BRIK Dikabarkan Dapat Pendanaan Awal 59 Miliar Rupiah Dipimpin AC Ventures [UPDATED]

Startup pengembang platform B2B commerce (B2B Raw Materials Aggregator) untuk bahan bangunan “BRIK” dikabarkan mendapatkan pendanaan awal dari sejumlah investor. BRIK memanfaatkan teknologi untuk memberikan pengalaman pendanaan dan distribusi yang lebih efisien di ekosistem konstruksi. Mereka melayani pelanggan institusional dan gerai ritel.

Menurut sumber yang dekat dengak kesepakatan ini, pendanaan awal yang bernilai hampir $4 juta (atau 59,5 miliar Rupiah) ini dipimpin AC Ventures, dengan keterlibatan Accel, Infra.Market, Alto Partners, BizOnGo, dan sejumlah angel investor — termasuk eksekutif YummyCorp, KoinWorks, Bank Aladin Syariah, Bilah Metal, Goldman Sachs, LVMH Catterton, dan Kementerian Dikbudristek.

BRIK didirikan oleh 4 orang founder, dua di antaranya mantan VP SEA Invesment di Jardines dan salah satu co-founder di iDexpress.

Produk yang dijajakan BRIK cukup beragam, mulai dari pasir, semen, baja, beton, sampai bahan kimia yang biasa digunakan dalam konstruksi. Solusi yang ditawarkan berfokus produk konstruksi volume tinggi di bawah mereknya sendiri. Dengan demikian mereka ingin memecahkan masalah seperti kurangnya transparansi harga, kualitas yang tidak dapat diandalkan, basis vendor yang terfragmentasi, dan logistik yang tidak efisien.

Model bisnis

Mengutip dari informasi di situs resminya, BRIK mengembangkan produk konstruksi sendiri dengan kualitas dan karakteristik yang sesuai dengan riset yang telah dilakukan tim. Keunggulan kompetitifnya antara lain terletak pada kemampuan mereka dalam memperpendek rantai pasok/supply chain. Perusahaan juga menyediakan sistem cloud manufacturing dan retail as a services.

Lewat mekanisme cloud manufacturing, perusahaan merangkul rekanan pemasok bahan bangunan untuk membantu perusahaan memproduksi barang — BRIK memberikan jaminan penjualan lewat kanal yang dimiliki. Sementara mekanisme retail as a services memungkinkan siapa saja untuk bergabung menjadi agen BRIK.

Visi BRIK adalah untuk mempersingkat rantai distribusi bahan konstruksi melalui platform pengadaan berteknologi tinggi, menghubungkan pembeli dengan produsen bahan konstruksi.

Sebelumnya platform GoCement juga telah hadir tawarkan pengadaan bahan bangunan, dengan model bisnis yang berbeda — lebih ke B2B marketplace. Oktober 2021 lalu, mereka mengumumkan pendanaan awal dari Arise (fund kolaborasi MDI Ventures dan Finch Capital), MDI Ventures, Beenext, dan Ideosource. Perusahaan akan memfokuskan dana segar untuk mengakselerasi pengembangan produk pasar B2B dengan memasukkan distributor besar ke dalam platform.

Menurut pemaparan yang disampaikan Kementerian Perdagangan RI, ukuran pasar B2B commerce di Indonesia akan mencapai $21,3 miliar pada 2023 mendatang. Sementara itu, menurut laporan Mordor Intelligence, ukuran pasar konstruksi bangunan di Indonesia telah mencapai $10,97 miliar pada 2022 ini. Ini adalah peluang yang cukup besar untuk dieksplorasi oleh para pegiat startup.

Updated: Kami memperbarui informasi terkait nominal dan daftar investor

Vida Confirms Series A Funding, Focusing to Ampllify System Security and Technology

Digital signature provider VIDA has confirmed its series A funding. In the release, there was no mention of the company’s fresh funding. However, this news confirms DailySocial.id’s previous reports regarding the funding.

From our sources, VIDA managed to raise fresh funds of $50.5 million or around 691 billion Rupiah. However, his party refused to comment on the nominal funding obtained.

The investors announced were actually less than what we’ve been informed. In an official statement, investors participating are include Alpha JWC Ventures, DST Global Ventures, Breyer Capital, Future Shape, AC Ventures, and Endeavor Catalyst.

Several investors will also hold advisory positions, including Jim Breyer (Breyer Capital) and Tony Fadell (Principal Future Shape LLC, known as the inventor of the iPod and iPhone and Founder & CEO of Nest Labs).

VIDA will use this new capital to deepen its expertise in information security and machine learning. Moreover, continuing the educational process to encourage  public trust in digital interaction and transaction.

“We will use this funding to continue investing in products and talent to provide a seamless verification and authentication experience for all users. In addition, we will continue to encourage acceleration of the company’s vision to deepen our position in various strategic industrial sectors, such as financial services, e-commerce, and also health services,” VIDA’s Founder & Group CEO, Niki Luhur said, yesterday (6/6).

VIDA’s Co-founder CEO Sati Rasuanto also said that this funding marks a new phase for the company’s growth, with the presence of experienced partners in the world-class digital industry. “Not only providing ammunition for VIDA to continue to grow but also strategic direction and support for VIDA’s business can push our position wider in the digital signature industry,” Sati said.

The investor’s representative also provide a statement. One of them is Jim Breyer of Breyer Capital. He said, “VIDA’s founders have demonstrated a solid understanding of the complexities and opportunities of the ever-growing digital signature market, and VIDA has deepened its expertise in artificial intelligence and cybersecurity to be able to produce reliable authentication and verification products. We believe VIDA will continue to disrupt new frontiers in Indonesia and globally, and provide world-class digital signature services and products to the customers.”

