Perkenalkan “Jumienten”, Sprint Asia Rambah Layanan Chatbot

Perusahaan teknologi Sprint Asia resmikan layanan pengembangan chatbot sebagai unit bisnis baru yang ditandai dengan perkenalan Jumienten ke hadapan publik. Layanan baru ini dinilai memiliki peluang yang besar karena implementasinya yang tergolong masih baru di Indonesia.

Dalam menyediakan layanan tersebut, Sprint Asia menggandeng Kata.ai sebagai mitra teknologi penyedia sistem NLP.

“Kami menyasar seluruh perusahaan dari berbagai industri sebagai klien. Ini akan dimulai dari klien existing kami, sekarang ada beberapa yang sudah mulai deploy seperti dari asuransi, bank, dan e-commerce,” terang CEO Sprint Asia Setyo Harsoyo, Kamis (5/4).

Menurutnya, kehadiran chatbot merupakan jawaban atas kebutuhan layanan pelanggan yang kian kompleks. Mengutip dari data eMarketer, komunikasi melalui telepon adalah kanal layanan pelanggan yang paling membuat frustrasi, sementara riset Flurry Analytics menyebutkan aplikasi messaging adalah platform yang paling banyak digunakan pengguna saat ini.

Ia melanjutkan, dengan mengimplementasi teknologi chatbot sebuah perusahaan akan mampu lebih terhubung dengan para konsumennya. Tak hanya itu, chatbot dapat digunakan perusahaan sebagai customer service yang online selama 24 jam tanpa henti. Hal tersebut diklaim dapat mengurangi biaya CS sampai 39%.

Ambil contoh, sebuah chatbot dapat menangani lebih dari 500 konsumen dalam satu waktu, sedangkan di kehidupan nyata seorang agen hanya bisa menangani satu konsumen saja di waktu yang sama.

“Alasan kami menggandeng Kata.ai karena perusahaan ini adalah spesialis di bidang NLP yang canggih, mampu memahami apa yang pelanggan katakan dengan menganalisis konteks dan arti setiap kata dalam Bahasa Indonesia.”

Setyo mengklaim yang membedakan antara chatbot dari Sprint Asia dengan lainnya terletak di sisi pelayanannya. Pihaknya berkomitmen penuh untuk memberikan pelayanan sebagaimana yang selama ini kerap dilakukan sejak Sprint Asia pertama kali berdiri di 18 tahun yang lalu.

Perusahaan, sambungnya, tidak sekadar mendesain chatbot sebagai media tanya jawab, tetapi telah diintegrasikan dengan dasbor analisis yang terus memantau bagaimana performa dan adaptasi layanan terhadap perilaku pengguna. Chatbot ini juga mudah diintegrasikan dengan sistem yang sudah ada, sehingga tidak perlu waktu lama untuk mengimplementasikannya.

Chatbot buatan Sprint Asia nantinya bakal hadir di berbagai platform messaging dengan Open API seperti LINE, Messenger, Telegram, BBM, dan lainnya.

Lengkapi kemampuan Jumienten

Kendati sasaran klien Sprint Asia dari chatbot ini adalah business to business, namun perusahaan tetap berkomitmen untuk mengembangkan kemampuan Jumienten. Secara bertahap, kemampuan Jumienten akan terus ditambah agar nantinya semakin pintar dan bisa menjelaskan semua produk dari Sprint Asia.

Jumienten akan dilengkapi dengan produk payment gateway, mobile payment, hingga e-wallet untuk permudah konsumen saat bertransaksi menggunakan Sprint Asia. Jumienten bisa diakses melalui LINE, Messenger, dan Telegram.

“Jumienten itu jadi bukti kami bahwa kami juga bisa buat chatbot, ini prosesnya cukup sebentar hanya sebulan. Akan kami tambahkan produk perusahaan dalam Jumienten secara bertahap.”

Sprint Asia merupakan perusahaan yang sudah berdiri sejak 2000 memberikan inovasi dan pelayanan untuk klien B2B melalui varian layanan seperti transaksi mobile, digital advertising, dan juga payment gateway (Bayarind) untuk integrasi pembayaran online kepada lebih dari ratusan merchant e-commerce dengan layanan seperti kartu kredit, kartu debit, dan akun virtual.

