Bizzy Akuisisi “Alpha”, Andrew Mawikere Jadi CEO Baru

Layanan procurement dan e-commerce B2B Bizzy mengumumkan akuisisi terhadap “Alpha” dengan nilai yang tidak disebutkan dan mengangkat Founder dan CEO Alpha Andrew Mawikere sebagai CEO Bizzy yang baru. Andrew sebelumnya dikenal sebagai Co-Founder dan ex-CEO Mbiz, lini e-commerce B2B Matahari Group yang notabene adalah kompetitor Bizzy. Peter Goldsworthy, CEO Bizzy sebelumnya, bakal mengemban tugas sebagai President.

Nama Alpha bisa dibilang tidak dikenal di khalayak umum, tetapi pihak Bizzy mengungkapkan Alpha memiliki kekuatan di sektor marketplace B2B, khususnya berpengalaman di bahan baku, spare part, dan direct material. Akuisisi terhadap Alpha diharapkan mendorong Bizzy untuk memiliki layanan lengkap di sektor B2B.

“SMDV, Maloekoe Venture, dan Ardent Capital sebagai investor Bizzy percaya bahwa B2B e-Procurement yang komplit (direct dan indirect material) akan segera menjadi the next big thing di Indonesia setelah e-Commerce dan Fintech,” jelas Managing Partner SMDV Roderick Purwana.

Sebelumnya Bizzy telah merekrut Norman Sasono dan Hermawan Sutanto di jajaran C-level yang memiliki latar belakang teknis kuat untuk mendukung usaha Bizzy mengembangkan bisnis ke pengembangan sistem yang bisa custom tailored untuk kebutuhan korporasi.

Andrew dalam penyataannya mengungkapkan:

“Bizzy memiliki teknologi dan platform kelas enterprise yang paling inovatif di industri dan memiliki modal talenta-talenta yang unggul yang akan membantu adopsi B2B e-Procurement di Indonesia, baik untuk direct dan indirect material, lebih cepat lagi.”

 

Setipe Diakuisisi Lunch Actually Group

Layanan perjodohan online Setipe mengumumkan pihaknya telah bergabung dengan Lunch Actually Group Singapura dengan nilai yang tidak diumumkan. Setipe akan menjadi unit bisnis di bawah kelolaan Lunch Actually Group dan CEO Setipe Razi Thalib akan memimpin operasional Lunch Actually Group di Indonesia. Bergabungnya Setipe ke Lunch Actually Group diharapkan bisa mendukung langkah mendominasi industri perjodohan (online dan offline) di Indonesia.

Secara bisnis, Setipe dan Lunch Actually tidak sepenuhnya beririsan. Lunch Actually, yang hadir tahun 2014 di Indonesia, lebih fokus ke kegiatan secara offline meskipun memiliki representasi online. Setipe, di sisi lain, membangun bisnisnya dari awal secara online.

Setipe diawali tahun 2014 oleh Razi Thalib dan Kevin Aluwi. Kevin sendiri sudah tidak aktif di Setipe setelah ikut mendirikan Go-Jek. Keduanya sempat sama-sama bekerja di Zalora Indonesia. Setipe adalah alumni Google Launchpad Accelerator batch kedua.

Sinergi kedua entitas tersebut tidak hanya terjadi akhir-akhir ini. Di tahun 2016, Setipe dan Lunch Actually sempat berkolaborasi meluncurkan situs edukasi perjodohan, meskipun tampaknya situs tersebut tidak bisa diakses lagi.

Kepada DailySocial, Razi tentang keputusan penggabungan bisnis ini mengatakan:

“Kami menyadari monetisasi layanan perjodohan membutuhkan kehadiran [bisnis] offline yang kuat. Kami pernah bermitra dengan Lunch Actually dan hubungan ini berlanjut dari situ. Lunch Actually telah melakukan hal ini selama 13 tahun. Pengalaman mereka dengan [kehadiran] offline / model hibrida, pengalaman penjualan, ambisi regional, dan yang terutama fokus yang sama soal hubungan [perjodohan] serius [mendorong kami merealisasikan hal ini].”

Secara statistik, Razi menyebutkan pencapaian Setipe adalah memiliki lebih dari 800 ribu pengguna dan lebih dari 200 undangan pernikahan (yang terhubung melalui Setipe). Dengan bergabungnya Setipe, secara total Lunch Actually Group memiliki 110 orang pegawai.

