Antler: Era Web3 Buka Kesempatan Kreator untuk Tingkatkan Sumber Monetisasi

VC tahap awal Antler baru saja merilis “The New Creator Economy Report” bersama Speedinvest. Laporan ini menyoroti tentang era teknologi Web3 dan dampaknya terhadap pertumbuhan industri creator economy dunia di sepanjang 2021.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini turut sejalan dengan meningkatnya keterlibatan investor terhadap creator economy. Antler mencatat investor global telah mengucurkan total sekitar $1,3 miliar ke platform creator economy di sepanjang 2021.

Dengan melihat angka pertumbuhan ini, Antler memperkirakan sebanyak 1 miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator dalam lima tahun ke depan. Selain itu, pertumbuhannya di masa depan tak lepas dari era baru teknologi Web3 yang mengubah definisi dan kekuatan kreator, dari asas kreator itu sendiri menjadi berbasis komunitas. Artinya, komunitas akan punya peran besar untuk mendukung upaya monetisasi kreator.

Menurut laporan ini, kreator di era Web3 tak lagi dilihat sebatas memberikan nilai ke platform, tetapi juga membentuk cara baru lewat hubungan interaktif antara kreator dan penggemar. Ada peluang bagi kreator untuk menawarkan lebih banyak, tak hanya kepada penggemar, tetapi juga untuk kreator sendiri dan komunitas.

Di era Web3, Antler memproyeksi generasi kreator berikutnya akan punya kesempatan untuk meningkatkan sumber monetisasi konten atau karyanya. Tentu ini menjadi perubahan signifikan mengingat sebelumnya kreator banyak mengandalkan iklan dan sponsor merek untuk mendapatkan pemasukan.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Teknologi Web3 memungkinkan lebih banyak orang untuk menjadi kreator di masa depan. Ruang eksplorasi konten juga semakin berkembang dengan kemunculan kripto, NFT, dan metaverse. Saat ini bahkan banyak kreator bermigrasi ke metaverse di mana mereka dapat memonetisasi karyanya, seperti digital art dan game.

Founder dan CEO Antler Magnus Grimeland mengatakan, kreator menjadi lebih menarik secara finansial karena platform yang ada saat ini memungkinkan mereka untuk memonetisasi karya berbasis komunitas. “Creator economy tidak hanya akan mengubah cara produksi konten, tetapi juga membuka dunia teknologi baru dan peluang monetisasi yang tidak mungkin dilakukan dengan di era Web2,” tambahnya.

Ia menyebutkan masih banyak potensi yang belum dimanfaatkan oleh platform Web3, terutama tools yang berkaitan dengan konten dan komunitas. Menurutnya, cara untuk menghubungkan kreator ke penggemar atau komunitas menjadi salah satu peluang investasi yang paling menarik.

Sementara Partner di Floodgate Ventures Ann Miura-Ko menilai perkembangan teknologi saat ini memberikan nilai positif terhadap para kreator karena mereka dapat terlibat langsung dengan audiensnya tanpa harus terus-menerus merasa seperti hamster yang berlari di roda putar.

“Seiring bertambahnya audiens, kreator akan merasa dituntut untuk memenuhi selera mereka yang tidak akan ada habiskan, dan saya pikir ini akan menghabiskan banyak waktu. Platform yang memungkinkan kreator ‘memonetisasi saat mereka tidur’ adalah sesuatu yang ingin saya lihat,” tutupnya.

Creator economy di Indonesia

Indonesia juga ikut mengecap pertumbuhan industri creator economy selama beberapa tahun terakhir. Pelaku startup semakin banyak mengeksplorasi cara inovatif untuk membantu kreator memonetisasi karyanya.

Sebagai contoh, KaryaKarsa dan Storial menghubungkan kreator dengan pengguna langsung untuk menikmati konten, seperti cerita fiksi, komik, foto, hingga ilustrasi dengan skema beli karya satuan dan sistem tipping. Per bab (chapter) dapat dibeli mulai dari Rp2.000-Rp10.000. Ada juga Saweria yang menggunakan model donasi atau tip bagi kreator yang melakukan livestreaming di platform pihak ketiga.

Seluruh upaya ini juga tak lepas dari semakin lengkap ekosistem pembayaran digital sehingga memudahkan penggemar untuk memberikan dukungan finansial dengan nominal beragam.

Di samping itu, VC, konglomerasi media, hingga publik figur juga menunjukkan minat besarnya untuk mengambil kue di pasar creator economy. Di antaranya adalah platform konten on-demand Noice yang memperoleh pendanaan strategis dari RANS Entertainment, dan Famous All Stars (FAS) yang didukung oleh Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group.

Fintech Balai Lelang “Fundo” Tawarkan Alternatif Investasi Baru Jangka Pendek

FSB Indonesia meluncurkan Fundo, platform fintech lelang surat berharga. Platform ini menghubungkan pembeli dan penjual melalui mekanisme penawaran (bidding) yang transparan dan kompetitif. Startup ini didirikan sejak 2019 oleh Aida Sutanto, Co-founder dari Investree yang memiliki segudang pengalaman lainnya di dunia perbankan.

Dalam konferensi pers virtual, Aida menerangkan Fundo menggabungkan prinsip balai lelang dengan fintech, yang menawarkan proses unik dan lebih baik dalam menjual dan membeli surat berharga. “Platform lelang kami secara intrinsik telah dirancang dan diatur untuk dapat menawarkan produk investasi yang didasarkan pada keuntungan, bukan bunga,” ujarnya, Kamis (31/3).

Dia turut menegaskan diferensiasi Fundo dengan p2p lending ataupun perbankan. Beberapa perbedaannya, yakni payung pengawasan yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu; dasar perjanjiannya adalah jual-beli; sementara di p2p lending atau perbankan adalah pinjam-meminjam.

Kemudian, dari istilah imbal hasil yang dipakai di Fundo adalah profit yang didapat sepenuhnya melalui diskonto (potongan) dari surat berharga, bukan bunga; istilah pendanaannya di sebut lot dan cepat dipenuhi dalam sehari, sedangkan di p2p lending butuh waktu seminggu hingga dua minggu sampai kebutuhan dana terpenuhi.

Proses jual-beli surat lelang

Dalam proses kerjanya, Fundo menghubungkan penjual dan pembeli melalui mekanisme penetapan harga yang adil dan proses lelang online surat berharga yang kompetitif. Bagi penjual (UMKM) yang membutuhkan dukungan modal kerja dapat menjadi alternatif di luar opsi yang tersedia saat ini. Sementara untuk para investor individu dan institusi, Fundo menyediakan alternatif investasi dengan pengembalian dana jangka pendek dengan risiko sedang.