Barang Impor via Layanan E-Commerce Akan Kena Bea Masuk

Pemerintah berencana untuk menghilangkan de minimus value atau yang dikenal juga sebagai pembebasan nilai bea masuk atau nilai cukai untuk barang impor yang dibeli melalui transaksi e-commerce. Hal ini karena saat ini sudah ada PLB (Pusat Logistik Berikat) khusus e-commerce dan dalam rangka melindungi dari membanjirnya barang-barang impor yang masuk ke tanah Air.

“Hal itu [penghapusan de minimus value] sudah menjadi pertimbangan dalam rangka mengambil kebijakan PLB e-commerce. Kami antisipasi dengan bentuk regulasi, barang dari [layanan] e-commerce yang akan dimasukkan ke lokal, tidak bisa menikmati de minimus,” terang Direktur Jendral Bea dan Cukai Heru Pambudi.

Di aturan sebelumnya barang impor yang dibeli melalui layanan e-commerce mendapat de minimus value untuk nilai barang dengan batas maksimal $100. Dengan ada regulasi baru nantinya barang impor yang dibeli atau didatangkan melalui layanan e-commerce tidak lagi mendapat keringanan bea masuk.

Aturan mengenai PLB ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 28 Tahun 2018 tentang Logistik Berikat.

Aturan PLB tidak hanya membatasi tetapi juga memberikan ruang bagi industri e-commerce untuk tumbuh dan bersaing. PLB ini juga diharapkan bisa meningkatkan efisiensi proses logistik yang ada di Indonesia.

“Kami tidak ingin kehilangan kesempatan, kemudian barang-barang Indonesia yang diperdagangkan itu hub-nya atau sentra logistiknya di luar negeri, sementara konsumennya lebih banyak di Indonesia,” tutur Heru.

Grab Nonaktifkan Fitur GrabHitch Bike (UPDATED)

Grab mengeluarkan pengumuman resmi mengenai penghentian layanan GrabHitch Bike. Layanan tersebut dinonaktifkan mulai tanggal 20 April 2018. Mereka yang aktif menggunakan layanan tersebut diminta untuk segera menarik dana atau cash out karena pihak Grab menentukan batas akhir sampai tanggal 9 April 2018.

GrabHitch Bike adalah satu dari banyak pilihan jenis layanan transportasi yang disuguhkan Grab, memungkinkan pengguna untuk nebeng motor mereka yang ingin pergi ke tujuan yang sama. Dengan layanan nebeng ini diharapkan pengguna bisa mendapatkan tarif yang lebih murah.

Layanan nebeng yang ditawarkan Grab tidak hanya untuk sepeda motor saja, tetapi juga nebeng mobil. Dalam pengumuman Grab, yang dinonaktifkan hanya GrabHitch Bike, tidak untuk GrabHitch Car.

Sampai berita ini ditulis kami masih belum mendapatkan konfirmasi dari pihak Grab mengenai alasan penonaktifkan layanan GrabHitch Bike. Besar kemungkinan karena layanan ini sudah sepi peminat, GrabHitch Bike masih kalah pamor dengan Grab Bike maupun Grab Car.

GrabHitch adalah salah satu inovasi yang dibawa Grab ke Indonesia untuk membantu mereka bersaing di industri transportasi online tanah air. Pesaing mereka satu-satunya, Go-Jek, tidak memiliki bentuk layanan nebeng, sehingga itu bisa menjadi pembeda.

Update : Pihak Grab mengkonfirmasi bahwa layanan GrabHitch Bike dihentikan karena masuk dalam tahan evaluasi.

“Saat ini, layanan GrabHitch Bike tengah dalam tahap evaluasi guna menambahkan serangkaian pembaruan teknologi sehingga tidak dapat dinikmati oleh pengguna di Jakarta dan Bandung selama proses tersebut berlangsung. Layanan Grab lainnya tetap berfungsi seperti biasa. Kami berterima kasih atas dukungan dan kesetiaan para pengguna dan ingin kembali menekankan kepada para mitra pengemudi dan penumpang kami bahwa Grab berkomitmen untuk senantiasa berinovasi guna memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat Indonesia, serta menyediakan serangkaian produk dan layanan untuk membantu upaya pemerintah menyelesaikan berbagai permasalahan dan tantangan lokal,” kata Marketing Director Grab Indonesia Mediko Azwar.