Di Indonesia, bisa dibilang pesaing Lunch Actually Group adalah Tinder dan Paktor. Yang terakhir, juga berasal dari Singapura, memiliki kehadiran yang serius di Indonesia.

Bergabungnya dua layanan ini diharapkan menjadi milestone bagi pertumbuhan grup. Setipe akan menjadi bagian produk Lunch Actually Group. Produk lainnya termasuk esync, LunchClick, Lunch Actually Academy, dan Peerage. Disebutkan Lunch Actually telah memiliki 2 juta pengguna di Indonesia.

Co-Founder dan CEO Lunch Actually Group Violet Lim dalam pernyataannya menyebutkan, “Kami terkesan dengan apa yang telah dilakukan Razi dan timnya dalam memperbesar Setipe, dan kami sangat antusias untuk memiliki mereka dalam ekspansi ini di Indonesia.”

“Dengan pengetahuan kuat akan budaya kencan lokal yang dimiliki Setipe dan telah menjadi merek ternama yang pertama kali muncul di dalam benak para single di Indonesia, ditambah dengan pengalaman 13 tahun dari Lunch Actually Group yang telah terbukti, kami percaya dengan bergabung bersama, kami akan mengembangkan bisnis ke tingkat yang lebih tinggi di Indonesia,” ujarnya.

Pasca penggabungan bisnis, Razi menyebutkan:

“Beberapa perubahan telah direncanakan untuk mengintegrasikan layanan Setipe ke dalam ekosistem Lunch Actually. Kami juga akan memperkenalkan sejumlah produk baru dalam beberapa minggu atau bulan ke depan. Kami akan fokus soal pendapatan dan keuntungan.”

Application Information Will Show Up Here

Rencana Kios Digital M Cash Pasca Diakuisisi Kresna Graha

Beberapa hari yang lalu, Kresna Graha Investama dalam keterbukaan informasi mengumumkan aksi korporasi lewat akuisisi 17,6% saham perusahaan kios digital PT M Cash Integrasi (MCI) dengan nilai transaksi yang tidak disebutkan. Lewat aksi tersebut, MCI siap melancarkan sejumlah rencana ekspansif sepanjang tahun ini diantaranya memiliki 1.000 outlet kios digital dan melantai di bursa.

Sekadar informasi, MCI adalah perusahaan distribusi digital dengan produk utama kios yang didirikan sejak 2010. Kios digital yang kembangkan secara mandiri oleh MCI memungkinkan pengguna dapat bertransaksi produk digital mulai dari pulsa, tiket konser, token listrik, pembayaran tagihan.

Tak hanya itu, pengguna dapat membeli kartu SIM dari empat provider dan kartu e-money. Diklaim saat ini MCI sudah bermitra dengan lebih dari 200 diler.

Saat dihubungi DailySocial, CEO MCI Martin Suharlie mengatakan dengan resminya Kresna Graha masuk ke perusahaan diharapkan dapat memperlancar sejumlah rencana perusahaan yang akan direalisasikan pada tahun ini. Perusahaan menargetkan dapat menempatkan 1.000 outlet kios di seluruh Indonesia lewat kemitraan dengan perusahaan ritel modern.

Sementara ini kios digital MCI bisa ditemukan di beberapa gerai Fresh Market dan Ranch Market yang berlokasi di Jakarta dan Bekasi. Ke depannya, kios digital akan segera hadir di gerai Hero, Hypermart, beberapa merek ritel minimarket lokal di Bali, pinggiran Jakarta, dan lainnya.

“Penjualan produk jasa adalah tulang punggung bisnis MCI, kini kami menambah fitur yang lebih bersifat fisik seperti menyediakan starter pack kartu SIM. Itu demand-nya tinggi karena dibutuhkan oleh para turis. Kami juga akan terus mengembangkan teknologi dan fitur lainnya pasca masuknya Kresna Graha,” kata Martin.

Lewat ekspansi ini, perusahaan berharap dapat mengantongi pendapatan dengan kisaran Rp600 miliar sampai Rp700 miliar dari posisi di 2016 sebesar Rp490 miliar. Dengan perolehan pendapatan tersebut, dapat mempermulus jalan MCI yang ingin melantai di bursa pada Oktober 2017 mendatang. Hanya saja, besaran saham yang akan dilepas masih ditutup rapat-rapat oleh perusahaan.

