Berkat Aplikasi Chffr, Anda Bisa Membantu Perkembangan Sistem Kemudi Otomatis

Mekanik, programmer, ahli robotik dan ilmuwan di berbagai penjuru dunia tengah bekerja bersama guna mengembangkan dan mematangkan sistem kemudi otomatis. Di saat yang sama, seorang pemuda berusia 26 tahun asal AS punya ambisi kuat untuk menciptakan perangkat beserta AI (artificial intelligence) yang bisa memberikan kemampuan kemudi otomatis pada sejumlah mobil di akhir tahun 2016 ini.

Pemuda tersebut adalah George Hotz, atau yang dikenal dengan julukan “geohot” ketika dirinya masih berkutat di dunia jailbreaking perangkat iOS di usianya yang masih belia. Namun belakangan Hotz membentuk sebuah startup bernama Comma.ai dengan fokus pada teknologi kemudi otomatis.

Hotz memang memiliki timnya sendiri dalam mewujudkan misinya, akan tetapi ia juga mengandalkan metode crowdsourcing, dimana kita sebagai konsumen biasa juga bisa berkontribusi terhadap perkembangan sistem kemudi otomatis garapannya. Langkah semacam ini jarang diambil oleh pabrikan otomotif, tapi Hotz cukup percaya diri bahwa cara ini bisa mengajari AI bagaimana cara mengemudi seperti manusia sebenarnya.

Hotz mengembangkan aplikasi bernama Chffr yang bisa didapat secara cuma-cuma di Android – sejauh ini masih dalam tahap beta, dan versi iOS-nya akan menyusul ke depannya. Aplikasi ini pada dasarnya akan merekam seluruh kegiatan mengemudi pengguna, memperhatikan semua faktor penting yang tertangkap kamera, seperti pejalan kaki, pesepeda, batas jalan sampai rambu lalu lintas.

Video yang sudah diunggah ke server Comma.ai bisa ditinjau kembali dari browser / Comma.ai
Video yang sudah diunggah ke server Comma.ai bisa ditinjau kembali dari browser / Comma.ai

Semua yang direkam kamera ponsel Anda ini akan diunggah ke server Comma.ai setibanya Anda di rumah dan terhubung dengan Wi-Fi. Data-data ini kemudian akan dikompilasi dan dianalisa, hingga akhirnya bisa dijadikan ‘bahan belajar’ oleh AI garapan Comma.ai.

Sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi pengguna, mereka akan memperoleh “Comma Points” selama aktif menggunakan Chffr, meski sejauh ini belum ada informasi hadiah apa yang bisa ditukar dengan Comma Points tersebut.

Chffr bisa dibilang merupakan cara termudah untuk membantu perkembangan sistem kemudi otomatis. Selanjutnya kita tinggal menunggu dan berharap Comma.ai tidak meleset dalam memenuhi misinya menghadirkan set perangkat kemudi otomatis untuk mobil yang bisa dipasang semudah merakit furniture IKEA dan dihargai tak lebih dari $1.000.

Sumber: CNET.

Honda dan SoftBank Kembangkan AI untuk Dijadikan Asisten Pribadi Pengemudi Mobil

Bicara mengenai robot, dunia pastinya masih ingat dengan ASIMO. Diperkenalkan di tahun 2000, robot buatan Honda ini menuai popularitas berkat kemampuannya berjalan, berlari dan bahkan menari. 16 tahun kemudian, Honda tampaknya sudah siap meneruskan jejaknya di bidang robotik dan sistem kecerdasan buatan.

Langkah berikutnya ini Honda jalani bersama SoftBank. Raksasa telekomunikasi asal Jepang tersebut juga cukup berpengalaman di bidang robotik, terbukti dari robotnya yang bernama Pepper yang menjalani debut pada tahun 2014.

Kerja sama antara Honda dan SoftBank ini bertujuan untuk menciptakan sistem kecerdasan buatan (AI) yang berperan sebagai asisten pribadi pengemudi mobil, lengkap dengan kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi secara alami.

Bukan, mereka bukannya berniat mengembangkan mobil robot macam KITT dari serial TV Knight Rider, namun ini bisa dianggap sebagai langkah awal dari visi jangka panjang menuju hal tersebut.

