online dari Matahari Department Store — pada tahun yang sama. Dana sebesar USD500 juta ditetapkan sebagai investasi awal, berharap inisiatif tersebut akan menjadi “Alibaba Indonesia.”

Namun, upaya ini tidak berakhir sebagaimana dimaksud. Bahkan setelah menerima tambahan $100 juta dari Mitsui Group Jepang pada tahun 2016, dan $44,2 juta dari Matahari Department Store, mereka masih tidak bisa masuk kompetisi di papan yang sama dengan Tokopedia yang didukung Alibaba dan Lazada. Grup ini akhirnya menutup situs Matahari Mall pada November 2018, menggabungkannya dengan platform online department store, matahari.com. Sang kepala keluarga, Mochtar Riady kemudian menganggap Matahari Mall sebagai kegagalan — dan pelajaran yang bisa dipetik sebelum usaha digital mereka berikutnya.

Pada Desember 2016, Lippo Group meluncurkan aplikasi pembayaran seluler, Ovo. Anak perusahaan akan menjadi unicorn kelima di Indonesia pada 2019, dengan valuasinya mencapai USD 2,9 miliar pada Maret tahun itu. Namun di balik itu spanduk prestasi adalah api unggun. Mochtar Riady mengklaim bahwa Lippo menghabiskan USD 50 juta setiap bulan untuk mempertahankan Ovo. Menolak untuk membakar uang lebih lama, kelompok itu dilaporkan menjual lebih dari 70% sahamnya di perusahaan fintech.

Sejauh ini, Lippo Group telah menjadi yang paling vokal tentang perannya dalam membentuk lanskap digital Indonesia.

Keluarga Widjaja

widjaja family

Keluarga Widjaja mendirikan dan mengendalikan Grup Sinar Mas yang sangat beragam. Eka Tjipta Widjaja, sang pendiri, memulai Sinar Mas pada tahun 1938, ketika ia masih berusia 15 tahun yang tinggal di Makassar, kota terbesar di wilayah timur Indonesia. Remaja itu menjual biskuit dan perbekalan kepada pasukan Indonesia di daerah itu.

Kemudian, ia memasuki sektor agribisnis dengan mendirikan perusahaan kertas, Tjiwi Kimia, di Surabaya, salah satu kota besar di Indonesia, pada tahun 1972. Pada tahun yang sama, ia terjun ke real estat dengan Duta Pertiwi. Sinar Mas berekspansi lebih lanjut dalam bentuk kertas, serta ke layanan keuangan dan telekomunikasi.

Mereka menjadi salah satu grup bisnis keluarga pertama yang berinvestasi dalam startup digital melalui kemitraan dengan East Ventures pada tahun 2012. Portofolio mereka yang paling terkenal termasuk rantai kopi Fore Coffee, e-commerce raksasa Tokopedia, dan agen perjalanan online (OTA) Traveloka.

Pada tahun 2018, bersama dengan East Ventures dan Yahoo Jepang, grup ini meluncurkan EV Growth, yang berfokus pada pendanaan startup tahap lanjut.

Sinar Mas mendirikan perusahaan modal ventura perusahaan berorientasi teknologi yang disebut Sinar Mas Digital Ventures (SMDV) pada tahun 2018. Perusahaan ini telah berinvestasi dalam startup seperti layanan grosir bahan makanan HappyFresh, startup periklanan Stickearn, dan perusahaan Software-as-a-Service logistik Waresix.

Salah satu pewaris keluarga Widjaja, Jesslyne Widjaja, sering terlihat menghadiri pengumuman pendanaan. Perannya dalam lengan investasi belum jelas, karena ia hanya disebut sebagai “perwakilan SMDV” dalam laporan media.

Pada tahun yang sama, grup Sinar Mas juga membentuk Latitude Venture Partners (LVP), dengan Linda Wijaya (ejaan modern untuk nama keluarga) ditunjuk sebagai mitra pengelola. Terlepas dari SMDV, LVP bertindak sebagai modal ventura dan investor, dengan pembagian sekitar 80/20 untuk dua jenis aktivitas bisnis dalam operasinya. Sebagai pembangun ventura, mereka bermitra dengan startup tahap awal dan berinvestasi di dalamnya; sebagai investor murni, mereka melihat startup tingkat menengah hingga akhir, menghabiskan USD 1–10 juta untuk setiap putaran.

Sementara SMDV adalah agnostik sektor, LVP lebih berfokus pada teknologi kesehatan dan fintech. Salah satu proyek LVP yang dikenal adalah SehatQ, aplikasi perawatan kesehatan yang didirikan oleh Linda Wijaya sendiri pada tahun 2018. LVP tidak membagikan informasi tentang investasi lainnya.

Sejauh ini, keluarga Wijaya telah diam tentang usaha mereka dalam ekonomi digital. Mereka kebanyakan bekerja di belakang layar sebagai investor, membantu pengusaha yang bersemangat untuk meluncurkan bisnis mereka.

Keluarga Hartono

Hartono family

Keluarga Hartono adalah salah satu nama pertama yang muncul di benak setiap kali topik konglomerat Indonesia diangkat dalam percakapan. Dua leluhur keluarga, Robert Budi Hartono dan Michael “Bambang” Hartono, secara konsisten menduduki peringkat teratas orang terkaya di Indonesia dalam dekade terakhir.

Keluarga ini membangun kekayaannya melalui Djarum, salah satu pembuat rokok terbesar di negara ini. Namun, selama krisis ekonomi Asia 1997-1998, saudara-saudara membeli saham di Bank Central Asia, yang dimiliki oleh konglomerat lain, kelompok Salim. Sejak itu menyumbang hampir dua pertiga dari pendapatan mereka.

Salah satu dari tiga putra Robert, Martin Basuki Hartono, adalah ujung tombak perpindahan keluarga ke dunia startup. Setelah menyelesaikan studinya di Amerika Serikat dan kembali ke Jakarta pada tahun 1998, Martin bergabung dengan perusahaan keluarga, Djarum, sebagai direktur teknologi bisnis. Dalam wawancara dengan media, dia tidak pernah gagal untuk menyebutkan hasratnya akan teknologi.

Pada 2010, ia memutuskan untuk memulai Global Digital Prima Venture (GDP Venture), yang menerima dukungan dari ayahnya. Dengan modal $ 100 juta, Martin melanjutkan belanja, membeli saham di beberapa situs web terpanas di negara itu, seperti forum internet terbesar di Indonesia pada waktu itu, Kaskus, situs belanja populer Blibli.com, aplikasi OTA Tiket.com, Gojek aplikasi super, dan aplikasi teknologi kesehatan HaloDoc.

Dia juga punya semangat tinggi untuk menelurkan generasi pengusaha teknologi berikutnya. Martin telah berinvestasi di PT Merah Putih Colony, yang menjalankan Inkubator Merah Putih, inkubator digital dan teknologi pertama di Indonesia.

Grup Djarum belum berusaha untuk membuat perusahaan startup sendiri. Mereka berperan sebagai investor dan induk.

Keluarga Salim

Salim family

Didirikan pada tahun 1972 oleh Sudono Salim, Grup Salim terkenal sebagai produsen mie instan Indomie yang populer. Selain menjalankan operasi penggilingan tepung raksasa Bogasari dan perusahaan manufaktur makanan Indofood, perusahaan ini telah terlibat dalam berbagai bisnis lainnya. Selama beberapa dekade terakhir, mereka memperluas bisnis mereka ke pengembangan properti dan real estat komersial. Mereka juga menjalankan salah satu rantai ritel terbesar di negeri ini, Indomaret, yang memiliki total 14.000 toko di seluruh nusantara.

Usaha digital mereka dimulai pada tahun 2014, ketika mereka menginvestasikan USD 445 juta di Rocket Internet yang berbasis di Berlin melalui anak perusahaan telekomunikasi asal Filipina yang berbasis di Salim Group, Philippine Long Distance Telephone Company. Meskipun investasi gagal menghasilkan pengembalian berlimpah, Grup Salim tidak mundur dari sektor ini.

Pada 2017, mereka memanfaatkan dunia teknologi lokal dengan menciptakan Blok71, inkubator yang terletak di salah satu kawasan bisnis tersibuk di Jakarta, dalam kemitraan dengan National University of Singapore Enterprise. Ahli waris generasi ketiga kelompok itu, Axton Salim, dilaporkan memulai kemitraan ini. Pria 41 tahun dengan basis pendidikan di AS ini percaya bahwa startup Indonesia menawarkan banyak ide segar yang layak untuk diinvestasikan, seperti dilaporkan oleh media lokal Katadata. Pada kesempatan ini, Axton juga mengungkapkan bahwa perusahaan keluarganya telah berinvestasi dalam startup layanan loker pintar Popbox.

Masih di tahun yang sama, grup ini bermitra dengan Lotte Group Korea Selatan untuk membentuk perusahaan patungan, yang menghasilkan peluncuran platform e-commerce iLotte. Situs belanja ini berfokus pada penjualan produk kecantikan Korea Selatan kepada pelanggan Indonesia. Kemitraan lain dengan entitas asing adalah dengan Liquid Inc Jepang, sebuah perusahaan startup biometrik. Salim Group juga berencana untuk meluncurkan layanan pembayaran seluler yang dijamin oleh otentikasi sidik jari.

Keluarga Sariaatmadja

satriaatmadja damily

Keluarga ini mendirikan PT Elang Mahkota Teknologi, yang dikenal luas sebagai Emtek, pada tahun 1983. Awalnya dimulai sebagai penyedia layanan komputer pribadi, ia telah berkembang menjadi grup bisnis modern dan terintegrasi dengan tiga divisi utama: media, solusi telekomunikasi dan IT, dan konektivitas .

Manuver digital paling terkenal Emtek adalah akuisisi BlackBerry Messenger pada 2016 di bawah anak perusahaan teknologi Kreatif Media Karya Online (KMK Online). Banyak yang menganggap langkah itu gegabah, karena banyak pengguna telah bermigrasi ke WhatsApp yang semakin populer.

Selain itu, KMK Online telah berinvestasi dalam e-commerce mode Bobobobo, Hijup pasar mode yang berorientasi Muslim, dan marketplace Bukalapak. Mereka juga mencurahkan dana ke berbagai startup media, seperti Vidio, memperkuat posisi mereka sebagai salah satu tokoh media Indonesia.

Apa yang terjadi dalam lanskap ini?

Adalah logis untuk berharap bahwa konglomerat Asia memiliki banyak keunggulan dibandingkan pemain yang lebih kecil karena koneksi yang ada, model bisnis yang kuat, serta akses awal ke sumber daya alam dan bakat. Namun, dalam laporan penelitian 2018 oleh Bain & Company, perusahaan menemukan bahwa manfaat itu terus berkurang sejak 2014.

Di pasar digital Indonesia yang sedang berkembang, investasi dalam startup teknologi lokal masih sangat didominasi oleh investor asing, terutama ketika menyangkut perusahaan yang akhirnya menjadi decacorn dan unicorn.

Fithra Faisal Hastiadi, seorang peneliti ekonomi di Universitas Indonesia, menjelaskan mengapa para tokoh terkemuka Indonesia enggan membudayakan diri secara mendalam di kancah startup. “Kami melihat dua model bisnis yang berbeda. Konglomerat sangat terbiasa dengan model bisnis tradisional yang bertujuan untuk keuntungan cepat dan berbasis aset. Startup, di sisi lain, mengejar impian, daya tarik, penilaian, leverage, dan dominasi pasar,” ujarnya pada KrASIA.

