Menyimak Kinerja Platform P2P Lending di Tengah Pandemi

Pandemi yang masih terjadi hingga saat ini ternyata sudah mulai mengganggu jalannya bisnis layanan p2p lending. Makin minimnya pendanaan yang dikeluarkan hingga masa depan yang masih belum jelas menjadi isu yang disorot vertikal bisnis tersebut saat ini. Dalam sesi #Selasastartup kali ini, DailySocial mengundang Direktur Asetku Andrisyah Tauladan, untuk berbagi informasi dan beberapa kendala yang masih kerap ditemui saat ini.

Menekan risiko gagal bayar

Salah satu fokus utama yang dicoba untuk dipertahankan oleh Asetku sebagai platform p2p lending adalah mempertahankan risiko gagal bayar hingga 0%. Dengan demikian perusahaan bisa meyakinkan kepada pemberi pinjaman (lender) bahwa investasi yang sudah digelontorkan terjamin dan pasti akan kembali.

Di sisi peminjam (borrower), Asetku mencoba untuk mendisplinkan mereka untuk selalu mematuhi perjanjian, terkait dengan pembayaran yang wajib dilakukan. Dengan demikian perusahaan bisa melihat dan melakukan kurasi organik, siapa saja peminjam yang memiliki rekam jejak positif.

“Karena kebanyakan lender kita adalah kalangan ritel yang memberikan pendanaan kepada mereka peminjam yang kebanyakan adalah mitra dari layanan e-commerce, kami menyadari benar kebutuhan dan kebiasaan dari para lender kami. Untuk itu meskipun pandemik berlangsung, kami mencoba untuk mempertahankan risiko gagal bayar tetap di nol persen,” kata Andrisyah.

Disinggung seperti apa demografi dari lender yang telah bergabung di Asetku, secara umum dari kalangan berusia sekitar 37 tahun. Sementara untuk borrower kebanyakan berasal dari kalangan milenial yang berusia sekitar 25 tahun.

“Itu semua sesuai dengan target kami mulai dari usia, pekerjaan hingga kebutuhan mereka untuk melakukan pinjaman hingga memberikan pendanaan melalui platform Asetku,” kata Andrisyah.

Besarnya pasar layanan p2p lending

Meskipun saat ini makin banyak bermunculan layanan p2p lending di Indonesia, tidak menjadikan platform seperti Asetku kehilangan target pengguna. Dengan kebijakan dan pemahaman yang benar di antara masing-masing pemain, masih banyak segmentasi pengguna yang bisa dirangkul. Untuk itu masing-masing penyedia harus menentukan dengan tepat, layanan seperti apa yang ingin dihadirkan dan siapa target pengguna yang ingin diincar.

“Saat ini baru sekitar 3,4% pendanaan yang digelontorkan kepada UKM oleh layanan p2p lending, artinya masih besar peluang untuk masing-masing pemain bermain di layanan tersebut yang bisa menguntungkan target pengguna,” kata Andrisyah.

Selama penyebaran virus Covid-19 ini menurut Andrisyah akan makin terlihat, siapa saja pemain yang akan unggul dan siapa di antara mereka yang bakal tergerus dan terpaksa tutup layanan. Makin ketatnya masyarakat umum menyimpan uang mereka dan menahan keperluan untuk berinvestasi, menjadikan pemain yang masih baru dan belum menjadi top of mind masyarakat akan kehilangan peluang.

“Ke depannya saya lihat konsolidasi pun mungkin akan terjadi di antara pemain-pemain baru yang masih kecil tersebut. Di sisi lain untuk pemain yang sudah besar dan cukup populer, akan makin cerdas lagi mengatur model bisnis mereka,” kata Andrisyah.

Di Asetku sendiri sejak bulan Januari 2020 ketika Covid-19 sudah mulai menyebar di Wuhan, Tiongkok, perusahaan telah menyiapkan modeling risiko. Tujuannya untuk memastikan lender dan borrower bahwa pinjaman dan investasi yang telah diberikan bisa berjalan secara normal. Modeling tersebut yang diklaim mampu untuk mempertahankan posisi risiko gagal bayar Asetku berada dalam posisi 0%.

“Kami telah menerapkan beberapa tahap modeling, di antaranya adalah memberikan potensi dan probabilitas terbaik bagaimana proses disburse loan yang tepat, memanfaatkan data, demografi dan histori para calon peminjam,” kata Andrisyah.

Cara lain adalah Asetku menunda pemberian pendanaan kepada peminjam yang sudah mendaftarkan untuk sementara dan hanya fokus kepada peminjam dan pemberi pinjaman yang sudah berjalan saat ini. Secara langsung cara tersebut mempengaruhi kepada penjualan dari perusahaan. Namun sesuai dengan misi perusahaan agar bisnis bisa berjalan secara stabil, sikap hati-hati dalam mengambil keputusan patut untuk diterapkan.

Masa depan layanan p2p lending

Masih diwarnai dengan berita miring soal pinjaman online ilegal, namun dengan menerapkan proses yang benar dan tidak asal memilih, dipastikan semua layanan p2p lending ilegal tersebut bisa diminamilisr jumlahnya. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara pinjaman online ilegal dan layanan p2p lending yang terdaftar oleh OJK. Kebanyakan mereka yang ilegal tidak memiliki kantor di Indonesia dan hanya memanfaatkan aplikasi yang kemudian diunggah di Play Store untuk menyebar luaskan layanan mereka.

“Yang bisa dilakukan oleh masyarakat umum adalah melihat apakah layanan p2p tersebut sudah terdaftar di OJK. Langkah tersebut bisa digunakan untuk memverifikasi layanan yang resmi dan terdaftar di Indonesia,” kata Andrisyah.

Meskipun baru muncul tahun 2016 lalu, saat ini layanan p2p lending telah muncul sebagai platform pilihan kalangan unbanked dan underserved, untuk mencari alternatif pinjaman atau tambahan modal. Kolaborasi dengan berbagai pihak terkait pun makin agresif dilancarkan, seperti perbankan, layanan e-commerce, penyedia layanan digital untuk verifikasi hingga tanda tangan digital. Semua kolaborasi tersebut wajib diperluas untuk mengembangkan ekosistem layanan p2p di Indonesia.

