Google Singkap Project Starline, Teknologi Video Call Masa Depan yang Amat Realistis

Sebagian besar dari kita mungkin sudah muak dengan yang namanya Zoom meeting. Jangankan kita, bahkan CEO Zoom sendiri pun juga merasakan hal serupa. Namun sesi panggilan video tidak selamanya akan semembosankan ini. Beberapa tahun dari sekarang, sesi video call mungkin dapat terasa seperti kita sedang bertemu dan bertatap muka secara langsung.

Kalau perlu bukti, coba tengok proyek ambisius Google yang dinamai Project Starline berikut ini. Dikembangkan selama lebih dari lima tahun, Starline pada dasarnya merupakan teknologi video call yang luar biasa canggih. Sistemnya melibatkan segudang kamera dan sensor untuk menangkap penampilan seseorang dari perspektif yang berbeda-beda, mengemasnya menjadi sebuah model 3D, lalu meneruskan informasinya secara real-time.

Lauren Goode, jurnalis Wired yang berkesempatan menjajal langsung teknologinya, mendeskripsikan Starline sebagai sebuah video booth dengan segudang hardware yang sepertinya berharga sangat mahal. Salah satu hardware mahal yang dimaksud adalah sebuah light field display berukuran 65 inci, display canggih yang dirancang untuk menampilkan objek secara tiga dimensi tanpa mengharuskan penggunanya mengenakan apa-apa.

Berbeda dari Microsoft Mesh yang mengharuskan kita untuk memakai headset HoloLens agar bisa melihat hologram, Starline mampu menyajikannya langsung di hadapan seseorang. Kalau melihat video demonstrasi singkatnya, hologramnya kelihatan begitu realistis, dengan pergerakan yang berlangsung secara real-time dan minim latensi — sistemnya bahkan bisa membaca pergerakan bayi yang kita tahu sulit untuk diprediksi. Selain visual yang memukau, pengalamannya kian disempurnakan oleh efek spatial audio.

Untuk sekarang, Project Starline baru tersedia di beberapa kantor Google saja, dan tim pengembangnya masih terus sibuk menguji serta menyempurnakan teknologinya. Google percaya bahwa ini merupakan arah yang tepat bagi pengembangan teknologi komunikasi ke depannya, dan mereka berniat untuk menjadikan teknologinya lebih terjangkau sekaligus lebih gampang diakses.

Selain menguji Project Starline secara internal, Google juga berniat untuk mengajak sejumlah mitranya dari bidang layanan kesehatan dan media guna menjajal Starline dan mendiskusikan potensi pengaplikasiannya. Ke depannya, Google juga akan menerapkan sejumlah teknologi di Project Starline ke produk-produk yang sudah kita gunakan sekarang. Bukan tidak mungkin seandainya dalam waktu Google Meet bakal kedatangan dukungan spatial audio.

Sumber: Google.

Nvidia Umumkan Grace, CPU Berbasis ARM Pertamanya untuk Data Center

Saat Nvidia mengumumkan rencananya untuk mengakuisisi ARM tahun lalu, banyak yang menilai langkah tersebut sebagai upaya Nvidia untuk merebut pangsa pasar di segmen chipset smartphone. Namun kala itu Jen-Hsun Huang (CEO Nvidia) menjelaskan bahwa yang bakal menjadi fokus mereka dalam waktu dekat justru adalah di bidang data center dan cloud.

Beliau rupanya tidak asal bicara. Nvidia baru saja memperkenalkan CPU berbasis ARM anyar yang mereka juluki Grace, diambil dari nama salah satu pionir dunia pemrograman komputer, Grace Hopper. Grace merupakan CPU pertama Nvidia yang dirancang untuk digunakan di komputer-komputer server pada sebuah data center, kurang lebih sama seperti lini CPU Intel Xeon maupun AMD EPYC.

Alasan mereka merancang Grace sebenarnya cukup sederhana. Nvidia membutuhkan CPU server yang mendukung interface NVLink, yang memungkinkan komunikasi antara CPU dan GPU dalam kecepatan yang sangat tinggi (minimal 900 GB/s), jauh di atas yang interface PCI Express tawarkan saat ini (kurang lebih 30x lebih cepat).

Dengan bandwith sekaligus kecepatan yang amat tinggi yang Grace tawarkan, Nvidia pun memandangnya sebagai CPU yang paling ideal untuk ditandemkan dengan generasi selanjutnya dari GPU kelas server buatan mereka. Untuk menggambarkan kinerja komputer server yang menggunakan Grace secara keseluruhan, Nvidia memakai skenario melatih sistem natural-language processing dengan satu triliun parameter.