Application Information Will Show Up Here

Perkembangan dan Potensi Teknologi VR dan AR di Indonesia

Perlahan tapi pasti, kehadiran teknologi Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), hingga Mixed Reality (MR) telah memberikan pilihan baru. Tidak hanya bagi industri game namun industri umum lainnya. Meskipun jumlah penggiat startup yang menyasar teknologi VR, AR dan MR masih tergolong sedikit, namun keberadaannya di Indonesia sudah makin familiar dan banyak digunakan masyarakat umum.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial menghadirkan Co-Founder Shinta VR Andes Rizky untuk mengupas tuntas apa itu teknologi VR dan AR dan bagaimana posisi Indonesia terhadap teknologi VR dan AR saat ini.

Perkembangan teknologi

Sejak tahun 1960-an, teknologi yang satu ini sudah dikembangkan segelintir orang. Meskipun belum bersifat komersil dan kebanyakan digunakan untuk pendidikan, konstruksi, dan kesehatan, teknologi VR sudah cukup familiar digunakan di Amerika Serikat. Pada tahun 1980-an teknologi VR ini kemudian kembali hadir dengan produk  yang lebih canggih, namun sekali lagi belum banyak digunakan masyarakat umum.

“Pada tahun 1987, melalui produk VR buatan visual artist Jaron Lanier, teknologi VR sudah mulai dikembangkan lagi. Namun karena harganya yang sangat mahal, hanya kalangan tertentu saja yang bisa menikmati teknologi ini,” kata Andes.

Meskipun belum memiliki tampilan yang seamless seperti saat ini, teknologi VR dan AR pada tahun 80-an, sudah mulai memanfaatkan sensor hingga gerakan tubuh untuk kemudian diimplementasikan ke dalam teknologi tersebut.

Berbeda dengan VR yang banyak digunakan kalangan umum, teknologi AR justru lebih banyak digunakan untuk keperluan militer hingga institusi privat. Kemampuannya yang bisa mencatat semua pergerakan juga banyak digunakan oleh konstruksi untuk menelaah takaran hingga kebutuhan yang tepat untuk membangun gedung atau rumah.

“Jika saat ini teknologi AR justru jauh lebih familiar digunakan untuk keperluan komersil, dulunya teknologi AR terbilang sangat eksklusif dan hanya kalangan tertentu yang bisa menggunakannya,” kata Andes.

Saat ini, berkat kepopuleran permainan Pokemon Go, teknologi AR tidak hanya banyak digunakan orang dewasa. Banyak anak-anak mulai familiar dengan teknologi ini. Tidak hanya untuk permainan, tetapi juga edukasi dan hiburan lainnya.

Perkembangan teknologi VR dan AR kemudian melahirkan teknologi baru yang merupakan peleburan dua teknologi tersebut, yaitu Mixed Reality (MR). Teknologi yang tergolong masih baru ini secara fleksibel mampu menghasilkan gerakan yang unik, berasal dari kecerdasan AR dan VR.

“Intinya adalah VR tergolong lebih personal dibandingkan dengan AR. VR sendiri saat ini lebih didominasi oleh game untuk hiburan masyarakat umum,” kata Andes.

Kesiapan Indonesia

Sedikitnya ada 13 perusahaan teknologi yang mengembangkan teknologi VR dan AR di Indonesia. Masing-masing dengan keunikan sendiri, menawarkan produk untuk korporasi, startup, dan layanan e-commerce.

Selain Shinta VR, perusahaan yang mengembangkan teknologi VR dan AR di Indonesia adalah Festivo, DCIMAJI, Magnate, ARnCO, Octagon Studio, Primetech, Avergo, Omni VR, Invoya, INVR, DAV, Varcode. Semua perusahaan tersebut saat ini tergabung dalam Indonesian VR/AR Association (INVRA).

“Bersama dengan Bekraf kita memiliki rencana untuk memberikan edukasi dan pelatihan kepada pengembang hingga masyarakat umum yang tertarik dengan teknologi VR dan AR,” kata Andes.

Meskipun masih didominasi negara Tiongkok dalam hal penyebaran produk dan pengembangan perangkat teknologi, namun Indonesia memiliki potensi yang besar untuk bisa mengembangkan teknologi VR dan AR. Dengan pilihan harga produk yang makin terjangkau, Andes optimis akan lebih banyak lagi pengembang VR dan AR di Indonesia.

