Catatan Menjelang Akhir Tahun 2016, Dinamika Lanskap Startup Indonesia

Startup Indonesia kini bukan lagi berada di tahap awal, berbagai komponen pendukungnya sudah mulai berbenah dan mapan. Tak sedikit pula memandang startup digital di Indonesia menjadi prospek industri yang menjanjikan untuk masa depan. Tak heran jika para perusahaan (baik yang bergerak memberikan investasi ataupun malah turut terjun) membidik visi besar pola bisnis startup digital.

Di Indonesia sendiri tren startup sudah jauh berubah jika dibandingkan dengan awal industri ini berkembang, misal jika dibandingkan dengan apa yang terjadi tahun 2010 ke bawah. Kala itu bisnis digital masih berproses secara konvensional, karena memang belum banyak menemukan konsep dan tatanan yang pas. Beda halnya dengan saat ini, semua berlomba menyajikan pemecahan masalah dengan pendekatan digital yang dikonversi menjadi proses bisnis startup.

Membicarakan seputar landskap startup Indonesia, setiap tahunnya ada berbagai hal unik, terkait dengan berbagai hal, baik itu berkaitan dengan tren, persaingan, bisnis hingga regulasi. Kami mencoba memetakan beberapa hal yang terjadi di tahun 2016 dalam dinamika lanskap startup Indonesia.

Dinamika bisnis e-commerce

Digadang-gadang menjadi yang paling menjanjikan, dengan dalih populasi konsumen prospektif yang sangat besar di Indonesia, secara kasat mata pun mudah dianalisis bahwa bisnis e-commerce menjadi yang paling pesat di kategori startup Indonesia. Dinamika bisnis e-commerce sendiri diwarnai dengan banyak hal, mulai dari makin terbukanya persaingan pemain asing, pemain lokal yang digadang-gadang menjadi unicorn, model bisnis baru hingga kembang kempis layanan e-commerce bertahan di tengah pertempuran.

Penetapan regulasi turut menjadi bagian dari hiruk-pikuk konsep jualan online di Indonesia. Dinilai penting, karena bisnis e-commerce telah melibatkan banyak entitas dan memiliki perputaran uang yang besar di konsumen Indonesia. Sehingga pemerintah merasa perlu untuk memastikan adanya keseimbangan antara bisnis dan kemaslahatan bangsa.

Tahun ini, ketika membicarakan e-commerce sudah bukan lagi mengabarkan layanan baru yang muncul. Semua pandangan tertuju kepada bagaimana strategi bisnis e-commerce berperang di tengah banyaknya pemain sama kuat yang ada, baik dari lokal ataupun asing. Tren ini mengindikasikan bahwa tahun depan industri ini tetap akan menjadi perhatian banyak pihak, namun tak menutup kemungkinan adanya suksesi yang akan diusung.

Dinamika layanan on-demand, Go-Jek pecahkan telur unicorn pertama

Sempat menjadi “isu nasional” saat pemain transportasi konvensional mulai agresif memprotes pergerakan layanan transportasi online, kini perseteruan tersebut tampak lengang. Berbagai kolaborasi justru dijalin, bahkan pemain konvensional berniat mulai berbenah mengikuti transformasi teknologi yang ada saat ini. Kabar istimewa justru hadir dari startup “karya anak bangsa”, telur unicorn berhasil dipecahkan pasca putaran pendanaan yang membawa Go-Jek pada valuasi $1,2 miliar.

Dinamika layanan on-demand tak beda dengan bisnis e-commerce, sekarang perbincangan terkait layanan transportasi berbasis aplikasi tak sekedar bagaimana mereka menggantikan cara manual, melainkan strategi antar bisnis yang berkembang. Go-Jek, Grab dan Uber menjadi yang paling dominan di pasar, kini semua berbincang pada bagaimana layanan tersebut berekspansi dan menyusun pola bisnis menciptakan kultur baru dalam masyarakat. Terakhir layanan on-demand banyak disandingkan dengan transformasi digital payment.

Dinamika startup dalam roda bisnis

Layaknya perusahaan besar, startup kini mulai menerapkan sistem bisnis yang lebih terstruktur. Hal ini disebabkan oleh perubahan pasar yang dinamis, berdampak pada gerak cepat bisnis startup untuk berkembang. Salah satu tantangannya adalah bagaimana bisnis menyediakan sumber daya yang mampu membantu bisnis bermanuver. Salah satu yang banyak menjadi perhatian terkait dengan kebutuhan tersebut adalah mulai maraknya tren akuisisi talenta antar startup. Sempat memanas namun justru menjadi sebuah budaya yang wajar di tengah bisnis tersebut.

Model pivot atau pencaplokan usaha juga menjadi salah satu strategi bisnis yang berkembang. Beberapa mengubah bisnisnya lantaran mulai menemukan jati diri, misalnya di awal mencoba fokus pada B2C namun ternyata pasar di sana kurang menjamu, sehingga mengubah visi untuk merangkul kalangan B2B. Di sisi pandangan bisnis, startup di Indonesia juga sudah mulai open-minded, tidak lagi terlalu silicon valley-centric. Karena mulai disadari, bahwa pergerakan berbeda perlu dilakukan menyesuaikan dengan pasar yang ada di hadapannya.

Dinamika bisnis tak berhenti pada uji coba model baru. Perbincangan naik turunnya startup dari tangga puncak juga turut mewarnai pemberitaan startup di tahun 2016. Layoff puluhan hingga ratusan karyawan salah satunya, yang menyeret beberapa nama startup unggulan di Indonesia. Hal ini terjadi lantaran kompetisi yang semakin sengit di masing-masing kategori startup.

Masih sangat dinamis polanya jika membicarakan proses bisnis yang diadopsi startup di Indonesia. Hanya saja arahnya sama, menjadi besar memenuhi permintaan dari potensi konsumen digital yang besar di pasar lokal.

Dinamika teknologi dan perkembangan startup

Namanya startup digital, kurang lengkap jika tidak berbicara tentang bagaimana teknologi yang menjadi DNA startup tersebut berkembang. Jika berbicara tentang tren, kemajuan yang ada di dunia nyatanya bisa diadopsi baik oleh talenta dalam negeri. Sebut saja revolusi baru layanan chatbot, atau chat commerce yang mulai digemari karena memudahkan pengguna dalam bernavigasi belanja. Semua ingin menyajikan layanan berplatform sistem cerdas.

Perbincangan tentang Machine Learning, Natural Language Processing dan Artificial Intelligence sudah masuk di tataran implementasi, bukan lagi teori. Pun demikian dengan perangkat, model Augmented Reallity atau Virtual Reallity juga bakal dikonsepkan ke dalam bentuk bisnis. Semua berjalan begitu mulus. Menariknya konsumen juga mampu beradaptasi dengan baik dengan semua perkembangan tersebut, perkembangan yang sangat cepat.

Dinamika penumbuhan startup lokal

Berpegang dari visi Presiden, untuk mendayakan Indonesia menjadi pemimpin digital Asia Tenggara pada tahun 2020, berbagai elemen berlomba-lomba mencetuskan gerakan yang melahirkan digital-preneur di Indonesia. Secara khusus lembaga setingkat kementerian BEKRAF juga mulai serius untuk membangun ekosistem startup di Indonesia. Di lain sisi, Kemenkominfo juga menjadi regulator yang merasa perlu untuk menjadi bagian dalam penumbuhan tersebut, dengan gerakan 1000 startup salah satunya.

Menjadi pemandangan positif saat mulai banyak pihak yang berlomba-lomba untuk menjadi bagian dalam transformasi digital tanah air. Selain inkubator dan akselerator yang sudah mulai meluas, ada satu tren terbangun di tahun ini yakni hackathon teknologi. Semua mulai sadar betul tentang visi digital. Perusahaan di berbagai bidang, instansi, hingga komponen militer mulai mengarah ke sana, melibatkan inovator digital lokal untuk melakukan elaborasi.

Keterlibatan para pelaku startup pun juga sangat luar biasa. Contoh realistis dengan visi yang jelas dipaparkan untuk menginspirasi muda-mudi di Indonesia untuk tidak melewatkan kesempatan berharga berkarya dalam lanskap digital nasional.

Dinamika regulasi

Pesatnya kemajuan bisnis digital memaksa pemerintah turut mengambil bagian. Regulasi baru bermunculan, mengatur bisnis yang sedang berkembang. Mulai dari e-commerce, teknologi finansial, hingga on-demand mulai memiliki aturan yang spesifik. Tidak hanya mengatur tentang unsur bisnis dalam kaitannya dengan regulasi, seperti perpajakan, namun sudah mulai mengarah sampai kepada sendi bisnis. Misalnya melibatkan OJK dalam pengaturan konsep digital payment dan sebagainya.