Welcoming the Digital Bank in Indonesia

Banking, the oldest financial industry in the world, is now demanded to transform towards digital, both in service to consumers and in its operations. While on the external side they are also required to work closely with fintech startups so as not to be increasingly eroded by technological trends.

Many recognize, by utilizing digital technology can provide efficiency, because it does not merely rely on the quantity of physical and non-physical assets. So most of the solutions offered are disruptive, disrupting old habits.

Banks cannot rely on cooperation with third parties forever so that business does not erode. They are demanded to be more efficient by fully adopting digital, finally a newer banking model is known as digital bank (or virtual bank).

According to IBM, digital banks are different from other forms of digital banking because they are only online, do not have branch offices in a country. Consumer expectations from here are savings on bank facilities and staff which ultimately translates into higher interest rates for savings and lower interest rates for loans.

The most noticed difference is the emotional connection when visiting the branch office to interact, rent a safe, ask for bankers’ advice and so on.

Digital bank in Indonesia: Awaiting for legal umbrella

Indonesia is yet to have a legal umbrella related to the digital bank. The discourse has been spoken yet the formal framework is yet to be drafted. Currently, the most active digital banks are still under the name of conventional banks, such as BTPN Jenius (2016) and DBS Digibank (2017).

jenius 2019

Legal regulation regarding digital bank is accommodated by POJK Number 12 of 2018. As stated, the definition of digital banking services is a service developed by optimizing the utilization of customer data in order to serve customers faster, easier and in accordance with demands; and to be run independently by the customer, by taking into account the security aspects.

OJK also mentioned that providers are limited to banks that were at least categorized as commercial banks (BUKU) II or core capital ownership between IDR1 trillion to IDR5 trillion. Regulations regarding virtual banks or banks without physical presence have not been accommodated in the POJK.

dbsbank

The limitation aims for the regulator wants to ensure that all fundamentals carried out are in the guidelines of banking regulations. Entering the BUKU II category can influence the scope of business activities of the bank itself, the most influential is that they can start the payment system and e-banking activities without having to be limited if they are still in BUKU I category.

In terms of the services provided, either Jenius or Digibank have not really targeted the unbanked. The map of its distribution is strategically not directly mass but slowly entering big cities. For example, Jenius by the end of 2019, opened booths in Malang, Medan, Makassar, Palembang, Yogyakarta, Bali, and of course Jakarta in its pilot project.

However, this is no longer an issue because Jenius is now facilitated with video call KYC, therefore, one can create an account without having to visit the booth. It’s an innovative feature, but it does not enough.

There must be an impact on unbanked society. It’s different from the current situation, fintech lending or payment expansion intends to make fast customer acquisition because there’s business “pie” where the banking industry has yet to cover.

Although the legal umbrella is yet to be drafted, based on the issued regulation, the digital bank map is getting crowded. Marked by the entrance of conglomerates, big-name investors, and startups are acquiring small banks since last year.

Salim Group took Bank Ina Perdana, Jerry Ng (senior banker) and Patrick Walujo (Northstar Group) towards Artos Bank, BCA to Bank Royal and Rabobank (to be merged into one of BCA’s subsidiaries), Akulaku to Bank Yudha Bhakti.

All actions above are yet to come to its peak, except Akulaku and Bank Yudha Bhakti. However, the preparations have begun. BCA, for example, has targeted Bank Royal to start a pilot project in the second half of this year and is ready to add Rp3 trillion capital to boost up its movements.

Meanwhile, Bank Artos has been occupied by BTPN’s former employees, effective as per November 15, 2019. They are Jerry Ng (President Commissioner), Anika Faisal (Board of Commissioners), Kharim Indra Gupta Siregar (President Director), Arief Harris Tandjung (Deputy Directors Main) and Peterjan van Nieuwenhuizen (Directors). This succession marks great hope to repeat the success of Jenius under the same leadership.

The close relationship between Patrick Walujo and Gojek has started a rumor of Bank Artos to become GoBank (Gojek’s banking). He said the rumor was not true. In a panel discussion forum, he mentioned there was a discussion to make use of the Gojek ecosystem with the employment of Bank Artos with expertise in banking.

However, it turned out the concept of Bank Artos did not exclusively involved as Gojek bank. Although, banks are specifically directed to become digital banks. “Because we see a demand that market alone cannot fulfill, in terms of the digital bank,” Patrick said while being a speaker at a conference in late January 2020.

Before investing in Bank Artos, Patrick had previously invested in BTPN in 2008, through TPG Nusantara, a joint venture with Trans Pacific Group. He bought 71% of  BTPN’s shares for $195 million (around Rp1.8 trillion then). The shares were released gradually until 2015, they secured Rp5.3 trillion by releasing 17.5% shares.

“I invite Jerry Ng to join and work on BTPN’s business. The bank entered the mass market, those small traders in traditional markets whose markets are large and well-developed, until the state-owned banks entered,” Patrick added.

When Bank Royal, Bank Artos, and Bank Yudha Bhakti have started, they’re expected to offer more variant products and facilitate the unbanked population.

According to the latest report of e-Conomy SEA 2019 by Google, Temasek and Bain & Company, there is 51% Indonesian population in the unbanked class, 26% underbanked, and 23% banked.

“There are lots of business players in need of funding, yet have difficulty in getting a loan from the bank due to collateral issues. The demand is quite potential for digital bank services,” Walujo said.

Hong Kong might be the best example, with eight digital banks actively run since the license has been issued in 2019. ZA Bank offers interest for a time deposit at a maximum of 6.8% for three months tenor for savings of 100 thousand Hong Kong dollar (around Rp176 million).

Unlike conventional banks, such as HSBC and Standard Chartered, which offers 2%-3% interest for high amount savings.

Managing Director VC Asset Management, Louis Tse Ming-Kwong said this is an effort of new players to increase brand awareness and acquire the customer base.

“the interest war is not limited to virtual banks, but encouraged conventional banks to respond in order to maintain market share,” he said.