Founded in 2018 by Niki Luhur, Sati Rasuanto, and Gajendran Kandasamy, VIDA provides secure digital signature services for businesses and the public. Armed with a full license as an Electronic Certificate Operator (PSrE) under the Ministry of Communication and Informatics and various other global accreditations, VIDA provides world-class services such as certified electronic signatures, and online identity verification services (e-KYC), and other authentication services.

VIDA products have been used by millions of Indonesians through various popular digital services from various industries such as financial services, e-commerce, transportation, telecommunications, and health. Utilizing deep expertise in terms of information security, VIDA plays an important role in assisting business partners in reducing fraud, increasing trust in online transactions, and providing a secure digital environment for users to do business.

In order to make VIDA a world-class cybersecurity company, the management also announced the appointment of Hamilton-Turner as CTO. Turner is an Assistant Professor of Computer Science at Vanderbilt University, USA, with 12 years of experience in cybersecurity, authentication, distributed systems, cryptography, and optimization algorithms.

The development of digital signature industry

VIDA, Privy, TekenAja, and Digisign are currently capturing the huge market potential of digital/electronic signature products. According to Fortune Business Insight, the market size for digital signature services has reached $3 billion by 2021. This year it is expected to increase to $4.05 billion and grow to $35.03 billion by 2029 at a CAGR of 36.1%.

Meanwhile, according to DocuSign’s analysis, the total addressable market in Indonesia is still very wide open. The potential could be as high as $25 trillion. This is due to the use cases are getting wider. Moreover, crucial sectors such as banking have also adopted this service to support its online banking services. In addition, related services have also received attention from regulators, for example, digital signature products penetration in the PSrE at Kominfo and e-KYC’s implementation in the OJK regulatory sandbox.

The innovations carried out by TekenAja, for example, are developing E-Stamp integrated with API and to add up for business transactions process. Both are complementing the existing legal digital signature solutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

VIDA Konfirmasi Pendanaan Seri A, Fokus Perkuat Teknologi dan Keamanan Sistem

Startup pengembang layanan tanda tangan digital VIDA mengumumkan perolehan pendanaan seri A. Dalam rilis, tidak disebutkan dana segar yang direngkuh perusahaan. Namun demikian, kabar ini mengonfirmasi pemberitaan DailySocial.id sebelumnya mengenai pendanaan tersebut.

Dari informasi yang kami dapat, VIDA berhasil mengumpulkan dana segar $50,5 juta atau sekitar 691 miliar Rupiah. Kendati demikian pihaknya enggan memberikan komentar terkait nominal perolehan pendanaan.

Nama-nama investor yang diumumkan pun lebih sedikit dari informasi yang kami terima. Dalam keterangan resmi, investor yang berpartisipasi dalam putaran ini di antaranya Alpha JWC Ventures, DST Global Ventures, Breyer Capital, Future Shape, AC Ventures, dan Endeavor Catalyst.

Pasca-pendanaan, beberapa investor akan memegang posisi sebagai advisor, di antaranya Jim Breyer (Breyer Capital) dan Tony Fadell (Principal Future Shape LLC, dikenal sebagai penemu iPod dan iPhone dan Founder & CEO Nest Labs).

VIDA akan memanfaatkan dana segar ini untuk memperdalam keahliannya di bidang keamanan informasi dan machine learning. Serta, melanjutkan proses edukasi untuk mendorong peningkatan kepercayaan masyarakat dalam berinteraksi dan bertransaksi secara digital.

“Kami akan menggunakan hasil pendanaan ini untuk terus berinvestasi pada produk dan talenta demi hadirkan pengalaman verifikasi dan autentikasi yang seamless bagi para seluruh pengguna. Tak hanya itu, kami akan terus mendorong akselerasi dari visi perusahaan untuk perdalam posisi kami di berbagai sektor industri strategis, seperti jasa keuangan, e-commerce, dan juga layanan kesehatan,” terang Founder & Group CEO VIDA Niki Luhur, kemarin (6/6).

Co-founder CEO VIDA Sati Rasuanto menambahkan, pendanaan ini menandai fase pertumbuhan baru bagi perusahaan, dengan kehadiran mitra yang berpengalaman di industri digital kelas dunia. “Tidak hanya menyediakan amunisi bagi VIDA terus tumbuh, tetapi juga arahan dan dukungan strategi bagi bisnis VIDA dapat mendorong posisi kami lebih luas di industri identitas digital,” ujar Sati.

Perwakilan dari investor juga turut memberikan pernyataannya. Salah satunya Jim Breyer dari Breyer Capital. Dia bilang, “Para founders di VIDA telah menunjukkan pemahaman yang kuat mengenai kompleksitas serta peluang yang ada dalam pasar identitas digital yang terus tumbuh, dan VIDA telah memperdalam keahlian mereka dalam artificial intelligence dan keamanan siber untuk dapat menghasilkan produk verifikasi dan autentikasi yang meyakinkan. Kami percaya VIDA akan terus mendisrupsi batas-batas baru di Indonesia dan global, serta menyediakan layanan dan produk identitas digital kelas dunia bagi para pelanggan mereka.”

Didirikan pada tahun 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy, VIDA menyediakan layanan identitas digital yang aman bagi bisnis dan masyarakat. Berbekal lisensi penuh sebagai Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE) berinduk di bawah Kementerian Kominfo serta beragam akreditasi global lainnya, VIDA hadirkan layanan kelas dunia seperti tanda tangan elektronik tersertifikasi, layanan verifikasi identitas online (e-KYC), dan layanan autentikasi lainnya.