“Ya kami menargetkan pada Oktober ini sudah IPO.”

Martin berharap, dari seluruh rencana ini dapat menggiring perusahaan jadi pemain utama di bidang distribusi digital di Indonesia.

Alasan Kresna Graha berinvestasi di MCI

Managing Director Kresna Graha Investama Suryandy Jahja mengungkapkan alasan pihaknya mengakuisisi MCI karena perusahaan ingin melengkapi saluran distribusi. Sehingga dapat mempertajam penetrasi pasar dari produk digital yang sudah dimiliki Kresna Graha, mulai dari saluran online hingga offline, modern hingga tradisional, dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Bertambahnya MCI dalam portofoli perusahaan, memungkinkan terjadinya kolaborasi baru yang dihadirkan. Beberapa produk yang tersedia dalam Kresna di antaranya Mandiri e-cash (termasuk Line Pay e-cash) dan Padipay sebagai alternatif pembayaran non tunai; Padiciti untuk pemesanan online kereta, pesawat, dan hotel; DominoPOS untuk direktori mal dan promosinya; serta Kesupermarket untuk flash grocery shopping.

“Dengan ini kami percaya MCI akan membawa nilai komersial yang sangat besar dan menghasilkan dampak finansial yang instan bagi kinerja bisnis Kresna,” kata Jahja.

Keputusan Kresna untuk membeli saham MCI juga didukung laporan dari Wellesley, BBC Research berbasis di Massachusetts. Dalam laporan tersebut menyebutkan prediksi pasar dunia untuk teknologi swalayan (self-service) akan mencapai US$59,2 juta pada 2017 dan CAGR tumbuh 8,9% pada lima tahun mendatang jadi US$83,5 miliar di 2021.

Untuk pasar kios, yang merupakan segmen dengan pertumbuhan tertinggi, diperkirakan akan mencapai US$9 miliar pada tahun ini dan tumbuh jadi US$17,2 miliar di 2021.

Laporan lainnya dari Harvard Business Review mengungkapkan bahwa kios-kios swalayan dari toko ritel modern telah membuat kocek para konsumen jauh lebih banyak.

“Kami percaya Indonesia akan mengikuti tren ini juga dan kami ingin menjadi yang terdepan di dalam transformasi gaya hidup digital tersebut,” pungkas Jahja.

It’s a Payment War, not a Ridesharing Battle

As it became official today — Kudo has just been acquired by Grab. This just confirmed my theory that I fought for in a WhatsApp conversation with a startup friend: This SE Asia region war isn’t in the ridesharing space, but actually in the payment space — and Uber might be losing out.

Let’s look back and track how the two companies are doing it:

Go-Jek — yes they started with a ridesharing, and then expanded even more successfully in the food delivery space: GoFood. After that it keeps adding more use-cases (Go Massage, Go Glam, and more) and became an on-demand platform (for platform play, see WeChat in China).

At first, I was thinking that Go-Jek was aiming to become WeChat indeed — adding all things into one app and become the go to platform in our daily life. I heard they are even on the verge of closing a $1B round from Tencent (HA!).

But after launching their payment platform, GoPay, and basically just subsidize the whole lot of use-cases for the sake of people pumping money inside its wallet. Now, I’m confirmed that in fact this is a payment war.

It is the war to actually banking the unbanked.

If you think about it Go-Jek (and possibly Grab) are creating its own ecosystem with its drivers — they are essentially the drivers’ bank by holding their income and in fact even enabling them to buy things through its payment system. Imagine this: whatever things that Go-Jek sell to its drivers — most likely they might buy it e.g. micro insurance or even a loan.

With Go-Jek present in technically all big cities in Indonesia and potentially all cities soon, it has the (huge) potential to become THE bank for people who are usually out of reach from the traditional banks.

Now on top of that growing ecosystem is also all the middle class who are becoming more and more used to using Go-Jek, that having millions on its GoPay system are a norm rather than the exception today.

Back to the big news of the day (congratulations for Albert and Agung — you two never cease to amaze me, and can’t thank you guys enough to be our early paying customers), at the other side of the arena, Grab is a bit too late in expanding its use-cases, such as its GrabFood (May 2016) and even its payment system.