Different cities, different growth

Regarding virtual banks, Indonesia is yet to create a legal umbrella. The requirement to create a digital bank can only available with a banking license. It’s unlike the two neighbor countries, Singapore and Malaysia.

Singapore issued five licenses for non-banking digital banks, two of those with full license and three for wholesale bank licenses. The announcement will be made in June 2020 and the five selected companies are expected to start their business immediately in mid-2021.

Requirements given by the Central Bank of Singapore are also different for each license. For a full license must meet the capital of 1.5 billion Singapore dollars and must be controlled by local people. They are allowed to provide a variety of financial services as well as to save savings from retail customers.

Meanwhile, wholesale banks allow those who want to serve SMEs and other non-retail segments. With minimum capital of 100 million Singapore dollars. Submissions are open to local and foreign companies.

There are 21 candidates competing for the license, both in the form of consortium and individuals. The interesting part, most of the submissions came from technology companies from China because the Central Bank of Singapore has opened this opportunity for non-banking.

lisensi singapura

The entrance of new players in the Merlion Country is not highlighting on the “new kid”, it’s rather the kind of service to offer. As the Professor of Information Systems at Nanyang Business School Boh Wai Fong said, new players are expected to be able to serve low-income people or new companies that cannot meet traditional bank credit requirements.

There are 38% of adults in Singapore who are underbanked, even though the country has been mature in terms of the financial industry, according to the 2019 e-Conomy report compiled by Google, Temasek, and Bain & Company.

In a helicopter view, the high interest of foreign technology players in Singapore indicates further penetration to the Southeast Asian market. Although this license will only be valid in Singapore, the business model is considered very feasible to be replicated in the region.

As important, Singapore does not have a digital bank at all. The country has been dominated by large banks such as DBS, UOB, and OCBC. The three, according to Boh, are already “too good for too long” and monopolize the market.

Malaysia also conducted the same contest by issuing five digital bank licenses. Submission is open to non-banks, bank is capable whether they want to separate the digital banks through joint ventures.

The neighbor country issued a draft exposure on the License Framework for Digital Banks as a way to promote the development of digital banks in line with directions taken by regulators in Singapore and Hong Kong. Both have issued similar work license frameworks in the past two years.

The Central Bank of Malaysia said the draft will be finalized in the first half of this year. At the same time, the application for a new license can be made for interested candidates.

Meanwhile, the Philippines has granted four digital bank licenses to CIMB Bank and ING Bank, Tonik and Rizal Commercial Banking Corporation (RCBC). Except for RCBC, digital banks are run by regional banks. Thailand has already formed a digital bank named Timo which was established in 2016.

bankdigital


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Selamat Datang Bank Digital

Perbankan, industri finansial tertua di dunia, kini dituntut untuk bertransformasi menuju digital, baik dalam layanan kepada konsumen maupun pada operasionalnya. Sembari di sisi eksternal mereka juga dituntut untuk bekerja sama dengan startup fintech agar tidak semakin tergerus dengan tren teknologi.

Banyak yang mengakui, dengan memanfaatkan teknologi digital dapat memberikan efisiensi, karena tidak melulu mengandalkan kuantitas aset fisik maupun non-fisik. Makanya sebagian besar solusi yang ditawarkan bersifat disruptif, mengganggu kebiasaan lama.

Bank tidak bisa selamanya mengandalkan kerja sama dengan pihak ketiga saja agar bisnis tidak terkikis. Mereka dituntut untuk semakin efisien dengan sepenuhnya mengadopsi digital, akhirnya muncul model perbankan yang lebih baru  dikenal dengan bank digital (atau bank virtual).

Menurut IBM, bank digital berbeda dengan bentuk perbankan digital lain karena mereka hanya berbentuk online, tidak memiliki kantor cabang dalam suatu negara. Ekspektasi konsumen dari sini adalah penghematan fasilitas dan staf bank yang akhirnya diterjemahkan sebagai suku bunga yang lebih tinggi untuk tabungan dan suku bunga yang lebih rendah untuk pinjaman.

Perbedaan yang paling mereka rasa adalah hubungan emosional saat mendatangi kantor cabang untuk berinteraksi, menyewa brankas, meminta saran bankir atau sebagainya.

Bank digital di Indonesia: Masih menunggu payung hukum

Indonesia belum memiliki payung hukum terkait bank digital. Wacana pembuatan sudah ada, tapi kerangka kerja formal yang sayangnya belum ada. Saat ini, bank digital yang beroperasi masih di bawah bendera bank konvensional, yakni BTPN Jenius (2016) dan DBS Digibank (2017).

Payung mengenai bank digital baru diakomodasi oleh POJK Nomor 12 Tahun 2018. Dijelaskan, definisi layanan perbankan digital adalah layanan yang dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan data nasabah dalam rangka melayani nasabah secara lebih cepat, mudah dan sesuai dengan kebutuhan; serta dapat dilakukan secara mandiri sepenuhnya oleh nasabah, dengan memperhatikan aspek pengamanan.

OJK juga menyebut bahwa penyedia ini hanya bisa dilakukan oleh bank yang minimal masuk kategori bank umum kelompok usaha (BUKU) II atau kepemilikan modal inti antara Rp1 triliun sampai Rp5 triliun. Peraturan mengenai bank virtual atau bank tanpa kehadiran fisik belum diakomodasi dalam POJK tersebut.

Limitasi ini dimaksudkan bahwa regulator ingin memastikan seluruh fundamental yang dilakukan berada dalam rambu-rambu aturan perbankan. Masuk BUKU II berpengaruh pada lingkup kegiatan usaha bank itu sendiri, yang paling berpengaruh adalah mereka dapat memulai kegiatan sistem pembayaran dan e-banking tanpa harus dibatasi apabila masih di BUKU I.

Dari segi layanan yang ditawarkan, Jenius maupun Digibank belum ada yang benar-benar menyasar kalangan unbanked. Peta persebarannya secara strategis tidak langsung massal melainkan perlahan-lahan masuk ke kota-kota besar. Misalnya, Jenius per akhir 2019, buka booth di Malang, Medan, Makassar, Palembang, Yogyakarta, Bali, dan tentu saja Jakarta pada pilot project-nya.

