GudangAda Dapatkan Pendanaan Seri A Senilai 372 Miliar Rupiah

Setelah Februari 2020 lalu umumkan pendanaan awal, hari ini (05/5) GudangAda platform marketplace B2B untuk produk FMCG kembali mengumumkan pendanaan terbarunya. Dalam putaran seri A, mereka berhasil bukukan dana senilai US$25,4 juta atau setara 372 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh Sequoia India dan Alpha JWC Ventures, dengan partisipasi dari Wavemaker Partners. Perusahaan akan menggunakan pendanaan ini untuk terus mengembangkan sistem teknologinya, meluncurkan lini bisnis baru, dan memperkuat tim internal.

Platform yang dihadirkan menyediakan tempat bagi pemain industri FMCG untuk bertemu dan melakukan transaksi secara online, mulai dari pemasok, distributor, hingga pedagang eceran. GudangAda ini memberikan kesempatan bagi pedagang untuk mengembangkan bisnis mereka melalui perputaran inventori yang lebih cepat, penentuan harga yang optimal, pilihan barang dan rekan bisnis yang lebih banyak, serta manajemen transaksi yang transparan.

Diklaim saat ini GudangAda berhasil menghubungkan sekitar 50 ribu pedagang di 500 kota, serta mencakup hampir 100 persen dari pedagang grosir FMCG di Indonesia, melalui pendekatan sebagai penyokong (enabler).

Sebelumnya, GudangAda mendapatkan pendanaan awal dari Alpha JWC Ventures dan Wavemaker Partners, dengan partisipasi dari Pavilion Capital, sejumlah US$10,5 juta atau sekitar 154 miliar Rupiah. Dengan pendanaan seri A ini, perusahaan telah berhasil mendapatkan pendanaan total sebesar US$36 juta  dalam 15 bulan sejak berdiri.

“Saat kami pertama kali berinvestasi pada GudangAda dan Stevensang, kami tahu bawa mereka akan menjadi pemain unggulan di industri FMCG, tak hanya di Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara […] FMCG adalah industri yang masih beroperasi secara tradisional dan juga sulit didobrak inovasi. Tidak mudah untuk mengubah kebiasaan dan perilaku, terutama yang telah dilakukan selama puluhan tahun. Namun, GudangAda membuktikan bahwa hal tersebut dapat dilakukan jika pelakunya paham di mana pintu masuk terbaik, kesulitan apa yang dihadapi, dan bagaimana cara mengeksekusi strategi dengan efektif,” jelas Managing Partner Alpha JWC Ventures, Chandra Tjan.

Benar saja, sebelumnya memang sudah ada beberapa startup yang jajakan layanan serupa, memberikan kemudahan bagi mitra pebisnis memenuhi kebutuhan dasar. Menyasar mitra dari pebisnis makanan, sebelumnya ada Stoqo yang sajikan layanan serupa. Namun awal tahun ini mereka harus mengumumkan penghentian layanan. Selain itu, masih ada pemain lain seperti Foodia, Eden Farm, Wahyoo dan lain-lain dengan spesialisasi yang berbeda — namun intinya sama, menjadi hub untuk pebisnis dengan penyedia barang dagangan.

Momentum di tengah pandemi

Stevensang GudangAda
Founder & CEO GudangAda Stevensang / GudangAda

GudangAda didirikan akhir tahun 2018 oleh Stevensang (CEO) yang telah berpengalaman di industri FMGC selama 25 tahun. Dalam wawancaranya dengan DailySocial ia pernah mengatakan, “GudangAda didirikan karena adanya keprihatinan terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis yang diusung adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform.”

Di tengah pandemi Covid-19, solusi GudangAda justru mendapatkan momentum baik untuk memperluas cakupannya. Adanya anjuran untuk melakukan physical distancing membuat solusi berbasis online menjadi alternatif untuk pemenuhan kebutuhan produk FMGC – membantu menjamin ketersediaan sembako dan kebutuhan sehari-hari lain, serta membantu pelaku industri agar tetap berjalan optimal di masa PSBB di banyak daerah.

“Rantai pasokan B2B di banyak negara berkembang menghadapi tantangan dari segi keterbatasan modal, manajemen inventori yang tidak efektif, dan proses operasional manual. GudangAda membangun sebuah ekosistem digital yang dapat mengubah wajah industri FMCG Indonesia yang kini masih berjalan secara tradisional […] Indonesia akan menyaksikan muncul dan berkembangnya penggunaan teknologi B2B dalam gelombang e-commerce kedua, dan kami sangat senang atas kesempatan bekerja sama dengan GudangAda dalam perjalanan ini,” ujar Managing Director Sequoia Capital (India) Singapore, Abheek Anand.

Application Information Will Show Up Here

Startup Fesyen, Memupuk Potensi dalam Satu Dekade

Menurut Startup Report yang diterbitkan DSResearch, sepanjang tiga tahun terakhir ada beberapa startup fesyen yang terus meningkatkan putaran pendanaan, termasuk Tinkerlust, Zilingo, Pomelo, Sorabel, Berrybenka, dan Style Theory. Di luar itu, masih banyak platform e-commerce lain di segmen terkait yang masih langgeng di tengah dominasi online marketplace yang menyajikan beragam jenis produk.

Tidak hanya berkembang secara kuantitas, model bisnis yang ditawarkan pun makin bervariasi. Sebut saja yang dilakukan Style Theory, Alih-alih menjual, mereka menghadirkan mekanisme penyewaan produk busana bermerek. Kepada DailySocial mereka bercerita, sejak 2017 hadir di Indonesia telah berkembang dan memiliki sekitar 150 ribu pengguna. Padahal mereka baru melayani kota Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Fakta tersebut jelas mengindikasikan segmen bisnis ini memiliki potensi yang bukan main. Mari kita dalami.