“Shinta VR sendiri dalam waktu dekat akan meluncurkan permainan VR yang bisa digunakan oleh tim dalam jumlah yang banyak. Masih fokus kepada permainan, kita akan melanjutkan ke tahap scale up dengan permainan yang rencananya bakal dirilis bulan Juli mendatang,” tutup Andes.

Grab dan Go-Jek Diminta Jadi Perusahaan Transportasi

Polemik transportasi online di Indonesia tak kunjung selesai. Jika kali pertama booming di Indonesia mereka didemo pengemudi taksi konvensional, kini mereka didemo mitra pengemudi sendiri. Salah satu tuntutannya adalah untuk menaikkan tarif transportasi ojek online yang dinilai terlalu rendah (Rp.1.600 per km). Dari demo dan mediasi yang berlangsung beberapa waktu lalu, pemerintah meminta Grab dan Go-Jek terdaftar sebagai perusahaan transportasi.

Demo yang dilakukan para driver ojek online atau juga Aliansi Nasional Driver Online (Aliando) beberapa waktu lalu secara umum menuntut kenaikan tarif untuk meningkatkan kesejahteraan para pengemui ojek online. Di dalamnya ada beberapa poin seperti revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 dan juga meminta Go-Jek dan Grab untuk menjadi perusahaan transportasi. Harga dan kesejahteraan adalah dua poin yang disoroti.

Sekretaris Jendral Kemenhub Sugihardjo, seperti dikutip dari Kontan, menyampaikan bahwa ada dua alasan mengapa kajian perubahaan dari aplikator dan menjadi perusahaan transportasi dipilih sebagai jalan tengah permasalahan. Pertama ia menilai bahwa layanan on-demand tersebut merupakan pemberi upah para pengemudi.

Kedua, terkait dengan operasional, pengemudi tidak bisa menentukan penumpang yang dipilih atau dengan kata lain penumpang ditentukan oleh aplikator. Hal ini menegaskan Go-Jek dan Grab tidak lagi bisa disebut sebagai aplikator tetapi sebagai perusahaan transportasi berbasis aplikasi.

Secara terpisah terpisah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan keputusan untuk meminta Go-Jek dan Grab menjadi perusahaan transportasi diambil atas wewenang dua menteri terkait, yakni Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

“Tadi sudah bersepakat, aplikator itu dijadikan perusahaan jasa angkutan, di samping [juga sebagai] aplikator,” kata Moeldoko, Rabu 28 Maret silam seperti dikutip dari Tempo.

Uber baru saja menarik diri dan “menyerahkan” operasionalnya di Asia Tenggara di Grab. Kondisi ini secara langsung berdampak pada persaingan di Indonesia. Dengan persaingan mengerucut ke dua kubu, Grab dan Go-Jek, persaingan siapa yang bakal merebut kue terbesar bakal semakin ketat.

Saat ini persaingan keduanya tidak hanya soal transportasi perorangan, tetapi juga pengantaran makanan, pengantaran barang, dan jasa finansial.

Menanggapi hal ini Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menyampaikan bahwa penambahan status Grab menjadi perusahaan transportasi masih dalam tahap kajian. Persoalan tarif pun ditentukan secara internal.

“Pendapatan [pengemudi] tak hanya berdasarkan tarif, ada juga volume, yang menentukan adalah unsur penumpang, pengemudi, dan kompetisi,” terang Ridzki.

 

 

XWORK Rambah Penyewaan Ruang Non Formal

Marketplace pemesanan ruangan kerja XWORK merambah penyewaan ruangan non formal, seperti restoran, hotel, ruang kantor kosong, dan tempat wisata sebagai mitra perusahaan. Dari kemitraan tersebut ditargetkan sampai akhir tahun ini XWORK dapat mengakuisisi 2-3 ribu ruangan.

“Ada banyak ruangan idle yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk lahan bisnis. Dalam waktu dekat kami mau menyasar ruangan kosong seperti hotel dan restoran yang unik, bahkan ruang kosong di tempat kerja atau kampus untuk jadi mitra kami. Tujuannya agar semakin pilihan buat konsumen,” terang Co-Founder XWORK William Budiharjo, Rabu (4/4).