Produk VIDA telah digunakan oleh jutaan masyarakat Indonesia melalui berbagai layanan populer digital dari berbagai industri seperti jasa keuangan, e-commerce, transportasi, telekomunikasi dan juga kesehatan. Memanfaatkan keahlian yang mendalam dari sisi keamanan informasi, VIDA berperan penting membantu para partner bisnis dalam mengurangi tindak penipuan (fraud), meningkatkan rasa percaya (trust) dalam transaksi online, hingga menyediakan digital environment yang aman untuk para penggunanya melakukan bisnis.

Dalam rangka menjadikan VIDA sebagai perusahaan yang memiliki keamanan siber kelas dunia, manajemen sekaligus mengumumkan penunjukan Hamilton Turner sebagai CTO. Turner merupakan Asisten Profesor Ilmu Komputer di Universitas Vanderbilt, AS, dengan pengalaman 12 tahun di dunia keamanan siber, autentikasi, sistem terdistribusi, kriptografi, dan algoritma optimasi.

Perkembangan startup layanan tanda tangan digital

VIDA, Privy, TekenAja, hingga Digisign tengah merebutkan potensi pasar yang besar dari produk tanda tangan digital/elektronik. Menurut Fortune Business Insight, ukuran pasar untuk layanan tanda tangan digital telah mencapai $3 miliar pada 2021. Tahun ini diperkirakan akan meningkat menjadi $4,05 miliar dan bertumbuh hingga $35,03 miliar pada 2029 dengan CAGR 36,1%.

Sementara di Indonesia, menurut analisis DocuSign, total addressable market masih terbuka sangat luas. Potensinya bisa mencapai $25 triliun. Hal ini dikarenakan use case penggunaan yang semakin luas. Terlebih sektor krusial seperti perbankan juga sudah mengadopsi untuk mendukung layanan perbankan online-nya. Selain itu, layanan terkait juga sudah mendapatkan perhatian dari regulator, misalnya untuk produk tanda tangan digital masuk ke PSrE di Kominfo dan e-KYC masuk di regulatory sandbox OJK.

Inovasi yang dilakukan TekenAja misalnya, yang mengembangkan E-Materai yang terintegrasi dengan API dan E-Stamp untuk melengkapi kebutuhan dalam melakukan transaksi bisnis. Keduanya melengkapi solusi tanda tangan digital yang legal yang sudah hadir.

Application Information Will Show Up Here

Astro Umumkan Pendanaan Seri B Senilai 872 Miliar Rupiah

Startup quick commerce Astro hari ini (30/5) mengumumkan perolehan pendanaan seri B senilai $60 juta atau setara dengan 872 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Accel, Citius, dan Tiger Global dengan partisipasi investor sebelumnya seperti AC Ventures, Global Founders Capital, Lightspeed, dan Sequoia Capital India.

Dengan dana segar yang didapat, sejak berdiri September 2021, Astro secara total telah membukukan pendanaan ekuitas $90 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah. Sebelumnya mereka juga telah membukukan pendanaan seri A yang diumumkan awal Februari 2022 lalu senilai $27 juta atau setara 387 miliar Rupiah dipimpin Accel dan Sequoia Capital India.

Turut disampaikan, dana yang baru terkumpul akan difokuskan untuk akuisisi pelanggan dan memperkaya cakupan produk. Perekrutan tim juga akan menjadi fokus di tahun 2022 ini.

Catatkan pertumbuhan positif

Astro baru mengakomodasi pengguna di seputar Jabodetabek. Saat ini mereka telah beroperasi di 50 titik yang tersebar di wilayah tersebut. Titik kehadiran (dark store) ini menjadi penting, pasalnya memungkinkan Astro untuk bisa melakukan pemenuhan pesanan dengan durasi maksimal 15 menit.

Sepanjang tahun 2022 ini, Astro mencatatkan pertumbuhan 10x lipat dengan mengklaim efisiensi pengiriman yang lebih tinggi ke pelanggan. Disampaikan juga, aplikasi Astro telah diunduh hampir 1 juta kali dalam enam bulan pertama. Jajaran tim juga meningkat pesat, kini memiliki 200 staf yang bekerja secara WFA (Work From Anywhere).

“Misi Astro adalah membuat hidup orang lebih sederhana dan lebih mudah. Astronauts (sebutan untuk tim Astro) kami terus melayani pelanggan saat mereka sangat membutuhkan kami, terutama selama lonjakan Omicron Covid-19 terakhir, di mana Indonesia mengalami jumlah kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Co-Founder & CEO Astro Vincent Tjendra.

Astro menawarkan lebih dari 1.500 SKU produk dengan harga bersaing melalui aplikasi. Untuk meningkatkan retensi pengguna, sejumlah strategi dibangun. Termasuk dengan menyajikan UX yang mempertimbangkan aksesibilitas bagi pelanggan di semua kelompok usia.

Masuk ke bisnis private-label

Astro juga mulai berkolaborasi dengan pebisnis lokal untuk meluncurkan produk private-label. Produk awal mereka adalah roti dan kopi — menjadi upaya awal Astro untuk berkolaborasi dengan lebih banyak mitra untuk menyediakan pilihan produk yang lebih banyak. Sebelumnya untuk memenuhi permintaan di bualan Ramadan, Astro juga bekerja sama dengan petani hidroponik untuk menyediakan produk buah dan sayuran segar.