Surat berharga yang dilelang UMKM untuk mendapat modal kerja adalah piutang usaha mereka (account receivable/AR). AR itu sendiri transaksi penjualan barang atau jasa kepada klien yang pembayarannya dilakukan secara kredit. AR berbentuk faktur yang berkekuatan hukum karena nantinya akan dikirim ke pelanggan dan harus dibayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Perusahaan melakukan uji tuntas yang solid dan melaksanakan transaksi hanya dengan bisnis dengan rekam jejak keuangan yang kuat dan memiliki piutang dari perusahaan terkemuka. Aida mencontohkan, rangkaian mitigasi yang dilakukan adalah menilai risiko dari performa keuangan, penjualan tagihan, profil payor, operasional, dan lainnya agar tidak terjadi default.

“Fundo menjual surat berharga dari perusahaan yang sudah bonafide, kami sangat selektif dalam memilih perusahaan penjual. Biasanya kami pilih mereka yang punya akses ke supply ke perusahaan besar karena biasanya di situ mereka sudah tahu prosedurnya.”

Perusahaan juga melakukan serangkaian mitigasi risiko untuk para pembeli surat lelang, seperti asuransi dengan persentase yang berbeda-beda. Semakin besar jaminan asuransi yang diambil, maka persentase keuntungan yang bisa diambil tidak sebesar bila tidak ambil asuransi sama sekali.

Adapun rata-rata keuntungan yang ditawarkan 10%-18% per tahun. Sejauh ini, platform Fundo telah mengakomodasi penjualan surat berharga mencapai Rp2,2 triliun dari 250 UMKM. Aida menargetkan sepanjang tahun ini dapat meningkatkan penjualan surat berharga dengan menjangkau 5 ribu UMKM.

“Untuk memperkenalkan instrumen baru ini memang akan takes time, sama seperti p2p lending awal muncul. Tapi kami akan terus mengedukasi masyarakat dengan menggelar berbagai seminar yang mengundang ahli hukum, dan sebagainya,” pungkas dia.

Mezink Mudahkan Pembuatan “Landing Page” untuk Berbagai Kebutuhan

Indonesia memiliki potensi digital yang sangat besar. Menjadi hal yang wajar jika memiliki mimpi jadi raksasa digital pada masa mendatang. Hal ini diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi digital yang juga pesat. Berdasarkan laporan We Are Social berjudul “Digital 2021”, jumlah pengguna internet di Indonesia hanya 72,7 juta orang pada 2015. Dalam waktu enam tahun, jumlah tersebut meroket hingga 178,68% menjadi 202,6 juta orang.

Masih dari sumber yang sama, pengguna aktif media sosial di dalam negeri tercatat sebanyak 72 juta akun pada 2015. Angkanya kemudian naik 136,11% menjadi 170 juta akun pada 2021. Tak hanya media sosial, masyarakat pun semakin adaptif dengan pembayaran berbasis elektronik. Nilai transaksi uang elektronik juga mengalami pertumbuhan 94,65% (yoy) dari Rp16,08 triliun menjadi Rp31,3 triliun pada November 2021.

Dalam mendukung misi untuk menjadi raksasa digital, telah hadir berbagai macam platform untuk mempermudah pergerakan bisnis dalam dunia digital. Salah satunya adalah Mezink, sebuah inovasi karya anak bangsa yang didukung oleh ekosistem startup internasional dan melibatkan stakeholder dari berbagai negara.

Didirikan pada tahun 2021, Mezink beroperasi di bawah payung  PT Tujuan Teknologi dengan visi untuk bisa selalu berinovasi di bidang teknologi informasi dan menciptakan tools atau aplikasi yang dapat mendukung kemajuan industri IT dan meningkatkan perekonomian masyarakat terutama praktisi kreatif di Indonesia.

Co-Founder Mezink, Mohit Garg dan Tarun Valecha mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar dalam penggunaan aplikasi mobile secara umum. Untuk itu, selain untuk meraih market share di Indonesia, Mezink harus bisa memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekonomi nasional dengan menyediakan tools yang dapat membantu pengguna untuk bertransaksi dan meningkatkan kehadiran daring, baik itu sebagai perorangan maupun bisnis.

Sederhananya, Mezink adalah layanan dalam bentuk aplikasi untuk membuat landing page yang menampilkan kumpulan link URL yang tertuju pada website, social media, marketplace, dan juga tautan untuk terima pembayaran atau transaksi/donasi yang dimiliki pengguna. Platform ini memungkinkan pengguna untuk membuat website pribadi dan mengelola bisnis secara keseluruhan dan menargetkan semua kalangan baik konten kreator, pemilik bisnis, hingga freelancer.

Platform ini menyediakan fitur untuk mengintegrasikan marketplace dari Tokopedia, Shopee, hingga situs e-commerce yang dikembangkan sendiri. Terlebih lagi, dalam Mezink page, pengguna bisa menampilkan galeri NFT yang dijual melalui marketplace seperti OpenSea, Foundation App dan lainnya.

Dengan menawarkan layanan page builder atau pembuatan website, Mezink memberikan akses secara gratis bagi pengguna untuk mendapatkan semua fitur yang terdapat dalam aplikasi, termasuk kustomisasi background, pemilihan warna tombol, teks, dan lainya. Selain itu, setiap transaksi atau monetisasi yang terjadi dalam platform, tidak dikenakan biaya transaksi apa pun. Metode pembayaran yang yang tersedia juga beragam, termasuk OVO dan GoPay.

Proposisi nilai yang ditawarkan Mezink adalah platform ini menerima pembayaran untuk transaksi apa pun. Selain itu, untuk layanan yang ditawarkan tidak akan dipungut biaya alias gratis. Pengguna juga dimungkinkan untuk melakukan kustomisasi landing page dan akan secara otomatis terintegrasi dengan jejaring sosial media lain. Hal ini disebut bisa mememaksimalkan lead generation.

Fokus dan Rencana bisnis

Di fase awal ini, Mezink disebut akan fokus pada pertumbuhan organik untuk mendapatkan 10 juta pengguna aktif dalam waktu singkat sesuai dengan target perusahaan. Saat ini perusahaan masih menawarkan fitur tanpa memungut biaya apa pun, ke depannya, timnya menyebutkan akan segera meluncurkan fitur baru yang lebih lengkap dan menetapkan skema berbayar.

Tim development tersebar di pelosok Indonesia, India dan beberapa negara lain untuk mendapatkan kualitas produk terbaik. Tim manajemen diisi oleh eksekutif dan spesialis yang memiliki reputasi di dunia bisnis teknologi dan bisnis pada umumnya. Perusahaan juga memiliki entitas legal di Singapura, bernama Super Creator Tech Pte.Ltd., untuk urusan pengembangan bisnis dan keuangan global.