Meski demikian, ini tidak lagi menjadi isu karena pembukaan rekening di Jenius sudah difasilitasi dengan layanan video call KYC, sehingga tanpa harus datang ke booth pun bisa menjadi nasabah. Fitur yang cukup inovatif, tapi tidak bisa berhenti di situ.

Harus ada dampak yang diberikan untuk nasabah unkanked. Beda ceritanya dengan kondisi saat ini, ekspansi startup fintech lending atau payment yang terlihat lebih cepat dalam menggaet target nasabahnya karena ada “kue bisnis” yang belum dijamah oleh perbankan.

Meski payung hukum belum ada, dengan berbekal aturan yang sudah diterbitkan, kini peta bank digital mulai ramai. Ditandai masuknya para konglomerasi, investor kelas kakap, hingga startup ramai-ramai akuisisi bank kecil sejak tahun lalu.

Salim Group sudah mencaplok Bank Ina Perdana, Jerry Ng (bankir senior) dan Patrick Walujo (Northstar Group) ke Bank Artos, BCA ke Bank Royal dan Rabobank (akan dilebur ke salah satu anak usaha BCA), Akulaku ke Bank Yudha Bhakti.

Seluruh aksi di atas belum menunjukkan taringnya, kecuali Akulaku dan Bank Yudha Bhakti. Namun persiapannya sudah mulai terasa. BCA misalnya sudah menargetkan Bank Royal mulai pilot project pada paruh kedua tahun ini dan siap menambah modal hingga Rp3 triliun agar geraknya semakin lincah.

Sementara, Bank Artos telah ditempati oleh orang-orang eks BTPN, efektif per 15 November 2019. Mereka adalah Jerry Ng (Komisaris Utama), Anika Faisal (Dewan Komisaris), Kharim Indra Gupta Siregar (Direktur Utama), Arief Harris Tandjung (Wakil Direksi Utama) dan Peterjan van Nieuwenhuizen (Direksi). Suksesi ini menandai bahwa ada harapan besar untuk mengulang kesuksesan Jenius di bawah pimpinan yang sama.

Hubungan yang erat antara Patrick Walujo dengan Gojek santer dirumorkan Bank Artos akan menjadi GoBank (perbankan milik Gojek). Ia menegaskan bahwa rumor tersebut tidak benar. Menurut pengakuannya, dalam suatu forum diskusi panel, memang sempat ada obrolan untuk pemanfaatan ekosistem Gojek dan pendayagunaan tim Bank Artos yang berpengalaman di perbankan.

Namun, pada akhirnya diputuskan bahwa konsep Bank Artos tidak masuk secara eksklusif menjadi bank Gojek. Meski, perbankan memang secara spesifik bakal diarahkan menjadi bank digital. “Karena kami melihat ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh pasar yaitu dari sisi bank digital itu,” kata Patrick saat menjadi pembicara di suatu acara konferensi, akhir Januari 2020.

Sebelum berinvestasi ke Bank Artos, Patrick punya pengalaman berinvestasi di BTPN pada 2008, melalui TPG Nusantara, perusahaan patungan dengan Trans Pacific Group. Ia membeli 71% saham BTPN sebesar $195 juta (sekitar Rp1,8 triliun pada saat itu). Saham dilepas secara bertahap hingga 2015, nominal yang didapat adalah Rp5,3 triliun dengan melepas 17,5% saham.

“Saya mengajak Jerry Ng untuk bergabung dan membenahi bisnis BTPN. Bank tersebut masuk ke mass market yakni para pedagang kecil di pasar tradisional yang pasarnya besar dan berkembang dengan baik, sampai-sampai bank BUMN ikut masuk,” lanjut Patrick.

Apabila Bank Royal Bank Artos, dan Bank Yudha Bhakti mulai beroperasi, diharapkan ada penawaran produk yang lebih variatif dan mudah dipakai oleh masyarakat unbanked.

Menurut laporan termutakhir e-Conomy SEA 2019 yang disusun Google, Temasek dan Bain & Company, ada 51% penduduk Indonesia yang masuk ke golongan unbanked; underbanked 26%; dan banked 23%.

“Ada banyak pelaku usaha yang membutuhkan pendanaan, namun kesulitan meminjam dana ke bank di antaranya karena tidak memiliki jaminan untuk diagunkan. Kebutuhan ini bisa jadi potensi layanan bagi bank digital,” sambung Patrick.

Hong Kong bisa menjadi contoh terbaik, lantaran di negara ini sudah ada delapan bank digital yang beroperasi sejak lisensi diberikan sejak tahun 2019. ZA Bank menawarkan bunga deposito maksimal 6,8% selama tiga bulan untuk simpanan hingga 100 ribu dolar Hong Kong (setara Rp176 juta).

Dibandingkan penawaran dari bank konvensional seperti HSBC dan Standard Chartered, bunga deposito yang ditawarkan antara 2%-3% untuk simpanan dengan nominal tinggi.

Strategi awal ini, menurut Managing Director VC Asset Management Louis Tse Ming-Kwong, merupakan upaya pemain baru unntuk meningkatkan brand awareness, sekaligus mendapatkan basis konsumen.

“Perang tarif mungkin tidak hanya terbatas pada bank virtual, tetapi mendorong bank konvensional untuk merespons mempertahankan pangsa pasar mereka,” ujarnya.

Beda negara, beda perkembangan

Bicara bank virtual, Indonesia memang belum punya payung hukumnya. Persyaratan untuk membuat bank digital baru bisa dilakukan apabila izin dasarnya adalah perbankan. Beda halnya dengan dua negara tetangganya, yakni Singapura dan Malaysia.

Singapura membuka lima lisensi sebagai bank digital untuk non perbankan, dengan rincian dua izin untuk lisensi penuh dan tiga lisensi bank wholesale. Pengumuman akan dilakukan pada Juni 2020 dan kelima perusahaan terpilih diharapkan dapat segera memulai bisnisnya pada pertengahan 2021.