Dalam waktu bersamaan, XWORK mengumumkan mitra baru Jakarta Aquarium untuk memberikan pengalaman meeting atau gathering yang unik dengan suasana bawah laut dan ditemani ribuan satwa laut dan darat. Diklaim pengalaman tersebut belum tentu bisa disediakan di tempat lain. Jakarta Aquarium menyediakan tiga ruangan untuk meeting atau konferensi seminar dengan kapasitas hingga 100 orang.

“Kami terinspirasi dari pemain seperti XWORK di Jepang, SpaceMarket, yang menyediakan ruangan meeting di Disneyland. Dari sana kami ingin melakukan kerja sama serupa dengan tempat wisata di Indonesia, sampai akhirnya terpilih Jakarta Aquarium.”

Marketing Manager Jakarta Aquarium Dada Sabra menambahkan, “Kami ingin berikan pilihan business space yang beragam. XWORK itu unik dan mudah untuk booking ruangannya. Kami menyediakan dua pilihan waktu, untuk sewa pagi mulai dari jam 9-11. Kalau malam jam 6-9.”

XWORK sendiri berdiri sejak 2016, telah bekerja sama dengan lebih dari 1.200 ruangan di Indonesia dengan sekitar 300 mitra. Lokasinya mayoritas masih terpusat di Jabodetabek, namun sudah menyebar dari Bandung, Bali, Medan, dan Surabaya.

Per tahun lalu, XWORK telah membantu lebih dari 1.000 pemesanan dengan total durasi 5 ribu jam ruangan disewa. Pengguna XWORK adalah kalangan korporat dari berbagai skala jenis usaha, seperti e-commerce, konsultan, startup, UMKM, hingga perusahaan skala besar.

Perusahaan juga telah menerima pendanaan eksternal tahap awal yang dipimpin 500 Startups dengan nominal yang tidak disebutkan. Beberapa investor lainnya yang berpartisipasi adalah Fenox Venture Capital dan Ideosource.

Application Information Will Show Up Here

Pegadaian Kucurkan Investasi Rp1,2 Triliun untuk Jadi Perusahaan Fintech

Pegadaian mengalokasikan investasi sebesar Rp1,2 tiliun untuk mewujudkan ambisinya sebagai perusahaan fintech tahun ini. Sebagian besar anggaran tersebut akan diarahkan untuk pengembangan aplikasi Pegadaian Digital Services (PDS), menggaet 6 ribu agen, memperluas produk layanan, dan going global.

“Kami akan lari jarak jauh, oleh sebab itu capex yang kami sediakan tahun ini cukup besar karena kami akan going global. Akhirnya Pegadaian akan memiliki jasa gadai, fidusia, dan fintech,” terang Direktur Utama Pegadaian Sunarso dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial.

Untuk menjadi perusahaan fintech, lanjut Sunarso, transformasi perseroan saat ini sudah melalui tahap dreaming untuk menjadi perusahaan fintech, setelah melalui tahapan diagnosis. Seluruh proses dilakukan secara 4D.

Selanjutnya mereka masuk ke tahapan design dan delivery untuk mendukung rencana melantai di bursa pada 2020. Perseroan akan terus melakukan digitalisasi proses bisnis, meningkatkan kenyamanan layanan di outlet, revitalisasi gudang dan logistik, serta pelayanan prima kepada nasabah.

PDS menjadi senjata Pegadaian untuk masuk ke ranah fintech, melayani nasabah dan calon nasabah yang berasal dari kalangan millennial. Nasabah bisa mengajukan gadai atau pengajuan kredit mikro sesuai kebutuhan nasabah, mengakomodasi nasabah yang ingin membuka tabungan emas, membayar angsuran, dan melakukan top up tabungan emas.

Lewat aplikasi ini, ditargetkan Pegadaian dapat menjaring dua juta nasabah baru sampai akhir tahun ini. Diharapkan total nasabah perseroan dapat mencapai 11,5 juta orang.

Sektor gadai sendiri secara umum tidak memiliki banyak pemain resmi. Selain pegadaian, terdapat pula Pinjam yang fokus memberikan pelayanan gadai secarara online.

Buka kedai kopi

Agar dapat menjaring nasabah dari kalangan millennial, Sunarso menuturkan perseroan menganut strategi “jemput bola” dengan membuka kedai kopi “The Gade” yang berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta.