Biasanya, konglomerat lebih tertarik untuk berinvestasi dalam bisnis yang menjanjikan keuntungan dalam dua tahun. Namun, startup dapat beroperasi selama lebih dari lima tahun dengan valuasi tinggi tetapi tetap tidak menguntungkan. Inilah mengapa konglomerat yang mencoba membangun startup mereka sendiri, seperti Lippo Group dengan MatahariMall dan Ovo, menyerah di tengah jalan. Terlibat dengan ekonomi digital membutuhkan pola pikir yang berbeda secara inheren.

Mengenai angka investasi rendah konglomerat, Hastiadi menyatakan bahwa “pola pikir tradisional” adalah salah satu kendala terbesar. Meskipun keluarga-keluarga ini berkantong tebal, mereka cenderung mempertahankan uang mereka dengan ketat dan menuntut banyak hal dari para pendiri yang menerima dana dari mereka.

“Sebagian besar konglomerat masih melakukan investasi tradisional seperti melihat tingkat pengembalian yang tinggi dan investasi pengembalian. Model ini tidak berlaku jika kita berbicara tentang startup. Mereka perlu memperlakukan investasi di startups sebagai biaya hangus,” ujar Hastiadi. Sementara itu, investor asing, seperti pemodal ventura, memiliki pemahaman yang lebih baik tentang sifat berisiko dari investasi awal, menjadikan mereka sumber pendanaan yang disukai para pendiri.

Satu cara aman bagi konglomerat untuk tetap relevan di tengah gangguan digital dan perubahan cepat adalah dengan mengambil peran sebagai pengasuh. Klan-klan ini memiliki pengalaman luas dalam menjalankan bisnis menggunakan berbagai model operasional, dan kematangan itu menjadikan mereka mentor yang sempurna untuk wirausahawan baru. Secara khusus, strategi ini telah diterapkan oleh Martin Hartono dengan Inkubator Merah Putih dan Axton Salim’s Block71.

Hastiadi mengatakan program inkubasi adalah gaya baru konglomerat. Untuk mendominasi pasar, mereka harus mengendalikan rantai pasokan ujung ke ujung. Program-program inkubasi memberi para konglomerat kesempatan untuk mengamati dan memberi saran tentang startup yang dimulai dari tahap awal, sehingga memberikan peluang yang lebih baik untuk berhasil.

“Model inkubasi akan sangat bermanfaat bagi mereka. Mereka memiliki uang dan pengetahuan tentang model bisnis. Ini juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang sifat startup karena mereka mengamati dari awal. Mereka tahu apa saja kebutuhannya. Atau jika mereka melihat kegagalan, mereka dengan cepat memutar uang ke proyek potensial lainnya, ”katanya.

Untuk saat ini, hasil dari investasi dalam startup biasanya menyumbang sebagian kecil dari kekayaan konglomerat, terutama dibandingkan dengan sektor bisnis konvensional seperti real estat dan perbankan. Namun, sementara ekonomi digital tumbuh, keuntungan yang diperoleh dari layanan digital juga akan meningkat.

“Jika konglomerat ingin tetap relevan, mereka perlu memperkuat program inkubasi – memperkuat cengkeraman mereka sejak awal. Mereka juga harus lebih fleksibel ketika berinvestasi dalam startup. Mereka perlu menyadari bahwa itu adalah biaya yang sangat besar. Peluang sukses lebih kecil dari kegagalan, ”kata Hastiadi.

Itu berarti para tokoh terkemuka Indonesia harus bersabar. Mereka mungkin kehilangan uang saat ini, tetapi mereka bisa memimpin pasar digital sepuluh tahun dari sekarang — jika mereka mau mengubah perspektif mereka.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Pintek Menaruh Harapan pada Pertumbuhan Pasar Pinjaman Pendidikan Online di Indonesia: Startup Stories

Segmen pinjaman pendidikan online di Indonesia mungkin tidak sebesar dan produktif seperti pinjaman konsumen, dengan hanya beberapa pemain fintech yang menargetkan segmen ini. Namun, dengan jutaan siswa yang membutuhkan bantuan untuk membiayai pendidikan mereka, perusahaan mulai merambah segmen ini.

Presiden Indonesia Joko Widodo di tahun 2018 juga mendesak bank-bank lokal untuk memberikan lebih banyak pinjaman terkait pendidikan, dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di negara ini. Di antara beberapa bank yang mengikuti instruksi presiden adalah Bank Tabungan Negara (BTN) milik negara, yang menyalurkan IDR 33,83 miliar (USD 2,4 juta) kepada 470 siswa per Juli 2019, dan Bank Mandiri, yang menyalurkan pinjaman mahasiswa sebesar Rp 773 juta (USD) 56.512) per Agustus 2019.

Ada beberapa startup fintek yang juga ikut merambah segmen ini, sebut saja Dana Cita, Dana Didik, dan KoinWorks, namun seperti terpapar di media lokal The Jakarta Post, pinjaman dana pendidikan belum banyak mengambil hati publik.

Inilah yang mendorong eksekutif investasi dari Prancis Ioann Fainsilber bersama pengusaha Indonesia Tommy Yuwono untuk mendirikan perusahaan pinjaman Fintek Pintek pada tahun 2018, dengan tujuan untuk memberikan akses mudah ke pendidikan di Indonesia melalui kredit yang terjangkau dan fleksibel.

“Sektor pendidikan adalah sesuatu yang sangat kami perhatikan. Indonesia memiliki pasar yang sangat besar untuk segmen ini dan kami percaya bahwa pendidikan sangat penting untuk mendorong peningkatan kualitas kelas menengah. Namun, pinjaman pendidikan relatif tidak tersentuh oleh layanan keuangan dan teknologi, dan oleh karena itu kami pikir ini adalah waktu yang tepat bagi kami untuk terjun ke segmen [pendidikan] ini,” kata Ioann Fainsilber kepada KrASIA dalam sebuah wawancara belum lama ini.

Perusahaan ini melancarkan putaran pendanaan pra-Seri A pada November 2019, dipimpin oleh Global Founders Capital dengan partisipasi dari investor sebelumnya, Finch Capital dan Amand Ventures. Fainsilber mengatakan bahwa Pintek akan menggunakan dana segar ini dengan dua fokus: meningkatkan awareness tentang produk Pintek serta terhubung dengan sebanyak mungkin institusi, sementara juga meningkatkan kapasitas teknologi perusahaan untuk memberikan produk yang mudah digunakan tanpa hambatan.

Co-founder Pintek: Tommy Yuwono (kiri) dan Ioann Fainsilber. Dokumentasi foto oleh Pintek

Pintek memberikan pinjaman kepada siswa mulai dari taman kanak-kanak hingga pendidikan pascasarjana, serta bagi mereka yang berada dalam program pendidikan informal khususnya kursus kejuruan yang bertujuan mempersiapkan mereka untuk dunia kerja. Peminjam dapat mengajukan pinjaman mulai dari Rp3 juta (USD 218) hingga Rp500 juta (USD 36,439) dengan jangka waktu hingga dua tahun. Hingga saat ini, perusahaan telah menyalurkan lebih dari Rp27 miliar (USD 1,9 juta) dalam bentuk pinjaman kepada 1.700 siswa di 25 provinsi di Indonesia.

Pinjaman yang diajukan ke Pintek harus dilakukan oleh orang tua, meskipun siswa yang sudah memiliki pendapatan tetap juga berhak untuk mendaftar. Perusahaan mengenakan biaya bunga antara 0 dan 1,5% per bulan, ujar Ioann.

Menurutnya, kerjasama dengan institusi pendidikan merupakan strategi yang penting dalam bisnis. Startup ini telah berkolaborasi dengan setidaknya 100 institusi pendidikan, dimana 40% adalah universitas atau sekolah tinggi, seperti London School of Public Relation (LSPR), LaSalle College, dan Institut Teknologi Telkom Surabaya.

“Kolaborasi menjadi esensial bagi kami. Partner kami akan secara efektif memperkenalkan produk ini kepada pelanggan mereka. Misalkan, jika Anda seorang siswa di LSPR, Anda dapat memilih untuk membayar secara langsung, atau dalam bentuk tunai, dan Anda juga dapat membayar uang kuliah Anda dengan mencicil melalui Pintek,” tambahnya.

Edukasi pasar mengenai keuntungan pinjaman dana pendidikan merupakan tantangan terbesar Pintek dalam segmen ini, kata Ioann. “Orang Indonesia pada umumnya senang meminjam apa pun untuk konsumsi. Namun, meskipun pendidikan jelas merupakan investasi yang hebat, ada keraguan dari pelanggan apakah mereka benar-benar membutuhkannya atau tidak, jadi ada banyak upaya yang kami lakukan untuk edukasi pasar,” ujarnya.

Memperkenalkan education outcomes loan

Indonesia memiliki rasio pendaftara bruto untuk pendidikan tinggi yang rendah di angka 31%, jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia (38%), Thailand (54%), atau Singapura (78%), menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh Global Business Guide Indonesia. Masalah keuangan menjadi alasan utama.

“Rasio pendaftaran yang rendah menjadi salah satu masalah yang kami coba selesaikan. Namun, kami tidak hanya memberikan dukungan keuangan, tetapi juga ingin mempersiapkan siswa dengan lebih baik untuk pasar kerja dengan bekerja sama dengan berbagai institusi dan perusahaan,” kata Ioann.

Ke depannya, Pintek akan memperluas cakupan produk dan kemitraannya. Perusahaan akan meluncurkan produk baru yang disebut education outcomes loan bulan ini, bekerja sama dengan beberapa yayasan. Idenya adalah bahwa siswa akan mendapat keuntungan lebih dengan suku bunga yang lebih rendah jika mendapatkan nilai baik.

“Untuk proyek ini, kami menetapkan beberapa target untuk peminjam tertentu. Semakin tinggi nilai yang mereka dapatkan, semakin rendah tingkat suku bunga yang harus mereka bayar, dan itu bahkan bisa menjadi bunga negatif,” jelas Ioann.

Proyek pilot akan diluncurkan bulan ini bekerja sama dengan beberapa mitra sekolah, dan cakupannya akan berkembang secara bertahap dari waktu ke waktu. Pintek menargetkan untuk mencapai setidaknya seribu siswa di tahap uji coba.

“Saya pribadi ingin memasukkan semua peminjam saya ke dalam skema ini, tetapi itu akan tergantung pada seberapa banyak komitment modal yang bisa kami dapat. Kami sedang berdiskusi dengan beberapa organisasi internasional besar yang sangat tertarik dengan program ini, jadi kami sangat optimis dengan produk ini,” ujar Ioann, dilanjutkan dengan harapannnya agar pelajar lebih termotivasi dan bisa menghasilkan komunitas yang lebih berpendidikan.

Mekanisme pendanaan baru juga dapat menguntungkan mitra industri Pintek yang mengarahkan pendanaan tanggung jawab sosial perusahaan mereka melalui education outcomes loan. Mitra-mitra ini dapat mengukur dampak program CSR mereka dengan lebih baik karena dana mereka hanya dihargai untuk hasil pendidikan yang terbukti, Ioann menambahkan.