While its ride-sharing market share isn’t that far from Go-Jek, it has to add more users and more use-cases to its platform to make the payment (or digital bank) works. Kudo, who’s basically went from 0 to $100m (the unconfirmed value of the acquisition) in just 2 years, has tens of thousands agents on the field who are giving access to:

a) e-commerce for those who aren’t familiar with it and doesn’t even trust it and,

b) banking the unbanked, again, by its payment platform

By buying Kudo, Grab gained access to its ever expanding ground workers who are acquiring more and more users. While this might not beat GoPay, yet, it is a step in the right direction and in my opinion — they might be buying Kudo while it still can (in terms of valuation) 🙂

I’m going to close this post with two predictions:

1) Similar players to Kudo such as Ruma (one of the most awesome — yet under the radar startup by the way!) and or players like Kioson might be on the radar of Go-Jek to expand its payment user base

2) In the (near) future, Go-Jek might not be acquired by a “similar” player such as Uber and or Didi but in fact payment players such as Ant Financial.

What do you think? 🙂


Disclosure: This post is originally written by Joshua Kevin and has been republished with permission. He’s Founder of Talenta.co. Read the original post in here.

Grab Resmi Akuisisi Kudo

Layanan on-demand Grab akhirnya resmi mengakuisisi Kudo dengan nilai yang tak disebutkan. Sebelumnya rumor kencang menyebutkan nilai transaksinya ini mencapai lebih dari $100 juta (lebih dari 1,3 triliun Rupiah). Disebutkan bahwa tim Kudo akan bergabung mengembangkan platform pembayaran GrabPay. Meskipun demikian, Grab tetap mendukung dan mengakselerasi penyebaran jaringan agen Kudo ke seluruh Indonesia.

Kudo yang diinisiasi di akhir 2014 adalah platform yang membantu orang-orang yang tidak memiliki akses ke sistem pembayaran digital untuk bertransaksi secara online, atau dikenal dengan istilah assisted commerce. Kekuatan Kudo adalah jaringan agen yang berjumlah ratusan ribu dan tersebar di seluruh Indonesia.

Langkah akuisisi ini merupakan bagian komitmen Grab4Indonesia senilai $700 juta yang dicanangkan awal Februari lalu. Dana tersebut bakal digunakan untuk membangun R&D Center dan beberapa inisiatif lainnya dalam 4 tahun ke depan.

Dalam pernyataannya, Grab menyebutkan, “Tim Kudo akan bergabung dengan Grab dan platform Kudo akan diintegrasikan dengan ekosistem pembayaran Grab [GrabPay]. Grab juga akan mendukung dan mengakselerasi ekspansi jaringan agen Kudo di seluruh Indonesia, dan meningkatkan jangkauan Kudo untuk membawa lebih banyak penumpang, pengemudi, dan pengguna GrabPay ke dalam platform Grab.”

 

Kepada DailySocial, CEO Kudo Albert Lucius mengkonfirmasi mereka tetap mengurusi bisnis assisted commerce. Albert mengatakan, “Tetap dua-duanya, assisted commerce dan pembayaran. Assisted commerce bakal menjadi contoh (use case) [sistem] pembayaran.”

GrabPay untuk layanan e-money

Peresmian Go-Pay dari Go-Jek sebagai platform e-money sebagai hasil akuisisi MV Commerce menambah tekanan terhadap GrabPay untuk menjadi platform pembayaran alternatif di Indonesia.

GrabPay telah mendukung top up melalui transfer bank, jaringan Alfamart Group, Mandiri eCash, dan Doku Wallet. Meskipun demikian, GrabPay belum mendukung top up melalui mitra pengemudi seperti halnya Go-Pay. Hal ini yang nampaknya bakal dibidik dengan pengintegrasian platform Kudo.

CEO Grab Anthony Tan dan CEO Kudo Albert Lucius / Grab
CEO Grab Anthony Tan dan CEO Kudo Albert Lucius / Grab

Tantangan GrabPay berikutnya adalah pemanfaatan GrabPay yang lebih luas, tak hanya untuk penggunaan transportasi. Penggunaan GrabPay untuk GrabFood misalnya, bakal meningkatkan nilai rataan transaksinya. Sinerginya dengan Lippo Group dan Kudo bisa mendorong pemanfaatan GrabPay untuk pembayaran layanan e-commerce.