Menurutnya, pekerjaan ini dapat dilakukan dengan kecepatan 10x lebih tinggi daripada jika menggunakan lini komputer server besutan mereka saat ini, yakni Nvidia DGX yang mengandalkan CPU berbasis arsitektur x86.

Anggap saja sekarang kita membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk melatih suatu sistem natural language processing. Dengan Grace, waktu yang diperlukan bisa dipangkas hingga menjadi tiga hari saja. Tidak heran apabila kemudian Nvidia langsung mendapatkan klien besar meski Grace sendiri sebenarnya baru akan dirilis di tahun 2023.

Ilustrasi superkomputer Alps / Nvidia
Ilustrasi superkomputer Alps / Nvidia

Klien yang dimaksud adalah Swiss National Supercomputing Centre (CSCS), yang saat ini tengah membangun sebuah superkomputer AI bernama Alps. Prediksinya, Alps bakal menjadi superkomputer dengan performa AI tercepat (20 exaflop) saat sudah rampung dibangun di tahun 2023 nanti.

Selain itu, Nvidia juga sudah punya niatan untuk menggunakan Grace pada Atlan, sebuah chipset baru yang Nvidia rancang untuk mobil kemudi otomatis, yang estimasinya bakal hadir di tahun 2025.

Apa yang Nvidia lakukan ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dari Apple. Apple, seperti yang kita tahu, memutuskan untuk merancang sendiri prosesor laptop berbasis ARM karena tidak puas dengan keterbatasan yang mereka jumpai pada prosesor berbasis arsitektur x86. Nvidia juga demikian, hanya saja konteksnya untuk komputer server ketimbang consumer.

Sumber: Engadget dan AnandTech.

Microsoft Akuisisi Perusahaan Spesialis Speech Recognition, Nuance

Akuisisi demi akuisisi terus dilancarkan oleh Microsoft demi mengembangkan bisnisnya. Yang terbaru, Microsoft baru saja mengumumkan akuisisinya terhadap Nuance Communications, perusahaan software yang menggeluti bidang speech recognition dan artificial intelligence (AI).

Produk Nuance yang paling terkenal adalah software speech recognition bernama Dragon. Selama bertahun-tahun, Dragon sudah dipakai oleh berbagai perusahaan besar melalui sistem lisensi. Salah satu klien Nuance yang paling dikenal mungkin adalah Apple, yang memanfaatkan teknologi speech recognition beserta natural-language processing milik Dragon dalam pengembangan asisten virtual Siri.

Tidak heran apabila kemudian Microsoft rela mengucurkan dana sebesar $19,7 miliar (± Rp288,79 triliun) untuk meminang Nuance. Nuance bisa dibilang merupakan salah satu pemimpin di bidang speech recognition, dan Microsoft tentu dapat memanfaatkannya di banyak produk dan layanan yang mereka tawarkan.

Salah satu yang langsung terpikirkan mungkin adalah menggunakan teknologi speech recognition untuk menghadirkan fitur transkrip audio secara otomatis di Microsoft Teams, kurang lebih mirip seperti yang ditawarkan oleh Zoom maupun Google Meet melalui integrasi layanan pihak ketiga bernama Otter. Itu baru satu contoh, sebab potensi pengaplikasian speech recognition dan natural-language processing di bidang enterprise — bidang yasng sangat dikuasai oleh Microsoft — tentu amat luas.

Pada kenyataannya, langkah pertama yang bakal Microsoft ambil pasca akuisisi Nuance adalah menggenjot inovasinya lebih jauh lagi di industri pelayanan kesehatan alias health care. Ini dikarenakan Microsoft sebenarnya sudah bermitra dengan Nuance sejak tahun 2019 untuk membantu memperlancar tugas-tugas administratif di industri pelayanan kesehatan.

Software besutan Nuance sendiri sudah digunakan di lebih dari tiga perempat (77%) rumah sakit di Amerika Serikat. Salah satu yang banyak digunakan adalah Dragon Medical One, yang dirancang untuk membantu para dokter mendokumentasikan pekerjaannya secara efisien.

Proses akuisisinya diperkirakan bakal rampung pada akhir tahun 2021 ini juga. Akuisisi ini merupakan akuisisi terbesar kedua yang dilakukan Microsoft setelah LinkedIn di tahun 2016 dengan nilai $26 miliar.

Sumber: Microsoft.