Pangsa pasar fesyen di e-commerce

Dalam laporan eCommerce Report 2020 – Fashion disebutkan revenue segmen bisnis tersebut di Indonesia diperkirakan mencapai $6,7 miliar per 2020. Angka ini bakal mencapai $12,6 miliar pada tahun 2024 mendatang. Pangsa pasar Indonesia menempati peringkat ke-11 secara global.

Platform online marketplace dengan beragam produk juga kerap menempatkan produk fesyen, terutama dengan pangsa pasar perempuan, di deretan produk terlaris. Disampaikan dalam laporan belanja online di Tokopedia, sepanjang tahun 2019 lima kategori produk paling populer meliputi fesyen, rumah tangga, ponsel, elektronik, dan kesehatan.

Data lain dari Kredivo menunjukkan tren belanja sepanjang tahun 2019. Baik pengguna pria maupun wanita paling banyak menghabiskan layanan kredit di platform e-commerce untuk memenuhi kebutuhan fesyen berdasarkan jumlah transaksi.

Tren penggunaan layanan kredit di e-commerce sepanjang 2019 / Kredivo
Tren penggunaan layanan kredit di e-commerce sepanjang 2019 / Kredivo

Perjalanan startup fesyen

Pemberitaan DailySocial mencatat hype startup “niche” fesyen sudah dimulai sejak awal dekade. Tahun 2011 beberapa pemain seperti BelowCepek dan LocalBrand mulai memperkenalkan diri ke publik. Kala itu strategi yang dilakukan adalah membuat diferensiasi dari sisi produk, misalnya yang dilakukan BelowCepek dengan menjual berbagai busana dengan harga di bawah 100 ribu Rupiah. Pun demikian LocalBrand yang mengutamakan merek-merek lokal di tengah gempuran mass product yang banyak bertanggar di pusat perbelanjaan.

Tren kehadiran startup fesyen terus bermunculan. Tahun berikutnya Zalora, BerryBenka hadir mengubah stigma di vertikal bisnis ini. Zalora adalah pemain regional yang didukung penuh oleh Rocket Internet – kala itu dikenal sebagai salah satu pencetak bisnis digital disruptif di dunia. Sementara BerryBenka berhasil mencatatkan pendanaan awal dari East Ventures, sekaligus jadi debut pemodal ventura tersebut masuk ke vertikal e-commerce, khususnya fesyen.

Scallope, Laavaa, FimelaShop, Ratimaya, PinkEmma, dan beberapa startup lain makin meramaikan pasar online.

Tahun 2014 Riselo hadir dan menawarkan konsep online marketplace untuk fesyen. Jika sebelumnya kebanyakan modelnya B2C, kini mereka menawarkan model C2C. Mengadopsi dari kesuksesan online marketplace yang mengakomodasi produk secara umum. Di periode ini, sektor e-commerce jadi lokomotif penting bagi bisnis digital, membuat semua orang makin terbiasa dengan transaksi di internet. Persaingan ketat membuat masing-masing pemain berinovasi dalam model bisnis.

Ringkasan satu dekade persjalanan startup fesyen di Indonesia / DailySocial
Ringkasan satu dekade persjalanan startup fesyen di Indonesia / DailySocial

Di tahun 2017-an, konsep online to offline (O2O), pemain seperti BerryBenka, Zalora, Hijub memulai hadirkan toko fisik di pusat perbelanjaan. Namun tidak hanya dilakukan oleh pemain e-commerce, peritel juga menguatkan strategi penjualan melalui kanal digital, seperti Onmezzo (Metrox Group), Matahari, dan MAPemall.

Mendekati akhir dekade 2020, beberapa pemain makin kuat sementara sisanya tidak menampakkan growth. Sorabel (sebelumnya Sale Stock), misalnya, mampu membukukan pendanaan Seri C untuk mendukung akselerasi bisnisnya.

Teknologi yang semakin menjadi urat nadi kehidupan juga mendorong munculnya merek-merek “indie” yang sedari awal memasarkan dan menjual produknya secara online, beberapa O2O, seperti yang dilakukan merek fesyen Cloth-Inc atau Pomelo.

Model bisnis jadi pembeda

Tahun 2015 Samira Shihab (CEO) dan Aliya Amitra (COO) memulai Tinkerlust sebagai startup fesyen unik yang menjual barang bermerek dan tergolong mewah. Tidak hanya produk baru, mereka juga menjual barang preloved yang masih baik kondisinya. Traksinya bagus, hingga dua tahun kemudian mendapatkan pendanaan awal dari Merah Putih Inc dan angel investor Danny Oei Wirianto. Di samping menjadi platform jual beli fesyen preloved, mereka juga menawarkan penyewaan gaun rancangan desainer.

Yuna & Co punya cara lain, mereka memilih optimalkan kecerdasan buatan hadirkan fitur konten interaktif “fashion matchmaker”. Sederhananya, dengan aplikasi tersebut pengguna dapat memanfaatkan asisten virtual untuk memberikan rekomendasi busana terbaik berdasaran preferensi pribadi. Mereka turut menjadi perantara antara merek fesyen dengan konsumen, melalui rekomendasi produk yang disajikan. Pendekatan ini diambil, mengingat tidak sedikit wanita yang memiliki banyak pertimbangan dan selektif saat melakukan belanja, terlebih secara online.

Kemudian, seperti yang sudah sempat disinggung di awal, ada juga Style Theory yang menawarkan pilihan sewa untuk berbagai produk fesyen bermerek. Mereka tawarkan model berlangganan dan on-demand untuk pelanggannya. Saat ini bisnisnya disokong penuh melalui pendanaan Seri B oleh SoftBank Ventures Asia, The Paradise Group, dan Alpha JWC Ventures.