Astro tidak sendirian menggarap segmen pasar ini. Sejumlah pemain lain juga berusaha menyajikan layanan serupa, termasuk AlloFresh yang didirikan CT Corp dan Bukalapak, SayurKilat dari SayurBox, Tokopedia Now, Bananas, dan lain sebagainya.

Dari data yang disampaikan, potensi layanan pemenuhan bahan makanan segar masih sangat besar di Indonesia. Penetrasi digitalisasi layanan di sektor tersebut masih sekitar 0,4%, dibandingkan dengan e-commerce yang telah mencapai 10%. Pandemi turut mendongkrak adopsi online grocery, diproyeksikan sektor tersebut akan bernilai $6 miliar pada 2025 mendatang.

Application Information Will Show Up Here

Platform Pencarian Kerja “Atma” Segera Debut, Kantongi Pendanaan Awal 73 Miliar Rupiah

Platform pencarian kerja Atma mengantongi pendanaan tahap awal (pre-seed) sebesar $5 juta atau sekitar 73 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh AC Ventures serta didukung oleh Global Founders Capital (GFC).

Selain itu, sejumlah pendiri turut berpartisipasi sebagai angel investor strategis, di antaranya dari GoTo Group, Advance Intelligence Group, Ula, Lummo, Kopi Kenangan, Sampoerna Strategic, MMS Group, dan Xiaomi.

Sebagai informasi, Atma didirikan di 2022 oleh sejumlah eks petinggi perusahaan teknologi, yaitu Edy Tan (eks Chief of Driver Gojek), Chris Gunawan (eks Co-founder RestoDepot dan Product Executive Vara), Susan Suhargo (eks Strategic Initiatives Tencent dan Regional Marketing Gojek), Tim Young (eks investor Atlas Asset Management dan Fixed Income Trader HSBC), dan Monica Oudang (Ketua YABB-GoTo Foundation dan eks CHRO Gojek yang menjabat sebagai penasihat).

Atma merupakan platform pencarian kerja berbasis komunitas yang membidik para pencari kerja berpenghasilan menengah ke bawah (kurang dari Rp10 juta per bulan), terutama segmen usia produktif di Indonesia. Atma berupaya membangun ekosistem secara end-to-end yang mencakup pasar kerja, lembaga peningkatan keterampilan, dan sistem dukungan berbasis komunitas.

Saat ini layanan Atma masih belum dirilis ke publik. Kendati di situs resminya mereka sudah menjaring calon pengguna tahap awalnya.

Terinspirasi pengalaman bekerja bersama driver

Co-founder & CEO Atma Edy Tan mengaku terinspirasi mendirikan startup baru ini dari pengalamannya bekerja sebagai eksekutif Gojek yang menangani komunitas driver. Ia melihat dampak sosial dari layanan Gojek yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan di sektor informal ke 2,5 juta driver di Indonesia.

Dengan misi serupa, Edy ingin menjangkau populasi yang lebih luas dan mencakup sektor formal. Untuk itu, pendanaan ini akan digunakan untuk mendukung pengembangan kualitas produk dan layanan, menjalankan strategi go-to-market, dan memperluas jumlah tim mereka hingga akhir tahun ini.

Sementara itu, Founder dan Managing Partner AC Ventures Michael Soerijadji mengungkap ada lebih dari 100 juta pekerja aktif yang berpenghasilan menengah ke bawah menghadapi inefisiensi signifikan dalam mencari pekerjaan yang tepat dan sesuai keahlian dan preferensi mereka.

“Atma dapat membantu pemberi kerja melakukan seleksi pelamar dengan kualifikasi lebih relevan serta memberi peluang pengembangan karier lewat sertifikasi atau pelatihan tambahan. Atma akan mendefinisikan kembali pengalaman mencari kerja,” tutur Michael.

Selain Atma, saat ini ada sejumlah platform job marketplace lain yang juga beroperasi. Salah satunya Lumina yang baru mendapatkan pendanaan awal dari Y Combinator dan Alpha JWC Ventures awal Januari 2022 lalu. Selain tu ada juga Sampingan, MyRobin, Glints, dan lain sebagainya.

Inefisiensi proses pencarian kerja

Lebih lanjut, Edy menilai ada sejumlah masalah yang kerap dialami oleh para pencari kerja di segmen berpenghasilan menengah ke bawah. Padahal, digitalisasi telah berkembang secara masif di Indonesia.

Pada kegiatan rekrutmen, misalnya, ada inefisiensi yang signifikan di mana prosesnya memakan waktu panjang, dimulai dari pembukaan lowongan pekerjaan, seleksi kandidat, wawancara, hingga penerimaan kandidat. Situasi ini tak jarang membuat calon pekerja merasa terabaikan dalam waktu yang lama.

Bahkan ia menilai kemunculan internet sekalipun belum mampu menghadirkan inovasi yang dapat menjadi solusi menyeluruh terhadap permasalahan ini. “Para pencari kerja di segmen ini menggambarkan pengalaman mencari kerja sebagai sesuatu yang membawa trauma emosional. Sementara perusahaan mendeskripsikan pengalaman mencari kandidat sebagai proses random walk,” ungkapnya.  

Dari pain point tersebut, Atma ingin menghadirkan solusi produk berskala besar untuk mendefinisikan kembali proses pencarian kerja. Atma membangun produk untuk mengubah pengalaman pencari dan pemberi kerja secara keseluruhan dengan menggunakan elemen inti berbasis kemudahan, interaktivitas, sociability, personalisasi, dan gamifikasi.

“Kita sedang memasuki era teknologi berbasis komunitas di mana segala sesuatu yang kita lakukan terpengaruh oleh individu ataupun sekelompok orang. Komunitas memberikan identitas, rasa memiliki, koneksi, dukungan dan pertumbuhan bagi para pencari kerja,” tutup Edy.