Semua dinamika yang ada di atas adalah sebuah keniscayaan, yang membawa startup Indonesia melangkah maju mendominasi permainan di negeri sendiri. Dinamika ini masih akan terus berlanjut, tak ada pengharapan lain selain perkembangan bisnis digital nasional itu sendiri. Saat semua sudah tertuju pada visi yang jelas, maka sudah selayaknya berbagai komponen yang ada di dalamnya bersatu padu, membawa mimpi Indonesia sebagai negara maju. Digitalisasi menjadi kunci, saat cara lama tak lagi bernyali.

Monetisasi Pengembang Aplikasi Mobile di Tengah Hingar Bingar Bisnis Berbasis Layanan

Jika kita melihat ke belakang sekitar 10 tahun yang lalu, ketika pertumbuhan startup digital masih di tahap yang sangat awal, pengembangan aplikasi mobile menjadi salah satu bisnis yang memulai tren startup. Model aplikasi hiburan, aplikasi permainan, aplikasi produktivitas banyak ditemukan dari pengembang lokal sebagai basis bisnis. Namun sekarang keadaannya sudah sangat berbeda. Startup baru umumnya mengusung sistem bisnis berbasis layanan, sangat jarang yang menjual kreasinya dalam bentuk aplikasi. Terlebih saat kita melihat startup yang berada di top level.

Kendati demikian sejatinya ekosistem pengembang aplikasi mobile tersebut masih ada, dan terus berkreasi. Nama-nama aplikasi seperti PicMix, Catfiz atau liteBIG masih berkarya sampai saat ini. Mereka memulai debutnya sejak platform “BlackBerry berjaya”, era baru perubahan habit pengguna ponsel menuju smartphone. Artinya dengan kualitas produk yang apik, inovasi berbasis aplikasi tersebut membuktikan dirinya masih mampu bertahan dengan bisnis proses yang bergantung pada kreasinya dalam mobile app.

DailySocial mencoba mengulas kembali tentang model bisnis yang saat ini diterapkan oleh para pengembang aplikasi mobile. Kami berdiskusi bersama beberapa pengembang aplikasi dengan beragam karakteristik, baik dari sisi bisnis, jenis aplikasi hingga model monetisasi yang diterapkan.

Didominasi oleh pengembang aplikasi permainan

Ketika berbincang soal bisnis atau pengembangan yang memfokuskan pada “menjual aplikasi”, kategori permainan (game) saat ini paling banyak diminati oleh mobile app developer lokal. Dari data narasumber yang berhasil kami himpun, mulai dari indie developer hingga startup, minat unduhan untuk aplikasi permainan menunjukkan angka statistik yang cukup memuaskan. Dari para pengembang, sebagian besar dari mereka menunjukkan data bahwa aplikasinya telah diunduh lebih dari 30 ribu kali, bahkan sudah ada yang menembus hingga puluhan juta.

Dari pengakuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peminat aplikasi lokal sejatinya masih banyak. Masih ada ekosistem konsumen yang besar untuk para pengembang aplikasi mobile. Tantangannya justru sekarang pada monetisasi, sehingga aplikasi tersebut dapat memberikan keuntungan secara finansial kepada pengembang untuk menyelaraskan laju bisnis. Saat ini ada beberapa opsi yang umum digunakan untuk monetisasi aplikasi, baik oleh indie developer ataupun startup. Mulai dari model bisnis freemium, ads-placement hingga aplikasi berbayar.

Iklan masih diandalkan sebagai pemasukan

Saat diskusi tentang bagaimana mereka membisniskan aplikasi, model iklan digital mendominasi jawaban, disusul oleh model freemium, in-app purchase hingga brand placement. Pemilihan model iklan diungkapkan oleh para pengembang karena pasar Indonesia dinilai belum siap dengan B2C (Business to Consumer).

Muhamad Nur Awaludin dari Kakatu mengungkapkan masih tertanam kuat mindset “ketika ada yang gratis, buat apa bayar, untuk harga murah sekalipun”.

Pemasangan iklan pun juga bukan berarti tanpa tantangan. Beberapa pengembang mengaku bahwa ia dihadapkan pada kesadaran konsumen yang rendah terkait strategi monetisasi ikalan tersebut, salah satunya Anwar Fuadi pengembang game dari Madura. Ia mengatakan konsumen umumnya acuh dan tidak peduli dengan iklan tersebut sebagai pemasukan pengembang, sehingga banyak yang memberikan masukan untuk menghilangkan iklan. Taruhannya pada rating aplikasi. Di sini para pengembang harus berpikir keras untuk menempatkan iklan sesuai dengan porsinya.

Di sisi implementasi, iklan digital memang yang paling mudah. Jika harus menetapkan aplikasi berbayar, maka kualitas produk harus teruji betul. Ketika menerapkan premium, maka dari awal aplikasi harus memiliki digital item menyesuaikan flow aplikasi yang dirancang. Menyasar B2B (Business to Business) maka pengembang harus memiliki proses bisnis yang jelas.

Beberapa yang menyajikan konten premium merasa bahwa diperlukan energi lebih besar untuk memberikan edukasi kepada pasar. Target pasar untuk pengguna premium sedikit berbeda. Begitupun untuk in-app purchase. Proses optimasi dan desain agar konversi dari player ke purchase tinggi menjadi tantangan para pengembang.

Di mata pengembang, mereka banyak yang menilai ekosistem aplikasi mobile (khususnya untuk karya lokal) belum begitu matang, bahkan dikatakan merangkak. Namun di sisi lain, berkat tren baru dari industri digital, seperti e-commerce dan on-demand, ada sebuah kesempatan bisnis yang baik. Masyarakat semakin aware dengan mobile payment, kanal pembayaran semakin luas, artinya memberikan kesempatan bagi produk premium untuk mudah diterima oleh masyarakat.

Dukungan yang dibutuhkan untuk pengembang aplikasi lokal

Mulai dari dukungan pemerintah, investor, media, dan berbagai kalangan lain sangat ditunggu para pengembang aplikasi mobile lokal. Selain terkait dengan promosi dan edukasi pasar, menurut Adam Ardisasmita dari Arsanesia, banyaknya pagelaran (baik berupa kompetisi, workshop, hingga inkubator) sangat berarti untuk menumbuhkan pengetahuan mereka, baik dari sisi teknis pengembangan maupun berbagai hal lain yang perlu mereka perhatikan untuk mempertahankan bisnisnya.

Salah satu pengembang game Tebak Gambar Irwanto Widyatri mengatakan hal lain terkait dukungan, menurutnya penting adanya pihak yang mampu mengurasi aplikasi dan melakukan hubungan dengan brand potensial. Hal ini akan membantu pengembang menemukan alur bisnis yang lebih mapan dan memiliki sinergi yang baik dari sisi penyampaian konten dan iklan.


Randi Eka terlibat dalam penulisan artikel ini

Membuka Seluruh Potensi Fintech di Indonesia dengan Mencontoh Negara Sahabat

Tiongkok dan India adalah dua negara yang sering disandingkan dengan Indonesia ketika membahas perkembangan teknologi dan digital. Pasalnya ada beberapa kesamaan yang dimiliki, terutama dari segi populasi penduduknya.

Sebenarnya Indonesia sedang mengalami fase yang sebelumnya sudah dilalui oleh kedua negara tersebut bertahun-tahun lalu. Sehingga langkah apa saja yang sebelumnya mereka lakukan dapat menjadi acuan bagi Indonesia.

Dari hasil konferensi IFFC 2016, pada dasarnya ada lima karakteristik pasar Indonesia yang menawarkan peluang bagi perusahaan fintech. Mulai dari kondisi ekonomi yang mendukung, pasar besar sementara penetrasi keuangan masih rendah, konsumen yang antusias terhadap teknologi, startup yang inovatif dan profitabilitas industri yang menarik.

Bersamaan dengan peluang tersebut, menyimpan sejumlah tantangan yang harus Indonesia hadapi. Untuk lebih lengkapnya dapat diunduh di link ini.

Salah satu tantangannya adalah mendorong know your customer (KYC) digital. Proses KYC secara face-to-face sebenarnya jadi penghambat potensi solusi keuangan digital dan kini belum ada tools yang mampu mengatasinya, mengingat KYC digital memiliki risiko tersendiri.