Persyaratan yang diberikan Bank Sentral Singapura pun berbeda untuk masing-masing lisensi. Untuk lisensi penuh harus memenuhi modal senilai 1,5 miliar dolar Singapura dan harus dikendalikan oleh orang lokal. Mereka diizinkan untuk menyediakan berbagai layanan keuangan serta menyimpan tabungan nasabah ritel.

Sedangkan, bank wholesale memungkinkan mereka yang ingin melayani UKM dan segmen non ritel lainnya. Modal minimum 100 juta dolar Singapura. Pengajuan terbuka untuk perusahaan lokal dan asing.

Ada 21 calon kandidat yang bersaing untuk mengantongi izin tersebut, baik berbentuk konsorsium maupun individu. Menariknya, kebanyakan pengajuan berasal dari perusahaan teknologi asal Tiongkok karena memang Bank Sentral Singapura membuka kesempatan ini untuk non perbankan.

Masuknya pemain baru di Negeri Singa ini bukan menitikberatkan pada “anak baru”, melainkan layanan seperti apa yang bakal mereka tawarkan. Menurut Profesor Sistem Informasi di Nanyang Business School Boh Wai Fong, pemain baru diharapkan bisa melayani orang-orang berpenghasilan rendah atau perusahaan baru yang tidak dapat memenuhi persyaratan kredit bank tradisional.

Ada 38% orang dewasa di Singapura yang masuk kategori underbanked, meski negara tersebut sudah masuk dalam tahap dewasa untuk industri keuangannya, menurut laporan e-Conomy 2019 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company.

Secara helicopter view, tingginya minat para pemain teknologi asing ke Singapura menandakan bahwa disinilah gerbang masuknya ke pasar Asia Tenggara lebih jauh. Meski lisensi ini hanya akan berlaku di Singapura, tapi model bisnisnya dianggap sangat layak untuk direplikasi di regional.

Perlu dicatat, Singapura belum memiliki bank digital sama sekali. Selama ini negara tersebut didominasi oleh bank besar seperti DBS, UOB dan OCBC. Ketiganya, menurut Boh, sudah “too good for too long” dan memonopoli pasar.

Malaysia juga melakukan kontes yang sama dengan Singapura, membuka lima lisensi bank digital. Pengajuan terbuka untuk non perbankan, perbankan itu sendiri apabila ingin memisahkan bank digitalnya dengan membentuk perusahaan patungan.

Negeri Jiran ini mengeluarkan draf paparan tentang Kerangka Lisensi untuk Bank Digital sebagai cara mempromosikan pengembangan bank digital sejalan dengan arahan yang diambil regulator Singapura dan Hong Kong. Keduanya telah menerbitkan kerangka lisensi kerja yang serupa dalam dua tahun terakhir.

Bank Sentral Malaysia menyatakan pihaknya akan menyelesaikan draf tersebut pada paruh pertama tahun ini. Bersamaan dengan itu, pengajuan lisensi baru bisa dilakukan untuk calon kandidat yang berminat.

Sementara itu, Filipina telah memberikan empat lisensi bank digital untuk Bank CIMB dan ING Bank, Tonik dan Rizal Commercial Banking Corporation (RCBC). Kecuali RCBC, bank digital dijalankan oleh bank regional. Thailand pun juga sudah memiliki bank digital bernama Timo yang dirilis pada 2016.

Kebutuhan Pembiayaan Membesar, Akulaku Cari Pinjaman dari Luar Negeri

Perusahaan multifinance online Akulaku (Akulaku Finance Indonesia) mengungkapkan sedang dalam proses pencarian pinjaman dari luar negeri (offshore loan) untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pada tahun depan yang ditargetkan menyalurkan Rp6 triliun dari posisi saat ini Rp4 triliun. Salah satu investor yang akan ditarik berasal dari Hong Kong.

Direktur Utama Akulaku Finance Efrinal Sinaga menjelaskan, ini adalah pertama kalinya perusahaan melakukan offshore loan, selama ini mengandalkan pinjaman dari beberapa bank lokal, termasuk afiliasinya Bank Yudha Bakti, dan Asetku untuk disalurkan kembali dalam bentuk pinjaman ke nasabah.

“Akulaku Finance baru kali ini melakukan offshore financing, kita berharap setelah ini ada banyak skema pembiayaan yang lain,” ujarnya Selasa (10/12).

Kantong pendanaan yang diterima Akulaku ini berbeda dengan skema yang biasa diterima startup digital. Konsepnya kurang lebih mirip seperti pinjaman perbankan pada umumnya, ada tenor dan bunga yang harus dibayarkan tapi dengan pricing yang lebih kompetitif daripada mengambil dana dari bank.

Mantapnya investor luar untuk memberikan pinjaman ke Akulaku, sebenarnya dipengaruhi oleh pemegang saham terbesarnya, StreetCorner Lending Corp. dengan kepemilikan 80% saham sehingga memudahkan investor untuk lebih cepat mengenal Akulaku. Apalagi, StreetCorner juga memiliki Ant Financial sebagai salah satu investornya.

Sebenarnya tidak hanya dari faktor itu saja, investor juga melihat dari fundamental perusahaan itu sendiri apakah keuangannya sehat atau tidak.

Bila seluruh rencana ini berhasil, akan terbuka kesempatan lainnya buat Akulaku untuk memperoleh pinjaman lainnya dalam berbagai skema. Dengan bank, tidak hanya channeling, ada joint financing, bentuk lainnya mengeluarkan surat hutang dari MTN, obligasi, sindikasi on/offshore, hingga IPO.

Dengan target pembiayaan yang disasar pada tahun depan, perusahaan akan mengarahkan untuk kredit berbasis produktif untuk modal usaha merchant online dan kredit kendaraan. Porsinya diharapkan akan mencapai 20% dari total pembiayaan yang masih didominasi oleh kredit konsumtif.

Pinjaman untuk merchant online, sambung Efrinal, akan dimulai dari mereka yang bergabung dalam marketplace Akulaku sekitar 120 ribu merchant. Perusahaan juga akan menyasar merchant yang berjualan di platform e-commerce untuk dibiayai usahanya. Nominal pinjaman sekitar Rp50 juta-Rp100 juta.