“Pangsa pasar Style Theory pada dasarnya seluruh wanita Indonesia yang membutuhkan variasi baju cukup tinggi untuk kegiatan sehari-harinya. Di antaranya wanita dalam usia produktif yang bekerja di luar rumah, baik itu pekerja kantoran, freelancer, dan pekerjaan lainnya yang sering bertemu dengan banyak orang. Pangsa pasar ini yang akan paling merasa terbantu dengan adanya layanan kami,” ujar tim Style Theory.

Beragam model bisnis yang diterapkan startup fesyen di Indonesia / DailySocial
Beragam model bisnis yang diterapkan startup fesyen di Indonesia / DailySocial

Model bisnis menjadi kunci kesuksesan startup di vertikal ini. Secara mendasar mereka harus bersaing dengan tatanan ritel tradisional yang sudah bertahun-tahun jadi rujukan masyarakat. Hal-hal terkait kultur juga perlu ditangkap baik oleh konsumen – misalnya kebiasaan melihat atau mencoba dulu barang secara fisik sebelum benar-benar membeli. Sorabel salah satunya yang peka dengan kondisi ini, startup fesyen dengan private label tersebut memiliki opsi yang memungkinkan pelanggannya mencoba dulu produk yang diantar kurir sebelum benar-benar menyelesaikan transaksi dengan pembayaran.

Mereka yang tidak bertahan

Sayangnya fitur unik, bahkan dukungan investor sekalipun tidak menjamin startup fesyen dapat bertahan. Tahun 2018 Lyke mengumumkan tutup layanan. Pasca pendanaan seri A mereka cukup optimis dengan bisnisnya, sampai merekrut pesohor Agnez Mo sebagai co-founder sekaligus ambassador. Lyke juga manfaatkan kecerdasan buatan yang memungkinkan pengguna lakukan pencarian produk berdasarkan unggahan foto. Dari isu yang beredar, inefisiensi bisnis menjadi penghambat hingga mengakibatkan startup tersebut tutup.

Awal tahun 2017 platform Lolalola juga resmi menutup bisnisnya. Mereka secara khusus menjual produk pakaian dalam wanita atau lingerie. Salah satu faktor yang membuatnya menyerah, ramainya tren social commerce dan gempuran online marketplace seperti Tokopedia, yang juga memudahkan konsumen temukan produk terkait. Meskipun mengklaim memiliki produk yang unik dan menarik, jika hal ini tidak dibarengi strategi pemasaran dan akuisisi pelanggan yang cukup masif akan sulit mencapai kondisi berkelanjutan.

Jefrey Joe, Managing Partner & Co-Founder Alpha JWC Ventures memberikan analisisnya. “Fashion commerce adalah sektor yang lucrative, tidak ada one winner takes all, sehingga meskipun ada beberapa raksasa, tetap akan ada tempat bagi pemain niche dan pemain baru. Style Theory, misalnya, awalnya muncul sebagai produk niche di Singapura lalu Indonesia, namun kini berhasil membuat fesyen rental sesuatu yang normal/umum dan bagian dari kehidupan urban sehari-hari.”

Ia melanjutkan, “Prinsip sustainability para startup fesyen adalah pertanyaan yang harus ditanyakan ke masing-masing startup. Untuk Style Theory, sejak awal mereka mengusung konsep circular economy untuk mengurangi konsumsi dan sampah fesyen, sekaligus menjawab masalah besar wanita yang cenderung terus-terusan membeli pakaian tapi tak terpakai. Sorabel pun menggunakan machine learning untuk mempelajari tren pembelian, sehingga mereka hanya membuat pakaian yang kemungkinan besar terjual; mereka juga mengontrol proses manufaktur, sehingga bisa meminimalisir waste dari berbagai tahap produksi dan distribusi.”

GudangAda Hadirkan Marketplace untuk Digitalkan Rantai Pasokan Produk FMCG

Didirikan pada akhir tahun 2018 oleh Stevensang, GudangAda jadi layanan marketplace B2B khusus produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Fokusnya memberdayakan seluruh rantai pasokan (supply chain), sehingga memudahkan bisnis mengakses berbagai produk secara efisien. Pengembangan platform ini  dilatarbelakangi pengalaman founder selama 25 tahun bekerja di industri FMCG.

Harapannya dengan teknologi yang disajikan, para penjual yang bertransaksi melalui GudangAda dapat melihat kenaikan volume penjualan, perputaran barang yang lebih cepat, biaya operasional dan harga pengadaan yang lebih rendah, serta transparansi transaksi. Di saat yang bersamaan, pedagang juga dapat mengakses jaringan pelanggan, pelaku bisnis, serta pilihan produk yang lebih luas daripada sebelumnya.

Kepada DailySocial CEO GudangAda Stevensang mengungkapkan, di era digital ini semakin banyak tantangan yang harus dialami oleh pemilik toko tradisional, seperti semakin sulitnya mendapatkan salesman, meningkatnya resiko bisnis, ancaman dari e-commerce besar yang langsung menghubungkan principal dengan retailers, generasi berikutnya dari pemilik toko yang enggan meneruskan bisnis keluarga yang masih konvensional, dan lain-lain; yang akan menyebabkan penurunan bisnis dan laba di kemudian hari.

“GudangAda didirikan karena adanya keprihatian terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis GudangAda adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform. Dengan ikut dalam platform GudangAda, toko bisa berperan sebagai penjual dan/atau pembeli.”

Ditambahkan olehnya, sebagai penjual, toko akan mendapatkan semakin banyak pembeli dan mendapatkan kesempatan untuk menjual kategori produk lain. Sebagai pembeli, toko akan mendapatkan harga yang kompetitif, pengiriman produk yang cepat dan dapat membeli produk kapan saja dan di mana saja.

“GudangAda akan terus melakukan pembaruan terhadap platform yang sudah ada dan akan terus melengkapi layanan untuk memenuhi kebutuhan toko yang bergabung, seperti financial services, logistic services dan lain-lain,” kata Stevensang.