Dalam mengatasi hal ini, mungkin Indonesia bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh Spanyol dan Inggris. Mereka menetapkan bahwa lembaga keuangan bisa saling menggunakan data satu sama lainnya antara kelompok bisnis. Jadinya, nasabah yang sudah memiliki rekening di suatu bank dapat membuka rekening di bank lain tanpa proses KYC tatap muka.

Nasabah hanya diminta lakukan transfer dana sebesar US $1 dari rekening bank yang telah dimiliki untuk validasi dan menyatakan bahwa proses KYC telah dilakukan untuk pembukaan rekening baru atas nama nasabah yang sama.

India menghadirkan Aadhaar, sebuah infrastruktur ID digital pertama di dunia. Aadhaar menyediakan ID secara daring melalui PIN khusus. Proses otentikasi untuk transaksi keuangan dilakukan melalu berbagai cara (biometrik, demografis, dan one time password dari ponsel atau email yang telah terdaftar), disimpan di cloud, dapat dilakukan di mana pun di India.

Semua permintaannya akan disampaikan ke Central Identities Data Repository yang bertindak sebagai sumber tunggal kebenaran verifikasi. Aadhaar terbukti dapat membantu pelanggan mengunjungi toko kelontong di pedesaan dan menarik tunai dari rekening bank yang terhubung jaringan Aadhaar, atau mengunjungi Public Distribution Outlet (PDO) untuk memperoleh beras/gandum bersubsidi dari akun pangan yang terhubung dengan Aadhaar.

Tantangan berikutnya, mendorong eksperimen lewat regulatory sandbox. Sebenarnya di Indonesia, sudah ada regulatory sandbox yang dihadirkan dalam Bank Indonesia Fintech Office saat peluncurannya beberapa waktu lalu. Konsepnya sama persis dengan apa yang dilakukan oleh Monetary Authority of Singapore (MAS) saat membentuk regulatory sandbox.

MAS menetapkan kerangka regulasi yang memungkinkan perusahaan serta lembaga keuangan melakukan percobaan dengan solusi fintech. Namun tetap pada lingkup dan durasi yang ditetapkan dengan baik, mematuhi kerangka regulasi yang ada.

Sejak diluncurkan di Juni 2016, wadah ini mendorong lembaga keuangan serta non keuangan untuk bereksperimen dengan solusi fintech. Ini memungkinkan perusahaan menawarkan produk kepada kelompok pelanggan spesifik selama periode tertentu, selama masih mengikuti batasan persyaratan yang ditetapkan MAS.

Setelah masa sandbox berakhir, perusahaan dapat menawarkan produk lebih luas jika MAS dan perusahaan puas dengan hasil pengujian yang diperoleh serta dapat memenuhi persyaratan hukum dan regulasi terkait.

Mungkin India adalah contoh ideal untuk fintech Indonesia

Bank Sentral India (Reserve Bank of India) melakukan banyak hal inovatif untuk mendukung pengembangan fintech di negaranya, dengan membentuk platform infrastruktur yang memadai untuk pembayaran efisien dan lintas operasional.

Mereka mendirikan Immediate Payment Service (IMPS) untuk menawarkan sistem transfer dana elektronik antar bank secara real-time 24/7. Kemudian, meluncurkan United Payments Interface (UPI). Yakni rancangan umum dan interface aplikasi standar untuk memfasilitasi transfer dana antar bank tanpa perlu meminta nomor rekening atau kode bank.

Semua pengguna Android yang memiliki rekening pada bank mitra UPI dapat mengunduh apliksi UPI untuk melakukan transaksi e-commerce secara person-to-person menggunakan alamat virtual seperti (nama)@bankname. UPI dibangun terpisah dari IMPS.

Bank Sentral juga meluncurkan Aadhaar Payment Bridg, untuk membantu kelancaran transfer pembayaran dana kesejahteraan kepada warga yang berhak menerima. Nasabah tidak perlu membuka rekening di bank berbeda untuk memperoleh subsidi dan tunjangan tersebut; mereka hanya perlu membuka satu rekening dan dihubungkkan ke nomor Aadhaar.

Pencairan dana subsidi akan secara otomatis dikirimkan ke rekening bank tanpa perlu menginformasikan detil rekening bank nasabah ke pemerintah.

Tak hanya itu, Bank Sentral menginisiasikan peluncuran Payment Bank di 2014. Payment Bank adalah kategori bank model baru dengan persyaratan KYC yang lebih longgar. Pembukaan rekening dapat dilakukan dengan satu dokumen saja yang membuktikan alamat nasabah. Dokumen ini bersifat permanen maupun lokal, yang dapat diverifikasi melalui surat registrasi/lewat telepon.

Hanya saja rekening tersebut dipersyaratkan memiliki maksimal setoran dan saldo tidak lebih dari US $1,500 sepanjang waktu. Penawaran pinjaman dan kartu kredit tidak berlaku untuk rekening tersebut, namun dapat menawarkan produk dan layanan seperti kartu ATM, debit, online, dan mobile banking.

Upaya Bank Sentral India harus diapresiasi. Sebab pada dasarnya, di seluruh dunia regulator memegang peranan lebih aktif dalam mendorong inovasi fintech dengan mengupayakan pencapaian keseimbangan tepat atas regulasi yang “terlalu rendah” vs “terlalu tinggi”.

Bagaimana regulator dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendorong para pemain baru, sekaligus terus berupaya menyeimbangkan risiko yang terikat pada inovasi-inovasi tersebut.

Mengungkap Kesalahan Anggapan Tentang  Potensi E-Commerce Sebenarnya di Asia Tenggara

Dengan populasi sebesar 600 juta orang, kelas menengah yang terus bertumbuh dan meningkatnya penetrasi internet, Asia Tenggara sering dianggap sebagai tambang emas selanjutnya bagi ecommerce. Akuisisi Lazada oleh Alibaba sebesar $1 miliar — akuisisi terbesar Jack Ma diluar negeri hingga saat ini — terjadi di awal tahun ini. Namun di balik headline dan hiperbola yang ada, seberapa besar sebenarnya potensi ecommerce di Asia Tenggara sesungguhnya.

Peluang $88 Miliar

Hanya ada sedikit data yang ada mengenai ukuran pasar ecommerce Asia Tenggara saat ini ataupun proyeksi di masa depan. Sebagian dari alasan ini adalah karena industri ini masih sangat baru dan sebagai hasilnya, institusi warisan seperti pemerintahan dan firma penelitian masih mencoba tetap update. Sebagian lainnya karena C2C ecommerce, yang diestimasi merupakan sepertiga atau setengah dari total GMV ecommerce, tidak teregulasi dan dikenai pajak. Kenyataan bahwa transaksi C2C di Asia Tenggara terjadi di platform sosial seperti Facebook dan Instagram, difasilitasi dengan percakapan di aplikasi seperti LINE dan Facebook Messenger.

Namun demikian, beberapa organisasi bereputasi telah mencoba menilai ukuran ecommerce di wilayah ini. Salah satu usaha yang dilakukan di awal datang dari AT Kearney yang berkolaborasi dengan CIMB. Dirilis pada awal 2015 dan berjudul ‘Lifting the Barriers to E-Commerce in ASEAN’, laporan ini mengestimasi ukuran pasar terkini sebesar $7 miliar (tahun 2013) dan memprediksikan potensi di masa depan sebesar $86 miliar.

Yang terbaru, Google bekerja sama dengan Temasek, merilis laporan berjudul ‘e-conomy SEA: Unlocking the $200 billion digital opportunity in Southeast Asia’ yang mengukur nilai pasar ecommerce saat ini di $5.5 miliar (pada tahun 2015) dan memprediksi pertumbuhannya hingga akan mencapai sebesar $88 miliar pada 2025. Namun demikian, perlu diingat bahwa Google dan Temasek hanya memberikan setengah gambaran karena mereka tidak memasukan pasar C2C dan P2P seperti OLX, Carousell dan Instagram karena sulitnya mendapatkan data.

Pertumbuhan Model Ecommerce Barat vs. Tiongkok: Mengapa Estimasi Mengenai Potensi Ecommerce di Asia Tenggara Tidak Tepat

$88 miliar tampak besar namun jika kita menaruhnya di dalam konteks, orang akan berpikir jika ini adalah tafsiran yang tepat. Pasar ecommerce AS saat ini sebesar $394 miliar. Namun demikian, sangat jelas bahwa pasar ecommerce AS lebih dewasa dan baik Amazon maupun eBay berumur lebih tua dari beberapa staff junior di tim kami. Bagaimana dengan Tiongkok? Tiongkok telah jauh melewati AS pada 2013 untuk menjadi pasar ecommerce terbesar di dunia dalam hal GMV.