“Sudah tes sistem, kemungkinan besar bulan depan kita akan piloting di Jabodetabek dulu sebelum kita perluas di luar Jawa.”

Adapun untuk kredit kendaraan bermotor, sudah dimulai sejak Agustus 2019. Besaran pinjaman yang diberikan adalah Rp50 juta-Rp300 juta, dan tenornya bervariasi dari 1-5 tahun. Syarat dokumennya hanya mencantumkan KTP, KK, BPKB, dan dokumen tambahan jika diperlukan.

Efrinal menjelaskan, untuk penyaluran kredit kendaraan tidak hanya mengandalkan dealer offline, perusahaan akan gaet pemain online yang menyediakan jual beli kendaraan di platformnya.

“Karena kita ingin shifting ke produktif, bahkan ada kemungkinan tahun depan kita sasar pinjaman untuk petani dan nelayan.”

Sejak tiga tahun berdiri, Akulaku masih fokus pada kredit konsumer dengan kontribusi 90% dari total penyaluran Rp4 triliun per Oktober 2019. Tumbuh 116% secara year on year. Penggunanya diklaim ada lebih dari 3 juta orang. Tingkat wanprestasi ditekan di bawah 1%.

Berencana jadi super lender dan bersiap garap syariah

Sejalan dengan itu, perusahaan berencana untuk jadi super lender buat perusahaan p2p lending. Efrinal menyebut skema ini dibolehkan dalam POJK karena posisi Akulaku adalah perusahaan multifinance untuk menyalurkan kembali ke dana yang mereka dapat oleh platform online. Akan tetapi, perusahaan mencari pemain yang fokus ke pinjaman produktif.

“Ini masih penjajakan, akhir tahun kita mau lihat peta di fintech lending seperti apa. Lalu apakah cocok pricing-nya, bila mereka juga di produktif enggak ada salahnya untuk dipertimbangkan.”

Berbisnis di Indonesia dengan potensial pasar syariah terbesar, juga membuat Akulaku tertarik untuk garap segmen itu. Namun perusahaan belum akan segera merilis unit bisnisnya tersebut pada tahun depan, melainkan persiapan terlebih dahulu sambil membaca kondisi pasar.

Banyak faktor yang membuat Akulaku tertarik. Di antaranya, syariah punya value yang kuat untuk mendorong terjadinya transaksi baik dari konsumen individu maupun pengusaha, ramainya konversi bank daerah dari konvensional. Ditambah dari dorongan top down dari kabinet saat ini.

“Kita juga sambil menanti batas akhir dari POJK soal spin off di multifinance bentuknya seperti apa. Kalau ini semua dilakukan tidak paralel dan masyarakat sudah mulai loyal terhadap syariah, kita bakal terlambat,” pungkas dia.

Application Information Will Show Up Here

Gaet Akulaku, Dana Mulai Uji Coba Fitur Paylater

Dana mulai gulir fitur paylater dengan menggaet startup lending Akulaku. Menurut laporan Katadata, fitur ini masih uji coba untuk sebagian kecil pengguna.

Disebutkan, untuk menggunakan layanan ini, pengguna harus mengisi data diri seperti nama, jenis pekerjaan, pendidikan terakhir, nama perusahaan, serta menyertakan foto dan identitas diri.

Lewat Dana, kemungkinan besar pengguna Akulaku bisa lebih mudah memanfaatkan limit kreditnya untuk transaksi di lebih dari 1000 merchant Dana di berbagai wilayah di Indonesia.

Baik itu dari sisi pilihan tenor maupun jangka waktu pinjaman, kemungkinan tidak akan jauh berbeda dengan produk yang biasa konsumen pakai ketika memakai Akulaku untuk transaksi di platform e-commerce.

Akulaku memberikan pinjaman maksimal Rp20 juta dengan pilihan tenor dari 1, 2, 3, 6, sampai 12 bulan dan bunga 2,95% per bulan.

Perusahaan juga turut aktif mengembangkan produk keuangan lainnya seperti Akulaku Offline, memungkinkan pengguna dapat membayar transaksi di merchant offline dengan limit yang ia punya di Akulaku.

Selain pinjaman konsumer, perusahaan kini mulai garap pinjaman produktif untuk pengembangan usaha para merchant online.  Di samping itu, Akulaku sendiri melengkapi produk pinjaman untuk cicilan mobil di dalam aplikasinya, rencananya akan dirilis pada akhir 2019.

Tak hanya dengan Dana, Akulaku sebelumnya juga hadir sebagai mitra pembayaran perdana di Bukalapak untuk produk BukaCicilan. Konsepnya juga kurang lebih mirip, konsumen bisa beli barang di Bukalapak, lalu mencicilnya sesuai jangka waktu yang diberikan.

Baru-baru ini, Dana mengumumkan perluasan kerja sama di bidang transportasi dengan Blue Bird untuk aplikasi My BlueBird.

Sebagai catatan, baik Dana dan Akulaku sama-sama saling terafiliasi dengan Alibaba. Dana adalah implementasi dari Alipay yang dibentuk oleh PT Elang Sejahtera Mandiri, anak usaha dari EMTEK. EMTEK sendiri punya kerja sama strategis dengan Ant Financial, pemilik Alipay.

Sementara itu, Akulaku memperoleh pendanaan untuk Seri D senilai $100 juta dengan turut masuknya Ant Financial sebagai investor baru yang masuk dalam putaran tersebut.

Kerja sama antara kedua perusahaan, membuktikan gurita bisnis Alibaba yang semakin kuat di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Akulaku to Release Productive Credit Scheme

Akulaku is entering the productive credit industry by targeting online SME merchants. The company also provide loans for car installment. Both products are to be released by the end of this year.

Akulaku Indonesia’s Director of Corporate Affairs and Public Relations, Anggie Setia Ariningsih said, this segment has great potential. In addition to the bigger ticket size, also the paid-off rate is highly guaranteed.