Shox Is Reportedly Secures 79 Billion Rupiah Funding, Introducing Social Commerce Platform for Household

The Shox platform developer is reported to have received $5.5 million funding or equivalent to 79 billion Rupiah in the series A round. Also participated in this round Ephesus United, AC Ventures, Teja Ventures, SGInnovate, Partech, and a number of investors.

The data has been submitted to the regulator. DailySocial.id has tried to confirm the news regarding this investment from related parties, however,  there had been no response until this article was published.

This startup was founded by Sonat Yalcinkaya (Kaya) and Vyani. Kaya himsel previously had experience in handling e-commerce businesses for big brands such as Philips and Midea. Meanwhile, Vyani is known as the co-founder of the logistics startup Pakde, which acquired by Shipper in 2020.

In fact, Shox has been operating since 2019 and currently has tens of thousands of application users. Shox’s service focuses on users in rural areas, targeting the unbanked population.

Shox Rumahan is currently being transformed as an application to fulfill household demands– from kitchen utensils, electronic equipment, and so on. With a social commerce concept, this platform allows its users to earn additional income by entrepreneurship through the partnership/community program with the social gathering feature in the application.

Evolution from Soyaka AI

Previously, Kaya was also known as the founder of Soyaka AI – a developer of artificial intelligence-based social commerce platforms. The Soyaka site and team are currently rerouted to fully work on Shox Rumahan. Even though in terms of backend, Shox also utilizes the engine from the Soyaka platform.

Saoyaka’s AI capabilities allow Shox to offer excellent features, such as using scanned photos or images to find products; then come up with product ideas and inspiration according to existing trends.

Shox Rumahan is growing quite rapidly, to the day this article was published, they already have around 150 employees stated on LinkedIn. Some of the team is headquartered in Yogyakarta.

From an article published by Kaya in 2021, Shox is said to have gathered users in more than 5000 villages in various regions. By analyzing existing purchasing trends, their team has helped build a credit scoring system, which will then be used as capital to create a comprehensive digital banking and payments ecosystem.

It is also said with the current business model, the cost for customer acquisition is much cheaper than the general e-commerce concept. “Our CAC (customer acquisition cost) in this rural community is 10 times cheaper than existing players. And these customers stay because they see true value,” he wrote.

In terms of logistics efficiency, Shox is more focused on serving bulk purchases (usually on a per RT scale). Ordering in large quantities makes it easier for them to reduce logistics costs, around 5-10x cheaper. Although it must be taken to a location far enough from the city center. “Our current average order value (AOV) exceeds $200, which is 5 to 10 times that of other social commerce players,” Kaya said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Shox Dikabarkan Terima Pendanaan 79 Miliar Rupiah, Hadirkan Platform Social Commerce Kebutuhan Rumahan

Pengembang platform Shox dikabarkan telah mendapatkan pendanaan senilai $5,5 juta atau setara 79 miliar Rupiah di putaran seri A. Ephesus United, AC Ventures, Teja Ventures, SGInnovate, Partech, dan sejumlah investor berpartisipasi dalam investasi ini.

Data pendanaan telah diinputkan ke regulator. DailySocial.id juga telah mencoba meminta keterangan seputar kabar investasi tersebut ke pihak terkait, namun sampai artikel ini terbit belum mendapatkan respons.

Startup ini didirikan oleh Sonat Yalcinkaya (Kaya) dan Vyani. Kaya sendiri sebelumnya berpengalaman memegang bisnis e-commerce untuk brand besar seperti Philips dan Midea. Sementara Vyani dikenal sebagai co-founder dari startup logistik Pakde yang telah diakuisisi Shipper tahun 2020 lalu.

Sejatinya Shox sudah beroperasi sejak tahun 2019  dan saat ini sudah memiliki puluhan ribu pengguna aplikasi. Fokus layanan Shox adalah pengguna di area rural, menargetkan populasi unbankable.

Shox Rumahan saat ini menjelma sebagai aplikasi untuk pemenuhan kebutuhan rumah — mulai dari perlengkapan dapur, alat elektronik, dan sebagainya. Berkonsep social commerce, platform ini juga memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan pundi-pundi penghasilan dengan berwirausaha melalui program kemitraan/komunitas yang ada di dalamnya dengan fitur arisan yang ada di aplikasi.

Evolusi dari Soyaka AI

Sebelumnya Kaya juga diketahui sebagai founder dari startup Soyaka AI — pengembang platform social commerce berbasis kecerdasan buatan. Situs dan tim Soyaka saat ini dialihkan untuk sepenuhnya menggarap Shox Rumahan. Kendati secara backend, Shox juga memanfaatkan engine dari platform Soyaka.

Kapabilitas AI yang dimiliki Sayoka memungkinkan Shox untuk memiliki beberapa fitur unggulan, misalnya menggunakan pindaian foto atau gambar untuk menemukan produk; kemudian memunculkan ide dan inspirasi produk sesuai tren yang ada.

Shox Rumahan berkembang cukup pesat, hingga tulisan ini diterbitkan di LinkedIn mereka telah memiliki sekitar 150 pegawai. Sebagian dari tim berkantor pusat di Yogyakarta.

Dari tulisan yang diterbitkan Kaya tahun 2021 lalu, Shox dikatakan telah merangkul pengguna di lebih dari 5000 desa di berbagai daerah. Dengan menganalisis tren pembelian yang ada, tim mereka juga turut membangun sebuah sistem skoring kredit, untuk selanjutnya digunakan sebagai modal untuk menciptakan ekosistem perbankan dan pembayaran  digital yang komprehensif.