Selain itu, Pintek juga akan mengeksplorasi lebih banyak kolaborasi dengan sekolah kejuruan untuk mendukung siswa dengan keterampilan yang berlaku untuk mencocokkan kebutuhan industri. Dari segi bisnis, Fainsilber mengatakan bahwa Pintek ingin mengembangkan bisnisnya dengan meningkatkan jumlah peminjam dan pinjaman yang dicairkan setidaknya sepuluh kali pada akhir tahun ini.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Vanessa Hendriadi dari GoWork Mengikuti Passion untuk Menjembatani Masyarakat

Vanessa Hendriadi memiliki kerinduan untuk melakukan hal yang lebih berdampak dalam bisnis real estate keluarganya, maka ia mulai menginisiasi salah satu coworking space ternama di Indonesia, GoWork.

Indonesia adalah tempat bernaung lebih dari 88 juta populasi millennial. Negara ini diprediksi untuk menjadi ekonomi terbesar ke-delapan di dunia pada tahun 2020, berdasarkan penelitian perusahaan konsultan Deloitte. Kota-kota besar di sini adalah pasar yang sangat ideal untuk bisnis co-working space.

Setelah lulus dari University of Southern California pada tahun 2002, Vanessa mengawali portfolio profesionalnya di tahun 2004 dengan bekerja sebagai Direktur Marketing di PT Atlantic Biruaya, sebuah perusahaan air mineral dibawah Mikatasa Group milik keluarganya, yang juga melayani bisnis jual-beli, minuman, bahan-bahan kimia, dan lainnya. Pada akhirnya, ia dipromosikan menjadi Direktur Operasional di holding grup pada tahun 2009. serta menerapkan perubahan dalam rangka perampingan bisnis.

Pada Juni 2013, ia memberanikan diri lalu membangun sistem perangkat lunak untuk manajemen properti yang disebut Gaea. Vanessa, bagaimanapun, belum merasa puas dengan karir profesionalnya, karena ia memiliki keinginan untuk membangun bisnis yang berkaitan dengan hobi dan passion. “Saya menyukai makanan dan aktivitas yoga, dan saya pun menyadari bahwa semua industri tersebut akan berujung pada satu tujuan — yaitu membangun komunitas. Jadi, saya akhirnya memilih untuk membangun ruang kerja bersama, yang menggabungkan pengalaman profesional saya dalam manajemen properti dan hasrat saya untuk menghubungkan orang-orang,” jelasnya kepada KrASIA dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Pada tahun 2016, dengan modal dari keluarga, teman, dan grup Ismaya, perusahaan yang membawahi rantai F&B dan perhotelan populer di Indonesia, Vanessa mendirikan perusahaan co-working space pertamanya, Rework, yang mengintegrasikan beberapa coworking space dengan toko kopi yang dijalankan oleh Ismaya grup di beberapa lokasi strategis di Jakarta.

Sebagai pendiri solo, ia membangun Rework dari awal, dengan beban kerja yang berat. Padahal, pada waktu itu putra keduanya baru berusia sembilan bulan, jadi ia juga memiliki tanggung jawab sebagai seorang ibu. “Rasanya kepala seperti mau pecah, tidak peduli sebanyak apa yang sudah saya lakukan, masih akan ada banyak hal yang menanti di depan. Hal ini sangat gila. Saya tidak ingin terlalu khawatir, tetapi saya harus. Kerap kali saya bertanya-tanya, pantaskah saya menjalankan startup, tetapi juga sebagai wanita dan seorang ibu, saya harus membangun akar keluarga yang kuat. Untungnya, pasangan dan keluarga saya sangat mendukung dan tidak pernah menghakimi saya,” ungkap Vanessa.

Pada tahun 2017, ia menghadiri grand opening co-working startup GoWork, di mana ia bertemu dengan co-founder perusahaan, Richard Lim dan Donny Tandianus. Hendriadi kembali terhubung dengan Lim, yang merupakan teman lama. Mereka bertiga, tanpa basa basi menyadari bahwa mereka memiliki tujuan yang sama: untuk membangun coworking space terbesar di Indonesia. Hal ini terjadi tidak lama sebelum keduanya mengeksplorasi peluang kemitraan.

“Ketika saya memulai Rework, saya tidak melihat seberapa besar hal itu sampai saya terjun ke bisnis. Saya akhirnya memutuskan bahwa saya harus menemukan pasangan, karena saya tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Setelah kami berbagi beberapa diskusi dan visi kami untuk memberdayakan banyak perusahaan dan menjadi pemain yang dominan, kami bergabung pada awal 2018,” ujar Vanessa.

Hendriadi’s Rework bersama dengan Lim dan Tandianus ‘GoWork bergabung menjadi sebuah perusahaan baru bernama Go-Rework, yang awalnya memiliki lima lokasi dengan total 3.500 meter persegi di Jakarta. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi GoWork pada pertengahan 2018 karena alasan pemasaran.

Pada Oktober 2018, Go-Rework menutup putaran Seri A dan mengumpulkan USD 9,9 juta dari Mitra Gobi dan The Paradise Group, dengan partisipasi dari Mahanusa Capital dan dana “Durian” kedua dari 500 Startups. GoWork melipatgandakan jejaknya pada tahun 2019, menurut Richard Lim selaku CFO.

Hari ini, GoWork berhasil mengoperasikan 18 cabang yang mencakup lebih dari 35.000 meter persegi, dengan sebagian besar berlokasi di ibukota dengan satu cabang di Bali. Perusahaan juga mengumumkan rencana untuk meluncurkan lokasi baru di Surabaya dan beberapa kota di Indonesia pada pertengahan 2020, memperluas jejaknya menjadi 65.000 meter persegi. GoWork hanya beroperasi di Indonesia dan tidak memiliki rencana untuk ekspansi internasional.

Menurut Hendriadi, lokasi GoWork tetap mempertimbangan tingkat hunian yang tinggi, biasanya di kisaran 90-100%.

GoWork di Senayan City. Dokumentasi oleh GoWork
GoWork di Senayan City. Dokumentasi oleh GoWork

Untuk menjadi pemain dominan di Indonesia, Hendriadi, Lim, dan Tandianus menetapkan strategi yang berfokus pada pelanggan premium yang bersedia membayar tarif berlangganan GoWork yang lebih tinggi. Karenanya, mereka mengoperasikan GoWork di tempat-tempat seperti pusat perbelanjaan atau gedung perkantoran, yang mudah dijangkau dengan menggunakan transportasi umum. “Hampir 70% anggota mengunjungi lebih dari satu lokasi,” kata Hendriadi. Ia juga mengklaim bahwa pelanggan “dapat memperoleh lebih banyak kredibilitas dengan bekerja di coworking space premium milik GoWork.”

“Ada banyak lokasi coworking space di Indonesia, seperti CoHive atau Outpost, tetapi ada beberapa pemain yang menargetkan kelas premium, yang kami pikir merupakan pasar yang berpotensi besar. Melalui segmen ini, kami dapat memperoleh lebih banyak klien, tidak hanya dari startup, tetapi juga dari perusahaan konvensional serta multinasional,” tambahnya.

Persaingan semakin ketat. Pada 2017, WeWork mengakuisisi Spacemob, sebuah coworking space yang berbasis di Singapura, lalu memulai bisnis di Indonesia dengan mendirikan cabang di Jakarta pada kuartal ketiga 2018. Tidak berapa lama, WeWork membuka enam lokasi di ibukota Indonesia.

Pelajaran yang di ambil dari kasus WeWork: Monetisasi jadi kunci sukses jangka panjang

Meskipun GoWork dan WeWork memposisikan diri sebagai ruang kerja bersama premium, Vanessa mengklaim bahwa GoWork telah mencapai profit pada pertengahan 2019. Namun, dia menolak untuk mengungkapkan lebih detail. Terdapat sekitar 5.000 pelanggan, termasuk karyawan perusahaan dan pekerja lepas. Biaya bulanan berkisar USD 150-200, tergantung pada layanan yang diperlukan.

Semua pendiri GoWork memiliki hubungan yang kuat dan dekat dengan pengembang properti, kata Hendriadi. Ini membantu perusahaan mencari ruang yang melayani tujuan mereka.

“Kami membahas bagaimana GoWork dapat meningkatkan trafik pengunjung ke pusat perbelanjaan atau properti lain yang dijalankan oleh pengembang ini. Ketika pengembang melihat konsep lalu trafik yang datang melalui masing-masing lokasi kami, mereka sebagian besar ingin mengamankan kemitraan, bahkan berinvestasi di GoWork, ”katanya. Sejauh ini, perusahaan memiliki investornya di antaranya Sinar Mas Land, Indonesia Paradise Property, Agung Podomoro Land, Lippo Group, dan MNC Land.

Saat ini, GoWork memiliki tiga fokus utama: menyediakan ruang kerja bersama yang fleksibel dengan interior yang menarik untuk memfasilitasi interaksi klien; mengorganisir acara atau lokakarya, di mana anggota dapat terlibat satu sama lain; dan membangun keterlibatan pengguna melalui aplikasi seluler.

Saat ini, klien GoWork terdiri dari perusahaan besar dan startup yang sudah matang, seperti perusahaan milik pemerintah PT Pegadaian, Gojek, dan Oyo.

“Kami menjadikan ‘sustainabilitas’ sebagai prioritas. Jika kita melihat lanskap startup saat ini, sebagian besar perusahaan kebanyajan fokus pada pertumbuhan dilanjutkan dengan membakar uang. Kami tidak percaya bahwa itu perlu, “kata Hendriadi.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Vanessa Hendriadi of GoWork is chasing her passion for connecting people: Women in Tech

Vanessa Hendriadi wanted to do more than work in her family’s real estate business, so she started one of Indonesia’s major co-working spaces, GoWork.

Indonesia is home to more than 88 million millennials. The country is predicted to be the eighth largest economy in the world in 2020, according to consultancy firm Deloitte. Its major cities are ideal markets for co-working platforms.

After graduating from the University of Southern California in 2002, Hendriadi started to work in 2004 as a marketing director at PT Atlantic Biruaya, a mineral water company that is a subsidiary of her family’s Mikatasa Group, which does business in trading, beverages, chemicals, and more. She was eventually promoted to director of operations at the holding group in 2009. and implemented changes to streamline the business.

In June 2013, she ventured out on her own and built a software system for property management called Gaea. Hendriadi, however, was not satisfied with her professional career, as she always wanted to build a business that related to her hobbies and passions. “I love food and yoga exercises, and I realized that all those industries have one purpose—building a community. So, I finally chose to build a co-working space, which combines my professional experience in property management and my passion for connecting people,” she told KrASIA in a recent interview.

In 2016, with capital from her family, friends, and the Ismaya group, a popular F&B and hospitality chain in Indonesia, Hendriadi established her first co-working space company, Rework, integrating co-working spaces with coffee stores run by Ismaya group in strategic locations in Jakarta.

As a solo founder, she was building Rework from scratch, and the workload was heavy. On top of that, her second son was only nine months old at the time, so she had duties as a mother too. “It felt like burning out, because no matter how much I would do, there would be more things left undone. It was pretty crazy. I felt like I didn’t want to worry too much, but I did. I wondered whether I was supposed to run the startup, but like a woman and a mother, I had to build strong family roots. Luckily, my spouse and family were really supportive and never judged me,” Hendriadi said.

In 2017, she attended the grand opening of co-working startup GoWork, where she met the company’s co-founders, Richard Lim and Donny Tandianus. Hendriadi reconnected with Lim, who was an old friend. The three of them quickly realized that they shared the same goals: to build Indonesia’s largest co-working space. It wasn’t long before the two were exploring opportunities for a partnership.