The company has a bigger potential to acquire more potential borrowers.
“We want to support [the government’s plan]. The plan is to release SME and car loans by the end of this year.” She said, Mon (7/1)

Both products are to distribute loans starts from Rp50 million. In terms of interest and tenor, she has no further details on it. The tenor might starts from 6 months to 1 year.

They set an ambitious target for the contribution of the productive segment, up to 20% of the total distribution. In average, Akulaku has distributed loans of Rp1.5 trillion per month.

In terms of SME, they shouldn’t have to be active merchants in Akulaku. They should at least one of the active merchants in an e-commerce platform, for Akulaku can have a calculation of the track record.

The company is to acquire e-commerce platform to get potential buyers. While the car installment only requires pink slip pledging. If it includes collateral, the loans can get bigger.

“It’s not the same with a consumer loan, there’s a transaction history in our system. Without track records, it’s going to be hard for the productive credit. Therefore, the merchant should at least active in one e-commerce.”

Talking about risk, he said it’s kind of similar to the consumer loan. Once the borrower is approved or not. It applies to the productive credit, it only requires business eligibility and domicile.

“The challenge is there, but also massive data [online] we can get to explore, whether the business is legit or not. I can’t tell how big the risk is. But this [productive] has a longer tenor and bigger value ”

Akulaku is said to distribute Rp9.8 trillion loans by last year. Anggie believes the business can grow two to three times better than the previous year.

For the download rate, Akulaku has been downloaded over 20 million, increased from the previous year of 15 million. Before Akulaku, Kredit Pintar has first announced the business shifting to the productive industry.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Akulaku Segera Rambah Penyaluran Kredit Produktif

Akulaku segera merambah penyaluran kredit produktif dengan menyasar merchant UKM yang berjualan di platform online. Perusahaan juga menyiapkan produk pinjaman untuk cicilan mobil. Kedua produk ini akan segera dirilis pada akhir tahun 2019.

Director of Corporate Affairs and Public Relations Akulaku Indonesia Anggie Setia Ariningsih menerangkan, segmen ini punya prospek yang menarik. Selain karena memiliki ticket size yang lebih besar, tingkat pengembaliannya jauh lebih terjamin. Perusahaan pun punya peluang lebih besar untuk menggaet lebih calon peminjam.

“Kami juga ingin dukung [rencana pemerintah]. Rencananya pinjaman UKM dan mobil akan dirilis akhir tahun ini.” katanya, Senin (1/7).

Kedua produk ini nantinya bisa menyalurkan pinjaman mulai dari Rp50 juta. Untuk bunga dan tenor yang ditawarkan, Anggie belum bersedia untuk merincinya. Kemungkinan besar tenornya mulai dari 6 bulan sampai 1 tahun.

Pihaknya memasang target awal yang cukup ambisius untuk kontribusi dari segmen produktif ini hingga 20% dari total penyaluran. Secara rerata, Akulaku telah menyalurkan pinjaman sekitar Rp1,5 triliun setiap bulannya.

Untuk pinjaman UKM, merchant tidak harus yang sudah berjualan di platform e-commerce Akulaku. Minimal mereka sudah tergolong sebagai merchant aktif di berbagai platform e-commerce, sehingga ada rekam jejak transaksi yang bisa dipakai Akulaku untuk mengukur kemampuan bayar.

Perusahaan akan menggaet platform e-commerce untuk mendapatkan calon peminjam. Sementara untuk cicilan mobil, persyaratannya bisa cukup dengan menjaminkan BPKB. Apabila ada jaminan, nilai pinjaman yang bisa didapat jauh lebih besar.

“Beda halnya saat consumer loan, ada catatan transaksi terjadi di sistem kami. Sementara untuk produktif, agak berat ya karena kami tidak punya track record-nya. Jadi tahap awalnya perlu mulai dari merchant yang sudah jualan di situs e-commerce.”

Dari segi risiko, menurutnya, tidak jauh berbeda dengan pinjaman consumer. Apabila di consumer loan cukup memeriksa apakah peminjam adalah orang yang benar-benar ingin meminjam atau bukan. Sama halnya untuk pinjaman produktif, cukup memerika keaslian usahanya dan domisilinya.

Challenge-nya pasti ada tapi banyak data [online] yang bisa kita ambil untuk memeriksa, bisnis merchant itu legit atau tidak. Tapi saya enggak bisa bilang risikonya seberapa besar. Turn over memang lebih cepat di consumer. Tapi ini [produktif] lebih panjang tenor dan nilai pinjamannya.”

Akulaku mengklaim telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp9,8 triliun sepanjang tahun lalu. Anggie optimis bisnis tumbuh dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelumnya.

Dari segi unduhan, aplikasi Akulaku telah diunduh lebih dari 20 juta kali dibandingkan tahun sebelumnya 15 juta. Sebelum Akulaku, ada Kredit Pintar yang lebih dahulu mengumumkan pergeseran fokus bisnisnya ke produktif.

Application Information Will Show Up Here

Cara Mengajukan Limit Kredit di Aplikasi AkuLaku

Sesudah beberapa waktu yang lalu kita bahas cara bikin akun sebagai pembuka, kali ini saya akan kembali meneruskan seri tutorial AkuLaku yang mengulas step by step mengajukan kredit yang nantinya bisa dipakai untuk menyicil barang atau mengajukan pinjaman tunai.

  • Jalankan aplikasi AkuLaku, kemudian tap menu Credit dan tap tombol Ajukan Sekarang.

Cara Mengajukan Kredit di Aplikasi AkuLaku (1)

  • Tahapan pertama, isi data diri dimulai dari nama, pekerjaan, pendidikan terakhir kemudian jangan lupa mengotorisasi akun Facebook Anda juga. Berikutnya tap tombol Selanjutnya.

Cara Mengajukan Kredit di Aplikasi AkuLaku (2)

  • Lanjut isi nomor darurat Anda, statusnya, nama, nomor ponsel lalu tap Selanjutnya.

Cara Mengajukan Kredit di Aplikasi AkuLaku (3)

  • Setelah nomor kontak, sekarang isikan alamat lengkap Anda baik di peta maupun alamat yang diketikan secara manual.