Turut dikatakan dengan model bisnis yang ada saat ini, biaya untuk akuisisi pelanggan jauh lebih murah dibandingkan dengan konsep e-commerce pada umumnya. “CAC (customer acquisition cost) kami di komunitas pedesaan ini 10 kali lebih murah daripada pemain yang ada. Dan pelanggan ini bertahan karena mereka melihat nilai yang sebenarnya,” tulisnya.

Untuk efisiensi logistik, Shox juga lebih fokus untuk melayani pembelian borongan (biasanya dengan skala per RT). Pemesanan dalam jumlah banyak ini memudahkan mereka dalam menurunkan biaya logistik 5-10x lebih murah. Kendati harus dibawa ke lokasi yang cukup jauh dari pusat kota. “Nilai pesanan rata-rata (AOV) kami saat ini melebihi $200, yaitu 5 hingga 10 kali lipat dari pemain social commerce lainnya,” ungkap Kaya.

Application Information Will Show Up Here

SoulParking Dikabarkan Dapat Pendanaan Baru Senilai 54 Miliar Rupiah

Startup pengembang sistem manajemen parkir pintar SoulParking, dikabarkan telah mengumpulkan $3,75 juta atau sekitar 54 miliar Rupiah. Menurut data yang diinputkan ke regulator, putaran ini masuk dalam seri A dengan keterlibatan Basis Global, AC Ventures, Akohara, dan sejumlah investor lainnya.

Jumlah pendanaan kali ini disebut naik tiga kali lipat dari putaran sebelumnya pada Januari 2021. Sebelumnya, platform yang dikembangkan oleh Ilham Akbar (CEO), Andru Wijaya (CPO), Riza Aulya (COO), Unggul Depririanto (CTO), dan Kenneth Darmansjah (CFO) ini sudah mengantongi pendanaan tahap awal di tahun 2020 dari investor yang sama.

Kami sudah mencoba menghubungi jajaran manajemen dan pihak investor yang terlibat, namun sampai tulisan ini diterbitkan mereka masih enggak memberikan komentar soal investasi baru tersebut.

Soul Parking mengembangkan solusi untuk pengelolaan tempat parkir sejak  lebih dari 10 tahun lalu. Perusahaan memiliki dua lini bisnis—sistem bagi hasil antara perusahaan dan klien yang dibagikan dengan klien dengan kontrak minimal sepuluh tahu dan penjualan instalasi dengan harga yang bergantung pada kapasitas penyimpanan.

Solusi yang ditawarkan SoulParking

Di Indonesia, sepeda motor merupakan moda transportasi yang dominan, mewakili 84,5% dari semua kendaraan bermotor aktif. Namun, hanya ada sedikit tempat parkir untuk sepeda motor di kawasan pusat bisnis, mengakibatkan pengendara sering kali meninggalkan motor mereka di jalan atau di trotoar meskipun hal ini melanggar peraturan. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab kemacetan lalu lintas di kota Jakarta.

Mengembangkan sistem penyimpanan sepeda motor kompak (CMS) yang menumpuk sepeda di atas satu sama lain untuk penyimpanan yang efisien, Struktur parkir SoulParking terdiri dari delapan lantai yang dibangun di atas lahan seluas 50 meter persegi, dan dapat menampung hingga 240 sepeda motor.

Pengguna dapat menemukan fasilitas parkir terdekat melalui aplikasi Soul Parking. Di lokasi ini, perusahaan menawarkan layanan yang mirip dengan parkir valet—memindai kode batang, dan operator akan menemui pengguna untuk mengambil sepeda motor dan menyimpannya di gudang. Ketika pengguna siap untuk mengambil sepeda motor mereka, mereka dapat menggunakan “fitur checkout awal” di aplikasi Soul Parking sehingga kendaraan mereka akan siap untuk diambil ketika mereka tiba di fasilitas penyimpanan.

Tarif parkir mulai dari Rp2.000 per jam. Soul Parking juga memiliki paket untuk pegawai kantoran mulai dari Rp6.000 selama 12 jam dan Rp140.000 selama satu bulan. Ini sesuai dengan tarif parkir rata-rata untuk sepeda motor di Jakarta. Semua lokasi dilengkapi dengan kamera keamanan, dan setiap kendaraan diasuransikan, membuat layanan lebih aman daripada parkir di badan jalan.

Solusi Soul Parking saat ini telah tersedia di 20 lokasi di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Sistem CMS-nya ditempatkan di area sibuk di dekat mal dan gedung perkantoran. Selain membangun fasilitas penyimpanan ini, perusahaan juga menciptakan sistem operasi berpemilik yang mengelola komponen perangkat lunak dan perangkat kerasnya. Ini mendigitalkan fasilitas parkir yang ada, menambahkan sistem gerbang penghalang, pemindai kode batang, dan dasbor web.

Sebelumnya, Soul Parking juga sempat berpartisipasi dalam beberapa program akselerator, termasuk Startup Studio, program yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia untuk memfasilitasi startup digital yang sedang dalam proses mencapai tahap product-market fit dengan traction yang menjanjikan dan memiliki founder yang potensial. Belum lama ini, perusahaan juga menjadi salah satu dari sepuluh finalis dari Alibaba Cloud x KrASIA Global Startup Accelerator Indonesia Demo Day yang diadakan pada 21 Desember lalu.