Dan saat ini, pasar ecommerce di Tiongkok bernilai $700 miliar, menyusun 13% dari total retail di seluruh negara. Dengan populasi sebesar setengah populasi Tiongkok, bukankah seharusnya potensi ecommerce di Asia Tenggara lebih besar dari ‘sekedar’ $88 miliar?

GMV e-commerce (aktual dan proyeksi)
GMV e-commerce (aktual dan proyeksi)

Hal ini kemudian semakin menarik jika kita melihat angka yang diproyeksikan untuk 2025 dan menyesuaikannya dengan ukuran populasi. Metriks ini memberi gambaran seberapa besar rata-rata orang menghabiskan uang untuk ecommerce dalam setahun. Kami menggunakan kalkulasi di bawah ini untuk beberapa pasar utama di Asia Tenggara serta negara benchmark seperti AS dan Tiongkok:

eIQ-Southeast-Asia-Ecommerce-Potential_3

Beberapa hal mencuat di sini. Tentu saja, Cina masih menjadi pasar ecommerce terbesar di dunia dengan $3 triliun GMV dan penetrasi sebesar 25%. Pada 2025, rata-rata pembelanja Tiongkok diperkirakan akan menghabiskan sebesar $2,000 per tahun online, hampir tiga kali lipat jumlah orang Singapore dan akan melebihi orang Amerika yang, 10 tahun dari sekarang, akan menghabiskan $3,000 untuk ecommerce per tahunnya.

Hal menarik lainnya, negara Asia Tenggara yang bertumbuh di sini diwakilkan oleh Thailand dan Indonesia. Laporan dari Google dan Temasek memproyeksikan dua pasar ini akan mencapai masing-masing $11.1 dan $46 miliar. Angka ini sudah sangat impresif namun jika disesuaikan dengan ukuran populasi, GMV ecommerce per angka kapita sangatlah rendah — $155 dan $157, masing-masing untuk Thailand dan Indonesia. Mungkin ada alasannya untuk hal ini.

GDP per kapita AS dan Singapura tentunya lebih tinggi dari negara berkembang seperti Thailand dan Indonesia, masyarakatnya secara umum memiliki lebih banyak uang untuk dihabiskan, dan Tiongkok bukan lagi negara berkembang dengan GDP per kapita nya yang diprediksi mencapai $14,000 pada tahun 2025.

Tetapi jika kita bandingkan Cina dan Thailand di tabel di bawah ini, kita bisa lihat bahwa GDP per kapita Thailand diestimasikan mencapai $11,000 pada 2025, yang merupakan lebih besar daripada GDP per kapita Cina pada saat ini dan tidak jauh dari proyeksi GDP Cina pada 2025. Namun berdasarkan proyeksi ecommerce saat ini, pembelanjaan online per kapita Thailand hanya sebesar $155 atau 1% dari kemampuan belanja rumah tangga.

Hal ini tidak masuk akal jika mengingat bahwa konsumen Thailand mempunyai daya beli tinggi dan ritel merupakan bagian besar dari ekonomi Thailand seperti dibuktikan pada penetrasi retail dan angka GDP per kapita. Bahkan jika bagian C2C dan P2P yang menghilang disertakan — katakan jika 50%, menjadikan $155 menjadi $300 — angka ini masih rendah jika dibandingkan Cina saat ini.

southeast-asia-ecomemrce-potential_graph-2

Sejak 2006 hingga 2016, GMV ecommerce per kapita Cina tumbuh 127x. Sulit dipercaya jika GMV per kapita Thailand hanya akan bertumbuh 9x dalam sepuluh tahun mendatang, terlebih jika orang Thailand telah berbelanja online lebih banyak dari yang orang Cina lakukan pada awal trend ecommerce mereka di tahun 2006. Hal ini hanya masuk akal jika kita asumsikan bahwa pertumbuhan pasar ecommerce di wilayah Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia akan tumbuh lebih lambat seperti wilayah Barat sebesar 18% (AS 2000-2015) dan tidak akan bertumbuh seperti CAGR 10 tahun terakhir di Cina sebesar 68%.

Seperti yang akan kita temukan jawabannya, penyebab dari perbedaan alasan ini adalah kesalahan aplikasi dari model pertumbuhan ecommerce bergaya Barat, dimana model yang tepat untuk mengukur ecommerce di Asia Tenggara adalah model hyper-growth milik Cina.

Saudara Lain Ibu? E-commerce Asia Tenggara yang Berkembang Memiliki Persamaan dengan Cina Dibanding Lainnya

Kekeliruan dari proyeksi yang ada adalah seringnya mereka menjadikan model Barat sebagai dasarnya, yang dalam hal ini Barat dilihat sebagai jalur yang telah terpercaya menuju ecommerce. Namun demikian, untuk beberapa alasan yang akan dijelaskan di bawah ini, ecommerce Asia Tenggara lebih mirip Cina daripada pasar lainnya yang telah berkembang lebih dahulu seperti AS, Eropa dan Jepang. Sebagai hasilnya, kita harus mengharapkan pertumbuhan dua digit tinggi seperti yang dialami oleh Cina selama sepuluh tahun terakhir dan bukannya progress gradual tahun-per-tahun seperti pasar ecommerce legasi lainnya.

1.     Kurangnya infrastruktur retail offline

“Mengapa ecommerce berkembang sangat cepat di Cina dibanding di AS? Karena infrastruktur dari commerce di Cina sangat buruk. Tidak seperti di sini dimana Anda memiliki semua toko (fisik): Wal-Mart, K-Mart, apa pun, dimana pun. Namun di Cina, kami tidak memiliki apa-apa, tidak dimana pun. Jadi ecommerce di AS hanyalah makanan penutup; sebagai pelengkap bisnis utama. Namun di Cina, ecommerce adalah makanan utama.” — Jack Ma, Pendiri dan Chairman Alibaba.

Bangkok dan Jakarta adalah rumah bagi mall-mall papan atas dan department stores mewah di Asia Tenggara seperti Central Word, Paragon dan Grand Indonesia. Namun demikian, begitu Anda berada di luar kota besar, tidak banyak yang bisa ditemui. Cina pun demikian, dengan sebagian besar offline ritel berada di kota-kota tier 1 seperti Beijing, Shanghai dan Guangzhou.

Retail GFA (Gross Floor Asia) per kapita mencapai 2,200 sqm di AS versus 500, 500 dan 100 sqm masing-masing di Cina, Thailand dan Indonesia menurut data dari CLSA. Sebagai hasilnya, mayoritas konsumen di Thailand dan Indonesia tidak memiliki pilihan selain untuk berbelanja online, khususnya mereka yang berada di luar kota besar. Menurut data yang diagregat aCommerce, 70% order di Thailand datang dari luar Bangkok.

Seperti di Cina, semua ini diharapkan akan mengakselerasi pertumbuhan ecommerce pada kecepatan yang lebih cepat dibanding pasar legasi.

2.     Cash-on-delivery sebagai metode pembayaran yang dominan

Kurangnya kartu kredit tidak menghalangi ecommerce di Cina tumbuh 68% per tahun selama satu dekade terakhir. Dengan sistem keuangan yang kurang dari ideal, perusahaan logistik dan jasa pengiriman akhirnya mengisi kesenjangan ini dengan menawarkan solusi cash-on-delivery (COD). Pada masanya di tahun 2008, COD mengisi 70% dari total transaksi B2C di Cina. Namun, pada tahun 2014, Alipay milik Alibaba telah melampaui COD sebagai metode pembayaran yang dominan, dengan lebih dari 85% dari pembelanja untuk 11/11 mengungkapkan preferensi mereka menggunakan Alipay vs. hanya 21% untuk COD.

Asia Tenggara saat ini sangat mirip dengan China 10 tahun lalu. Dengan penetrasi kartu kredit di satu digit, COD telah menjadi metode pembayaran yang dominan, dengan 74% jumlah transaksi di negara berkembang di Asia Tenggara dibayar tunai berdasarkan data dari aCommerce. Seperti Cina, ecommerce di Asia Tenggara tidak selamanya akan bergantung kepada COD. Dengan akuisisi Lazada ini, Alibaba sekarang tengah mengeksekusi rencana utama mereka untuk membawa Alipay dan Ant Financial ke wilayah ini.