AI hasil kolaborasi Honda dan SoftBank ini akan banyak memanfaatkan teknologi yang menenagai Pepper, dimana robot tersebut punya tujuan untuk menyenangkan hati manusia. Untuk kali ini, fokusnya ada pada konsep keharmonisan antara pengemudi dan sarana transportasinya.

Dua spesialis robotik bekerja sama mengembangkan AI untuk mobil tentunya merupakan kabar baik bagi industri otomotif, sekaligus menunjukkan komitmen pabrikan dalam mengusung definisi mobil pintar ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Sumber: TechCrunch.

Jalan Panjang “Bot” dan Kecerdasan Buatan di Indonesia

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan tengah menjadi perbincangan hangat dalam beberapa tahun belakangan ini dan Indonesia menjadi salah satu negara yang mulai ikut meliriknya. Saya mendapat kesempatan berbincang dengan Adrian Li (Convergence Venture), Irzan Raditya (YesBoss), dan Jim Geovedi (computer scientist praktisi machine learning) untuk membahas lebih jauh seperti apa perkembangan AI nantinya di Indonesia, terutama teknologi bot (kependekan dari robot) yang saat ini tengah naik daun lewat layanan chatbots.

Kecerdasan buatan, bot, dan hal yang mampu dilakukannya

Merujuk pada Oxford Dictionaries, AI adalah teori dan pengembangan sistem komputer yang mampu melakukan sejumlah tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia seperti persepsi visual, pengenalan suara, pengambilan keputusan dan terjemahan antar bahasa.

Jim menjelaskan bahwa AI sendiri identik dengan kata robot (sering disingkat dengan bots) yang saat ini biasa digunakan untuk merujuk pada mahluk mekanik atau program komputer (software agent) virtual. Lebih jauh, istilah bot ini juga sering dikombinasikan dengan kata lainnya untuk membentuk istilah baru (portmanteau) seperti chatbots dan botnet.

Adrian Li mengatakan, “Pada dasarnya, AI dan bot ini menggunakan komputasi canggih untuk menggantikan tanggapan manusia dan tugas-tugas sederhana. Contohnya ditunjukkan melalui game strategi seperti Catur, Go, dan simulasi interaksi. AI yang sesungguhnya mampu belajar melalui interaksi dan mengembangkan kesadaran diri. Namun, dalam arti praktis saat ini AI digunakan untuk mengotomatisasi tugas-tugas dasar seperti penjadwalan pertemuan atau pengolahan Natural Language Processing [NLP] melalui chatting bot.”

Sementara itu Irzan mengatakan, “AI ini yang sedang banyak dikembangkan oleh banyak orang lebih ke arah NLP tapi cakupannya sebenarnya luas. […] Sedangkan chatbots itu adalah produk, tidak harus merupakan AI. […] AI itu ada sebagai otak yang membuat conversation­-nya seperti sedang berbicara dengan manusia.”

Meski dalam 50 tahun belakangan ini AI telah mengalami peningkatan yang drastis, AI juga sempat mengalami penurunan kepercayaan untuk pengembangannya di tahun 1970-an. Jim mengungkapkan, kondisi ini disebut “AI Winter” di kalangan pengembang. Butuh satu dekade untuk bisa bangkit kembali setelah sejumlah inisiatif komersil muncul dengan target-target yang realistis dan tidak seambisius sebelumnya.

Jim mengatakan, “Sampai saat ini kecerdasan buatan yang sesungguhnya memang belum tersedia. Namun, jawaban terhadap pertanyaan ‘Apa yang mereka bisa lakukan dalam kehidupan kita?’ bisa diperlihatkan oleh implementasi AI […] seperti program SIRI yang dikembangkan Apple,[…] mekanisme rekomendasi teman atau post di Facebook, layanan ‘OK, Google’, […] atau autonomous cars yang dikembangkan oleh Tesla, Google, atau Baidu.”

Naiknya popularitas AI dan chatbots di Indonesia

Menurut Jim, sejumlah kolega ilmuan dan pengembang AI menyebutkan bahwa momentum kebangkitan kembali penelitian di bidang ini dimulai ketika sebuah lokakarya bertemakan “Deep Learning for Speech Recognition and Related Applications” bersamaan dengan konfrensi tahunan NIPS pada tahun 2009 digelar. Di samping itu, majunya penelitian di bidang perangkat lunak, perkembangan perangkat keras, dan biaya pengolahan big data yang makin terjangkau juga turut memberikan kontribusi terhadap kebangkitan AI.