Lewat NX Studio, Nikon Ingin Ubah Stigma Software Editing Bawaan Produsen Kamera Itu Jelek

Kabar gembira bagi para konsumen setia Nikon. Nikon belum lama ini meluncurkan NX Studio, sebuah software edit foto gratis untuk Windows sekaligus macOS. Meski gratis, fungsinya benar-benar lengkap. Ia bahkan juga bisa dipakai untuk menyunting video.

Secara umum, NX Studio mengintegrasikan fitur-fitur yang sebelumnya ada di software ViewNX-i dan Capture NX-D. Itu berarti pengguna tidak lagi memerlukan dua software yang terpisah untuk melihat dan mengedit hasil jepretannya. Semuanya sekarang cukup dengan menggunakan NX Studio, dan Nikon memastikan bahwa semua kamera bikinannya kompatibel, mulai dari seri Z sampai action cam KeyMission sekaligus.

Sebagai software besutan Nikon sendiri, tentu saja NX Studio menjamin hasil konversi file RAW kamera-kamera Nikon (.NEF atau .NRW) yang paling akurat. Satu fitur menarik yang diwarisi dari Capture NX-D adalah Color Control Points, yang memungkinkan penyesuaian exposure pada area tertentu saja dalam sebuah gambar, sehingga penyuntingan bisa dilakukan secara lebih presisi lagi.

Namun yang selama ini menjadi kekurangan terbesar dari banyak software bawaan yang disiapkan oleh produsen kamera adalah terkait kemudahan pengoperasiannya. Sering kali tampilan antarmukanya terkesan membingungkan, sehingga pada akhirnya pengguna lebih memilih menggunakan software pihak ketiga macam Adobe Lightroom atau Capture One.

Lewat NX Studio, Nikon pada dasarnya ingin mengubah stigma tersebut. Supaya mudah dikuasai, fitur-fitur dalam NX Studio dikelompokkan berdasarkan workflow: data import, viewing, dan editing. Kalau Anda pernah menggunakan Lightroom, Anda pasti bakal mudah beradaptasi dengan NX Studio.

Nikon juga memastikan supaya NX Studio bisa digunakan bersama software lain macam Nikon Transfer 2 atau Camera Control Pro 2 demi memudahkan workflow. Integrasi dengan Nikon Image Space juga tersedia sehingga pengguna dapat mengunggah hasil suntingannya langsung ke layanan cloud storage tersebut. Untuk video, pengguna juga bisa langsung mengunggah hasil editan ke YouTube lewat NX Studio.

Kalau Anda punya kamera Nikon, tidak ada ruginya mencoba NX Studio mengingat Anda sama sekali tidak akan dikenakan biaya apapun. Tentu saja, pastikan terlebih dulu bahwa spesifikasi PC atau laptop yang Anda gunakan memenuhi syarat yang tercantum di situsnya.

Sumber: PetaPixel.

Microsoft Perkenalkan Platform Mixed Reality Berbasis Cloud, Microsoft Mesh

Bukan rahasia apabila Microsoft begitu antusias terhadap teknologi mixed reality. Anggapan tersebut mereka buktikan lagi baru-baru ini. Di event Microsoft Ignite semalam, mereka memperkenalkan sebuah platform mixed reality baru yang sangat menarik bernama Microsoft Mesh.

Dari kacamata sederhana, Mesh merupakan sebuah platform kolaboratif yang memungkinkan lebih dari satu orang untuk menikmati pengalaman virtual yang sama, entah ketika orang-orangnya berada di dalam satu ruangan, atau tinggal di berbeda negara sekalipun. Menurut Microsoft, ini sebenarnya sudah menjadi gagasan awal mereka semenjak menyeriusi ranah mixed reality.

Untuk mencontohkan kapabilitas Mesh, Microsoft memakai istilah holoportation, yang memungkinkan orang untuk tampil sebagai hologram di sebuah virtual space. Jadi ketika Anda memakai headset HoloLens 2, Anda akan melihat saya muncul di sebelah Anda sebagai hologram, demikian pula sebaliknya, meski pada kenyataannya kita tinggal di beda negara, misalnya.

Untuk sekarang, holoportation masih belum sepenuhnya tersedia buat konsumsi publik. Sebagai gantinya, versi awal Microsoft Mesh akan menggunakan virtual avatar dari platform AltspaceVR yang Microsoft akuisisi di tahun 2017.