Cara Mengajukan Kredit di Aplikasi AkuLaku (4)

  • Tahapan ini mengharuskan Anda mengisi informasi pekerjan, mulai dari nama perusahaan, jenis usahanya, lama bekerja, gaji dan alamat lengkap. Jika sudah terisi semua, tap tombol Selesai.

Cara Mengajukan Kredit di Aplikasi AkuLaku (5)

  • Setelah semua data tersimpan, AkuLaku akan menampilkan limit kredit yang tersedia. Lanjutkan ke proses berikutnya, tap tombol Aktifkan Sekarang jika ingin melanjutkan atau tap jangan sekarang jika ingin lanjut.

Cara Mengajukan Kredit di Aplikasi AkuLaku (6)

  • Di langkah berikutnya, Anda diminta untuk memotret kartu identitas (eKTP) dan foto Anda sedang memegang kartu tersebut. Pastikan kedua foto sesuai dengan permintaan sistem.

Cara Mengajukan Kredit di Aplikasi AkuLaku (7)

  • Setelah foto diterima, AkuLaku kemudian akan mengirimkan kode verifikasi yang harus Anda input kembali dalam bentuk suara. Tekan tombol merah, tahan ketika Anda menyebutkan kode verifikasi yang dikirimkan. Lepas jika sudah selesai.
  • Terakhir, tunggu proses verifikasi yang akan dilakukan oleh tim AkuLaku secara manual. Jika diterima, Anda akan menerima pemberitahuan melalui email dan SMS.

[Panduan Pemula] Cara Daftar Akun AkuLaku di Smartphone Android

Udah pernah dengar aplikasi AkuLaku? Udah dong ya. Ini adalah aplikasi pinjaman online dan juga solusi cicilan barang bagi mereka yang tidak mempunyai kartu kredit. AkuLaku mengklaim dirinya sebagai salah satu yang terbesar di Asia Tenggara dengan cakupan pasar meliputi Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina.

Seperti di banyak layanan, untuk menjadi pengguna AkuLaku dan mendapatkan manfaat layanannya, Anda harus mempunyai akun terlebih dahulu. Prosedur pembuatan akun di AkuLaku sedikit berbeda dari JD.id, di mana mereka mewajibkan pengguna untuk memakai nomor ponsel sebagai syarat pendaftaran, hampir sama seperti BukaLapak.

  • Install terlebih dahulu aplikasi AkuLaku dari Play Store.
  • Kemudian jalankan seperti biasa, berikan permintaan izin akses ke GPS dan panggilan. Tanpa melakukannya Anda tidak bisa melanjutkan ke proses berikutnya.
  • Setelah aplikasi berjalan, tap menu Personal kemudian tap Masuk/daftar.

cara daftar akun AkuLaku (1)

  • Lanjutkan dengan mengklik tombol Membuat Akun.

cara daftar akun AkuLaku (2)

  • Masukkan nomor ponsel aktif Anda, kemudian tap Kirim.
  • Tunggu pesan singkat dari AkuLaku, kemudian masukkan lima digit angka verifikasi ke layar dan tap Selanjutnya.

cara daftar akun AkuLaku (3)

  • Jika verifikasi berhasil, proses selanjutnya adalah menetapkan kata sandi untuk masuk ke dalam aplikasi. Pastikan kedua kolom terisi dengan benar dan sama.

cara daftar akun AkuLaku (4)

  • Selesai, akun AkuLaku Anda sudah berhasil didaftarkan.
  • Selanjutnya, Anda disarankan untuk mengajukan limit kredit yang prosenya cukup panjang. Seperti apa prosesnya akan kita lanjutkan di artikel berikutnya.

cara daftar akun AkuLaku (5)

Sampai di sini, Akun Anda sudah bisa dipakai untuk berbagai hal. Meskipun AkuLaku merupakan layanan cicilan dan pinjaman online, mereka juga menjajakan berbagai produk mulai dari kecantikan hingga elektronik yang bisa dibeli tanpa cicilan.

Akulaku to Acquire 20% of Bank Yudha Bhakti Shares

Akulaku fintech lending startup is to make gradual acquisition over 20.11% of Bank Yudha Bhakti (BBYB) shares.  The company just increase the stock to 13.06% from 8.95%.

Quoted from Bisnis.com, Andriyana Muchyana as Bank Yudha Bhakti’s Corporate Secretary said, Akulaku enters through the purchase of PT Gozco Capital which previously held 41.04% of Bank Yudha Bhakti shares.

“There are agreements through secondary market and right issue,” she added.

Based on Indonesian Stock Exchange, Gozco Capital sold 320.43 million with Rp338 per share in 30 April 2019. After the corporate action, Gozco Capital stock in Bank Yudha Bhakti has risen to 28.24%.

Furthermore, Akulaku will continue to scale up the stock by going steady for Limited Public Offering II (LPO) at the end of this month.

The company updated stock to 499.6 million worth Rp100 per shares. The action is worth Rp168.86 billion. Akulaku is to collect it all to make 20.11% total shares. Other shareholders that didn’t claimed to HMETD will be dilluted by 8.11%.

Per 30 April 2019, shareholders structure for Bank consists of Gozco Capital (28.24%), Asabri (21.91%), Asuransi Jiwa Adisarana Wanartha (5.45%), and public for less than 5%, at 31.34%.

Akulaku has claimed its commitment to add up to the core capital up to Rp500 billion this year, through some right issue in gradual by Bank Yudha Bhakti.

After the LPO II, the company will ask for fresh stock through LPO III in the Annual General Meeting of Shareholders (RUPSLB). Akulaku has a big potential to enter as a steady buyer for its ambition.

Along with the fresh fund, the company is confident to take it to the next level with Rp 1 trillion to Rp5 trillion core capital. From the company’s publication in March 2019, they have Rp502.91 billion.

Akulaku, based on Startup Report 2018, has over $500 million (more than 7 trillion Rupiah) after the Series D funding from Alibaba in early this year. Akulaku is said to launch peer-to-peer lending product called Asetku.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here