Di dalam kedai ini, nasabah dapat berkenalan dengan produk-produk Pegadaian yang selama ini belum banyak dikenal kalangan millennial. Nasabah dapat mengakses berbagai layanan Pegadaian seperti mengajukan modal usaha, gadai barang, dan sebagainya.

Ke depannya Pegadaian segera menambah gerai kedai kopi di lokasi lainnya di seluruh Indonesia. Kehadiran kedai kopi ini juga diharapkan bisa menjaring nasabah dari kaum laki-laki yang dinilai belum tergarap optimal oleh perseroan.

Tercatat 72% nasabah aktif Pegadaian adalah ibu-ibu, dengan sekitar 68% nasabah berusia di bawah 45 tahun.

“Sepertinya kaum laki-laki cenderung ada rasa gengsi untuk mengakses Pegadaian. Maka kami membuka kafe The Gade agar mereka tidak malu-malu lagi untuk ke Pegadaian.”

Tak hanya itu, Pegadaian juga meluncurkan produk gadai tanpa bunga untuk menjangkau pengguna millennial khususnya mahasiswa. Untuk produk ini, nasabah bisa mengajukan pinjaman maksimal Rp500 ribu dengan tenor dua bulan. Produk tersebut ditargetkan dapat menjaring satu juta nasabah

Application Information Will Show Up Here

.

Edi Taslim Disebut Kini Menjadi CEO Kaskus

Edi Taslim, veteran di industri media digital, menurut sumber terpercaya disebut kini telah memegang tampuk kepemimpinan tertinggi Kaskus. Naiknya Edi menjadi CEO bakal mendukung strategi-strategi Kaskus supaya tetap relevan dan berkembang di industri teknologi saat ini. Edi masuk ke Kaskus setelah perusahaan adtech yang didirikannya, ProPS, mendapat investasi strategis di bulan November lalu.

Dalam laporan terdahulu disebutkan Edi bergabung dengan GDP Venture untuk membantu pengembangan bisnis Kaskus. Laman LinkedIn Edi mencantumkan posisi COO Kaskus diemban sejak bulan Desember 2017.

Pasca hengkangnya Ken Dean Lawadinata di tahun 2016, secara de facto Kaskus tidak memiliki pemimpin perusahaan tetap dan secara interim kepemimpinan dipegang On Lee yang juga menjadi CTO (baik untuk Kaskus maupun GDP Venture). Kaskus mendapatkan pendanaan strategis dari GDP Venture di tahun 2011.

Kehadiran Edi diharapkan menjadi nahkoda baru yang memahami arah perusahaan digital seperti ini. Kaskus sebagai layanan komunitas berbasis UGC mendapatkan persaingan keras di dua area, media/media sosial dan iklan baris (classified ads). Selain forum, Kaskus juga memiliki produk messaging (Kaskus Chat), platform pembayaran (Kaspay), dan platform periklanan digital (Kaskus Ads).

Edi sendiri telah lama malang melintang di dunia industri media. Sebelum mendirikan ProPS, Edi berkiprah bersama Kompas Gramedia Group dengan posisi terakhir Digital Group Director.

Pembaruan Kemampuan, Chatbot Bank BRI “Sabrina” Bisa Diakses dengan Perintah Suara

Bank Rakyat Indonesia mengumumkan peningkatan kemampuan chatbot Sabrina yang kini bisa diakses dengan perintah suara dari sebelumnya hanya berbasis teks. Peningkatan teknologi ini diharapkan dapat mempercepat nasabah dalam mencari informasi seputar produk atau layanan BRI serta melakukan transaksi seperti memesan tiket bioskop.

“Yang ingin kami sampaikan hari ini adalah tentang bagaimana Sabrina akan ada juga via voice, jadi sangat mempercepat layanan pencarian informasi tentang BRI, info promonya, bantuan, dan lainnya,” ucap EVP Digital Center of Excellence BRI Kaspar Situmorang seperti dikutip dari DetikInet.

Sabrina bisa diakses lewat Facebook Messenger dan aplikasi Telegram. Cukup klik tombol “like” dan “follow” akun Bank BRI atau input @BANKBRI_ID_BOT. Ke depannya, BRI akan menghadirkan Sabrina di aplikasi WhatsApp yang rencananya direalisasikan pada akhir April 2018.

“Sekitar tanggal 20 Januari lalu kita sudah launching Sabrina di Messenger. Nanti April ini akan tersedia juga di platform lain yakni WhatsApp.”