Beam Segera Luncurkan Layanan Sewa Sepeda dan Skuter Listrik di Indonesia

Startup pengembang layanan mobilitas mikro “Beam” mengumumkan rencananya untuk masuk ke pasar Indonesia. Langkah ini diambil setelah perusahaan memperoleh pendanaan seri B senilai $93 juta yang dipimpin Affirma Capital. Sejumlah pemodal ventura lainnya turut andil di pendanaan ini, termasuk Sequoia Capital India dan AC Ventures.

Selain Indonesia, ekspansi juga akan mencakup beberapa negara lain yakni Filipina, Vietnam, Jepang, dan Turki. Diketahui saat ini Beam sudah tersedia di Australia, Malaysia, Selandia Baru, Korea Selatan, Thailand, dan Taiwan.

Layanan Beam sendiri memungkinkan pengguna untuk menyewa layanan mobilitas urban, terdiri dari dua opsi. Pertama ada Beam Saturn, yakni skuter listrik yang didesain untuk mudah dan aman dikendarai. Kemudian yang kedua Beam Apollo, yakni berbentuk sepeda elektrik modern. Dan akan segera hadir Beam Jupiter untuk perangkat e-moped.

Startup ini didirikan oleh Alan Jiang (CEO) dan Deb Gangopadhyay (CTO). Alan sebelumnya sempat menjabat sebagai Country Manager Uber Indonesia, kemudian menjadi Head of SEA untuk layanan serupa Beam asal Beijing, yakni Ofo.

Layanan mobilitas mikro di Indonesia

Sebelumnya, GrabWheels sempat mengaspal di Indonesia menyajikan layanan skuter listrik di beberapa titik. Dalam kehadiran awalnya, Grab menggandeng mitra pengembang properti seperti Sinar Mas Land untuk uji coba di BSD City, juga universitas di Jakarta. Namun demikian, tak berselang lama layanan tersebut dihentikan seiring adanya beberapa kasus, termasuk kecelakaan.

Menurut seorang pengamat tata kota yang enggan disebutkan identitasnya, untuk menghadirkan layanan mobilitas mikro di Indonesia banyak tantangannya, terlebih jika targetnya di area-area publik terbuka. Menurutnya, konsep bisnis seperti itu lebih cocok untuk ditempatkan di lokasi khusus, seperti kompleks perumahan atau tempat wisata — biasanya mengharuskan bekerja sama dengan mitra lokal seperti pengembang properti atau pemerintah.

Grab pun sebenarnya sudah melakukan strategi tersebut, namun mendapatkan penerimaan yang baik dari pasar.

Secara regulasi, di Indonesia sudah ada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 45 Tahun 2020 tentang Kendaraan Tertentu Dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik. Regulasi itu terbit pada pertengahan Juni 2020, berselang tidak lama setelah skuter listrik Grab dikenalkan.

Di negara dengan tata kota yang baik seperti di Amerika Serikat, model layanan mobilitas mikro ini mendapatkan penerimaan cukup baik dari masyarakat. Menurut riset McKinsey tahun 2019, diperkirakan industri mobilitas mikro bisa bernilai sekitar $300-500 miliar hingga tahun 2030. Namun sejak pandemi menyerang, penggunaan mobilitas mikro termasuk skuter listrik ini anjlok 50%-60%.

Di Singapura, layanan on-demand skuter dan sepeda listrik juga sempat populer, hingga akhirnya sejumlah kasus terjadi dan mendorong regulator setempat untuk memberikan batasan-batasan. Misalnya adanya hukuman untuk pengguna yang memarkir skuter atau sepeda di tempat umum secara tidak teratur atau tidak pada tempatnya; hingga sejumlah aturan diperketat terkait dengan perangkat mobilitas untuk menekan terjadinya potensi kecelakaan.

Optimisme Beam

Beam mengaku terus berinovasi pada teknologi keselamatan pengguna. Salah satunya dengan menerapkan MARS (Micromobility Augmented Riding Safety) yang terdiri dari inovasi keselamatan untuk melindungi pejalan kaki, mengatur ruang zonasi dan parkir, hingga mendorong penggunaan kendaraan yang lebih aman oleh pengguna. Inovasi di sisi perangkat mobilitas juga terus dikencangkan.

Inovasi keamanan MARS yang dihadirkan Beam / Beam

Co-Founder & CEO Beam Alan Jiang mengatakan, “Micromobility telah mengambil sistem keamanan mutakhir seperti teknologi MARS Beam dan menerapkannya ke kendaraan listrik kecil seperti e-skuter, e-bikes, dan e-moped untuk membantu arus kota lebih baik untuk semua orang. Kami sangat senang dapat bermitra dengan dana visioner seperti Affirma untuk menghadirkan mobilitas yang berbiaya lebih rendah, lebih hijau, dan lebih aman bagi kota-kota di seluruh APAC.”

Terkait pandemi, Beam meyakini permintaan untuk layanan mobilitas mikro terus tumbuh di Asia Pasifik. Hal dini dicerminkan dari pendapatan Beam yang tumbuh 15x lipat sejak dimulainya pandemi. Beam bekerja sama dengan pemerintah daerah di kota-kota di Asia Pasifik untuk menyediakan layanan mobilitas mikro bersama yang aman dan berkelanjutan saat masyarakat mereka tertarik pada cara bepergian yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Startup Pembiayaan Showroom Mobil “Broom” Umumkan Pendanaan 43 Miliar Rupiah

Startup pembiayaan showroom mobil Broom mengumumkan perolehan pendanaan pre-seed senilai $3 juta atau lebih dari 43 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh AC Ventures, dengan partisipasi dari Quona Capital dan beberapa angel investor, termasuk pendiri Kopi Kenangan dan Lummo. Dana segar akan dimanfaatkan untuk meningkatkan produk dan layanan, memperluas kehadiran di kota-kota besar, dan menggandakan tim.