”When I started Rework, I did not see how big it could become until I dove into the business. I finally decided that I had to find a partner, because I couldn’t do it all by myself. After we shared some discussions and our visions to empower a lot of companies and to become a dominant player, we joined forces in early 2018,” Hendriadi said.

Hendriadi’s Rework along with Lim and Tandianus’ GoWork merged into a new company called Go-Rework, which initially had five locations with a total footprint of 3,500 square meters in Jakarta. The company was later rebranded as GoWork in mid-2018 for marketing reasons.

In October 2018, Go-Rework closed its Series A round and raised USD 9.9 million from Gobi Partners and The Paradise Group, with participation from Mahanusa Capital and 500 Startups’ second Durians fund. GoWork trippled its footprint by 2019, according to CFO Richard Lim.

Today, GoWork operates 18 branches covering over 35,000 square meters, with most of them in the capital and one branch in Bali. The company also announced plans to launch new locations in Surabaya and several cities in Indonesia by mid-2020, expanding its footprint to 65,000 square meters. GoWork only operates in Indonesia and has no plans for international expansion.

According to Hendriadi, GoWork’s locations maintain a high occupancy rate, typically in the range of 90–100%.

GoWork co-working space in Senayan City. Courtesy of GoWork.

To become a dominant player in Indonesia, Hendriadi, Lim, and Tandianus set out a strategy focusing on premium customers who are willing to pay GoWork’s higher subscription rates. Hence, they operate GoWork in places like shopping malls or office buildings, which are easily reachable using public transportation. “Almost 70% of members use more than one location” Hendriadi said. She also claims that customers “can gain more credibility by working in the premium co-working spaces of GoWork.”

“There are a lot of co-working spaces in Indonesia, such as CoHive or Outpost, but there are few players targeting the premium class, which we think is a potentially huge market. By targeting this segment, we are able to get more clients, not only from startup companies, but also from traditional and multinational companies,” Hendriadi said.

Competition mounted quickly. In 2017, WeWork acquired Spacemob, a Singapore-based co-working space, and entered Indonesia by setting up a branch in Jakarta in the third quarter of 2018. Soon after, WeWork opened six locations in the Indonesian capital.

A lesson learned from WeWork: Monetization is key to long-term success
Although GoWork and WeWork have both positioned themselves as premium co-working spaces, Hendriadi claims that GoWork has become profitable in mid-2019. However, she declined to disclose more details. It has 5,000 customers, including employees from companies and freelancers. Monthly fees run at USD 150–200, depending on the services required.

All of GoWork’s co-founders have strong and close relationships with property developers, Hendriadi said. This helps the company seek out spaces that serve their purposes.

“We discuss how GoWork can increase visitor traffic to shopping malls or other properties run by these developers. When developers see our concept and the traffic that comes with each of our locations, they mostly want to secure a partnership and sometimes even invest in GoWork,” she said. So far, the firm counts among its investors the likes of Sinar Mas Land, Indonesia Paradise Property, Agung Podomoro Land, Lippo Group, and MNC Land.

Currently, GoWork has three main focuses: providing flexible co-working spaces with attractive interiors to engage clients; organizing events or workshops, where members can engage with each other; and building user engagement through mobile apps.

GoWork’s clients include big companies and mature startups, such as state-owned pawnbroker PT Pegadaian, Gojek, and Oyo.

“We are making ‘sustainability’ our priority. If we look at the startup landscape, most companies focus a lot on growth and sometimes they burn money. We don’t believe that it’s necessary,” Hendriadi said.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

Wahyoo takes Indonesian street food eateries to the next level: Startup Stories

Entrepreneur Peter Shearer started his career when he co-founded AR Group, a company that focused on augmented reality technology, in 2009. Then in 2016, when on-demand platforms like Gojek and Indonesia really took off in Indonesia, they inspired him to bring digital disruption to one particular sector: street-side eateries or wartegs.

Warteg is a casual and down-to-earth street food joint. You may find wartegs spread around near offices, campuses, construction sites, or residential areas in Jakarta, and other cities in Indonesia. A conventional warteg is usually simply furnished with one or two wooden benches. It offers an array of all-time favorite home cooked food at cheap prices in big portions to feed hungry workers, usually blue collars, during their break time.

Similar to grocery kiosks, the biggest problem of wartegs is that they don’t have proper operational and administration systems so they cannot track finances and make proper plans, hence their businesses become stagnant.

“Wartegs have been around since forever, but they are not well-developed. I tried to validate the idea of digitizing wartegs by discussing with the owners on how they run their business daily and their hopes for the business,” Shearer told KrASIA in a recent interview.

He officially established Wahyoo in 2017. The name Wahyoo comes from the Indonesian word “wahyu” which means “inspiration”. Shearer hopes his startup can become a source of inspiration and a channel of blessings for others.

Beginning with only 50 warteg partners, Wahyoo has since empowered more than 13,000 wartegs across Greater Jakarta.

“I believe that warteg is a part of Indonesian culture and it has great business potential with a huge market and high daily transactions. On average, one outlet can serve around 100 customers per day,” he continued.

Not just a place to eat, Shearer said that warteg could be an ideal advertising space for brands targeting the low-middle income market.

“There is a lot that we can do with warteg. Food has a long supply chain that we can support. For example, we’re working with startups like Sayur Box and Tani Hub to supply groceries, so we can ensure the good quality of food while supporting SMEs like farmers, vegetable vendors, and of course, warteg owners,” said Shearer.

Wahyoo supports warteg partners by providing them with a mobile app where they can purchase goods at competitive prices and have them delivered to their doorstep. They can also take part in various online and offline community events and register through the app. The app is also equipped with a help center feature so partners can ask for assistance when they encounter problems using the platform.

The startup also gives partners offline and online training and mentoring sessions through its Wahyoo Academy program, which aims to help partners manage business operations more professionally.

Peter Shearer, founder of Wahyoo, Photo courtesy of Wahyoo
Peter Shearer, founder of Wahyoo, Photo courtesy of Wahyoo

The training consists of three modules, namely how to deliver the best customer service, how to prepare high-quality food, including creating a clean, neat kitchen and outlet so that diners can dine in comfortably, as well as how to manage their cash flow and bookkeeping so they can better manage their finances.

With these improvements, warteg partners are expected to attract more customers and increase their revenue.

In addition, they will also get further sources of income through advertisement placements. Wahyoo’s partners can also serve as sales and distribution channels for SMEs who want to market their products on warteg outlets, Shearer said.

According to Shearer, there is a unique method that is used by many warteg owners in running their business. “An owner takes turns in managing his outlet with his relatives or colleagues. For example, if I manage the outlet now, you will take it over after four months, and so on. It means that we need to train different owners repeatedly. This is a unique challenge that does not seem to exist in other sectors,” he said.

In addition, many outlets are owned by families who want to hand over the business to their children, but not every young person is willing to take the job as operating a warteg is complicated and is not seen as a cool profession by many. “By becoming our partner, they can manage the warteg operations more conveniently and young people are getting more enthusiastic as now they are part of the digital economy transformation.”

Wahyoo’s warteg outlet. Photo courtesy of Wahyoo
Wahyoo’s warteg outlet. Photo courtesy of Wahyoo

Wahyoo doesn’t charge any commission or fee to partners who want to join the platform. Shearer said that the company applies th  e profit-sharing system for advertising and brands placements, as well as through partnership with companies and institutions who use Wahyoo’s outlet partners for customer acquisition, activation, and so forth.

The startup secured an undisclosed amount of seed funding in July 2019 from Agaeti Ventures, Kinesys Group, and East Ventures. Shearer said the Wahyoo is currently fundraising for its Series A round that is expected to close by year-end.

In the near future, Shearer plans to add more initiatives to help warteg owners become responsible entrepreneurs. He was inspired by the United Nations’ sustainable development goals and wants to apply those principles to Wahyoo’s partners. “We are collaborating with a number of organizations to help minimize food waste by recycling cooking oil waste into biodiesel. We’re also discussing with a company that wants to provide wartegs with cassava plastic bags that are environment-friendly.”

Going forward, Wahyoo wants to have at least 50,000 partners by the end of 2020. Shearer said that they will be focusing on Greater Jakarta first before expanding into other cities in Java island.

“Demand is high in this sector, we even got a request to expand into other provinces outside Java island. However, we will focus on grooming our partners for now and encourage them to actively utilize platforms. And hopefully, one day, we can reach more cities and empower wartegs all over Indonesia,” Shearer said.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

CEO Ovo, Jason Thompson Membahas Strategi Bisnis, Investasi, dan Rumor

Pemain digital di sektor pembayaran, Ovo, tengah menjadi perbincangan dalam ekosistem digital negara ini. Selama beberapa tahun terakhir, perusahaan telah berkembang sangat pesat serta menciptakan berbagai terobosan: seperti mengakuisisi platform pinjaman Taralite dan investasi online Bareksa, berinvestasi di dua startup teknologi, dan meluncurkan fitur PayLater.

Belum lama ini, Ovo mencuri perhatian ketika mantan menkominfo Indonesia, Rudiantara, mengumumkan bahwa perusahaan berhasil memasuki jajaran “unicorn” dengan valuasi senilai US$ 1 miliar. Berdasarkan Fintech Report Indonesia 2019 yang dikeluarkan oleh DailySocial, Ovo menjadi e-wallet yang paling populer di Indonesia dan menempati posisi kedua sebagai dompet digital yang paling sering digunakan di negara ini.

Pohon yang tinggi tentunya akan diterpa angin yang kencang, seperti Ovo yang tengah menjadi sorotan media dalam beberapa bulan terakhir mengenai isu merger dengan kompetitor mereka, Dana, yang juga didukung Ant Financial. Belum lama ini, perusahaan induknya, Lippo Group, dilaporkan menjual 70% sahamnya di Ovo terkait pengeluaran besar beberapa waktu terakhir.

Menanggapi rumor tersebut, CEO Ovo Jason Thompson mencoba tetap netral dan menyampaikan bahwa ia tidak terlalu memikirkan spekulasi pasar dan ingin fokus pada pengembangan bisnis ke depan. Dengan persaingan yang dinamis di lanskap fintech Indonesia saat ini, besar kemungkinan Ovo akan muncul lebih banyak di portal berita lokal dan internasional nantinya.

KrASIA belum lama ini mendapat kesempatan berdiskusi dengan Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019 di Jakarta, membahas strategi perusahaan ke depannya.

Jason Thompson. Dokumentasi oleh Ovo
Jason Thompson. Dokumentasi oleh Ovo

KrASIA (Kr): Menilik kembali semua pencapaian Ovo di tahun ini, menurut Anda posisi perusahaan sekarang ada di stage seperti apa?

Jason Thompson (JT): Pertama, kami merasa tersanjung diakui sebagai unicorn kelima. Seluruh tim sangat antusias, dan penghargaan ini berdampak baik pada bisnis. Hal ini membuktikan investasi eksternal, seberapa cepat pertumbuhan fintech di Indonesia dan kami sebagai satu-satunya unicorn yang mengusung fintech seutuhnya, tetapi jujur saja, kami merasa bahwa masih di tahap awal.

Namun, hal itu juga membawa kami berada dalam banyak tekanan atas harapan yang menjulang dari pencapaian sebelumnya — dari Bank Indonesia, pemerintah, dan yang lebih penting, dari para pelanggan kami. Melihat ke belakang di tahun ini, kami berada di tahun yang sangat sulit tetapi juga sukses. Organisasi ini begitu berkembang, kami menguatkan posisi sebagai platform pembayaran nomor satu di negara ini, begitu pula dengan kehadiran layanan baru, dan kami memiliki tahun yang luar biasa bisa bekerja sama dengan Grab dan Tokopedia.