Sabrina juga telah ditanamkan dalam situs korporat Bank BRI versi terbaru. Selain itu, melakukan sejumlah perubahan lainnya meliputi tampilan antar muka, aksesibilitas terhadap berbagai fitur, dan kontekstualitas konten. Dari pembaruan ini, diharapkan akan semakin memudahkan nasabah dalam mendapatkan layanan perseroan.

“Dengan adanya integrasi dengan Sabrina di situs korporat, nasabah dapat langsung berinteraksi secara aktif dan mendapatkan pelayanan secara langsung layaknya datang ke kantor Bank BRI,” ucap Corporate Secretary Bank BRI Bambang Tribaroto secara terpisah dalam keterangan resminya.

Dalam menghadirkan Sabrina, Bank BRI menggandeng perusahaan pengembang AI Kata.ai sebagai mitra teknologinya.

Rilis Indonesia Mall

Tampilan muka Indonesia Mall di Blanja / Bank BRI
Tampilan muka Indonesia Mall di Blanja / Bank BRI

Selain merilis pembaruan kemampuan Sabrina, Bank BRI juga menghadirkan platform e-commerce Indonesia Mall hasil kerja sama antara perusahaan dengan perusahaan e-commerce, seperti Blanja, Bukalapak, dan Lazada. Platform ini menjadi senjata Bank BRI dalam mendorong UKM untuk go online, sekaligus meningkatkan jangkauan penjualan produk UKM binaan perseroan.

Lewat Indonesia Mall, mitra binaan cukup mengunggah produk mereka sekali dan produk akan terpajang secara otomatis di situs e-commerce. Tercatat saat ini sudah ada 150 mitra UKM terpilih yang menampilkan produknya di sana.

“Kami akan terus menjalin lebih banyak kerja sama dengan para pemain e-commerce besar agar semakin meningkatkan exposure produk UKM lokal binaan BRI,” pungkas Bambang.

Tiga Startup Fintech Tunjukkan Komitmen Atasi Masalah Pendidikan

Tiga startup fintech yang bergerak di lending, Dana Cita, Dana Didik, dan KoinWorks, menunjukkan komitmennya untuk terus mengembangkan solusi pembiayaan pendidikan bagi mahasiswa dengan terus menambah kemitraan dengan institusi pendidikan tinggi. Lewat kemitraan, diharapkan bakal semakin banyak mahasiswa yang terbantu dan bisa merintis karier lebih baik ke depannya.

Komitmen tersebut kian agresif ditunjukkan pasca Presiden Joko Widodo meminta perbankan mendorong penyaluran kredit pendidikan seperti di Amerika Serikat yang dilontarkan pada pertengahan Maret lalu saat rapat terbatas.

Tantangan yang diberikan Presiden tersebut dijawab sejumlah perbankan, seperti BNI dan BRI dengan meluncurkan kredit pendidikan atau student loan. BRI menghadirkan Briguna Flexi Pendidikan ditujukan bagi mahasiswa S2 dan S3 dalam negeri yang sudah memiliki penghasilan tetap.

Sementara BNI memanfaatkan kemitraan dengan ITS untuk program BNI Fleksi-Pendidikan dengan menyasar mahasiswa dan dosen dari S1 hingga S3 di lembaga pendidikan dalam dan luar negeri.

Yang berbeda dengan institusi perbankan tersebut, ketiga fintech ini bermain ke sektor pendidikan yang lebih “berani” karena masuk ke ranah pembiayaan mahasiswa untuk jenjang diploma, sampai ke sarjana S1. Jenjang tersebut notabene penuh risiko karena mahasiswa belum lulus kuliah dan belum memiliki karir yang jelas, sehingga kurang diminati oleh perbankan.

“Total APBN untuk sektor pemerintah adalah 20%, namun keseluruhannya masih menyasar untuk pendidikan dasar dan menengah. Bagaimana dengan pendidikan tingginya? Itu butuh peran dari swasta, maka dari itu fintech hadir untuk bantu menyelesaikan masalah tersebut,” ucap Co-Founder Dana Cita Susli Lie, Selasa (3/4).