Di Indonesia sendiri chatbots yang identik dengan AI kini tengah naik daun dan dinilai memiliki potensi pengembangan bisnis yang bagus. Adrian menjelaskan bahwa salah satu alasan chatbot mulai dilirik yaitu karena chat adalah UI (User Interaction) yang paling mudah dan sederhana untuk digunakan oleh pengguna awal internet atau e-commerce untuk berinteraksi. Perusahaan seperti YesBoss yang telah mengembangkan NLP dan memungkinkan orang untuk secara mudah meminta layanan apapun melalui chatting adalah salah satu bukti yang sangat populer.

Lebih jauh, Adrian mengatakan, “Meski chatting adalah UI yang kuat untuk meningkatkan konversi dan interaksi secara tradisional, ini sangat unscalable. Anda memerlukan operator manusia di sisi lain. Namun, kemajuan dalam NLP dan dasar AI memungkinkan kita untuk mengotomatisasi interaksi chatting yang kemudian membuat UI chatting terukur dan bisa dikomersilkan.”

Sementara itu Jim menyampaikan jawaban yang diperolehnya dari Yohanes Nugroho terkait dengan popularitas bot yang mulai naik.

“Ada faktor kejenuhan pengguna pada apa yang ditawarkan ‘apps’ pada umumnya, selain itu kebanyakan UI/UX dari ‘apps’ tersebut dinilai kurang baik sehingga membuat repot pengguna dalam menemukan apa yang mereka cari.”

Faktor lain yang membuat popularitas teknologi chatbots naik yang disampaikan oleh Irzan adalah pesatnya perkembangan media sosial dan karakter orang Indonesia yang gemar mengobrol lewat aplikasi.

Pendekatan mengembangkan bisnisnya di tahap awal

Kecerdasan buatan dan bot butuh masukan data yang memadai dan kolaborasi berbagai pihak / Flickr - Sean Davis
Kecerdasan buatan dan bot butuh masukan data yang memadai dan kolaborasi berbagai pihak / Flickr – Sean Davis

Sebagai salah satu pemain di industri, Irzan sendiri optimis dengan arah perkembangan AI di Indonesia ke depannya. Ada banyak ranah yang bisa dijamah oleh AI, mulai dari e-commerce, institusi finansial, hingga pemerintahan. Singapura pun kini tengah dalam perbincangan mengembangkan chatbots dan Irzan percaya bahwa Indonesia juga bisa melakukan hal yang sama ke depannya meski waktu yang dibutuhkan akan jauh lebih lama mengingat keragaman bahasa yang dimiliki.

Jim mengatakan, “Untuk konteks chatbots, saya melihat potensi implementasi yang berhubungan dengan pelayanan pelanggan [customer service] dan layanan asisten digital yang bisa berfungsi sebagai pemberi rekomendasi produk. Pendapat saya tersebut didasarkan atas obvervasi personal saya terhadap pola interaksi pengguna dengan pembuat produk maupun penyedia layanan. Misalnya […] cukup banyaknya akun resmi jenama [merek] di Twitter atau Facebook Pages mulai menanggapi keluhan layanan yang disampaikan.”

Pun demikian, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh para pelaku pengembang AI di Indonesia. Irzan dan Adrian senada menyebutkan bahwa mengumpulkan data adalah salah tantangan terbesar dalam mengembangkan AI. Konsistensi penggunaan bahasa Indonesia oleh penuturnya baik secara lisan maupun tulisan juga akan menjadi salah satu tantangan lainnya.

Adrian mengatakan, “Salah satu tantangan utama dengan mengembangkan NLP yang diandalkan untuk chatting AI adalah input data yang cukup. Pengembangannya tidak hanya menciptakan kode yang dapat memahami permintaan manusia, tetapi input data yang besar dari permintaan juga dibutuhkan dalam rangka menciptakan pengenalan pola dan memahami semua jenis variasi dalam membuat permintaan. Oleh karena itu dalam rangka untuk mengembangkan mesin NLP diandalkan perusahaan akan perlu memiliki volume besar [1M +] permintaan untuk belajar dari itu.”

Adrian dan Irzan juga menyampaikan nada yang sama bahwa di fase awal ini layanan gratis akan diperlukan dalam rangka mengembangkan bot. Namun, ke depannya chatting sebagai sebuah layanan on demand berbasis AI akan menjadi bisnis yang handal dan bisa ditawarkan kepada UKM atau pedang untuk pemasaran produk yang lebih baik.