3.     Kurangnya cross-border ecommerce karena tingginya bea masuk dan pajak

Cross-border ecommerce Cina tidak pernah jadi hal yang besar hingga baru-baru ini, dengan pembentukan kawasan gudang berikat yang disetujui pemerintah yang memungkinkan pengiriman internasional yangl lebih cepat dan biaya yang lebih rendah. Merek global dan pengecer sekarang dapat memasuki pasar Cina yang menguntungkan dengan mendirikan toko pada platform seperti Tmall Global dan JD Worldwide tanpa kehadiran toko fisik yang mahal di negara ini.

Sebelum ini, memesan barang dari luar negeri terbatas bagi banyak konsumen di Cina karena bea masuk yang tinggi (30%). (Bea masuk ini masih berlaku untuk pedagang yang tidak berlisensi untuk menjual dalam jaringan cross-border ecommerce Cina, misalnya memesan langsung dari Amazon.com).

Serupa dengan Cina, pasar bertumbuh di Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia saat ini memiliki bea masuk yang mahal dan pajak. Kurangnya lapangan bermain tingkat global ini memberikan tekanan pada perkembangan ekosistem ecommerce lokal yang sehingga apa yang terjadi adalah pertumpahan darah ecommerce di Indonesia seperti bisa kita lihat saat ini.

southeast-asia-ecommerce-potential-3-1024x512

4.     Ekosistem “no-tail”

Adopsi internet di Cina dan negara-negara berkembang Asia Tenggara tidak mencapai massa kritis sampai pertengahan tahun 2000 ini. Pasar ini melewatkan sebagian besar Web 1.0 dan “Web 1.5” booming dan melompat langsung ke Web 2.0, yang mengarah kepada pembentukan apa yang kita sebut sekarang ekosistem “No-Tail”. Akibatnya, iklan digital di negara-negara ini tertinggal dari pasar yang lebih matang seperti Amerika Serikat dan Jepang di mana perusahaan seperti Facebook dan Pinterest sering melihat penjualan iklan sebagai cara yang paling jelas – dan kadang, satu-satunya – untuk menghasilkan uang.

Kurangnya lingkungan periklanan yang matang, perusahaan internet di Cina tidak punya banyak pilihan selain untuk melihat commerce untuk dimonetisasi sehingga mengangkat industri ecommerce di Cina menjadi status raksasa-nya yang sekarang.

“Sementara perusahaan-perusahaan AS fokus pada pendapatan iklan, perusahaan Cina telah menjadi penentu kecepatan dalam ecommerce,” laporan The Washington Post.

“Anda mengunjungi Facebook dan tidak bahkan bisa membeli apa-apa, tapi dengan WeChat dan Weibo Anda dapat membeli apa pun yang Anda lihat,” ucap William Bao Bean, partner di SOS Ventures yang berbasis di Shanghai direktur Chinaccelerator, di artikel Washington Post yang sama.

Uber mengalami kegagalan di Cina bukan karena kurang dalamnya kantong mereka; raksasa ride-sharing ini hilang karena berjuang melawan pesaing yang berfokus pada monetisasi ecommerce dalam jangka panjang, bukan pada penghasilan transportasi jangka pendek.

Mirip dengan Cina satu dekade yang lalu, Asia Tenggara memiliki pasar periklanan yang sama-sama baru lahir. “Tidak ada cukup penerbit lokal, karena itu tidak ada pembelian yang cukup dari pengiklan,” ujar Lichi Wu, seorang ahli teknologi iklan Asia Tenggara yang sebelumnya bekerja di Google dan AdMob.

Dengan “kebun bertembok” seperti Facebook dan Instagram mendominasi semua pembuatan konten, tidak ada kekuatan yang cukup kuat untuk memutus siklus ayam-dan-telur ini. Menghadapi realitas suram RPM rendah (pendapatan per 1.000 tayangan atau tampilan halaman) banyak bisnis online kemudian memeluk ecommerce sebagai model bisnis.

Tidaklah mengherankan kemudian bahwa salah satu sumber yang paling populer dari pendapatan “pasif” di Thailand dan Indonesia adalah membeli barang dari Taobao dan AliExpress dan menjualnya kembali demi margin di Facebook dan Instagram, sedangkan di AS, pengusaha rumahan seringnya melakukan blogging, SEO dan afiliasi pemasaran untuk menghasilkan pendapatan iklan.

Mengukur Ecommerce Asia Tenggara Berdasarkan Pertumbuhan Model E-commerce Cina

Melihat semua metriks sebelumnya, kita dapat mengamati kesamaan antara ecommerce di negara berkembang Asia Tenggara saat ini dan Cina pada tahun 2006. Sebagai contoh, ecommerce GMV per kapita dan penetrasi ecommerce Thailand pada tahun 2016 sudah sebanding dengan Cina pada tahun 2006. (Untuk lebih tepatnya, berdasarkan angka-angka ini Thailand ecommerce pada tahun 2016 sudah di depan Cina pada tahun 2006.).

Sebagai patokan dimana ecommerce Asia Tenggara berada 10 tahun dari sekarang, mari kita lihat ecommerce GMV per kapita sebagai persentase dari PDB nasional per kapita. Metriks ini harusnya bisa memberikan kita gambaran tentang daya beli ecommerce individu relatif terhadap standar hidup. Kita tidak bisa benar-benar menggunakan GMV per kapita ecommerce Cina di 2016 karena PDB per kapita Thailand akan lebih tinggi dari Cina pada tahun 2016, sehingga hasilnya kita bisa meremehkan potensi yang ada.

GMV per kapita ecommerce Cina sebagai persentase dari PDB nasional per kapita adalah 6% pada 2016. Jika kita kalikan ini dengan PDB per kapita Thailand dan Indonesia diproyeksikan untuk 2016, kita akan mendapatkan ecommerce GMV per kapita masing-masing sebesar $711 dan $533. Kemudian menerapkan ini untuk menghitung populasi yang diproyeksikan, kita akan mendapatkan pasar ecommerce berukuran masing-masing $51 dan $157 miliar untuk Thailand dan Indonesia. Kontras dengan proyeksi Google dan Temasek sebanyak $11 dan $46 miliar dan kita bisa melihat berapa banyaknya potensial yang sebenernya tersisa.

Mengambil angka Thailand dan Indonesia dari laporan Google dan Temasek dan memasukan estimasi untun C2C, katakan sebesar 30%, memberi kita permulaan untuk proyeksi tahunan kami. Kemudian merata-rata pertumbuhan tahunan untuk mencapai angka mencapai $51 dan $157 miliar, kita akan mendapatkan proyeksi tahunan seperti di bawah. Dalam skenario ini, CAGRs yang  baru adalah 43% dan 50% untuk Thailand dan Indonesia, dibandingkan yang sebelumnya hanya 29% dan 39%.

Proyeksi e-commerce Thailand dan Indonesia berdasarkan model Tiongkok
Proyeksi e-commerce Thailand dan Indonesia berdasarkan model Tiongkok

Tanpa menyesuaikan untuk Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam (di mana dua nama terakhir tidak mengikuti model Cina), kita akan mendapatkan total diproyeksikan ukuran minimal $238 miliar. Proyeksi ecommerce ulang yang telah disesuaikan Indonesia saja mencapai  $157 miliar, jauh lebih besar $88 miliar yang diperkirakan untuk semua enam pasar Asia Tenggara yang digabungkan.

Revisi proyeksi ini memberikan gambaran potensi sesungguhnya dari ecommerce di Asia Tenggara dan menjelaskan mengapa semua orang di sini adalah tumbuh dua kali lipat, dengan akusisi Alibaba terhadap Lazada sebesar $1 miliar, Tokopedia mendapatkan pendanaan hingga $248 juta sampai saat ini, dan MatahariMall baru saja mendapatkan $100 juta. Seperti di Cina sepuluh tahun yang lalu, orang-orang yang berinvestasi dalam ecommerce lebih dulu dan mengambil prospek strategi jangka panjang akan berakhir memiliki potongan terbesar ini $238 miliar – bukan $88 miliar – dari  tambang emas ecommerce di Asia Tenggara.

 


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Big data untuk E-Commerce, Keperluan Bisnis dan Rekomendasi untuk Pengguna

Dalam beberapa tahun belakangan ini big data banyak disebut-sebut sebagai teknologi yang bisa melengkapi bisnis. Big data memungkinkan bisnis mengelola banyak data dari banyak sumber untuk kemudian bisa dimanfaatkan untuk keperluan analisis laporan dan prediktif. Big data menyimpan potensi yang besar untuk mengubah dan melengkapi bisnis, salah satu yang termasuk adalah bisnis e-commerce.