Kami juga punya beberapa metrik pada umumnya. Pada tahun 2019, ada lebih banyak orang yang bertransaksi dengan platform ini berkat beragam kemitraan dalam ekosistem. Transaksi tahunan kami mencapai 27,7 kali lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Kami berhasil meningkatkan total nilai pembayaran sebesar 18,5 kali dan fasilitas di dalam toko sebesar 6,8 kali. Pengguna aktif bulanan Ovo tumbuh sebanyak 400% per tahun tahun ini.

Saya percaya bahwa inklusi serta “melek” finansial memiliki lima tantangan. Yang pertama adalah untuk membuat orang mendaftar di platform, yang kedua bagi mereka untuk top up, dan yang ketiga adalah mendorong mereka untuk membayar melalui platform ini. Yang keempat dan kelima adalah untuk membuat mereka kembali top up dan akhirnya, kembali membayar melalui aplikasi. Ketika orang mulai menyimpan uang dalam platform Ovo, kami percaya hal ini turut mendorong literasi keuangan untuk tabungan, investasi, dan lainnya.

Kr: Apa yang menjadi fokus Ovo di tahun 2020?

JT: Tiga area fokus pada tahun 2020 menurut saya akan terkait dengan percepatan pertumbuhan untuk pinjaman, sebagian besar akan berfokus pada pedagang serta lainnya untuk pinjaman konsumen. Prioritas kedua adalah bersama Bareksa untuk mengeksekusi e-investasi.

Saya pikir kita bisa belajar dari kisah sukses China dengan pemain investasi digital seperti Yu’e Bao dan melihat bagaimana kita bisa mengeksekusi hal serupa di Indonesia. Selanjutnya, fokus pada asuransi melalui kemitraan dengan Prudential. Kami masih mengembangkan produk asuransi dan berharap untuk bisa segera dirilis tahun depan. Jadi, kami mulai beralih dari pembayaran ke layanan keuangan ini di tahun ini dan tahun depan.

Seperti halnya pembayaran, kami akan menerapkan ekosistem terbuka untuk layanan keuangan. Misalnya, untuk peminjaman, kami memiliki pinjaman konsumen dengan Tokopedia melalui fitur PayLater. Terdapat juga Ovo Dana Tara, pinjaman modal khusus untuk pedagang kami, lalu Ovo Talangan Siaga, pinjaman jangka pendek khusus untuk mitra dan agen Grab. Hal tersebuth adalah gabungan dari pedagang dan agen pinjaman konsumen, dan kami akan mulai mengembangkan ini tahun depan.

Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019. Dokumentasi oleh Wild Digital.
Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019. Dokumentasi oleh Wild Digital.

Kr: Bagaimana Anda memposisikan Ovo di antara para kompetitor dompet digital di Indonesia?

JT: Persaingan terbesar kami masih dengan uang tunai karena pembayaran e-money saat ini hanya mencapai 2,3% [dari total pembayaran] di Indonesia, jadi saya tidak berpikir bahwa pasar [dompet digital] sangat padat. Meskipun banyak orang ingin memasuki pasar ini dengan meluncurkan platform e-wallet, sulit untuk mempertahankannya di Indonesia kecuali Anda memiliki model kemitraan dan bisnis yang tepat.

Fokus kami adalah untuk mencapai sustainability, dan itulah sebabnya kami berinvestasi lebih banyak dalam layanan keuangan karena kami percaya ini adalah jalan yang tepat menuju kedewasaan dan sustainability dalam jangka panjang. Kami percaya bahwa selama kami melayani mitra, pedagang, dan pelanggan kami dengan baik, kami bisa berhasil di pasar ini.

Kr: Memasuki tahun ketiga, apakah menurut Anda strategi bakar uang seperti cashback atau promosi masih relevant?

JT: Menurut saya cashback itu penting sebagai stimulus pada suatu titik, tetapi tidak untuk berkelanjutan. Hal ini seperti masalah fisika; jika Anda akan memindahkan objek besar, Anda harus memiliki energi dalam jumlah besar di awal, tetapi begitu Anda mendapatkan momentum, maka energi tersebut bisa dikurangi. Dalam hal pembayaran, energi berasal dari subsidi.

Kami memiliki peta yang jelas menuju sustainabilty dan profitability, dan kami akan mengurangi [operasi bakar uang] ini secara signifikan di tahun depan. Bukan hanya kita, saya percaya bahwa rekan-rekan sejawat juga berinvestasi dengan cara yang sama untuk membangun bisnis mereka. Jadi, cashback atau promosi masih menjadi hal penting, tetapi pelaksanaannya harus rasional dan harus ada jalur koreksi subsidi.

Kr: Apa yang menjadi dasar kerjasama Ovo dengan Grab saat ini, mengingat Ovo bukan lagi satu-satunya opsi pembayaran dalam ekosistem Grab?

JT: Kami adalah organisasi independen, jadi hubungan kami dengan Grab, begitu pula Tokopedia, sebagian besar terfokus pada eksekusi. Tim kami telah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan merencanakan hal yang bisa kita lakukan dengan Grab atau Tokopedia. Kita harus melayani mereka dengan cara terbaik walaupun tidak berada dalam kontrak eksklusif.

Saat ini, Grab memiliki LinkAja dalam ekosistem dan Tokopedia memiliki banyak opsi pembayaran. Kami tidak dalam posisi istimewa dengan mitra kami, kami harus bekerja keras, jika tidak, kami akan kehilangan posisi kami karena kemitraan didasarkan pada pertukaran nilai. Kami tidak percaya pada eksklusivitas karena hal itu juga tidak baik untuk pasar dan konsumen.

Kr: Tahun ini Ovo telah berinvestasi di dua startup, satu dari industri new retail Warung Pintar dan satu lagi platform ad-tech StickEarn. Apakah investasi kini menjadi bagian dari strategi Anda ke depan?

JT: Hal ini tentu menjadi langkah yang sangat strategis, meskipun nilainya relatif rendah. Untuk StickEarn, kami percaya bahwa melibatkan konsumen melalui pemasaran interaktif sangat penting, sehingga menjadikan pertukaran nilai antar perusahaan ini sangat erat. StickEarn melakukan hal-hal besar dan semua menuju keberhasilan di Indonesia.

Adapun Warung Pintar, keberadaan mereka sangat penting karena sebelumnya tidak ada yang memperhatikan segmen warung atau kios sebelumnya. Ketika pertama kali datang ke Indonesia, saya segera menyadari bahwa warung adalah pusat budaya Indonesia, tetapi tidak ada yang benar-benar peduli akan hal ini.

Warung Pintar mempelajari masalah mereka dan berpikir tentang bagaimana bisa membawa model yang berbeda untuk warung sehingga mereka dapat melayani lebih banyak di masyarakat. Mereka menempatkan pada setiap warung dukungan digital dan infrastruktur termasuk pembayaran, saya pun sangat senang dengan kerjasama ini.

Investasi di kedua perusahaan ini melibatkan tujuan spesifik. Melibatkan cara kerja yang sangat strategis untuk mendorong inklusi keuangan, tetapi bukan berarti kami akan berinvestasi di lebih dari lima atau bahkan sepuluh perusahaan nantinya, karena kami bukan platform wirausaha. Misi kami adalah melayani pasar, dan salah satu caranya adalah dengan membangun kemitraan strategis dengan organisasi lain dan melihat bagaimana kami dapat bertukar dan memaksimalkan nilai-nilai yang ada.

Kr: Ovo sedang menghadapi banyak rumor di tahun ini, salah satu yang mencuri perhatian adalah isu merger dengan platform Dana. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?

JT: Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya tidak terlalu memikirkan spekulasi yang beredar di luar. Lanskap fintech sangat dinamis, saya rasa banyak yang suka berspekulasi tentang pemain fintech sama seperti yang terjadi dalam dunia sepakbola, Anda tahu, setiap musim penggemar sepakbola akan memprediksi klub mana yang akan membeli pemain mana, dan seterusnya [tertawa].

Apa yang akan terjadi pada tahun 2020 adalah pasar akan mulai goyang. Kehilangan beberapa pemain bisa terjadi akibat lingkungan investasi global berubah dengan cepat, dan jika belum memiliki strategi bisnis yang jelas, akan menjadi tahun yang sulit bagi mereka. Jadi, kami fokus pada eksekusi serta pengawasan pasar, yang bisa memakan waktu 18 jam sehari dalam hidup saya sehingga tidak memiliki kapasitas untuk hal lain.

Kr: Apakah ada rencana untuk penggalangan dana dalam waktu dekat?

JT: Ada kemungkinan kami akan menggalang dana di semester pertama tahun depan. Saat ini masih dalam proses penjajakan, namun belum ada pernyataan resmi dari investor potensial atau timeline pastinya.

Kr: Bagaimana Anda melihat lanskap bisnis pembayaran mobile di Indonesia sekarang?

JT: Secara global, Indonesia tengah menjadi pusat bisnis fintech saat ini. Tiongkok, pada skala besar, sulit untuk disentuh karena sudah ada terlalu banyak pemain dominan seiring Ant Financial yang saat ini memimpin [pasar].

Saya melihat adanya revolusi fintech yang sedang terjadi di sini dan semakin banyak organisasi mencoba datang ke Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Kita harus memastikan bahwa kita melindungi ekosistem, ekonomi, dan pendapatan domestik. Regulasi menjadi kunci untuk memastikan bisnis dan ekosistem yang sehat, dan saya pikir Bank Indonesia telah melaksanakannya dengan baik dan sejauh ini mendukung setiap prosesnya. Saya percaya fintech di Indonesia sudah matang dan akan mencapai inflection point dalam tiga hingga lima tahun.

Application Information Will Show Up Here


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Ovo CEO Jason Thompson talks company strategy, investments, and rumors

Indonesian digital payments player Ovo is undoubtedly a newsmaker in the country’s digital ecosystem. The company has grown rapidly in the past year and it has achieved many important milestones: it acquired lending platform Taralite and online investment platform Bareksa, invested in two tech startups, and rolled out the PayLater feature.

Ovo recently made headlines when Indonesia’s then-IT minister Rudiantara announced that the company has entered the “unicorn club” as its valuation is USD 1 billion. According to the 2019 Indonesian Fintech Report by Daily Social, Ovo is the most popular e-wallet platform among Indonesians and it secured the second spot as the most used digital wallet in the country.

The tallest trees catch the most wind, as Ovo has been in the media spotlight in the past few months because of merger issues with a competitor, Ant Financial-backed Dana. Most recently, its parent company, Indonesian conglomerate Lippo Group, reportedly sold 70% of its stake in Ovo due to the latter’s large expenditure.

Responding to the rumors, Ovo CEO Jason Thompson, remained neutral and said that he doesn’t really think of market speculation and wants to focus on further growing the business instead. With such dynamic competition in the Indonesian fintech landscape today, it is likely that we’ll see more of Ovo in many local and international news outlets in the future.

KrASIA recently met with Jason Thompson at the 2019 Wild Digital Conference in Jakarta, and he discussed the company’s strategies going forward.

Jason Thompson. Courtesy of Ovo
Jason Thompson. Courtesy of Ovo

KrASIA (Kr): Looking back at what Ovo has achieved this year, what stage is the company at now?