“Ini tentang mengedukasi pasarnya untuk memenangkan market share-nya” ujar Irzan.

Harapan untuk masa depan AI dan bot di Indonesia

Meluncurkan teknologi atau layanan AI tidak sesederhana meluncurkan layanan e-commrce. Di samping memerlukan masukkan data yang memadai untuk membuat sebuah engine yang bisa mengolah bahasa Indonesia dengan segala akronim yang ada, keterbukaan penelitian untuk berkolaborasi dan saling berkontribusi juga diperlukan.

Irzan mengatakan, “Kita [Indonesia] butuh lebih banyak kolaborasi antar penyedia jasa, penyedia API di sini [Indonesia], dan butuh banyak developer lokal belajar ke arah AI. Karena tanpa tenaga manusianya itu sendiri teknologi ini tidak akan terwujud.”

Sementara itu Jim menyampaikan bahwa dirinya berharap pengembangan teknologi-teknologi tersebut bisa dilakukan secara terbuka dengan kontribusi aktif ke komunitas karena pengembangan di area tersebut tidak mungkin dilakukan seseorang atau perusahaan berskala kecil sendirian. Untuk jangka panjang, Jim juga mengharapkan ada keterlibatan aktif dunia akademia pada bidang tersebut.  Jika kontribusi secara teknologi maupun investasi dirasa sulit dilakukan, sebuah entitas bisa merilis dataset untuk keperluan training.

“Saya sangat sadar bahwa teknologi kecerdasan buatan sangatlah seksi buat banyak orang, namun perlu disadari bahwa perjalanan untuk mengembangkannya masih sangat jauh terlepas dari apa yang sudah dicapai saat ini. Penyesuaian ekspektasi dan strategi implementasi yang baik juga perlu dilakukan sehingga ‘AI Winter’ kedua tidak perlu terjadi,” tandas Jim.

Bagaimana Jika Novel Harry Potter Ke-9 Ditulis Oleh AI, Bukan J. K. Rowling?

Meski saga Harry Potter berakhir setelah ia berhasil mengalahkan Tom Riddle, fans beratnya sudah tidak sabar menanti kelanjutan kisah sang penyihir saat J. K. Rowling menyingkap Harry Potter and the Cursed Child. Rencananya, drama panggung Cursed Child baru akan digelar di akhir Juli nanti, tapi kabar baiknya, Anda sudah bisa membaca ‘fan fiction buku ke-9′ sekarang.

Menyebutnya sebagai fan fiction sebetulnya kurang tepat karena tulisan tersebut bukan dibuat oleh manusia, melainkan kecerdasan buatan kreasi Max Deutsch. Sang programer menggunakan empat buku Harry Potter pertama sebagai acuan LSTM Recurrent Neural Network, yaitu sebuah algoritma deep learning. Selanjutnya, ia meminta AI untuk membagi tulisan dalam bab terpisah. Hasilnya sangatlah unik.

Tentu saja karya LSTM Recurrent Neural Network masih berada jauh di bawah kelas J. K. Rowling. Setelah membaca beberapa paragraf, Anda akan mulai mengerutkan dahi karena lama-kelamaan ceritanya menjadi kian surealis. Namun Deutsch dari awal memang tidak bermaksud mengimitasi kemampuan Rowling, ia ingin menunjukkan bagaimana seandainya neural network digunakan dalam bidang kreatif.

Pada Digital Trends, Deutsch menjelaskan bahwa selama beberapa minggu ia telah melakukan eksperimen terhadap deep learning, dan upaya pembuatan ‘Buku ke-9 Harry Potter’ tersebut merupakan salah satu hasil terbaiknya. “Selain itu, proyek ini adalah cara saya menerapkan ilmu yang telah dipelajari, mencoba menggarap sesuatu yang enak dibaca,” tuturnya.

Deutsch menerangkan lebih lanjut kapabilitas AI ini: komputer ternyata cukup baik dalam membaca ritme serta gaya penulisan sumber teks, namun kalimat-kalimat di sana terasa seperti ocehan tidak jelas. Menariknya, sesekali, kecerdasan buatan betul-betul menuliskan kata-kata yang masuk akal. Oh, karena hanya berbasis dari empat novel Harry Potter, AI tidak mengetahui beberapa tokoh yang ia sertakan di sana telah tewas di buku berikutnya.