Namun premis utama Mesh tidak berubah. Meski Anda cuma melihat saya hadir sebagai avatar, kita berdua masih bisa berinteraksi dengan objek-objek virtual (hologram) yang sama, seakan-akan kita benar-benar bersebelahan. Anggap saja ini sebagai versi yang jauh lebih advanced dari fitur share screen di banyak aplikasi video conference.

Mesh dibangun di atas arsitektur cloud Microsoft Azure. Artinya, konten hologram yang kita lihat sebenarnya bukan berasal dari perangkat yang kita gunakan, melainkan di-stream dari cloud. Karena berbasis cloud, Mesh pun dirancang agar dapat diakses dari banyak perangkat sekaligus, mulai dari VR headset sampai smartphone. meski memang yang bakal terasa paling immersive adalah ketika menggunakan mixed reality headset seperti HoloLens 2 tadi.

Kalau Anda mengira Mesh hanya cocok untuk konteks bekerja, Anda salah besar. Di acara pengumumannya, Microsoft juga sempat mengundang orang-orang dari Niantic Labs untuk mendemonstrasikan pengalaman bermain Pokemon GO menggunakan HoloLens 2 dan platform Mesh. Demonstrasinya memang tidak lebih dari sebatas proof-of-concept, tapi tetap bisa menunjukkan potensi pengaplikasian Mesh yang begitu luas.

Sumber: The Verge dan Microsoft.

Lego Vidiyo Adalah Sistem Permainan AR yang Terinspirasi TikTok

Akhir Januari kemarin, Lego mengumumkan Vidiyo, sejenis permainan berbasis augmented reality (AR) yang sedikit banyak terinspirasi oleh TikTok. Premisnya cukup simpel: letakkan minifigure di atas meja, pilih lagu di aplikasi, lalu rekam video musik yang menarik dengan bantuan efek AR.

Namun tidak seperti set Lego standar, Vidiyo mempunyai set minifigure-nya sendiri. Juga sangat esensial adalah kotak kecil pipih yang Lego namai BeatBits. Setiap BeatBits mengemas gambar yang berbeda, dan gambar-gambar itulah yang pada akhirnya diterjemahkan oleh smartphone menjadi efek AR-nya (animasi minifigure, special effect, dan lain sebagainya).

Minifigure dan BeatBits ini Lego bundel dalam satu paket bernama BeatBox. Satu BeatBox dihargai $20, dan isinya mencakup satu minifigure dan 16 BeatBits. Kemasannya sendiri berperan sebagai panggung mini buat sang minifigure sekaligus wadah untuk menempatkan BeatBits. Urutan efek AR yang ditampilkan bakal bergantung pada urutan BeatBits-nya.

Alternatifnya, Lego juga menjual minifigure Vidiyo secara terpisah seharga $5, plus tiga BeatBit sebagai bonus. Sayangnya mengoleksi minifigure sekaligus BeatBits Vidiyo sampai lengkap tidak sekadar membutuhkan uang, tapi juga keberuntungan, sebab paket minifigure terpisah ini dikemas dalam wujud blind bag.

Untuk konten musiknya, Lego bekerja sama langsung dengan Universal Music Group. Sejauh ini katalognya baru mencakup sekitar 30 lagu, akan tetapi jumlahnya dipastikan bakal terus bertambah ke depannya. Juga akan ditambah jumlahnya seiring waktu adalah minifigure dan BeatBits. Untuk BeatBits, Lego punya target merilis setidaknya 130 BeatBits di tahun 2021 ini saja.

Selain membagikan hasil rekaman video musiknya ke media sosial, kita juga bisa memanfaatkan platform sosial milik Vidiyo sendiri. Lego memastikan bahwa timnya akan selalu memoderasi konten yang bersirkulasi di platform Vidiyo demi memastikan semuanya tetap family-friendly. Sekadar informasi, permainan ini ditujukan untuk anak-anak berusia 7 tahun atau lebih.

Di Amerika Serikat, Lego Vidiyo BeatBox kabarnya akan dijual mulai tanggal 1 Maret mendatang. Aplikasinya sendiri tersedia gratis untuk perangkat Android dan iOS, tanpa opsi in-app purchase sama sekali.

Sumber: SlashGear dan Wired.

Program VR Ambassador Siap Cetak 5.000 Pionir Media Pembelajaran Berbasis Virtual Reality

Pandemi COVID-19 di tahun 2020 memaksa kita untuk menghadapi perubahan yang besar secara mendadak. Sektor pendidikan pun tidak luput dari itu. Kegiatan belajar mengajar yang umumnya dilakukan secara tatap muka kini harus dilangsungkan secara daring. Ketidaksiapan pun banyak terjadi karena dalam waktu yang singkat, para pendidik harus bisa menyesuaikan diri dengan teknologi yang tersedia.