Secara unik, Broom memosisikan diri sebagai solusi digital untuk ekosistem mobilitas yang menyediakan platform tunggal bagi UKM otomotif guna mendigitalkan proses bisnis showroom, seperti mengelola inventaris, mendapatkan akses ke pembiayaan, dan mengelola alat sisi penjualan mereka.

Startup ini dirintis sejak tahun lalu oleh Pandu Adi Laras (CEO), Pungky Wibawa (CBO), dan Andreas Sutanto (CFO). Ketiganya memiliki pengalaman kuat di bidang mobilitas. Pandu telah berkecimpung dalam mobilitas sejak 2016, ketika dia bekerja untuk Uber, sebelum bergabung di Go-Fleet.

Lalu, Pungky adalah wirausahawan berpengalaman dan memiliki koneksi yang baik dalam ruang diler, mengingat status Pungky sebagai pemilik salah satu diler BMW terbesar di Indonesia. Pengalaman para pendiri menggabungkan pemahaman yang mendalam tentang bisnis dan kejelasan tentang bagaimana teknologi dapat merevolusi industri.

Solusi yang dihadirkan

Dalam keterangan resmi Pandu mengatakan, Broom memiliki berambisi jadi pilihan pertama diler mobil bekas untuk mengembangkan bisnisnya dengan menyediakan berbagai produk dan layanan. “Dengan dukungan dari investor terkemuka yang percaya pada visi kami, ini akan meningkatkan kepercayaan diri kami untuk terus berjuang dalam perjalanan kami memberdayakan dealer mobil bekas di Indonesia,” katanya, Jumat (25/2).

Diler mobil umumnya bekerja dengan sangat tradisional, dengan sebagian besar penghitungan stok dilakukan di papan tulis. Saat mencoba online, diler mobil merasa cukup sulit untuk menjual di platform dan menemukan pembeli yang tepat di lokasi mereka. Pembiayaan umumnya cukup menantang karena kurangnya dokumentasi.

Namun, diler mobil pergi ke rentenir untuk pinjaman 6 minggu karena mereka merasa sedikit menguntungkan bahkan dengan bunga signifikan yang diberikan oleh pemberi pinjaman ini (diperkirakan 8% per bulan). Dengan kondisi ini, Broom bertujuan untuk memberikan digitalisasi diler dan pembiayaan untuk memberdayakan diler mobil.

Broom menyediakan tiga solusi bagi diler melalui platformnya, mulai dari peningkatan operasional, enabler penjualan online, dan akses ke pembiayaan. Pembiayaan produktif Broom menawarkan fasilitas pinjaman jangka pendek dengan tingkat bunga yang kompetitif dengan bermitra dengan lembaga keuangan yang menyediakan pembiayaan murah. Hal ini memungkinkan nasabah untuk mengakses fasilitas pinjaman dengan memanfaatkan persediaan yang ada sebagai jaminan dengan proses persetujuan yang cepat.

“Ketika solusi digital menembus setiap industri, keuangan tertanam merupakan peluang yang sangat besar. Industri mobil bekas melihat nilai transaksi tahunan sebesar $14 miliar, dan dealer mobil UMKM mewakili lebih dari 80% dengan sedikit atau tanpa akses ke pembiayaan yang terjangkau. Broom berupaya memberdayakan dealer ini dengan produk keuangan dan pendukung untuk membantu mereka berkembang,” kata Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Saat ini, Broom memiliki lebih dari 2000 diler mobil bekas di wilayah Jabodetabek dan optimistis bisa bertambah karena perusahaan memiliki kerja sama dengan lembaga keuangan besar seperti BRI Finance dan BRI Insurance. Juga, lebih dari 4 ribu mobil terdaftar di platform marketplace Broom dan dari jumlah mobil tersebut sebesar Rp120 miliar sudah didanai.

Peta persaingan startup otomotif

Belakangan peta persaingan startup otomotif semakin mengerucut untuk level regional dan lokal lewat pendanaan yang mereka umumkan. Di regional, ada Carsome dan Carro yang berlomba mendominasi pasar. Pada awal tahun, Carsome mengumumkan pendanaan Seri E senilai $290 juta yang berhasil mendongkrak valuasi di angka $1,7 miliar.

Mereka menjalankan bisnis C2B2C –membeli dari konsumen dan menjualnya ke jaringan diler, juga menjual mobil bekas langsung ke konsumen. Serta, dilengkapi dengan pengalaman O2O melalui experience center yang tersebar di sejumlah kota. Kompetitor terdekatnya, Carro mendapat pendanaan Seri C senilai $360 juta dengan valuasi lebih dari $1 miliar. Carro juga memiliki layanan experience center Carro Automall.

Di luar itu, di level lokal ada OLX Autos dengan fokus utamanya lebih ke pembelian mobil dari konsumen, meski saat ini beberapa produk hasil inspeksinya juga mulai dijual melalui OLX dan kanal online marketplace lainnya. Selanjutnya ada Moladin yang mengantongi pendanaan Seri A $42 juta dipimpin Sequoia Capital India dan Northstar Group.

Awalnya, Moladin bermain di pembelian motor, namun pivot sepenuhnya pada 2021 menjadi jual-beli mobil bekas. Dibandingkan pemain sejenisnya, diferensiasi yang ditawarkan Modalin adalah pemberdayaan jaringan agen dalam menawarkan pengalaman transaksi mobil yang lebih personal kepada pelanggan.