Deutsch memang masih membutuhkan banyak waktu menyempurnakan ciptaannya jika ia berharap suatu hari nanti hasil tulisan AI dapat dipublikasi layaknya penulis sungguhan. Buat sekarang, proyek ini sukses membuktikan bahwa komputer tak hanya bisa menganalisa, namun juga mampu melakukan aksi kreatif.

“Definisi kreativitas sulit dijelaskan, bahkan dari sisi manusia,” kata Deutsch. “Jika arti kreativitas hanya terbatas pada menciptakan karya baru – dengan mengolah ide-ide yang sudah ada – maka Harry Potter ciptaan neural network boleh dibilang sangat kreatif. Dalam hal ini, mungkin baru pertama kalinya mesin menciptakan kalimat: ‘Dumbledore akan keluar dari belakang kue krim.”

Tulisan lengkap dari LSTM Recurrent Neural Network dapat Anda baca di Medium.com.

Ini Dia 10 ‘Hukum’ Pengembangan AI Versi CEO Microsoft Satya Nadella

Hanya dalam satu hari saja, Twitter mengubah kecerdasan buatan kreasi Microsoft yang tidak berdosa menjadi mimpi buruk. Dengan mempelajari percakapan di sosial media, chatbot bernama Tay itu tak lama mulai melontarkan tweet-tweet kontroversial. Microsoft akhirnya menonaktifkannya, tapi jangan dikira hal ini menghentikan upaya mereka mendalami bidang AI.

Faktanya, kita sudah lama menggunakan versi kasar dari kecerdasan buatan, dan tema ini juga menjadi perhatian para raksasa teknologi. Melalui sebuah esai di Slate, CEO Microsoft Satya Nadella menjabarkan 10 ketentuan wajib yang sebaiknya dijadikan panduan pembuatan AI, serta turut membahas ‘Tiga Hukum Robot‘ karya penulis fiksi ilmiah legendaris Isaac Asimov dan tulisan Bill Gates di tahun 1995, Internet Tidal Wave.

Esai tersebut diungkap di tengah perdebatan mengenai apakah AI bisa menjadi ancaman sekelas ‘Terminator’ terhadap manusia di masa depan. Belum lama ini saja, sang fisikawan terkenal Stephen Hawking mengingatkan kita mengenai ancaman ‘perlombaan senjata’ berbekal AI yang dilakukan negara-negara maju.

Namun bertolak belakang dari hal itu, Nadella berkeinginan agar manusia dan mesin bisa bekerja sama untuk memerangi penyakit dan kemiskinan. Jadi apa saja hukum dalam pengembangan AI versi CEO Microsoft? Ini dia:

  • AI harus didesain untuk membantu kemanusiaan, serta menghargai kebebasan manusia.
  • AI harus transparan, di mana kita perlu mengetahui bagaimana teknologi bekerja dan apa saja aturannya.
  • AI harus memaksimalkan efisiensi tanpa menghancurkan martabat manusia, dengan turut melestarikan budaya serta menghargai kemajemukan.
  • AI harus dirancang agar dapat menjaga privasi secara pintar.
  • AI harus memiliki algoritma yang dipertanggungjawabkan, sehingga manusia bisa membatalkannya jika mulai membahayakan.
  • AI harus dijaga dari berprasangka agar tidak ada diskriminasi.

Namun dalam pemanfaatan kecerdasaan buatan, terdapat rambu-rambu yang juga harus diikuti oleh manusia:

  • Empati: keadaan mental ini sangat sulit ditiru oleh robot, dan akan sangat berharga dalam interaksi manusia dan mesin.
  • Edukasi: Nadella percaya dengan lebih banyak investasi pada pendidikan, manusia akan dapat mencapai tingkat pemikiran yang lebih tinggi serta menciptakan inovasi yang saat ini belum kita pahami.
  • Kreativitas: merupakan salah satu kemampuan unggulan manusia yang tidak bisa ditiru oleh mesin. Keberadaan AI memperkaya serta menyempurnakan kreativitas.
  • Keputusan dan tanggung jawab: kita boleh saja menerima hasil analisis dan diagnosis komputer, namun keputusan dan pertanggungjawaban tetap berada di pundak manusia.

Via Geek Wire. Header: Business Insider.