Big data dan analisisnya termasuk salah satu teknologi kunci dalam hal personalisasi. Dengan data-data yang dikumpulkan bisnis kemudian bisa merumuskan bentuk kesukaan atau minat pengguna mereka yang lazim disebut dengan personalisasi. Big data tidak hanya mengolah data-data terstruktur tetapi data-data yang tidak terstruktur.

Data-data formal seperti nama, alamat email, alamat rumah, nomor telepon termasuk data-data terstruktur sedangkan data-data seperti minat terhadap sebuah barang yang ditunjukkan dengan keyword atau data publik lainnya yang tertinggal di Internet. Konsep ini bisa dilihat dari seringnya pengguna yang sebelumnya mencari-cari barang atau keyword tertentu kemudian akan “dihantui” barang atau keyword tersebut di media sosial, seperti Twitter, Facebook atau Instagram.

Data tidak terstruktur ini merupakan aliran data baru yang sebelumnya belum dimanfaatkan oleh bisnis. Big data dengan teknologinya memungkinkan data-data semacam itu disimpan dan diolah untuk menghasilkan wawasan-wawasan baru mengenai bisnis atau penggunanya.

Selain personalisasi, big data juga bisa dimanfaatkan untuk mengefektifkan transaksi yang ada. Misalnya dengan menghubungkannya dengan teknologi IoT yang terdapat pada armada-armada logistik, dengan demikian pengguna bisa memantau secara real time kondisi barang mereka. Hal tersebut memang tidak mudah namun big data memiliki kemampuan untuk menampung data real time tersebut.

Kemampuan memproses data secara real time big data juga memungkinkan bisnis untuk dengan mudah memantau atau memonitor data mereka secara langsung. Jika dilengkapi dengan analisis dan juga business Intelligence maka big data bisa menyuguhkan laporan langsung mengenai data-data yang ada.

Penerapan big data tidak murah. Perlu investasi cukup besar untuk membangun sebuah infrastruktur untuk menempatkan teknologi big data yang bisa berkolaborasi dan terintegrasi dengan sistem-sistem yang lain.


Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk seri penulisan artikel tentang big data.

Distribusi Omni Channel Media Digital yang Efektif

Saat ini distribusi konten dengan metode omni dan multi channel sudah banyak digunakan oleh media untuk bisa memperluas kesempatan pengguna menikmati konten bukan hanya dari ‘rumah’ atau situs resmi. Lantas seperti apa perkembangan multi channel hingga kini? Seperti apa measurement ideal yang diterapkan? Apakah menggunakan cara ini bisa “membunuh” situs resmi yang merupakan source dari konten tersebut? Pembahasan tersebut dikupas secara tuntas dalam sesi diskusi yang diadakan Indonesia Digital Association dan Kurio.

“Dengan diadakannya diskusi ini diharapkan bisa memberikan pencerahan kepada content creator dan publisher untuk kemudian melakukan distribusi yang tepat dengan memanfaatkan multi channel atau omni channel, seperti yang telah banyak dilakukan oleh media saat ini,” kata Ketua Umum Indonesian Digital Association Edi Taslim.

Turut hadir dalam acara sesi diskusi tersebut CEO Kurio David Wayne Ika dan wartawan BBC Indonesia Rebecca Henschke. Sebagai media internasional yang dikenal cukup masif melakukan distribusi konten ke media lainnya hingga media sosial, BBC Indonesia turut berbagi tips dan pengalaman tentang cara yang tepat melakukan distribusi yang tepat dan tentunya sukses.

“Kita dari BBC Indonesia tentunya tidak ingin terlena memanfaatkan ragam distribusi channel konten yang ada, karena pada akhirnya kita ingin tetap situs utama adalah yang paling banyak dikunjungi bukan beragam channel yang kami gunakan,” kata Rebecca.

Omni channel dan “the next big thing”

Kebiasaan dari pengguna untuk menikmati konten merupakan alasan utama hingga akhirnya distribusi multi channel hingga omni channel banyak mengalami perubahan. Model smartphone yang semakin canggih juga membuat para developer hingga content creator harus beradaptasi membuat teknologi yang baru dan mudah.

“Dulu semua tampilan web direkomendasikan untuk web responsive untuk memudahkan pengguna membaca konten di berbagai perangkat, dengan makin banyaknya penggunaan video saat ini juga kemudian dituntut untuk bisa tampil lebih video responsive agar dengan mudah dinikmati di desktop, aplikasi hingga browser,” kata David.

Hal lain yang juga digarisbawahi David adalah kehadiran konten secara real time ternyata cukup ampuh untuk menarik perhatian pengguna yang ternyata cukup memiliki rasa ingin tahu terkait dengan informasi atau berita yang disukai.

“Kehadiran media sosial sudah merubah gaya pengguna saat menikmati konten yang ada, terutama untuk milenial yang bisa dipastikan tidak lagi membaca koran atau menonton televisi, dan lebih memilih Snapchat atau Facebook untuk melihat newsfeed yang ada,” kata David.

Menjadi krusial bagi media untuk memilih platform yang tepat sebelum proses distribusi dilakukan. Media sosial mana yang paling sesuai dengan konten dan analytics seperti apa yang ingin digunakan untuk mengukur kesuksesan konten yang dibagikan. Pada akhirnya tiga kunci kesuksesan dalam melakukan strategi omni channel terkait dengan model distribusi adalah reach, reputation dan revenue.

Kurio memprediksi teknologi yang bakal meramaikan proses distribusi konten dengan mengadopsi teknologi, di antaranya adalah kebangkitan Artificial Intelligence (AI), audio dan podcast, data science dan bots, dan data implementation yang digunakan di newsroom.

Penggunaan Big Data di Sektor Bisnis Travel Bisa Menguntungkan Pengguna

Bisnis banyak mendapatkan manfaat dari banyaknya aliran data di era digital seperti sekarang. Dengan bantuan perangkat lunak big data dan analisis, data diubah menjadi sebuah hal yang menguntungkan. Hampir di semua sektor bisnis big data selalu dikaitkan dengan personalisasi pengguna. Di titik ini tidak hanya bisnis yang diuntungkan, tetapi juga pengguna. Khusus sektor bisnis travel, pengguna bisa diuntungkan baik dari segi efisiensi waktu maupun efisiensi biaya.

Jika zaman dahulu para pelancong atau traveler bergantung pada biro jasa perjalanan atau loket-loket tempat wisata yang ada, kini para traveler dengan mudah bisa menemukan apa pun melalui smartphone mereka. Marketplace tiket sudah banyak bermunculan. Menawarkan berbagai macam jenis tiket yang di antaranya sudah disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan pengguna. Disesuaikan, dipersonalisasi oleh bisnis yang menerapkan biaya. Penghematan pertama, hemat waktu.

Penghematan selanjutnya adalah dana atau biaya yang harus dikeluarkan untuk proses mencari dan harga tiket itu sendiri. Dari konsep personalisasi banyak jenis kategori yang disesuaikan. Mulai dari minat terhadap sebuah maskapai, hotel, hingga biaya yang sering dikeluarkan oleh traveler selama masa perjalanannya.

Penghematan dari segi uang ini memiliki peranan penting. Selain marketplace yang menawarkan harga bersaing traveler juga bisa memanfaatkan layanan pembanding harga yang mulai banyak bermunculan. Dengan demikian traveler bisa menemukan harga terbaik.

Penghematan selanjutnya adalah biaya transportasi dan penginapan. Untuk yang satu ini traveler harus berterima kasih pada startup dengan konsep on demand atau juga sering disebut dengan sharing economy, Uber dan AirBnB. Kedua bisnis tersebut merupakan solusi bagi traveler-traveler yang memiliki budget terbatas selama bepergian. Dengan harga yang relatif lebih murah dibanding moda transportasi dan penginapan konvensional dan mungkin layanan khusus seperti UberTrip yang baru meluncur di Bali atau UberPool pengguna bisa berhemat lebih banyak.

Belum lagi promosi yang gila-gilaan, mengingat layanan seperti Uber dan AirBnb tidak sendirian di ekosistem bisnis mereka. Lagi-lagi pengguna dalam hal ini traveler yang diuntungkan.

Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk seri penulisan artikel tentang big data.

Hak Untuk Dilupakan: Manfaat Perlindungan dan Potensi Penyalahgunaan

Internet adalah tempat yang bebas bagi publik untuk menyimpan data dan mengabarkan peristiwa. Meskipun terdapat berbagai peraturan yang berusaha untuk mengelola dan membatasi kebebasan tersebut, pada kenyataannya, teknologi internet berkembang relatif lebih cepat daripada ketentuan hukum dapat mengimbanginya.