Di sisi lain, peserta didik juga mengalami kebosanan karena metode pembelajaran daring yang kurang efektif. Mereka mendambakan metode baru yang dapat memberikan kesenangan belajar, dan di sinilah teknologi virtual reality (VR) hadir sebagai salah satu solusi.

Relevansi VR di sektor pendidikan bisa kita tinjau lebih jauh pada laporan World Economic Forum yang diterbitkan di bulan Oktober 2020. Data dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa penyerapan teknologi VR di dunia pendidikan mencapai 70% hingga tahun 2025.

Kebutuhan yang tinggi akan teknologi VR ini tentunya bukan tanpa alasan. VR terbukti mampu meningkatkan pencapaian siswa dalam hal pemahaman materi, peningkatan emosi positif, hingga kemampuan berpikir kritis. Pembuktiannya telah dilakukan di banyak negara dalam bentuk penelitian ilmiah universitas maupun penelitian independen.

Di Indonesia, dampak positif implementasi VR di bidang pendidikan ini bisa kita lihat dari uji coba yang dilakukan di 10 provinsi oleh penyedia platform pendidikan berbasis VR asal tanah air, MilleaLab. Dalam uji coba tersebut, MilleaLab bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang direkomendasikan oleh jaringan Ikatan Guru Indonesia.

“Uji coba yang melibatkan 1.800 peserta didik dari jenjang dasar dan menengah ini memberikan hasil yang sangat positif,” jelas Andes Rizky, Managing Director MilleaLab. “Dari data uji coba yang dilakukan, penggunaan VR dapat meningkatkan emosi positif siswa hingga 90%, meningkatkan daya ingat dan pemahaman siswa pada konteks pembelajaran hingga 80%, dan juga mampu meningkatkan nilai rata-rata kelas hingga 53%,” imbuhnya.

LenteraEdu, platform pendidikan yang diinisiasi oleh Putera Sampoerna Foundation, meyakini bahwa teknologi VR dapat menjadi solusi bagi penyesuaian kegiatan belajar mengajar di era pandemi, sekaligus menjadi gerbang untuk menyatukan teknologi yang bersahabat bagi tenaga dan peserta didik secara bersamaan.

Program VR Ambassador untuk mempercepat transformasi digital pendidikan tanah air

VR Ambassador

Berpegang pada prinsip tersebut, LenteraEdu menginisiasi program VR Ambassador yang bertujuan untuk mencetak tenaga pendidik yang bisa menjadi pionir teknologi immersive dalam dunia pendidikan Indonesia. Dalam melangsungkan programnya, LenteraEdu menggandeng MilleaLab yang sejak tahun 2019 telah aktif memberikan program pelatihan VR.

Kombinasi antara pengalaman pendidik dan fasilitator dari LenteraEdu dengan teknologi bersahabat yang MilleaLab ciptakan tentu dapat bersinergi dan membuka gerbang pendidikan Indonesia ke langkah yang lebih baik lagi. Hal ini pun dibuktikan dengan tingginya antusiasme terhadap program VR Ambassador. Hinggai hari terakhir, jumlah data yang masuk sebagai pendaftar tercatat 3x lipat lebih banyak daripada jumlah yang ditargetkan.

Dari sekian banyak pendaftar, LenteraEdu dan MilleaLab telah melakukan seleksi hingga mendapatkan 100 calon ambassador terbaik. Beberapa di antaranya juga merupakan guru-guru SMK, dan harapannya tentu supaya mereka dapat membantu meningkatkan kualitas lulusan di bidang vokasi, yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya jumlah pelaku usaha kecil dan menengah yang lebih kompeten.

Secara total, program VR Ambassador ini akan berlangsung selama enam bulan. Proses seleksinya telah selesai pada bulan Desember kemarin, dan program pelatihannya sendiri akan dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret ini. Selama pelatihan berlangsung, para guru akan diasah pengetahuan sekaligus keterampilannya dalam menyusun materi pembelajaran alternatif yang inovatif dengan memanfaatkan teknologi VR.

Tujuan akhirnya tentu supaya hasil belajar siswa dapat ditingkatkan, sekaligus memberikan pengalaman belajar yang autentik dan tanpa batas bagi mereka. Namun bukan cuma itu saja, masing-masing dari 100 VR Ambassador ini juga diwajibkan untuk melakukan diseminasi kepada 50 tenaga pendidik di tempat mereka berada, sehingga dapat memperluas praktik baik dan dampak positif yang diberikan. Program diseminasi ini rencananya akan dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2021.