Anki Cozmo Ialah Robot Mungil yang Punya Emosi, Berkarisma dan Bisa Berinteraksi dengan Manusia

Masih ingat dengan Anki, perusahaan robotik yang didirikan oleh tiga cendekiawan asal Carnegie Mellon University? Dalam tiga tahun terakhir, mereka sempat mencuri perhatian lewat Anki Drive dan Anki Overdrive, yang tak lain merupakan permainan balap mobil berbekal kecerdasan buatan.

Kini Anki sudah siap mewujudkan visinya yang diusung sejak awal perusahaan terbentuk, yakni menghidupkan sebuah karakter robot yang punya emosi, berkarisma dan dapat berinteraksi dengan manusia. Bernama Anki Cozmo, robot ini merupakan hasil riset dan pengembangan dari tim yang memiliki latar belakang sangat beragam, mulai dari ahli robotik, animator, game developer sampai desainer Batmobile.

Cozmo istimewa karena ia merupakan perpaduan teknologi robotik dan kecerdasan buatan. Wujudnya sepintas memang mirip robot dari film WALL-E garapan Pixar, dan ukurannya pun hanya sekepalan tangan; tapi jangan salah, dalam sedetik saja ia dapat mengolah data lebih banyak ketimbang seluruh robot Mars Rover buatan NASA.

Namun letak keunikan Cozmo justru ada pada karismanya. Berbekal teknologi computer vision dan emotion engine, Cozmo dapat mengenali dan mengingat wajah beserta nama Anda. Semakin sering Anda berinteraksi dengan Cozmo, semakin terikat pula ia dengan Anda; ekspresi wajahnya akan berbeda ketika melihat orang yang baru ia kenal dan yang sudah ia anggap sebagai sahabat.

Cozmo dapat mengeluarkan ekspresi yang kompleks berdasarkan emosinya saat itu. Jika Anda sudah mengabaikannya terlalu lama, maka ia akan sedikit cemberut. Ia pun tidak betah tinggal diam begitu saja, dan akan mengajak Anda bermain-main dengan sejumlah aktivitas yang bisa diakses lewat aplikasi smartphone.

Anki Cozmo dapat mengenal dan mengingat wajah beserta nama Anda / Anki
Anki Cozmo dapat mengenal dan mengingat wajah beserta nama Anda / Anki

Untuk bisa mulai bermain dengan Cozmo, pengguna sama sekali tak perlu merakit komponen demi komponen. Cozmo bisa langsung diaktifkan melalui aplikasi di perangkat Android maupun iOS. Lucunya, ketika ia sedang di-charge, akan kedengaran suaranya sedang mendengkur.

Anki saat ini sudah menerima pre-order Cozmo seharga $160. Rencananya Cozmo akan mulai dipasarkan secara luas mulai bulan Oktober mendatang dengan harga retail $180. Sepintas ia memang terdengar mahal, namun sebagai perbandingan, replika BB-8 buatan Sphero dibanderol $150, dan robot tersebut sama sekali tak dilengkapi indera penglihatan maupun kecerdasan buatan.

Sumber: Anki.

Minibus Elektrik Ini Padukan Teknologi Kemudi Otomatis dan Kecerdasan Buatan

Di saat pabrikan otomotif tengah berlomba-lomba mengembangkan teknologi elektrik dan kemudi otomatis, sebuah minibus bernama Olli sudah mulai melintasi jalanan-jalanan umum di Washington D.C. dengan sendirinya dan tanpa menghasilkan emisi karbon. Tak hanya itu, Olli juga siap bercengkarama dengan para penumpangnya seramah mungkin.

Olli dirancang dan dibuat oleh pabrikan bernama Local Motors. Bagi yang tidak tahu, Local Motors sempat menjadi buah bibir dua tahun yang lalu ketika mereka memperkenalkan mobil 3D printed pertama di dunia. Sama halnya dengan Olli, sebelum dirakit komponen-komponennya dibuat menggunakan 3D printer.

Kabin Olli sanggup mengakomodasi hingga 12 penumpang. Sistem kemudi otomatisnya dirancang sendiri oleh Local Motors, tapi di saat yang sama mereka juga menyematkan sistem kecerdasan buatan (AI) IBM Watson, membuatnya mampu berinteraksi dengan penumpang secara alami layaknya seorang sopir sebenarnya.