Informasi yang terdapat di internet bisa dalam bentuk data yang kita unggah sendiri atau diunggah oleh orang lain. Foto memalukan yang kita post sendiri bisa kita hapus dengan mudah. Namun, bagaimana jika foto tersebut di-copy oleh orang lain, atau bahkan menjadi viral atau meme, dan sulit bagi kita untuk meminta orang-orang tersebut untuk menghapusnya satu-persatu. Bagaimana jika foto memalukan tersebut memberikan kita ketenaran yang tidak diinginkan atau bahkan sampai mengganggu karier? Pertanyaan yang sama berlaku bagi jenis-jenis informasi lainnya, seperti tweet, status update, maupun laporan berita.

Setiap orang memiliki masa lalu dan mungkin kejadian-kejadian tersebut sudah tidak relevan dengan kehidupan kita sekarang. Internet dan teknologi cloud membuat kita sulit untuk mengubur masa lalu itu. Maka, munculnya ‘hak untuk dilupakan’ adalah perkembangan hukum yang wajar dalam era digital ini.

Apa itu ‘hak untuk dilupakan’?

The right to be forgotten atau hak untuk dilupakan sudah menjadi perbincangan di Uni Eropa sejak tahun 2006. Menurut Mantelero Alessandro, profesor Hukum Perdata dari Italia, hak untuk dilupakan berangkat dari keinginan individual untuk menentukan sendiri arah pengembangan hidup mereka secara otonom, tanpa terus-menerus dikenai stigma sebagai konsekuensi dari tindakan tertentu yang mereka lakukan di masa lalu.

Hak ini mulai diberlakukan saat seorang warga Spanyol merasa pemberitaan mengenai suatu hutang di masa lalunya sudah tidak relevan lagi untuk diberitakan, sebab ia telah melunasi hutang tersebut. Ia menggugat Google supaya menghapus seluruh tautan pemberitaan tersebut dari search result sebagai wujud haknya untuk dilupakan. Google membela diri dari permintaan tersebut sebab mereka ingin menjadi platform informasi yang netral. Namun Google kalah dan hak untuk dilupakan ini menjadi preseden yang berlaku terhadap seluruh pengendali data di Uni Eropa.

Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini, penghapusan tautan hanya dilakukan di search engine, sementara tautannya sendiri masih bisa ditemukan di situs berita yang bersangkutan. Dengan berlakunya hak untuk dilupakan secara menyeluruh di Uni Eropa, hak ini juga dapat diberlakukan terhadap media berita dan media sosial.

Perdebatan soal hak untuk dilupakan sesungguhnya mendasar secara konsep dan filsafat hukum. Ketika diturunkan menjadi diskursus antara hak untuk dilupakan versus hak kebebasan berekspresi, hak asasi manusia dapat menjadi pedang bermata dua. Kedua hak tersebut merupakan hak asasi manusia. Tidak sedikit yang mengkritik hak untuk dilupakan sebagai suatu bentuk penyensoran dan penulisan ulang sejarah.

Hak untuk dilupakan vs hak atas informasi

Hak untuk dilupakan tidak sama dengan hak privasi. Hak privasi adalah hak atas informasi-informasi pribadi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi identitas seorang individu dan berpotensi membahayakan keselamatan individu tersebut, seperti alamat, nomor telepon, catatan kesehatan, dan lain-lain. Sedangkan hak untuk dilupakan berhubungan dengan informasi akan seorang subyek di internet pada periode waktu tertentu.

Terlepas dari kontroversinya, hak untuk dilupakan dapat dimanfaatkan untuk hal-hal baik. Korban dari revenge porn atau perbuatan asusila dapat menggunakan hak ini untuk menghentikan, atau setidaknya membatasi, distribusi konten tentang dirinya di internet. Remaja Gen Z atau bayi-bayi yang sudah punya akun Instagram sendiri karena orang tuanya, yang menyesali keberadaan konten digital dirinya, juga dapat memanfaatkan hak yang sama untuk menghapus konten tersebut.

Namun, bagaimana dengan seorang dokter yang pernah melakukan malpraktik atau pengobatan yang sempat menjadi sorotan? Dokter itu bisa saja menggunakan hak untuk dilupakan demi mengubur informasi soal malpraktiknya di masa lalu. Kerugian terbesar tentunya adalah bagi konsumen yang perlu mengambil keputusan dengan informasi menyeluruh.

Pada skala lebih kecil, jika kita pernah diberitakan melakukan tindakan kriminal atau memiliki konten memalukan di akun atau situs publik, dan kita tidak mau informasi tersebut mempersulit kita mencari kerja, pantaskah hak untuk dilupakan digunakan dalam hal ini? Apakah pemberi kerja berhak untuk mengetahui informasi ini, meskipun kita merasa informasi tersebut sudah tidak relevan?

Hak untuk dilupakan ini sudah dimanfaatkan oleh Dejan Lazic, pianis dari Uni Eropa, untuk menghapus resensi jelek soal musiknya di internet. Penerapan hak untuk dilupakan sangat nyata dalam kehidupan publik di internet dan berpengaruh langsung terhadap kebutuhan akan informasi masyarakat.

Bagaimana pengaturan Hak Untuk Dilupakan dalam Perubahan UU ITE?

Oktober lalu, DPR telah mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satu perubahan itu adalah penambahan ketentuan Pasal 26 soal perlindungan data pribadi di internet. Berdasarkan pemberitaan Kominfo, penambahan Pasal 26 adalah:
(a) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan; dan
(b) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

Hingga saat ini, saya belum berhasil mendapatkan teks asli Perubahan UU ITE, sehingga saya hanya mengandalkan pemberitaan Kominfo. Ada beberapa hal yang dapat ditanggapi:

(a) Definisi ‘tidak relevan’ terlalu rancu. Informasi apa yang masih relevan dan tidak relevan? Apakah Perubahan UU ITE akan menjelaskan ukuran dari ‘tidak relevan’? Belajar dari perkembangannya di Uni Eropa, perlu ada pengecualian terhadap informasi yang diunggah sehubungan dengan kegiatan jurnalistik dan resensi karya seni, supaya hak-hak warganegara akan informasi tetap terjamin. Pengadilan Uni Eropa secara eksplisit mengklarifikasi bahwa hak untuk dilupakan tidaklah absolut dan akan selalu perlu diseimbangkan dengan hak-hak fundamental warganegara, seperti kebebasan berekspresi. Pemberitaan Kominfo tidak memperlihatkan pengecualian tersebut.

(b) Siapa yang dimaksud dengan ‘Penyelenggara Sistem Elektronik’? Berdasarkan definisinya di UU ITE, penyelenggara yang dimaksud akan meliputi seluruh pengendali data di internet, seperti search engine dan media digital, termasuk media sosial dan blog pribadi. Namun, ketentuan ini menjadi tidak berlaku bagi search engine dan media non-Indonesia karena perbedaan yurisdiksi. Jika pemerintah Indonesia tidak berhasil menggalakkan kewajiban OTT untuk memiliki badan hukum di Indonesia, hak untuk dilupakan tidak bisa diterapkan terhadap OTT asing.

(c) Apa yang dimaksud dengan ‘menghapus’? Apakah menghapus berarti meniadakan tautannya saja, atau menghapus laman yang bersangkutan sekaligus?

(d) Penggunaan hak untuk dilupakan mengharuskan adanya penetapan pengadilan, yang mana memakan waktu dan biaya. Sisi positifnya adalah Penyelenggara Sistem Elektronik tidak bisa mengelak. Penetapan pengadilan juga memastikan hak untuk dilupakan tidak dapat digunakan begitu saja. Di sisi lain, jika Penyelenggara Sistem Elektronik keberatan untuk menghapus data, mereka harus melakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung. Hakim sebagai penentu apa yang ‘relevan’ jadi memiliki beban baru untuk memahami internet, termasuk soal integritas dan distribusi informasi di internet, serta hubungannya dengan konteks sosial dari informasi tersebut. Ketiadaan preseden juga berpotensi mengakibatkan penetapan hakim berbeda dari kasus ke kasus, sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.

(e) Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengatur mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan. Akan tetapi belum jelas apakah Perubahan UU ITE akan menentukan standar mekanisme itu. Mungkinkah hal tersebut akan diserahkan sepenuhnya ke Penyelenggara Sistem Elektronik?

(f) Bagaimana jika Penyelenggara Sistem Elektronik menolak untuk menghapuskan Informasi Elektronik yang bersangkutan? Apakah mereka dapat dikenakan denda atau upaya hukum lainnya? Pemberitaan Kominfo tidak menggambarkan sanksi tersebut.

Saya turut menekankan perlu ada mekanisme tambahan supaya hak untuk dilupakan tidak disalahgunakan oleh pemangku kepentingan. Pasal 27 ayat (3) soal penghinaan dan pencemaran nama baik di internet cenderung dapat disalahgunakan oleh pejabat dalam melawan kritik terhadap pemerintah. Ketentuan hak untuk dilupakan berpotensi untuk disalahgunakan dalam konteks yang serupa.

Beberapa media nasional telah menyampaikan kekhawatiran mereka soal ‘penyensoran’ ini. Pemerintah dan penegak hukum perlu mengimbangi kekhawatiran tersebut dengan menentukan koridor-koridor yang jelas dalam penggunaan hak untuk dilupakan. Jika tidak, hak untuk dilupakan hanya akan menambah pekerjaan rumah, bukannya memberikan solusi keamanan dan kenyamanan berinternet.


Disclosure: Fallissa Putri, S.H. adalah konsultan hukum dan advokat dari Klikonsul, konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com

Analisis Prediktif untuk Jadwal Perawatan

Prediksi merupakan bagian dari strategi untuk menerka apa yang terjadi selanjutnya, meraba apa yang dibutuhkan pengguna berdasarkan data. Prediksi didukung dengan data-data sebelumnya dikumpulkan dan diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan pola yang bisa dijadikan sebagai bahan analisis prediktif. Dalam penggunaannya dalam sektor bisnis, analisis prediktif banyak digunakan dalam berbagai urusan salah satunya adalah prediksi perawatan, baik sistem maupun infrastruktur.

Prediktif perawatan ini sendiri merupakan sebuah teknik untuk melakukan prediksi terhadap rencana perawatan sesuatu. Bisa sebuah sistem bisa juga sebuah infrastruktur dalam hal ini lebih condong ke perangkat keras.

Hampir serupa dengan analisis prediktif pada umumnya, analisis prediktif untuk perawatan ini memanfaatkan data-data dari perangkat atau mesin untuk menyusun jadwal perawatan yang pas sehingga mengurangi kecenderungan kesalahan atau kerusakan terjadi sebelum masa perawatan. Di dalam proses analisisnya juga bisa dilengkapi dengan diagnosis kesalahan, rekomendasi, dan klasifikasi kesalahan yang pernah muncul.

Ada banyak keuntungan yang bisa didapat dari analisis prediktif untuk perawatan ini, beberapa di antaranya adalah menekan biaya perawatan karena waktunya sudah disesuaikan dan diprediksi, termasuk juga mengurangi waktu yang terbuang karena perawatan yang mendadak. Selain itu analisis prediktif juga mampu mengetahui akar permasalahan yang muncul sehingga bisa dengan cepat menentukan apa yang harus dilakukan dengan sebuah alat, apakah diperbaiki atau diganti dengan yang baru.

Analisis sendiri mengharuskan adanya data-data yang akurat. Dalam kasus analisis perawatan ini data-data yang dikelola meliputi data riwayat penggunaan, riwayat perawatan, riwayat error atau kesalahan, dan data-data pelengkap lain seputar alat atau sistem tersebut.

Yang paling penting dari semua keuntungan yang disebutkan di atas adalah penghematan. Penerapan analisis prediktif tidak bisa dibilang murah, baik orang yang bertanggung jawab atau alat yang digunakan harus berkualitas. Setidaknya investasi yang dikeluarkan sebanding apa yang dihasilkan, dalam hal ini efisiensi waktu dan biaya yang dipangkas. Diharapkan bisa tetap menjaga bisnis bekerja optimal karena proses perawatan semua sudah terjadwal dan diprediksi.

Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk seri penulisan artikel tentang big data.

Melihat Efektivitas Iklan Mobile dari Pola Pengguna Aplikasi di Indonesia

Bagi pengembang aplikasi mobile, salah satu kanal pendapatan yang paling umum digunakan ialah melalui iklan. Memang tak banyak pilihan untuk sebuah aplikasi yang diluncurkan secara gratis, umumnya pendapatan pengembang diambil dari konten premium, penjualan merchandise atau iklan. Tetapi metode iklan paling banyak diminati, selain bekerja otomatis, iklan juga memberikan nilai yang cukup signifikan ketika aplikasi mendapatkan jumlah unduhan dan penggunaan yang tinggi.

Namun jika melihat dari perspektif pengguna, apakah iklan sejatinya efektif? Ada dua sudut pandang jika kita membahas seputar kebermanfaatan iklan mobile ini, dari sisi pengembang dan dari sisi pengiklan. Dari sisi pengembang sudah jelas iklan menjadi income menjanjikan. Namun dilihat dari sisi pengiklan, hal ini perlu ditelisik lebih lanjut. Mobile advertising menjadi salah satu fokus survei yang dilakukan JakPat baru-baru ini. Dalam survei tersebut tersaji hasil menarik dari ratusan responden pengguna smartphone di Indonesia

(1) Melihat konten iklan tapi mengabaikan –strategi penempatan iklan untuk kenyamanan pengguna

Dari total responden survei tersebut, 88 persen mengaku ketika menggunakan aplikasi mobile yang terkoneksi dengan internet, mereka sering kali menemui iklan digital yang muncul. Kebanyakan mereka melihat secara seksama adanya iklan ketika penempatannya di atas, di bawah dan dalam bentuk pop ads. Kendati demikian, kebanyakan dari mereka (tepatnya 94 persen responden yang mengatakan menyadari adanya iklan) merasa terganggu. Sebanyak 77 persen terganggu oleh pop ads, 68 persen oleh iklan yang tidak bisa di-skip dan 24 persen dari iklan yang muncul di atas atau di bawah laman aplikasi.

Hal ini memberikan sedikit pemahaman kepada kita sebagai pengembang aplikasi untuk lebih jeli dalam menaruh tata letak iklan pada aplikasi. Dari persentase tersebut, bisa dikatakan bahwa iklan yang muncul sudut atas dan bawah aplikasi masih cukup dimaklumi, tidak membuat pengguna aplikasi merasa terganggu. Namun pada dasarnya kesabaran pengguna tersebut akan berbanding lurus dengan kualitas konten aplikasi yang dikembangkan. Jika aplikasi berbobot atau memiliki daya tarik yang tinggi, iklan pun akan dimaklumi untuk ditunggu. Namun sebagai aplikasi rilisan baru, maka hal ini perlu dipertimbangkan.

(2) Efektivitas iklan terhadap capaian pemasaran masih tergolong rendah di Indonesia

Hanya 20 persen dari total responden yang mengaku melihat iklan dengan berbagai alasan membuka tautan yang disajikan. Ada berbagai alasan mengapa pada akhirnya pengguna tersebut memilih untuk menuju ke tautan yang diberikan dalam iklan, alasan paling dominan karena iklan tersebut menyajikan informasi yang berguna atau menarik. Selain itu beberapa orang membuka tautan iklan dikarenakan penasaran dengan konten yang disajikan pada iklan tersebut. Sisanya dikarenakan “kecelakaan” (salah sentuh).

Pengalaman tersebut turut memberikan beberapa masukan terkait dengan user interface dalam aplikasi oleh pengguna. Beberapa pengguna mengaku kerap terjadi salah sentuh sehingga iklan tersebut terbuka. Sebagian besar mengaku karena tombol “close” yang susah diakses dan keterbatasan ruang gerak jari untuk menyembunyikan lagi iklan tersebut. Di sisi lain dapat disimpulkan, bagi pengiklan dua hal yang dapat dipertimbangkan ketika menyusun konten adalah buatlah informasi semenarik mungkin sehingga terlihat berguna. Atau desain sebuah konten yang menarik sehingga membuat orang penasaran untuk membuka.

Patut menjadi catatan, cara-cara yang “membohongi” pengguna cenderung merusak reputasi brand tersebut. Artinya jika konten yang benar-benar menarik, tidak bersifat “menipu” atau “clickbait“. Karena kekecewaan konsumen sasaran akan mengakibatkan stigma negatif terhadap suatu brand.

(3) Jadi, apakah mobile advertising dapat dijadikan pilihan untuk berkampanye iklan di Indonesia saat ini?

Bagan hasil survei berikut ini kami pikir cukup memberikan simpulan untuk demografi konsumen di Indonesia.

Hasil survei JakPat bertajuk "Mobile Advertising: An Effective Promotion Channel?"
Hasil survei JakPat bertajuk “Mobile Advertising: An Effective Promotion Channel?”