Program VR Ambassador ini telah menerima dukungan penuh dari Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Riset dan Teknologi. Kendati demikian, LenteraEdu dan MilleaLab masih membuka pintu kerja sama dengan instansi lain yang tertarik untuk berkontribusi langsung terhadap pergerakan transformasi digital pendidikan di tanah air, entah itu dalam bentuk sponsorship maupun bentuk dukungan lainnya.

Disclosure: DailySocial adalah media partner program ShintaVR/MilleLab.

Hyundai Beli Perusahaan Robot Boston Dynamics

Boston Dynamics, produsen robot yang mengawali kiprahnya sebagai proyek di Massachusetts Institute of Technology (MIT), kini punya pemilik baru lagi. Melalui sebuah siaran pers, Hyundai Motor Group mengumumkan rencananya untuk meminang Boston Dynamics dari tangan SoftBank Group, dengan nilai valuasi sebesar $1,1 miliar (± Rp15,57 triliun).

Pasca transaksi, produsen mobil terbesar ketiga di dunia itu bakal memegang sekitar 80% dari total saham Boston Dynamics, dan sisanya masih berada di bawah kepemilikan SoftBank. Sekadar mengingatkan, SoftBank sendiri membeli Boston Dynamics dari Google di tahun 2017 dengan mahar yang dirumorkan mencapai $165 juta berdasarkan laporan dari Bloomberg.

Yang mungkin jadi pertanyaan adalah, apa yang menjadi motivasi Hyundai membeli sebuah perusahaan robot yang sejauh ini belum mampu mencetak laba? Hyundai memang tidak menyebutkan alasan yang spesifik, akan tetapi mereka melihat akuisisi ini sebagai langkah yang tepat dalam misinya bertransformasi menjadi “Smart Mobility Solution Provider”.

Hyundai juga percaya bahwa investasi di bidang robotik dapat membantu mengakselerasi perwujudan visi mereka di bidang sistem kemudi otomatis maupun konsep pabrik pintar. Seperti yang kita tahu, teknologi robotik memang hampir selalu diasosiasikan dengan tren automasi, dan Hyundai sepertinya melihat ini sebagai faktor krusial buat masa depan mereka.

Boston Dynamics Spot

Di saat yang sama, Hyundai juga ingin melihat Boston Dynamics tumbuh secara komersial. Ini penting mengingat Boston Dynamics sudah tidak berpenghasilan lagi semenjak diakuisisi oleh Google di tahun 2013 dan berhenti menerima kontrak militer. Selama tujuh tahun terakhir, Boston Dynamics hanya mengembangkan robot demi robot yang kerap berujung menjadi viral, tapi tanpa peluang untuk mendapat keuntungan dari penjualan.

Namun pada pertengahan 2020 kemarin, Boston Dynamics sebenarnya sudah mulai menjual sebuah robot bernama Spot. Bloomberg melaporkan bahwa robot seharga $74.500 itu sejauh ini sudah terjual sebanyak 400 unit dan mendatangkan pemasukan paling tidak sebesar $30 juta. Kendati demikian, biaya operasi perusahaan yang dibutuhkan Boston Dynamics sendiri tidak sedikit dan bisa mencapai lebih dari $150 juta per tahunnya.

Hyundai, dengan segala kekuatannya di bidang manufaktur, semestinya dapat membantu Boston Dynamics meningkatkan efisiensinya perihal produksi robot komersial ini. Produksi yang lebih efisien berarti Boston Dynamics dapat menekan ongkos yang dibutuhkan sekaligus harga jual robotnya, dengan harapan bakal ada lebih banyak lagi konsumen yang membelinya.

Spot sendiri sejauh ini belum bisa berbuat banyak di samping menjadi alternatif terhadap drone. Namun hal itu tidak menepis fakta bahwa robot tersebut mengusung sederet teknologi canggih, dan video dari MKBHD berikut dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kecanggihannya.

Sumber: Ars Technica.

Super Nintendo World Siap Dibuka untuk Umum pada 4 Februari 2021

Di tengah ambruknya kondisi industri pariwisata selama masa pandemi, ada secercah harapan yang datang dari Universal Studios Japan (USJ). Taman hiburan yang bertempat di kota Osaka tersebut mengumumkan bahwa salah satu proyek barunya yang paling istimewa, Super Nintendo World, siap dibuka untuk umum pada tanggal 4 Februari 2021 mendatang.