Yang terakhir GrabPay seharusnya sudah bertransformasi menjadi layanan e-money berikutnya. Entah apakah mereka sudah mengajukan hal ini ke Bank Indonesia atau melakukan cara yang sama dengan akuisisi terhadap pemilik lisensi, GrabPay harus memiliki kemampuan yang setara dengan Go-Pay agar dapat bersaing.

Untuk meningkatkan fokus terhadap GrabPay sebagai produk potensial masa depan, Grab telah menunjuk Jason Thomson, yang sebelumnya pernah mengepalai unit Euronet untuk EMEA dan Asia, untuk memimpin divisi ini.

Application Information Will Show Up Here

Wawancara dengan Group CEO C88 J.P. Ellis soal Akuisisi Otobro, Penambahan Pendanaan, dan Masuknya Marketplace ke Industri Fintech

Minggu lalu layanan fintech Asia Tenggara C88 mengumumkan akuisisi terhadap layanan pembantu pembelian kendaraan secara online Otobro. Dalam waktu yang berdekatan, platform marketplace Bukalapak menjalin kemitraan dengan MobilKamu untuk menjalankan bisnis serupa dalam bentuk BukaMobil. Bagaimana sebenarnya alasan di balik akuisisi ini dan bagaimana C88 melihat geliat marketplace besar memasuki layanan fintech?

DailySocial berbincang dengan Group CEO C88 J.P. Ellis tentang hal ini. Ellis menyebutkan alasan grup memasuki sektor finansial otomotif dan mengakuisisi Otobro berkaitan dengan kematangan produk yang dimiliki (KTA, kartu kredit, dan asuransi) dan usahanya memasuki pasar kredit rumah (KPR) dan kredit kendaraan (KKB).

“Hal ini penting karena menambah seleksi produk ritel, tapi juga membutuhkan langkah khusus karena membantu konsumen memiliki produk ketimbang sekedar menjual fitur finansial produk tersebut. Otobro adalah perusahaan unik yang melakukan hal menarik di ranah [bisnis] kendaraan. Kami yakin bahwa kami bisa membawa bisnis asuransi kendaraan dan KKB secara bersama dan memberikan layanan ke konsumen yang jauh lebih baik. Untungnya para pendiri Otobro memiliki visi yang sama.”

Ellis memastikan Otobro, yang didirikan oleh Patrick Williamson dan Mathew Jones, tetap berjalan seperti saat ini, terpisah dari situs CekAja atau Premiro, dua layanan C88 di Indonesia. Meskipun demikian, ada perubahan di sejumlah detil untuk memastikan layanan sesuai dengan pengetahuan C88 tentang pasar kendaraan.

“Penawaran akan dibungkus dalam penawaran produk finansial dan asuransi yang sudah kami miliki. Kami merasa hal ini akan menjadi pengalaman konsumen yang lebih baik dan cara baru untuk mencari kendaraan dan bagaimana mendanai dan memberikan asuransi terhadap produk tersebut.”

Perolehan pendanaan baru

Pasca perolehan pendanaan Seri B dari Telstra Ventures, C88 kembali mendapatkan pendanaan baru dari Kickstart Ventures dan Socrates Capital. Menurut Ellis, mereka senang memiliki tambahan investor yang mendukung perusahaan sebagai pemimpin pasar di Indonesia dan Filipina.

Ellis mengklaim C88 berbeda dari sekedar agregator atau pembuat lead penjualan (lead generator).

“Kami selalu fokus untuk menyediakan layanan transaksi secara penuh ke konsumen kami dan mitra institusi finansial, Hal ini sangat teknis dan membutuhkan banyak otomasi di belakang layar (back office automation). Apa yang ada di situs dan aplikasi, dalam pembentuk perbandingan, hanya 10% dari rangkaian produk kami.”

Soal transaksional, Ellis menganalogikannya dengan layanan OTA (travel online). Tanpa perlu mengunjungi pemilik layanan, transaksi bisa dilakukan di situs OTA. Kira-kira produk finansial C88 memiliki kebebasan dan kemudahan seperti itu.

Marketplace masuk ke fintech: kompetisi atau kolaborasi?

Tak cuma C88 yang bertransformasi sebagai layanan e-commerce finansial. Marketplace besar mulai membidik hal serupa. Menurut Ellis, hal ini bukan hal yang acak jika mengacu pada perkembangan startup di Tiongkok.