Susli menuturkan, Dana Cipta hadir pada awal tahun lalu dengan fokus pinjaman pembiayaan pendidikan untuk pelajar yang masih duduk di bangku perguruan tinggi dan vokasi di Indonesia. Saat ini perusahaan telah memfasilitasi pembiayaan untuk 50 mahasiswa yang berasal dari 27 PTN dan PTS, termasuk di antaranya UI, ITB, IPB, PNJ, dan STMIK.

Dana Cipta memberikan kesempatan bagi siswa untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan hingga 100% dari biaya kuliah, tenornya maksimal enam tahun dan bunga yang bervariasi tergantung profil pemohon dan program studinya.

Mahasiswa dapat mengajukan permohonan melalui situs, apabila disetujui biaya akan dicairkan langsung ke lembaga pendidikan terkait sesuai dengan jadwal pembayaran. Untuk mengatasi kredit macet, perusahaan mewajibkan setiap pemohon mengajukan permohonan bersama dengan orang tua atau saudara yang memenuhi syarat sebagai peminjam pendukung dan penanggung jawab.

“Sebanyak 12% dari total peminjam kami adalah generasi pertama yang ingin meraih gelar sarjana. 33% peminjam memiliki orang tua dengan pekerjaan sebagai wiraswasta, yang punya cashflow tapi tidak menentu. Dari sini terlihat bahwa duduk di bangku perguruan tinggi punya potensi untuk meraih karier pekerjaan yang lebih baik meski belum terukur waktunya itu kapan terwujud,” kata Suslie.

Sedikit mirip dengan Dana Cita, Dana Didik memanfaatkan dana pinjaman dengan sistem crowdfunding. Perusahaan memberikan pinjaman dengan tenor maksimal empat tahun dengan model pembagian pendapatan sehingga tidak membebani siswa. Co-Founder Dana Didik Dipo Satria Ramli mengatakan perusahaan memiliki tiga produk pembiayaan untuk program pendidikan di bidang kesehatan, teknologi, dan pinjaman pendidikan umum.

Untuk pengembalian dana, apabila sebelum masa kelulusan dan/atau belum berpenghasilan mahasiswa sudah mampu mengembalikan pinjaman, mereka dapat keringanan bunga 0%. Sementara untuk yang sudah berpenghasilan menganut skema bagi hasil dengan kisaran antara 10%-30% tergantung besaran pendapatan mahasiswa nantinya.

“Secara personal, banyak investor yang tertarik berinvestasi di sektor pendidikan karena mereka ingin bantu anak-anak yang ingin serius sekolah. Secara bunga memang tinggi, namun mereka ada kepuasan di sana. Dari mahasiswa yang sudah melunasi cicilan di kami, penghasilan mereka tercatat naik 3x lipat dari besaran pinjaman,” ucap Dipo.

Minta insentif

Kendati secara bisnis ketiga startup fintech ini cukup berani untuk terjun ke ranah yang masih enggan dimasuki perbankan, mereka meminta bantuan insentif kepada pemerintah untuk dorong geliat pembiayaan di sektor pendidikan jadi lebih bergairah.

CEO KoinWorks Benedicto Haryono menuturkan insentif tersebut bisa berupa peringanan pajak untuk para investor, bantuan pendanaan agar tenor bisa lebih panjang, dan lain sebagainya.

“Tentunya kalau ada insentif akan lebih menyenangkan buat investor dan perusahaan, kalau ada peringanan PPh tentunya akan lebih senang,” tuturnya.

KoinWorks memiliki dua produk lending yang menyasar target konsumen berbeda, untuk pengusaha UKM dan pendidikan (Koin Pintar). Secara bertahap, perusahaan mengembangkan Koin Pintar dengan sasaran awal pelajar untuk program kursus singkat (non formal), kemudian mengembangkan ke tahap lebih lanjut ke sektor formal perguruan tinggi.

Sejak pertama kali berdiri di 2015, perusahaan telah membiayai pendidikan untuk 100 mahasiswa dengan komposisi 30% di antaranya untuk pendidikan formal dan sisanya untuk pendidikan non formal.

“Kami harapkan komposisinya nanti bisa berimbang 50:50, untuk itu kami akan perbanyak kemitraan dengan perguruan tinggi.”

Dalam memberikan penyaluran ke sektor pendidikan, selama ini KoinWorks mengandalkan sumber dana dari institusi luar negeri, seperti dari Jepang dan Hong Kong, sebagai investor.