Kabar mengenai area baru taman hiburan bertema video game ini sebenarnya sudah bersirkulasi semenjak pengumuman perdananya di tahun 2016 lalu. Awalnya USJ berencana membuka Super Nintendo World sebelum Olimpiade Tokyo terlaksana, dan berhubung Olimpiade-nya sendiri diundur sampai pertengahan 2021, setidaknya semua masih berjalan sesuai rencana meski agak meleset dari jadwal.

Seperti yang sudah dijanjikan sejak lama, pengunjung Super Nintendo World akan merasa seakan-akan masuk ke dunia video game. Atraksi andalannya adalah Mario Kart: Koopa’s Challenge, sebuah wahana rollercoaster canggih yang memanfaatkan teknologi augmented reality (AR) dan projection mapping.

Semua pengunjung atraksi ini akan memakai sebuah AR headset dengan bentuk mirip topi Mario. Gunanya adalah supaya para pengunjung bisa saling berkompetisi dalam wahana tersebut dengan memanfaatkan sejumlah power-up virtual yang tersedia, yang berarti ada elemen interaktif di samping sebatas memacu adrenalin.

Atraksi lain yang sepertinya lebih kalem adalah Yoshi’s Adventure, namun lebih lengkapnya tentu kita harus menunggu hari pembukaannya. Satu gimmick yang cukup menarik adalah, para pengunjung dapat membeli sebuah gelang bernama Power Up Band, dan salah satu fungsinya adalah untuk mengumpulkan koin-koin virtual yang tersebar di seluruh area Super Nintendo World.

Bicara soal area, Bloomberg melaporkan bahwa area Super Nintendo World terbilang kecil, akan tetapi rumornya USJ dan Nintendo juga sedang sibuk menyiapkan zona lain lagi yang bertemakan Donkey Kong.

Satu pertanyaan yang paling penting mungkin adalah bagaimana seandainya Februari nanti pandemi masih belum berakhir? USJ bilang mereka sudah menetapkan sejumlah protokol kesehatan khusus, dan taman hiburannya sendiri hanya akan beroperasi dalam separuh kapasitas aslinya. Tentu saja hal ini bisa berubah tergantung bagaimana perkembangan situasi pandemi mendekati hari pembukaannya nanti.

Sumber: Engadget dan The Verge.

Dari Virtualisasi Sampai AR, LaLiga Terapkan Segudang Teknologi untuk Penayangan Musim 2020-21

24 Oktober nanti, El Clásico pertama di musim 2020-21 akan berlangsung di Camp Nou berdasarkan pengumuman resmi dari LaLiga. Para pendukung setia Barcelona dan Real Madrid pastinya sudah menanti-nanti momen ini, terutama suporter Barcelona mengingat laga terakhir di musim sebelumnya dimenangkan oleh Real Madrid dengan skor 2-0 pada bulan Maret lalu.

Namun ketimbang membahas pertandingannya, saya justru lebih tertarik membahas mengenai bagaimana pihak LaLiga memanfaatkan beragam teknologi untuk menyempurnakan tayangannya selama musim berlangsung secara tidak umum di tengah pandemi.

Buat yang sempat menonton salah satu pertandingan LaLiga di musim 2020-21 ini, Anda mungkin sempat heran atau takjub melihat area tribun yang dipenuhi penonton, sebab itu jelas bertentangan dengan protokol kesehatan yang ditetapkan selama pandemi.

Pada kenyataannya, kursi-kursi penonton tersebut kosong melompong. Yang kita lihat adalah hasil penerapan teknologi virtualisasi, dan LaLiga menganggap ini sebagai aspek yang sangat penting karena mereka ingin penonton di rumah bisa tetap berfokus pada pertandingan tanpa teralihkan perhatiannya oleh tribun kosong.

Misi memanjakan penonton di rumah ini krusial mengingat data internal LaLiga menunjukkan ada peningkatan jumlah penonton sekitar 20-30% selama musim berjalan di tengah pandemi. Selain menampilkan penonton virtual di area tribun, LaLiga juga memanfaatkan porsi lain di tribun untuk menampilkan berbagai konten lain, seperti misalnya pesan kepada penonton di rumah, atau pesan dari sponsor.

LaLiga menyebut inovasi ini dengan istilah virtual stands, dan menariknya, mereka berencana untuk tetap menggunakannya meski pandemi sudah berakhir nantinya. Dalam acara media briefing yang saya ikuti via Zoom, saya sempat menanyakan tentang teknologi-teknologi baru yang dipakai oleh tim produksi LaLiga selama pandemi, yang rencananya masih akan terus diterapkan ke depannya, dan virtual stands ini adalah salah satunya.