Mulai bermunculan hal yang disebut sebagai “perusahaan platform” di Indonesia. Bayangkan Go-Jek, Tokopedia, dan Bukalapak yang memiliki berbagai layanan di satu aplikasi.

Kebanyakan platform ini menambahkan layanan pembayaran dan finansial ke dalam ekosistemnya, hal ini juga terjadi di Tiongkok dan sudah diprediksi sebelumnya. Saat yang fokus mereka adalah soal pembayaran.

Ellis mengatakan, “C88 bukan perusahaan pembayaran, sehingga kami bisa bermitra dengan siapapun. Ketika sebuah platform menambah layanan finansial, seperti peminjaman, kami melihatnya sebagai sebuah peluang. Konsumen akan bertanya: apakah saya seharusnya mengambil pinjaman dari perusahaan [platform] ini, bank, atau perusahaan lain? C88 akan membantu [memberikan perbandingan].”

“Jika perusahaan platform menawarkan layanan finansial, maka mereka berkompetisi dengan bank dan layanan peminjam/multifinance yang lain, bukan dengan C88. Kami bisa bermitra dengan mereka, sebagaimana kami bermitra dengan lebih dari 100 institusi finansial di kawasan [Asia Tenggara]. Kasus kolaborasi dalam fintech lebih kuat ketimbang kompetisi,” pungkas Ellis.

Kudo Dikabarkan Diakuisisi Grab Senilai 1,3 Triliun Rupiah

Sebagai upaya untuk memperdalam jangkauan pasar di Indonesia, Grab dikabarkan telah melakukan akuisisi terhadap Kudo, startup lokal yang memfokuskan pada pengembangan layanan assistive e-commerce. Nilainya berkisar $100 juta atau setara dengan Rp1.3 triliun.

Berita ini menjadi kabar yang cukup mengagetkan. Pasalnya startup yang didirikan oleh Albert Lucius dan Agung Nugroho di awal tahun 2015 ini (Kudo) menjelang akhir tahun lalu baru mengumumkan putaran pendanaan yang dipimpin oleh EMTEK, dengan nilai sekitar Rp 130 miliar. Menyusul pendanaan sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2015 oleh sejumlah investor, termasuk East Ventures dan GREE Ventures. Dengan pendanaan tersebut visi Kudo dalam memperluas pengadaan agen yang lebih masif di seluruh Indonesia.

Belum lama ini, untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis, Kudo juga “membajak” Sukan Makmuri untuk duduk di jajaran C-Level perusahaan. Menurut pemaparan Albert kepada DailySocial, perekrutan tersebut dilakukan karena Kudo membutuhkan skillset baru untuk mengakselerasi bisnis.

Sebelumnya Grab menyatakan komitmennya untuk menjadi bagian dari akselerasi ekonomi digital di Indonesia. Dihadiri langsung oleh Group CEO dan Co-Founder Grab Anthony Tan, Grab mengumumkan investasinya senilai $700 juta untuk pengembangan pusat inovasi selama 4 tahun ke depan. Rencana yang bernama “Grab 4 Indonesia” itu didukung Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia.

Pembaruan layanan GrabPay sendiri sebagai layanan e-money mulai digencarkan di Indonesia, paling anyar peluncuran GrabPay Credit, dilakukan untuk mengukuhkan posisi GrabPay sebagai e-money yang mudah diisi ulang, melalui ATM atau minimarket. Inovasi berbasis fintech seragam dilakukan oleh para pemain bisnis transportasi berbasis aplikasi. Di Indonesia, lawan paling dominan adalah Go-Jek, yang saat ini juga tengah gencar memaksimalkan penetrasi pemanfaatan Go-Pay.

Dailysocial sudah menghubungi pihak Kudo untuk mencari konfirmasi.

Rencana Paktor Kembangkan Potensi Social Entertainment di Indonesia Pasca Akuisisi 17 Media

Beberapa waktu lalu, pengusung platform social entertainment Paktor mengumumkan akuisisinya atas 17 Media. Proses akuisisi ini dilakukan dengan pemberian dana oleh Paktor Group kepada 17 Media untuk membantu mewujudkan potensi dari aplikasi live streaming yang dikembangkan. Kesepakatan akuisisi ini juga menandai akuisisi pertama Paktor. Founder 17 Media Jeffrey Huang akan tetap menjabat sebagai Direktur 17 Media sementara Joseph Phua akan ditunjuk sebagai CEO 17 Media.