Jason Thompson (JT): Firstly, we are genuinely humbled to be recognized as the fifth unicorn. The whole team was really excited, and this accolade is great for business. It shows external investment, how rapid the growth of fintech in Indonesia has been and we are the only true fintech unicorn, but honestly, we feel that we just started.

However, it also forces a lot of pressure on us because the expectations are higher than ever—from Bank Indonesia, the government, and more importantly, from our customers. Looking back at this year, we’ve had a really tough but successful year. Our organization is growing, we really cemented ourselves as the number one payment platform in the country, we developed new services, and we’ve had a great year working with Grab and Tokopedia.

We’ve got some great metrics, as well. In 2019, we had more people transact with us thanks to the many partnerships we created in the ecosystem. Our annual transactions were 27.7 times higher than the previous year. We have increased total payment value by 18.5 times and in-store value facilities by 6.8 times. Ovo’s monthly active users grew 400% per annum this year.

I believe that financial literacy and inclusion have five challenges. The first is to get people to register on the platform, the second for them to top up, and the third is to encourage them to pay with our platform. The fourth and the fifth are to make them re-top up and finally, pay again with the same app. Now that people store their money with Ovo, we believe that we can drive financial literacy for savings, investments, and others.

Kr: What is Ovo’s focus in 2020?

JT: The three focus areas for me in 2020 include accelerating growth for lending, most of that will focus on merchants and some on consumer lending. The number two priority is to execute with Bareksa for e-investment.

I think we can learn from China’s success story with digital investment players like Yu’e Bao and see how we can execute it here in Indonesia. Number three is a focus on insurance via a partnership with Prudential. We’re still developing insurance products and expect to release them next year. So we are moving from payments into financial services this and next year.

As with payments, we’ll apply the open ecosystem for financial services. For example, for lending, we have consumer lending with Tokopedia through our PayLater feature. We also have Ovo Dana Tara, a capital loan specifically for our merchants, and Ovo Talangan Siaga, a special short-term loan for Grab partners and agents. It’s a hybrid of merchants and consumer lending agents, and we’ll scale this next year.

Jason Thompson at the Wild Digital Conference 2019. Photo Courtesy of Wild Digital.
Jason Thompson at the Wild Digital Conference 2019. Photo Courtesy of Wild Digital.

Kr: How have you positioned Ovo among its Indonesian digital wallet competitors?

JT: Our biggest competition is still cash because e-money payments currently only make up of 2.3% [of payments] in Indonesia, so I don’t think that the [mobile wallet] market is congested. Although many people want to enter the market by launching an e-wallet platform, it is difficult to sustain in Indonesia unless you have the right partnerships and usage model.

Our focus is to achieve sustainability, and that’s why we are investing more in financial services as we believe this is the right path to maturity and sustainability in the long run. We believe that as long as we serve our partners, merchants, and customers well, we will be successful in this market.

Kr: Entering Ovo’s third year, do you think that money-burning strategies like cashback and promotions are still relevant?

JT: I think cashback is important as a stimulus at a point in time, but it is not sustainable. It’s like a physics problem; if you’re going to move a large object, you need to have a huge amount of energy at the beginning of the movement, but once you get the momentum, then you can reduce that energy. With payments, the energy comes from subsidies.

We have a clear roadmap to sustainability and profitability, and we’ll reduce this [money-burning marketing] significantly next year. It’s not just us, I believe that our peers have also invested in a similar way to establish their business. So cashback or other promotions are still important but we have to rationalize them and there must be a path of subsidies’ corrections.

Kr: What’s the nature of Ovo’s partnership with Grab now, considering that Ovo is no longer the sole payment partner in Grab’s ecosystem?

JT: We’re an independent organization, so our relationships with Grab, also with Tokopedia, are mostly focused on execution. My teams spend a lot of time to think and plan about what can we do with Grab or Tokopedia. We have to serve them in the best way but we are not in an exclusive contract.

Now Grab has LinkAja in its ecosystem and Tokopedia has many payment offerings. We’re not in a privileged position with our partners, we have to work hard, otherwise, we’ll lose our position because the partnership is based on value exchange. We don’t believe in exclusivity as it is not good for the market and consumers.

Kr: Ovo has invested in two startups this year, new retail startup Warung Pintar and ad tech platform StickEarn. Are investments also part of your strategy going forward?

JT: These were very strategic moves, although relatively low in value. For StickEarn, we believe that engaging consumers through interactive marketing is critical, so we felt that the value exchange between the companies was very close. StickEarn is doing great things and they will be successful in Indonesia.

As for Warung Pintar, their existence is critical because nobody was defending the warung or street stalls before. When I first came to Indonesia, I quickly realized that warungs are central to Indonesian culture, but nobody really takes care of them.

Warung Pintar learned their problems and thought about how they could bring a different model for warungs so they can serve more in the community. They provide the warungs with digital support and infrastructure including payments, and I’m really excited about the work we’re doing here.

Investments in these two companies involve specific purposes. It is really about working strategically to drive financial inclusion but I wouldn’t expect to invest in more five or ten companies in the future because we’re not a platform for entrepreneurs. Our mission is to serve the market, and one way is by establishing a strategic partnership with other organizations and see how we can exchange and maximize our values.

Kr: Ovo has been dealing with many rumors this year, one of the biggest is the merger with Dana. How are you addressing this issue?

JT: What I can tell you is I don’t really think about noisy speculations out there. The fintech landscape is dynamic, I feel that people like to speculate about fintech players like what they do in football, you know, every season football fans will predict which clubs will buy which players, and so on [laughs].

What will happen in 2020 is that the market will start to fracture. It may lose people because the global investment environment is changing rapidly, and if businesses don’t have a clear strategy, it will be a tough year for them. So we’re focusing on execution and closely watching the market, which already takes 18 hours a day of my life so I have no capacity for anything else.

Kr: Are you planning to raise capital soon?

JT: We probably will raise the capital sometime during the first half of next year. We’re exploring that opportunity but we have no announcement yet about the potential investors or clear timeline for now.

Kr: How do you view the mobile payments landscape in Indonesia today?

JT: Globally, Indonesia is the centre of fintech right now. China, to a large degree, is hard to touch because there are already too many dominant players with Ant Financial currently leading [the market].

What I see is that the fintech revolution is happening here and that more organizations are trying to come to Indonesia, both legally or illegally. We have to ensure that we protect our ecosystem, economy, and domestic income. The development of regulations is the key to ensuring a healthy business and ecosystem, and I genuinely think that Bank Indonesia has been doing well and been supportive so far. I believe fintech in Indonesia is maturing and will reach its inflection point in three to five years.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

Bagaimana Ritase Mendisrupsi Pasar Logistik dan Pengangkutan di Indonesia: Startup Stories

Sektor logistik dan pengangkutan Indonesia tahun ini telah mencuri perhatian, dengan banyaknya startup yang menggalang dana dengan jumlah signifikan, menunjukkan bahwa industri ini digadang-gadang akan menjadi hal besar ke depannya dalam ekonomi digital negara ini.

Salah satu perusahaan pemula yang mendapatkan investasi dalam jumlah besar pada tahun 2019 adalah Ritase, sebuah platform yang menyediakan sistem transportasi digital B2B yang mempertemukan pengirim dengan pengangkut, yang bertujuan untuk menyederhanakan rantai pasok logistik serta menciptakan proses pengiriman darat yang lebih efisien.

Didirikan pada tahun 2018 oleh seorang pengusaha Iman Kusnadi beserta arsitek perangkat lunak David Samuel, perusahaan berhasil mengumpulkan US$3 juta dalam putaran pendanaan awal pada September 2018 dari Insignia Ventures Partners. Dalam waktu kurang dari satu tahun, perusahaan tersebut kembali mengantongi US$1,6 juta dalam putaran selanjutnya pada Februari 2019, dan US$8,5 juta dalam putaran Seri A yang dipimpin oleh Golden Gate Ventures pada bulan Mei.

“Dari segi traksi sudah bagus dan bisnis tumbuh dengan cepat, jadi investor percaya pada potensi perusahaan,” ungkap salah satu pendiri dan CEO, Kusnadi, kepada KrASIA dalam sebuah wa wancara.

Kusnadi memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun bekerja di industri logistik, termasuk dalam posisi manajemen untuk raksasa logistik global seperti DHL dan APL Logistics. Ritase adalah versi rebranding dari perusahaan yang ia dirikan sebelumnya bernama Trucktobee, jelasnya.

Selain menghubungkan perusahaan dengan vendor truk, Ritase juga menjalankan sistem software-as-a-service (SaaS) untuk manajemen transportasi real-time, pemrosesan pesanan digital, optimalisasi rute, dan perencanaan beban, yang digunakan oleh vendor dan pelanggan.

Iman Kusnadi, co-founder dan CEO Ritase. Dokumentasi Ritase
Iman Kusnadi, co-founder dan CEO Ritase. Dokumentasi Ritase

“Misi utama kami adalah untuk mengatasi hambatan terbesar pengangkutan dan logistik: data yang tidak akurat. Truk seringkali beroperasi tanpa referensi data yang jelas, seperti jenis muatan yang dibawa dalam truk, atau lisensi pengemudi yang sesuai atau tidak. Oleh karena itu, kami mencoba mengembangkan infrastruktur digital untuk mengatasi masalah ini, sehingga semua pemangku kepentingan dalam ekosistem logistik dapat mengambil manfaat dari solusi teknologi kami,” ujar Kusnadi.

Ia percaya bahwa disrupsi dalam sektor logistik akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia. “Misalnya, karena solusi kami dapat menurunkan biaya logistik untuk pengirim, hal itu dapat menyebabkan penurunan harga barang dalam jangka panjang. Sementara itu, harga yang lebih rendah pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat,” tambahnya.

Menurut Kusnadi, bisnis di bidang teknologi logistik sangat menjanjikan. Ritase telah beroperasi selama kurang lebih satu tahun, dan sampai saat ini telah menunjukkan perkembangan positif.

Saat ini, perusahaan memfasilitasi lebih dari 40.000 pengiriman per bulan, dan telah bekerja dengan merek-merek terkenal internasional seperti Nestlé, Unilever, Japfa, Lotte, dan lainnya.

“Kami hanya memiliki dua klien pengirim pada kuartal pertama 2018, namun sekarang kami telah bekerja sama dengan 74 perusahaan besar, termasuk FMCG global dan merek ritel. Kami juga telah mendaftar 600 perusahaan transportasi kecil dan menengah, dengan lebih dari 11.000 truk individu,” ujarnya.

“Keuntungan dari model B2B ini [bisnis] sangat mudah. Kami bisa mendapatkan margin yang baik dan adil karena kami berurusan langsung dengan pemilik truk tanpa perantara, ”kata Kusnadi, menambahkan bahwa Ritase sudah menguntungkan.

Perusahaan juga telah menandatangani perjanjian dengan Kementerian Perhubungan Indonesia untuk mendigitalkan timbangan berat di seluruh negeri untuk meringankan muatan truk yang terlalu banyak dan dimensi yang berlebih. Mereka juga meluncurkan layanan “smart shelter” di Surabaya awal tahun ini, yang berfungsi sebagai tempat istirahat bagi pengemudi truk. Di persinggahan, pengemudi juga diberikan pelatihan digital singkat, terutama tentang cara memanfaatkan platform Ritase.

Garasi singgah truk di Surabaya. Dokumentasi oleh Ritase.
Garasi singgah truk di Surabaya. Dokumentasi oleh Ritase.