Head of Content and Programming di LaLiga, Roger Brosel, menjelaskan bahwa meski awalnya virtual stands ini hanya digunakan untuk mengisi kekosongan di stadion, tim produksi LaLiga sekarang sudah mengeksplorasi berbagai cara untuk tetap mengimplementasikannya ketika semuanya sudah kembali berjalan normal.

Virtualisasi ini tidak akan lengkap tanpa optimasi penempatan kamera. Yang tadinya di pinggir lapangan, sekarang sudah dipindah ke area tribun supaya tayangan replay tidak terlalu banyak menampilkan kursi kosong. Selain itu, Roger mengatakan bahwa di akhir 2020 nanti, bakal ada 16 stadion yang sudah dipasangi dengan sistem aerial camera yang lengkap. Stadion yang dilengkapi sistem Replay360° juga bertambah jumlahnya menjadi 8.

Di samping memberikan ilusi visual, LaLiga rupanya juga menyajikan ilusi aural. Riuh penonton akan selalu terdengar di sepanjang pertandingan, persis seperti ketika stadion memang terisi penuh di kondisi normal. Padahal, sorakan demi sorakan penonton ini sebenarnya adalah hasil rekaman dari pertandingan yang dijalani oleh masing-masing klub.

Lucunya, rekaman audio ini pada awalnya dibuat untuk dipakai oleh EA di game FIFA. Sekarang, semuanya sudah di-remaster untuk dipakai di tayangan LaLiga. Sejumlah sound engineer bertugas layaknya DJ, memutar audio yang tepat dan menyesuaikannya dengan momen yang terjadi. Jadi saat sebuah tim berhasil mencetakkan gol, kita pun juga akan mendengarkan sorakan gembira dari para suporternya.

Roger sempat bercerita sedikit mengenai seorang komentator yang secara tidak sadar sempat mengomentari tentang betapa meriahnya dukungan suporter, sebelum akhirnya ia sadar bahwa semua itu cuma sebatas ilusi.

Namun dari sekian banyak teknologi yang diterapkan, mungkin yang paling menarik adalah implementasi grafik augmented reality (AR). Dari yang sesimpel menampilkan formasi tim langsung di atas lapangan, sampai yang lebih kompleks yang grafiknya benar-benar bisa mengikuti pergerakan pemain, semuanya merupakan inisiatif yang baru diterapkan pada musim 2020-21 ini.

Grafik AR bahkan juga LaLiga tandemkan dengan teknologi prediksi data berbasis AI. Jadi semisal seorang pemain sedang bersiap melakukan tendangan pojok, kamera akan berganti ke tampilan yang lebar, dan grafik AR akan muncul menunjukkan persentase kemungkinan arah tendangan pojok dari sang pemain; apakah melambung ke depan gawang, ke dekat titik penalti, atau operan pendek ke pemain lain yang biasanya bakal dilanjutkan dengan crossing.

Semua ini membuat pertandingan terasa sedikit seperti menonton pertandingan esports FIFA, apalagi ketika melihat indikator nama pemain yang bergerak mengikuti ke mana saja pemain tersebut pergi. Meski demikian, Roger mengaku bahwa penerapannya tidaklah mudah.

Salah satu tantangan terbesar LaLiga adalah bagaimana mereka bisa menyajikan data dalam bentuk grafik AR tersebut secara intuitif. Terlalu banyak data berpotensi mengganggu konsentrasi penonton, jadi LaLiga harus benar-benar mengemasnya dalam bentuk visual yang mudah dimengerti oleh penonton, sebab grafik tersebut mungkin hanya akan muncul dalam hitungan detik saja.

Idenya adalah supaya data dan grafik AR bisa melengkapi siaran pertandingan, bukan malah mengambil alih perhatian penonton. Itulah mengapa LaLiga harus benar-benar menyeimbangkan penyajiannya, sekaligus memikirkan cara yang terbaik untuk menyuguhkan datanya.

LaLiga mengaku menghabiskan waktu sekitar dua bulan dari April hingga Juni untuk mengembangkan teknologi-teknologi yang dapat membantu menyempurnakan tayangannya selama musim pandemi. Tanpa ada keinginan untuk membanding-bandingkan dengan liga sepak bola di negara lain, LaLiga juga optimis bisa menjadi semacam trendsetter terkait penayangan pertandingan sepak bola di masa pandemi ini.