Kabin Olli bisa diisi oleh 12 penumpang sekaligus / Local Motors
Kabin Olli bisa diisi oleh 12 penumpang sekaligus / Local Motors

Berkat Watson, Olli dapat memahami pertanyaan maupun permintaan penumpang yang disampaikan dalam bahasa sehari-hari, seperti misalnya ketika penumpang hendak diantar ke lokasi tertentu, atau ketika penumpang menanyakan tentang cara kerja Olli – mengingat Watson dapat mengakses data yang dikumpulkan oleh sekitar 30 sensor eksternal Olli.

Kehadiran Watson juga memungkinkan Olli untuk merangkap tugas sebagai pemandu wisata, menyampaikan rekomendasi restoran-restoran populer maupun situs-situs bersejarah berdasarkan selera masing-masing penumpang. Sopir dengan bakat pemandu wisata, sebuah perpaduan yang cukup langka sekarang ini.

Dalam beberapa bulan ke depan, Olli akan diuji di jalanan umum Washington D.C. sebelum dibawa ke Miami dan Las Vegas pada akhir tahun. Local Motors juga memiliki visi untuk menghadirkan Olli di luar Amerika Serikat dengan cara membangun pabrik-pabrik kecil di berbagai kawasan yang dapat mencetak dan merakit satu unit Olli dalam waktu 10 jam saja.

Sumber: Engadget dan IBM. Sumber gambar: Olli.

Lewat Proyek Magenta, Google Kembangkan AI Berjiwa Seni

Kecintaan dan komitmen Google terhadap kecerdasan buatan (AI) sangatlah besar. Kalau tidak, mereka tidak akan ambil pusing demi merilis TensorFlow secara open-source maupun memperkenalkan versi baru Google Assistant yang lebih cerdas.

AI memang memegang banyak peran dalam kinerja produk-produk Google. Contoh yang paling gampang adalah hasil pencarian dan rekomendasi lagu yang diberikan pada layanan Google Play Music, tidak ketinggalan juga algoritma penyortir foto dalam Google Photos.

Namun kini Google ingin menggali potensi AI lebih dalam lagi. Problem teknis mungkin mudah saja diselesaikan oleh AI, tapi bagaimana dengan pekerjaan yang membutuhkan kreativitas? Bagaimana dengan seni? Apakah AI juga bisa bermain musik atau malah melukis?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadi alasan di balik lahirnya proyek bernama Magenta. Magenta pada dasarnya merupakan upaya riset Google dalam mengembangkan AI yang berjiwa seni, yang bisa menciptakan karya seni dengan sendirinya.

Magenta dipimpin oleh Douglas Eck, seorang peneliti yang sebelumnya bertanggung jawab atas rekomendasi musik dalam Google Play Music. Beliau kini ingin melihat apakah AI juga bisa menciptakan musik di samping sekadar memberikan rekomendasi berdasarkan riwayat dan selera pengguna.

Merupakan bagian dari tim Google Brain, Magenta memanfaatkan teknologi yang dikemas dalam TensorFlow. Proyek ini pun juga akan dijalankan secara open-source, mengundang para peneliti maupun akademisi lain untuk ikut berpartisipasi via GitHub.

Tujuan akhirnya tentu untuk mencari tahu apakah AI benar-benar bisa berkarya di bidang seni atau tidak. Nantinya tim berencana merilis aplikasi Magenta yang akan menampilkan seni rupa maupun musik gubahan AI dari proyek Magenta.

Sumber: Popular Science dan Quartz.

Aplikasi The Roll Andalkan AI untuk Merapikan Camera Roll Anda

Pengguna iPhone, coba cek Camera Roll Anda. Besar kemungkinan isinya berantakan; banyak duplikat di sana-sini. Namun ini malah bisa menjadi pertanda bahwa Anda sangat puas dengan kamera iPhone, sampai-sampai terkadang Anda menjepret terlalu banyak foto.

Manajemen foto yang ditawarkan aplikasi Photos bawaan iPhone sejauh ini masih kurang efisien, hanya mengandalkan fitur timeline saja. Di saat yang sama, foto-foto duplikat masih berkeliaran dan menjadi momok bagi storage iPhone yang terbatas di angka 16 GB saja – beruntung apabila Anda memilih varian yang lebih besar.