Apa target yang diharapkan dari akuisisi ini untuk pengembangan pangsa pasar di Indonesia? Menurut Joseph, layanan serupa pada umumnya fokus pada mendapatkan para penyiar populer melalui konten lifestyle dan hiburan demi menarik para pengguna. Di 17 Media, pihaknya akan memperkenalkan cara-cara unik untuk menyampaikan konten pada saat ekspektasi pengguna semakin dewasa. Sebagai contoh memperluas fitur siaran one-to-many untuk memfasilitasi interaksi yang lebih baik dan hubungan yang lebih erat di antara penyiar dan pengguna, pengguna dan pengguna, dan brand dengan pengguna.

Paktor juga memiliki investor jangka panjang yang dinilai sangat mendukung, yakni MNC Media Group. MNC juga akan meminjamkan jaringan penyiaran konten yang dimilikinya untuk mendorong rencana agresif Paktor dalam mengakuisisi pengguna di Indonesia. Kendati demikian sampai saat ini tidak ada rencana untuk mengintegrasi aplikasi 17 dan Paktor.

“17 Media merupakan pelopor dan pemimpin di sektor social entertainment dan saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa dalam beberapa bulan terakhir, saya melihat potensi yang luar biasa untuk app 17 berkembang di luar Taiwan dengan bantuan dari jaringan Paktor di berbagai negara. Keyakinan saya pada 17 Media juga berasal dari bagaimana antusiasnya pihak manajemen dan tim dalam menjalankan operasi sehari-hari,” ujar Joseph kepada DailySocial.

Live video memang bukan merupakan hal baru lagi di pasar Indonesia. Berkat penetrasi broadband internet yang begitu pesat, perkembangan platform pembayaran alternatif, dan lahirnya teknologi-teknologi baru yang memungkinkan live streaming video di Indonesia.

17 Media memposisikan dirinya sebagai disruptor untuk membangun live streaming versi 2.0. Pihaknya mencoba mengusung bermacam-macam model bisnis yang dapat dijalankan, misalnya menggabungkan mobile gaming, siaran langsung berita, e-commerce, dan berbagai variety show menjadi satu demi kenyamanan para pengguna.

Terkait penyatuan visi social entertaiment, Josep mengungkapkan bahwa akuisisi ini memiliki nilai plus di kedua belah pihak. Ia mengungkapkan, dari perspektif finansial dan kesempatan dalam perkembangan bisnis, ada sinergi yang kuat dalam menambahkan social entertainment ke Paktor Group yang memiliki jaringan mobile dan layanan tambahan pencari jodoh sebagai tren untuk industri pencari jodoh bergerak ke arah sosial.

Dari 17 Media, banyak pelajaran berharga dari pengalaman Paktor dalam mengoperasikan layanan pencari jodoh mobile dari segi produk dan operasi yang dapat dijadikan sebagai panduan. Aplikasi pencari jodoh terkenal di Tiongkok, Momo, mengalami kesuksesan setelah memperkenalkan fitur live streaming pada aplikasi mereka.

Application Information Will Show Up Here

Akuisisi C Channel Terhadap PT Media Makmur dan Tren Ekspansi Mencaplok Unit Bisnis

C Channel sebuah startup asal Jepang baru-baru ini dikabarkan telah mengakuisisi startup di pengembangan layanan digital PT Media Makmur. Tidak disebutkan nilai transaksi dari proses pencaplokan ini, hanya saja C Channel sedari awal merupakan mitra bisnis Media Makmur, dengan salah satu layanan berupa Beauty Blogger Marketing. Seperti diketahui C Channel sendiri menyediakan konten video fashion untuk kaum perempuan.

Media Makmur sendiri cukup dekat dengan portal media asal Jepang tersebut, selain telah fokus pada pengembangan bisnis C Channel Indonesia, pihaknya juga kini menjadi pendorong bisnis media Kawaii Beuaty Japan. Akuisisi ini tampaknya dilakukan untuk memperdalam kerja sama strategis kedua belah pihak. Menjadikan Media Makmur lebih memfokuskan pada kampanye digital C Channel untuk penikmat konten di Indonesia.