Perusahaan ini mengoperasikan platform pasar online yang disebut Ritase Shop (atau Ritshop), yang diluncurkan pada Mei 2019. Mereka menawarkan akses bagi mitra pengangkutan truk Ritase terhadap onderdil dan truk yang terjangkau. Kusnadi menyatakan bahwa Ritshop telah menunjukkan komitmen perusahaan untuk mendukung para pengangkut, kebanyakan dari mereka adalah usaha kecil dan menengah (UKM).

“Karena kami bermitra dengan banyak perusahaan angkutan truk, kami tahu bahwa kesulitan mereka untuk membeli armada baru dengan harga kompetitif. Karena itu, kami bekerja sama dengan perusahaan multi-finansial yang memungkinkan pengangkut membayar dengan mencicil. Selain itu, setelah membeli truk, mereka akan secara otomatis berintegrasi dengan sistem manajemen transportasi Ritase, yang diterjemahkan menjadi nilai tambah bagi mereka, “kata Kusnadi.

Pada bulan Oktober, Ritshop meluncurkan dealer truk bekas terbesar di Jabodetabek yang memungkinkan calon pembeli memeriksa kondisi truk secara langsung sebelum mengambil keputusan.

Meskipun sektor ini disebut-sebut menjanjikan, perusahaan yang mengembangkan teknologi logistik baru juga menghadapi banyak tantangan, terutama dalam hal perizinan dan peraturan, menurut Kusnadi.

“Pada awalnya, banyak yang berpikir bahwa kami adalah perusahaan logistik, oleh karena itu kami harus mematuhi peraturan normal untuk transportasi barang, salah satunya adalah bahwa kami harus memiliki armada sendiri. Jadi saya perlu terus menjelaskan bahwa kami adalah perusahaan teknologi yang menawarkan solusi untuk logistik truk,” katanya.

Kusnadi berharap bahwa pemerintah akan mendorong regulasi baru terkait hal ini untuk mempercepat pertumbuhan sektor teknologi logistik.

Melihat masa depan logistik di Indonesia, Kusnadi percaya bahwa akan ada lebih banyak pemain digital mendisrupsi ruang ini yang akan membuat kompetisi lebih menarik. “Semakin banyak, semakin meriah. Ini menunjukkan bahwa pasar sedang tumbuh, dan saya percaya bahwa kompetisi akan meningkatkan inovasi, yang sekiranya baik untuk seluruh ekosistem,” ungkap Kusnadi.

“Saya berharap bahwa Indonesia akan menerapkan seluruh proses logistik pintar dalam waktu dekat, dan kita dapat menyelesaikan tantangan logistik lintas wilayah untuk memfasilitasi perdagangan antar negara dengan lebih nyaman,” lanjutnya.

Ke depannya, Ritase ingin memperkuat kemampuan teknologinya dan menambahkan lebih banyak layanan bagi pelanggannya, untuk menjadi pemimpin pasar di industri truk Indonesia. Perusahaan juga memperluas penawarannya dengan memasukkan pengelolaan limbah berbahaya. Pada tahun depan, Ritase juga berencana untuk menawarkan layanan logistik kontainer antar pulau, serta layanan pembiayaan kepada para mitranya.

Apalagi, Ritase saat ini sedang dalam proses mengumpulkan modal baru. Ini akan selesai “segera,” kata Kusnadi.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial.

Logistik Pintar Menjadi Sektor Ekonomi Digital yang Tengah Bersinar di Indonesia

Walaupun logistik adalah tulang punggung perdagangan nasional dan internasional, sektor ini mengalami banyak sekali tantangan di Indonesia, seperti infrastruktur yang tidak memadai, serta kurangnya jaringan komunikasi dan teknologi informasi yang dapat diandalkan.

Menurut Mordor Intelligence, biaya logistik sangat bervariasi antara 25% dan 30% dari PDB Indonesia, dibandingkan dengan ekonomi berkembang, setara 5%. Hal ini berarti pengiriman barang dari satu kota ke kota lain di Indonesia bisa menjadi mahal dan menantang.

Seiring berkembangnya industri e-commerce, teknologi logistik digadang-gadang menjadi industri yang akan naik mengikuti perluasan ekonomi digital Indonesia. Beberapa tantangan dalam industri ini telah menarik banyak investasi untuk para startup yang akan masuk, kebanyakan menggalang dana dengan jumlah yang besar tahun ini.

Menurut Sebastian Togelang, e-commerce masih dalam masa pertumbuhan di Asia Tenggara dan akan semakin meluas lebih dari lima kali lipat dalam beberapa tahun ke depan. Sementara itu di Indonesia, sebagai pasar serta ekonomi yang paling besar di kawasan ini, sektor logistik menyimpan potensi yang sangat besar.

Sebagai seorang investor, Togelang memiliki banyak kepercayaan dalam industri ini. Awal tahun ini, Barito Teknologi dan Kejora InterVest Growth Fund memimpin investasi US$50 juta untuk mendukung startup logistik SiCepat Ekspres.

Menurutnya, logistik adalah kunci utama ekonomi internet, dengan memainkan peran kunci untuk memastikan pergerakan barang dari pedagang ke konsumen. Selain itu, sampai batas tertentu, hal ini juga melibatkan pembayaran antar pihak. Oleh karena itu, sektor ini memiliki potensi menikmati peningkatan yang cukup besar, berdasarkan perkembangan umum ekonomi dan ekonomi internet. Hal ini sangat menarik minat investor.

“Ketika kita berbicara tentang seluruh spektrum logistik, ukuran pasar Asia Tenggara adalah sekitar US$600 miliar, tergantung pada laporan mana yang Anda baca. Tetapi pendapat saya adala, di belahan dunia manapun, logistik adalah garis keturunan langsung dari ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, saya ingin melihat sektor teknologi logistik memimpin gelombang ekonomi kawasan yang berkembang pesat,” lanjut Togelang.

Togelang percaya bahwa e-commerce masih dalam masa pertumbuhan di Asia Tenggara dan sektor ini akan terus berkembang melebihi lima kali lipat dalam beberapa tahun mendatang. Melihat fakta bahwa Indonesia sebagai pasar dan ekonomi terbesar di kawasan ini, logistik akan memiliki banyak peluang di negara ini.

Faktor ini membuat Togelang dan timnya di Kejora yakin dengan investasi mereka pada SiCepat Ekspres, yang dianggap sebagai salah satu investasi Seri A terbesar di kawasan ini. Selain itu, para pendiri juga memiliki rekam jejak yang terbukti dalam perdagangan dan logistik. Selama ini, SiCepat Ekspres telah menunjukkan perkembangan yang menjanjikan, pendapatannya telah tumbuh lebih dari 15 kali lipat sejak Kejora pertama kali mendanai putaran awal di dua tahun lalu, menurut Togelang.

“Mengingat tingkat pertumbuhan pasar yang kuat, mengembangkan perusahaan logistik bukanlah perkara sulit. Namun, tantangan sebenarnya adalah untuk membuatnya profitable. Kami, sangat menyayangkan, melihat beberapa pemain logistik lainnya masih mendewakan strategi ‘bakar uang’. Karena itu, ketika mempertimbangkan perkembangan pesat dari SiCepat dengan tetap mempertahankan inti bisnis yang kuat, kami merasa percaya diri untuk berinvestasi di perusahaan ini,” ujarnya.

Photo by Marcin Jozwiak on Unsplash
Photo by Marcin Jozwiak on Unsplash

Mengincar Efisiensi

Seluruh proses rantai pasok logistik adalah penggabungan dari berbagai fungsi, seperti transportasi, pergudangan, pengemasan, distribusi, penyimpanan, dan sebagainya. Menurut laporan PwC berjudul Shifting Patterns: Future of The Logistics Industry, kurangnya “budaya digital” dan pelatihan adalah tantangan terbesar bagi perusahaan transportasi dan logistik konvensional.

Hal ini memungkinkan startup teknologi pendatang baru untuk mengisi celah dan menangkap peluang bisnis. Mereka dapat mendigitalisasi kegiatan operasional inti untuk menciptakan sistem logistik yang cerdas.

Beberapa teknologi utama yang digunakan oleh startup logistik termasuk identifikasi frekuensi radio (RFID), GPS, komputasi awan, dan analisis data. Logistik yang cerdas diharapkan bisa meningkatkan proses pengangkutan barang, manajemen inventaris, menemukan dan mengelola gudang, mengisi kembali stok, serta pengalaman ritel secara keseluruhan.

Tiger Fang, salah satu pendiri dan CEO Kargo Technologies, menyadari bahwa ada permintaan dan peluang yang tinggi di sektor ini. Fang adalah mantan eksekutif Uber yang berada dibalik peluncuran operasi perusahaan AS tersebut di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan lamanya untuk membangun startup teknologi logistik pada tahun 2018.

“Saya pikir digitalisasi truk dan logistik bukan tentang “bagaimana”, tetapi “kapan”. Pada saat Uber melakukan merger dengan Grab, kami beroperasi pada skala yang cukup signifikan, terdapat jutaan perjalanan setiap minggu di 40 kota di Indonesia, ”kata Fang kepada KrASIA. “Uber berada di bidang logistik untuk mobilitas populasi, sedangkan Kargo dalam bidang logistik untuk pengiriman barang,” lanjutnya.

Fang mengatakan bahwa sekitar 75% perusahaan truk di Indonesia memiliki kurang dari 20 truk. Oleh karena itu Kargo menawarkan mereka digital gateway untuk mendapatkan pekerjaan lebih cepat, dibayar lebih cepat, dan memperluas bisnis.

“Logistik mencakup hampir seperempat dari PDB Indonesia yang bernilai US$1 triliun, namun tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai serta diliputi berbagai inefisiensi,” kata Fang. Ia menjelaskan bahwa truk yang mengantarkan barang dari pusat-pusat produksi perkotaan seringkali pulang tanpa muatan, untuk mendapatkan pekerjaan sehari-hari pengemudi truk hanya mengandalkan beberapa panggilan telepon dan grup WhatsApp, kontrak masih ditulis tangan, dan pembayaran terkadang dilakukan berbulan-bulan setelah Sopir menyelesaikan pengiriman.

Mengamati kondisi ini, Fang beserta tim Kargo mengembangkan aplikasi driver dan dasbor perusahaan yang menawarkan pelacakan lokasi real-time, pilihan pekerjaan, pembuatan faktur, bukti pengiriman digital, juga pembayaran yang terintegrasi secara mulus dengan semua sistem.

“Sementara itu, di sisi pengirim, mereka dapat melacak aset mereka secara real-time dan memiliki akses ke jaringan truk terbesar sehingga mereka dapat fokus pada bisnis inti mereka. Hal ini akan menumpas segala kekhawatiran tentang bagaimana menemukan truk dan membayar lebih banyak untuk broker, ”lanjutnya.

Kargo Technologies menyederhanakan rantai pasok pengiriman barang dengan layanan mereka, menjadikannya jauh lebih efisien serta menguntungkan kedua belah pihak baik perusahaan pengirim maupun perusahaan angkutan.

Selain pengiriman barang, cabang logistik lain yang saat ini sedang mengalami disrupsi inovasi digital adalah pergudangan. Awal tahun ini, perusahaan e-commerce terbesar di Indonesia, Tokopedia, meluncurkan layanan pengadaan yang disebut TokoCabang, memanfaatkan jaringan gudang pintar yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Melalui TokoCabang, penjual Tokopedia dapat menyimpan produk mereka di jaringan gudang. Perusahaan juga memberikan dukungan mencakup penanganan pesanan masuk, pengemasan, dan penyerahan paket kepada kurir pengiriman.