Kalau seperti itu masalahnya, Anda bisa mencoba aplikasi baru bernama The Roll. Tujuan utamanya hanya satu, yaitu menjadi pengganti Camera Roll secara penuh. Untuk itu, The Roll mengandalkan kecanggihan kecerdasan buatan (AI) dalam menerapkan manajemen foto secara otomatis.

The Roll akan sangat bermanfaat bagi pemilik iPhone 16 GB / EyeEm
The Roll akan sangat bermanfaat bagi pemilik iPhone 16 GB / EyeEm

Pertama-tama, The Roll akan mengelompokkan foto-foto yang mirip, lalu menempatkan satu foto yang terbaik di paling atas. Selanjutnya, masing-masing foto tersebut akan diberi tag berdasarkan konteks maupun objek yang dijumpai dalam gambar.

Di sinilah peran AI sangat dibutuhkan. Pihak pengembang The Roll menerapkan teknologi pengenal gambar yang telah dilatih dengan jutaan gambar, sanggup mendeteksi beragam objek yang ada di dalam foto Anda secara akurat. Dari situ pengguna nantinya bisa lebih mudah mencari foto-foto tertentu hanya dengan mencantumkan tag-nya.

The Roll akan mencantumkan tag berdasarkan konteks dan objek-objek yang dijumpai pada gambar / EyeEm
The Roll akan mencantumkan tag berdasarkan konteks dan objek-objek yang dijumpai pada gambar / EyeEm

Setelahnya, tiap-tiap foto akan diberi skor berdasarkan aspek estetikanya. Mempertimbangkan itu semua, Anda pun bisa lebih mudah memilih foto-foto terbaik dan menghapus sisanya demi menyediakan storage lebih untuk iPhone Anda yang sudah kritis.

Yang menjadikan The Roll lebih menarik lagi, ia bisa didapatkan di App Store secara cuma-cuma, tanpa ada in-app purchase atau selipan iklan sama sekali. Bagi para pemilik iPhone 16 GB, jangan ragu mengunduh aplikasi ini.

Sumber: PetaPixel.

Viv Ialah Asisten Virtual Berbekal Kecerdasan Buatan dari Pencipta Siri

Pengguna iOS atau bukan, besar kemungkinan Anda mengenal yang namanya Siri. Namun yang mungkin Anda tidak tahu adalah Dag Kittlaus, yang tidak lain merupakan pencipta Siri. Dua tahun setelah Siri diakuisisi oleh Apple di tahun 2010, beliau kembali menekuni bidang kecerdasan buatan (AI) secara mandiri dan pada akhirnya mengembangkan Viv.

Apa itu Viv? Well, Viv bisa dibilang sebagai penerus Siri yang sangat potensial. Dalam ajang TechCrunch Disrupt NY, Dag mendemonstrasikan apa yang membuat Viv begitu istimewa, sekaligus memberikan gambaran terkait ke arah mana nantinya perpaduan asisten virtual dan AI ini akan berkembang.

Keunggulan utama Viv terletak pada kemampuannya memahami percakapan secara spesifik dan berkonteks. Ia seakan-akan punya ingatan tersendiri, sanggup mengaitkan pertanyaan terbaru dengan yang disampaikan pengguna beberapa saat yang lalu.

Dalam demonstrasinya, Dag sempat bertanya ke Viv: “Apakah cuaca di dekat jembatan Golden Gate bakal lebih panas dari 70 derajat Fahrenheit lewat jam 5 sore besok lusa?” Tanpa kesulitan, Viv pun langsung tanggap memberikan jawaban yang diinginkan meski pertanyaannya begitu merinci dan kompleks.

Selain komprehensi yang sangat baik, Viv juga dirancang sebagai platform bersifat terbuka, dimana para developer pihak ketiga bisa dengan mudah mengintegrasikan layanannya masing-masing. Contoh integrasi yang menarik adalah dengan layanan dompet digital Venmo, dimana pengguna tinggal memanggil Viv dan memintanya membayar sejumlah uang ke seorang teman, dan selanjutnya sang pengguna hanya perlu menyentuh tombol “Pay” sebagai konfirmasi.

Itu barulah salah satu contoh, dan paling tidak dalam tahun ini juga bakal ada lebih banyak lagi integrasi layanan pihak ketiga pada Viv. Nantinya Viv diproyeksikan bakal tersedia di bermacam perangkat, namun soal kapan pihak pengembangnya enggan memastikan.

Sumber: TechCrunch.