Sebagai perusahaan rintisan, C Channel telah membukukan pendanaan sekurangnya $4,1 juta dari beberapa investor dan perusahaan, termasuk di dalamnya B Dash Ventures, Asobi System Holdings, Rakuten dan beberapa lainnya. Akuisisi ini bagi C Channel dijadikan momentum melihat pertumbuhan penikmat layanan digital di Indonesia yang terus menggeliat. Terlebih sudah mulai digaungkan bahwa Indonesia akan menjadi pangsa pasar penting dalam lanskap e-commerce di Asia, artinya menjadi indikasi terbuka kesiapan konsumen Indonesia dalam menikmati konsep dan layanan digital.

Tren akuisisi sebagai langkah ekspansi dan pengembangan bisnis

Tak hanya di bidang media, insiatif akuisisi justru begitu terlihat mulai serius di sektor e-commerce. Sebelumnya melalui Lazada Indonesia, Alibaba dikabarkan tengah bersiap melakukan beragam ekspansi ke pasar Indonesia.

Tak hanya itu, model kerja sama pun tampaknya juga menjadi cara yang dinilai efektif dalam memperluas pangsa pasar. Yang jelas, Indonesia memiliki nilai lebih yang siap memutarkan kembali investasi e-commerce menjadi laba, yakni “peminat”.

Cara akuisisi sendiri memang terus menjadi tren di kalangan startup digital, termasuk apa yang dilakukan Go-Jek terhadap startup pengembang asal India guna meningkatkan kapabilitas aplikasi mobile yang dimiliki, akuisisi pengembang solusi mobile pun dilakukan.

Sebuah keuntungan yang didapat perusahaan tidak terlalu dipusingkan menyusun unit bisnis dari nol. Dengan contoh apa yang dilakukan C Channel, fokus di Indonesia berimplikasi harus membangun komoditas bisnis di sini. Tapi dengan adanya Media Makmur, terlebih sebelumnya menjadi mitra strategis ekspansinya, maka yang perlu dilakukan hanya menyatukan visi.

Go-Jek Akuisisi LeftShift India untuk Perkuat Tim Aplikasi Mobile

Go-Jek mengumumkan akuisisi terhadap LeftShift, sebuah konsultan pengembang aplikasi mobile yang berbasis di India. Dengan akuisisi, atau lebih tepatnya acqui-hire ini, para pengembang LeftShift akan bergabung dengan Go-Jek Engineering India yang berpusat di Bangalore. Hal ini bakal menambah kembali jajaran pekerjaan teknis yang “diekspor” ke India.

LeftShift sebelumnya merupakan konsultan Go-Jek dalam pengembangan aplikasi mobile. Managing Director Go-Jek Engineering India Sidu Ponnappa dalam pernyatannya mengungkapkan Go-Jek telah menjadi klien Leftshift selama setahun terakhir dan menyanjung Leftshift dalam jajaran pengembang aplikasi mobile terbaik di negara tersebut.

Go-Jek bukanlah satu-satunya startup Indonesia yang menggunakan jasa LeftShift. Tokopedia juga masuk ke dalam jajaran portofolionya.

Seperti dikutip dari e27, Pendiri dan CEO Leftshift Sudhanshu Raheja dalam pernyataannya mengungkapkan, “Peluang dan tantangan di Go-Jek sangat luar biasa. Memahami cara kerja operasionalnya, kami tahu bahwa sumberdaya dan teknologi kami bakal menjadi komplemen dan mengakselerasi pengembangan produk Go-Jek.”

Tidak pernah akuisisi layanan pengembang di Indonesia

Go-Jek setidaknya sudah 3 kali mengakuisisi layanan konsultan teknologi (dan satu layanan teknologi kesehatan) di India, sedang di Indonesia kemungkinan besar dia baru mengakuisisi sebuah pemilik lisensi e-money. Mengapa mereka memilih mengembangkan tim teknis di India dan tidak mengakuisisi konsultan lokal?

Dengan track record Go-Jek yang sebelumnya juga pernah menggandeng sejumlah konsultan lokal saat pengembangan aplikasi Go-Jek di masa awal, bisa jadi ada standar tertentu yang sayangnya tidak cocok dengan Go-Jek. Entah itu kualitas pekerjaan ataupun harga yang perlu dibayar, pendirian Go-Jek Engineering India merupakan sinyalemen kuat bahwa pekerjaan-pekerjaan teknis tersebut tidak akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat.

Application Information Will Show Up Here