Akuisisi lebih banyak pemilik toko

Setelah mendapatkan pendanaan awal (seed) sebesar belasan juta dolar dari firma modal ventura Alpha JWC Ventures dan Wavemaker Partners, GudangAda selanjutnya ingin fokus menambah jumlah penjual dan pemilik toko, sembari membangun ekosistem dengan melengkapi fitur untuk memenuhi kebutuhan semua stakeholder FMCG. Firma private equity asal Singapura, Pavilion Capital, juga ikut berpartisipasi dalam pendanaan ini.

“Tidak setiap hari Anda menemukan perusahaan sesolid GudangAda dengan pendiri berpengalaman seperti Stevensang. Sejak awal, kami memiliki keyakinan besar pada perusahaan ini dan potensi yang mereka miliki,” ujar Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Saat ini GudangAda telah memiliki 15 anggota tim. Mayoritas dari mereka berpengalaman di bidang FMCG lebih dari 10 tahun dan memiliki hubungan baik dengan pemilik toko grosir di Indonesia. Secara bertahap, GudangAda juga akan melakukan monetisasi terhadap layanan yang diberikan dalam platform, seperti layanan transaksi, logistik dan lainnya.

Di tahun 2020 ini, target utama GudangAda adalah memperluas jaringan anggotanya ke seluruh lapisan rantai pasok industri FMCG di Indonesia dan menyediakan lebih banyak solusi yang bisa diintegrasikan ke kegiatan mereka.

“Kami telah memvalidasi bisnis dan membangun fondasi kuat. Kini, dengan dukungan berkelanjutan dari investor dan mitra, yang harus kami lakukan adalah meneruskan apa yang telah berhasil kami lakukan, namun dengan skala yang lebih besar dan dalam waktu yang lebih cepat. Kami akan mengakselerasi ekspansi kami dan menyediakan lebih banyak layanan agar kami dapat melayani semua pemain industri FMCG di Indonesia,” tutup Stevensang.

Inisiatif “Growth Fund” untuk Ekosistem Startup Indonesia

Ada perkembangan luar biasa yang terjadi pada ekosistem startup di Asia Tenggara beberapa tahun terakhir. Salah satu takarannya adalah popularitas growth fund – baik dari sisi startup yang telah mencapai tahapan tersebut dan/atau investor yang mengalokasikan investasi untuk tahapan tersebut.

Menurut catatan Cento Ventures, sepanjang tahun 2019 ada beberapa startup yang mulai masuk ke kelompok centaur (memiliki valuasi antara US$100-900an juta), di antaranya Payfazz (fintech), Moka (SaaS), HappyFresh, Xendit, dan Alodokter.

Startup di atas mengokohkan diri dengan valuasi tersebut pada tahun 2019 melalui pendanaan di tahap lanjutan (growth). Ruangguru mengumumkan pendanaan Seri C US$150 juta menjelang akhir tahun. Atau Halodoc yang menggalang pendanaan Seri B mulai awal tahun, termasuk merangkul yayasan ternama Bill & Melinda Gates Foundation sebagai salah satu investornya.

Startup Asia tenggara 2020

Growth fund

Kebalikan dari early stage, later stage adalah tahapan startup yang telah mencapai kematangan dalam bisnis. Variabel yang dihitung cukup beragam, mulai dari kualitas produk, cakupan area, traksi pengguna, jajaran tim hingga nilai investasi yang didapatkan.

Untuk berinvestasi ke startup later stage, ada dua pendekatan yang selama ini dijalankan. Pertama, venture capital (VC) atau corporate venture capital (CVC) menyediakan dana besar –yang didapat dari LP atau modal yang disuntikkan perusahaan induk—untuk diinvestasikan ke startup. Skema kedua, VC berkolaborasi membentuk inisiatif dana gabungan.

Hal menarik lain dalam perkembangan growth fund adalah beberapa diinisiasi investor yang sebelumnya fokus pada early stage. Dana yang lebih besar diguyurkan untuk membantu portofolionya mencapai ekspansi pasar yang lebih luas.

Berikut ini beberapa inisiatif growth fund di Asia Tenggara yang sudah diresmikan atau sudah beroperasi:

Growth Fund in SEA

Desember lalu, Telkom dan KB Financial Group meresmikan dana kelolaan baru Centauri Fund. Fokusnya untuk pendanaan Pra-Seri A hingga Seri B. Sebelumnya CVC milik mereka MDI Ventures juga memberikan porsi pendanaannya di tahap tersebut.

Di bulan yang sama, EV Growth mengumumkan telah membukukan US$250 juta (hard cap) setara 3,4 triliun Rupiah dalam pengumpulan dana pertamanya. Perusahaan mengklaim, saat ini mereka telah menyalurkan lebih dari 50% total dana yang dikumpulkan ke dalam 20 kesepakatan pendanaan. Sebanyak 80% startup yang mendapatkan kucuran dana dari Indonesia. Turut diinformasikan internal rate of return pendanaan berkisar 36%.

Peluang investasi

Dalam sebuah kesempatan, Direktur Lippo John Riady berujar, ia cukup optimis ketika pertama kali membuat proposal untuk berinvestasi di bidang teknologi.  John memproyeksi bahwa dalam 10 tahun pasar tersebut tumbuh bernilai US$20-100 miliar. Tahun 2017 ia mulai membangun OVO dan kini perusahaan digital tersebut sudah mencapai status unicorn dengan valuasi terakhir yang diketahui mencapai US$2,9 miliar.

“Teknologi adalah salah satu aset paling menarik yang dimiliki perusahaan. Teknologi memungkinkan perubahan luar biasa dalam perilaku konsumen. Ini mempengaruhi mata pencaharian hingga tidak dapat dibalik. Saya benar-benar yakin dengan semua perubahan mendasar yang terjadi ini,” kata John.

Kini setidaknya ada 11 startup unicorn di Asia Tenggara. Hipotesis mengenai prakiraan pertumbuhan yang pesar di masa mendatang tampaknya juga dimiliki oleh para investor lain, melihat pertumbuhan startup di Indonesia. Beberapa model bisnis telah tervalidasi dengan baik, lainnya lagi tengah memastikan penerimaan pasar atas solusi yang ditawarkan.

Berikut ini daftar vertikal startup yang telah berhasil memvalidasi model bisnisnya dengan baik – ditandai dengan besarnya investasi yang masuk ke beberapa startup pendominasi pasar:

Vertikal Keterangan
E-commerce Saat ini Indonesia telah memiliki 2 unicorn dari kategori bisnis ini, sementara beberapa pemainnya memiliki sokongan besar dari raksasa teknologi Singapura (Sea) dan Tiongkok (Alibaba, JD.com).
On-Demand Didominasi dua pemain utama, kendati tidak menutup kemungkinan hadirnya beberapa platform baru yang menyasar model layanan spesifik. Seperti Anterin yang tengah dalam proses perampungan akuisisi oleh salah satu unit usaha grup MNC.
Travel & Hospitality Pariwisata menjadi sektor prioritas pemerintah yang terus dioptimalkan, mengharap perputaran ekonomi yang besar –baik dari wisatawan domestik maupun mancanegara—terjadi di sini. Bisnis di bidang OTA dan pemesanan hunian menjadi bagian penting untuk menopang strategi tersebut.
Fintech, Insurtech Menurut laporan Fintech Report 2019, tahun lalu sekurangnya ada 144 perusahaan p2p lending yang telah mendapatkan status terdaftar dan berizin di OJK, sementara ada 39 pemain di bidang pembayaran yang telah kantongi lisensi dari Bank Indonesia. Pergeseran gaya hidup masyarakat Indonesia menjadikan layanan berbasis finansial digital mudah diterima masyarakat.
Online-to-Offline Konsep O2O direpresentasikan dalam berbagai model bisnis, beberapa di antaranya memberdayakan masyarakat/pedagang kecil untuk mitra distribusi, beberapa lainnya menyajikan pengalaman campuran antara melakukan transaksi secara langsung dan melalui aplikasi. Bisnis-bisnis dengan pendekatan ini mendapatkan pertumbuhan signifikan beberapa waktu terakhir.
Healthtech Dengan perolehan pendanaan seri B+, Halodoc mantap masuk ke jajaran startup centaur. Sementara sejak dua tahun terakhir, sektor ini terus dieksplorasi para pemain digital lokal. Termasuk menghadirkan ragam inovasi untuk mendukung gaya hidup sehat dalam layanan wellness.
Edtech Tahun 2019 ada tiga startup yang membukukan pendanaan lanjut, meliputi Ruangguru, HarukaEdu dan Zenius. Ketiganya berambisi untuk merangkul pelajar dengan jumlah yang besar melalui pendekatan baru dalam kegiatan belajar.
SaaS Pada dasarnya produk vertikal ini mendukung proses bisnis digital dari startup lain, misalnya berbentuk layanan POS, kecerdasan buatan, analisis data, sistem perekrutan dan lain-lain.

Potensi terhadap vertikal tersebut di atas senada dengan target investasi yang sudah dicanangkan oleh investor. Salah satunya Telkom Group melalui Centauri.

“Sekarang kami sedang evaluasi lima startup di bidang fintech, insurtech, big data dan artificial intelligence. Sejauh ini semua [dari Indonesia]. Target kami mungkin bisa investasi ke lima sampai sepuluh [startup] di 2020,” ungkap Manaing Partner MDI Ventures Kenneth Li.

Tahun 2020 prospek investasi melambat?

Banyak analis yang menerangkan, tahun ini akan ada perlambatan dalam iklim investasi untuk startup digital. Ada beberapa faktor penyebab, dua di antaranya karena perlambatan ekonomi global di tengah isu-isu internasional yang memanas dan kejadian seperti “WeWork apocalypse” yang berdampak pada kepercayaan investor.

Menelisik lebih dalam kondisi di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. Startup later stage terus meningkatkan laju bisnis untuk menjadi profitable, beberapa telah menyampaikan rencana IPO. Di tahap early-stage, founder baru mulai realistis. Saat mereka merasa tidak mungkin lagi bersaing dengan model bisnis yang telah diusung pemain besar lainnya, jalan yang ditempuh adalah menghasilkan solusi mendukung model bisnis yang ada – atau satu hal yang benar-benar unik dan menyasar ceruk pengguna yang sangat spesifik.

Faktanya VC masih memiliki ambisi kuat dengan prospek Indonesia. Tahun ini bank OCBC NISP melalui OCBC NISP Ventura debut dengan 400 miliar Rupiah untuk berinvestasi ke startup digital. Tidak hanya menyasar fintech, namun juga proptech hingga edtech. Kinesys Group sebagai “binaan” Northstar Group juga hadir untuk mendampingi segmen early stage dengan menyiapkan dana senilai 280 miliar Rupiah.

Penggalangan dana dari sisi investor juga masih berjalan mengesankan. Salah satu pemain teraktif di Indonesia, Alpha JWC Ventures, akhir tahun lalu mengumumkan penutupan Fund 2-nya dengan status “oversubscribed”, artinya jumlah yang diterima dari LP yang masuk lebih besar dari nilai yang ditargetkan di awal. Mereka mengumpulkan dana 1,7 triliun Rupiah dan masih akan terus disalurkan untuk startup-startup yang sebagian besar beroperasi di Indonesia.

Alpha JWC Ventures Bags 1.7 Trillion Rupiah Through Its Second Fundraising

Alpha JWC Ventures has announced to close its second fundraising round at $123 million or around 1.7 trillion Rupiah. Since starting the second round in mid-2018, Fund 2 had been closed by “oversubscribed” – the number of investors who have a keen interest to join is exceeding the available slots. In addition, almost all investors in Fund 1 are rejoined this round.

The money collected from Fund 2 has been invested since the end of 2018 to 14 startups. One of the biggest investments has been Kopi Kenangan in November 2018 at $8 million or around 121 billion Rupiah. To date, they already listed 33 startups in their portfolio.

“To date, our team’s support in the journey and its development has been an important factor of our startup portfolio’s succession, and our focus lays on the business fundamentals of each company. We always remind all founders and startup teams the importance of proper unit economics calculations and financial accountability from the first day they joined Alpha JWC. We believe this approach is essential for the long-term sustainability of startups,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Chandra Tjan explained.

In portfolio management, the company managed to use a hands-on approach in various business lines, from recruitment, marketing, and legal support.

“We also avoid investing in similar companies or any competitors to our previous portfolios. Our principle is to support our startups directly and intensively which means we have to choose the right founders and continue to help them throughout the startup journey,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Jefrey Joe added.

To date, Alpha JWC has 20 team members. This year they added three new partners, namely Alan Hellawell (former CSO of SEA Group), Erika Go (former Principal of Alpha JWC), and Eko Kurniadi (former VP of Investment Creador). In addition, they have now launched a permanent office in Singapore to be able to reach more startups in Southeast Asia.

“We’re actively eyeing Vietnam’s digital industry for funding opportunities. As one of the fastest growing economies in the world, we believe Vietnam is the next largest market in Southeast Asia. Furthermore, we’ve invested in three companies in Vietnam and currently exploring some other startups,” Chandra added.

In its debut in 2016, Alpha JWC Ventures has launched Fund 1 worth $50 million or around 700 billion Rupiah. The funds were channeled to 23 startups in Southeast Asia, mostly in Indonesia. In less than 4 years, Fund 1 is claimed to have grown to 3.2x in Net Asset Value (NAV). Alpha JWC has also successfully made two exits, the Spacemob coworking space network (acquisition by WeWork in 2017) and the DealStreetAsia business media (acquisition by Nikkei in 2019).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Rencana Ekspansi Regional Style Theory Usai Kantongi Pendanaan Seri B

Diluncurkan pada 2016 di Singapura oleh Raena Lim dan Chris Halim, platform penyewaan produk fesyen, Style Theory, hadir menawarkan opsi penyewaan lebih dari 50 ribu koleksi busana yang dapat diakses melalui aplikasi. Perusahaan mengakuisisi pengguna berdasarkan langganan bulanan dan resmi hadir di Indonesia sejak tahun 2017 lalu.

Kepada DailySocial, CEO Chris Halim mengungkapkan, Style Theory diciptakan berdasarkan pengalaman rekan-rekan mereka yang kesulitan mencari busana yang ideal untuk berbagai kesempatan. Perusahaan ingin mengurangi konsumsi busana (dalam bentuk pembelian) di kalangan masyarakat, yang diharapkan pada akhirnya berpengaruh ke lingkungan.

“Style Theory ingin menghadirkan solusi kepada semua dengan pilihan busana sewaan yang beragam. Kami juga ingin membantu perempuan yang memiliki kecintaan tersendiri terhadap fesyen. Kami menawarkan produk pilihan dari berbagai pengguna. Dengan konsep penyewaan, pengguna bisa menghemat pengeluaran mereka hingga 10 kali lipat.”

Untuk mengonsumsi layanan tanpa batas, konsumen membayar biaya bulanan Rp590 ribu. Selain layanan berlangganan, Style Theory juga memiliki model biaya on-demand dengan pelanggan membayar biaya sewa satu pakaian tanpa perlu berlangganan. Konsep penyewaan yang berkelanjutan menjadi prioritas strategi monetisasi Style Theory.

Saat ini Style Theory telah memiliki lebih dari 13 ribu pengguna yang tersebar di Indonesia, Singapura, hingga Hong Kong. Perusahaan juga memiliki lebih dari 2.000 tas desainer (eksklusif untuk pasar Singapura) dengan basis lebih dari 200.000 pengguna.

Rencana setelah pendanaan

Awal bulan Desember lalu Style Theory mengantongi pendanaan putaran Seri B yang dipimpin SoftBank Ventures Asia. Turut berpartisipasi investor baru The Paradise Group dan investor terdahulu Alpha JWC Ventures. Total investasi yang diperoleh mencapai $15 Juta (lebih dari 209 miliar Rupiah).

Dana segar tersebut akan digunakan perusahaan untuk melanjutkan ekspansi Style Theory di skala regional tahun depan, meningkatkan kualitas platform teknologi, dan memperluas daftar inventori.

Fokus lain perusahaan adalah menambah kategori, termasuk tas, untuk meningkatkan pengalaman pengguna, terutama di Singapura dan Indonesia.

“Kami ingin mengubah cara orang mengkonsumsi fesyen dengan penuh perhatian dan bertanggung jawab. Kami ingin mempromosikan gaya hidup berkelanjutan secara finansial dan tidak boros. Kami ingin pelanggan kami menjadi advokat sendiri ketika mereka melihat peningkatan dalam pola konsumsi mereka, dengan demikian bisa tercipta komunitas pecinta fesyen untuk mereka yang menyukai fesyen,” tutup Chris.

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures Bukukan 1,7 Triliun Rupiah dalam Penggalangan Dana Keduanya

Alpha JWC Ventures mengumumkan telah menutup pengumpulan dana investasi keduanya senilai $123 juta atau setara 1,7 triliun Rupiah. Sejak dibuka pada pertengahan tahun 2018, Fund 2 ini ditutup “oversubscribed” — jumlah investor yang ingin bergabung lebih banyak dari slot yang tersedia. Selain itu hampir seluruh investor di Fund 1 turut bergabung pada putaran ini.

Dana yang dikumpulkan dalam Fund 2 telah diinvestasikan sejak akhir 2018 ke 14 startup. Salah satu yang mendapatkan investasi terbesar adalah Kopi Kenangan pada November 2018 dengan perolehan $8 juta atau sekitar 121 miliar Rupiah. Hingga saat ini sudah ada 33 startup dalam portofolio mereka.

“Salah satu faktor penting dari kesuksesan startup portofolio kami selama ini adalah dukungan dari tim kami dalam perjalanan dan perkembangan para startup tersebut; serta fokus kami pada fundamental bisnis tiap-tiap perusahaan. Kami selalu menekankan pada pendiri dan tim startup mengenai pentingnya perhitungan unit economics yang tepat serta akuntabilitas finansial sejak hari pertama mereka bergabung dengan Alpha JWC. Kami percaya pendekatan tersebut esensial bagi keberlangsungan startup secara jangka panjang,” jelas Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Dalam manajemen portofolio, pihaknya memakai pendekatan hands-on dalam berbagai lini bisnis terkait, mulai dari dukungan rekrutmen, pemasaran, dan legal.

“Kami juga menghindari investasi di perusahaan sejenis atau yang berkompetisi langsung dengan startup yang telah kami danai sebelumnya. Prinsip kami untuk mendukung startup kami secara langsung dan intensif berarti kami harus benar-benar memilih founder yang tepat dan terus membantu mereka sepanjang perjalanan startup tersebut,” imbuh Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Saat ini Alpha JWC telah memiliki 20 orang anggota tim. Tahun ini mereka menambah tiga partner baru, yakni Alan Hellawell (mantan CSO SEA Group), Erika Go (sebelumnya Principal Alpha JWC), dan Eko Kurniadi (mantan VP of Investment Creador). Selain itu kini mereka telah membuka kantor permanen di Singapura untuk bisa menjangkau lebih banyak startup di Asia Tenggara.

“Kami terus memperhatikan industri digital Vietnam secara aktif untuk kesempatan pendanaan. Sebagai salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia, kami yakin Vietnam adalah pasar terbesar selanjutnya di Asia Tenggara. Sejauh ini, kami telah memiliki tiga investasi di Vietnam dan sedang mendalami beberapa startup lainnya,” tambah Chandra.

Dalam debut awalnya di tahun 2016, Alpha JWC Ventures meluncurkan Fund 1 senilai $50 juta atau sekitar 700 miliar Rupiah. Dana tersebut disalurkan kepada 23 startup di Asia Tenggara, mayoritas dari Indonesia. Kurang dari 4 tahun, Fund 1 diklaim telah berkembang hingga 3,2x dalam Net Asset Value (NAV). Alpha JWC juga telah berhasil melakukan dua exit, yaitu jaringan coworking space Spacemob (akuisisi oleh WeWork di 2017) dan media bisnis DealStreetAsia (akuisisi oleh Nikkei di 2019).

Mengenal Verikool, Startup yang Lebih dari Sekadar “Marketplace Influencer”

Suka tidak suka keberadaan influencer media sosial sudah mengubah cukup banyak industri periklanan. Kendati begitu, masih banyak kendala yang perlu diatasi dari alternatif baru tersebut, semisal kemudahan mencari influencer, isu follower palsu, hingga efektivitas jasa influencer terhadap penjualan produk.

Masalah-masalah tersebut menjadi alasan kemunculan startup bernama Verikool. Founder & CEO Verikool Daniel Dewa menjelaskan bahwa startup yang ia dirikan itu bukan hanya sekadar marketplace influencer, tapi lebih sebagai perusahaan analitik.

“[Marketplace] sudah banyak banget. Kita tahu yang bikin seseorang memilih influencer bukan dari marketplace, mereka pakai influencer karena mereka terkenal. Jadi percuma kalau kita mengarah ke marketplace, nanti yang cari akan klien-klien kecil saja,” ujar Daniel kepada DailySocial.

Seperti yang Daniel katakan, marketplace untuk influencer memang sudah ada beberapa di Indonesia. Mereka di antaranya adalah SociaBuzz, IconReel, dan Allstars. Verikool ingin lebih dari sekadar marketplace yakni dengan menjadi perusahaan analitik yang memudahkan korporasi dan UKM beriklan melalui influencer.

Cara kerja Verikool cukup sederhana. Pada dasarnya mereka punya dua platform, endorse influencer dan analitik. Perusahaan atau UKM dapat memilih influencer yang relevan dengan kebutuhannya, melakukan pembayaran, hingga melakukan revisi.

Verikool juga dapat memberikan insight seperti follower asli dan palsu, tingkat engagement sebuah posting, berapa banyak klik ke situs perusahaan, email, chat, pola caption, dan banyak lagi. Bahkan algoritma Verikool memungkinkan melihat pose serta bahasa selebgram yang paling banyak menarik perhatian audiens. Biaya yang dikenakan bersifat flat untuk setiap transaksi sebesar Rp20.000.

Bedanya, UKM yang ingin melakukan endorse di Verikool harus bayar di muka, sementara korporasi dapat bayar setelah pemakaian jasa. Pihak influencer pun baru akan mendapatkan uangnya ketika mereka menyelesaikan tugas dari klien.

“Biasanya kalau ke agency kita bayar 5-20 persen dari harga influencer. Di kita mau harga influencer Rp1 miliar tetap aja Rp20.000,” ucap Daniel.

Sementara monetisasi dilakukan Verikool dengan cara menarik ongkos Rp100.000 per akun dari korporasi yang sudah jadi klien mereka. Dari ini saja Daniel mengaku pihaknya mendapat puluhan juta tiap bulan sehingga saat ini perusahaan sudah profit.

Sedangkan untuk pendanaan, Verikool berada di tahap pre-seed dengan total uang yang sudah dikantongi sebesar US$750.000, salah satunya dari Alpha JWC Ventures. Namun Daniel mengaku pengumpulan dana mereka hanya akan di fase seed dengan alasan sudah nyaman dengan kondisi saat ini.

“Segede-gedenya yang kita terima paling dari Alpha, kita enggak mau dari yang lain. Kita sudah fine kaya gini, sudah bagus bisa sales. Jangan sampai ada investor masuk jadi rusak,” ujar Daniel.

Saat ini sudah ada 1.700 lebih influencer di Indonesia yang sudah bergabung dengan mereka, termasuk beberapa di antaranya dari Taiwan. Sementara klien mereka sudah terdiri dari 20 korporasi dan 214 UKM.

Pada November nanti mereka berencana memperluas jangkauan layanan mereka hingga ke Thailand, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Alhasil nanti perusahaan di keempat negara itu dapat memakai jasa influencer lokal saat ingin mempromosikan produknya di Indonesia. Dan sebaliknya, pengiklan dari Indonesia dapat memakai jasa influencer keempat negara tadi untuk beriklan di sana.

Di samping itu meskipun saat ini hanya mengandalkan influencer di Instagram, tak lama lagi Verikool menyediakan jasa influencer di Youtube dan Twitter.

Goola Receives 71 Billion Rupiah from Alpha JWC Ventures, to Implement “New Retail” Concept

Alpha JWC Ventures today (8/16) announced investment to Goola, a startup focused on traditional beverages. It was worth up to $5 million or equivalent to 71 billion Rupiah. They provide various beverages, such as doger ice, green bean ice, and many more. Targeting young adult, they’re using “grab-and-go” concept for serving and packaging.

Goola was founded in 2018 by two founders, Kevin Susanto and Gibran Rakabuming. Gibran is well-known as President Joko Widodo’s son and a businessman in the culinary industry. They are currently open five outlets in Jakarta, to develop 100 more after receiving funding until 2020 – in Indonesia also the neighbor cities.

“Goola was first established as a conventional culinary business, then we realize that this can grow bigger once we transformed and start using technology in daily operation,” Susanto said.

“New Retail” Implementation

In addition to the outlets, fresh money will be focused on the new retail implementation. It’ll be realized through the application – the developing process is currently internal.

Goola app design is to maximize online transaction experience no queue, loyalty program, and others. This app also helps to analyze consumer’s habit to constantly improve the services and products.

“The use of technology is one thing, for me, the most important is the ingredients. Our challenge is to take Goola and these local beverages into the global market,” he said.

Susanto added, “If there is any other competitor arise, it will be our market validation. Competitors are the motivation we need to realize Goola mission faster, for they will help us to educate the market on relevant products.”

Prior to the business, Alpha JWC Ventures had first invested on Kopi Kenangan. The key is similar, they are to develop a new retail concept in selling cups of coffee to young adults.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Goola Dapatkan Pendanaan 71 Miliar Rupiah dari Alpha JWC Ventures, Segera Terapkan Konsep “New Retail”

Alpha JWC Ventures hari ini (16/8) mengumumkan penggelontoran investasi kepada Goola, startup yang mengembangkan produk minuman tradisional. Nilainya mencapai $5 juta atau setara dengan 71 miliar Rupiah. Ada beragam produk minuman yang ditawarkan bisnis tersebut, mulai dari es doger, es kacang hijau dan aneka minuman lainnya. Menyasar kalangan muda, mereka mengusung konsep “grab-and-go” untuk pengemasan dan penyajian.

Goola didirikan pada tahun 2018 oleh dua orang founder, yakni Kevin Susanto dan Gibran Rakabuming. Gibran dikenal sebagai pengusaha kuliner yang juga putra pertama Presiden Joko Widodo. Saat ini mereka memiliki lima unit gerai di Jakarta, pasca pendanaan akan targetkan pengembangan 100 gerai hingga tahun 2020 – baik di Indonesia maupun di negara-negara tetangga.

“Goola tadinya didirikan sebagai bisnis kuliner konvensional, namun kami kemudian menyadari bahwa bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih besar jika kami mengubah cara bisnis kami dan mulai menggunakan teknologi dalam operasional sehari-hari,” ujar Kevin.

Segera terapkan konsep “new retail”

Selain penambahan gerai, dana investasi yang didapatkan juga akan difokuskan Goola untuk mengimplementasikan pendekatan new retail. Realisasinya ialah dalam pengembangan aplikasi – saat ini proses pengembangannya tengah berjalan di internal.

Aplikasi Goola akan didesain memaksimalkan pengalaman transaksi pelanggan melalui jalur online tanpa antrean, program loyalitas, dan lain-lain. Aplikasi ini juga akan membantu pengelola menganalisis pola konsumsi para pelanggan sehingga dapat terus memperbaiki layanan serta produk yang ditawarkan.

“Penggunaan teknologi adalah satu hal, tapi bagi saya, faktor terpenting tetaplah pada racikan minuman kami. Tantangan kami selanjutnya adalah bagaimana membawa Goola dan minuman lokal ini ke pecinta kuliner internasional,” ujar Gibran.

Kevin melanjutkan, “Jika nantinya ada kompetitor yang muncul, ini akan menjadi bukti validasi pangsa pasar yang kami tuju. Munculnya kompetitor juga sebenarnya akan mendorong kami untuk merealisasikan visi Goola lebih cepat karena mereka akan membantu kami mengedukasi masyarakat mengenai produk sejenis.”

Untuk bisnis dengan konsep serupa, sebelumnya Alpha JWC Ventures juga berinvestasi pada Kopi Kenangan. Prinsipnya sama, mereka akan mengembangkan pendekatan new retail dalam menjual produk minuman kopi kepada kalangan muda.