Pemain lain di industri pergudangan ini adalah startup mikro-pergudangan Crewdible dan pengadaan e-commerce lintas wilayah AllSome. Yang terakhir adalah startup Malaysia yang saat ini sedang bersiap untuk masuk ke Indonesia.

Layanan manajemen gudang ini biasanya ditujukan untuk usaha kecil dan menengah (UKM) yang memiliki bisnis dan inventaris yang meluas tetapi tidak mampu menyewa ruang penyimpanan besar untuk bisnis  mereka sendiri.

“Salah satu misi Crewdible adalah untuk mendukung penjual individu kecil untuk menciptakan bisnis yang mapan. Dengan menangani tugas paling sulit dan biasa dari bisnis e-commerce, Crewdible bertujuan untuk membebaskan waktu penjual sehingga mereka dapat fokus pada pengembangan bisnis, menambahkan lebih banyak produk, dan melakukan lebih banyak pemasaran,” jelas CEO Crewdible Dhana Galindra kepada KrASIA.

Crewdible juga memungkinkan ruang kosong yang tak terhuni dan mengubahnya menjadi bisnis, memberikan manfaat yang sama bagi pedagang e-commerce dan pemilik ruang.

Photo by Ruchindra Gunasekara on Unsplash
Photo by Ruchindra Gunasekara on Unsplash

Bisnis yang menjanjikan

Menemukan model yang tepat dan berkelanjutan adalah tantangan besar bagi semua bisnis, termasuk startup teknologi logistik. Karena industri tidak memiliki pemain dominan, para pemula perlu banyak eksperimen untuk menemukan cara-cara yang tepat dalam menjalankan bisnis. Namun, beberapa pemain industri percaya bahwa bisnis di industri ini sangatlah menjanjikan dan mereka mampu menghasilkan arus kas positif bahkan dalam periode yang relatif singkat.

“Ada banyak cara untuk menghasilkan uang. Kami telah berhasil menguji coba model berlangganan dengan ratusan orang yang mau membayar. Ketika kami mempertemukan pengirim dengan pengangkut, terciptalah tingkat pengambilan yang baik dalam industri, validasi model bisnis, serta beberapa unit ekonomi terkait. Saat ini, kami fokus untuk membangun likuiditas dan jaringan, jadi kami berinvestasi dengan cara ekspansi ke pelanggan korporasi dan secara geografi. Pialang tradisional biasanya mengenakan komisi hingga 20% untuk setiap pengiriman, ”kata Fang.

Ia mengungkapkan, Kargo Technologies telah memenangkan klien tenda dan kontrak dan sekarang jaringan truk terbesar di Indonesia hanya dalam enam bulan operasi. Perusahaan sejak awal telah memiliki unit ekonomi positif dan sudah berada di jalur menuju profitabilitas, Fang menambahkan.

Rooling Njotosetiadi, salah satu pendiri dan CEO startup pengiriman barang yang baru didirikan Logisly, juga memiliki optimisme yang sama. Platform Logisly diluncurkan pada Januari 2019, dan perusahaan telah melihat arus kas positif dalam waktu kurang dari setahun. “Kami menuai margin positif dari transaksi dengan membantu pengirim dan perusahaan angkutan truk menjadi lebih efisien dalam mengirimkan barang,” ungkap Njotosetiadi.

“Sementara sistem mempertemukan pengirim dengan truk yang kosong, kami menawarkan kesepakatan yang lebih baik bagi kedua pelanggan. Sebagai contoh, untuk sebuah truk yang sudah membawa muatan dari Surabaya ke Jakarta, daripada pulang dengan muatan kosong, perusahaan truk berharap untuk memuat sesuatu dalam perjalanan pulang dengan harga yang lebih rendah. Kita bisa mendapat margin dari itu, ”lanjutnya.

Model bisnis ini terlihat tanpa cacat. Meskipun perusahaan terhitung muda, Logisly telah bermitra dengan lebih dari 200 perusahaan angkutan truk dan telah bekerja dengan sekitar 100 pengirim barang dari berbagai sektor.

Crewdible juga menerapkan strategi yang sama. Galindra mengatakan bahwa logistik, terutama pergudangan, tidak memerlukan strategi bakar uang karena mereka menawarkan layanan terfokus untuk pasar yang memiliki segmen khusus.

“Mungkin dalam hal naik kendaraan, pengguna akan memilih platform yang lebih murah karena operator naik kendaraan cenderung menawarkan layanan yang sama: membawa penumpang dari titik A ke titik B. Namun, di pergudangan, kami menawarkan nilai dan layanan seperti jaminan kualitas, keamanan penyimpanan, kecepatan respons, dan banyak lagi. Sebuah bisnis tidak akan keberatan membayar sedikit lebih banyak selama layanan bisa memenuhi kebutuhan mereka, “katanya.

Untuk penjual online, Crewdible mengenakan biaya 3,5% untuk setiap faktur atau maksimum Rp 10.000 (US$0,71). Biaya ini kemudian dibagi — 80% untuk pemilik gudang dan sisanya untuk Crewdible, kata Galindra. Ia menyampaikan bahwa dengan model bisnis yang jelas, Crewdible telah menunjukkan perkembangan positif. Perusahaan belum lama ini membukukan US$1,5 juta dari Global Founders Capital dan bertujuan untuk mencapai profitabilitas 13 bulan dari sekarang.

Kompetisi terbuka lebar

Menurut Mordor Intelligence, sektor logistik Indonesia tidak memiliki tingkat konsentrasi industri yang tinggi. Pemain internasional bertanggung jawab atas sekitar 30% dari ukuran pasar sementara 70% sisanya terdiri dari pemain lokal.

Lapangan masih terbuka lebar untuk startup teknologi logistik karena saat ini tidak ada pemain tunggal yang mendominasi sektor ini.

“Jika kita melihat perkembangan pasar negara-negara lain, logistik bukanlah sektor dimana pemenang-mengambil-semua. Kami berharap akan ada dua hingga lima pemain terkemuka di setiap vertikal. Khusus untuk pengiriman jarak jauh, lima pemain teratas akan terus bersaing untuk mendapatkan posisi terdepan. Namun, kami percaya kompetisi ini lebih mirip lari maraton daripada lari cepat. Oleh karena itu, pemain yang mampu memecahkan unit ekonomi dan profitabilitas sejak hari pertama akan lebih berkelanjutan dalam jangka panjang, ”kata Togelang.

Sebagai pendatang baru di industri ini, Njotosetiadi percaya bahwa logistik dan semua vertikalnya memiliki pasar yang besar di Indonesia. Ada kesempatan untuk setiap pemain dan karena itu, dia tidak terlalu khawatir mengenai kompetisi.

Investasi terus mengalir

KrASIA mencatat bahwa setidaknya delapan startup logistik mendapatkan investasi baru tahun ini. Mengingat industri ini membengkak dengan cepat, bukanlah hal yang mengejutkan jika lebih banyak investor menargetkan pasar logistik tahun depan.

Menurut Bhima Yudhistira, seorang analis ekonomi digital di Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), logistik adalah sektor yang akan berkembang dan menarik banyak investasi tahun depan.

“Sektor logistik sangat menarik karena memiliki banyak vertikal dan kami melihat bahwa banyak pemain baru menawarkan inovasi seperti gudang pintar di luar area metro. Para pemain ini juga bekerja sama dengan platform e-commerce, yang membantu mereka tumbuh cepat. Lingkup logistik Indonesia sangat besar, jadi saya pikir kita akan melihat transformasi yang lebih besar dalam bidang ini dalam waktu dekat,” ungkapnya pada KrASIA.

Togelang dari Kejora Ventures mengatakan bahwa teknologi logistik di Asia Tenggara bahkan belum menyentuh permukaan. Kejora berharap bisa melihat jauh lebih banyak kemajuan dalam sektor ini di masa depan serta perusahaan-perusahaan untuk secara aktif membentuk perkembangannya.

Berikut tertera daftar startup logistik Indonesia yang menjadi sorotan dan menerima kucuran dana segar pada 2019:

Kargo Technologies, pendanaan awal senilai US$7,6 juta pada bulan Maret dipimpin oleh Sequoia Capital India

Kargo Technologies adalah startup logistik yang mengintegrasikan pengirim dan penyedia logistik dalam satu pasar tunggal, menyelesaikan ketidakefisienan dan mengurangi biaya.

SiCepat Expres, pendanaan Seri A US$50 juta pada bulan April, dipimpin oleh Barito Teknologi dan Kejora InterVest Growth Fund

SiCepat Expres menawarkan kurir, gudang, serta layanan pengiriman jalur udara dan kargo di seluruh Indonesia, juga melayani puluhan ribu pedagang online. Perusahaan mengklaim telah mengirimkan lebih dari 200.000 paket setiap hari. Saat ini telah memiliki 600 outlet di seluruh negeri dan bertujuan untuk memiliki 200 drop point di Jabodetabek tahun ini.

Triplogic, pendanaan dengan jumlah yang tidak disebutkan dari East Ventures pada bulan Mei

Triplogic menangani pengiriman di 61 kota di seluruh negeri. Dengan menempatkan loker pintar di toko-toko lokal untuk digunakan sebagai titik drop-off, paket dapat dikirim ke tujuan mereka dalam waktu tiga jam. Triplogic mengklaim dapat menangani ribuan pengiriman setiap hari dan bertujuan untuk memiliki lebih dari 15.000 titik drop-off pada akhir 2019.

Waresix, pendanaan Seri A senilai US$14,5 juta pada bulan Juli, dipimpin oleh EV Growth, SMDV, dan Jungle Ventures

Startup ini menghubungkan pengirim dan bisnis dengan gudang dan truk yang tersedia di seluruh Indonesia, memberikan transparansi yang lebih baik, layanan berkualitas, dan peningkatan pendapatan bagi pemilik aset. Waresix saat ini memiliki lebih dari 20.000 truk dan 200 operator gudang di jaringan yang menjangkau seluruh penjuru negeri.

Ritase, pendanaan senilai US$8,5 juta dalam putaran investasi Seri A pada bulan Juli, dipimpin oleh Golden Gate Ventures

Ritase menyediakan sistem transportasi digital B2B yang cocok dengan pengirim dan pengangkut, menyederhanakan rantai pasok logistik untuk menciptakan proses pengiriman darat yang lebih efisien. Startup ini telah menjangkau 500 perusahaan transportasi kecil dan menengah, dengan lebih dari 7.500 truk dan 7.000 pengemudi yang terdaftar.

Logisly, pendanaan dengan jumlah yang tidak disebutkan dari Convergence Ventures dan Genesia Ventures pada bulan Agustus

Startup ini meningkatkan pemanfaatan truk dan membawa transparansi lebih untuk bisnis truk menggunakan teknologi.

Shipper, pendanaan awal senilai US$5 juta pada bulan September dari Y Combinator, Insignia, dan Lightspeed

Shipper adalah platform agregator logistik. Mereka bekerja dengan banyak mikro-hub dari seluruh penjuru untuk memungkinkan pickup mil pertama dan telah mengoperasikan sepuluh gudang untuk membantu pengadaan e-commerce.

Crewdible, pendanaan pra seri A senilai US$1,5 juta pada bulan Oktober dari Global Founders Capital

Crewdible menghubungkan penjual e-commerce dengan pemilik gudang untuk memenuhi pesanan. Mereka mengubah fasilitas kosong seperti rumah dan kantor menjadi gudang mikro.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial