Review COD Mobile – Game FPS di Mobile Terbaik Sejauh Ini

Call of Duty Mobile (COD Mobile) resmi dirilis pada 1 Oktober 2019 lalu. Animo gamers sudah terlihat sangat tinggi, bahkan ketika game ini belum resmi dirilis. Tercatat, ada 1,7 juta pemain yang sudah mendaftar saat game besutan Tencent dan Activision ini masih dalam masa pra-registrasi.

Dengan animo yang sebegitu besar, saya akhirnya turut terjerumus ke dalam hype dan mencoba game ini. Namun, awalnya saya merasa sangat skeptis. Alasan saya skeptis dengan COD mobile sebenarnya karena saya masih merasa bahwa FPS di mobile (dan konsol) adalah penemuan paling absurd sepanjang peradaban manusia.

Sebagai seseorang yang bermain FPS menggunakan mouse dan keyboard sejak zaman Wolfenstein 3D, saya merasa kontrol joystick untuk FPS sangat tidak praktis. Jika joystick saja sudah tidak praktis, apalagi virtual joystick yang ada pada kebanyakan mobile games zaman sekarang. Soalnya, menurut saya kontrol sentuh untuk pergerakan rumit ala game FPS terasa sangat tidak intuitif.

Tetapi, ternyata anggapan saya salah dan malah jadi ketagihan main COD Mobile, karena satu dan lain hal. Sebagai seorang penggemar Call of Duty kelas teri (karena saya hanya main COD versi jadul, itupun versi bajakan), berikut ulasan COD: Mobile, dan alasan kenapa game ini bisa dibilang sebagai FPS mobile terbaik sejauh ini.

Sensasi Adu Tembak Tempo Cepat Khas Call of Duty

Pertama, mari kita bahas soal elemen gunfight. Berhubung game FPS pada mobile phone yang saya mainkan hanyalah PUBG Mobile dan COD Mobile ini, jadi dengan sangat terpaksa, saya harus membandingkan pengalaman adu tembak pada kedua game tersebut.

Memang terkesan tidak sebanding, gunfight pada PUBG Mobile cenderung realistis, sementara gunfight COD Mobile bersifat fast-paced penuh aksi layaknya sebuah film laga. Dalam COD Mobile, pokoknya Anda cukup tekan tombol tembak, dan arahkan ke musuh. Mau Anda menembak sambil bergerak, sliding, ataupun lompat, tembakan Anda akan tetap tepat sasaran selama Anda menggunakan Aim Down Sight (ADS) atau bidikan senjata.

Mekanisme menembak juga lebih sederhana. Tak ada mekanisme lean atau miring ke kiri dan kanan seperti pada PUBG Mobile. Jadi untuk peeking, Anda bisa bergerak ke kiri dan kanan pada tembok yang ada. Recoil senjata juga lebih mudah dikendalikan. Anda bisa menembak spray 30 peluru sekaligus, namun masih tepat sasaran, sampai peluru terakhir. Selain itu, musuh-musuh juga bercahaya merah, yang membuat mereka jadi lebih mudah dideteksi.

Mekanisme Aim Down Sight (ADS atau menembak dengan membidik) yang hadir di COD Mobile juga terasa sangat khas Call of Duty, layaknya versi konsol ataupun PC. Jadi walau adu tembak berjalan dengan tempo yang cepat, Anda tetap harus melakukan transisi dari mode hip-fire ke mode ADS agar peluru Anda tidak nyasar. Transisi ini juga dapat dilakukan dengan mudah, yang nanti akan kita ulas secara lebih lanjut bersama dengan sistem kontrol lainnya yang disajikan dalam COD Mobile.

Tetapi, walau sedari tadi saya bilang menembak di COD Mobile itu mudah, bukan berarti game ini jadi membosankan. Sistem progression COD Mobile ditata dengan cukup rapih, membuat proses belajar di dalam game ini jadi menyenangkan dan sangat rewarding.

Pemain dibawa mempelajari game ini tahap demi tahap, mulai dari sistem kontrol dan cara menembak musuh, mekanisme-mekanisme permainan seperti Scorestreaks, sampai peraturan ragam mode pertarungan 5v5 yang jadi hidangan utama di COD Mobile.

Setelah Anda lepas dari mode tutorial, target selanjutnya Anda adalah menaikkan level akun agar dapat menikmati mekanik lanjutan yang ada di COD Mobile. Awal permainan, modal Anda hanyalah senjata M4 polos tanpa attachment, ditambah kemampuan Scorestreak dan Operator Skill saja. Mode permainan juga terbatas hanya Frontline 5v5.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Seiring level akun meningkat, Anda akan mulai menemukan kerumitan baru. Anda jadi bisa membawa perlengkapan tambahan. Muncul senjata baru dengan karakteristik tertentu yang tak bisa sembarang Anda gunakan. Muncul mekanisme perk (semacam skill pasif kalau di dalam MOBA) yang bisa membuat karakter jadi lebih cepat, lebih kuat, atau lebih sigap. Mode yang dimainkan juga jadi makin beragam. Ada mode Team Deathmatch, Domination, Search and Destroy, dan bahkan Battle Royale.

Pemain juga dibawa menikmati Ranked Match dengan tahap demi tahap. Pada rank terendah, Anda hanya bisa bermain Team Deathmatch saja. Nantinya pada rank tertinggi Anda akan dibawa bermain mode Search and Destroy yang tak hanya butuh kemampuan menembak saja, namun juga strategi yang solid.

Seiring waktu, permainan juga jadi semakin menantang mengikuti level akun dan rank yang Anda miliki. Awal-awal, musuh yang Anda hadapi mungkin hanya bisa menembak sambil diam. Semakin tinggi level dan rank, lawan-lawan Anda jadi bisa menembak sambil strafing dengan lincah, flick-shot cepat dengan senjata sniper bahkan dari jarak dekat sekalipun, dan lain sebagainya.

Antara 5v5 dengan Battle Royale

Pada beberapa paragraf sebelumnya saya sudah menyebut mode-mode yang ada di dalam COD Mobile. Pada intinya, COD Mobile membagi mode permainan jadi dua, 5v5 dan Battle Royale. Pertandingan 5v5 dibagi lagi menjadi beberapa bagian, Frontline, Team Deathmatch, Domination, lalu Search and Destroy.

Pada mode Frontline, setiap kali mati Anda akan langsung hidup kembali di tempat yang sama. Team Deathmatch mirip dengan Frontline, bedanya setelah mati Anda bisa hidup kembali di tempat yang berbeda. Domination masih memiliki peraturan ala Team Deathmatch, bedanya dalam mode ini Anda harus menguasai satu poin tempat atau lebih, dalam durasi selama mungkin agar dianggap menang.

Search and Destroy biasa ditemukan di game-game FPS di PC, seperti Rainbow Six: Siege ataupun Counter-Strike: Global Offensive. Pada mode tersebut, dua tim memiliki dua tujuan yang berbeda. Tim satu harus memasang bom, tim lainnya harus menggagalkan bom yang dipasang. Kematian dihukum lebih keras dalam mode ini. Setelah mati, Anda akan respawn, tapi pada ronde berikutnya. Siapa yang memenangkan 6 ronde (baik dengan memasang, menggagalkan bom atau membasmi semua tim musuh) akan memenangkan permainan.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Mode Battle Royale, sama seperti PUBG Mobile. Anda terjun, looting, bertahan hidup sampai akhir, lalu jadi juara. Namun, Battle Royale pada COD Mobile hadir dengan sedikit twist. Pemain bisa memilih satu dari enam Class yang ada. Ada Scout, Clown, Medic, Ninja, Defender, dan Mechanic.

Masing-masing punya kemampuan khusus. Scout bisa mendeteksi musuh, Clown bisa memanggil zombie yang menyerang musuh, Medic menyembuhkan musuh lebih cepat, Ninja punya mobilitas yang tinggi, Defender lebih tahan semua damage kecuali dari tembakan, dan Mechanic mampu mendeteksi jebakan dan kendaraan dengan lebih cepat.

Selain dari kelas, beberapa perbedaan Battle Royale versi COD Mobile ini adalah, Anda bisa menghidupkan kembali teman yang sudah mati, dan juga kehadiran helikopter sebagai salah satu pilihan kendaraan yang bisa dikendarai. Dihadapkan dengan fitur-fitur menyegarkan tersebut, entah kenapa saya tetap merasa Battle Royale di COD Mobile itu membosankan. Mungkin karena sudah terlalu terbiasa dengan baku tembak tempo cepat yang memacu adrenalin pada mode 5v5.

Sementara Battle Royale? Tempo pertarungan jadi lebih lambat, belum lagi proses pergerakan circle yang lambat, bikin saya jadi makin bosan. Kalau ada satu hal yang bisa diperbaiki dari COD Mobile Battle Royale, mungkin adalah mekanisme circle-nya. Membuat tempo circle jadi lebih cepat mungkin akan membuat permainan jadi lebih seru dan mendebarkan.

Selain itu, lawan yang saya hadapi, kadang juga terlihat seperti bingung mau melakukan apa; yang membuat permainan jadi semakin kurang menarik. Mungkin karena rank saya terlalu rendah, sehingga lawan yang saya hadapi belum segitu hebat, atau mungkin karena yang saya lawan adalah bot

Tetapi Battle Royale COD Mobile memberi pengalaman yang kurang lebih lebih mirip dengan Battle Royale pada Call of Duty: Black Ops 4. Jadi jika Anda seperti saya (yang hanya mampu mencicipi Call of Duty: Black Ops 4 saat free week saja, namun tidak bisa membeli karena harganya yang terlalu mahal), COD Mobile bisa menjadi padanan yang tidak terlalu buruk.

Secara keseluruhan, memang pertarungan 5v5 masih lebih superior di dalam COD Mobile. Tetapi keseruan 5v5 dalam COD Mobile lebih dari sekadar adu tembak saja, karena ada beberapa mekanisme unik yang cukup membedakan COD Mobile dengan game FPS biasanya. Dua hal yang terasa paling beda dengan kebanyakan FPS lain (baik PC ataupun Mobile) adalah Scorestreaks dan Operator Skill.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Mekanisme Scorestreaks sendiri sebenarnya pertama kali muncul pada mode multiplayer Call of Duty: Black Ops 2. Mekanisme ini memungkinkan pemain menggunakan ragam perlengkapan canggih, saat ia berhasil mengalahkan musuh secara berturut-turut tanpa mati. Perlengkapan Scorestreaks paling dasar ada 3, UAV, Hunter Killer Drone, dan Predator Missile.

UAV memungkinkan Anda untuk mendeteksi posisi musuh pada minimap. Hunter Killer merupakan drone kecil yang bisa diterbangkan, mencari musuh, lalu meledak. Sementara Predator Missile adalah rudal yang bisa Anda kendalikan untuk mengalahkan musuh-musuh. Seiring level Anda meningkat, pilihan Scorestreaks lain akan terbuka, tentunya dengan fungsi yang semakin variatif.

Sementara itu Operator Skill sendiri sebenarnya hampir mirip dengan perlengkapan Scorestreaks. Bedanya, Operator Skill biasanya berbentuk senjata. Setelah mendapat kill demi killbar Operator Skill akan terisi, dan bisa digunakan setelah bar tersebut penuh. Mekanisme ini mirip dengan mengisi skill ultimate pada Overwatch, kalau mungkin Anda pernah memainkannya.

Operator Skill yang pertama kali terbuka adalah Purifier, sejenis Flamethrower yang bisa membakar musuh dengan cepat. Seiring level meningkat, akan terbuka jenis Operator skill lain seperti, Scythe si gatling gun kecil yang mematikan, ataupun War Machine si grenade launcher peledak otomatis.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Tambahan fitur ini membuat aksi adu tembak di COD Mobile jadi sangat menyenangkan (dan juga sangat menyebalkan). Menyenangkan jika Anda berhasil mendapatkan Scorestreak atau Operator Skill, yang membuat Anda bisa semakin mendominasi jalannya permainan; terutama pada mode Team Deathmatch ataupun Domination. Menyebalkan jika Anda berada di sisi tim yang kalah, sehingga Anda harus mati oleh segala peralatan aneh yang akan membuat Anda merasa permainan jadi tidak adil.

Namun yang disayangkan adalah dua fitur ini cenderung tak terpakai dalam mode Search and Destroy. Operator Skill memang tidak diaktifkan dalam mode tersebut. Mode Scorestreak sebetulnya tetap ada, namun hampir tidak mungkin untuk bisa dimanfaatkan, karena setiap ronde, semua hal akan direset, termasuk progress Scorestreak.

Jadi pada mode Search and Destroy, pembeda yang terasa hanyalah fitur Perks saja. Ini sebenarnya tidak terlalu jadi masalah, tapi saya merasa, penambahan skill tertentu atau class tertentu pada mode ini tentu akan membuat COD Mobile jadi lebih berwarna.

Kontrol 1-tap ADS yang Mengubah Segalanya

Saya sudah mengatakan soal ini di awal paragraf, FPS mobile dengan kontrol virtual joystick itu sebenarnya sangat konyol dan tidak praktis sama sekali. Tapi untungnya COD Mobile berhasil membantah hal tersebut, dan menyajikan kontrol praktis, yang langsung secara 180 derajat mengubah sudut pandang saya terhadap game FPS di mobile.

Secara umum, sistem kontrol di COD Mobile dibagi dua, Simple Mode dan Advanced Mode. Kalau Anda baru mulai belajar main FPS di mobile, kontrol Simple Mode jadi kontrol paling praktis untuk Anda gunakan. Anda tak perlu lagi repot menyentuh kontrol tembak. Cukup swipe untuk arahkan moncong senjata Anda ke musuh, selanjutnya senjata akan secara otomatis menembak setelah beberapa saat menemukan musuh pada targetnya.

Kalau Anda tak mau repot menekan terlalu banyak tombol, kontrol ini bisa Anda gunakan, tapi hanya untuk sementara waktu. Ironisnya, ketika rank Anda semakin tinggi, kontrol ini justru malah tak lagi praktis karena musuh jadi bergerak semakin lincah.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Saya sendiri sebenarnya baru mencapai rank Veteran II dan level karater 30. Tetapi saya sudah kesulitan mendapat lebih banyak kill dengan kontrol Simpe Mode, karena crosshair tak sempat mengunci target yang bergerak dengan lincah dan luwes.

Untuk itu, Anda bisa menggunakan sistem kontrol Advanced Mode. Sistem ini sebetulnya punya layout yang mirip dengan PUBG Mobile. Virtual joystick di kiri, lalu tombol tembak, reload, bidik ADS, jongkok, lompat, perlengkapan dan segala macamnya di kanan. Namun menurut saya, satu pembeda sederhana yang  langsung mengubah pendapat saya terhadap game FPS di Mobile adalah sistem 1-tap ADS.

Pada sistem ini, satu kali tap tombol tembak, Anda akan otomatis transisi ke mode ADS dan menembak. Mode ini membuat pengalaman adu tembak di mobile jadi berkali lipat lebih praktis. Perubahan sederhana ini yang menurut saya, membuat gunfight di COD Mobile jadi jauh lebih nikmat jika dibandingkan dengan PUBG Mobile.

Fitur 1-tap ADS ini bahkan juga bisa Anda manfaatkan ketika menggunakan senjata laras panjang. Anda cukup tahan tombol tembak, swipe ke arah target, lepas tombol untuk menembakkan peluru ke musuh. Perubahan sederhana seperti ini, menurut saya, membuat beberapa teknik game FPS seperti flick-shot, tracking, atau menembak strafing, jadi bisa diterapkan dengan lebih mudah.

COD Mobile #9
Seperti pada PUBG Mobile, kontrol juga bisa dikustomisasi sesuai preferensi Anda. Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Tetapi menurut saya, fitur ini hanya membuat COD Mobile jadi lebih praktis saja karena pertandingan melawan pemain berpengalaman tetap membutuhkan skill tersendiri. Nyatanya dalam permainan, kemampuan jempol Anda tracking pergerakan adalah modal terpenting pemain dalam menghadapi adu tembak. Karena praktis tidak sama dengan mudah, menurut saya sistem seperti ini seharusnya bisa menjadi standar baru bagi game FPS mobile, terutama yang memiliki mode ADS.

Kendati ada mode 1-tap ADS, namun bukan berarti tak ada kekurangan pada sistem kontrol COD Mobile. Salah satu masalah yang saya rasakan adalah input gerakan virtual joystick dan menembak yang kadang tidak sinkron. Jadi, walau niat hati melakukan Strafing, karakter kadang jadi diam saja karena virtual joystick yang bergerak tidak karuan atau terlepas.

Mungkin ini ada hubungannya dengan kemampuan suatu smartphone menerima respon multitouch. Saya sendiri menggunakan Xiaomi Pocophone F1, yang memang terkenal punya banyak masalah terkait LCD. Jadi, mungkin memang butuh smartphone yang punya kemampuan merespon touch dengan baik, agar pengalaman bermain COD Mobile jadi lebih nyaman.

Monetisasi khas Tencent dengan Konten yang Itu-itu Saja

Rasanya kurang lengkap jika tidak menyematkan pembahasan tentang microtransaction atau monetisasi ketika mengulas game mobile. Apalagi mengingat strategi microtransaction adalah nyawa penyambung hidup bagi game mobile gratis.

Seperti kebanyakan game gratisan lainnya, COD Mobile langsung punya berbagai bentuk microtransaction sejak hari pertama dirilis. Semua elemen dalam game diberi skin, senjata, tas, parasut dan glider (untuk mode Battle Royale), kendaraan, emote, bahkan granat sekalipun punya skin tersendiri. Sayangnya, konten skin dan segala macam tetek-bengeknya dalam COD Mobile, terkesan membosankan dan repetitif.

Jika Anda mendapatkan konten tambahan dengan tantangan lebih, Battle Pass bisa menjadi alternatif. Seperti Royale Pass pada PUBG Mobile, Anda bisa mendapat berbagai macam hadiah dengan melakukan berbagai macam misi di Battle Pass COD Mobile. Walau penawaran Battle Pass di dalam COD Mobile kadang terasa mengganggu, tapi saya masih merasa bahwa ini adalah monetisasi paling fair bagi pemain. Cukup satu kali beli, dapat banyak item in-game, permainan juga jadi lebih menyenangkan karena reward dari misi Battle Pass.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Tetapi lagi-lagi konten Battle Pass juga cenderung repetitif dan membosankan. Isinya hanyalah Skin, Weapon XP Card, CP (COD Points, mata uang premium COD Mobile), dan Battle Pass Crate mulai dari Battle Pass level 100 sampai 400. Mungkin karena baru Season 1, jadi konten tambahan yang disediakan juga masih terbatas, belum ada variasi lain yang lebih menarik.

Misi yang disajikan dalam Battle Pass juga terbilang masih masuk akal. Anda bisa bermain seperti biasa dan level Battle Pass akan tetap naik secara tanpa disadari. Saya sendiri saat ini sudah berada di level 27 pada Battle Pass versi gratis, hanya dengan bermain seperti biasa saja — tanpa harus fokus diri pada suatu misi tertentu.

Lanjut ke topik lain dalam microtransaction, yaitu pengaruhnya terhadap gameplay. Beberapa pemain kadang enggan memainkan game multiplayer gratis karena khawatir dengan permainan akan cenderung jadi pay to win. Monetisasi pada COD Mobile memang berpengaruh ke dalam gameplay, karena skin senjata dalam game ini memiliki stat atau Perks.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Perks senjata tersedia pada beberapa skin dengan tingkat rarity tertinggi. Bagaimana cara mendapat senjata dengan tingkat rarity tertinggi? Tentu saja dengan ‘GACHA’. Sejauh ini saya sendiri merasa bahwa pengaruh Perks terhadap gameplay masih belum sampai di tingkat Pay to Win.

Memang beberapa Perks terdengar cukup menyebalkan. Contohnya senjata HG 40 – Black Gold, yang bisa Anda dapatkan pada Season Weapon Crate. Skin senjata tersebut punya Perks yang akan mengisi peluru Anda kembali jika Anda mendapatkan Double Kill. Bayangkan betapa menyebalkannya Perks ini, terutama dalam mode Team Deathmatch. Jika Anda sangat jago, Anda bisa terus hidup dan tak pernah kehabisan peluru. Tetapi, sepertinya Perks ini tak akan terlalu mengganggu dalam pertarungan Search and Destroy (yang mungkin akan jadi standar esports COD Mobile). Toh semuanya akan reset kembali setelah satu ronde selesai.

Grafis Biasa Saja dengan Animasi yang Luar Biasa

Saya sengaja meletakkan pembahasan soal grafis di bagian paling terakhir, karena saya kerap merasa urusan grafis sebenarnya antara penting-tidak-penting dalam sebuah game FPS kompetitif. Saya sendiri lebih sering menggunakan pengaturan Graphic Quality di tingkat Low dengan pengaturan Frame Rate di tingkat Max, agar dapat merespon segala sesuatu dengan lebih cepat.

Walau demikian, jujur saya kagum dengan grafis COD Mobile. Meski dengan pengaturan terendah sekalipun, saya masih tetap bisa menikmati tampilan grafis yang ada. Tekstur senjata ataupun lingkungan tetap terasa detail walau mungkin tidak HD. Mengubah Graphic Quality ke tingkat Very High akan membuka opsi grafis lainnya yang menurut saya cukup baik untuk sebuah game mobile.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Pada tingkat Very High Anda dapat menemukan fitur Depth of Field, Bloom, Realtime Shadow, Ragdoll, sampai Anti-Aliasing untuk lebih memperhalus lagi grafis Anda. Anehnya, saya tidak merasakan perubahan grafis yang signifikan saat mengubah pengaturan ke tingkat Very High. Perubahan paling terasa hanyalah animasi pergerakan musuh yang kini jadi lebih halus.

Memang, satu hal yang paling sangat saya puji dari COD Mobile ini adalah animasinya. Dalam pengaturan grafis Low sekalipun, Anda tetap dapat menikmati animasi pergerakan karakter layaknya game Call of Duty terdahulu. Animasi ketika berlari, transisi dari mode tembak hipfire ke ADS, dan bahkan ketika Anda sliding, semuanya terasa halus, yang mungkin setingkat dengan animasi game pada platform PlayStation Portable (2004).

Kesimpulan – Game FPS di Mobile Terbaik Sejauh Ini

Saya tidak bisa mengatakan bagaimana perbandingan antara COD Mobile dengan seri Call of Duty lainnya yang pernah rilis di PC ataupun konsol. Satu hal yang pasti, saya merasakan feels COD dari hal yang saya ingat pernah cicipi, seperti: gunfight tempo cepat namun tetap mengandalkan ADS yang khas COD, gadget dan senjata-senjata canggih ala Call of Duty: Modern Warfare, dan battle royale ala mode Blackout di Call of Duty: Black Ops 4.

Lalu, jika COD Mobile harus berdiri sendiri sebagai game FPS di mobile, saya juga merasa bahwa COD Mobile berhak mendapat gelar sebagai game FPS di mobile terbaik sejauh ini. Fitur 1-tap ADS adalah fitur sederhana yang membuat saya betah memainkan FPS di mobile bahkan berjam-jam sekalipun.

Terakhir kalau soal monetisasi dan microtransaction, saya merasa sejauh ini COD Mobile tidak terlalu memoroti pemainnya; walau tetap ada gacha skin di dalam game. Fitur Battle Pass harus diperbaiki lagi agar punya konten yang lebih menarik, namun itu bisa dimaklumi karena COD Mobile baru masuk season 1. Saya berharap semoga saja season 2 bisa menyajikan Battle Pass yang lebih variatif dan menarik bagi pemain. Terakhir, soal skin memberi Perks, mungkin bisa menjadi lampu kuning bagi Anda yang khawatir soal game yang Pay to Win. Sejauh ini, hal tersebut belum berdampak besar di dalam game, dan semoga seterusnya akan bertahan seperti itu.

Sparks:

  • Kontrol 1-tap ADS membuat pengalaman bermain FPS di mobile jadi sangat menyenangkan
  • Adu tembak 5v5 tempo cepat khas Call of Duty yang seru dan penuh aksi
  • Fitur kelas yang membuat mode Battle Royale jadi lebih menyegarkan
  • Animasi dan pergerakan karakter yang sangat halus bahkan pada pengaturan grafis tingkat Low sekalipun

Slacks:

  • Mode Battle Royale membosankan karena temponya terlalu lambat
  • Konten Battle Pass dan microtransaction yang itu-itu saja
  • Skin memberi Perks, berpotensi menjadi pay to win
  • Grafis terkesan biasa saja, bahkan pada tingkat pengaturan Very High

[Review] Mario Kart Tour – Hubungan Tanpa Komitmen

Sekilas di atas kertas, Mario Kart Tour terdengar seperti game dengan konsep ideal. Mario Kart sendiri pada dasarnya merupakan game yang seru untuk dimainkan bersama orang lain, jadi bisa memainkannya secara online tentu menyenangkan. Selain itu Mario Kart juga asyik dimainkan di perangkat portabel, misalnya di Nintendo 3DS atau Switch. Ketersediaan Mario Kart di smartphone jelas merupakan suatu wujud kenyamanan, karena kita jadi bisa bermain di mana saja tanpa harus membawa gawai elektronik tambahan.

Pada praktik nyatanya, Mario Kart Tour berhasil memenuhi ekspektasi itu sampai tahap tertentu. Namun ada beberapa hal yang membuat pengalaman bermain dalam game ini kurang maksimal, yang patut dipertanyakan karena hal-hal itu berakar dari keputusan desain aneh dari developernya. Seolah-olah Nintendo sebetulnya bisa membuat game ini lebih baik lagi, tapi sengaja tidak melakukannya karena Mario Kart Tour adalah sebuah mobile game.

Jadi apakah Mario Kart Tour layak untuk dimainkan, terutama bila Anda merupakan seorang penggemar setia seri Mario Kart? Simak pembahasannya di bawah.

Mario Kart dalam genggaman

Secara garis besar, Mario Kart Tour mempertahankan berbagai karakteristik yang membentuk inti dari seri Mario Kart. Di sini Anda akan memainkan sejumlah tokoh dari seri Super Mario Bros. untuk adu cepat mobil gokar di jalanan. Selain Mario, Luigi, dan Bowser, Anda juga akan bertemu dengan puluhan tokoh lainnya, termasuk Donkey Kong, Diddy Kong, Peach, Yoshi, Rosalina, dan masih banyak lagi.

Ketika melakukan balapan, ada beberapa hal yang bisa Anda pilih. Pilihan sirkuit serta mobil jelas ada seperti game balap pada umumnya, tapi kemudian ditambah juga dengan pemilihan glider yang dapat membantu mobil Anda melayang di udara. Pilihan kelas kecepatan juga tersedia, mulai dari yang paling lambat yaitu 50 cc, 100 cc, 150 cc, hingga 200 cc. Sampai di sini Mario Kart Tour mirip dengan seri Mario Kart aslinya. Tapi kemudian Anda akan menemukan banyak sekali perbedaan yang membuat game ini punya nuansa unik.

Mario Kart Tour - Screenshot 1

Perbedaan pertama yang paling mencolok adalah jumlah putaran (lap) dalam setiap balapan. Mungkin karena ini mobile game, di mana pasarnya adalah gamer kasual, Mario Kart Tour hanya memperbolehkan kita balapan sebanyak dua lap, tidak lebih.

Menurut saya dua lap itu terasa sangat kurang. Memang benar sih, mobile game idealnya bisa dinikmati dalam sesi permainan singkat. Tapi saya berharap Nintendo juga menyediakan pilihan lap yang lebih banyak, misalnya tiga atau lima. Apalagi mengingat Mario Kart adalah game yang cukup “brutal” persaingannya, jumlah lap sedikit membuat kita bisa kehilangan kesempatan mengejar musuh hanya gara-gara terkena satu serangan atau melakukan satu kesalahan.

Rasa kurang puas itu semakin diperkuat karena seri Mario Kart punya fitur di mana lagu latar akan berubah jadi lebih menegangkan ketika memasuki lap terakhir. Di Mario Kart biasa, fitur ini sangat pas untuk menaikkan semangat kompetisi kita begitu balapan mendekati akhir. Di Mario Kart Tour fitur ini jadi terkesan aneh, karena lagu aslinya baru berjalan sebentar (satu lap) tapi sudah diganti. Bukannya memunculkan ketegangan, pergantian lagu ini hanya bikin sebal dan saya berharap ada opsi untuk mematikannya.

Mario Kart Tour - Screenshot 2

Perbedaan kedua, berhubung game ini dimainkan di smartphone maka jelas Mario Kart Tour menggunakan kontrol sentuh. Menurut saya Nintendo berhasil mengimplementasikan sistem kontrol yang sangat baik dan intuitif. Mobil akan berjalan ke depan secara otomatis, namun bisa kita belokkan dengan cara swipe kiri atau kanan. Menembakkan senjata bisa dilakukan dengan swipe atas atau bawah, tergantung dari Anda ingin menembak ke depan atau belakang.

Bila Anda menahan posisi belok untuk waktu yang cukup lama, mobil Anda otomatis akan masuk pada kondisi drifting. Lepaskan jari setelah drifting, maka mobil Anda akan memperoleh dorongan kecepatan tambahan. Kontrol default ini disebut Automatic Drifting, tapi tersedia juga versi alternatif yang disebut Manual Drifting. Tinggal pilih mana yang Anda suka.

Ternyata bukan game balapan?

Perbedaan ketiga, seiring Anda bermain maka Anda akan sadar bahwa tujuan permainan ini bukanlah untuk meraih peringkat pertama sebagaimana game balapan pada umumnya. Apa maksudnya? Jadi begini. Dalam Mario Kart, pemilihan karakter, mobil, serta glider akan berpengaruh terhadap performa Anda di sirkuit, seperti aspek kecepatan, kontrol belok, dan semacamnya. Tapi di Mario Kart Tour ada satu aspek tambahan, yaitu skor.

Mario Kart Tour - Screenshot 3

Karakter, mobil, dan glider masing-masing memiliki stat skor tersendiri. Skor tersebut kemudian ditambahkan dengan skor yang Anda peroleh selama balapan, misalnya dari keberhasilan mendapatkan boost, menyerang musuh, atau aksi-aksi lainnya.

Skor total inilah yang menjadi dasar penilaian performa Anda di akhir balapan, bukan posisi finis. Memang posisi finis juga mempengaruhi skor, tapi itu hanya salah satu faktor. Meskipun Anda finis di peringkat lima misalnya, Anda bisa saja meraih skor lebih tinggi dari peraih peringkat pertama. Kemudian bila Anda berhasil meraih skor tertentu dalam suatu balapan, Anda akan memperoleh bintang (Grand Star) yang bisa digunakan untuk membuka sirkuit balap berikutnya.

Sistem penilaian melalui skor ini membuat Mario Kart Tour jadi terasa memiliki unsur RPG, karena setiap karakter, mobil, dan glider bisa ditingkatkan levelnya supaya memberikan skor yang lebih tinggi. Tentu saja, itu berarti Anda harus banyak grinding.

Setiap karakter, mobil, dan glider juga bisa memberi keuntungan di suatu balapan spesifik. Misalnya, dengan menggunakan Yoshi balapan Yoshi Cup, Anda bisa langsung mendapatkan tiga senjata setiap kali menghancurkan kotak senjata. Ada juga mobil tertentu yang akan membuat skor Anda meningkat dua kali lipat di akhir balapan. Ini masih ditambah dengan kemampuan-kemampuan pasif khusus, seperti boost lebih cepat, slipstream lebih lama, dan lain-lain. Karakter juga memiliki senjata spesial berbeda-beda yang bisa Anda dapatkan di tengah balapan, jika Anda beruntung tentunya.

Mario Kart Tour - Screenshot 4

Bisa ditebak, semakin tinggi level dan semakin banyak karakter, mobil, serta glider yang Anda miliki maka semakin besar pula keuntungan yang Anda dapat saat balapan. Dan pastinya bisa ditebak juga bahwa semakin langka sebuah karakter/mobil/glider, semakin besar pula keuntungannya. Jadi selamat rajin grinding, dan selamat rajin mengundi gacha.

Tak cuma jago kandang

Dari tadi kita sudah membahas aspek gameplay Mario Kart Tour secara cukup detail, tapi bagaimana dengan kualitas atau production value dari game ini? Saya bisa bilang dengan yakin bahwa Nintendo sama sekali tidak kompromi. Mario Kart Tour menyajikan kualitas visual begitu mulus, nyaris setara dengan Mario Kart 8 di console Wii U. Framerate sepanjang permainan pun sangat stabil, membuat pengalaman balapan begitu asyik dinikmati.

Saya memainkannya di smartphone Oppo F7 yang memiliki cip grafis Mediatek Helio P60 dan performanya bagus sekali, tidak ada stutter, penurunan framerate, atau masalah teknis lainnya. Sekali lagi, Nintendo menunjukkan bahwa mereka mampu menjaga kualitas produk meski bukan di platform milik sendiri.

Kemudian dari segi konten, Mario Kart Tour punya berbagai macam Cup yang bisa Anda buka dengan mengumpulkan Grand Star. Satu Cup ini terdiri dari empat balapan, tiga di antaranya adalah balapan biasa dan satu sisanya merupakan tantangan khusus, misalnya ring race, mengumpulkan koin, atau balapan melawan karakter bos.

Mario Kart Tour - Screenshot 5

Balapan itu dilakukan di berbagai sirkuit yang mengambil dari seri Mario Kart lainnya. Misalnya Neo Bowser City dari 3DS, Mario Circuit dari SNES, dan Yoshi Circuit dari GameCube. Sirkuit ini bukan sekadar reuse aset dari game lain, tapi Nintendo mendesainnya ulang agar sesuai dengan tampilan visual serta keperluan gameplay di Mario Kart Tour.

Jumlah karakter, mobil, dan glider dalam game ini pun banyak sekali. Pada saat artikel ini ditulis, Mario Kart Tour memiliki 34 karakter, dan masih terus bertambah. Banyak di antara karakter tersebut yang sebetulnya merupakan variasi kostum saja, tapi dihitung sebagai karakter berbeda. Contohnya Mario berkostum Musician, Peach berkostum Kimono, Metal Mario, dan seterusnya. Anda bisa menghabiskan waktu lama untuk mengoleksi semuanya.

Sayangnya Mario Kart Tour memiliki kekurangan di segi mode permainan. Saat ini kita hanya bisa bermain di satu mode online saja, itu pun terkadang saya heran, sebenarnya kita bermain melawan orang sungguhan atau bot. Ada tombol pilihan Multiplayer di menu, namun tidak bisa diklik dan tampaknya baru akan diluncurkan di kemudian hari.

Untuk motivasi bermain tambahan, Anda bisa mencoba melengkapi berbagai tantangan. Misalnya melakukan Mini-Turbo Boost 150 kali, finis posisi 1 berturut-turut sebanyak 3 kali, dan banyak lagi. Tantangan ini ada yang sifatnya permanen, ada juga yang terbatas waktu. Dengan menyelesaikan tantangan, Anda bisa memperoleh imbalan berupa Ruby (mata uang premium game ini), Grand Star, atau badge yang bisa dipajang di profil.

Mario Kart Tour - Screenshot 6

Sejujurnya menilai konten game free-to-play seperti ini agak sulit karena sifatnya yang akan terus berubah seiring munculnya update. Tapi dari awal perilisannya pun, jumlah konten di Mario Kart Tour sudah cukup banyak, dan ini masih akan terus bertambah di masa depan. Setidaknya jumlah konten Mario Kart Tour sudah bisa memuaskan mereka yang ingin hiburan kasual, tapi bila ingin bermain secara lebih serius atau completionist, lain lagi ceritanya.

Investasi setengah hati

Nah, saatnya kita masuk ke pembahasan aspek yang paling tidak menyenangkan untuk dibahas: monetisasi. Saya paham bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis, dan bahwa developer game juga butuh makan. Jadi secara umum saya tidak punya sentimen negatif terhadap praktik monetisasi apa pun. Tapi dalam menilai monetisasi itu kita bisa melihatnya dari dua sudut pandang. Pertama, apakah value yang ditawarkan sesuai dengan harganya. Kedua, sejauh mana monetisasi itu berpengaruh terhadap gameplay.

Di sini Mario Kart Tour membuat saya merasa agak dilematis, karena ada sebagian aspek monetisasi di dalamnya yang menurut saya bagus tapi sebagian lainnya justru lumayan mengesalkan. Jadi saya bingung, antara ingin mendukung developernya karena sudah menciptakan game yang bagus tapi juga tidak ingin mendukung praktik-praktik yang bikin kesal itu.

Mario Kart Tour memiliki dua jenis mata uang, yaitu Coin dan Ruby. Coin bisa Anda kumpulkan selama balapan, sementara Ruby adalah mata uang premium yang bisa dibeli dengan membayar sejumlah rupiah atau menyelesaikan tantangan tertentu.

Coin bisa digunakan untuk membeli banyak hal, mulai dari tiket untuk upgrade mobil, mobil itu sendiri, glider, hingga karakter (driver). Pilihan item yang bisa Anda beli di Shop menggunakan Coin terbatas dan akan berubah secara acak setiap harinya, tapi buat saya ini sama sekali tidak masalah. Harga item yang ditawarkan pun tidak begitu mahal, jadi secara teori tidak perlu waktu lama untuk menabung Coin bila ingin membelinya.

Mario Kart Tour - Screenshot 7

Sayang, teori hanya tinggal teori. Sejauh ini mungkin sistem Coin terdengar bagus, tapi kemudian Nintendo merusaknya dengan membatasi perolehan Coin sebanyak maksimal 300 Coin per hari. Saya jadi bingung. Saya ingin bermain lebih lama supaya bisa mengumpulkan lebih banyak Coin dan membeli item yang saya incar. Kenapa malah dibatasi, seolah-olah saya tidak boleh terlalu lama bermain? Rasanya seperti dipaksa untuk jadi casual player, padahal saya ingin bermain sedikit lebih hardcore.

Karena batasan itu, bila saya ingin membeli karakter seharga 3.000 Coin, saya jadi harus grinding selama 10 hari. Ini cukup mengesalkan. Bisa ditebak, ada cara untuk memperoleh lebih banyak Coin setiap harinya, yaitu lewat bantuan kekuatan kapitalisme. Dengan mengorbankan sejumlah Ruby, Anda bisa mengakses mode bernama Coin Rush, sebuah mode khusus untuk mengumpulkan Coin dalam jumlah besar.

Selain mode khusus tersebut, kegunaan utama Ruby adalah untuk menarik undian gacha. Bayar 5 Ruby untuk 1 gacha, atau 45 Ruby untuk 10 gacha. Yang saya tidak suka dari mata uang premium ini adalah harganya sangat tidak bersahabat di kantong. Untuk membeli paket berisi 48 Ruby, kita harus membayar sebesar Rp389.000. Dua kali gacha 45 Ruby dan saya sudah bisa beli kaset Mario Kart 8 Deluxe di Nintendo Switch.

Harga semahal itu pun tidak menjamin Anda akan memperoleh karakter atau item yang langka. Kans mendapatkan item langka yang sedang dipromosikan (biasa disebut sebagai banner pull) hanya 1% dari setiap gacha, dan item yang didapat dari gacha pun bisa duplikat. Entah bagaimana dengan orang lain, tapi bagi saya, penawaran harga seperti ini sama sekali tidak worth it untuk dibeli.

Mario Kart Tour - Screenshot 8

Benda yang lebih layak dibeli adalah membership premium bernama Gold Pass. Dengan membayar Rp69.000 per bulan, Anda bisa mendapatkan imbalan-imbalan eksklusif setelah selesai balapan, termasuk karakter atau mobil langka dan sejumlah Ruby. Anda juga akan membuka berbagai tantangan baru, yang jika Anda selesaikan, akan memberikan imbalan berupa Ruby, badge, atau Grand Star.

Melihat harganya yang cukup murah, serta banyaknya imbalan yang diberikan, saya rasa Gold Pass ini monetisasi yang paling ideal bila Anda ingin mengeluarkan uang di Mario Kart Tour. Tapi, lagi-lagi, Nintendo merusaknya dengan hal yang tak perlu. Ternyata, Gold Pass ini berpengaruh besar terhadap gameplay. Hanya member Gold Pass yang bisa mengakses balapan kelas 200 cc, sementara pemain lainnya terbatas maksimal di balapan 150 cc.

Keburukan lainnya dari Gold Pass adalah sistem berlangganannya yang otomatis akan diperpanjang setiap bulan, kecuali bila kita membatalkan langganan secara manual. Jadi bisa saja saldo Google Play Anda tiba-tiba berkurang tanpa sadar, atau tiba-tiba muncul tagihan di kartu kredit Anda. Berbeda dari langganan PlayStation Plus yang bisa dipilih antara perpanjangan otomatis dan manual, tampaknya tidak ada cara untuk memilih di Gold Pass ini. Bagi saya, sistem perpanjangan demikian terasa seperti usaha untuk menarik uang tanpa persetujuan dari pemain, atau bahasa kasarnya, terasa seperti sebuah scam.

Mario Kart Tour - Screenshot 9

Kesimpulan: Hubungan tanpa komitmen

Saya cukup menyukai Mario Kart Tour. Kualitas keseluruhannya yang terpoles rapi, konten-kontennya yang menarik, serta keseruan mix-and-match antara berbagai karakter dan mobil yang ada berhasil memberikan sebuah hiburan yang terkadang bahkan lebih menarik dari seri utama Mario Kart. Ketersediaannya di smartphone sungguh menyenangkan, saya bisa memainkan Mario Kart di mana saja dan kapan saja, sambil menunggu pesanan di restoran, tiduran di kasur, atau di sela-sela suntuk kerja.

Tapi saya hanya bisa sebatas merasa “cukup suka”, tidak bisa melangkah lebih jauh ke “sangat suka” atau “cinta”, dan saya agak frustrasi karena penghalangnya justru adalah Nintendo sendiri. Batasan-batasan yang mereka terapkan dalam Mario Kart Tour seolah mengatakan, “Jangan terlalu dekat dengan saya,” padahal saya ingin lebih dekat lagi.

Mario Kart Tour - Screenshot 10

Saya ingin menikmati balapan 200 cc tanpa harus membeli Gold Pass. Saya ingin menjadi paid user dan membeli Ruby untuk gacha. Saya ingin bebas grinding mengumpulkan Coin setiap harinya. Saya ingin balapan berjalan lebih lama. Tapi Mario Kart Tour didesain untuk menjauhkan saya dari semua itu. Seperti naksir lalu ditarik-ulur, Mario Kart Tour berhasil memikat saya namun kemudian membuat saya malas untuk terus memainkannya.

Untuk sekarang saya masih menikmati game ini, dan masih berminat melihat akan ada konten baru seperti apa nantinya. Tapi berbeda dari beberapa game yang saya mainkan untuk waktu lama, Mario Kart Tour terasa seperti game yang bisa saya uninstall kapan saja tanpa merasa rugi. Ibarat hubungan tanpa komitmen, kita tak tahu kapan hubungan itu akan retak dan dua insan yang sempat dekat beralih jadi tak saling kenal lagi. Yah, selagi masih bisa, dinikmati saja.

Sparks:

  • Kualitas visual sangat ciamik, nyaris mendekati Mario Kart versi console
  • Banyak pilihan karakter, mobil, glider, dan sirkuit yang membangkitkan nostalgia
  • Kontrol yang mudah dan intuitif, dengan pilihan alternatif untuk kontrol versi expert
  • Mudah untuk mendapat item secara gratis lewat Coin
  • Mix-and-match karakter, mobil, dan glider menyenangkan untuk diulik
  • Performa teknis yang stabil membuat balapan jadi nyaman

Slacks:

  • Hanya bisa balapan sebanyak dua lap
  • Harga Ruby terlalu mahal
  • Balap 200 cc terkunci di balik Gold Pass
  • Jumlah Coin dan XP yang bisa didapat terbatas setiap harinya

[Review] Borderlands 3, Gameplay Nyaris Sempurna Terjegal oleh Performa yang Payah

Penantian panjang untuk penggemar seri Borderlands memang sudah berakhir dengan dirilisnya Borderlands 3 tanggal 13 September 2019 yang lalu. Sayangnya, Anda harus menunggu lagi untuk benar-benar mendapatkan pengalaman bermain yang ideal.

Sebelum kita masuk ke review Borderlands 3 (BL3) kali ini, saya harus jelaskan bahwa saya merupakan fans berat dari seri game yang satu ini. Saya memainkan semua seri BL (kecuali spin-off nya) mulai dari Borderlands (2009), Borderlands 2 (2012), dan juga Borderlands: The Pre-Sequel (2014). Borderlands 2 bahkan jadi salah satu game yang paling lama, dari total sekitar 2000 game PC, yang saya mainkan.

Jadi, tanpa basa-basi lagi, inilah review Borderlands 3 yang akan saya bagi ke dalam 3 kategori.

Gameplay: 93/100

Screenshot dari BL3
Screenshot dari BL3

Di aspek inilah BL3 nyaris sempurna. Buat yang belum pernah memainkan seri Borderlands sebelumnya, Borderlands (2009) adalah game pertama dalam sejarah yang berhasil mengawinkan genre RPG dan FPS dengan sangat baik. Sebelumnya, memang sudah ada game-game lain yang mencoba menggabungkan 2 genre tadi namun tidak ada yang berhasil membuat ramuan yang pas dan menyenangkan. Borderlands 2 bahkan berhasil mengembangkan formula awalnya dengan jauh lebih baik. The Pre-Sequel (BL:TPS), meski dikritik banyak orang, juga tetap sangat saya nikmati.

BL3, Gearbox kembali berhasil mengembangkan formula hebat tadi jadi nyaris sempurna. Senjata-senjata yang ada di sini terasa unik dan lebih variatif dibanding dengan yang saya temukan di BL2. Demikian juga equipment lainnya seperti Shield, Class MOD, Relic, dan Grenade Mod. Di BL2, ada banyak senjata dan equipment yang terasa sia-sia karena jelas kalah kegunaannya dengan beberapa opsi yang ada. Misalnya saja semua pistol jadi tidak menarik jika dibandingkan dengan Unkempt Harold dan semua sniper rifle pasti kalah damage dengan Pimpernel. End-game build (OP8-10) juga dapat dipastikan bahwa The Bee yang akan dijadikan Shield pilihan untuk mayoritas build yang ada.

Di BL3, saya belum merasakan ada senjata ataupun equipment yang benar-benar begitu dominan seperti contoh tadi. Namun demikian, penting dicatat, saya memainkan BL2 itu bahkan mungkin sudah lebih dari 1000 jam. Jadi, bisa saja saya belum menemukan equipment yang dominan di BL3 karena keterbatasan waktu saya bermain (karena harus mengejar review ini).

Skill tree dari BL3 untuk Amara
Skill tree dari BL3 untuk Amara

Skill dari masing-masing karakter juga jauh lebih menarik dibanding game-game sebelumnya. Setiap karakter punya build lebih dari 1 yang sama menyenangkannya untuk dimainkan. Dengan 4 karakter yang bisa Anda mainkan sekarang, Amara, Moze, Zane, dan Fl4k; ada banyak sekali build yang bisa dicoba sehingga membuat BL3 akan terasa menyenangkan jika dimainkan berulang-ulang. Karena kompleksitas masing-masing skill karakter yang disuguhkan, terlalu panjang jika semuanya saya jelaskan di sini. Anda bisa mencari banyak video di YouTube jika ingin tahu lebih detail tentang masing-masing karakter dan skillnya.

Satu hal yang pasti, dibandingkan dengan semua seri BL yang saya mainkan tadi, variasi karakter, build, equipmentskill, ataupun setiap elemen RPG-nya, BL3 jauuuuuuuuuuuuuuh lebih variatif.

Itu tadi jika dibandingkan dengan pendahulunya. Bagaimana jika gameplay nya dibandingkan dengan FPS lain yang baru-baru ini dirilis? Kebetulan, belum lama ini saya juga menamatkan Singleplayer Campaign untuk Rage 2 dan Wolfenstein: Youngblood. Saya tidak ragu mengatakan bahwa BL3 juga jauh lebih superior dibandingkan dengan 2 game tadi dari sisi kompleksitas gameplay-nya.

Jika dibandingkan dengan 2 game tadi, hanya Rage 2 yang lebih superior di satu aspek gameplay atas BL3. Rage 2 mampu menyuguhkan feel pertempuran (menembak, menggunakan skill, ataupun menghancurkan musuh berkeping-keping) yang paling asyik yang benar-benar belum bisa saya temukan di game lainnya. Namun di luar satu aspek tadi, BL3 menang di semua aspek gameplay lainnya.

Satu-satunya hal yang membuat saya belum berani memberikan skor sempurna (100/100) atas gameplay BL3 adalah soal balancing dan level scaling antar karakter. Pasalnya, dari semua BL yang saya mainkan, selalu ada 1 karakter yang jauh lebih superior dibanding yang lainnya. Lilith adalah karakter paling superior di BL(1), Salvador di BL2, dan Nisha di BL:TPS.

Misalnya saja di BL2, skala progress karakternya terlalu tinggi karena bisa sampai ke OP10 (dengan DLC terakhirnya). Namun hal itu tidak diimbangi dengan damage scaling yang sepadan untuk semua karakter. Hanya Salvador yang benar-benar bisa scaling dengan sangat baik di level tinggi (mulai UVHM). Hal inilah yang saya takutkan terjadi lagi di BL3.

Story-building: 74/100

Screenshot dari BL3
Screenshot dari BL3

Buat yang suka dengan game-game gratisan, mungkin aspek ini tidak masuk akal untuk Anda… Namun untuk game-game kasta bangsawan alias AAA, aspek-aspek pembangun cerita merupakan elemen penting yang bisa menentukan apakah sebuah game layak dibeli atau tidak.

Di bagian ini, ada beberapa hal yang bisa kita bahas yang menurut saya berpengaruh dalam menentukan kualitas story-building dari sebuah game.

Soal plot cerita, berhubung saya memang tidak ingin membocorkannya di sini, saya hanya akan membandingkannya dengan beberapa game lainnya. Semua seri BL yang saya mainkan memang nyatanya tidak terlalu fokus pada kekuatan plot cerita. Jadi, jangan berharap akan menemukan level kualitas alur cerita yang sama dengan Skyrim, The Witcher 3, Wolfenstein: The New Order, GTA V ataupun game-game lain yang benar-benar menjunjung tinggi aspek ini. Namun demikian, alur ceritanya mungkin masih terbilang baik untuk game multiplayer (meski memang lebih berat ke Co-Op) — mengingat kebanyakan game multiplayer bahkan tidak menyuguhkan aspek ini sama sekali.

Selain alur cerita, aspek lain yang saya kira masuk ke dalam bagian kerangka narasi di sini adalah soal karakter dan karaterisasi. Meski BL2 juga memang tak punya alur cerita yang istimewa, game tersebut punya Handsome Jack yang sungguh sangat berkesan dan menghibur. Buat saya, Handsome Jack bisa masuk dalam salah satu penjahat (villain) di game yang paling ikonik sepanjang sejarah.

Sayangnya, hal itu tidak saya temukan di tokoh antagonis utama di sini. Calypso bersaudara (Tyreen dan Troy) bahkan bisa saya bilang terlalu cheesy. Memang, saya tahu membuat tokoh antagonis yang ikonik itu sulitnya bukan main. Namun, berhubung sebelumnya Gearbox berhasil menciptakan Handsome Jack, ekspektasi saya mungkin jadi lebih tinggi soal ini.

Untungnya, karakter-karakter yang ada di game-game sebelumnya muncul kembali di sini dengan ciri khasnya masing-masing. Walau memang dari semua karakter yang muncul kembali, favorit saya tetap 2 karena keunikannya: Claptrap dan (Tiny) Tina.

Soal story-building, BL3 memang (sekali lagi) tak bisa disejajarkan dengan banyak game yang menaruh perhatian besar ke sana. Namun demikian, bagi saya, aspek ini masih bisa membuat saya terhibur dan menikmatinya.

Features & Performance: 31/100

Sebelum kita masuk ke performanya, di atas kertas, ada satu fitur menarik yang coba ditawarkan oleh multiplayer BL3. Pasalnya, BL3 menawarkan 2 sistem Co-Op: Cooperation dan Coopetition.

Screenshot BL3
Screenshot dari BL3

Mode Coopetition sama dengan yang pernah diterapkan di BL2 dan BL:TPS. Loot drop yang ada di game bisa diambil oleh semua pemain. Hal ini memang bisa menyenangkan jika bermain bersama kawan. Namun jika bermain bersama dengan orang yang tak dikenal, Anda harus berebut loot dengan mereka. Selain itu, loot di game tersebut bisa jadi tidak relevan jika Anda bermain dengan karakter yang levelnya di atas atau di bawah.

Contohnya seperti ini, Anda memainkan karakter level 24 bersama dengan orang lain yang menggunakan karakter level 35. Di sistem Coopetition atau di kebanyakan game-game Co-Op lainnya, loot yang Anda berdua dapatkan ada di level 24 ataupun level 35. Buat Anda yang level 24, Anda tidak bisa menggunakan loot jika yang drop adalah level 35 karena ada level requirements. Sebaliknya, karakter level 35 tidak lagi butuh loot level 24 karena stats nya sudah tidak lagi relevan.

Sistem Cooperation BL3, teorinya, mencoba menyelesaikan persoalan tersebut. Di situasi tadi, buat Anda yang masih level 24, musuh yang Anda hadapi dan loot yang didapat akan scaling ke level Anda meski bergabung bersama pemain level 35 ataupun malah level 11. Inilah keistimewaan fitur multiplayer dari BL3.

Sayangnya, itu tadi sebatas teori — setidaknya dari pengalaman saya mencobanya sendiri. Saat saya mencoba fitur ini, karakter saya level 26 bergabung ke game orang tak dikenal lewat Matchmaking yang karakternya sudah mencapai level 32. Anehnya, musuh yang saya hadapi di kesempatan tersebut justru malah level 19-21. Padahal, jika saya bermain sendiri, musuh-musuh di Map tersebut adalah sekitar level 24-26. Sekali lagi, karena keterbatasan waktu, saya memang hanya mencoba fitur multiplayer-nya tadi 1x. Semoga saja, di lain waktu, saya benar-benar bisa merasakan sistem multiplayer BL3 yang ideal.

Grafik framerate BL3 yang sangat fluktuatif dan tidak bisa dimaklumi. Screenshot diambil dari MSI Afterburner
Grafik framerate BL3 yang sangat fluktuatif dan tidak bisa dimaklumi. Screenshot dan grafik framerate diambil menggunakan MSI Afterburner.

Jika tadi saya menemukan keanehan dari fitur Multiplayer BL3, performa BL3 yang saya mainkan di PC bahkan bisa dibilang menyedihkan. Performa yang menyedihkan ini tidak hanya saya yang mengalaminya namun juga banyak orang, di berbagai platform. Coba saja googling “borderlands 3 performance issues” jika tidak percaya.

Inilah spek PC saya saat memainkan game ini:

  • Procie: AMD Ryzen 3 1300X
  • Motherboard: GIGABYTE AB350-Gaming 3
  • Memory: Corsair Vengeance LPX 2x4GB DDR4 2666MHz
  • Graphic Card: Palit RTX 2070 SUPER JS
  • Storage: Corsair Force LS SSD (Game Directory), Palit PSP120 SSD (System Directory).

Saya tahu betul spek saya di atas memang hanya istimewa di kartu grafisnya, dan bottleneck juga (karena memang lagi menabung untuk upgrade CPU). Namun demikian, dengan spek tersebut, saya bisa mendapatkan 56-60 fps (90% of the time, V-Sync: On) di resolusi 1080p, 60Hz di banyak game baru yang saya mainkan beberapa bulan terakhir seperti Rage 2, Wolfenstein: Youngblood, Remnant: From the Ashes, Gears 5, ataupun Greedfall. Target saya yang memang hanya 1080p dan 60Hz di jaman sekarang juga sebenarnya sudah minimalis untuk PC gaming karena sudah ada resolusi 4K ataupun 1440p dan refresh rate 120Hz ataupun 144Hz.

Setting grafis BL3
Setting grafis BL3

Di sini? Minimum framerate yang saya dapatkan bahkan anjlok sampai 30 fps dan itupun sangat fluktuatif. Sayangnya, meski saya sudah mengutak-atik setting visual yang ada di BL3 cukup lama, saya tetap saja tidak bisa mendapatkan fps yang stabil. Setting Volumetric Fog, Overall Quality, atau apapun yang saya coba tidak berhasil membuatnya mulus. Padahal, untuk Rage 2 dan Wolfenstein: Youngblood, saya bahkan tidak perlu repot-repot tweaking opsinya satu persatu.

Oh iya, saya kira perlu juga diketahui bahwa, selain sudah memainkan lebih dari 2000 game PC, saya juga hobi bermain modding di PC gaming — termasuk mainan ReShade (dulu dikenal dengan SweetFX) ataupun ENB. Jadi, saya sudah tidak asing lagi tweaking masalah grafis di PC gaming. Jika saya masih kesulitan mendapatkan framerate yang mulus di BL3, kemungkinan besar, banyak orang juga tidak akan mendapatkan yang smooth.

Average Score: 66/100

Akhirnya, Borderlands 3 tersedia di EPIC Games Store seharga US$44.99 (sekitar Rp632 ribu) untuk versi standarnya. Dengan harga yang harus Anda bayarkan, gameplay-nya memang sungguh istimewa dan paling asyik dari semua game FPS yang pernah saya mainkan. Ceritanya pun juga masih menghibur. Sayangnya, game ini seperti masih dalam tahap BETA untuk fitur multiplayer ataupun malah optimisasi performanya.

Jadi, buat Anda yang sudah mengeluarkan dana sampai Rp20 juta lebih untuk satu set PC gaming ataupun Rp8 juta lebih untuk satu buah kartu grafis dan tidak bisa menerima bermain game di bawah 50 fps (seperti saya), Anda mungkin harus bersabar sampai Gearbox menyelesaikan permasalahan performa BL3 sebelum membelinya. Pasalnya, ada alternatif game shooter ataupun RPG yang jauh lebih mulus dan tidak kalah menyenangkan yang dirilis belakangan ini.

Namun buat Anda yang punya standar framerate rendah (alias 30 fps) ataupun memang benar-benar mencari kombinasi FPS dan RPG yang ideal, BL3 wajib dimainkan.

[Review] Bloodstained: Ritual of the Night – Memberi Lebih dari yang Dijanjikan

Sepanjang sejarah, tidak banyak game yang kemunculannya begitu fenomenal sampai-sampai namanya mendefinisikan sebuah genre. Istilah seperti “DOOM clone” misalnya, walau sempat populer, lama-lama bergeser digantikan oleh nama genre “first-person shooter”. Tapi ketika sebuah game punya karakteristik begitu unik dan sulit dideskripsikan dengan kata-kata generik, judul game itu sendiri akan menjadi nama untuk sebuah genre.

Seri Castlevania, terutama Castlevania: Symphony of the Night adalah salah satu contohnya. Meski bukan game 2D pertama yang menawarkan eksplorasi nonlinier, judul yang muncul di era PS1 itu berhasil menciptakan sebuah formula baru hasil perpaduan eksplorasi di seri Metroid dengan elemen RPG dan estetika gotik. Formula ini kemudian dikenal dengan istilah “Metroidvania”, dan menjadi nama genre yang hingga kini masih banyak digunakan.

Koji Igarashi, otak di balik Castlevania: Symphony of the Night, sempat menelurkan berbagai sekuel dengan formula serupa sepanjang kariernya di Konami. Judul-judul seperti Castlevania: Aria of Sorrow (GBA) dan Castlevania: Order of Ecclesia (NDS) adalah beberapa contoh Metroidvania yang sangat populer dan digemari banyak orang. Akan tetapi pada akhirnya Igarashi memilih untuk berpisah dari Konami, sebab perusahaan tersebut tak lagi mau menciptakan game dengan genre Metroidvania.

“Saya merasa genre 2D action eksploratif masih bisa berevolusi lebih jauh lagi. Karena itu saya mencoba mempresentasikan rencana baru saya kepada para penerbit di seluruh dunia. Tapi mereka berkata bahwa game seperti ini tidak akan sukses terjual. Saya tidak bisa menerima hal itu!” demikian pernyataan Igarashi dalam videonya ketika ia meluncurkan proyek Bloodstained: Ritual of the Night di Kickstarter.

Dari awal sudah jelas terlihat bahwa latar belakang penciptaan Bloodstained ini adalah untuk membangkitkan kembali genre Metroidvania dan membuktikan bahwa masih ada pasar untuk genre tersebut. Lagi pula, tanpa Igarashi turun tangan pun, judul-judul Metroidvania baru masih terus bermunculan dari developer lain. Dust: An Elysian Tail, Hollow Knight, Dead Cells, hingga Ori and the Blind Forest hanya sebagian kecil contohnya.

Tapi perjalanan Igarashi menciptakan Bloodstained: Ritual of the Night pun tidak mulus. Berada di bawah bayang-bayang kegagalan Mighty No. 9 yang juga diluncurkan lewat Kickstarter, banyak penggemar ragu game ini bisa memuaskan mereka. Sebagian lainnya ragu formula milik Igarashi bisa mengikuti perkembangan zaman, apalagi sudah banyak judul Metroidvania lain yang dipandang lebih inovatif dari seri Castlevania.

Bloodstained ROTN - Screenshot 1

Ditambah kontroversi-kontroversi lain seperti kualitas visualnya yang kurang meyakinkan, dibatalkannya versi Wii Uketerlibatan penerbit, dan masih banyak lagi, Bloodstained: Ritual of the Night betul-betul sebuah game yang memikul banyak beban ekspektasi. Sekarang game ini telah dirilis, dan tiba waktunya menjawab pertanyaan: Apakah Bloodstained berhasil memenuhi semua ekspektasi itu?

Tak perlu bermulut manis

Berbicara tentang Bloodstained, saya rasa akan lebih baik bila kita mulai dengan membahas hal yang jelek-jelek dulu. Karena jujur saja, kekurangan dalam game ini sangat gamblang terlihat. Saya tidak bilang bahwa itu adalah kekurangan yang besar, atau kekurangan yang fatal sehingga membuat game ini tak layak dimainkan. Tapi satu hal yang pasti, kekurangan itu adalah hal pertama yang akan ditemui oleh orang yang memainkannya.

Kualitas visual dalam Bloodstained tidak berada dalam level sebuah game AAA. Ini adalah hal yang harus kita akui. Memang Bloodstained versi final sudah mendapatkan banyak perbaikan visual dibandingkan dengan di video-video trailer awal atau versi demonya, akan tetapi tetap saja kualitas visualnya masih kurang sempurna.

Dari segi artistik, sebetulnya game ini sudah sangat ciamik. Nuansa gotik dengan inspirasi desain Inggris era Victorian sangat kental terasa, dan setiap tokoh memiliki penampilan unik yang membuat mereka mudah diingat. Sentuhan fantasi yang disematkan juga terasa cocok sekali dengan tema Bloodstained yang banyak berhubungan dengan ilmu hitam dan dunia iblis. Bila Anda penggemar Castlevania, desain visual dalam game ini akan terasa sangat akrab di mata.

Kristal atau “Shard” adalah salah satu tema sentral dalam Bloodstained. Di sini dikisahkan bahwa manusia dengan bakat tertentu bisa memperoleh kekuatan sihir dengan menanamkan kristal-kristal ke dalam tubuhnya. Namun tentu saja, seperti banyak cerita yang berhubungan dengan alkimia, sebuah eksperimen berbahaya malah membuat dunia jatuh ke dalam bencana. Gerbang dunia iblis terbuka, dan Miriam sebagai seorang Shardbinder harus menghentikan mereka sebelum umat manusia porak poranda.

Corak kristal itu juga banyak dimunculkan dalam berbagai elemen visual Bloodstained: Ritual of the Night. Efek spesial ketika Miriam mengalahkan musuh lalu “menghisap” daya sihir mereka digambarkan dengan adegan kristal yang menghujam tubuh Miriam, sebuah penggambaran yang berada di perbatasan antara sadis dan keren. Tampilan ketika Miriam mengeluarkan berbagai macam sihir juga dihiasi dengan efek-efek spesial bertema kristal atau cahaya, membungkus unsur mistis keseluruhan game dalam satu tema yang konsisten.

Bloodstained ROTN - Bloodless

Sayangnya, implementasi riilnya dalam bentuk model 3D tidak bisa memfasilitasi desain artistik Bloodstained dengan maksimal. Mungkin karena keterbatasan dana, model-model karakter di game ini tampak memiliki poligon yang kurang detail. Tekstur yang digunakan terkadang terlihat kurang rapi, dan ada beberapa objek yang sebetulnya akan sangat bagus bila dimunculkan sebagai poligon tapi malah jadi tekstur datar saja.

Bila ada orang yang berkata bahwa Bloodstained terlihat seperti game era PS2, itu tidak salah. Tapi saya rasa bisa dimaklumi karena memang Bloodstained dikembangkan dengan bujet terbatas. Lagi pula, bila sudah asyik bermain, lama-lama kekurangan visual itu jadi tidak begitu terasa.

Kekurangan yang lebih signifikan dibandingkan visual justru ada di performa teknis. Saya ingat pernah membaca sebuah artikel wawancara dengan studio developer asli Bloodstained, yaitu Inti Creates, yang menyatakan bahwa mereka sebetulnya kurang suka/kurang berpengalaman membuat game 3D. Hal ini terlihat dalam berbagai aspek Bloodstained yang membuat permainan jadi terasa kurang nyaman. Dalam prosesnya, pengembangan Bloodstained akhirnya berpindah dari Inti Creates ke beberapa studio lain, yaitu ArtPlay (studio milik Koji Igarashi), DICO, dan WayForward. Tapi hasil akhirnya tetap masih kurang terpoles dari segi teknisnya.

Bloodstained ROTN - Alfred

Sebagai contoh, cukup sering game ini mengalami stutter (layar berhenti sesaat), misalnya ketika Miriam membunuh musuh atau menghancurkan objek tertentu. Transisi layar menu terasa kurang mulus, dan waktu loading yang diperlukan untuk memulai game juga cukup lama (meski tidak sampai parah seperti Final Fantasy XV). Terkadang teks dialog juga memiliki bug, misalnya tampilan overflow yang aneh atau malah adanya teks yang hilang.

Saya juga sempat mengalami crash sehingga kehilangan progres permainan. Untuk game dengan kualitas visual “seperti PS2”, setidaknya saya berharap performanya bisa lebih mulus dari ini. Saya memainkan Bloodstained di versi PS4, dan kabar yang beredar, sepertinya versi Switch memiliki performa yang lebih buruk. Ini bisa jadi pertimbangan Anda sebelum membeli.

Suksesi dan evolusi

Bila Anda betah menghadapi kualitas visual dan performa teknis yang kurang maksimal, Anda akan menemukan bahwa Bloodstained: Ritual of the Night merupakan sebuah hiburan hebat yang lebih dari sekadar kebangkitan genre lama. Di satu sisi, game ini benar-benar memiliki “feel” mirip dengan judul-judul Castlevania yang telah saya sebutkan sebelumnya. Tapi di sisi lain, Bloodstained menyimpan banyak sekali pengembangan baru yang menjadikannya layak disebut sebagai sekuel sejati ketimbang nostalgia saja.

Bila Anda mengikuti video-video Development Update yang dirilis oleh tim Bloodstained, mungkin Anda tahu bahwa Igarashi adalah director yang banyak mengambil keputusan berdasarkan feel dari sebuah game, dan paradigma pengembangan seperti itu sangat terasa dalam Bloodstained. Game ini merupakan sebuah game yang “feels great to play” sejak sentuhan pertama.

Pergerakan karakter Miriam sangat responsif, dan saya merasa selalu memiliki kendali penuh atas dirinya—aspek yang sangat krusial dalam sebuah game 2D action. Aksi-aksi dasar seperti melompat, backdash, sliding, serta melakukan serangan, semua terasa cepat dan terkontrol. Tidak pernah sekalipun saya merasa gerakan saya terbatas oleh lambatnya animasi game, dan hal ini terutama sangat penting ketika sedang bertarung melawan bos musuh.

Ketika baru mulai bermain, Anda mungkin akan merasa bahwa animasi serangan Miriam terlihat sangat sederhana. Tapi kesederhanaan itu justru membuat gerakan Miriam terasa efektif. Kita bisa melakukan serangan-serangan beruntun dengan cepat, apalagi bila dikombinasikan dengan teknik backdash canceling. Menghindar tiba-tiba dari serangan musuh juga mudah dilakukan, baik itu dengan cara backdash ataupun lompatan biasa.

Seiring permainan berjalan, Miriam bisa melengkapi dirinya dengan berbagai jenis senjata berbeda, dan setiap senjata memiliki feel berbeda pula. Contohnya, Dagger memiliki jangkauan serang yang pendek namun sangat cepat dan dapat menimbulkan status effect tertentu. Great Sword lambat dan berat, akan tetapi kekuatan dan jangkauan serangnya sangat besar. Pistol bisa digunakan untuk menyerang dari jauh dan dapat diisi berbagai macam peluru, tapi jumlah peluru itu terbatas dan harus Anda peroleh dari toko atau lewat Crafting.

Masih ada banyak jenis senjata lainnya, seperti Rapier, Katana, Shoes, hingga Whip. Ditambah dengan beberapa senjata unik dengan animasi serangan khusus seperti Flying Sword atau Rhava Bural, Anda benar-benar bebas dalam memilih gaya bermain sesuai keinginan. Serunya lagi, sebagian besar tipe senjata juga memiliki serangan spesial atau Technique tertentu yang bisa Anda pelajari. Serangan-serangan spesial ini bukan hanya membuat Anda merasa keren, tapi juga sangat berguna untuk melawan musuh-musuh di perjalanan.

Bloodstained ROTN - Valefar

Variasi permainan Bloodstained dari senjata saja sudah demikian luas, dan kita sama sekali belum membahas aspek Shard di dalamnya. Seperti dalam Castlevania: Order of Ecclesia, Miriam dapat menyerap kekuatan musuh dalam bentuk Shard kemudian menggunakannya sesuka hati. Terdapat enam warna Shard yang bisa Anda gunakan: Red (Conjure), Blue (Manipulative), Purple (Directional), Yellow (Passive), Green (Familiar), dan White (Skill).

Red Shard adalah Shard yang digunakan untuk mengeluarkan sihir serangan, misalnya melempar bola api, menurunkan sambaran petir, atau memanggil pasukan kelelewar. Purple Shard memiliki kegunaan serupa, bedanya sihir ini bisa diarahkan dengan stik analog. Blue Shard adalah sihir manipulasi diri sendiri, seperti meningkatkan stat atau berubah wujud. Yellow Shard memberi beragam efek pasif tertentu, seperti memperkuat serangan atau memberi kekebalan elemen. Green Shard akan memunculkan makhluk gaib untuk membantu Miriam. Dan terakhir, White Shard adalah Shard dengan efek permanen spesial yang umumnya berperan penting dalam eksplorasi (contoh: Double Jump).

Bloodstained ROTN - Techniques

Shard yang bisa Anda temukan sepanjang game jumlahnya ada ratusan, dan setiap Shard bisa diperkuat lewat alkimia atau dengan cara mengumpulkan Shard lebih banyak. Grinding mengoleksi Shard ini merupakan kesenangan tersendiri, dan bila Anda mau menginvestasikan waktu untuk memperkuat Shard tertentu, imbalannya terasa setimpal. Kombinasi beberapa Shard juga dapat dieksploitasi bila Anda ingin menciptakan seorang Miriam yang “imba” di suatu aspek.

Elemen RPG dalam sebuah game bergenre Metroidvania biasanya tidak terlalu dalam, tapi tidak demikian dengan Bloodstained. Dengan segala fitur Crafting, Techniques, dan Shard yang ada, Anda bisa menghabiskan waktu sangat lama untuk bersenang-senang dan menciptakan karakter terkuat. Di game ini Anda juga bisa menjalankan berbagai sidequest dari penduduk desa, memasak, hingga bertani. Fitur-fitur tersebut, walau sederhana, cukup menambah panjang daftar hal menarik untuk dikerjakan.

Bloodstained ROTN - 8-bit Dungeon

Bila hanya melihat sekilas dari trailer atau mencoba bermain sebentar, Bloodstained: Ritual of the Night akan terasa seperti sebuah Castlevania klasik. Sepertinya biasa saja, tidak inovatif, tidak flashy. Tapi begitu Anda menggali lebih dalam, barulah segala macam fitur yang aneh-aneh terkuak. Semakin makin banyak fitur yang Anda buka, Anda akan semakin sadar bahwa Igarashi dan timnya merancang game ini supaya segala macam “aturan” di dalamnya dapat dilanggar. Hasilnya adalah sebuah game yang sangat menyenangkan!

Taman ria penuh kejutan

Salah satu “penyakit” yang membawa berdampak buruk dalam industri game modern ini adalah bahwa sering kali developer menjanjikan terlalu banyak pada penggemar, tapi janji-janji itu tidak terealisasi dalam produk akhirnya. Tim developer Bloodstained justru melakukan sebaliknya. Mereka tidak banyak gembar-gembor janji, tapi justru memberikan lebih banyak hal dari yang diharapkan orang-orang. Bloodstained: Ritual of the Night penuh dengan kejutan-kejutan yang sebetulnya tidak kita minta dan tak ada pun tak apa-apa, tapi kehadirannya membuat game ini semakin seru.

Bloodstained ROTN - Screenshot 2

Saya rasa tidak ada yang berharap sebuah game Metroidvania memiliki fitur kustomisasi penampilan karakter, tapi Bloodstained memberikannya. Di sini kita bisa mengubah warna pakaian Miriam, model rambutnya, juga warna kulit dan matanya. Sejumlah Equipment juga akan mengubah tampilan visual Miriam, seperti scarf, topi, kacamata, topeng, tiara, helm, dan lain-lain. Akan tetapi Equipment ini akan mempengaruhi stat, jadi terkadang Anda harus memilih antara mengorbankan stat terbaik atau mengorbankan penampilan yang Anda inginkan.

Saya rasa tidak ada juga penggemar yang berharap Bloodstained akan dibintangi oleh voice actor ternama karena memang anggarannya terbatas. Tapi kemudian ternyata salah satu karakter penting di dalamnya, yaitu Zangetsu, memiliki suara yang diisi oleh David Hayter (Solid Snake). Pengisi suara Alucard dari Castlevania: Symphony of the Night juga hadir untuk memerankan karakter Orlok Dracule.

Aktor-aktor lainnya pun sudah berpengalaman dan berhasil menghadirkan performa yang menarik dalam adegan-adegan cerita. Menurut saya keterlibatan mereka menunjukkan bahwa Igarashi serius menggarap game ini, namun di sisi lain sebetulnya saya berharap mereka memberikan performa yang lebih “corny” dan “lebay” karena itu termasuk salah satu ciri khas seri Castlevania.

Berbicara tentang ciri khas Castlevania, Bloodstained juga menghadirkan referensi-referensi ke berbagai hal lain yang berkaitan dengan game tersebut. Mungkin Anda ingat bahwa Castlevania: Symphony of the Night memiliki dua ending, dan untuk membuka ending kedua (True Ending) Anda harus memainkan game nyaris dua kali lipat lebih lama. Bloodstained juga memiliki sistem ending yang sama. Tentu tidak saya bahas detailnya di sini karena akan jadi spoiler, tapi yang jelas bila indikator penyelesaian peta belum sampai 100% Anda jangan merasa bahwa permainan telah selesai.

Dengan harga banderol di angka US$39,99, saya memang berharap Bloodstained punya konten lebih banyak dari kebanyakan game indie di pasaran. Tapi ini terlalu banyak! Ditambah fitur New Game+, berbagai optional boss dan optional dungeon, hingga mode sampingan seperti Boss Rush, semuanya membuat saya geleng-geleng kepala. Bila Anda membaca-baca guide tentang fitur rahasia lainnya, mungkin Anda pun akan ikut geleng-geleng atau tertawa, karena banyak sekali hal yang sebetulnya tidak penting tapi menarik. Mungkin ini pertanda bahwa para developer Bloodstained tidak lupa bersenang-senang saat mengembangkan game ini.

Bloodstained ROTN - Character Customization

Igarashi juga menjanjikan berbagai update gratis di masa depan, termasuk penambahan mode-mode baru seperti Roguelike Mode, local & online multiplayer, hingga kemunculan Zangetsu sebagai karakter playable kedua. Konten-konten itu memang belum bisa kita nikmati sekarang, akan tetapi bila Anda menyukai game ini, ada banyak alasan untuk memainkannya dalam waktu yang lama—baik sekarang ataupun nanti.

Kesimpulan: Penyempurnaan cita rasa asli

Apa yang diinginkan oleh seorang penggemar kopi? Tentunya, kopi yang lebih enak, lebih variatif, dan lebih banyak. Sama seperti makanan, penggemar sebuah game pun saya rasa menginginkan hal serupa. Penggemar Castlevania ingin lebih banyak Castlevania, dan bukan Castlevania versi 3D seperti proyek reboot Konami yang tidak ada mirip-miripnya dengan Castlevania klasik.

Kritikus di luar sana boleh saja berkata bahwa ada game Metroidvania lain yang lebih inovatif atau lebih heboh daripada Bloodstained. Tapi sebagus-bagusnya game lain, mereka tetap bukan Castlevania. Hollow Knight bukan Castlevania. Dead Cells bukan Castlevania. Ori and the Blind Forest, Guacamelee, dan Dust: An Elysian Tail juga bukan Castlevania. Bloodstained inilah Castlevania, dengan segala karakteristiknya yang baik, yang buruk, dan yang nyeleneh dalam satu paket. Bila Anda rindu dengan seri Castlevania, saya yakin game ini akan menjadi penghilang dahaga yang memuaskan.

Bloodstained ROTN - Zangetsu

Apakah Bloodstained merupakan game Metroidvania terbaik di pasaran? Belum tentu. Bagi saya, Bloodstained: Ritual of the Night adalah game keren yang berhasil memenuhi janjinya sambil memberikan lebih banyak dari yang diharapkan penggemar. Sebagai sebuah “spiritual sequel”, game ini berhasil mempertahankan segala hal yang membuat seri Castlevania dicintai banyak orang, dan membawanya ke level yang lebih tinggi. Dilihat dari segi tujuan penciptaannya, Bloodstained sudah sukses besar.

Tapi Bloodstained juga masih memiliki berbagai kekurangan yang membuatnya belum bisa disebut sempurna. Aspek visual yang masih bisa diperbaiki lagi, serta performa teknis yang terkadang mengganggu permainan, adalah beberapa hal yang harus jadi bahan evaluasi bila Igarashi ingin merilis Bloodstained 2 nantinya. Igarashi sendiri memang sudah menyatakan keinginan untuk menjadikan Bloodstained sebuah franchise.

Game yang bagus tetap akan menjadi game yang bagus, tak peduli kapan kita memainkannya. Seperti Igarashi, saya pun percaya bahwa genre 2D action seperti ini masih punya tempat di hati para gamer. Tinggal bagaimana developer mengembangkan dan menyempurnakannya supaya terasa sesuai dengan perkembangan zaman. Entah bagaimana nasib seri Castlevania di tangan Konami nantinya, tapi saya sudah tidak perlu ambil pusing lagi. Sekarang sudah ada Bloodstained.

Sparks:

  • Membangkitkan seluruh ciri khas Castlevania dengan sukses, baik dari segi desain, gameplay, hingga musik
  • Kontrol sangat responsif dan nyaman dimainkan
  • Konten yang padat, bisa makan waktu 20 jam atau 30 jam lebih tergantung dari seberapa banyak Anda ingin menyelesaikannya
  • Alur tingkat kesulitan sangat pas, baik dari segi kesulitan musuh maupun platforming
  • Segudang variasi senjata, jurus, dan sihir memberikan gaya bermain yang luas dan bebas
  • Banyaknya konten rahasia membuat eksplorasi terasa rewarding
  • Desain dungeon yang kreatif dan variatif, mulai dari istana gotik, padang pasir, bawah air, hingga era Jepang kuno
  • Desain bos-bos musuh yang menarik dan seru untuk dilawan

Slack:

  • Kualitas visual biasa-biasa saja
  • Performa teknis kurang baik, cukup banyak terjadi stutter

[Review] Mouse Gaming Corsair M55 RGB Pro, Ketika Akurasi dan Kesederhaan Jadi Andalan

Gaming jadi semakin nyaman berkat tersedia begitu banyaknya aksesori pendukung: gamepad, keyboard, mouse, bahkan kursi khusus. Sayangnya, opsi periferal di PC jadi jauh lebih sedikit jika Anda terlahir kidal. Itu artinya, mau tak mau pengguna kidal harus beradaptasi dengan perangkat yang didesain untuk pengguna ‘normal’ atau menerima pilihan yang ada dengan lapang dada.

Pengguna setia Corsair mungkin juga memahami, faktor kenyamanan lah yang membuat perusahaan hardware PC asal Amerika itu menyediakan mouse berdesain ergonomis. Rancangan ini diterapkan baik untuk model entry-level, premium, hingga varian-varian terbaru. Namun ada kabar gembira jika Anda membutuhkan mouse berdesain ‘netral’. Corsair Components sudah menyiapkan satu lagi opsi esensial bernama M55 RGB Pro.

Corsair mendeskripsikan M55 RGB Pro sebagai mouse gamingmultigripambidextrous. Singkatnya, produk ini didesain agar fleksibel untuk digunakan oleh berbagai jenis gamer dan siap mendukung tipe genggaman berbeda: palm, claw ataupun fingertip. Penawaran ini terdengar menarik, tapi betulkah Corsair sudah menemukan satu desain ideal yang mampu menjawab seluruh kebutuhan user? Simak pembahasan lengkapnya setelah saya menguji M55 RGB Pro selama hampir dua minggu.

 

Presentasi produk dan desain

M55 RGB Pro disajikan secara sederhana. Mouse tersambung ke PC via kabel USB sepanjang 1,8-meter, dan bisa segera dideteksi oleh Windows 10 begitu Anda mencolokkannya. Meski demikian, M55 RGB Pro baru beroperasi maksimal jika Anda menginstal iCUE. Via software ini, Anda dapat mengakses seluruh fungsi mouse, termasuk mengutak-utik LED RGB-nya.

M55 4

Bahkan untuk ukuran tangan saya yang kecil, M55 RGB Pro tidak terlalu besar. Mouse memiliki dimensi 124,4×57,25×40 milimeter. Tubuhnya terbuat dari plastik dengan tekstur doff yang membantu meningkatkan daya cengkeram di jari. Selanjutnya, Corsair membubuhkan lapisan karet berpola segitiga pada sisi kiri dan kanan, demi memaksimal kendali dan sangat berguna ketika situasi menuntut kita membuat manuver-manuver presisi.

 

M55 12

Untuk memberikan gambaran mengenai fleksibilitas desain M55 RGB Pro, perlu Anda tahu bahwa saya mempunyai jari yang kecil dan terbiasa menggenggam mouse dengan postur ‘mencakar’. Kebiasaan ini membuat daya jangkau jari jadi lebih pendek lagi. Tapi berita baiknya, saya tidak pernah kesulitan menekan segala tombol yang ada di sana, termasuk dua thumb button di samping.

M55 9

Desainer Corsair turut mencantumkan lapisan karet berpola heksagonal pada scroll wheel, lalu menempatkan switch DPI di tengah, di area yang mudah dijangkau tetapi sangat kecil peluang untuk tak sengaja menekannya. Dua pasang thumb button di kiri dan kanan pada dasarnya dibaca sebagai tombol berbeda, dan Anda dipersilakan menentukan fungsinya secara manual di dalam permainan.

Mouse gaming Corsair M55 RGB Pro.

 

Pendekatan seperti ini beberapa beberapa kali sempat saya temukan di produk kompetitor (meskipun tidak sering), contohnya mouse MSI Clutch GM40 yang sama-sama menawarkan desain ambidextrous. Namun dilihat dari sisi fitur, Clutch GM40 sedikit lebih canggih karena ia mempunyai switch untuk menukar fungsi thumb button kiri ke kanan atau sebaliknya sehingga kita tidak perlu mengustomisasi secara manual. Kabar gembira buat Corsair, produk MSI itu belum tersedia secara luas di Indonesia.

M55 7

 

Menakar kualitas dan mengulik komponen

Menakar dari aspek harga, Corsair tampaknya menyiapkan M55 RGB Pro sebagai periferal kendali entry-level. Namun tak perlu cemas, sang produsen sama sekali tidak mengambil jalan pintas dalam pembuatannya. M55 RGB Pro mempunyai tubuh yang kokoh, penempatan komponen yang presisi, lalu hal terpenting adalah seluruh tombolnya terasa konsisten, baik pada dua tombol utama, scroll wheel, switch DPI maupun keempat thumb button-nya (total ada delapan).

M55 6

Jika sensor adalah mata dan switch menjadi jantungnya, maka Corsair boleh dibilang telah memilih ‘organ’ yang tepat dalam menyusun M55 RGB Pro. Mouse dibekali switch Omron yang menjanjikan daya tahan hingga 50 juta kali klik (minimal) serta dipersenjatai sensor optik spesialis gaming Pixart PAW3327. Varian ini kabarnya mampu membaca hingga 12.400-dots per inch dan punya polling rate (kemampuan mengirimkan info ke PC terkait posisi mouse dalam satu detik) sebesar 1.000Hz.

M55 13

Itu berarti, Corsair M55 RGB Pro pada dasarnya mempunyai spesifikasi internal high-end – meski ada kemungkinan kita tidak pernah betul-betul membutuhkannya atau menggunakan setting DPI setinggi itu. 1.000Hz sendiri maksudnya ialah, data dikirimkan 1.000 kali dalam satu detik, meminimalkan peluang kesalahan baca dan memaksimalkan akurasi. Perlu digarisbawahi juga bahwa putaran scroll wheel terasa kosisten dan stabil, tak pernah terasa lompat.

M55 3

Sempat saya singgung di atas, M55 RGB Pro tersambung ke PC via kabel berlapis kain braided, dimaksudkan untuk meningkatkan daya tahannya. Kehadiran lapisan itu memang membuat kabel lebih kaku, tapi berita baiknya, tidak sekeras milik Rapoo VPro V25s. Ingat saja ketika ingin menyimpannya, Anda disarankan untuk menggulung kabel secara rapi dan tidak membuat gulungan terlalu kecil agar tak cepat rusak.

 

Kustomisasi via software iCUE

iCUE perlu terinstal di PC agar Anda bisa mengonfigurasi M55 RGB Pro lebih jauh. Prosedurnya cukup sederhana. Software ini dapat Anda unduh gratis di situs Corsair. Dan begitu terpasang, ia mampu mendeteksi semua komponen Corsair yang terpasang di sistem. Di PC saya, iCUE segera membaca keyboard K63 lawas andalan serta unit review M55 RGB Pro.

M55 RGB Pro 1

Ada empat hal bisa Anda lakukan via iCUE: merekam/men-setup macro, mengutak-atik pencahayaan pada logo Corsair di punggung, mengubah setting dan preset DPI lebih jauh, serta mengoprek kecepatan pointer. Semua aspek ini disuguhkan lewat user interface sederhana dan icon-icon yang mudah dimengerti, bahkan bagi pengguna awam. Di sana Anda dapat menambah dan menyimpan profile, serta membuang atau menduplikat setting yang ada.

M55 RGB Pro 2

Di bagian konfigurasi DPI, Corsair memasangkan enam buah preset dari mulai 400 (ideal bagi para penembak jitu) sampai 9.000, dan masing-masing telah diberikan kode warna. Tentu saja Anda bisa menentukan sendiri tingkat sensitivitasnya – termasuk mengakses 12.400DPI – serta mengubah warna lampu indikator. Untuk saya sendiri, 1.500 sudah cukup nyaman dan fleksibel dalam menangani berbagai jenis permainan action dan shooter.

M55 RGB Pro 3

 

Performa gaming dan pengalaman penggunaan

Dalam periode dua minggu ini, Corsair M55 RGB Pro saya gunakan setiap hari untuk bekerja dan bermain. Game action yang belakangan saya nikmati dengan cukup intens adalah Tom Clancy’s The Division 2, namun saya juga tidak lupa menguji kinerja mouse lewat judul-judul wajib bertempo cepat semisal Titanfall 2 dan Apex Legends. Saya bahkan menyempatkan diri bermain Sekiro: Shadows Die Twice berbekal M55 RGB Pro.

M55 RGB Pro 5

Corsair mencantumkan tiga mouse feet berbahan teflon di sisi bawah M55 RGB Pro – dua di depan dan satu berukuran lebar di belakang. Kehadiran mereka di mouse (terutama varian gaming) ialah ‘keharusan’, tapi tidak ada standar peletakkan feet yang pasti. Kabar gembira bagi Anda yang sedang mempertimbangkan buat membeli M55 RGB Pro: periferal ini sangat nyaman baik ketika dipasangkan dengan mouse mat berbahan kain maupun plastik.

M55 RGB Pro 6

Dari sesi tes bersama game-game di atas, saya sama sekali tidak menemukan masalah. Hanya butuh waktu sebentar saya untuk membiasakan diri dalam menggunakan M55 RGB Pro, terutama di Titanfall 2 karena permainan inilah yang bagi saya paling menuntut sensitivitas dan akurasi tinggi. Saya menyukai penempatan thumb button-nya: semuanya mudah terjangkau, tidak terlalu pendek ataupun menonjol, dan walau ditaruh secara merata, saya tetap bisa merasakan perbedaan antara tombol depan dan belakang.

M55 RGB Pro 4

Mungkin satu fenomena menarik selama proses tes adalah saya harus beradaptasi terhadap ringannya bobot M55 RGB Pro. Saya cuma butuh sedikit tenaga untuk mengangkat mouse – memakai jempol, jari manis dan kelingking. Hal ini memang membantu mobilitas dan repositioning, tapi pastikan Anda mengangkatnya lebih tinggi karena sensor optik di M55 RGB Pro tetap bisa membaca permukaan mousepad saat diangkat sejauh beberapa milimeter.

M55 RGB Pro 7

Baik di Apex Legends maupun The Division 2, M55 RGB Pro memudahkan saya buat melacak gerakan musuh, entah apakah mereka bergerak secara horisontal, vertikal maupun diagonal. Batasannya hanyalah refleks dan keakuratan tangan saya sendiri. Menurut saya, tracking ialah aspek paling menantang dalam first-person shooter dan tak akan optimal tanpa dibantu perangkat yang tepat.

M55 17

Saya belum bisa memastikan apakah M55 RGB Pro juga cocok untuk bermain game non-action karena belakangan saya lebih banyak menghabiskan waktu menikmati shooter. Saya menduga, untuk permainan-permainan RPG, MOBA ataupun MMO, kemungkinan besar Anda membutuhkan periferal dengan input lebih banyak. Saya sendiri kebetulan berhasil menamatkan Sekiro menggunakan mouse dan keyboard, dan semuanya tetap berjalan lancar saat saya menukar mouse lawas dengan M55 RGB Pro.

M55 15

 

 

Konklusi

Menakar dari seluruh fitur dan kapabilitas yang saya temukan di M55 RGB Pro, Corsair menyoba menawarkan kita sebuah periferal kendali fleksibel dengan fungsi-fungsi yang secara esensial dapat memengaruhi performa bermain. Dan dengan gembira saya katakan, Corsair berhasil melakukannya. Saya membayangkan bagaimana M55 RGB Pro tak hanya bisa bermanfaat bagi gamer hardcore, tapi juga jadi perangkat favorit para atlet esports FPS.

M55 5

Sekali lagi, desain ambidextrous M55 RGB Pro ialah kekuatan utamanya. Saya bukanlah gamer kidal, tapi saya sangat mengapresisasi kesederhanaan yang disajikan oleh produk ini. Mereka yang mendalami ilmu desain pasti setuju serta berpegang pada prinsip ‘form follows function‘, dan hal tersebut diwakilkan oleh M55 RGB Pro. Tidak ada satu aspek pada mouse yang tidak berguna. Bahkan pencahayaan RGB-nya pun tidak berlebihan.

M55 1

 

Namun untuk sebuah periferal berwujud simpel, saya merasa Corsair M55 RGB Pro dipatok di harga cukup premium (walaupun tidak setinggi M65 Elite). Produk dibanderol seharga hampir Rp 600 ribu, sekitar dua kali lipat Harpoon RGB wired. Tidak masalah jika Anda menginginkan mouse berdesain ambidextrous, tapi seandainya desain bukan jadi pertimbangan utama dan Anda lebih memprioritaskan konektivitas nirkabel, Anda bisa membeli Harpoon RGB Wireless dengan menabung sedikit lagi.

 

Sparks

  • Desain simpel, memprioritaskan fitur-fitur penunjang performa
  • Rancangan ambidextrous dengan dua pasang thumb button, cocok buat gamer kidal
  • Ringan, lalu penampilannya mendukung berbagai macam postur mencengkeram mouse
  • Mendukung DPI tinggi serta dibekali sensor optik gaming-grade high-end
  • Build quality memuaskan

 

Slacks

  • Hanya ditopang koneksi kabel
  • Tak banyak kustomisasi yang bisa dilakukan pada RGB
  • Harganya cukup mahal untuk mouse wired

 

[Review] She and the Light Bearer – Tenggelam di Buai Hangat Ibunda

Sesekali, satu dalam beberapa lusin purnama, dunia punya kesempatan untuk menerima kunjungan dari sebuah game yang sulit dijadikan bahan review. Tiap orang bisa punya alasan masing-masing mengapa game yang dimaksud menyandang status demikian. Mungkin karena ulasan, seringkas dan segenerik apa pun akan menghilangkan unsur kejutan di dalamnya sehingga merusak pengalaman bermain. Atau sebab game itu terlalu divisive, hanya bisa diapresiasi kalangan tertentu sehingga penilaian dari seorang pengulas akan sulit diterima penggemar.

She and the Light Bearer, bagi saya, termasuk dalam kelompok karya dengan karakteristik di atas—sulit untuk diulas. Namun dengan alasan berbeda. Memainkan She and the Light Bearer, saya merasa seperti sedang berhadapan dengan seorang manusia, atau katakanlah, seorang wanita. Di dalam hati saya bisa saja menyimpan penilaian, bahwa dia memiliki kelebihan, apakah itu dari kecantikan, sikap, dan cara berpikir, namun juga karakteristik lain yang dapat kita sebut sebagai kekurangan.

Tapi memangnya siapa saya, sampai bisa menghakimi seseorang berdasarkan hitung-hitungan karakteristiknya? Siapa saya, sampai merasa berhak melabelinya dengan angka-angka, lalu merasa seolah angka-angka itu menjadi penentu nasib sesuatu yang berada di luar kekuasaan saya? Lagi pula apa yang saya perhatikan dan nilai, semuanya hanyalah terdiri dari hal-hal yang terlihat. Padahal nilai seorang manusia lebih banyak ditentukan oleh apa yang ada di dalamnya.

She and the Light Bearer - Screenshot 1

Seperti halnya kekurangan yang ada di diri manusia tidak membuatnya kurang sebagai seorang manusia karena ciptaan Tuhan begitu agung, kekurangan dalam She and the Light Bearer tidak membuatnya kurang sebagai sebuah karya karena karya ini adalah karya yang agung. Karya yang membuat saya bertanya-tanya, apa yang ada di pikiran penciptanya, mengapa dan bagaimana ia membayangkan, merancang, lalu mengejawantahkan angan-angannya dari alam imajinasi menjadi kata-kata dan ilustrasi. Yang mana, mungkin bila saya bertanya langsung ke si pencipta pun, ia tidak akan bisa mendeskripsikan dan membuat saya merasakan seluruh hal yang menjadi inspirasinya.

Hal terbaik yang bisa saya coba adalah menerka-nerka.

Mengintip lubuk di balik lalang

Ketika saya pertama kali meluncurkan aplikasi She and the Light Bearer, saya langsung disambut sebuah kalimat yang sepertinya sengaja diletakkan di depan untuk membentuk atau mengontrol ekspektasi pemain. “Sebuah cerita dari Mojiken Studio diterbitkan oleh Toge Productions,” katanya. Sebuah cerita. Bukan sebuah game. Walaupun secara teknis ini memang berwujud game, dan bukan hal aneh bila sebuah game punya bobot yang dominan di sisi cerita, kalimat itu membuat saya paham bahwa She and the Light Bearer, lebih penting dari identitasnya sebagai sebuah game, adalah sebuah cerita.

Alih-alih mencari-cari unsur permainan interaktif atau aksi mendebarkan, She and the Light akan lebih menyenangkan bila Anda memainkannya sambil membayangkan sebuah pop-up book berisi dongeng anak-anak. Lepaskan sejenak masa dewasa, lalu ingat kembali perasaan gembira yang muncul ketika kita melihat gambar warna-warni muncul mencuat dari atas lembar-lembar kertas, biasanya tak lebih dari sebuah bidang datar tapi ternyata bisa mengambil wujud lebih nyata.

She and the Light Bearer - Screenshot 2

Selaras dengan kisahnya tentang seekor Kunang-Kunang yang harus pergi ke dalam hutan dan mencari sosok “Ibu”, sebagian besar objek yang akan Anda lihat dalam tiap adegan She and the Light Bearer terdiri dari makhluk-makhluk hidup. Memang ada juga batu, tanah, serta benda-benda diam lainnya, namun lebih banyak dari itu adalah rumput, dedaunan, ranting, serta sulur-sulur yang memenuhi lingkungan rimba.

Yang dilakukan Mojiken Studio terhadap makhluk-makhluk hidup tadi adalah membuat mereka tampil selayaknya diri mereka di dunia nyata: hidup dan bergerak. Objek-objek di layar, yang wujudnya sudah seperti lembaran-lembaran pop-up book tadi, nyaris seluruhnya dianimasikan dengan begitu rajin. Satu helai rumput dengan helai lainnya punya bentuk dan goyangan yang berbeda-beda. Kabut, cahaya matahari, yang menerobos sela-sela kanopi seolah bisa Anda rasakan langsung sejuk dan hangatnya.

Bila berbicara tentang kualitas visual suatu karya, sering kita mewakili gambaran keseluruhannya dengan satu kata saja. Bagus. Atau mungkin dua kata, bagus banget. Tapi sepatah dua patah kata itu tak cukup untuk menjabarkan hal-hal kecil seperti di atas. Hal-hal yang biasanya taken for granted padahal penting untuk membuat dunia jadi lebih hidup, tak hanya di dalam karya tapi di kehidupan nyata juga.

She and the Light Bearer - Screenshot 3

Sementara desain dekoratif keseluruhan dalam game ini lekat akan nuansa etnik, yang sungguh sayang saya tak tahu terinspirasi dari kebudayaan mana karena saya bukan pakarnya. Warna-warna pastel yang digunakan menghadirkan nuansa ceria, namun tidak berarti keseluruhan ceritanya berisi ceria saja. Di saatnya, Anda juga akan menemukan si Kunang-Kunang berada dalam posisi berbahaya, sedih, suram, mencekam. Sebagaimana sudah seharusnya kisah petualangan seorang pahlawan.

Kepingan-kepingan cermin hati

She and the Light Bearer adalah cerita yang singkat. Dengan bermain secara santai, Anda bisa menyelesaikannya dalam lebih kurang empat jam saja. Tapi singkat bukan berarti tak mengesankan. Selama perjalanan singkat itu, Kunang-Kunang akan bertemu para penghuni belantara yang, mungkin beda dari bayangan Anda, eksentrik dan istimewa dengan kejenakaannya masing-masing. Berpisah dengan makhluk-makhluk ini seiring tamatnya cerita agak menyedihkan, karena rasanya saya masih ingin menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercengkerama bersama mereka.

Yang mengherankan, meski dengan waktu yang singkat dan gaya penceritaan yang cenderung berkelakar, tokoh-tokoh penghuni hutan itu bisa terasa hidup, bukan sekadar pemeran anekdot satu dimensi. Maka dari itu ketika berlangsung adegan penting yang melibatkan mereka, empati juga emosi yang dibangkitkan cukup terasa. “Jangan nilai buku dari sampulnya,” ungkapan demikian cocok sekali untuk menggambarkan para penghuni hutan. Lebih dari sekali saya dibuat terkejut oleh bagaimana mereka berperan dalam petualangan si Kunang-Kunang.

She and the Light Bearer - Screenshot 4

Kekuatan para tokoh She and the Light Bearer semakin dipertegas oleh penyulihan suara yang sama eksentriknya dengan karakter mereka. Padahal semua percakapan menggunakan ucapan racau serupa bahasa Simlish, tapi penyulihan suaranya tetap dilakukan dengan akting yang serius. Terkadang di tengah cerita saya berhenti lalu bertanya-tanya, seberapa banyak kerja keras yang dibutuhkan Mojiken untuk menciptakan produk seni seperti ini. Juga seberapa banyak kesenangan yang mereka rasakan selama prosesnya.

She and the Light Bearer dapat dimainkan dalam berbagai bahasa. Secara pribadi sih, saya berpendapat bahwa Anda sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia sedari awal. Setelah itu bila berminat baru cobalah versi bahasa Inggrisnya (atau bahasa lain sesuai kemampuan). Alasannya, karena nuansa yang ditimbulkan oleh naskah versi Indonesia dengan versi Inggris cukup jauh berbeda.

Mana yang lebih bagus itu jelas subjektif. Tapi mengingat para kreator game ini adalah orang-orang Indonesia, ada rasa autentik di naskah Indonesia yang tidak akan Anda dapatkan di versi Inggris. Selera humor asli sang penulis, muatan-muatan dan referensi lokal, juga gaya bahasa yang mungkin akan familier bagi penikmat buku-buku cergam terjemahan, baru akan muncul seluruhnya di pilihan bahasa ini. Pun dalam personalitas tokoh-tokoh, ada selisih yang lumayan memengaruhi nuansa cerita.

She and the Light Bearer - Screenshot 5

Satu saja kritik/masukan yang ingin saya sampaikan dari seluruh ulasan, saya pikir Mojiken Studio perlu editor naskah lebih ketat lagi. Tidak terlalu mengganggu pengalaman keseluruhan sebetulnya, tapi naskah versi Indonesianya mengandung kesalahan ketik yang jumlahnya cukup terasa, juga kurang konsisten dalam tata penulisan ejaan dan tanda baca. Mengingat She and the Light Bearer sebagian besarnya adalah cerita, alangkah sempurna apabila standar penulisan mendapat perhatian sama besarnya dengan unsur audio visual.

Melankolia

Mampirlah ke halaman Steam game ini, niscaya Anda melihat tulisan bahwa She and the Light Bearer dipersembahkan oleh Mojiken Studio, Toge Productions, dan Pathetic Experience. Nama yang disebut terakhir adalah grup musik akustik asal Surabaya, terdiri atas dua gitaris yaitu Dhimas Zoso dan Bagussatya. Tidak umum bukan, penyebutan nama grup musik sebagai salah satu kreator utama dalam deskripsi sebuah game? Akan tetapi setelah Anda memainkan She and the Light Bearer, pencantuman itu sangat dapat dimengerti, musik mereka merupakan salah satu faktor sentral dalam game ini.

Tanpa mengecilkan peran kru lainnya seperti produser, pemrogram, atau pemasar, hasil jadi She and the Light Bearer adalah suguhan lengkap yang memanjakan indera-indera kita lewat kata-kata, gambar, dan suara sekaligus secara kontinu. Lantunan dawai kental akan melodi tanah air, disandingkan beberapa instrumen lain yang sebagian modern tapi sebagiannya lagi masih tradisional, membuat telinga terasa teduh. Saya tak ingat sudah berapa kali saya tertidur ketika memainkannya! Bukan sebab bosan, tapi tak kuat menahan buaian nada bak ninabobo nan begitu damai.

She and the Light Bearer - Screenshot 6

Yang teramat menarik, semakin cerita mendekati titik puncak kontribusi segi suara terhadapnya justru semakin besar. Termasuk integrasinya ke dalam aspek interaktif permainan yang buat saya tidak tertebak, bahkan hingga layar kredit selesai bergulir. Dan penggambaran adegan di detik-detik klimaks dirancang begitu apik sehingga membuat kita merasa sedang terlibat dalam sesuatu yang besar. Mengingatkan bahwa di dunia ini ada hal-hal lain di luar diri kita, hal-hal yang lebih besar, atau bisa jadi lebih penting, daripada egoisme individu-individu.

Saya tidak tahu She and the Light Bearer ini metafora tentang apa, juga tidak mau berkontemplasi tentang apa pesan moral yang ingin si penciptanya sampaikan. Hal-hal seperti itu mungkin lebih baik kita biarkan menjadi ide yang bebas berkembang dalam kepala masing-masing. Saya hanya tahu bahwa kisah si Kunang-Kunang Pembawa Cahaya, Tuan Jamur Yang Maha Agung, Kembang Kelam, Jenderal Kentang, serta penghuni-penghuni hutan lainnya, adalah kisah yang layak diingat dan disampaikan kepada sebanyak-banyaknya insan. Seperti Nenek Putih yang mendongengkan cerita ini pada anak-anak kecil di awal cerita, kini saya pun menjadi pengantar pesan yang merekomendasikan game ini kepada Anda.

Melewati kaki langit

Perjalanan si Kunang-Kunang mengemban misi mulia telah selesai. Cerita She and the Light Bearer sudah berakhir. Selanjutnya apa? Apa yang akan dibuat oleh Mojiken Studio berikutnya, dan akan ke arah mana perkembangan industri game Indonesia di masa depan? Pertanyaan-pertanyaan demikian adalah hal yang muncul di kepala saya selepas selesai bermain.

She and the Light Bearer - Screenshot 7

Seiring nama-nama para kreator muncul bergantian di layar, saya tidak bisa tidak berpikir bahwa orang-orang ini akan menjadi tokoh industri game lokal yang penting di masa depan. Saya membayangkan bahwa suatu hari nanti para gamer Indonesia akan merasakan hype bersama-sama ketika mendengar adanya game baru yang di dalamnya tercantum nama Brigitta Rena, Elwin Lysander, Masdito Bachtiar, dan kawan-kawan. Sama seperti kita bersemangat menyambut sebuah judul baru hanya gara-gara di sampulnya ada tulisan “A Hideo Kojima Game”. Malah kalau bisa, tidak hanya gamer Indonesia tapi juga di seluruh dunia.

Tidak banyak studio game bervisi seperti Mojiken Studio, yang ingin mendorong medium interaktif ini ke cakrawala baru sebagai sarana penyampaian cerita. Dan hal itu sepenuhnya wajar, sebab menciptakan sesuatu yang baru jelas punya risiko lebih tinggi daripada mengikuti selera pasar arus utama. Tapi justru studio seperti inilah yang membuat industri game menjadi menarik.

Saya tak sabar menunggu karya besar keluaran Mojiken Studio berikutnya. Hingga saat itu tiba, saya akan coba mengajak orang-orang—termasuk Anda—untuk mencicipi She and the Light Bearer terlebih dahulu. Pengalaman di dalamnya tidak cukup sekadar diceritakan lewat ulasan, harus dirasakan sendiri. Bila tulisan ini berhasil membuat Anda mencobanya, akan saya hitung sebagai satu catatan kesuksesan kecil dalam hidup.

Selamat bertualang, Pembawa Cahaya. Titip salam untuk Ibu.

She and the Light Bearer - Screenshot 8

Sparks:

  • Desain visual bergaya etnik dengan tampilan menyerupai pop-up book, benar-benar serasa membuka lembaran-lembaran buku cerita
  • Cerita singkat bermakna, sering kali humoris namun juga berhasil membuat kita merenung
  • Musik nuansa folk yang kental akan melodi nusantara, teduh di telinga dan dramatis pada waktunya
  • Karakterisasi para penghuni hutan mengesankan, mereka bukan hanya tokoh tapi juga terasa seperti teman
  • Adegan ending yang indah luar biasa

Slack:

  • Standar penulisan naskah versi bahasa Indonesia kurang konsisten

[Review] Metro Exodus, Simulasi Post-Apocalypse Dengan Pesona Khas Rusia

Tak sampai setengah jam lalu, sampan Artyom diserang dan dijungkirbalikkan oleh ikan lele seukuran paus. Dan kini ia harus menghadapi udang raksasa ganas, sembari berkutat dengan senapan serbunya yang macet. Seperti inilah serba-serbi hidup di dunia post-apocalypse. Tema tersebut memang tak asing buat kita, namun seri Metro merupakan satu dari sedikit franchise yang betul-betul mengedepankan elemen action, penyajian cerita, dan survival.

Metro Exodus adalah game ketiga di seri shooter yang diadaptasi dari novel tulisan Dmitry Glukhovsky, Metro 2033. Ketika sang penulis mengalihkan fokusnya pada karakter baru di buku kedua (Metro 2034), developer 4A Games memutuskan untuk tetap menitikberatkan narasi pada Artyom dan memodifikasi judul permainan keduanya jadi Metro: Last Light, dan Metro Exodus sebagai penerusnya.

4A Games ialah studio asal Ukraina, didirikan 13 tahun silam oleh sejumlah mantan jebolan tim GSC Game World yang dahulu menggarap franchise S.T.A.L.K.E.R. Dalam kiprahnya, kedua franchise mengambil arahan berbeda. Ketika S.T.A.L.K.E.R. menyuguhkan dunia open world tulen, Metro mengusung struktur linier, lebih condong pada narasi, dan menonjolkan gameplay stealth. Namun ada perubahan desain di Exodus sehingga membuat Metro jadi lebih menyerupai sepupu jauhnya itu.

Simak ulasan lengkapnya:

 

Rusia setelah perang nuklir

Sesi pembuka permainan disajikan lewat cara familier. Begitu Anda mengklik tombol new game, Artyom sebagai tokoh utamanya akan menceritakan kisah singkat bagaimana miliaran orang tewas akibat perang nuklir dan puluhan ribu jiwa yang ‘beruntung’ terjebak dalam lorong-lorong kereta api bawah tanah. Mereka harus melanjutkan peradaban tanpa sinar matahari karena daerah permukaan yang terpapar radiasi.

ME 1

Untuk menjelajahi reruntuhan Moskow, orang harus mengenakan baju penutup lengkap dan masker karena udara sangat berbahaya. Filter harus diganti secara berkala. Terpapar sedikit saja, radiasi akan masuk ke dalam darah. Kemudian selain radiasi, permukaan dipenuhi oleh mutan dan anomali mematikan (hati-hati dengan bola petir). Namun gorong-gorong bawah tanah juga menyimpan bahayanya sendiri. Bukan peradaban manusia namanya jika tidak dipenuhi konflik dan perang saudara, terutama ketika tak ada lagi aturan hukum yang jelas.

ME 6

Demi menjaga keamanan dan menanggulangi bahaya serangan bandit serta monster, pemerintah darurat kota bawah tanah Polis membentuk badan Rangers of the Sparta Order. Para Rangers terdiri dari prajurit berpengalaman dan paling mematikan, dan Artyom merupakan anggotanya.

ME 9

Metro Exodus dapat dinikmati tanpa perlu menyelesaikan dua permainan terdahulu. Meski begitu, saya sangat menyarankan Anda untuk memainkan 2033 dan Last Light agar lebih bisa memahami kondisi dunia tempat Artyom tinggal. Dua game ini sempat di-remaster untuk platform current-gen, diberi label ‘Redux’ dan ditawarkan di harga murah meriah.

ME 2

 

Antara tradisi dan inovasi

Dalam bertahan hidup, pemahaman Anda terhadap dunia Metro sangat penting. Seperti di dua permainan sebelumnya, Exodus hampir tidak memiliki HUD. Segala macam informasi disampaikan secara langsung – lewat meteran, timer dan indikator yang terpasang di seragam Ranger. Game juga akan memberikan tanda-tanda lain jika ada sesuatu yang tidak wajar: sensor segera berderak ketika Artyom berada di kawasan dengan radiasi tinggi, dan ia akan terbatuk-batuk jika filter di masker tak lagi bekerja.

ME 3

Namun bersamaan dengan penyajian dunia yang lebih terbuka, beberapa hal harus berubah. Dahulu, seri Metro memanfaatkan sebuah sistem mata uang unik. Segala komoditas di sana bisa dibeli dengan menukarkan amunisi kelas militer. Sedangkan untuk bertahan diri, orang membuat amunisi dari bahan-bahan yang ada. Di saat-saat genting, kondisi ini akan menyodorkan dilema buat pemain: amunisi kelas militer lebih efektif buat menumbangkan lawan, tapi rela-kah Anda menggunakannya?

ME 7

Di Metro Exodus, mata uang berbasis amunisi digantikan oleh sistem crafting. Ada dua jenis sumber daya esensial di sini, ditandai dengan icon botol kimia dan gear. Keduanya tersebar di berbagai tempat, misalnya di dalam bangunan, kendaraan yang ditinggalkan, ataupun mayat manusia. Dengan dua item itu Anda bisa menciptakan beragam hal yang dibutuhkan, misalnya amunisi, filter, obat, hingga buat meng-upgrade baju pelindung.

{"DRSAppName" : "", "DRSProfileName" : "Desktop"}

Crafting bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan ransel yang Artyom bawa atau via meja kerja (workbench). Tas hanya memungkinkan Anda menciptakan medkit dan filter serta mengubah aksesori senjata; sedangkan berbekal workbench, Anda bisa crafting dan membersihkan senjata secara lebih leluasa. Seperti di RDR2, semakin kotor kondisi senapan, maka ia jadi kurang efektif dan sering kali macet. Degradasi tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya karena digunakan terus-menerus atau terkena cipratan lumpur.

ME 22

Upgrade dan kustomisasi adalah salah satu bagian terbaik di Metro Exodus. Hampir semua senjata bisa dimodifikasi agar sesuai dengan gaya bermain Anda. Ambil contohnya Ashot. Tanpa aksesori, ia tersaji sebagai pistol berpeluru shotgun.  Ashot bisa dipasangkan popor agar lebih stabil atau diberi laras kedua sehingga dapat merumahkan dua peluru. Alternatifnya, laras bisa diganti dengan tipe peredam, dan Anda mendapatkan pistol siluman jarak dekat mematikan.

ME 13

Favorit saya sendiri adalah senapan angin Tikhar. Pemakaiannya memang sedikit rumit: ada harus mengawasi jumlah peluru serta tekanan angin, dan memompanya jika diperlukan. Namun ia sempurna untuk menumbangkan musuh secara sembunyi-sembunyi karena tidak berisik saat ditembakkan.

ME 4

Aspek lain yang sangat saya apresiasi karena senada dengan tema survival adalah bagaimana Exodus sukses membuat pemain selalu merasa was-was. Game bisa di-pause, tetapi permainan tetap berjalan ketika Anda mengeluarkan peta, mengecek misi, atau sedang crafting. Hal ini memaksa kita untuk tidak pernah membuang-buang waktu serta selalu ingat buat memastikan keamanan di sekitar sebelum mengutak-atik senjata atau meramu amunisi.

ME 24

 

Pesona pasca-bencana

Metro Exodus ialah salah satu game tercantik yang bisa Anda nikmati saat ini. Bahkan tanpa dukungan GPU berteknologi ray tracing, permainan mampu menyajikan visual yang mencengangkan. 4A Games berhasil meracik aspek atmosfer dengan begitu optimal, sehingga pemain seperti betul-betul dibawa ke Rusia era pasca-perang nuklir. Dan itu semua akan Anda dapatkan setelah Artyom dan kawan-kawan meninggalkan Moskow dan tiba di kaki pegunungan Ural.

ME 14

Di satu titik dalam permainan, para Rangers berhasil memperoleh lokomotif dan menyadari bahwa lingkungan terbuka punya kadar radiasi yang lebih rendah, memungkinkan mereka menghirup udara segar tanpa masker. Meski demikian, alam liar tetap menyimpan berbagai bahaya. Seperti saat berada di terowongan bawah tanah, ancaman datang dari monster serta sesama manusia. Dan bertahan hidup jadi lebih sulit karena indahnya alam berpotensi memecah perhatian Anda.

ME 11

Dunia dan tiap objek di Metro Exodus diracik dengan penuh ketelitian: karat pada bangunan dan bekas kendaraaan di tengah-tengah hamparan salju, bunyi langkah kaki di atas genangan lumpur, sinar matahari di sela-sela awan, turunnya jarak pandang akibat badai petir, dan saya sangat menyukai efek partikel seperti salju dan tetesan air hujan yang mengenai wajah Artyom. Tema low-tech terasa begitu kental di segala hal berkat tangan dingin 4A Games dalam menggarap detail, dari mulai senjata rakitan hingga baterai senter yang harus diisi secara manual.

ME 21

Sekali lagi, hampir semua elemen visual di dunia Metro punya kaitan pada gameplay. Misalnya, cipratan tanah (atau darah) di masker bisa mengganggu penglihatan, dan Anda dapat mengelapnya; kaca di masker bisa rusak akibat serangan lawan, ditandai oleh munculnya retakan, dan Artyom dapat memperbaikinya; kemudian saat kadar radiasi terlalu tinggi, Anda mulai melihat bintik-bintik cahaya hijau. Dipadu dengan sistem cuaca dinamis serta perputaran siang dan malam, game jadi lebih menantang sekaligus mengasikkan.

ME 29

Stealth kembali memegang peranan penting di Metro Exodus, dan di sini perputaran siang dan malam membuatnya sangat menarik. Untuk memudahkan Anda mengendap-endap, seragam Rangers Artyom dibekali indikator visibilitas. Jika lampu menyala, maka musuh dapat melihat Anda. Kondisi tersebut memengaruhi permainan serta memaksa pemain buat beradaptasi. Musuh manusia lebih mudah melihat Artyom selama ada cahaya matahari, dan mereka akan beristirahat di malam hari. Kendalanya, mutan dan monster jadi lebih ganas saat matahari terbenam.

ME 30

Tak seperti mayoritas game shooter, amunisi sangat terbatas dan jadi komoditas berharga di Metro Exodus. Anda memang bisa membuatnya sendiri, tapi itu berarti Anda harus mengorbankan material-material crafting yang berharga. Mungkin ada amunisi atau bahan-bahan berguna yang dijatuhkan oleh para bandit, namun tidak ada untungnya membunuh monster selain buat mempertahankan diri.

ME 25

Sering kali lebih bijaksana bagi Artyom untuk menghindar ketimbang melakukan konfrontasi. Dan jika selalu waspada dan tidak bermain terlalu terburu-buru, kemungkinan besar Anda akan menemukan jalan pintas atau pintu masuk tersembunyi.

ME 16

”Lalu seberapa terbuka-kah Metro Exodus?” inilah pertanyaan yang banyak diajukan orang. Pada dasarnya, Exodus bukanlah permainan open world sekelas Fallout 4 atau Mad Max. Ketika sebuah episode telah berakhir, musim akan berubah, dan Anda tidak bisa kembali ke tempat tersebut (kecuali dengan mengulang chapter). Walaupun begitu, masing-masing lokasi mempunyai skala sangat besar, dan eksplorasi sangat dianjurkan. Ada banyak hal menarik bisa ditemukan dan side quest yang dapat dikerjakan di sana.

ME 23

Satu saran lagi dari saya ialah, mainkanlah Metro Exodus di bahasa Rusia karena percakapan lebih terdengar natural. Anda tetap bisa mengaktifkan subtitle, baik saat dialog maupun untuk menerjemahkan tulisan-tulisan Cyrillic. Opsi bahasa Inggris memang ada, tetapi akses Rusianya terasa terlalu dipaksakan. Lagi pula ada pepatah tua mengatakan, ‘di mana Bumi dipijak, di sana langit dijinjing’. Metro Exodus ialah game kreasi developer Slavik, sudah semestinya kita menghargai budaya mereka.

ME 8

 

Yin dan yang

Satu aspek yang membuat dua permainan terdahulu unik adalah sistem karma tersembunyi. Buat mendapatkan ending baik, ada aktivitas-aktivitas tertentu yang harus Anda lakukan. Kemudian Anda sangat direkomendasikan untuk tidak menumpahkan darah. Sistem ini disederhanakan di Metro Exodus. Game kembali memperkenankan kita untuk mengalahkan musuh tanpa perlu membunuh. Jika jumlah mereka berkurang, kadang lawan akan menyerah serta membuang senjatanya. Langkah Anda selanjutnya akan memengaruhi karma: dibunuh atau sekadar dibuat pingsan?

ME 10

Mengerjakan side quest, membebaskan penduduk, atau sekadar menurunkan senjata dan tidak menodongkannya pada warga saat berdialog juga membantu memberikan Artyom poin positif. Misi-misi sampingan di Exodus tidak ditulis di memo, dan item yang berhubungan dengannya kadang tersembunyi di suatu lokasi. Itu artinya Anda harus selalu awas dan memastikan telah menggeledah suatu tempat secara menyeluruh.

ME 28

 

Mutan versus bug

Dengan begitu banyaknya hal yang Metro Exodus coba suguhkan, permainan shooter semi-sandbox ini tidak benar-benar bebas dari bug dan glitch. Dalam beberapa puluh jam bermain, saya menemui sejumlah kendala seperti musuh yang bisa menembus jeruji besi serta menyangkut di tembok. Saya juga mengalami dua kali crash to desktop, lalu game menyarankan saya untuk masuk ke safe mode.

ME 26

Kabar baiknya, sejauh ini tidak ada masalah yang menyebabkan Metro Exodus jadi tak bisa dimainkan. Versi PC-nya berjalan lancar dengan setting ultra dan opsi resolusi 1080p di sistem berprosesor Intel Core i7-6700HQ, 16GB RAM dan kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1070.

ME 15

Satu kekurangan lain yang cukup mengecewakan ialah rendahnya tingkat intelektualitas lawan. Kadang, beberapa mutan cukup pintar untuk bersembunyi dan menyerang sewaktu Artyom lengah. Monster udang raksasa akan menembakkan racun, sedangkan humanimal (mirip feral ghoul di Fallout) mampu melempar batu. Tapi musuh manusia tidak terlalu pintar. Mereka tidak melakukan pemeriksaan secara agresif ketika tahu ada penyusup, bahkan musuh tidak mencoba mengejar atau menyergap saat melihat saya.

ME 32

 

Verdict

Terlepas dari sejumlah kekurangan itu, saya tidak segan buat merekomendasikan Metro Exodus bagi setiap penggemar shooter. Exodus memberikan angin segar di tengah pasar yang saat ini disesaki oleh game-game FPS multiplayer dan battle royale. Dan walaupun beberapa judul blockbuster turut mengusung tema post-apocalypse (misalnya Far Cry New Dawn atau Rage 2), ada banyak elemen unik yang membuat Exodus istimewa: narasi dan latar belakang cerita yang menarik, dikombinasi dengan aksi tembak-menembak seru, eksplorasi, misteri, dan gameplay stealth menegangkan.

ME 31

Meski boleh dikatakan sebagai versi terbaik, satu faktor yang membuat banyak orang ragu membeli Metro Exodus di PC adalah ia tidak dijual di Steam, dan hanya bisa didapatkan di Epic Games Store. Efeknya, Ecodus dijajakan tanpa penyesuaian harga dan Anda harus mengeluarkan uang lebih dari Rp 730 ribu hanya untuk memperoleh edisi paling standar. Ada dua alternatif atas keadaan ini: tunggu hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika menguat, atau tunggu hingga tanggal 15 Februari 2020 ketika Metro Exodus akhirnya dirilis di Steam.

Pertanyaannya, bersediakah Anda menanti begitu lama?

Sparks

  • Visualnya sangat indah dengan efek atmosfer memukau
  • Menyajikan pengalaman shooter memuaskan
  • Dunianya sangat luas, ada banyak tempat yang bisa dijelajahi dan misteri untuk dipecahkan
  • Saat ini tak banyak game shooter yang betul-betul didedikasikan pada aspek cerita dan single-player
  • Dibekali mode foto dengan beragam perkakas untuk memudahkan Anda mendapatkan screenshot terbaik

 

Slacks

  • Baru bisa dibeli di Epic Games Store, harganya kurang bersahabat
  • Tidak bebas dari bug dan glitch
  • AI semestinya bisa lebih pintar lagi
  • Pemain tidak dapat kembali ke lokasi sebelumnya, hanya bisa mengulang chapter

[Review] Logitech G431 yang Garang Kala Berdendang

Mencari gaming headset mungkin memang lebih tricky ketimbang mencari headset untuk musik. Muasalnya, buat yang berada di kelas menengah dan bawah, mungkin kita tak punya anggaran untuk membeli 2 headset untuk keperluan yang berbeda.

Karena itulah, saya pribadi setidaknya mencari headset gaming yang juga bisa digunakan untuk semua keperluan; bahkan sampai mendengarkan musik di ponsel. Padahal kebutuhan audio untuk gaming dan musik sebenernya jauh berbeda, setidaknya menurut saya yang sudah menamatkan sekitar 2000 judul game PC dan menyukai musik-musik jazz.

Di sana mungkin letak dilema yang saya alami saat menggunakan salah satu headset gaming terbaru dari Logitech ini, G431. G431 ini adalah headset 7.1 yang dibanderol dengan harga Rp1,4 jutaan yang menawarkan 2 koneksi yaitu 3.5mm dan USB.

Sebelum kita masuk ke pengalaman saya menggunakan headset ini, mari kita lihat spesifikasinya dulu.

SPESIFIKASI FISIK

  • Tinggi: 172 mm
  • Lebar: 81,7 mm
  • Tebal: 182 mm
  • Berat: (tanpa kabel): 259 g
  • Panjang Kabel: 2 m

SPESIFIKASI TEKNIS

Headphone
  • Driver: 50 mm
  • Respons frekuensi: 20 Hz-20 KHz
  • Impedansi: 39 Ohm (pasif), 5k Ohm (aktif)
  • Sensitivitas: 107 dB SPL/mW
Mikrofon (Boom)
  • Pola Pickup Mikrofon: Cardioid (Unidireksional)
  • Ukuran: 6 mm
  • Respons frekuensi: 100 Hz–20 KHz

Itu tadi speknya yang cukup baik untuk harganya yang di bawah Rp.1,5 juta meski memang frekuensinya bukan yang paling luas – kalah dengan Razer Kraken 7.1 yang kisaran harganya sama persis. Saat saya tes di frekuensi rendah, G431 ini cukup sesuai dengan yang diklaimnya karena masih terdengar di frekuensi 23Hz – selisih 3Hz nya bisa jadi ada anomali di telinga saya.

Namun demikian, setidaknya dari pengalaman saya menguji produk gaming peripheral selama 9 tahun terakhir, spesifikasi tak mampu bercerita utuh menggambarkan kualitas produk itu sendiri. Jadi, ijinkan saya bercerita tentang pengalaman saya menggunakan Logitech G431.

Sebelumnya, disclaimer dulu; dari pengalaman saya mencoba ratusan produk gaming peripheral, review produk di kategori ini memang bisa sepenuhnya terbilang subjektif. Karena, ukuran tubuh kita berbeda-beda antara satu dan yang lainnya (ukuran tangan atau telinga misalnya) dan kepekaan kita masing-masing yang sepenuhnya bergantung pada produk di kelas mana yang biasa kita gunakan sehari-hari.

Kualitas Suara

Seperti yang saya tuliskan di awal, saya cukup dilema dengan produk ini dan mungkin justru karena opsi 2 konektor yang ditawarkannya. Kenapa? Hal ini berkaitan dengan hasil dendangan suara berbeda yang dihasilkan saat menggunakan USB dan 3.5mm. Saat saya menggunakannya dengan konektor USB, suara Logitech G431 bisa dibanggakan. Mungkin memang bukan yang terbaik dari semua headset yang pernah saya coba tapi setidaknya yang lebih baik dari produk ini biasanya ada di kisaran harga Rp2 jutaan atau lebih.

Suara surround 7.1 nya begitu terasa sangat imersif saat saya coba untuk semua kebutuhan dari mulai bermain game, menonton film (Blu-Ray – 5.1 Dolby AC-3 audio), mendengarkan musik (FLAC – 5.1 Surround 24bit / 96kHz), ataupun sekadar menikmati YouTube (lowest quality format). Suara ambience lebih jadi fokus saya untuk bermain game ataupun menonton film. Sedangkan detail suara yang jadi fokus untuk mendengarkan musik.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Sayangnya, hal ini tak mampu diimbangi dengan suara yang dihasilkan saat saya menggunakannya dengan konektor 3.5mm. Memang tidak buruk juga sebenarnya tapi suaranya jadi tak jauh berbeda dengan headset gaming lain yang berada di kisaran Rp.1 juta – SteelSeries Siberia 200 misalnya. To be fair, hal itu memang ada di keterbatasan konektor 3.5mm nya. Meski memang, ada beberapa produk headset lain yang menawarkan virtualisasi surround dengan konektor 3.5mm.

Dengan konektor 3.5mm, suaranya sedikit memekakan telinga saat disetel di volume 100% (apalagi saat dicoba di ponsel). 80% adalah volume maksimum yang masih nyaman didengar di headset ini saat menggunakan konektor 3.5mm. Padahal, ada produk lainnya yang masih cukup nyaman di 100% meski menggunakan 3.5mm.

Di sisi lain, slot USB sendiri mungkin boleh dibilang lebih langka karena tak ada di ponsel. Di laptop juga bisa jadi sangat terbatas jumlahnya dan digunakan untuk perangkat lainnya – mouse atau flashdrive misalnya. Sedangkan konektor 3.5mm itu biasanya memang khusus untuk output audio. Buat kelas sultan, mungkin Anda memang tak ada masalah membeli lebih dari satu headset untuk keperluan yang berbeda. Namun, kelas sultan juga mungkin tak akan membeli headset di harga Rp1,5 jutaan.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Sekali lagi, sebenarnya ini dilema yang justru ditawarkan dari fitur itunya sendiri. Bisa jadi, ketika tak ada opsi USB, mungkin saya sendiri juga tak akan membandingkan kualitas suara untuk konektor yang berbeda. Walau memang, jika hanya menawarkan konektor 3.5mm, headset ini mungkin jadi tak terlalu menarik juga karena harga resminya yang nyaris menyentuh Rp1,5 juta.

Di sisi lain, frekuensi yang lebih luas (setidaknya dibanding Siberia 200 yang saya punya tadi) bisa jadi juga salah satu faktor kenapa ia kurang nyaman saat di volume 100% di konektor 3.5mm. Mungkin ada frekuensi yang terlalu tinggi yang memang tersalurkan mentah via konektor 3.5mm nya.

Kenyamaan Penggunaan

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Dari sisi kenyamanan, G431 juga cukup ideal meski mungkin juga bukan yang terbaik. Bantalan ear-cup nya cukup nyaman di telinga saya yang mungkin terbilang cukup besar. Mekanisme geser penyangganya juga terasa solid dan tak mudah patah. Saya betah berlama-lama menggunakan headset ini tanpa merasa terhimpit kepala ataupun telinganya meski digunakan sampai 5 jam bermain game.

Meski begitu, menurut saya pribadi, mekanisme geser penyangga yang standar seperti yang disuguhkan Logitech G431 ini masih kalah nyaman dengan sistem ‘bando’ yang ditawarkan oleh SteelSeries. Walau memang, mekanisme ‘bando’ tadi biasanya memang tak bertahan lama (punya saya putus kawatnya setelah 2 tahun digunakan).

Software dan Fitur Lainnya

Logitech G Hubs
Logitech G Hubs

Saat saya mencoba headset ini, Logitech sudah mengupdate software gaming mereka jadi Logitech G Hub (menggantikan Logitech Gaming Software). Tak ada keluhan yang berarti meski juga tak ada keistimewaan yang ditawarkan oleh softwarenya. Meskipun, memang tak banyak juga fitur yang bisa ditawarkan untuk software headset (tak seperti mouse ataupun keyboard).

Untuk mic nya sendiri, berhubung memang saya jarang sekali menemukan mic yang bisa dikeluhkan dari sebuah gaming headset, demikian juga yang saya rasakan dari milik G431. Kebanyakan gaming headset (asal bukan yang merek abal-abal) memang sudah cukup baik dalam menyediakan mic yang mampu menyaring suara berisik di sekitar.

Terakhir, absennya kabel perpanjangan mungkin bisa jadi satu kekurangan buat setting tertentu (seperti front panel 3.5mm yang mati dan jarak jauh antara back panel ke kursi). Namun panjang kabel yang sampai 2 meter mungkin sudah cukup untuk sebagian besar pengguna. Still, a cable extension is a nice thing to be included.

Kesimpulan

Akhirnya, jika boleh saya menyimpulkan dari cerita di atas, Logitech G431 sebenarnya sungguh mampu berdendang cukup nendang jika konektor USB nya yang digunakan. Sayangnya, ia tak terasa berbeda kualitas suaranya dengan produk lainnya yang banderol harganya sedikit lebih rendah saat digunakan lewat slot 3.5mm. Ia juga nyaman digunakan selama lebih dari 5 jam meski bukan yang paling nyaman. Meski demikian, semua kekurangannya sebenarnya masih dapat dimaklumi mengingat harganya yang mungkin memang masih terjangkau untuk kelas menengah.

Jadi, andai headset ini sedikit saja turun harga, ia bisa jadi favorit baru buat para gamer kelas menengah seperti saya.

[Review] Corsair K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire, ‘Ratu’ di Kelas Gaming Keyboard Premium

Di ranah gaming gear, inovasi dan eksperimen tak selamanya memperoleh respons positif. Bayangkan saat kita sudah terbiasa menggunakan sebuah periferal, namun versi barunya punya rasa berbeda. Boleh jadi, hal tersebut hanya akan memancing keluhan user. Mungkin inilah mengapa Corsair K70 RGB Mk. 2 Rapidfire lebih terasa seperti penyempurnaan sekaligus alternatif, bukan pengganti.

Dalam meracik versi Mark 2 ini, upgrade diterapkan secara minor atas dasar pemikiran, ‘untuk apa memperbaiki sesuatu yang tak rusak’. Lewat K70 RGB Mk.2 SE, perusahaan hardware asal Fremont ini menawarkan lebih banyak variasi opsi switch mekanis. Huruf SE ialah kependekan dari Special Edition, menandai penggunaan warna berbeda. Ketika gaming gear Corsair identik dengan hitam, K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire didominasi tubuh cerah.

Corsair Indonesia sebetulnya telah lama meminjamkan K70 RGB Mk.2 SE pada DailySocial, bersama set PC ‘iCUE Ready’, namun baru beberapa waktu lalu saya punya kesempatan buat bercengkerama bersamanya secara lebih personal. Sejatinya, K70 RGB Mk.2 SE tidak terlalu berbeda dari sang pendahulu, dan membawa segala kelebihan serta kekurangannya.

K70 2

Seperti biasa, selama sesi pengujian saya gunakan periferal ini untuk mengetik dan bermain, khususnya game-game action. Simak ulasan lengkapnya di sini.

 

Presentasi produk

Penyajian K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire berkiblat pada desain keyboard tradisional yang terpercaya. Begitu dikeluarkan dari bungkusnya, Anda akan segera berjumpa dengan papan ketik full size tebal berbobot. Perangkat tersambung ke kabel braided tebal sepanjang 1,8-meter bercabang dua. Anda perlu mencolokkan kedua connector USB-nya ke port agar keyboard bisa bekerja sempurna.

K70 6

Sesuai namanya, K70 Mk.2 edisi spesial ini punya perbedaan distingtif dari sisi estetika dari versi standar. Di sana, produsen memilih untuk mengimplementasikan pemakaian warna putih, abu-abu cerah dan perak. Tuts-nya putih, pelat aluminium di bawahnya tidak dicat dan menampilkan warna keperakan asli dengan finishing brushed, lalu chassis dan wrist rest detachable-nya mengusung warna abu-abu cerah.

K70 16

Bagi saya, penampilan K70 RGB Mk.2 SE merupakan kombinasi dari tema futuristis dengan konsep utilitarian. Desainnya menarik, dihias lengkungan-lengkungan stylish, tapi tak berlebihan. Warna-warna cerah juga membuatnya lebih ‘netral’. Ia bisa lebih mudah disandingkan bersama PC minimalis di ruang kerja, serta berpeluang menarik hati kaum Hawa – terlepas dari apakah mereka gamer atau bukan.

K70 5

Begitu disambungkan ke PC, kita akan segera sadar bahwa pemakaian warna cerah lebih efektif dalam menonjolkan pencahayaan RGB. Warna hitam punya sifat menyerap cahaya, membuat kecerahan LED jadi teredam. Sebaliknya, tubuh abu-abu metalik K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire sangat baik dalam memantulkan cahaya. Sehingga ketika backlight menyala, permukaan aluminium tersebut seolah-olah turut berpendar.

K70 29

Pertunjukan 16,8 juta warna yang ditampilkan K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire dengan memuaskan. RGB-nya terang, cerah serta jelas – dan Anda bisa mengatur tingkat brightness-nya secara langsung. Di mode rainbow, tidak ada warna yang tampak pudar. Selain pada tuts, LED juga dibubuhkan pada tombol-tombol pengaturan, fungsi multimedia, dan serta sebagai indikator.

K70 15

K70 RGB Mk.2 SE mempunyai dimensi 43,8×16,6×3,9-sentimeter dan berat 1,25-kilogram, termasuk kabel minus wrist rest. Dengan bobot yang cukup tinggi dan volume besarnya, berkuranglah faktor portabilitas produk. Menyebabkannya kurang praktis untuk dibawa-bawa setiap hari.

K70 17

 

Aspek teknis pada desain

Corsair sama sekali tidak mengambil jalan pintas dalam memproduksi K70 edisi spesial ini. Pengguna disuguhkan set tombol lengkap (totalnya ada 104). Dan silakan perhatikan lebih teliti. Keycap di sana terbuat dari bahan plastik PBT (Polybutylene terephthalate) yang lebih superior dari ABS (Acrylonitrile butadiene styrene). Beberapa hobiis keyboard bahkan berpendapat bahwa PBT mengeluarkan suara lebih rendah ketika ditekan dibanding ABS yang ‘nyaring’.

K70 7

Tentu saja saya tak akan membahas sampai sejauh itu. Buat saya, PBT lebih keras dan kuat dibanding ABS. Teksturnya mungkin tak sehalus ABS, tetapi material ini tidak mudah mengilap. Apalagi, saya punya permukaan jari berjenis ‘ampelas’ dan korban sudah banyak berjatuhan. Penggunaan PBT juga ideal buat keycap warna putih, menjaganya agar tidak cepat kotor. Cukup bersihkan dengan lap lembap begitu selesai memakainya.

K70 27

Desainer Corsair menempatkan bagian stem dan base tombol di atas pelat datar tanpa area-area cekung, sehingga debu dan kotoran lebih mudah dibersihkan (dibanding model K63). Jika ingin membersihkannya secara menyeluruh, Anda hanya tinggal melepas keycap-nya saja.

K70 9

Sempat sedikit dibahas di atas, K70 RGB Mk.2 SE dibekali tombol pengaturan dedicated, baik untuk fungsi multimedia, kendali volume, microphoneswitch kontrol brightness LED, serta tombol untuk menonaktifkan tuts shortcut menu Start. Pengguna kasual umumnya kurang mengapresiasi fitur ini, namun ia sangat esensial bagi gamer yang tak mau terganggu karena masalah-masalah kecil. Rangkaian dedicated button itu memungkinkan kita mengakses fungsi-fungsi esensial tanpa perlu menggunakan kombinasi dua tombol konvensional.

K70 8

Produsen juga tetap mempertahankan pemakaian volume wheel di area kanan atas, sehingga proses pengaturannya sangat simpel dan cuma memakan sedikit tenaga. Di dekatnya, terdapat tombol mute dan multimedia (stop/prev/pause/play/next).

K70 4

Silakan lihat bagian depan, dan Anda akan menemukan sebuah port USB pass-through. Dengannya, Anda bisa langsung menyambungkan mouse atau headphone, atau menggunakannya untuk mengisi ulang baterai smartphone.

K70 20

 

iCUE

iCUE adalah versi lebih canggih dari Corsair Utility Engine. Dengannya, sistem mampu membaca seluruh komponen Corsair yang tersambung di PC, serta memungkinkan pengguna untuk mengonfigurasi segala macam fitur di sana melalui interface simpel dan mudah dimengerti oleh pengguna awam. Di PC yang saya gunakan, iCUE segera mendeteksi mouse Glaive RGB, mouse mat MM800 RGB Polaris, termasuk node lighting Pro dan RAM Vengeance RGB Pro.

K70 32

Software ini memang tak wajib diinstal, tapi hanya melaluinya Anda bisa mengutak-atik macro, men-setup profil berbeda, dan mengustomisasi RGB serta menentukan efek pecahayaan. Anda juga dipersilakan mematikan fungsi dari kombinasi tombol di keyboard tertentu, misalnya Shift-Tab, Alt-F4 atau Alt-Tab.

K70 33

Bagi saya, iCUE mempunyai sebuah pesona (dan keajaiban) tersendiri, apalagi jika K70 RGB MK.2 SE bukan satu-satunya produk Corsair yang terpasang di komputer. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam cuma untuk bermain-main dengan RGB, mencoba mencari setting yang bisa merepresentasikan mood saat itu.

K70 34

 

Pernak-pernik di dalam dan pengalaman menggunakan

Corsair memilih switch mekanis Cherry Mx ‘Silver’ Speed sebagai jantung dari K70 RGB Mk.2 SE. Kemampuan tuts membaca dorongan jari secara responsif ialah asal kata ‘Rapidfire’. Cherry MX Speed ialah switch berprofil liner. Karakteristiknya mirip Cherry MX Red, namun titik actuation serta jarak key travel-nya lebih pendek. Tombol akan meregistrasi tekanan jari di jarak 1,2mm (versus 2mm untuk MX Red) dan berjalan sejauh 3,4mm (MX Red punya key travel 4mm).

K70 14

Selain itu, baik MX Speed maupun MX Red memiliki actuation force serupa di 45-gram dan menjanjikan daya tahan sampai 50 juta kali tekan. Di atas kertas, ia cocok untuk menemani Anda bermain game-game bertempo cepat seperti shooter. Cherry MX Speed juga  merupakan satu-satunya switch yang tidak diindentifikasi dengan warna stem-nya. Walaupun MX Speed punya nama panggilan ‘silver‘, bagian stem sebetulnya berwarna abu-abu.

K70 11

Melengkapi switch MX Speed, Corsair mencantumkan kemampuan anti-ghosting N-key rollover ‘full key‘. Itu artinya, seberapa pun jumlah tombol yang Anda tekan, K70 RGB Mk.2 SE tetap mampu meregistrasi input. Kemudian berkat pemanfaatan konektivitas kabel, perangkat mampu menyampaikan informasi segesit mungkin, dengan frekuensi 1.000Hz.

K70 18

Dihitung dari durasi pemakaian,  K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire sebetulnya lebih sering saya gunakan untuk bekerja ketimbang bermain. Mayoritas orang lebih menyukai papan ketik jenis clicky (dengan switch MX Blue) untuk mengetik dan mereka yang berdompet tebal boleh jadi akan memilih varian high-end seperti Topre Type Heaven. Saya sendiri menggunakan keyboard ber-switch Cherry MX Red buat bekerja dan pengalamannya tidak istimewa.

K70 21

Karena itulah, untuk fungsi produktif, saya tidak berharap terlalu banyak dari K70 RGB Mk.2 SE. Namun performa produk ini ternyata  mengejutkan saya. Berkat key travel dan actuation point yang lebih pendek, ia lebih nyaman dipakai mengetik. Keyboard tidak membuat jari cepat lelah karena resistansi yang rendah, mampu merespons tekanan dengan baik tanpa ada double typing, dan saya juga jarang salah ketik karena penempatan tiap-tiap tuts-nya familier.

K70 31

Di sesi gaming, K70 RGB Mk.2 SE menemani saya dalam menikmati judul battle royale yang belakang sedang naik daun, Apex Legends. Dan sesuai tradisi, saya tak lupa mengujinya dengan Titanfall 2 buat mencari tahu efektivitas periferal dalam menangani first-person shooter bertempo super-cepat. Kedua permainan ini pada dasarnya masih kerabat tetapi punya karakteristik yang bertolak belakang.

K70 22

Saya sama sekali tidak menemui kendala saat bermain Apex Legends. Respawn  memastikan fungsi-fungsi kendali penting berada di jangkauan tangan kiri Anda, dan saya tak kesulitan buat mengaksesnya: mengelola isi tas via Tab, mengeluarkan granat (G), mengisi ulang senjata (R), hingga melompat (spasi) atau menunduk (Ctrl). Jari kelingking bahkan tidak terasa lelah ketika situasi mengharuskan saya untuk menunduk selama beberapa belas menit.

K70 10

K70 RGB Mk.2 SE juga lulus tes Titanfall 2. Keyboard punya andil besar dalam membantu saya mendapatkan gelar MVP, atau setidaknya mengamankan posisi runner-up. Dengan K70 RGB Mk.2 SE, tidak sulit bagi saya untuk bermanuver di udara, lari dan lompat dari tembok ke tembok, serta hinggap di punggung Titan lawan untuk mencuri baterai perisainya. Selain itu, tidak susah buat menggapai tombol krusial di area bawah seperti Z (push to talk), X (memulai tahap ejection), dan V (menurunkan Titan atau mengaktifkan Titan Core).

K70 12

Faktor kenyamanan saat bermain sangat terbantu oleh wrist rest plastik berpermukaan rubberized-nya.  Bagian ini terasa lembut ketika bersentuhan dengan kulit tangan, dan punya sedikit celah untuk bergerak mengikuti keyboard ketika kedua kakinya dinaikkan. Kemudian seandainya meja kerja/bermain Anda tak memiliki banyak ruang, wrist rest dapat dilepas.

K70 1

Satu kendala kecil yang berpotensi mengejutkan Anda adalah listrik statis. Anda akan merasakan sengatannya jika menyentuh bagian pojok pelat aluminium tanpa mengenakan alas kaki.

K70 23

 

Konklusi

K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire masuk dalam kategori keyboard premium Corsair, hanya berada satu tier di bawah varian top-end K95 RGB Platinum. Tidak heran jika segala macam teknologi dan material terbaik dapat ditemukan di sana. Efek negatifnya, konsumen dibebani dengan harga tinggi. Untuk meminang satu unit keyboard, Anda harus rela mengeluarkan uang Rp 2,5 juta. Di antara model K70 ber-RGB, edisi spesial ini merupakan yang termahal.

K70 13

Bagi saya, K70 RGB Mk.2 SE ialah salah satu keyboard berprofil linier paling fleksibel yang pernah saya gunakan. Shooter memang jadi spesialisasinya, tapi tak ada keluhan pula saat ia dipakai menekel genre lain, misalnya action adventure atau racing. Kemudian dengan sedikit adaptasi, papan ketik siap jadi rekan kerja sehari-hari.

K70 3

Meski demikian, saya tidak melihat adanya alasan kuat untuk beralih ke K70 RGB Mk.2 SE jika Anda sudah memiliki varian K70 lawas, kecuali jika Anda memang mengincar switch Cherry MX Speed atau tengah melengkapi satu set PC berwarna putih. Dengan kapabilitas mutakhir dan tubuh cerah, perkenankanlah saya menyebut K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire sebagai ratu keyboard gaming premium.

Sparks

  • Responsif, akurat dan nyaman
  • Ideal untuk menikmati shooter, tapi siap juga menangani  action adventure dan racing
  • Terbuat dari material-material premium
  • Penuh fitur
  • Didukung penuh iCUE
  • Cukup fleksibel buat jadi rekan kerja

 

Slacks

  • Mahal
  • Berat dan besar, mengurangi faktor portabilitasnya
  • Tidak banyak perbedaan dari anggota keluar K70 lain kecuali pada switch
  • Warna putih mungkin bukan favorit semua orang

[Review] Resident Evil 2, Hidangkan Sensasi Horor Klasik Dengan Penyajian Baru, Siap Rebut Gelar Game Terbaik di 2019

Saat itu tahun 1998. Mayat hidup memang sudah lama meneror pemirsa layar kaca, tapi kehadirannya di video game terbilang cukup jarang. Dua tahun sebelumnya, Resident Evil laris terjual di Amerika serta Inggris, menyemangati Capcom buat membangunnya jadi franchise raksasa. Setelah proses pengembangan yang panjang serta revisi besar-besaran, Resident Evil 2 lebih sukses lagi dari pendahulunya.

Di E3 2015, Capcom mengungkap rencana untuk membangun ulang Resident Evil 2 buat platform game current-gen berbekal teknologi engine dan grafis terbaru, namun baru tiga tahun setelahnya sang developer berkesempatan menyingkap apa yang sudah mereka kerjakan. Pengumumannya di E3 2018 disambut gamer dengan begitu antusias, dan ia menjadi salah satu permainan yang perilisannya paling ditunggu di 2019.

Meski demikian, banyak orang juga cemas mengenai nasibnya. Sejak Resident Evil 4, arahan franchise ini lebih condong mengedepankan action ketimbang horor. Pada akhirnya, Resident Evil 6 dikritisi akibat kualitas campaign single-player yang tidak rata serta melenceng jauhnya arahan game dari tema survival horror. Demi mengembalikan Resident Evil ke akarnya, Capcom nekat bereksperimen di permainan ketujuhnya, buat pertama kalinya menyajikan petualangan mendebarkan dalam perspektif orang pertama.

Salah satu alasan keberhasilan Resident Evil 7: Biohazard adalah, game ini berperan sebagai sekuel sekaligus gerbang masuk bagi mereka yang sama sekali belum pernah bermain Resident Evil. Anda tidak perlu menyelesaikan permainan-permainan sebelumnya agar bisa menikmatinya, melalui pengenalan tokoh-tokoh serta formula gameplay baru. Tapi bagaimana dengan remake Resident Evil 2?

RE2 3

 

Tradisi klasik dengan penyajian baru

Situasi sulit yang dihadapi Capcom dalam penggarapan remake Resident Evil 2 adalah tingginya ekspektasi gamer serta aspek cerita yang bukan lagi rahasia di kalangan gamer veteran. Itu artinya, tim developer  Jepang ini harus menemukan titik keseimbangan antara penyuguhan konten baru, sembari memastikan kengerian khas Resident Evil 2 tetap terjaga. Mereka juga tidak berniat untuk menawarkan formula yang pernah dipakai sebelumnya.

RE2 14

Aspek yang membuat Resident Evil 2 ‘lawas’ jadi tambah menegangkan adalah kurang bersahabatnya sistem kendali. Seperti game pertama dan ketiga, Resident Evil 2 mengusung metode kontrol ala tank dengan kamera fixed. Itu artinya, menghindar dan membidik musuh sangatlah sulit. Dari sisi presentasi, RE2 remake sendiri lebih menyerupai Resident Evil 4, tetapi ada banyak keputusan jenius dari Capcom yang membuat game baru ini se-mengerikan pendahulunya.

RE2 17

Resident Evil 2 remake memanfaatkan sudut pandang kamera orang ketiga over-the-shoulder. Bertolak belakang dari Resident Evil 7, pengendalian karakter terasa lebih intuitif dan kita bisa lebih mudah mengetahui keadaaan di sekitar – apalagi dukungan keyboard dan mouse di versi PC yang saya mainkan membuat kontrolnya lebih luwes lagi. Bahkan sebelum game dimulai, saya bisa merasakan bagaimana Capcom betul-betul memperhatikan hal ini.

RE2 18

Di PC, segala macam fungsi kendali karakter berada di jangkauan jari Anda. Selain untuk menggunakan persenjataan, tombol kiri dan kanan mouse berguna buat berinteraksi dengan objek. Lalu lewat kombinasi Tab dan tombol WASD, kita bisa mudah mengakses menu pause serta membuka dokumen, sangat berguna saat kita mencoba mencari petunjuk puzzle. Developer juga menyediakan fitur quick turn 180 derajat, tapi berkat ringkasnya mouse, fungsi ini jarang sekali saya gunakan.

 

Zombie jadi kembali menyeramkan

Seri Resident Evil 2 lahir sebelum ‘zombie berlari’ jadi tren di layar lebar dan video game. Di edisi remake ini, Capcom tidak mencoba mengubah cara mereka menyajikan teror pada pemain – malah terus berpegang pada tradisi lawas Resident Evil. Namun ada sejumlah hal yang Capcom utak-atik agar mayat hidup tetap mengerikan; pertama adalah lewat penempatan strategis serta efek suara, dan kedua ialah dengan mengubah karakteristik mereka.

RE2 2

Saat berjumpa pertama kali dengan mayat hidup di RE2 remake, insting yang terbentuk dari pengalaman menikmati puluhan game shooter mendorong saya untuk segera menembak mereka di kepala. Langkah ini ternyata keliru. Butuh sekitar tujuh tembakan di kepala buat merobohkan satu zombie. Dan itu artinya ada banyak peluru berharga yang harus dihabiskan jika Anda ingin mengalahkan mereka satu per satu.

RE2 12

Situasi ini membuat saya berpikir ulang tentang apa yang harus dikerjakan. Untungnya solusi muncul sebelum terlambat: tembak zombie di kaki untuk memutuskan bagian tersebut demi menghambat gerakan mereka. Lebih baik hindari lawan dari pada konfrontasi langsung, kecuali jika tak ada pilihan lain. Dengan cara itu, kita bisa lebih menghemat amunisi. Metode ini mengingatkan saya pada bagaimana cara menangani Necromorph di Dead Space.

RE2 13

Pola pikir ‘hidari ketimbang konfrontasi’  tersebut penting karena di satu titik dalam permainan, pemain akan berhadapan dengan lawan yang tak bisa dikalahkan. Kita hanya bisa melarikan diri atau membuatnya roboh secara sementara, namun ia baru benar-benar bisa tumbang ketika pemain mendapatkan senjata berukuran besar. Tyrant ber-codename Mr. X ini akan terus memburu Anda. Ia akan mengejar saat melihat Anda dan berpatroli tanpa lelah. Itu berarti, pengetahuan terhadap lokasi serta kesadaran lingkungan sangatlah esensial.

RE2 20

Berkaitan dengan faktor awareness tadi, saya sangat mengapresiasi desain audio edisi remake ini. Suara derakan nafas dan rintihan zombie terdengar sangat menyeramkan, apalagi jika muncul dari lokasi yang tidak disangka. Suara juga bisa sangat membantu, apalagi ketika Anda sudah mulai dikejar oleh sang tyrant. Bunyi derap langkah bisa terdengar ketika ia berada di dekat kita, dan itulah alasannya saya sangat menyarankan penggunaan headset berfitur surround 7.1.

RE2 15

Namun seperti mayoritas game survival horror sejenis, Resident Evil 2 (2019) masih mengandalkan elemen jump scare. Kejutan bisa saja bersembunyi di tiap lorong dan tikungan, atau di tempat-tempat yang Anda kira aman. Sejujurnya, pendekatan ini mulai terasa membosankan, terutama jika Anda punya pengalaman dalam menangani permainan-permainan semisal Bloodborne, Amnesia atau Alien: Isolation.

RE2 19

Bagi saya, bagian terbaik dari Resident Evil 2 remake adalah kehadiran Mr. X serta ketidakpastian dan kepanikan yang ia timbulkan. Sensasinya mirip ketika menghadapi Xenomorph di Alien: Isolation. Bedanya, sang tyrant tidak bergerak secepat alien sehigga lebih gampang dihindari. Dan bahkan di situasi terpojok sekali pun, kematian dini dapat dielakkan jika Anda bisa berpikir serta beraksi cepat atau kebetulan membawa peralatan yang tepat.

 

Nostalgia dengan wajah-wajah lama

Remake Resident Evil 2 kembali mempersilakan Anda bermain sebagai dua tokoh favorit di franchise ini, Leon S. Kennedy dan Claire Redfield. Penampilan keduanya disesuaikan dengan standar desain karakter modern, berbasis pada gaya tahun 90-an (rambut belah pinggir Leon tidak direvisi, sukurlah). Kedua tokoh ini tampaknya pernah menjalani pelatihan bela diri dan senjata api, tapi sama sekali belum berpengalaman dalam menghadapi mayat hidup. Claire ialah seorang mahasiswi, sedangkan Leon adalah polisi pemula.

RE2 11

Claire dan Leon akan menjalani pengalaman berbeda di Kota Raccoon, namun narasi yang mereka lalui kurang lebih sama. Kedua tokoh beberapa kali bertemu, mengunjungi lokasi serupa, serta menyelesaikan teka-teki yang sama. Walaupun demikian, cerita Leon menyuguhkan sensasi ala investigasi polisi, sedangkan kisah Claire berhubungan dengan tema keluarga. Perbedaan di sisi narasi terletak pada NPC yang mereka temui, lalu beberapa area cuma bisa diakses oleh karakter tertentu.

RE2 5

Game memang dirancang untuk diselesaikan minimal dua kali, dan Capcom sudah menyiapkan banyak hal untuk memotivasi kita melakukannya – misalnya lewat kostum baru, karakter rahasia, dan sistem achievement. Alternatifnya, menamatkan permainan secepat mungkin di tingkat kesulitan tertentu akan membuka bonus amunisi tak terbatas yang dapat digunakan di petualangan Anda berikutnya.

RE2 7

Selain menghadapi mayat hidup dan senjata biologis, puzzle merupakan elemen esensial dari Resident Evil 2. Mereka yang familier dengan seri ini akan segera menyadari bahwa segala sesuatu di game tidaklah sederhana. Contohnya sewaktu Claire mencoba membuka gerbang area parkir mobil. Ia harus mendapatkan kunci, buat memperoleh kunci berbeda, demi mendapatkan sirkuit listrik pengganti agar pintu bisa terbuka, untuk memperoleh keycard di dalamnya.

RE2 4

Penyelesaian teka-teki dipersulit dengan sistem inventory yang sangat terbatas. Bahkan tanpa item-item quest, kita akan terus mengadapi dilema soal barang-barang apa saja sebaiknya dibawa: apakah pisau, amunisi untuk senjata sekunder, atau obat? Sejumlah senjata berukuran besar memakan lebih dari satu slot penyimpanan. Bersediakah Anda meninggalkannya demi ruang penyimpanan yang lebih lega?

RE2 5

Satu hal yang sangat saya sukai ialah, banyak hal tak dijelaskan secara gamblang dan pemain sering kali harus mencari jawabannya sendiri – misalnya ‘mencuci film’ buat mencari petunjuk, melacak kode loker yang tersembunyi di lokasi berbeda, dan menyadari bahwa papan kayu berguna untuk menutup jendela untuk menghalangi zombie masuk. Dan di sejumlah skenario, beberapa item penting disembunyikan di benda lain (kunci atau batu permata), mendorong kita buat memeriksa objek secara teliti.

RE2 9

 

Konklusi

Bagi saya, edisi PC Resident Evil 2 remake ialah versi terbaik. Di sistem berprosesor Intel Core i7-6700HQ dan berkartu grafis GeForce GTX 1070, permainan berjalan sangat mulus di setting visual tertinggi dengan resolusi 1080p, rata-rata di atas 100-frame per detik. Di tingkat ini, detail wajah, lipatan di jaket, hingga efek basah pada pakaian terlihat jelas. Lalu, game juga bisa dibeli di harga lebih ekonomis.  Ketika Resident Evil 2 di PlayStation 4 dibanderol di atas Rp 700 ribu, edisi Steam dapat dimiliki cukup dengan mengeluarkan uang kurang dari Rp 500 ribu.

RE2 1

Remake Resident Evil 2 merupakan salah satu game yang dibahan-bakari konsep nostalgia. Namun berbeda dari upaya remake/remaster judul lain, Capcom tidak mengambil jalan pintas. Seluruh aset permainan dibangun dari nol, berbekal engine RE yang digunakan dalam penggarapan Resident Evil 7: Biohazard, dan upaya developer tidak sia-sia. Game ini menawarkan keseimbangan antara aspek-aspek baru dan lawas, membuat petualangan horor di sana terasa menyegarkan, dan siap merebut gelar permainan terbaik di 2019.

RE2 8

Resident Evil 2 mengingatkan kembali mengenai hal yang membuat saya jatuh hati pada franchise ini. Saya akan segera merekomendasikannya pada siapa saja yang mengaku fans berat Resident Evil atau penggemar permainan horor pada umumnya. Capcom berhasil menetapkan sebuah standar baru mengenai bagaimana sebuah remake video game seharusnya dikerjakan. Tapi sebelum membelinya, perlu diketahui bahwa permainan ini kental dengan tema kekerasan, sangat tak disarankan bagi Anda yang sensitif dengan kejutan dan darah.

RE2 6

Jika boleh diberi kesempatan untuk memberi masukan, saya pribadi sebetulnya berharap agar Capcom menghidangkan dunia game secara lebih luas dan ekspansif. Seperti edisi tahun 1998-nya, struktur level Resident Evil 2 remake terdiri dari lorong-lorong saling menyambung yang berujung pada area hub. Seandainya permainan menyuguhkan ruang lebih terbuka, akan ada banyak peluang buat membenamkan elemen gameplay lain. Lalu, bayangkan serunya bermain bersama kawan jika game juga dibekali mode multiplayer kooperatif.

Claire Redfield, Resident Evil 2 remake.

 

Sparks

  • Standar tinggi dalam penggarapan remake
  • Gameplay baru dengan sensasi horor khas Resident Evil klasik
  • Konten melimpah walaupun campaign-nya linier
  • Tingkat kesulitan teka-teki yang pas, tidak terlalu susah ataupun mudah
  • Desain audio jempolan
  • Berjalan mulus di PC

 

Slacks

  • Dunia permainan yang kurang terbuka
  • Jump scare jadi cara utama buat mengagetkan Anda
  • Absennya mode multiplayer