Terkait pendanaan, Mohit juga mengungkapkan bahwa perusahaan saat ini telah memiliki sumber dana eksternal yang belum bisa disebutkan. Ke depannya, perusahaan juga masih membuka peluang untuk penggalangan dana untuk bisa mengembangkan layanannya.

Selain Mezink, platform atau tools yang menawarkan opsi hampir serupa di antaranya adalah Lynk.id  Desty, dan  Oneblink yang dikembangkan MTARGET. Di kancah global juga ada Linktree yang lebih populer.

Application Information Will Show Up Here

Startup Fintech untuk PRT “Jipay” Terima Pendanaan Tahap Awal dari East Ventures

Startup fintech untuk pekerja rumah tangga (PRT) Jipay mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal senilai $1,3 juta atau sekitar 19 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari SHL Capital dan beberapa angel investors, termasuk Manila Angel Network dan Shivaas Gulati (co-founder Remitly). Dana segar ini akan dimanfaatkan untuk ekspansi tim dan pengembangan produk.

Jipay mengembangkan kartu prepaid dan aplikasi untuk keluarga dalam mengelola pengeluaran lewat PRT mereka. PRT dapat menggunakan Mastercard yang terhubung untuk belanja dan pemberi kerja dapat mengisi ulang akun melalui aplikasi yang sama. Dengan menyederhanakan proses ini, Jipay ingin menghemat waktu para pemberi kerja sekaligus menghilangkan beban tambahan PRT untuk selalu membawa dan meminta uang tunai.

Menghilangkan friksi manajemen keuangan PRT

Solusi ini pertama kali dikembangkan oleh Dayana Yermolayeva, warga Ukraina, setelah lulus dari sebuah kampus di Hong Kong di 2020. Di negara asalnya, hampir tidak ada konsep PRT yang sangat berbanding terbalik dengan Asia. Sayangnya, struktur industri PRT di sini tidak teratur, kendati peranan mereka penting dalam masyarakat dan industri tenaga kerja.

Di Hong Kong, para PRT, terutama pekerja asing, tidak memiliki akses ke bank, apalagi ke layanan keuangan dasar, seperti pengiriman uang, tabungan, dan asuransi. Sementara, keluarga yang mempekerjakan PRT asing kesulitan dengan pengaturan keuangan karena pembayaran gaji seringkali harus dilakukan secara tunai. Pengelolaan pengeluaran sehari-hari menggunakan uang tunai, kuitansi kertas, dan buku catatan adalah cara pembukuan manual yang melelahkan dan membosankan.

“Masalahnya bukan sekadar ketidaknyamanan karena pengaturan pengeluaran rumah tangga dengan cara yang berantakan ini. Masalah sebenarnya adalah kurangnya kepercayaan antara keluarga dan PRT mereka,” kata Yermolayeva dalam keterangan resmi, Kamis (31/3).

Dari akar masalah tersebut, Jipay pun lahir dengan semangat membangun kepercayaan dengan merangkul pemberi kerja, PRT, dan anak dalam satu platform. Aplikasi Jipay membantu dua kelompok pengguna. Pertama, pemberi kerja dapat menggunakan aplikasi dan Mastercard yang terhubung untuk melacak pengeluaran rumah tangga. Mereka dapat menambah dana, melihat transaksi, dan mendapat informasi tentang tren pengeluaran mingguan. Dengan demikian, pemberi kerja tidak peerlu lagi harus ke ATM untuk tarik tunai dan membaca kuitansi dari ART-nya lagi.

Kedua, para PRT dapat menggunakan kartu prepaid Jipay Mastercard untuk berbelanja keperluan rumah tangga. Kartu ini dapat digunakan di toko offline, online, maupun layanan transportasi umum. Untuk pasar tradisional yang tidak menerima kartu, PRT dapat menggunakan fitur PayNow langsung dari aplikasi Jipay. Mereka dapat melihat saldo dan transaksi waktu, sehingga mereka bisa lebih efektif dalam meggunakan anggaran rumah tangga.

“PRT asing yang menggunakan Jipay mengaku bahwa Jipay telah membantu mereka dalam menghilangkan rasa stres dan tidak nyaman dari mengatur uang tunai yang diberikan oleh pemberi kerja. Mereka tidak perlu meminta uang tunai, menyimpan kuitansi, atau membawa uang receh lagi. Dengan hal ini, para PRT dan pemberi kerja dapat membangun kepercayaan yang lebih baik.”

Rencana bisnis Jipay

Mengomentari tentang pendanaan, Yermolayeva menuturkan, “Kami sangat senang menerima pendanaan ini yang akan mempercepat misi kami untuk memberikan kemandirian finansial kepada para pekerja rumah tangga di seluruh Asia Tenggara. Kami memulai perjalanan kami dengan sebuah produk yang diperuntukkan untuk keluarga yang mempekerjakan PRT, yang kemudian memungkinkan kami untuk mempelajari lebih lanjut tentang kebiasaan keuangan PRT dan mendapatkan dukungan dari keluarga yang mempekerjakan mereka ketika kami menawarkan fitur keuangan pribadi untuk PRT asing.”

Saat ini, Jipay mengklaim telah menggaet lebih dari 1.000 orang PRT di Singapura untuk menggunakan aplikasinya. Adapun untuk nominal pengeluarannya melalui kartu (card spending) tembus ke angka $1 juta, volume transaksinya terus merangkak menjadi lebih dari 10 kali lipat dalam enam bulan terakhir. Pencapaian tersebut diklaim menjadikan Jipay sebagai game changer dalam membawa pekerjaan rumah tangga ke dalam cashless economy.

“Pengguna Jipay dari sisi pemberi kerja turut membantu dalam edukasi ke pada PRT mengenai manfaat Jipay untuk keuangan pribadi mereka, dan hal ini sangat penting terutama pada masa orientasi dan adopsi awal.”

Perusaahaan akan mengembangkan inovasi lainnya, seperti meluncurkan produk keuangan pribadi untuk para PRT; PRT akan dapat menerima pembayaran gaji ke akun pribadi Jipay mereka untuk dikirim ke keluarganya melalui Jipay Remit dan menggunakan Jipay Save untuk menyisihkan uang untuk pengeluaran besar, seperti pembelian properti atau biaya universitas untuk anak-anak mereka.

Mengomentari investasi tersebut, Principal East Ventures Devina Halim mengatakan, “Kami percaya Jipay akan menjadi platform terintegrasi yang mengeliminasi masalah atas akses keuangan di industri pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga bukan hanya industri biasa, tetapi turut menjadi industri yang mendorong produktivitas tenaga kerja di banyak negara di Asia Tenggara. Kami percaya Jipay memiliki posisi yang strategis untuk meningkatkan inklusi keuangan di segmen ini.”

GoPlay Creator Fund Diluncurkan, Dukung Kreator Bangun Basis Penggemar yang Loyal

Platform livestreaming interaktif GoPlay mengumumkan “GoPlay Creator Fund” sebagai program apresiasi kreator dalam membangun basis penggemar loyal (true fans) mereka. GoPlay menyiapkan Rp15 miliar yang akan diterima para kreator terpilih sebagai bonus bulanan.

Dalam acara peluncuran virtualnya, CEO GoPlay Edy Sulistyo mengatakan bahwa program ini bertujuan memberi dorongan kepada kreator agar tetap dapat membangun konten berkualitas sesuai jati dirinya, dan tidak terlalu terpaku pada metrik-metrik konten yang selama ini berorientasi pada jumlah follower/subscriber dan view.

Ia mengamati bahwa banyak kreator memproduksi konten untuk meningkatkan jumlah follower/subscriber dan view mereka. Ini membentuk anggapan semakin banyak follower, semakin banyak view. Kendati begitu, ia menyebut metrik-metrik tersebut tidak menjadi penentu keberhasilan kreator di GoPlay.

“Sejak awal kami bermimpi menjadikan GoPlay sebagai rumah bagi kreator lokal di Indonesia, dan kreator dapat memiliki pendapatan yang berkelanjutan. Dan ini tidak berubah. Kami tidak ingin kreator fokus pada metrik-metrik tersebut karena mereka tidak bisa menjadi diri sendiri,” tutur Edi.

Ia menilai ada cara yang lebih baik untuk membangun kualitas kreator, yaitu menemukan penggemar yang loyal atau disebut sebagai true fans. Hubungan yang dibangun antara kreator dan true fans menjadi lebih relevan agar kreator dapat membuat konten apa adanya, berkualitas, fun, interaktif, dan engaging.

Tak kalah penting, true fans menjadi indikator penting karena memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. “Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” lanjut Edi.

Dengan memegang visi-misi di atas, pihaknya dapat terus mengeksplorasi inovasi kreatif untuk mendekatkan hubungan kreator dan fans. Ini tercermin dari fitur-fitur yang dihadirkan, seperti live chat, quiz, instant withdrawal, dan virtual gift.

Kriteria Creator Fund

Chief Strategic Officer Martinus Faisal menambahkan bahwa pihaknya ikut terlibat dalam mengedukasi para kreator di platformnya. Salah satunya adalah tiga cara utama membangun true fans, yaitu frekuensi pembuatan konten, konsistensi penayangan konten, dan kuantitas konten.

“Dengan definisi yang kami paparkan, creator economy tidak sama dengan influencer. Creator economy membuat konten untuk fans-nya. Sementara, influencer memenuhi kebutuhan brand dan memonetisasi pendapatan dari brand dengan memanfaatkan follower yang dimiliki. Ini yang berusaha kami edukasi ke para kreator,” ujarnya.

Pihaknya berharap program ini dapat mendorong pendapatan kreator sejalan dengan kemampuan mereka untuk memenuhi kriteria program Creator Fund serta menstimulasi kehadiran kreator-kreator baru di Indonesia agar tidak perlu menunggu sampai punya banyak follower.

Saat ini, ribuan kreator yang tergabung di GoPlay memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti program ini selama dapat memenuhi kriteria utamanya, yakni memiliki performa yang berkorelasi dengan frekuensi live di GoPlay. Adapun, kreator GoPlay diklaim telah meraup pendapatan puluhan hingga ratusan juta per bulan.

Selain bonus bulanan, kreator juga berkesempatan untuk mendapat fasilitas promosi kreator maupun iklan berbayar pada berbagai media channel GoPlay, penggunaan studio rekaman GoPlay di Jakarta untuk livestreaming, tampil rutin di acara liveshow GoPlay (Ex: GoPlay Playground), mentorship khusus dari tim GoPlay, dan kesempatan mendapat sponsor dari partner GoPlay.

Dana untuk ekosistem pengguna

Memberikan dukungan untuk basis pengguna merupakan salah satu strategi kunci startup dalam menguatkan ekosistem produknya. Cara ini juga dilakukan sejumlah startup lain, salah satunya Hijub. Pada September tahun lalu, mereka meluncurkan “Hijup Growth Fund“, program pembiayaan untuk pelaku busana muslim lokal. Nantinya pemilik brand terpilih akan mendapatkan dukungan kapital hingga operasional bersama tim Hijub.

Spesifik untuk industri OTT, Goplay memang dituntut untuk terus menghadirkan konten yang relevan bagi pengguna. Selain yang sifatnya produksi mandiri dengan menggandeng produksi film, model user generated juga dapat melengkapi opsi hiburan yang ada di aplikasi. Adanya dukungan dari sisi platform hingga kapital menjadi awal yang baik untuk merangkul lebih banyak konten kreator potensial dengan karya-karya yang bisa diterima masyarakat.

Platform Social Commerce Berbasis Syariah “Berkahi” Resmi Meluncur [UPDATED]

Pelaku startup memanfaatkan momentum kebangkitan pasar social commerce di tengah pandemi Covid-19. Kali ini, platform Berkahi resmi hadir di Indonesia untuk membantu pelaku UMKM meningkatkan skala bisnisnya berbasis syariah.

Berkahi memampukan pelaku usaha di tanah air untuk meningkatkan penghasilan dengan memasarkan produk lokal dan halal lewat jaringan reseller. Target pasar Berkahi adalah UMKM, terutama yang berada di area pedesaan.

Berkahi didirkan oleh Rowdy Fatha, Turina Farouk, dan Andre Raditya Makmur. Ide pengembangan Berkahi telah diinkubasi sejak November 2021.

Dalam acara peluncurannya, Co-founder & CEO Rowdy Fatha mengatakan pandemi berimbas signifikan terhadap penurunan bisnis UMKM. Di situasi tersebut, banyak pelaku usaha yang sulit bertahan karena tak sedikit di antaranya yang minim kemampuan dan pengalaman dalam membangun bisnis.

Di sisi lain, ia menilai nilai-nilai syariah cocok diterapkan dalam berbisnis. Pihaknya juga ingin berperan dalam mendorong pemerataan inklusi keuangan dan digital di Indonesia. Adapun, Berkahi juga membentuk dewan penasihat syariah untuk memastikan kegiatan bisnis Berkahi sesuai dengan nilai-nilai syariah.

“Kami ingin all out dalam membantu masyarakat UMKM, tak cuma dari sisi bisnis saja, tetapi juga promosi, operasional, fulfillment, hingga logistik. Kami bahkan ikut terlibat dalam mengedukasi UMKM. Insya Allah, tahun ini kami bisa hadirkan [fasilitas] pendanaan syariah tahun ini,” tutur Rowdy.

Bentuk dukungan all out yang dimaksud adalah, Berkahi mendukung kegiatan usaha lewat sejumlah fasilitas, di antaranya aktivitas promosi melalui Key Opinion Leader (KOL), operasional melalui akses fulfillment (stokis) di 15 kota, dan mitra logistik.

Saat ini, Berkahi telah memiliki 400 UMKM yang terhubung dengan 20.000 reseller (disebut sebagai Mitra Berkahi). Sejumlah mitra strategis Berkahi di antaranya adalah SiCepat, SiBeku, Komunitas TanahAbang, Pijar, dan Koperasi XL, IWAPI, Haistar, Belanjarutin.com, Shipdeo, dan Komunitas Pijar.

“Kami tengah memperkuat jaringan agar dapat mencapai target kami untuk menjangkau 20 negara. Secara bertahap, kami akan membawa pelaku usaha yang selama ini aktif di media sosial atau berjualan secara offline untuk beralih ke platform ini,” tambah Rowdy.

Sementara, Co-founder Turina Farouk menargetkan dapat menjangkau 20 negara, memiliki 1.000 UMKM dan 30.000 mitra di akhir 2022. Untuk itu, pihaknya akan memanfaatkan momentum seasonal terdekat, yakni Ramadan dan Idul Fitri, untuk mendongkrak target yang ingin dicapai tahun ini.

Social commerce merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Dengan pengalaman saya bekerja di industri telekomunikasi, ilmu-ilmu yang saya dapatkan dapat menjadi bekal untuk belajar dan membangun Berkahi ke depan,” tutur Turina.

Mitra Berkahi memiliki akses ke ribuan produk halal dari UMKM lokal maupun luar negeri, di mana pengemasan dan pengiriman dilakukan dari gudang ke konsumen langsung. Bagi pelaku UMKM, fasilitas gudang dan operasional tidak dikenakan biaya.

Pendanaan dari VC

Dihubungi DailySocial secara terpisah, Rowdy mengatakan Berkahi masih mengandalkan pendanaan dari angle investor untuk menjalankan bisnisnya. Kendati begitu, pihaknya juga akan mencari pendanaan tahap awal ke Venture Capital (VC).

Pendanaan ini akan digunakan untuk memperluas skala bisnis Berkahi dengan target jangkauan hingga ke 20 negara. Salah satunya adalah fasilitas pinjaman usaha lewat skema chanelling yang ditargetkan meluncur pada semester II 2022.

“Pendanaan awal Berkahi akan dialokasikan pada seed funding dari VC,” ujar Rowdy dalam pesan singkatnya, Rabu (30/3).

Menurut laporan DealStreetAsia, Berkahi mengincar pendanaan tahap awal sebesar $1 juta untuk memperkuat teknologi, menambah SDM, dan ekspansi bisnisnya.

Pasar social commerce

Mengacu data Bain & Co, total GMV e-commerce di Indonesia mencapai $47 miliar di 2020, di mana transaksi dari social commerce berkontribusi sebesar $12 miliar. Angka tersebut menunjukkan besarnya potensi pertumbuhan social commerce di masa depan.

Menurut laporan McKinsey, Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap perubahan perilaku belanja masyarakat dari offline ke online. Di samping itu, social commerce menawarkan kesempatan kerja dengan memberdayakan jaringan distribusi atau reseller. McKinsey memproyeksi bisnis social commerce mencapai $25 miliar di 2022. 

Faktor lainnya, masyarakat di pedesaan masih mengalami keterbatasan akses dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh secara online, dibandingkan mereka yang tinggal di perkotaan.

Tren social commerce berkembang juga sejalan dengan semakin banyak pelaku startup yang masuk ke vertikal ini untuk produk fashion, F&B, atau kebutuhan sehari-hari. Beberapa di antaranya adalah Evermos, Dagangan, dan RateS. Adapula Raena yang mengusung konsep reseller, tetapi khusus untuk produk kecantikan.

Kemudian, KitaBeli mengambil posisi berbeda dengan platform social commerce kebanyakan, yakni tidak membangun jaringan reseller. KitaBeli memampukan pengguna akhir memesan barang langsung lewat aplikasi dan memungkinkan mereka berpartisipasi dalam pembelian berkelompok untuk mendapatkan harga yang lebih efektif.

Startup Unicorn Akulaku Terus Perluas Cakupan Bisnis Finansial

Akulaku mengumumkan pendanaan $10 juta atau setara 143 miliar Rupiah dari Lend East. Investasi berbentuk debt funding tersebut akan dimanfaatkan Akulaku untuk meningkatkan portofolio kredit di pasar utama mereka, yakni Indonesia, Filipina, dan Thailand. Seperti diketahui, sejak didirikan tahun 2014 aplikasi Akulaku sendiri menawarkan produk paylater dan cashloan untuk para konsumennya.

Sebelumnya Akulaku baru menerima pendanaan ekuitas senilai  $100 juta atau lebih dari Rp1,4 triliun dari Siam Commercial Bank (SCB). Perolehan ini melanjutkan putaran investasi $125 juta di tahun sebelumnya yang dipimpin Silverhorn Group, yang sekaligus menjadi mitra pembiayaan (financing partner) sejak 2018. Secara total, saat ini valuasi Akulaku sudah menembus $1 miliar dan menjadikannya sebagai startup unicorn selanjutnya.

“Sejak tahun lalu Akulaku terus mengalami pertumbuhan dan dengan adanya pendanaan tambahan ini akan memungkinkan kami untuk terus memenuhi kebutuhan underbanked di seluruh Asia Tenggara,” ujar CEO Akulaku William Li.

Terus lakukan diversifikasi bisnis finansial

Pada 2021, Akulaku telah menyalurkan kredit lebih dari $ 2,2 miliar kepada lebih dari 10 juta pengguna. Selain layanan paylater, Akulaku menggabungkan platform wealth management, e-commerce, dan perbankan digital sehingga dapat meningkatkan total pendapatan perusahaan sebesar 120% menjadi $598 juta.

Untuk layanan bank digital, Akulaku memilih mengakuisisi 24,98% saham Bank Neo Commerce (mayoritas). Sejumlah rencana turut digencarkan dari kolaborasi tersebut, salah satunya lewat loan origination system, yakni sistem untuk memproses persetujuan kredit, khususnya untuk direct loan/online financing.

Selain itu, Akulaku juga mengembangkan serangkaian teknologi untuk meningkatkan kapabilitas perbankan memasuki era digital, beberapa produk yang disuguhkan di antaranya e-KYC, sistem verifikasi, sampai ke layanan pembayaran QR.

Sementara untuk layanan pinjaman, merekan mengandalkan platform fintech lending Asetku. Hingga saat ini total pinjaman yang sudah digulirkan mencapai 42 triliun Rupiah dengan total peminjam 13 ribu nasabah. Dan di platform wealth management, mereka mengembangkan OneAset, yakni aplikasi keuangan yang bisa dimanfaatkan pengguna untuk mengelola aset finansialnya, termasuk untuk berinvestasi ke reksa dana, surat berharga, hingga emas.

Kompetisi pasar

Di Indonesia, seluruh lini bisnis Akulaku harus bersaing dengan para pemain lain. Misalnya untuk payalter, saat ini ada Kredivo, Atome, hingga GopayLater yang menjadi penantang. Masing-masing juga memiliki dukungan besar dari induknya – termasuk untuk potensi menguasai pasar Asia Tenggara, seperti FinAccel, Advance Intelligence Group, dan GoTo.

Sementara di bank digital pun, saat ini persaingan juga terus diramaikan dengan inovasi produk dari pemain di ekosistem. Ada puluhan bank digital yang sudah mengudara dan siap meluncurkan debutnya. Dan untuk wealth management, puluhan aplikasi sejenis juga sudah dijajakan untuk investor ritel di Indonesia.

Terlepas dari diversifikasi produk finansial yang coba disuguhkan, pemain seperti Akulaku sebenarnya memiliki keunggulan strategis yang dapat dieksplorasi, yakni konektivitas di ekosistem digital yang dimiliki. Nyatanya pemain lain banyak bersinergi dengan pihak ketiga untuk menghadirkan kapabilitas tertentu – ambil contoh Bank Jago dengan Bibit/Stockbit untuk fitur investasi—yang mana hal ini bisa juga dilakukan oleh Neo Commerce dan OneAset; atau diaplikasikan untuk skenario model bisnis lain.

Application Information Will Show Up Here

Platform Pekerja Lepas “Sribu” Diakuisisi Perusahaan SDM Asal Jepang

Platform marketplace pekerja lepas Sribu mengumumkan telah diakuisisi oleh Mynavi Corporation Japan, perusahaan SDM dengan pengalaman lebih dari 40 tahun, dengan nominal dirahasiakan. Akuisisi ini menandai debut Mynavi dalam memperluas portofolio bisnisnya di Indonesia.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar hari ini (30/3), Founder dan CEO Sribu Ryan Gondokusumo menyampaikan aksi korporasi ini telah tuntas sejak awal 2022, menjadikan Mynavi sebagai pemegang saham terbesar di perusahaan. Ia pun memastikan bahwa tidak ada perubahan di sisi manajemen dan operasional Sribu.

Alasan perusahaan mau diakuisisi karena melihat kesamaan dari visi dan misi Mynavi yang kuat di bidang sumber daya manusia. Sribu dapat memanfaatkan seluruh keahlian dan pengalaman Mynavi untuk membantu pengembangan bisnisnya. “Mynavi mau masuk karena manajemen kami yang kuat, semakin fokus semakin tajam kami bisa tumbuh. Ini enggak akan berubah, makanya kepercayaan dan dukungan yang diberikan Mynavi kepada kami akan membuat kami naik ke level berikutnya,” ucapnya.

Pendapat Ryan turut didukung oleh perwakilan Mynavi Kazuyoshi Miyamoto yang turut hadir dalam kesempatan tersebut. Ia mengatakan, Sribu merupakan perusahaan dengan pengalaman yang mendalam di bidang pekerja lepas di pasar Indonesia, berkat dukungan tim yang solid. Dilihat dari segi potensinya, juga besar. Kondisi ini juga turut tercermin di Jepang yang memiliki potensi pekerja lepas muda.

“Melalui pengalaman, rekam jejak dan keahlian kami di bidang sumber daya manusia, kami berharap dapat turut mengembangkan sektor HR di Indonesia melalui penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan membangun infrastruktur yang menghadirkan berbagai alternatif cara bekerja bagi tenaga kerja di Indonesia.”

Ryan menambahkan, dukungan dari Mynavi akan menjadi fondasi yang kuat sebelum Sribu memastikan diri untuk ekspansi ke tingkat regional pada tiga sampai empat tahun mendatang. “Organisasi kami akan lebih teratur, tapi di saat yang bersama tetap fokus membuat kami sebagai perusahaan yang profitable. Langkah ini akan kami lakukan step by step, dengan tetap menjadikan Indonesia sebagai target utama. Harus kuatkan local market [sebelum ke regional].”

Perjalanan Sribu

Sribu sendiri sudah berdiri sejak 2011 dengan tim manajemen, Ryan Gondokusumo (CEO), Dermawan Lobion (CTO), Wei Leen (CMO), dan Sanjay Kischand (COO). Timnya sebanyak 42 orang. Hingga kini perusahaan telah menjaring pekerja lepas terkurasi sebanyak 26 ribu orang dan melayani lebih dari 15 ribu perusahaan, tidak hanya perusahaan lokal tapi juga multinasional. Para pekerja ini memiliki keahlian yang berkaitan dengan pembuatan konten, seperti desain, penulisan, pembuatan situs, fotografi, videografi, dan social media marketing.

Dalam rekam jejak perusahaan selama satu dekade, perusahaan telah menerima pendanaan tahap awal dari East Ventures pada 2012. Pada dua tahun kemudian, menerima pendanaan dari Asteria. Pada 2018, CrowdWorks turut menyuntik Sribu. Kedua investor tersebut berasal dari Jepang.

Dari segi inovasi produk, Sribu meluncurkan Sribulancer pada 2015. Sribulancer adalah situs yang mempertemukan bisnis dengan pekerja lepas untuk mengerjakan proyek dengan scope lebih singkat, seperti freelance programmer, website desainer, desainer grafis, voice over, pembuat video, penulis artikel, dan lainnya. Berikutnya, pada 2017 merilis Sribu Solution yang menjadikan Sribu sebagai agensi untuk perusahaan besar yang ingin masuk ke ranah digital dan membutuhkan solusi jasa pemasaran digital yang terintegrasi.

Di Indonesia, potensi pasar pekerja lepas ini begitu gurih. Jumlah pekerjanya ditaksir mencapai 4,14 juta orang. Mereka mampu mengeksekusi pekerjaan yang berkaitan dengan konten digital senilai Rp29 triliun. Adapun perusahaan yang membutuhkan jasa-jasa pekerja lepas ini diestimasi sebanyak 683 ribu, yang bergerak di berbagai skala usaha.

“Kami melihat perkembangan yang sangat baik di bidang freelancing ini. Pelaku usaha sudah semakin terbuka dengan konsep freelance. Begitu juga para tenaga kerja semakin melihat freelancing sebagai pekerjaan yang berprospek cerah. Di masa pandemi bahkan kami melihat bertumbuhnya jumlah calon freelancer yang mendaftar di Sribu. Artinya, pekerjaan freelance semakin dilirik dan dapat menjadi langkah awal dalam memupuk jiwa kewirausahaan,” pungkas Ryan.

Tujuh Tahun Social Bella, Ungkap Ambisi Garap Potensi “SHEconomy”

Social Bella, perusahaan beauty-tech pemilik brand Sociolla, mengungkapkan ambisi dan model bisnis baru guna memperluas jangkauan di luar pasar kecantikan dan perawatan diri dan fokus menggarap potensi “SHEconomy” di Indonesia secara maksimal. Salah satu inisiatif yang akan gencar dilakukan adalah pengembangan Lilla, brand untuk ibu dan anak.

SHEconomy yang dimaksud ini adalah istilah yang dibuat oleh Social Bella, merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang semakin berfokus pada kebutuhan kaum perempuan. Perusahaan mengestimasi segmen ini menyimpan potensi bisnis sebesar $59 miliar dengan proyeksi CAGR sebesar 9,4%.

“Kami secara terbuka memperkenalkan model bisnis baru kami, yaitu SHEcosystem yang akan membantu kami membangun dan menghubungkan beberapa ekosistem dari berbagai industri berbeda menjadi satu ekosistem yang terintegrasi. SHEcosystem akan menciptakan peluang bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi multi-dimensional,” ujar Co-founder & President Social Bella Christopher Madiam dalam konferensi pers virtual, Selasa (29/3).

Untuk mewujudkan SHEcosystem, perusahaan akan menyatukan semua lini bisnis, baik itu dari platform dan logistik, kemudian mengintegrasikannya ke dalam satu sistem. Langkah tersebut menandai ambisi perusahaan menggarap pasar di luar kecantikan dan perawatan diri di usianya yang telah memasuki tahun ke-7. Bentuk nyata yang nantinya dirasakan konsumen akhir dari penyatuan ekosistem ini adalah program loyalitas yang tersambung di Sociolla dan Lilla.

Dirinci lebih jauh, salah satu inisiatif yang akan dijalankan perusahaan secara agresif pada tahun ini adalah mengembangkan platform Lilla, brand ibu dan anak, yang sekaligus menandai langkah pertama perusahaan untuk ekspansi di luar pasar kecantikan dan perawatan diri. Platform ini resmi diperkenalkan pada pertengahan 2020, kini telah bertransformasi menjadi sebuah ekosistem yang menjawab segala kebutuhan ibu dan anak di era digital.

Aplikasi Lilla ditenagai dengan empat fitur, di antaranya Easy Shopping yang menghadirkan produk dan kategori yang menyesuaikan dengan tahap tumbuh kembang anak; Motherhood Tracker untuk memantau perjalanan kehamilan, mengamati setiap fase tumbuh kembang anak; Personalized Experience; dan Learn from the Expert berisi berbagai informasi tentang ibu dan anak yang sudah divalidasi oleh para ahli di bidangnya.

Chris menyebut, untuk menyempurnakan pengalaman para ibu yang menjadi pengguna Lilla nantinya akan tersedia toko offline yang bisa dikunjungi. Strategi tersebut sebelumnya telah sukses dibuktikan lewat Sociolla yang kini memiliki 35 gerai tersebar di seluruh Indonesia, sejak pertama kali hadir dengan dua gerai di 2019. Sepanjang dua tahun mendatang, jumlah gerai akan ditambah hingga tiga kali lipat. “Salah satu fokus kami adalah ingin menjadi ekosistem terlengkap untuk ibu dan anak. Ada rencana omnichannel agar kami bisa berikan yang terbaik.”

Selain Lilla, Social Bella telah bertransformasi dari awalnya platform e-commerce menjadi ekosistem terlengkap yang didukung dengan pilar bisnis lainnya. Yakni, aplikasi super SoCo, media kecantikan dan gaya hidup dengan layanan end-to-end O2O marketing Beauty Journal, dan Brand Development, sebuah layanan distributor produk kecantikan dan perawatan diri dari hulu ke hilir.

Perjalanan tujuh tahun

Co-founder & CEO Social Bella John Rasyid menuturkan, selama tujuh tahun banyak pembelajaran yang dipetik oleh tim, dari awalnya sekadar platform e-commerce menjadi ekosistem. Menurutnya satu per satu inovasi yang diambil perusahaan ini membentuk keyakinan bahwa Social Bella ingin menjadi perusahaan tech-beauty dengan ekosistem terlengkap karena belum ada yang melakukan hal tersebut di Indonesia.

“Gerai omnichannel dan semua keputusan dan kesalahan ini adalah momen-momen yang paling bagaimana merayakan kesuksesan kita,” kata John.

Chris melanjutkan, tantangan terbesar yang datang di perusahaan, justru terjadi saat pandemi. Dalam kondisi tersebut, perusahaan mampu membuktikan dapat memberikan pengalaman yang terbaik buat konsumennya lewat ekspansi besar-besaran gerai omnichannel di berbagai kota, hingga ekspansi ke Vietnam. Kini di negara tersebut, perusahaan telah memiliki sembilan gerai.

Di Vietnam, perusahaan pertama kali hadir pada Oktober 2020 lewat platform e-commerce. Sebulan kemudian disusul dengan kehadiran satu gerai omnichannel di Hanoi. Chris mengaku, pada awal kehadirannya disambut dengan antusias oleh masyarakat, namun harus berjuang ekstra karena di sana berlaku lockdown penuh. “Namun ketika lockdown di longgarkan toko kami mulai ramai. Kami berusaha membawa brand lokal ke sana yang secara organik ternyata dapat respons yang baik.”

Dalam menyesuaikan strategi di sana, perusahaan tidak ujug-ujug mengasumsikan bahwa selera konsumennya persis sama dengan orang Indonesia. Co-founder dan CMO Social Bella Chrisanti Indiana menuturkan, perusahaan tetap memegang pedoman pada consumer-centric sebagai filter awal dalam rangka mengerti profil konsumennya seperti apa.

“Kami berusaha untuk mengerti market-nya seperti apa karena ternyata di Vietnam bagian utara itu kondisinya dingin, beda dengan Indonesia yang mayoritas tropis. Kurang lebih consumer profile-nya agak mirip tapi seleranya yang berbeda, jadi tren produknya juga berbeda,” katanya. Sejauh ini, Social Bella baru memboyong satu brand lokal ke Vietnam, yakni Esqa.

Dalam diskusi, manajemen Social Bella juga turut memamerkan gudang terbaru sekaligus terbesar seluas 12 ribu meter persegi. Gudang tersebut berlokasi di Cikupa, Tangerang, yang berfungsi untuk mengakomodasi seluruh kebutuhan online dan offline di ekosistem Social Bella dan mampu memroses pesanan antara 40 ribu-45 ribu pesanan dalam sehari. Gudang tersebut sekaligus untuk mendukung 24 gudang multifungsi lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, mampu melayani lebih dari 55 ribu titik penjualan untuk bisnis Brand Development.

Saat ini, Sociolla memiliki lebih dari 150 brand kecantikan dan perawatan diri yang dipasarkan. Adapun jumlah pengguna meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan sebelum pandemi, secara signifikan lebih tinggi dari rata-rata 15% peningkatan pengguna e-commerce di Indonesia pada tahun lalu.

Dari segi retensi, diklaim juga jauh lebih baik dengan angka lebih dari 40% retensi dalam satu tahun, lonjakan lebih dari 23% dari AOV, serta lebih dari 109% untuk jumlah pembelian harian jika dibandingkan dengan pra-pandemi. Untuk jumlah karyawan, hampir menyentuh angka 2 ribu orang yang tersebar di Indonesia, Vietnam, dan India.

Application Information Will Show Up Here

iPrice Segera Perluas Cakupan Bisnis ke Pinjaman Online

Platform agregator e-commerce asal Malaysia, iPrice, berhasil meraih pendanaan tambahan senilai $5 juta atau setara 71,7 miliar Rupiah dari Itochu Corporation yang merupakan konglomerasi asal Jepang dan KDDI Open Innovation Fund III yang dioperasikan oleh Global Brain Corporation. Pendanaan ini akan digunakan untuk meningkatkan peran perusahaan dalam membantu pembeli mendapatkan penawaran terbaik seiring maraknya pertumbuhan pasar e-commerce di Asia Tenggara.

Bersamaan dengan pendanaan yang baru saja diterima, iPrice juga akan memperluas cakupan layanan ke pasar pinjaman online dengan membantu pengguna menemukan tidak hanya penawaran e-commerce terbaik, tetapi juga pinjaman digital terbaik untuk pembelian mereka.

Laporan Google memprediksi bahwa transaksi pinjaman digital akan mencapai $92 miliar pada tahun 2025 karena percepatan perkembangannya saat ini di Asia Tenggara, dan platform perbandingan harga ini akan berinovasi terus memenuhi permintaan konsumen.

Berbekal visi ini, iPrice sangat antusias untuk menyambut Itochu. Meskipun lebih dikenal sebagai trading company, Itochu memiliki pengalaman luas di bidang pinjaman dari anak perusahaannya, PT ITC Auto Multi Finance, yang mengoperasikan bisnis pinjaman di Indonesia dengan merek Payku.

“Kami sangat optimis bahwa kami dapat memaksimalkan pengalaman pinjaman digital dari investor kami, Itochu. Langkah pertama dalam kerja sama strategis kami adalah menambahkan anak perusahaan Itochu, Payku, sebagai mitra pinjaman utama di Indonesia. Pengalaman dibidang ini sangat penting karena kami berambisi untuk meningkatkan ekspansi menembus pasar pinjaman,” ujar CEO iPrice Paul Brown-Kenyon.

Terkait kemitraan baru dengan Payku, iPrice akan melakukan observasi jika pengguna membeli produk dengan harga termurah dan masih membayar tarif pinjaman yang tinggi. Sederhananya, pengguna bisa dikatakan belum mendapatkan penawaran terbaik. Maka dari itu, dengan adanya kerja sama ini, iPrice dan Itochu akan membantu meningkatnya pilihan pinjaman digital untuk konsumen di Asia Tenggara.

Fokus dan pertumbuhan bisnis

Laporan Facebook dan Bain &Company menyebutkan bahwa pada tahun 2021, jumlah platform yang digunakan oleh konsumen digital SEA terus meningkat menjadi rata-rata 7,9 situs web per pengguna, hampir 52% lebih banyak dari tahun 2020. Tren ini menunjukkan peningkatan kebutuhan akan katalog produk yang lebih dikurasi. Tujuannya adalah untuk membantu pengguna dan konsumen menghemat harga di antara banyaknya marketplace yang tersedia.

Dengan misi meningkatkan transparansi, kenyamanan, dan kepercayaan kepada pasar e-commerce di seluruh Asia Tenggara untuk membantu pembeli menghemat harga, iPrice juga meluncurkan layanan Price Watch pada pertengahan tahun 2021 lalu. Fitur ini memungkinkan pengguna di Indonesia untuk menerima notifikasi penurunan harga produk yang mereka inginkan langsung di aplikasi iPrice. Layanan ini akan terus diluncurkan di Singapura, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Thailand sepanjang 2022.

Dalam wawancara bersama tim DailySocial.id di tahun 2021 lalu, Paul juga mengungkapkan visi jangka panjang mereka untuk menjadi pendamping e-commerce untuk kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan rencana mereka saat itu, iPrice memiliki harapan untuk mencapai profitabilitas dalam waktu 2-3 tahun ke depan.

“Kami telah meraih profit di tahun 2018 dan akan kembali meraup profit di kemudian hari. Namun, pada saat ini, kami akan fokus melanjutkan investasi besar, seperti membantu pengguna mendapatkan pinjaman terbaik, untuk memperkuat proposisi nilai kami kepada pengguna kami dan menangkap peluang yang ditawarkan oleh ekonomi digital SEA.” jawab representatif iPrice ketika disinggung terkait profitabilitas.

Hingga saat ini, iPrice telah melayani lebih dari 125 juta pengguna unik di seluruh wilayah Asia Tenggara melalui platformnya. Perusahaan telah membandingkan dan membuat katalog yang dikurasi dari 7+ miliar penawaran e-commerce yang berasal dari lebih dari 8 juta penjual. iPrice sendiri telah bermitra dengan beberapa institusi terpercaya. Selain Payku, mitra pinjaman iPrice lainnya termasuk Home Credit (Indonesia), Julo (Indonesia), Cashalo (Filipina), Smartpay (Vietnam), dan ZIP (Singapura, diluncurkan pada H1 2022).

Application Information Will Show Up Here